BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bicara masalah kemiskinan bukan isu baru, melainkan isu sepanjang jaman. Sungguh menggelisahkan pada era semakin canggih, kemiskinan tetap dominan. Kemajuan jaman yang diekspresikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi hanya memberi kontribusi kesejahteraan pada sebagian kecil penduduk dunia. Kesejahteraan sebagian kecil manusia di belahan bumi seringkali menelan dan mengurbankan sebagian besar manusia lainnya di lembah kemiskinan.
Kemiskinan merupakan kondisi yang sulit dihindarkan. Terbukti kurang lebih 900 juta penduduk dunia adalah miskin, mereka menggantungkan hidup dengan kurang dari $ 1 per hari dan tinggal di Asia maupun Afrika. Satu dari tiga orang di Asia adalah miskin (Asian Development Bank dalam Sulistiyani, 2004). Data ini menunjukkan sebuah kondisi yang memprihatinkan.
Beban kemiskinan serupa juga dirasakan di Indonesia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010 mencapai angka 31.023.400 jiwa dari jumlah penduduk keseluruhan 237.641.326 jiwa atau sekitar 13,33 % dari seluruh jumlah penduduk. Dari jumlah tersebut 11.097.800 tinggal di perkotaan dan 19.925.600 tinggal di pedesaan (BPS, 2011). Menurut data BPS memang terdapat penurunan angka kemiskinan khususnya di wilayah perkotaan, namun angkanya masih relatif kecil yaitu 0,81 juta dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010. Sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang, dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010. Meskipun angka kemiskinan di perkotaan lebih kecil dibanding angka kemiskinan di pedesaan dan jumlah penurunan angka kemiskinannya lebih besar, namun kemiskinan di perkotaan perlu mendapat perhatian yang lebih serius karena masih banyak penduduk miskin pedesaan yang pindah ke perkotaan.
Gejala kemiskinan di kota erat kaitannya dengan langkanya peluang kerja yang produktif (Friedmann, 1981). Penduduk kota, baik pendatang desa-kota maupun penduduk kota yang baru masuk angkatan kerja, dengan kemampuan yang ada menciptakan kesempatan kerja dengan memanfaatkan kehidupan kota (Effendi, 1995). Dalam banyak kasus, penghasilan mereka hanya dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari (Swasono, 1986) meskipun mereka telah bekerja keras. Penduduk miskin kota pada umumnya
mempunyai etos kerja yang tinggi, namun karena kurangnya modal usaha, ketrampilan dan pengetahuan rendah (Effendi, 1995) mereka hanya dapat menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Berbagai upaya dan strategi untuk mengentaskan kemiskinan kota telah banyak dilakukan oleh pemerintah, misalnya program P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan), Program Takesra dan Kukesra, PNPM-MP (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan) dan lain-lain, tetapi hasilnya belum memuaskan (Sukidjo, 2011). Karena itu, keterlibatan perusahaan swasta maupun lembaga sosial dan keagamaan sangat dibutuhkan untuk program pengentasan kemiskinan. Penanganan masalah kemiskinan perlu kerja sama yang baik antara pihak pemerintah dan swasta untuk dapat mencapai hasil yang maksimal. Karena tanpa keterlibatan pihak swasta, pemerintah akan menanggung beban yang sangat berat.
Keterlibatan masjid sebagai lembaga keagamaan dalam penanganan masalah kemiskinan khususnya bagi jamaah, dan umumnya bagi masyarakat Islam dipastikan mampu mengurangi jumlah angka kemiskinan. Sejarah perkembangan Islam di Indonesia menunjukkan terdapat hubungan yang cukup erat antara dakwah Islam dan pemberdayaan perekonomian maupun industri kerajinan. Islam masuk di Nusantara melalui para sufi (Azra, 2004) dan pedagang yang aktif melakukan dakwah dan perdagangan serta masjid dijadikan sebagai pusat pendidikan (Castle, 1967; Abdullah, 1994; Dobbin, 1983; Geertz, 1956, 1960, 1962; Sobary, 1995). Setidaknya dapat ditarik suatu kaitan antara proses berkembangnya Islam dan berkembangnya perekonomian rakyat. Salah satu tema yang banyak dibahas adalah menyangkut pengaruh Islam pada kegiatan wirausaha dan akibat kegiatan itu terhadap pengamalan ajaran agama Islam. Khususnya Abdullah, Geertz, Castle dan Sobary telah menunjukkan bahwa Islam mendorong tumbuhnya kesalehan sosial, sekaligus sebagai indikator tumbuhnya kewirausahaan (Castle, 1967; Geertz, 1962; Abdullah, 1994; Sobary, 1995).
Di samping itu, mereka juga menunjukkan kewirausahaan mempunyai peranan penting dalam proses dakwah. Ini berarti dakwah dapat memperbaiki ekonomi mad’unya. Karena itu, Maussen (2004) dalam penelitian tentang Policy Discourses on Mosques in the Netherlands mengemukakan bahwa fungsi masjid tidak hanya sekedar tempat ibadah mahdoh (hablum minallah atau ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah, yakni sholat, dzikir, tadarus
kemasyarakatan), yakni memfungsikan masjid sebagai tempat mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang menyangkut kehidupan.
Jika dilihat dari perspektif sejarah pendirian masjid pada jaman Nabi Muhammad saw, ternyata masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat, tetapi juga berfungsi membangun kegiatan ekonomi masyarakat. Fungsi masjid pada jaman Nabi Muhammad saw terkonsentrasi kepada tiga aspek, yaitu: aspek keagamaan, sosial ekonomi, dan politik-pemerintahan. Aspek keagamaan adalah memfungsikan masjid sebagai tempat ibadah dan tempat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, tempat membersihkan diri dan membangun kesadaran untuk mendapatkan pengalaman batin sehingga terpelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan kepribadian.
Aspek sosial adalah memfungsikan masjid sebagai tempat membina keutuhan ikatan jamaah dan kegotongroyongan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bersama, tempat meningkatkan kecerdasan dan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi umat melalui pendidikan dan usaha ekonomi, tempat menyantuni orang-orang lemah seperti orang fakir, miskin, anak yatim, korban bencana, dan lain-lainnya.
Aspek politik-pemerintahan adalah memfungsikan masjid sebagai tempat memecahkan persoalan-persoalan politik yang timbul dalam masyarakat, tempat mengatur strategi berbangsa dan bernegara, tempat mendidik kader-kader muda menjadi orang yang tangguh dan bertanggung jawab dalam mempertahankan negara. Hal ini tercermin pada masjid pertama yang didirikan Nabi Muhammad saw di tengah kota Madinah, yaitu masjid Madinah atau masjid Nabawi pada bulan Rabiul Awal tahun 622 H, masa Nabi Muhammad saw menetap di kota itu. Di Masjid itu Nabi Muhammad saw menyampaikan ajaran Islam, mengatur kehidupan sosial, dan membangun ekonomi masyarakat (Nasution, 1996).
Karena itu, keterlibatan sebuah masjid dalam menyelesaikan berbagai permasalahan jamaah khususnya yang menyangkut pada permasalahan ekonomi merupakan bentuk tanggung jawab sosial dari sebuah masjid. Permasalahan kemiskinan jamaah masjid adalah permasalahan serius dan perlu penanganan yang baik, sebab permasalahan ini dapat berakibat pada munculnya kekufuran, sebagaimana disinyalir oleh pepatah bahwa ”hampir-hampir kemiskinan itu menjadi penyebab kekafiran” (Tasmara, 2002). Untuk itu dibutuhkan tanggung jawab sosial masjid dalam mengatasi permasalahan kemiskinan bagi jamaahnya.
Di Indonesia, jumlah masjid, menurut data Dewan Masjid Indonesia, saat ini tidak kurang dari 700 ribu (tidak termasuk surau, tajug, musholla, dan lain-lain). Jumlah tersebut
merupakan jumlah masjid terbesar di dunia (Pertiwi, 2008). Dari jumlah masjid yang besar tersebut, baru sebagian kecil yang telah dimanfaatkan atau difungsikan untuk penanganan masalah kemiskinan. Potensi dana yang besar yang diperoleh masjid setiap bulannya atau bahkan setiap minggunya melalui sumbangan dari jamaah atau donatur lain yang sah ternyata belum dimanfaatkan secara optimal oleh pengurus-pengurus masjid untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat sekitarnya.
Masjid Laboratorium Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, misalnya, yang berada di tengah kampus UIN Sunan Kalijaga memperoleh masukan infak rata-rata per minggu sebesar Rp. 2.500.000,- (Catatan Mingguan, 2011). Dapat dibayangkan seandainya potensi dana yang besar itu dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar masjid, maka masalah kemiskinan di Indonesia dapat dipastikan terkurangi. Karena itu, tidaklah berlebihan bila Menteri Agama (Maftuh Basyuni) mencanangkan pos pemberdayaan keluarga (Posdaya) berbasis masjid pada tanggal 11 Februari 2007 di Masjid At-Tawazun bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Menteri mengingatkan cara memakmurkan masjid adalah "memanfaatkan masjid tidak hanya dijadikan sebagai kegiatan ibadah saja, melainkan dilengkapi dengan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat” (Gemari, 2007: 58) khususnya pemberdayaan di bidang ekonomi.
Pengurus masjid, dalam kaitannya dengan program Menteri Agama tersebut, perlu memahami betul mengenai konsep pemberdayaan masyarakat, khususnya pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin. Seringnya kegagalan dalam pemberdayaan masyarakat karena para fasilitator (baca: pengurus masjid) kurang memahami konsep dan ketrampilan dalam menjalankan tugasnya (Mardikanto, 2010a). Terkadang fasilitator menduga-duga faktor penyebab kemiskinan masyarakat adalah ketiadaan modal usaha, lalu diputuskan dengan pemberian modal usaha, padahal sesungguhnya yang terjadi adalah kurangnya ketrampilan masyarakat miskin dalam menciptakan usaha baru. Karena itu, wajar bila pemberian bantuan modal yang tidak dibarengi dengan pelatihan ketrampilan menjadi sia-sia, atau sebaliknya fasilitator menduga faktor penyebab kemiskinan adalah kurangnya ketrampilan. Lalu diputuskan dengan memberi pelatihan ketrampilan tanpa pemberian bantuan modal untuk mempraktekkan hasil pelatihan, dan kondisi ini akan menghadapi kegagalan. Kasus-kasus ini terjadi di masyarakat, dan akibatnya fasilitator cenderung apatis, serta tidak mau mengambil resiko memberi bantuan kepada masyarakat. Kegagalan bukan pada masyarakat penerima manfaat, tetapi fasilitator yang salah dalam melakukan assessment kebutuhan. Seandainya
fasilitator telah melakukan assessment dengan benar maka kegagalan itu dapat diminimalisir (Muslim, 2009) dan masjid akan lebih berguna untuk mengurangi angka kemiskinan.
Faktor lain yang sering menjadi penyebab terjadinya kegagalan pemberdayaan masyarakat adalah pemilihan strategi pemberdayaan yang kurang tepat. Strategi pemberdayaan yang kurang tepat dapat membawa masyarakat miskin tergantung pada uluran tangan penyandang dana, dan akhirnya merendahkan martabat masyarakat itu sendiri (Tjokrowinoto, 1995). Program bantuan langsung tunai yang dirancang dengan strategi kedermawanan (charity strategy) bukannya strategi untuk menghasilkan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat (Tjokrowinoto, 1995). Karena itu, fasilitator program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin harus betul-betul memikirkan dan memilih strategi yang mampu membawa masyarakat miskin menjadi berdaya dan mandiri.
Pemahaman fasilitator mengenai konsep dan pemilihan strategi, metode, media, serta materi pemberdayaan ekonomi masyarakat akan menentukan keberhasilan program pemberdayaan yang dijalankan. Hal ini tampak pada program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin yang dilakukan oleh Masjid Nurul Jannah di PT Petrokimia Gresik, Masjid Jogokaryan di Kota Yogyakarta, dan Masjid di Yayasan Perjuangan Wahidiyah Kediri.
Program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin pada Masjid Nurul Jannah dan Masjid Jogokaryan adalah baitul-mal wat-tamwil (BMT). Program ini dibagi dalam dua konsep besar, yaitu pertama konsep baitul-mal yang difokuskan untuk program bina sosial seperti bantuan modal usaha untuk masyarakat tidak mampu dan pinjaman tanpa bunga untuk pedagang kecil, bina pendidikan seperti bantuan SPP untuk anak asuh sekolah, bina masjid dan pondok pesantren, bina dakwah, dan bina kelompok lain yang tidak masuk dalam prioritas kegiatan. Kedua konsep baitut-tamwil yang difokuskan untuk pembiayaan dan angsuran pembiayaan, serta penerimaan dan penarikan tabungan.
Realisasi konsep baitul-mal, misalnya, untuk pelaksanaan program bina sosial, masjid Nurul Jannah setiap tahunnya menyalurkan dana untuk kegiatan santunan keluarga miskin, yatim piatu, dan anak asuh tidak kurang dari Rp. 150.000.000,-. Santunan untuk keluarga miskin lebih difokuskan pada pemberian modal usaha, sedangkan untuk keluarga yang sedikit lebih mampu dibanding dari keluarga miskin, masjid Nurul Jannah memberikan pinjaman modal usaha dengan sistem bagi hasil sebagai realisasi dari konsep baitut-tamwilnya (Dokumen BMT Nurul Jannah 2007 s/d 2010).
Program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin di Masjid Yayasan Perjuangan Wahidiyah adalah koperasi. Koperasi di lingkungan pengamal Wahidiyah ini pada umumnya sama dengan koperasi yang ada di tempat lain di wilayah Republik Indonesia ini. Keunikannya terletak pada etos kerja pengurus yang dijiwai oleh nilai-nilai agama khususnya amalan Sholawat Wahidiyah yang dilakukan setiap hari. Semangat kerja untuk ibadah yang dijalankan oleh para pengurus koperasi ini yang menjadikan salah satu faktor pendorong koperasi tersebut tumbuh pesat, khususnya di wilayah Kediri, dan umumnya di seluruh wilayah Indonesia. Menurut pendiri koperasi Wahidiyah yakni Kyai Abdul Latief, koperasi ini telah memiliki cabang tidak kurang dari 700 koperasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan seluruh pengurusnya adalah pengamal Sholawat Wahidiyah (Wawancara, 19 Desember 2011).
Selain pemahaman konsep dan pemilihan strategi, metode, media serta materi, keberhasilan program pemberdayaan masyarakat juga dipengaruhi oleh kemitraan yang dibangun dengan lembaga-lembaga lain. Penelitian Alcock dan Graig (1998) tentang Monitoring and Evaluation of Local Authority Anti-Poverty Strategies in the UK
membuktikan bahwa otoritas lokal ternyata tidak dapat menghilangkan atau bahkan secara signifikan mengurangi kemiskinan lokal, karenanya direkomendasikan kepada otoritas lokal agar membangun jaringan dengan pihak-pihak lain untuk mencapai keberhasilan. Karena itu, secara sadar tiga masjid di atas telah membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga lain untuk mensukseskan program pemberdayaannya. Misalnya pengurus Masjid Nurul Jannah bermitra dengan pengelola program corporate social responsibility PT. Petrokimia, Masjid Jogokaryan bermitra dengan Bank Muamalah dan BMT BIF, dan Masjid Yayasan Perjuangan Wahidiyah bermitra dengan cabang-cabangnya.
Sejauh pengamatan awal, Masjid Jogokaryan, Nurul Jannah dan Wahidiyah merupakan tiga masjid yang berhasil melakukan pemberdayaan ekonomi terhadap masyarakat miskin yang tinggal di sekitarnya. Keberhasilan itu diduga di antaranya karena masjid memiliki tata kelola dan pemahaman konsep pemberdayaan yang benar, memiliki strategi, metode, materi dan media pemberdayaan yang tepat, serta membangun kemitraan dengan lembaga lain. Ini menarik untuk diteliti, karena hal tersebut belum dilakukan oleh masjid-masjid yang lain.
B. Rumusan Masalah Penelitian
berbagai kalangan, namun implementasinya masih jauh dari harapan. Kenyataan masih banyak masjid difungsikan hanya untuk kegiatan ritual, sedangkan kegiatan ibadah sosial kemasyarakatan belum banyak dilakukan. Idealnya masjid dijadikan sebagai pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat, di samping untuk kegiatan ibadah-ibadah lain, utamanya ibadah mahdoh.
Keberhasilan Masjid Nurul Jannah di PT Petrokimia Gresik, Masjid Jogokaryan di Kota Yogyakarta, dan Masjid di Yayasan Perjuangan Wahidiyah Kediri dalam membangun perekonomian masyarakat miskin tentunya tidak terlepas dari gaya kepemimpinan, manajemen dan sistem organisasi para pengelolanya. Pengelola masjid yang berpengetahuan luas dan memiliki pemahaman mengenai konsep pemberdayaan masyarakat khususnya dalam membangun perekonomian masyarakat miskin ternyata mampu menanggulangi kemiskinan. Apalagi pemahaman konsep itu dibarengi dengan pemilihan strategi, metode, media dan materi yang tepat serta melibatkan partisipasi masyarakat dan membangun jalinan kemitraan dengan lembaga lain dalam pelaksanaannya. Karena itu, diperlukan suatu kajian mendalam untuk mengetahui keberhasilan dari tiga masjid tersebut dalam memberdayakan ekonomi masyarakat miskin perkotaan. Kajian difokuskan pada tata kelola, kemitraan dengan lembaga lain, proses pemberdayaan yang dilakukan, model pemberdayaan, dan keunggulan serta kelemahan dari model pemberdayaannya. Berdasarkan pada rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tata kelola Masjid Nurul Jannah di Gresik, Masjid Jogokaryan di Yogyakarta, dan Masjid Yayasan Perjuangan Wahidiyah di Kediri dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan ?
2. Bagaimana kemitraan yang dibangun oleh tiga masjid tersebut dengan lembaga lain dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan ?
3. Bagaimana proses pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan yang dilakukan oleh tiga masjid tersebut ?
4. Bagaimana model pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan yang dilakukan oleh tiga masjid tersebut ?
5. Bagaimana kelebihan dan kelemahan model pemberdayaan yang dilakukan oleh tiga masjid tersebut dalam membangun ekonomi masyarakat miskin perkotaan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan permasalahan yang dipaparkan di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Mendiskripsikan tata kelola Masjid Nurul Jannah di Gresik, Masjid Jogokaryan di Yogyakarta, dan Masjid Yayasan Perjuangan Wahidiyah di Kediri dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan.
2. Mendiskripsikan kemitraan tiga masjid tersebut dengan lembaga lain dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan.
3. Mendiskripsikan proses pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan yang dilakukan oleh tiga masjid tersebut.
4. Mengkaji model pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan yang dilakukan oleh tiga masjid tersebut.
5. Mengkaji keunggulan dan kelemahan model pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan berdasarkan pada tiga kasus masjid tersebut.
6. Merumuskan model pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan berbasis tanggung jawab sosial masjid yang dapat diadopsi oleh masjid lain berlandaskan pada tiga kasus masjid tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat akademik yang berupa rumusan model pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan berbasis tanggung jawab sosial masjid yang dapat diadopsi oleh masjid-masjid yang lainnya dan rumusan keunggulan serta kelemahan dari model tersebut dalam membangun ekonomi masyarakat miskin perkotaan. Kemudian dari manfaat akademik tersebut, diharapkan dapat menjadi sumbangan dalam pengambilan kebijakan khususnya dalam bidang pemberdayaan masyarakat baik bagi pemerintah maupun bagi pengurus masjid dan sekaligus dapat menambah khasanah bagi ilmu pemberdayaan masyarakat di Indonesia.
E. Orisinalitas Penelitian
9
Tabel 1. Orisinalitas/Kebaruan Penelitian
No Penulis, Judul, dan Tempat Publikasi
Tujuan Penelitian Lingkup Penelitian Pendekatan Hasil Penelitian
1 Marcel Maussen. 2004.
Policy Discourses on
Mosques in the
Netherlands 1980-2002: Contested Constructions. Journal of Ethical Theory and Moral Practice.
Merekonstruksi wacana
kebijakan publik
mengenai pembangunan
masjid di kota
Rotterdam Belanda.
Isu-isu seputar pro dan
kontra mengenai
kebijakan
pembangunan masjid
di kota Rotterdam
Belanda.
Kualitatif 1.Otoritas lokal mengijinkan pendirian masjid baru di kota Rotterdam meskipun masih terjadi pro dan kontra.
2.Otoritas lokal juga mengijinkan pemanfaatan masjid untuk kegiatan sosial dan kebudayaan islami.
3.Dua kebijakan ini memicu perdebatan yang memanas di kalangan masyarakat Belanda pada periode 1980-2002.
2 Umar R. Soeroer. 2004. Fungsi Sosial Masjid
al-Markaz al-Islami
Makasar Dalam
Perspektif Kerukunan
Umat Beragama.
Departemen Agama RI.
Mengkaji
kegiatan-kegiatan keagamaan
yang dilakukan oleh pengurus masjid yang
dapat memberikan
kontribusi bagi
terciptanya kerukunan umat beragama.
Kegiatan-kegiatan keagamaan di Masjid al-Markaz al-Islami Makasar.
Kualitatif Kegiatan-kegiatan keagamaan yang berkontribusi bagi terciptanya kerukunan umat beragama adalah: 1.Program dialog sahur setiap bulan Ramadhan.
Program ini memfokuskan pada masalah politik, ekonomi syariah, penegakan hukum, kebudayaan dan seni.
2.Ekonomi dan jasa. Melalui kegiatan koperasi, BMT, retail aula, bazar dan perpustakaan. Program ini diperuntukkan bagi semua masyarakat baik muslim maupun non muslim.
3.Masjid ini dibangun dengan melibatkan para pengusaha baik muslim maupun non muslim.
Karena itu dalam pengelolaannya lebih
10
3 Yulizar Kasih. 2007.
Peranan Kelompok
Swadaya Masyarakat
(KSM) dan Pemanfaatan Masjid Sebagai Pusat
Pemberdayaan Petani
Kecil di Pedesaan (Kasus
di Propinsi Sumatra
Barat). Jurnal Fordema.
1. Mengkaji peranan
KSM sebagai
sumber modal usaha
tani kecil di
pedesaan.
2. Mengkaji upaya
pemberdayaan usaha
tani kecil yang
dilakukan oleh
KSM.
1.KSM dan petani
kecil di Propinsi Sumatra Barat. 2.Nilai-nilai modal
sosial yang
mendukung upaya
pemberdayaan petani kecil.
Campuran: kualitatif dan kuantitatif
1.Eksistensi KSM di daerah penelitian mampu berperan secara efektif sebagai sumber modal bagi masyarakat pedesaan khususnya petani kecil dalam
memenuhi kredit usaha tani dan mampu
meningkatkan pendapatan hasil usaha.
2.KSM mampu memberdayakan masyarakat,
terutama petani kecil yang selama ini sulit mendapat kredit yang murah dan mudah.
3.Efektivitas peranan KSM ini tidak terlepas dari peranan modal sosial yang tumbuh berkembang di tengah-tengah masyarakat.
4. Fauziyah. 2008.
Pemberdayaan Umat
Melalui Manajemen
Masjid Pada Masjid Raya Jakarta Islamic Centre
(JIC). Jurnal
Multikultural dan
Multireligius.
1.Mengkaji
potensi-potensi masjid JIC. 2.Menganalisis
kegiatan-kegiatan di masjid JIC
3.Merumuskan langkah-langkah strategis yang
perlu direncanakan
dan dilakukan guna meningkatkan
manajemen masjid
Raya Islamic Centre Jakarta dalam upaya pemberdayaan.
1.Kegiatan-kegiatan di masjid JIC.
2.Kinerja sistem di masjid JIC.
Kualitatif 1.Potensi yang dimiliki masjid sangat besar. Pembina dan pengurus masjid adalah orang-orang yang professional, cendikiawan dan ahli dibidangnya, ditambah lagi adanya bantuan dana dari Pemda DKI Jakarta setiap tahunnya.
2.Fungsi masjid JIC sudah sangat baik, yaitu masjid difungsikan sebagai tempat ibadah, dakwah dan komunikasi, serta edukasi.
3.Langkah yang perlu dilakukan di masa mendatang
adalah membuka KBIH, menyelesaikan
11
5 Pete Alcock dan Gary
Craig. 1998. Monitoring and Evaluation of Local Authority Anti-Poverty Strategies in the UK. International Journal of
Public Sector
Management.
Mengkaji
pengembangan kriteria dan prosedur monitoring dan evaluasi pada aspek input, proses, output,
dan outcome dalam
strategi penanganan
masalah kemiskinan.
Prosedur-prosedur yang dilakukan oleh
pemerintah lokal
dalam menangani
masalah kemiskinan
Kualitatif Otoritas lokal tidak dapat menghilangkan atau bahkan secara signifikan mengurangi kemiskinan lokal. Oleh karenanya direkomendasikan kepada otoritas lokal agar membangun jaringan dengan pihak-pihak lain untuk mencapai keberhasilan.
6 S.N.A. Mensah dan E.
Benedict. 2010.
Entrepreneurship
Training and Poverty Alleviation: Empowering the Poor in the Eastern Free State of South Africa. African Journal of
Economic and
Management Studies.
Mengkaji penanganan
masalah kemiskinan
melalui pelatihan
kewirausahaan.
Faktor-faktor
penyebab kemiskinan.
Kuantitatif 1.Kurangnya pendidikan adalah penyebab terbesar dari kemiskinan. Hal ini menyebabkan terbatasnya pilihan dan kemampuan untuk meningkatkan hidup atau bisnisnya.
2.Masih banyak sekolah-sekolah yang gurunya tidak terlatih (tidak professional) khususnya di daerah pedesaan, sehingga menjadi penyebab masyarakat enggan mengikuti pelatihan.
3.Bisnis kecil yang dimiliki oleh perseorangan dengan mindsets kewirausahaan memiliki potensi besar untuk meningkatkan pendapatan. Karenanya direkomendasikan bahwa pelatihan seharusnya dilakukan dengan mengidentifikasi individu-individu yang memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan sebagai role modelnya.
7 Kwame Ameyaw Domfeh
dan Justice Nyigmah
Bawole. 2009. Localising and Sustaining Poverty Reduction: Experiences from Ghana. Management of Environmental Quality:
Mengkaji usaha-usaha mengurangi kemiskinan petani di Ghana.
Partisipasi petani
dalam beberapa
program
penanggulangan kemiskinan di Ghana.
Survey 1.Meskipun program pengurangan kemiskinan telah dilakukan di Ghana, namun dampaknya terhadap masyarakat tani miskin sangat kecil.
2.Kegagalan dari program ini dapat dikaitkan dengan ketiadaan keterlibatan masyarakat lokal dalam proses penentuan kebijakan.
12
An International Journal. yang tertulis dalam data statistik yang
dipublikasikan. 8 Stavros K. Parlalis. 2011.
A Case Study: a Local-Based Social Economy Project. International
Journal of Social
Economics.
Pelibatan kaum muda pada proyek ekonomi sosial lokal.
Pelatihan
kewirausahaan sosial dari pemuda-pemudi usia 18-30 tahun.
Participation Action Research (PAR).
1.Semua proyek akan berhasil jika masyarakat memiliki sensitifitas dan kemauan untuk menerima konsep/ide baru mengenai ekonomi sosial dan kewirausahaan sosial.
2.Aksi proyek dilakukan melalui: identifikasi
stakeholders dan menciptakan networking,
kerjasama dengan layanan sosial kecamatan, bimbingan terhadap peserta proyek, melakukan
pelatihan dalam kewirausahaan sosial dan
membangun volunteers yang senantiasa
memotivasi, melatih dan mendorong semangat peserta.
9 Azis Muslim. Model
Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Miskin
Perkotaan Berbasis
tanggung jawab sosial Masjid. Disertasi UNS.
1. Mengkaji
keunggulan dan
kelemahan model
pemberdayaan ekonomi masyarakat
miskin perkotaan
berbasis tanggung jawab sosial masjid.
2. Merumuskan model
pemberdayaan ekonomi masyarakat
miskin perkotaan
berbasis tanggung jawab sosial masjid.
1.Tata kelola masjid dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan. 2.Kemitraan masjid
dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin perkotaan. 3.Proses
pemberdayaan ekonomi masyarakat
miskin perkotaan
yang dilakukan oleh masjid.
Kualitatif 1.Tata kelola masjid: pertama, membangun tahapan pengelolaan masjid. Kedua, menyusun langkah-langkah pengelolaan masjid. Ketiga, menetapkan prinsip-prinsip pengelolaan masjid. Keempat, menyusun strategi pengelolaan masjid.
2.Kemitraan dilakukan secara mutualistik, peleburan dan pengembangan.
Berdasarkan hasil penelusuran tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Miskin Perkotaan Berbasis Tanggung Jawab Sosial Masjid masih layak untuk diteliti. Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh peneliti belum ditemukan hasil penelitian yang membahas permasalahan ini. Lingkup penelitian ini fokus pada tata kelola masjid dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, kemitraan masjid dengan lembaga lain, proses pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin yang dijalankan, model pemberdayaan yang dilakukan, dan keunggulan serta kelemahan model tersebut dalam membangun ekonomi masyarakat miskin di perkotaan.