Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar, terbukti
dari data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun
2010-2014 bahwa sekitar 76% penerimaan negara berasal dari penerimaan
perpajakan
(http://www.kemenkeu.go.id/laporan-keuangan-pemerintah-pusat, diakses pada 21 Oktober 2015). Pemerintah menggunakan pajak
untuk melaksanakan pembangunan nasional dalam rangka mencapai
kesejahteraan umum di berbagai sektor kehidupan (Darmawan dan
Sukartha, 2014). Oleh karena itu, Pemerintah akan berupaya agar
penerimaan pajak dapat terealisasi sesuai dengan APBN.
Bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi
laba bersih, sehingga perusahaan berupaya agar pembayaran pajaknya
seminimal mungkin. Hal ini menimbulkan perbedaan kepentingan antara
fiskus (pemungut pajak) yang menginginkan penerimaan pajak yang
maksimal dengan perusahaan sebagai wajib pajak yang menginginkan
pembayaran pajak yang minimal. Upaya perusahaan untuk meminimalkan
beban pajaknya disebut perencanaan pajak (tax planning) (Pohan, 2013: 6).
Tax planning yang dilakukan secara legal dan tidak bertentangan dengan
peraturan perpajakan disebut penghindaran pajak (tax avoidance),
sedangkan tax planning yang dilakukan secara ilegal dan bertentangan
Pohan (2013: 23) menjelaskan tax avoidance sebagai salah satu
upaya perlawanan pajak aktif, yaitu semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak.
Metode dan teknik yang digunakan adalah memanfaatkan
kelemahan-kelemahan (grey area) yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan
perpajakan itu sendiri, untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.
Besarnya tax avoidance dapat dilihat dari perbandingan antara kas yang
dikeluarkan untuk biaya pajak dengan laba sebelum pajak (Cash Effective
Rate/ CETR) (Dryeng et al., 2010).
Upaya penghindaran pajak dapat dilakukan antara lain dengan
melakukan penggeseran laba (profit shifting) dari suatu negara ke negara
lain melalui transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa
yang berkedudukan di negara yang berbeda (Pohan, 2013: 489).
Penggeseran laba juga dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa yang berkedudukan di negara yang sama dengan cara
memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang berlaku. Hubungan istimewa
tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2008 pasal 18 ayat
(4) Tentang Pajak Penghasilan.
Tingkat kepatuhan perpajakan yang rendah di Indonesia merupakan
salah satu indikasi terjadinya praktik tax avoidance (Rusydi dan Martani,
2014). Data Direktorat Jenderal Pajak tahun 2013 menyebutkan bahwa
jumlah badan usaha yang terdaftar sebanyak 5 juta, sedangkan yang
pajak atau melapor Surat Pemberitahuan (SPT) hanya 520 ribu wajib pajak
badan dengan rasio SPT sekitar 10,4%
(http://pajak.go.id/kompleksitas-kepatuhan-pajak, diakses pada 15 November 2015). Kasus penghindaran
pajak yang terjadi di Indonesia antara lain, pada tahun 2005 terdapat 750
perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang melakukan penghindaran
pajak dengan melaporkan rugi dalam kurun waktu 5 tahun berturut-turut
dan tidak membayar pajak (http://www.bappenas.go.id, diakses pada 15
November 2015). Selain itu, pada tahun 2012 ada 4.000 perusahaan PMA
yang melaporkan nihil nilai pajaknya dengan mengakui kerugian selama 7
tahun berturut-turut, perusahaan tersebut umumnya bergerak di sektor
manufaktur dan bahan baku
(http://pajak.go.id/kompleksitas-kepatuhan-pajak, diakses pada 15 November 2015). Sistem pemungutan pajak yang
dianut Indonesia saat ini dapat memberi celah bagi perusahaan untuk
melakukan tax avoidance. Sistem yang dianut oleh Indonesia adalah self
assesment system yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang (Halim, dkk, 2014: 7).
Dalam hal ini wajib pajak berhak dan wajib menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.
Pemerintah Indonesia telah membuat berbagai peraturan untuk
mencegah adanya tindakan tax avoidance. Salah satu peraturan tersebut
adalah peraturan Direktorat Jenderal Pajak No.PER-43/PJ/2010 yang
kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan
pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Brigham & Houston (2011: 153) menjelaskan bahwa perusahaan
membutuhkan modal untuk dapat tumbuh dan membiayai aktivitas
operasinya. Modal tersebut dapat diperoleh dalam bentuk utang atau
ekuitas. Pendanaan yang bersumber dari utang memiliki keunggulan yaitu
bunga yang dibayarkan atas utang dapat menjadi pengurang pajak,
sementara dividen yang dibayarkan atas saham bukan pengurang pajak.
Perbedaan perlakuan ini yang mendorong perusahaan untuk menggunakan
utang dalam struktur modalnya (Brigham & Houston, 2011: 180). Besarnya
utang yang dimiliki perusahaan untuk membiayai aktivitas operasinya dapat
dilihat dari rasio leverage (Darmawan dan Sukartha, 2014). Rasio leverage
dihitung dengan membandingkan besarnya utang terhadap modal saham
(debt to equity ratio/DER) (Kusumawati dan Irawati, 2013: 14). Darmawan
dan Sukartha (2014) menjelaskan bahwa utang perusahaan akan
menimbulkan beban bunga yang harus dibayar oleh perusahaan. Beban
bunga merupakan komponen pengurang laba sebelum pajak, sehingga
dengan adanya bunga utang, beban pajak yang dibayar perusahaan akan
berkurang. Hal ini dapat menjadi strategi perusahaan untuk meminimalkan
beban pajak yang dibayarnya dengan cara menerapkan praktik thin
capitalization, yaitu praktik membiayai cabang atau anak perusahaan lebih
besar dengan utang berbunga daripada dengan modal saham (Gunadi, 1994:
penghindaran pajak tersebut, Undang-Undang No.36 Tahun 2008 pasal 6
ayat (1) huruf a dan pasal 18 ayat (1) dan (3) mengatur bahwa beban bunga
yang dapat digunakan sebagai pengurang laba kena pajak adalah beban
bunga yang timbul dari pinjaman pihak ketiga/kreditur yang tidak memiliki
hubungan istimewa dengan perusahaan dan besarnya perbandingan utang
terhadap modal perusahaan ditentukan oleh menteri keuangan. Besarnya
perbandingan utang terhadap modal tersebut diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan No. 169/ PMK 0.10/2015 tentang Penentuan Besarnya
Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan
Penghitungan Pajak Penghasilan yaitu sebesar 4:1.
Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor:
Kep-117/M-MBU/2002 Tentang Penerapan Good Corporate Governance
pada BUMN pasal 2 ayat (1) mewajibkan BUMN menerapkan good
corporate governance secara konsisten dan atau menjadikan good
corporate governance sebagai landasan operasionalnya. Corporate
governance merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua
stakeholder (Desai & Dharmapala, 2007). Penerapan corporate governance
bertujuan untuk meminimumkan konflik keagenan (Darmawan dan
Sukartha, 2014). Konflik keagenan terjadi ketika tujuan yang ingin dicapai
oleh manajer (agent) tidak selaras dengan kepentingan pemilik saham
(principal). Pemilik menginginkan dividen yang maksimal atas dana yang
bersihnya ke dalam laba ditahan dan digunakan untuk aktivitas operasional
perusahaan. Keselarasan hubungan antara pemilik dan manajer akan
mempengaruhi kebijakan yang diambil perusahaan, termasuk kebijakan
perpajakannya. Perusahaan selalu menginginkan laba yang besar, namun
laba yang besar juga akan menimbulkan beban pajak yang besar. Beban
pajak yang besar akan menyebabkan perusahaan melakukan penghindaran
pajak dengan risiko yang kecil (Darmawan dan Sukartha, 2014). Peran
corporate governance diharapkan dapat mengendalikan akibat dari masalah
agensi tersebut terhadap penghindaran pajak (Desai & Dharmapala, 2006).
Perusahaan dengan kualitas corporate governance yang baik akan
menerapkan prinsip-prinsip corporate governance yang tercantum dalam
KepMen BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktik
corporate governance pada BUMN dalam bab II pasal 3 meliputi 5 (lima)
prinsip,yaitu transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
dan kewajaran. Kualitas corporate governance yang baik akan mendorong
manajemen untuk tidak bertindak agresif dalam mengelola beban pajak
agar dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan memaksimalkan
pengembalian kepada pemilik (Darmawan dan Sukartha, 2014).
Aktivitas tax avoidance bukan merupakan kebetulan, melainkan
hasil kebijakan perusahaan. Eksekutif merupakan individu pengambil
kebijakan perusahaan yang memiliki karakter berbeda-beda (Dryeng et al.,
2010). Karakter Eksekutif dibedakan menjadi dua yaitu risk taker dan risk
kecilnya risiko perusahaan (Budiman dan Setiyono, 2012). Semakin tinggi
risiko suatu perusahaan, maka eksekutif cenderung bersifat risk taker,
sedangkan semakin rendah risiko suatu perusahaan maka eksekutif
cenderung bersifat risk averse. Perusahaan dengan eksekutif yang bersifat
risk taker akan lebih berani mengambil keputusan walaupun keputusan
tersebut memiliki risiko yang tinggi, termasuk melakukan penghindaran
pajak dalam mengelola beban pajaknya.
Penelitian mengenai leverage, corporate governance, karakter
eksekutif, dan tax avoidance telah banyak dilakukan di Indonesia,
diantaranya Kurniasih dan Sari (2013); Prakosa (2014); Maharani dan
Suardana (2014); Darmawan dan Sukartha (2014); Dewi dan Jati (2014);
Puspita dan Harto (2014); dan Budiman dan Setiyono (2012).
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Penelitian
Kurniasih dan Sari (2013) menunjukkan hasil bahwa variabel leverage dan
corporate governance tidak berpengaruh signifikan terhadap Tax
Avoidance. Sedangkan, penelitian Prakosa (2014) menunjukkan bahwa
variabel komposisi dewan komisaris sebagai proksi corporate governance
berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Hasil yang berbeda juga
ditunjukkan oleh penelitian Maharani dan Suardana (2014) yang
menyatakan bahwa proporsi dewan komisaris independen, kualitas audit,
dan komite audit sebagai proksi corporate governance berpengaruh
signifikan terhadap tax avoidance, sedangkan kepemilikan institusional
eksekutif berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Variabel tersebut
tidak terdapat dalam penelitian kurniasih & sari (2013) maupun penelitian
Prakosa (2014). Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti kembali pengaruh
leverage, corporate governance, dan karakter eksekutif terhadap tax
avoidance dengan periode penelitian tahun 2009-2014 dan mengambil
judul “Tax Avoidance: Faktor-faktor yang Mempengaruhinya” (Studi
Empiris Perusahaan Nonperbankan Go Public yang Masuk Penilaian CGPI
Tahun 2009-2014)
Penelitian ini menggabungkan penelitian sebelumnya yaitu
Kurniasih dan Sari (2013), dengan Maharani dan Suardana (2014). Berbeda
dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini dilakukan pada perusahaan
Nonperbankan dan memiliki periode pengamatan 6 (Enam) tahun yaitu
tahun 2009-2014.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah Leverage berpengaruh terhadap Tax Avoidance?
2. Apakah Corporate Governance berpengaruh terhadap Tax Avoidance?
3. Apakah Karakter Eksekutif berpengaruh terhadap Tax Avoidance?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menguji pengaruh Leverage terhadap Tax Avoidance
2. Untuk menguji pengaruh Corporate Governance terhadap Tax
3. Untuk menguji pengaruh Karakter Eksekutif terhadap Tax Avoidance
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan tambahan informasi, wawasan, dan referensi di
lingkungan akademis serta bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
2. Manfaat Praktis
Memberikan masukan-masukan dan sumbangan pemikiran
mengenai tax avoidance bagi perusahaan nonperbankan yang masuk
penilaian Corporate Governance Perception Index (CGPI) dan sebagai
bahan referensi dalam tindakan pengambilan keputusan bagi pemilik
perusahaan, manajer, regulator, dan investor.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terbagi dalam bab-bab berikut ini:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bentuk ringkas dari keseluruhan isi penelitian dan
gambaran permasalahan yang diangkat. Berisi latar belakang masalah yang
menjelaskan mengenai alasan-alasan yang mendukung permasalahan dari
penelitian, rumusan masalah mengenai masalah-masalah yang nantinya akan
dicari jawabannya melalui pengujian, tujuan penelitian untuk mencari
menjelaskan hal-hal yang bermanfaat yang ingin diperoleh dengan
dilakukannya penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan dasar analisis dari penelitian yang akan menguraikan
teori-teori yang berkaitan dengan variabel penelitian. Berisi variabel
dependen, variabel independen, penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian sekarang, kerangka teori yang memberikan gambaran alur
hubungan variabel, dan hubungan antar variabel yang dijelaskan dalam
pengembangan hipotesis.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan langkah-langkah yang dilakukan untuk bisa
menjawab permasalahan penelitian secara sistematis, sehingga bab ini berisi
tentang jenis penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel, data dan
sumber data, metode pengumpulan data, definisi operasional dan
pengukuran variabel, dan metode analisis data.
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi statistik deskriptif, hasil analisis data dan pembahasan.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi simpulan dari hasil penelitian yang menjawab hipotesis
penelitian, keterbatasan penelitian, dan saran untuk pihak-pihak yang