• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Pasangan Usia Muda dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi di Dusun Krajan, Desa Regunung, Kec.Tengaran, Kab.Semarang T1 462012006 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Pasangan Usia Muda dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi di Dusun Krajan, Desa Regunung, Kec.Tengaran, Kab.Semarang T1 462012006 BAB IV"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

55 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Setting Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Regunung terletak di Kecamatan

Tengaran, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah

[image:1.516.84.443.170.541.2]

yang memiliki luas wilayah 365 Ha.

Gambar 10: Peta Desa Regunung (2015) Sumber: Data Balai Desa Regunung (2015)

Desa Regunung memiliki fasilitas penunjang di

bidang pendidikan yang terdiri dari 2 gedung sekolah

dasar (SD) dan 2 gedung Madrasah Ibtida’iyah (MI).

Selain itu, terdapat pula 1 fasilitas penunjang di bidang

kesehatan berupa puskesmas, dan 2 praktik bidan desa. Desa

(2)

Desa Regunung memiliki 7 Dusun di dalamnya.

Salah satunya yaitu dusun Krajan, yang memiliki

batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatas-batasan

dengan Desa Dlisem, sebelah selatan berbatasan

dengan Desa Sruwen, untuk sebelah timur berbatasan

dengan Dusun Gumuk Rejo dan sebelah barat

berbatasan dengan Dukuh Sepat.

Dusun Krajan sendiri, memiliki 2 RW dan 6 RT,

yang terdiri dari 179 kepala keluarga. Banyak

penduduknya adalah 688 jiwa, yang terdiri dari 343

laki-laki dan 345 perempuan. Sedangkan banyak pasangan

usia muda adalah 396 jiwa. Jumlah tersebut menjelaskan

bahwa di Dusun Krajan sebagian besar menikah di usia

muda.

4.1.2 Proses Penelitian

Pada penelitian ini, hal yang terlebih dahulu

peneliti lakukan adalah, memberikan penjelasan

mengenai maksud dan tujuan penelitian, serta memberi

kesempatan kepada partisipan untuk mengisi lembar

persetujuan menjadi partisipan atau informed consent.

Setelah itu, wawancara dilakukan secara mendalam

berdasarkan kesiapan dari partisipan sendiri, sehingga

(3)

tanpa ada hambatan. Proses tersebut, membutuhkan

waktu sekitar 30-45 menit untuk setiap partisipan. Lama

waktu yang dibutuhkan, tergantung pada kemampuan

partisipan untuk menjawab pertanyaan. Selama proses

wawancara, partisipan menggunakan bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa yang dapat dipahami dengan baik oleh

peneliti. Untuk mendokumentasikan suara, peneliti

menggunakan voice recorder pada handphone (HP),

sedangkan untuk mendokumentasikan gambar peneliti

menggunakan kamera HP.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Gambaran Partisipan

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan

kepada 4 orang partisipan di Dusun Krajan Desa

Regunung, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang

didapatkan beberapa informasi mengenai identitas

(4)
[image:4.516.87.448.103.537.2]

Tabel 1. Identitas Partisipan

Kode P1 P2 P3 P4

Inisial Ny. A Ny.B Ny.C Ny.D

Usia saat menikah (tahun)

Usia pasangan saat menikah (tahun) 17 20 18 22 16 21 16 20

Usia saat ini (tahun)

Usia pasangan saat ini (tahun) 22 25 23 27 22 27 24 28

Pendidikan SD SMP SMP SD

Keterangan:

P1 = Partisipan 1 P3= Partisipan 3 P2= Partisipan 2 P4= Partisipan 4 Sumber: Data Pribadi, 2016

Informasi mengenai partisipan secara lebih

mendalam, dapat diketahui melalui data berikut ini:

4.2.1.1 Partisipan 1

Partisipan 1 bernama Ny.A, yang

merupakan seorang ibu rumah tangga, dengan

kegiatan sehari-hari berjualan makanan di depan

rumahnya. Sedangkan suami Ny.A bekerja

sebagai distributor makanan ringan. Ny.A

(5)

dan menggunakan kontrasepsi setelah kelahiran

anak pertama. Namun, selama menggunakan

kontrasepsi, Ny.A mengeluhkan adanya

kegagalan kontrasepsi, sehingga terjadi

kehamilan di luar kesiapan. Selain hal tersebut,

Ny.A juga mengalami masalah terkait efek

samping selama menggunakan alat kontrasepsi.

4.2.1.2 Partisipan 2

Ny.B adalah partisipan ke 2. Beliau

menikah di usia 18 tahun dan menjadi seorang

ibu rumah tangga. Suami Ny.B bekerja sebagai

buruh. Setelah memiliki seorang putra, Ny.B

memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi.

Selama pemakaian kontrasepsi tersebut, Ny.B

merasakan beberapa efek samping dari

kontrasepsi yang digunakan.

4.2.1.3 Partisipan 3

Partisipan ke 3 bernama Ny.C.

Partisipan bekerja sebagai karyawati pabrik

tekstil sedangkan suaminya seorang sopir.. Ny.

C menikah di usia 16 tahun. Setelah menikah

dan memiliki anak, Ny.C memutuskan untuk

(6)

beberapa waktu dari pemakaian kontrasepsi,

terjadi kegagalan dalam kontrasepsi, sehingga

terjadi kehamilan. Ny.C juga mengalami

beberapa efek samping terkait penggunaan

kontrasepsi.

4.2.1.4 Partisipan 4

Partisipan ke 4 bernama Ny.D.

Partisipan merupakan seorang ibu rumah tangga

yang menikah di usia 16 tahun. Suami Ny.D

bekerja sebagai montir sepeda motor. Setelah

melahirkan anak pertamanya, Ny.D juga

memutuskan untuk segera menggunakan alat

kontrasepsi. Pengalaman selama menggunakan

alat kontrasepsi adalah merasakan adanya efek

samping dari kontrasepsi yang digunakan.

Beberapa masalah terkait kontrasepsi

yang digunakan oleh partisipan, akan peneliti

jelaskan melalui analisa data.

4.2.2 Analisa Data

Berdasarkan penelitian ini ditemukan 24 subtema.

Namun, setelah dipertimbangkan oleh peneliti demi

mempermudah analisis data dalam pembahasan tema, maka

(7)

diantaranya: 1). pengertian pernikahan dini 2). keluarga

berencana 3). pengalaman pemakaian kontrasepsi Berikut

adalah hasil penelitian yang didapat oleh peneliti:

4.2.2.1 Pengertian Pernikahan Dini

Pada penelitian ini peneliti menemukan

kesamaan pemahaman mengenai definisi pernikahan

dini oleh partisipan. Hal tersebut dapat dilihat melalui

ungkapan mereka berikut ini:

“Apa ya mbak, mungkin menikah di usia yang masih muda, kayak misalnya di bawah umur 17 tahun mungkin, soale kan belum dapat KTP juga, nikah kan harus punya KTP” (P1, 14-18)

“Penikahan diusia yang masih muda, biasanya dibawah usia 17 tahun, pokoknya dimasa seharusnya masih sekolah” (P2, 14-17)

“…..mungkin dibawah usia 17 tahun, batasnya kalau belum dapat ktp” (P3, 16-17)

“….pernikahan usia muda itu menikah di bawah usia 17 tahun, jadi kayak saya dulu kan sampai harus menuakan umur jadi 17 tahun biar bisa menikah,..” (P4, 17-19)

Sebagaimana yang telah diungkapkan

partisipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

pernikahan usia muda adalah pernikahan yang

dilakukan diusia kurang dari 17 tahun, di masa

pendidikan, dan belum memiliki KTP. Anggapan

(8)

yang belum memiliki KTP belum diijinkan untuk

menikah.

Terkait pernikahan usia muda, partisipan (Ny.B,

Ny.C dan Ny.D) juga menambahkan bahwa pernikahan

sendiri sebenarnya memiliki beberapa kriteria ideal

didalamnya. Hal tersebut dapat kita perhatikan melalui

ungkapan mereka berikut ini:

“Kalau sekarang ya minimal sekitar umur 20 kalau cewek jadi seandainya terjadi kehamilan organ tubuh sudah siap, kalau cowok ya 22 tahun soalnya sudah dewasa pemikirannya, atau minimal udah lulus SMA lah, sudah kerja semuanya jadi nanti kalau ada kebutuhan dalam rumah tangga udah siap” (P2, 20-29).

“……Cuman nek jaman saiki sih pantese ya nek cewek minimal ya 20 tahun, cowok umur 22 lah, pokoke pantese nek wis do iso kerja kabeh, dadi nek berumah tangga ora kaget nek akeh kebutuhan, gek juga pemikirane wis mateng,

fisike yo wis siap” (Cuma kalau jaman sekarang sih pantasnya ya kalau cewek minimal ya 20 tahun, cowok umur 22 lah, pokoknya pantasnya kalau sudah bisa kerja semua, jadi kalau berumah tangga tidak terkejut kalau banyak kebutuhan, dan juga pemikirannya sudah matang, fisiknya juga sudah siap)(P3, 26-35). “……Cewek menikah minimal usia 20 tahun, cowok minimal umur 22 tahun, sebenere kalau tak pikir-pikir bener hlo mbak pemerintah ki, umur segitu kan ibarate sudah matang jadi kalau berumah tangga sudah ada kesiapan secara ekonomi, fisik, psikologi” (Ny.D, 28-36).

Berdasarkan ungkapan partisipan tersebut

terdapat anggapan bahwa pernikahan yang ideal untuk

(9)

sudah siapnya organ reproduksi wanita dalam

menghadapi kehamilan. Sedangkan untuk laki-laki

adalah pada usia 22 tahun, dimana diharapkan telah

memiliki kesiapan secara materi, fisik, dan psikologis

untuk menghadapi kehidupan berumah tangga.

Namun pada kenyataanya, pasangan usia

muda memutuskan untuk menikah di usia muda karena

beberapa alasan yang mendasar. Hal tersebut

dijelaskan partisipan melalui ungkapan berikut ini:

“….soalnya jodohnya juga dah datang, yang milih kita juga, masak mau ditolak kan nggak bisa, orang tua juga sudah memberi restu untuk menikah, calone juga dah kerja,..” (P1, 39-43) “…Sama-sama sudah bekerja, sama-sama suka ya akhirnya memutuskan menikah, toh juga udah nggak sekolah mbak...” (P2, 38-41).

“…Lah meh piye meneh wong seneng, mbekna jodone ya wis teko mosok dadak arep ngenteni suwe-suwe, mas X juga wis kerja,…” (Lah mau gimana lagi wong senang, toh jodohnya juga sudah datang masak harus nunggu lama-lama, mas X juga sudah kerja) (P3, 39-43).

“…Ya untungnya saja suami tetap pilihan hati kita sendiri, orang tua mendukung, suami mau kerja…” (P4, 49-52).

Berdasarkan pernyataan partisipan tersebut,

dapat dinyatakan bahwa faktor yang mendominasi

seseorang untuk melangsungkan pernikahan di usia

(10)

kesiapan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup

berumah tangga, keterbatasan pendidikan, serta

dukungan orang tua untuk melangsungkan pernikahan.

Selain faktor yang mendominasi partisipan

dalam melangsungkan pernikahan usia muda tersebut,

partisipan juga mengungkapkan beberapa hal terkait

keuntungan dan kerugian dalam pernikahan usia muda,

baik secara pemikiran maupun pengalaman yang

mereka rasakan. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui

uraian berikut ini:

a. Keuntungan Menikah Dini

Beberapa hal yang telah diungkapkan

partisipan mengenai pernikahan usia muda, salah

satunya adalah keuntungan menikah dini. Hal tersebut

dapat dijelaskan partisipan melalui ungkapan mereka

berikut ini:

“…Anaknya udah gede kitanya masih muda masih bisa bekerja, juga pacaran lama-lama kan kurang bagus takute nek di gosipin tetangga kan nggak bagus,”(P1, 55-59).

“Ya, mengurangi dosa, daripada pacaran lama-lama nanti malah nambah dosa, hehehe” (P2, 50 -52)

“Keuntungane ya saiki bathi anak loro hehehe,

Ya nek nikah muda ki hemat umur dadi nak anake

(11)

(Keuntungannya ya sekarang untung 2 anak hehehe, Ya kalau nikah muda itu hemat usia jadi kalau anaknya mau sekolah lebih tinggi aku masih bisa kerja…)(P3, 52-56)

“…misal anak mau sekolah tinggi, kita bisa mengupayakan,..” (P4, 59-61)

Pernyataan partisipan tersebut, dapat

menjelaskan bahwa keuntungan dari pernikahan usia

muda adalah dapat terhindar dari persepsi negatif orang

lain mengenai hubungan cinta kasih sebelum

pernikahan, sehingga dapat terhindar dari perbuatan

dosa. Partisipan menambahkan bahwa memiliki buah

hati juga menjadi sebuah keuntungan, sehingga

memunculkan harapan partisipan untuk dapat bekerja di

usia yang masih produktif ketika buah hati mereka

menginjak pendidikan yang lebih tinggi.

b. Kerugian Menikah Dini

Selain memiliki keuntungan, pernikahan usia

muda juga memiliki beberapa kerugian. Hal tersebut

diungkapkan oleh partisipan berikut ini:

“…Pikiran masih kaya anak kecil juga susah, kasihan yang laki. Kan banyak juga yang menikah usia muda akhirnya cerai,…” (P1, 61-65)

“…Ora piker panjang terus nikah muda, giliran

kerja malah kepincut lanangan liya, akhire rumah

(12)

laki-laki lain, akhirnya rumah tangganya kan rusak) (P3, 58-62)

“Ya kerugiannya, usia muda itu kan usia yang masih belum dewasa, jadi pikiran belum matang, misal ada perkara rumah tangga kan seharusnya kita sebagai suami istri dapat menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah, tapi kalau pikirannya belum dewasa bukannya musyawarah malah ngambek, itukan salah mbak, masalah tidak selesai malah tambah masalah(P4, 66-78).

Berdasarkan ungkapan partisipan tersebut

mengenai kerugian pernikahan usia muda adalah

adanya resiko keretakan rumah tangga yang mungkin

dapat terjadi akibat ketidaksiapan secara psikologis

dalam menyikapi masalah yang terjadi dalam kehidupan

rumah tangga. Hal tersebut diketahui partisipan

berdasarkan permasalahan yang muncul dari pasangan

muda lainnya yang mengalami keretakan rumah tangga,

sedangkan dalam kehidupan mereka, permasalahan

yang terjadi dapat disiasati dengan baik.

4.2.2.2 Keluarga Berencana

Selain keputusan partisipan untuk

melangsungkan pernikahan usia muda, setelah

kelahiran anak pertama, mereka juga memutuskan

untuk mengikuti program keluarga berencana. Hal

tersebut dijelaskan partisipan melalui ungkapan mereka

(13)

“Ya, tujuan dari KB kan untuk menunda kehamilan…” (P1, 91-92).

“Pakai KB mbak biar nggak hamil lagi” (Ny.B, 73 -74)

“…Untuk menunda kehamilan…” (P2, 82)

“…Untuk mencegah terjadinya kehamilan” (P4, 107).

Melalui pernyataan partisipan tersebut,

berdasar pada persepsi mereka, dapat dijelaskan

bahwa tujuan dari program keluarga berencana adalah

menunda kehamilan.

Upaya partisipan untuk menunda kehamilan

tidak lepas dari beberapa alasan yang mendasarinya.

Alasan tersebut dijelaskan partisipan melalui ungkapan

mereka berikut ini:

“Ya, enggak ada biaya kalau pengen punya anak lagi, pengennya cukup punya dua anak saja, sebisanya disekolahkan sampai tinggi, biar tidak seperti orang tuanya” (P1, 78-83)

“Nggak mbak, sudah cukup 2 saja, anjurannya kan 2 anak cukup, kebutuhane juga banyak mbak, sudah cukup 2 saja yang penting sekolah” (P2, 65-69)

“Ora dik, wis loro iki tok wae, butuhe we wis akih, le nukoke susu, le nukokke promina. Sing

penting iso nyekolahke wae aku wis seneng”

(14)

“Haduh, jangan dululah, dua anak ini saja sudah cukup, asal bisa sekolah aja udah seneng (P4, 85-87)

“…Soalnya kebutuhane sudah banyak buat dua anak ini, hehehe” (P4, 91-93).

Keputusan partisipan untuk menunda

kehamilan selanjutnya adalah karena ada banyaknya

kebutuhan ekonomi yang mereka rasakan saat ini,

sehingga melalui program keluarga berencana mereka

berharap dapat meningkatkan kesejahteraan anak yang

mereka miliki dengan meningkatan taraf pendidikan

anak agar lebih tinggi dari pendidikan orang tuanya.

Selain itu program pemerintah yang menganjurkan

untuk cukup memiliki 2 anak saja juga menjadi

pertimbangan tersendiri bagi partisipan.

a. Jenis Kontrasepsi 1. Pil KB

Berdasarkan beberapa jenis kontrasepsi yang

telah diketahui oleh partisipan, salah satu diantaranya

adalah pil KB. Adapun pengetahuan partisipan terkait pil

KB sesuai dengan ungkapan mereka berikut ini:

“Belum pernah pake kok, cuma kalo minumnya setiap malam, sama pas mau itu saja,…” (P1, 181 -183)

(15)

“Ya nek ngepil ki kudu diombe pendak dina, apa nek arep berhubungan…” (Ya kalau pil itu harus diminum setiap hari, atau kalau mau berhubungan…) (Ny.C, 183-185)

“Apa ya, saya belum pernah pakai, kayaknya harus diminum setiap hari atau ketika mau bekerja saja” (Ny.D, 208-211)

Berdasarkan persepsi partisipan tersebut, pil

KB merupakan pil yang harus dikonsumsi setiap hari

atau ketika hendak berhubungan seks yang berfungsi

untuk menunda kehamilan.

Salah satunya pengguna pil KB adalah P3

dengan permasalahan kegagalan kontrasepsi yang

diakibatkan oleh kealpaan mengonsumsi pil, hal

tersebut dapat terjadi karena partisipan hanya

mengonsumsi pil saat akan berhubungan saja,

sehingga terjadi kehamilan tanpa direncanakan. Adapun

ungkapan partisipan mengenai permasalahan diatas

adalah sebagai berikut.

“Hla soale pas kuwi aku lali ora ngombe, soale

kadang aku ngombe mung nek arep kuwi tok,

ndilalah ora ngombe akhire ya kebobolan” (Hla soalnya waktu itu aku lupa tidak minum, soalnya kadang aku minum cuma kalau mau itu saja) (P3, 356-360)

Setelah mengalami kegagalan kontrasepsi P3

(16)

beralih menggunakan suntik KB, agar terhindar dari

kealpaan mengonsumsi pil.

2. Suntik KB

Selain pil KB, terdapat suntik KB yang telah

dikenal cukup baik oleh partisipan sebagai alat

kontraepsi yang dapat menunda kehamilan. Berikut

adalah ungkapan partisipan mengenai suntik KB:

“Kalau suntik ya disuntikkan ke bokong, suntik itu ada yang tiga bulan, sama ada yang satu bulan, tapi kebanyakan pakainya yang tiga bulan,…” (P1, 149-153)

“Suntik itu ada yang 3 bulan, sama yang 1 bulan sekali kalau bedanya apa saya kurang tahu, mungkin beda dosis obatnya, kalau yang tiga bulan sekali lebih banyak, yang satu bulan sekali lebih sedikit, tapi itu cuma menurutku saja hlo” (P2, 100-107)

“Nek suntik biasa disuntikke ning bokong

jenenge opo mbuh aku ra reti, enek sing tiga bulan sekali, enek sing satu bulan sekali, kebanyakan do nganggo sing tiga bulan sekali,

soale luwih ngirit” (Kalau suntik biasa disuntikkann ke pantat, namanya apa saya tidak tahu, ada yang tiga bulan sekali, ada yang satu bulan sekali, kebanyakan memakai yang tiga bulan sekali, soalnya lebih hemat) (P3, 220-226) “Suntik ya disuntikkan ke bokong, suntik itu ada yang satu bulan ada yang tiga bulan sekali, cuman aku nggak tahu apa bedanya yang satu bulan sama yang tiga bulan, mungkin dosise beda, yang tiga bulan lebih banyak dari yang satu bulan” (P4, 175-182)

Berdasarkan persepsi partisipan tersebut,

(17)

yang diberikan melalui suntikan pada pantat dengan

kandungan dosis tertentu dan diberikan dalam rentang

waktu 1 bulan atau 3 bulan sekali dengan tujuan

menunda kehamilan. Seluruh partisipan pernah

menggunakan suntik KB dan cenderung memilih suntik 3

bulan sekali dibandingkan suntik 1 bulan sekali dengan

alasan lebih ekonomis.

Permasalahan yang terjadi diantara partisipan

adalah tidak mendapatkan menstruasi. Hal tersebut

diketahui partisipan sebagai akibat dari kandungan obat

suntik KB dalam tubuh. Berikut adalah ungkapan

partisipan mengenai hal tersebut.

“nggak pernah mens tadi nggak dapat mens nya itu selama aku pakai suntik lo, jadi udah 2 tahun nggak dapet mens, tapi ya itu tadi mungkin setiap orang beda-beda efeknya” (P1, 333-338)

“Itu tadi selama pakai suntik 3 bulan sekali selama 4 tahun ki saya tidak menstruasi mungkin efek sampinge seperti itu,..” (P4, 325-328)

Setelah mengalami permasalahan tersebut, P1

mendapat saran dari bidan untuk mengganti suntik KB 3

bulan sekali menjadi 1 bulan sekali, namun karena P1

menganggap suntik KB 1 bulan sekali terlalu sering

sehingga beesiko menimbulkan kealpaan, P1

(18)

bulan sekali. Berikut adalah ungkapan partisipan

mengenai hal tersebut.

“Masih tetep yang tiga bulan sekali aja, soale waktu itu obate nggak ada waktu mau pindah ke yang satu bulan” (Ny.A, 359-362)

Kan untuk menunda kehamilan kalau suntik 3 bulan kan telat satu minggu kan nggak apa-apa nggak bikin hamil beda sama pil, kalau pil kan nggak minum pas itu bikin hamil” (Ny.A, 305-309) “Tetep yang tiga bulan, kan nggak mesti kalau yang satu bulan kan ntar lupa tanggale,…” (Ny.A, 366-368)

Selain P1, P4 juga mengalami permasalahan

yang sama, P4 juga mendapat saran dari bidan untuk

mengganti kontrasepsi suntik KB menjadi implan. Hal

tersebut dijelaskan P4 melalui ungkapan berikut ini.

“Sama bidan disuruh ganti ke implan tadi, tapi malah sama saja” (P4, 337-338)

Setelah mendapat saran dari bidan, P4

memutuskan untuk menggunakan implan, namun

permasalahan yang terjadi masih sama, yaitu tidak

mendapat menstruasi. Melihat hal tersebut, P4 memiliki

rencana untuk mengganti kontrasepsi implan menjadi pil

KB. Rencana P4 tersebut didasarkan pada saran dari

orang lain. Berikut adalah hal yang diungkapkan P4

berdasarkan hal tersebut.

(19)

pemerintah memberikan pil KB dan kondom gratis jatuh enek gene pak X, tapi ya dihabiskan dulu implane” (P4, 366-372)

Sehingga setelah habis masa pemakaian

Implan, P4 akan menggunakan pil KB sebagai

kontrasepsi dengan harapan dapat mengalami

menstruasi.

3. Implan

Implan merupakan kontrasepsi penunda

kehamilan yang dipasang pada lengan. Hal tersebut

sesuai dengan ungkapan partisipan berikut ini.

“Nggak terlalu tahu sih, cuma kalo implan itu kayak jarum ada berapa gitu lupa, terus bagian lengannya di bedah sedikit, terus jarume dimasukkan kesitu terus dijahit” (P1, 109-113) “Implan itu bentuknya jarum terus dimasukkan ke lengan, biar nggak hamil,…” (P2, 144-146)

“Implan ki tusuk jarum tha, nek jarene sih di

pasang ning lengen, di buka sik terus dilebokke jarume mbuh piro sing dilebokke aku ra reti,

terus dijahit,…” (implan itu tusuk jarum kan, kalau katanya sih dipasang di lengan, dibuka sedikit terus dimasukkan jarumnya entah berapa yang dimasukkan aku tidak tahu, terus

dijahit…)(P3, 148-153)

“Jarum terus dimasukkan ke dalam lengan, kayake ada 2 jarum” (P4, 226-228)

Berdasarkan persepsi partisipan tersebut,

(20)

berisi obat yang dipasang pada daerah lengan melalui

pembedahan kecil yang kemudian di jahit kembali.

Meskipun implan dikenal cukup baik sebagai

kontrasepsi jangka panjang, namun tidak dapat

dipungkiri bahwa implan tetap memiliki kekurangan.

Beberapa partisipan mempertimbangkan untuk

menggunakan implan, setelah mengetahui

permasalahan yang terjadi pada pengguna implan,

melalui cerita orang lain. Hal tersebut dijelaskan melalui

ungkapan partisipan berikut ini.

“…cuma ya yang saya denger-denger bisa geser jarumnya kalau aktifitas berlebihan, tapi itu cuma katanya aja” (P2, 151-155)

“…resiko pindah-pindah kwi mau nek gaweane abot, dadi nek pasang implan menurutku ojo kerja sing abot-abot” (…resiko pindah-pindah itu tadi kalau pekerjaannya berat, jadi kalau pasang implan menurutku jangan kerja yang berat-berat) (P3, 171-175)

Sesuai dengan ungkapan pertisipan diatas,

beberapa kekurangan implan sebagai kontrasepsi yaitu

adanya resiko implan akan berpindah posisi dari

tempatnya, akibat aktifitas yang terlalu berat.

(21)

IUD merupakan kontrasepsi berbentuk huruf T

yang di pasang pada rahim. Hal tersebut dijelaskan

partisipan melalui ungkapan mereka berikut ini.

“IUD itu sama bidan disuruh tiduran terus dipasangnya di punyanya wanita,…” (P1, 215 -217)

“Kalau aku denger-denger saja ya, IUD itu dimasukkan ke dalam rahim wanita, bentuknya kalau tidak salah T,…” (P2, 126-129)

Opo yo, nek IUD jarene bentuke T dipasang ning

rahime,…” (Apa ya, kalau IUD katanya berbentuk T dipasang di rahimnya,..) (Ny.C, 116-118)

“Kata orang-orang sih bentuknya T dimasukin ke rahim,…” (Ny.D, 143-144)

Melalui ungkapan partisipan tersebut dapat

disimpulkan bahwa IUD merupakan kontrasepsi

berbentuk T yang dimasukkan ke dalam rahim.

Kekurangan IUD sebagai kontrasepsi

diantaranya adalah kekhawatiran partisipan terhadap

prosedur pemasangan IUD serta resiko infeksi. Hal

tersebut sesuai dengan ungkapan partisipan berikut.

“Kalau aku pribadi sih, takut sama IUD, baru bayanginnya aja udah takut, malu juga soalnya pemasangannya kan di vagina wanita, yah walaupun pas nglairke juga kelihatan vaginanya, cuma rasanya beda aja, ada beberapa kasus juga soal IUD kan,…” (P2, 133-142)

“… walaupun IUD iso jangka waktu suwe, tapi

tetep wae medeni, jeneng barang ko ngunu dilebokke ning rahim kan ngeri tapi menurutku

(22)

Melalui ungkapan diatas, adapun kekurangan

yang dipersepsikan partisipan mengenai IUD yaitu,

kekhawatiran terhadap prosedur pemasangan, karena

merasa alat yang terpasang pada rahim akan melukai

organ reproduksi wanita maupun mengganggu

hubungan seksual.

5. Kondom

Salah satu kontrasepsi non hormonal yang

sudah cukup dikenal oleh partisipan adalah kondom.

Sebagaimana dijelaskan mereka melalui ungkapan

mereka mengenai kondom.

“…cuma katanya barange kayak plendungan, terus dipasang ke itunya laki-laki kalau pas lagi mau berhubungan,..” (P1, 254-257)

”Saya tahunya ya kondom itu ada yang berbentuk gerigi atau apalah, terus ada yang beraroma, kayak plendunganlah katane, tapi aku belum pernah lihat secara langsung” (P2, 159 -164)

“Nek kondom ki enek macem-macem jenise, enek sing bergerigi koyok nek iklan kae, enek sing aromane, dipasange nek meh berhubungan, dipasang gene wong lanang, nek pas tegang” (kalau kondom ada bermacam-macam jenisnya, ada yang bergerigi kayak di iklan itu, ada yang beraroma, dipasang kalau mau berhubungan, dipasang di punyanya laki-laki, kalau pas tegang) (P3, 240-246)

(23)

Berdasarkan persepsi partisipan diatas

mengenai kondom, dapat disimpulkan bahwa kondom

merupakan kontrasepsi yang dipasang pada organ intim

pria yang ereksi (tegang) saat berhubungan seksual

dimana kondom memiliki berbagai tipe, seperti kondom

berkontur dan kondom beraroma.

Kondom juga memiliki kekurangan

sebagaimana kontrasepsi yang lain bagi penggunanya.

Beberapa kekurangan kondom disampaikan oleh

partisipan melalui ungkapan mereka.

“…mung rada ribet wae kudu enek pas lagi

berhubungan, biasane juga nggak terlalu nyaman, terus nek kondome bolong marai hamil

juga tho” (…Cuma agak ribet aja harus ada pas lagi berhubungan, biasanya juga nggak terlalu nyaman, terus kalau kondomnya berlubang bisa hamil juga kan) (P3, 250-255)

“Soalnya menurut saya, kondom itu harus selalu ada ketika mau bekerja, untuk kita yang berumah tangga kan kita butuh yang pasti yang bisa buat jangka panjang, kalau kondom kan sekali pakai, sekali buang, hlah kalau misal pas kita butuh, kondomnya nggak ada, kan malah bahaya kita” (P4, 127-136)

Berdasarkan persepsi partisipan tersebut,

beberapa kekurangan kondom sebagai kontrasepsi

diantaranya: bukan merupakan kontrasepsi jangka

(24)

berhubungan suami istri, resiko ketidakefektifitasan

kondom akibat kesalahan dalam penggunaan.

6. Tubektomi dan Vasektomi

Berdasarkan hasil yang didapat peneliti

mengenai tubektomi (pengikatan dan pemotongan

saluran telur pada wanita) dan vasektomi pengikatan

dan pemotongan saluran benih agar sperma tidak

keluar pada laki-laki) partisipan mengungkapkan

ketidaktahuan mereka mengenai prosedur kontrasepsi

tetap tersebut. Sebagaimana telah disampaikan oleh

partisipan melalui ungkapan mereka.

“Apa itu? nggak tau mbak” (P1, 490)

”Sama sekali nggak tahu aku, dan nggak pernah dengar” (P1, 500-501)

“Nggak pernah denger mbak, nggak tahu apa itu” (P2, 291-292)

“Malah baru dengar dik” (P3, 453) “Nggak pernah dengar mbak” (P4, 373)

Berdasarkan hasil penelitian, tubektomi dan

(25)

4.3 Pembahasan

Untuk menjawab tujuan penelitian terkait dengan

karakteristik, persepsi, dan gangguan pasangan usia muda

dalam penggunaan alat kontrasepsi di Dusun Krajan, Desa

Regunung, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, maka

setelah peneliti menganalisa hasil penelitian, peneliti akan

menggunakan teori-teori dan penelitian terdahulu untuk

menguraikan hasil penelitian.

a. Karakteristik Partisipan di Dusun Krajan, Desa Regunung

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat peneliti,

partisipan mengungkapkan bahwa pernikahan muda adalah

pernikahan yang dilakukan dibawah usia 17 tahun, belum

memiliki KTP dan masih dalam usia sekolah. Peneliti

berasumsi bahwa pernikahan usia muda adalah pernikahan

yang dilakukan dibawah ketentuan usia yang dianjurkan

oleh pemerintah. Sebagaimana yang di jelaskan dalam

Pasal 7 UU No. 1/1974 tentang perkawinan, bahwa usia

minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk

wanita dan 19 tahun untuk pria. Namun, selama pasangan

tersebut belum mencapai usia 21 tahun maka harus

mendapatkan izin orang tua untuk menikah. Hal tersebut

(26)

1/1974 bahwa setelah pasangan berusia di atas 21 tahun,

boleh menikah tanpa izin dari orang tua. Sehingga, berdasar

pada UU perkawinan, batasan penikahan usia muda adalah

dibawah usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk

laki-laki. Sedangkan, Pasal 6 ayat 2 memberikan arti bahwa

meskipun wanita diatas 16 tahun dan laki-laki diatas 19

tahun bukan anak-anak lagi, tetapi belum dianggap dewasa

penuh. Sehingga pernikahan harus dilakukan melalui izin

dan pertimbangan dari orang tua.

Partisipan mengungkapkan bahwa sebenarnya ada

usia ideal dalam suatu pernikahan, yaitu usia 20 tahun untuk

wanita dengan harapan siapnya organ reproduksi wanita

dalam menghadapi kehamilan, dan 22 tahun untuk laki-laki

dengan harapan adanya kesiapan materi, fisik, dan

psikologis dalam membina rumah tangga. Sebagaimana

yang diungkapkan oleh BKKBN (2010), bahwa usia

pernikahan yang dianjurkan untuk wanita adalah 20 tahun

dan untuk pria 25 tahun. Hal tersebut dikarenakan wanita

yang menikah dibawah usia 20 tahun belum memiliki organ

reproduksi yang siap untuk menghadapi kehamilan, serta

memiliki resiko dapat terkena kanker leher rahim karena

pada usia remaja sel-sel leher rahim belum matang, maka

(27)

akan menyimpang menjadi kanker. Sedangkan pria yang

menikah dibawah usia 25 tahun dianggap belum dewasa

penuh baik dalam hal kesiapan biologis, psikologis dan

sosial ekonomi dalam menghadapi hidup berumah tangga.

Sehingga akan lebih baik apabila pernikahan dilakukan pada

usia 20 tahun keatas untuk wanita dengan pertimbangan

kesehatan dan 25 tahun untuk laki-laki dengan harapan

kehidupan berumah tangga akan lebih terjamin baik secara

fisik, psikologis, maupun ekonomi.

Pengetahuan mereka tentang batasan usia

menikah, ternyata tidak menjadi pertimbangan mereka

dalam mengambil keputusan, sehingga tetap

melangsungkan pernikahan diusia muda. Hal tersebut

karena adanya suatu faktor yang mendasari. Faktor yang

dimaksud adalah keterbatasan ekonomi keluarga. Peneliti

berasumsi bahwa keterbatasan ekonomi dalam keluarga,

menghambat keinginan partisipan untuk menempuh

pendidikan yang lebih tinggi sehingga partisipan memiliki

tingkat pendidikan yang kurang. Keterbatasan ekonomi pula

mendorong orang tua menyegerakan partisipan untuk

bekerja atau menikah dengan seseorang yang telah memiliki

pekerjaan, sekedar untuk membantu ekonomi keluarga

(28)

memberi nafkah. Hal tersebut di jelaskan oleh Maimun

dalam Priyanti (2013) bahwa faktor yang yang

mempengaruhi perkawinan usia muda, salah satunya

adalah faktor ekonomi keluarga. Sehingga orangtua

menyegerakan anaknya untuk melangsungkan pernikahan,

sekedar untuk mengurangi beban ekonomi keluarga,

maupun ketidakmampuan keluarga untuk memberikan

kesempatan pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut juga

di dukung oleh penjelasan Sekarningrum dalam Priyanti

(2013) bahwa tingkat pendidikan yang rendah atau tidak

melanjutkan sekolah lagi, bagi seorang wanita dapat

mendorong untuk cepat-cepat menikah dan memiliki anak.

Hal tersebut terjadi karena mereka tidak mengetahui seluk

beluk pernikahan sehingga cenderung memutuskan untuk

cepat berkeluarga. Selain itu, kurangnya pengetahuan orang

tua, turut mendorong keinginan seseorang untuk

melangsungkan pernikahan di usia muda, karena

masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah akan

cenderung untuk mengawinkan anaknya di usia yang masih

muda. Penjelasan tersebut menjadi hal yang mendasari

keinginan partisipan untuk menikah di usia muda dan

menyegerakan untuk memiliki momongan. Melalui observasi

(29)

partisipan maupun pasangan memutuskan untuk tetap

tinggal dengan orang tua partisipan (pihak wanita) dengan

asumsi peneliti bahwa baik orang tua, partisipan, maupun

pasangan memiliki harapan untuk dapat saling memenuhi

kebutuhan rumah tangga, meskipun ada beberapa diantara

partisipan yang mengandalkan pasangan dalam memenuhi

kehidupan rumah tangga.

Selain faktor ekonomi, hal lain yang turut mendorong

terjadinya pernikahan usia muda adalah rasa cinta kasih

antar pasangan yang diwujudkan dalam ikatan kekasih.

Namun tidak semua lingkungan masyarakat dapat

memberikan tanggapan positif mengenai hubungan cinta

kasih sebelum pernikahan, sehingga memunculkan

keinginan partisipan agar dapat terhindar dari persepsi

negatif masyarakat. Demi menghindari hal tersebut maka

partisipan memutuskan untuk menikah, tanpa

memperhatikan usia maupun kesiapan mereka. Hal tersebut

didukung oleh penelitian Fitra dalam Astuty (2013) bahwa

sebagian pasangan muda memiliki pandangan untuk segera

melangsungkan pernikahan agar dapat terhindar dari

perbuatan dosa sebelum menikah, namun tanpa didasari

pengetahuan mengenai akibat menikah di usia muda.

(30)

tangga mungkin saja dapat terjadi akibat belum siapnya

psikologis dalam menghadapi permasalahan kehidupan

rumah tangga. Meskipun demikian, beberapa partisipan

yang mengungkapkan alasan tersebut untuk menyegerakan

pernikahan, tidak mengalami keretakan rumah tangga yang

berakhir pada perceraian. Hal tersebut menjelaskan bahwa

seiring berjalannya waktu, partisipan dan pasangannya

mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam

kehidupan berumah tangga.

b. Persepsi Pasangan Usia Muda dan Gangguan dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi

1. Pil KB

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, partisipan

hanya mengonsumsi pil KB ketika akan berhubungan

seks saja. Hal tersebut karena partisipan malas

mengonsumsi pil setiap hari seperti anjuran bidan.

Terdapatnya budaya malas mengonsumsi pil setiap hari,

juga di dukung oleh pengalaman orang lain yang hanya

mengonsumsi pil KB ketika akan berhubungan saja, dan

tidak mengalami kegagalan kontrasepsi, sehingga

partisipan beranggapan bahwa tidak mengonsumsi pil

(31)

Permasalahan yang terjadi pada salah satu

partisipan pengguna pil KB adalah kegagalan

kontrasepsi. Hal tersebut dapat terjadi, karena partisipan

tidak mengonsumsi pil KB secara rutin dan hanya

mengonsumsi ketika akan berhubungan seks saja.

Partisipan mengakui bahwa, ketika akan berhubungan

seks, lupa mengonsumsi pil KB sehingga terjadi

kehamilan.

Persepsi dan kebiasaan partisipan dalam

mengonsumsi pil KB tersebut, dapat dijelaskan dalam

teori Irianto (2014), bahwa Pil KB mengandung hormon

estrogen dan progesteron yang sudah diatur sedemikian

rupa, untuk menekan ovulasi, sehingga tidak akan terjadi

kehamilan. Dosis yang dimasukkan dalam pil KB

tergolong dosis rendah, yaitu berkisar 0,05; 0,08; dan 0,1

mg estrogen pertablet, sedangkan progesteron

bervariasi, tergantung pada pembuatnya. Pil KB

dimetabolisir atau diproses dalam tubuh hanya dalam

waktu 24 jam, sehingga pil harus dikonsumsi setiap hari

dan dalam jam yang sama, untuk menghindari kealpaan

mengonsumsi pil dan dapat menjaga keefektifitasan pil.

Efektifitas pil KB dalam mengendalikan kehamilan,

(32)

dikonsumsi setiap hari yaitu dengan angka kegagalan 1

kehamilan per 1000 perempuan dalam tahun pertama

penggunaan.

Sehingga apabila partisipan bosan

mengonsumsi pil KB dapat beralih mengunakan

kontrasepsi yang lain, yang memiliki jangka waktu

pemberian kontrasepsi lebih panjang, misalnya suntik,

implan atau IUD. Namun, apabila partisipan tetap ingin

mengonsumsi pil KB, hal yang perlu diperhatikan adalah,

mengonsumsi pil secara tepat yaitu setiap hari, karena pil

KB memang diperuntukan kepada mereka yang mau dan

rutin mengonsumsi pil setiap harinya.

2. Suntik KB

Selain pil KB, terdapat kontrasepsi suntik KB

yang diketahui oleh partisipan berdasar pada jangka

waktu pemberian suntikan yaitu 3 bulan sekali dan 1

bulan sekali dengan dosis yang berbeda. Semua

partisipan pernah menggunakan kontrasepsi suntik KB

dan memilih suntik 3 bulan sekali. Hal tersebut karena

adanya anggapan partisipan mengenai suntik KB 3 bulan

sekali, yang memiliki dosis lebih tinggi dibandingkan

suntik 1 bulan sekali, sedangkan pertimbangan yang lain

(33)

suntikan hanya didapat 3 bulan sekali, berbeda dengan

suntikan 1 bulan sekali. Hal yang lain adalah, karena

suntik 1 bulan sekali dinilai terlalu sering, sehingga

kebanyakan partisipan menolak untuk menggunakan

suntik 1 bulan sekali.

Permasalahan yang terjadi pada beberapa

partisipan pengguna suntik KB adalah tidak datangnya

menstruasi, yang diakibatkan oleh kandungan suntik KB

3 bulan sekali. Partisipan yang mengeluhkan

permasalahan tersebut kepada bidan, mendapat saran

untuk mengganti kontrasepsi suntik 3 bulan sekali

menjadi 1 bulan sekali. Partisipan menolak karena

menganggap suntik 3 bulan sekali tidak berpengaruh

pada kegagalan kontrasepsi semisal terlambat 1 minggu

untuk mendapatkan suntik KB kembali. Sedangkan suntik

1 bulan sekali dirasa terlalu sering dan dikhawatirkan

akan menimbulkan kealpaan untuk mendapatkan

suntikan kembali, sehingga beresiko mengakibatkan

kehamilan. Sedangkan partisipan yang lain mendapat

saran dari bidan untuk mengganti kontrasepsi suntik

menjadi implan, namun permasalahan yang terjadi

adalah sama, yaitu tidak mendapatkan menstruasi hingga

(34)

Suntik KB menurut teori Irianto (2014), terdapat

2 jenis, diantaranya: Golongan progestin yang berisi

progesteron saja, misalnya depo-provera 150 mg yang

berisi 1 cc dan depo-progestin yang berisi 3 cc diberikan

setiap tiga bulan sekali. Sedangkan untuk golongan

progestin dengan campuran estrogen propionat misalnya

cyclofem yang diberikan setiap satu bulan sekali.

Sedangkan permasalahan tidak haid (amenore)

yang diutarakan oleh partisipan sebagai akibat dari

kandungan suntik KB, harus dipastikan terlebih dahulu

bahwa partisipan tidak sedang hamil. Jika memang tidak,

pada kasus amenore pada pengguna kontrasepsi suntik

hormonal adalah karena efek langsung kontrasepsi

terhadap endometrium, sehingga terjadi atropi. Hal

tersebut terjadi sebagai akibat dari menipisnya lapisan

endometrium karena menurunnya hormon estrogen,

sehingga menyebabkan gangguan perdarahan. Jika

partisipan tetap menginginkan untuk mendapatkan

menstruasi sesuai dengan saran dari bidan, dapat

mengganti kontrasepsi suntik 3 bulan sekali dengan

kontrasepsi suntik 1 bulan sekali (cyclofem) yang

mengandung estrogen dalam dosis rendah untuk

(35)

tidak disarankan karena implan hanya mengandung

progesteron saja tanpa estrogen, sehingga perdarahan

menstruasi tetap akan terhambat. Penilaian P4 mengenai

rencana untuk menggunakan Pil KB setelah masa

penggunaan implan habis adalah hal yang tepat, karena

kandungan estrogen dalam Pil berperan melancarkan

menstruasi.

3. Implan

Partisipan mengetahui implan sebagai

kontrasepsi yang berbentuk jarum, dan dimasukkan

dalam lengan, yang kemudian di jahit kembali. Implan

dapat digunakan hingga 3 tahun.

Adapun permasalahan yang dihadapi oleh

partisipan mengenai implan adalah adanya rasa khawatir

implan akan berpindah posisi dari tempatnya semula,

apabila partisipan bekerja terlalu berat. Resiko infeksi

akibat pemasangan yang kurang tepat turut menjadi

alasan partisipan untuk tidak memilih implan. Banyak

diantara partisipan mengatakan bahwa angka kegagalan

implan cukup tinggi, prosedur pemasangan implan juga

dirasa menyakitkan.

Persepsi partisipan mengenai resiko implan akan

(36)

pekerjaan berat, dapat dijelaskan melalui teori Irianto

(2014) bahwa ekspulsi implan dapat terjadi apabila

pemasangan kapsul kurang steril sehingga terjadi infeksi,

kemudian mengakibatkan adanya gerakan keras pada

tempat insersi, sehingga implan akan bergeser. Hal

tersebut dapat ditanggulangi dengan mencabut semua

kapsul, namun jika tidak ada infeksi dan kapsul yang lain

masih berada ditempatnya, maka pencabutan hanya

dilakukan pada kapsul yang mengalami ekspulsi saja dan

mempertahankan kapsul yang lain.

Pemasangan kapsul implan dilakukan dengan

menggunakan anestesi lokal, sehingga rasa sakit tidak

begitu dirasakan oleh pengguna implan. Mengingat

efektifitas yang tinggi dari implan dengan angka

kegagalan 0,2-1 kehamilan per 100 perempuan juga

menjadi alternatif tersendiri untuk menanggulangi rasa

cemas partisipan mengenai prosedur pemasangan

implan.

4. Intra Uterine Devices (IUD)

Partisipan mempersepsikan IUD sebagai

kontrasepsi berbentuk T yang dipasang di dalam vagina.

Partisipan juga menambahkan kelebihan IUD sebagai

(37)

10 tahun. Meskipun partisipan mengetahui kelebihan

tersebut, prosedur pemasangan IUD yang dirasa cukup

menakutkan dan menimbulkan rasa malu menjadi

pertimbangan tersendiri untuk tidak menggunakan IUD

sebagai alat kontrasepsi. Partisipan juga menganggap

IUD sebagai benda asing yang dimasukkan dalam tubuh

dan dianggap hal yang aneh dan menakutkan sehingga

kebanyakan partisipan menolak untuk menggunakan

IUD.

Intra Uterine Devices atau IUD menurut Irianto

(2014) merupakan suatu alat atau benda yang

dimasukkan kedalam rahim dan memiliki jenis

berdasarkan bentuknya, diantaranya CU-T, Cu-7,

Nova-T. IUD hanya dapat dipasang pada wanita yang telah

melahirkan, spekulum yang dipasang disesuaikan

dengan ukuran vagina dengan hati-hati, melalui

pemeriksaan terlebih dahulu untuk memastikan tidak

adanya tumor, kanker, lesi, maupun infeksi panggul.

Penjepitan pada porsio juga tidak menyebabkan rasa

sakit, karena tidak terdapat syaraf pada porsio.

IUD memiliki kelebihan sebagai alat kontrasepsi

jangka panjang yaitu dapat digunakan hingga 10 tahun

(38)

berat badan, gangguan menstruasi dan naiknya tekanan

darah. Selain itu, IUD juga memiliki keefektifitasan yang

tinggi yaitu 0,6-0,8 kehamilan per 100 perempuan,

sehingga partisipan dapat mempertimbangkan kelebihan

tersebut untuk menggunakan IUD.

5. Kondom

Partisipan mempersepsikan kondom sebagai

alat kontrasepsi yang memiliki bentuk seperti balon,

terbuat dari karet dan memiliki bentuk serta aroma yang

bermacam-macam. Partisipan menganggap kondom

sebagai alat kontrasepsi yang tidak cocok digunakan

dalam kehidupan berumah tangga, karena harus selalu

tersedia ketika akan berhubungan seks. Kondom juga

dirasa lebih pantas digunakan oleh orang yang suka

berganti-ganti pasangan. Hal tersebut diutarakan

partisipan karena kondom dapat mencegah penularan

penyakit menular seksual.

Menurut Irianto (2014) kondom merupakan

kontrasepsi sementara apabila metode kontrasepsi yang

lain harus ditunda, sehingga bukan merupakan

kontrasepsi jangka panjang yang dibutuhkan dalam

kehidupan berumah tangga. Kondom memiliki kelebihan

(39)

mikroorganisme (IMS dan HIV/AIDS) dari satu pasangan

ke pasangan lain karena tidak bersentuhan secara

Gambar

Gambar 10: Peta Desa Regunung (2015)
Tabel 1. Identitas Partisipan

Referensi

Dokumen terkait

Analisis reservoar pada penelitian ini dilakukan setelah dilihat dan analisis dari semua hasil tahapan bahwa proses analisis dengan menggunakan metode AVO mampu

Hal ini memungkinkan pengguna untuk mengakses internet penggunakan perangkat mobile, sehingga informasi tentang komoditas pangan yang disajikan dapat diakses dengan mudah

- Ijazah asli atau fotokopi yang dilegalisir basah oleh pihak universitas dan Surat Keterangan Ahli (SKA) tenaga ahli tetap untuk kualifikasi sesuai LDK (apabila ada);.. -

Laju pengeringan kadar air bahan pada tahap permulaan adalah besar (laju pengeringan pada periode menurun / falling rate period), kemudian laju penurunan kadar air bergerak

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa instrumen yang berjumlah 27 butir pernyataan inilah yang akan digunakan sebagai instrumen final untuk mengukur variabel minat beli..

kepala madrasah menunjuk perwakilannya untuk mengikuti kegiatan tersebut tanpa di pungut biaya. Demikian atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan

Informasi yang dapat dipercaya tentang sejarah awal bangsa Turki Usmani langka, tetapi mereka mengambil nama Turki mereka, Osmanlı (telah rusak dalam beberapa bahasa Eropa

Dari hasil tes geser langsung yang dilakukan, terlihat bahwa tanah lunak dengan elektrokinetik yang diberi tegangan 24 volt lebih besar dapat meningkatkan kuat