55 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Setting Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Regunung terletak di Kecamatan
Tengaran, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah
[image:1.516.84.443.170.541.2]yang memiliki luas wilayah 365 Ha.
Gambar 10: Peta Desa Regunung (2015) Sumber: Data Balai Desa Regunung (2015)
Desa Regunung memiliki fasilitas penunjang di
bidang pendidikan yang terdiri dari 2 gedung sekolah
dasar (SD) dan 2 gedung Madrasah Ibtida’iyah (MI).
Selain itu, terdapat pula 1 fasilitas penunjang di bidang
kesehatan berupa puskesmas, dan 2 praktik bidan desa. Desa
Desa Regunung memiliki 7 Dusun di dalamnya.
Salah satunya yaitu dusun Krajan, yang memiliki
batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatas-batasan
dengan Desa Dlisem, sebelah selatan berbatasan
dengan Desa Sruwen, untuk sebelah timur berbatasan
dengan Dusun Gumuk Rejo dan sebelah barat
berbatasan dengan Dukuh Sepat.
Dusun Krajan sendiri, memiliki 2 RW dan 6 RT,
yang terdiri dari 179 kepala keluarga. Banyak
penduduknya adalah 688 jiwa, yang terdiri dari 343
laki-laki dan 345 perempuan. Sedangkan banyak pasangan
usia muda adalah 396 jiwa. Jumlah tersebut menjelaskan
bahwa di Dusun Krajan sebagian besar menikah di usia
muda.
4.1.2 Proses Penelitian
Pada penelitian ini, hal yang terlebih dahulu
peneliti lakukan adalah, memberikan penjelasan
mengenai maksud dan tujuan penelitian, serta memberi
kesempatan kepada partisipan untuk mengisi lembar
persetujuan menjadi partisipan atau informed consent.
Setelah itu, wawancara dilakukan secara mendalam
berdasarkan kesiapan dari partisipan sendiri, sehingga
tanpa ada hambatan. Proses tersebut, membutuhkan
waktu sekitar 30-45 menit untuk setiap partisipan. Lama
waktu yang dibutuhkan, tergantung pada kemampuan
partisipan untuk menjawab pertanyaan. Selama proses
wawancara, partisipan menggunakan bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa yang dapat dipahami dengan baik oleh
peneliti. Untuk mendokumentasikan suara, peneliti
menggunakan voice recorder pada handphone (HP),
sedangkan untuk mendokumentasikan gambar peneliti
menggunakan kamera HP.
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Gambaran Partisipan
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
kepada 4 orang partisipan di Dusun Krajan Desa
Regunung, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang
didapatkan beberapa informasi mengenai identitas
Tabel 1. Identitas Partisipan
Kode P1 P2 P3 P4
Inisial Ny. A Ny.B Ny.C Ny.D
Usia saat menikah (tahun)
Usia pasangan saat menikah (tahun) 17 20 18 22 16 21 16 20
Usia saat ini (tahun)
Usia pasangan saat ini (tahun) 22 25 23 27 22 27 24 28
Pendidikan SD SMP SMP SD
Keterangan:
P1 = Partisipan 1 P3= Partisipan 3 P2= Partisipan 2 P4= Partisipan 4 Sumber: Data Pribadi, 2016
Informasi mengenai partisipan secara lebih
mendalam, dapat diketahui melalui data berikut ini:
4.2.1.1 Partisipan 1
Partisipan 1 bernama Ny.A, yang
merupakan seorang ibu rumah tangga, dengan
kegiatan sehari-hari berjualan makanan di depan
rumahnya. Sedangkan suami Ny.A bekerja
sebagai distributor makanan ringan. Ny.A
dan menggunakan kontrasepsi setelah kelahiran
anak pertama. Namun, selama menggunakan
kontrasepsi, Ny.A mengeluhkan adanya
kegagalan kontrasepsi, sehingga terjadi
kehamilan di luar kesiapan. Selain hal tersebut,
Ny.A juga mengalami masalah terkait efek
samping selama menggunakan alat kontrasepsi.
4.2.1.2 Partisipan 2
Ny.B adalah partisipan ke 2. Beliau
menikah di usia 18 tahun dan menjadi seorang
ibu rumah tangga. Suami Ny.B bekerja sebagai
buruh. Setelah memiliki seorang putra, Ny.B
memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi.
Selama pemakaian kontrasepsi tersebut, Ny.B
merasakan beberapa efek samping dari
kontrasepsi yang digunakan.
4.2.1.3 Partisipan 3
Partisipan ke 3 bernama Ny.C.
Partisipan bekerja sebagai karyawati pabrik
tekstil sedangkan suaminya seorang sopir.. Ny.
C menikah di usia 16 tahun. Setelah menikah
dan memiliki anak, Ny.C memutuskan untuk
beberapa waktu dari pemakaian kontrasepsi,
terjadi kegagalan dalam kontrasepsi, sehingga
terjadi kehamilan. Ny.C juga mengalami
beberapa efek samping terkait penggunaan
kontrasepsi.
4.2.1.4 Partisipan 4
Partisipan ke 4 bernama Ny.D.
Partisipan merupakan seorang ibu rumah tangga
yang menikah di usia 16 tahun. Suami Ny.D
bekerja sebagai montir sepeda motor. Setelah
melahirkan anak pertamanya, Ny.D juga
memutuskan untuk segera menggunakan alat
kontrasepsi. Pengalaman selama menggunakan
alat kontrasepsi adalah merasakan adanya efek
samping dari kontrasepsi yang digunakan.
Beberapa masalah terkait kontrasepsi
yang digunakan oleh partisipan, akan peneliti
jelaskan melalui analisa data.
4.2.2 Analisa Data
Berdasarkan penelitian ini ditemukan 24 subtema.
Namun, setelah dipertimbangkan oleh peneliti demi
mempermudah analisis data dalam pembahasan tema, maka
diantaranya: 1). pengertian pernikahan dini 2). keluarga
berencana 3). pengalaman pemakaian kontrasepsi Berikut
adalah hasil penelitian yang didapat oleh peneliti:
4.2.2.1 Pengertian Pernikahan Dini
Pada penelitian ini peneliti menemukan
kesamaan pemahaman mengenai definisi pernikahan
dini oleh partisipan. Hal tersebut dapat dilihat melalui
ungkapan mereka berikut ini:
“Apa ya mbak, mungkin menikah di usia yang masih muda, kayak misalnya di bawah umur 17 tahun mungkin, soale kan belum dapat KTP juga, nikah kan harus punya KTP” (P1, 14-18)
“Penikahan diusia yang masih muda, biasanya dibawah usia 17 tahun, pokoknya dimasa seharusnya masih sekolah” (P2, 14-17)
“…..mungkin dibawah usia 17 tahun, batasnya kalau belum dapat ktp” (P3, 16-17)
“….pernikahan usia muda itu menikah di bawah usia 17 tahun, jadi kayak saya dulu kan sampai harus menuakan umur jadi 17 tahun biar bisa menikah,..” (P4, 17-19)
Sebagaimana yang telah diungkapkan
partisipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pernikahan usia muda adalah pernikahan yang
dilakukan diusia kurang dari 17 tahun, di masa
pendidikan, dan belum memiliki KTP. Anggapan
yang belum memiliki KTP belum diijinkan untuk
menikah.
Terkait pernikahan usia muda, partisipan (Ny.B,
Ny.C dan Ny.D) juga menambahkan bahwa pernikahan
sendiri sebenarnya memiliki beberapa kriteria ideal
didalamnya. Hal tersebut dapat kita perhatikan melalui
ungkapan mereka berikut ini:
“Kalau sekarang ya minimal sekitar umur 20 kalau cewek jadi seandainya terjadi kehamilan organ tubuh sudah siap, kalau cowok ya 22 tahun soalnya sudah dewasa pemikirannya, atau minimal udah lulus SMA lah, sudah kerja semuanya jadi nanti kalau ada kebutuhan dalam rumah tangga udah siap” (P2, 20-29).
“……Cuman nek jaman saiki sih pantese ya nek cewek minimal ya 20 tahun, cowok umur 22 lah, pokoke pantese nek wis do iso kerja kabeh, dadi nek berumah tangga ora kaget nek akeh kebutuhan, gek juga pemikirane wis mateng,
fisike yo wis siap” (Cuma kalau jaman sekarang sih pantasnya ya kalau cewek minimal ya 20 tahun, cowok umur 22 lah, pokoknya pantasnya kalau sudah bisa kerja semua, jadi kalau berumah tangga tidak terkejut kalau banyak kebutuhan, dan juga pemikirannya sudah matang, fisiknya juga sudah siap)(P3, 26-35). “……Cewek menikah minimal usia 20 tahun, cowok minimal umur 22 tahun, sebenere kalau tak pikir-pikir bener hlo mbak pemerintah ki, umur segitu kan ibarate sudah matang jadi kalau berumah tangga sudah ada kesiapan secara ekonomi, fisik, psikologi” (Ny.D, 28-36).
Berdasarkan ungkapan partisipan tersebut
terdapat anggapan bahwa pernikahan yang ideal untuk
sudah siapnya organ reproduksi wanita dalam
menghadapi kehamilan. Sedangkan untuk laki-laki
adalah pada usia 22 tahun, dimana diharapkan telah
memiliki kesiapan secara materi, fisik, dan psikologis
untuk menghadapi kehidupan berumah tangga.
Namun pada kenyataanya, pasangan usia
muda memutuskan untuk menikah di usia muda karena
beberapa alasan yang mendasar. Hal tersebut
dijelaskan partisipan melalui ungkapan berikut ini:
“….soalnya jodohnya juga dah datang, yang milih kita juga, masak mau ditolak kan nggak bisa, orang tua juga sudah memberi restu untuk menikah, calone juga dah kerja,..” (P1, 39-43) “…Sama-sama sudah bekerja, sama-sama suka ya akhirnya memutuskan menikah, toh juga udah nggak sekolah mbak...” (P2, 38-41).
“…Lah meh piye meneh wong seneng, mbekna jodone ya wis teko mosok dadak arep ngenteni suwe-suwe, mas X juga wis kerja,…” (Lah mau gimana lagi wong senang, toh jodohnya juga sudah datang masak harus nunggu lama-lama, mas X juga sudah kerja) (P3, 39-43).
“…Ya untungnya saja suami tetap pilihan hati kita sendiri, orang tua mendukung, suami mau kerja…” (P4, 49-52).
Berdasarkan pernyataan partisipan tersebut,
dapat dinyatakan bahwa faktor yang mendominasi
seseorang untuk melangsungkan pernikahan di usia
kesiapan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup
berumah tangga, keterbatasan pendidikan, serta
dukungan orang tua untuk melangsungkan pernikahan.
Selain faktor yang mendominasi partisipan
dalam melangsungkan pernikahan usia muda tersebut,
partisipan juga mengungkapkan beberapa hal terkait
keuntungan dan kerugian dalam pernikahan usia muda,
baik secara pemikiran maupun pengalaman yang
mereka rasakan. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui
uraian berikut ini:
a. Keuntungan Menikah Dini
Beberapa hal yang telah diungkapkan
partisipan mengenai pernikahan usia muda, salah
satunya adalah keuntungan menikah dini. Hal tersebut
dapat dijelaskan partisipan melalui ungkapan mereka
berikut ini:
“…Anaknya udah gede kitanya masih muda masih bisa bekerja, juga pacaran lama-lama kan kurang bagus takute nek di gosipin tetangga kan nggak bagus,”(P1, 55-59).
“Ya, mengurangi dosa, daripada pacaran lama-lama nanti malah nambah dosa, hehehe” (P2, 50 -52)
“Keuntungane ya saiki bathi anak loro hehehe,
Ya nek nikah muda ki hemat umur dadi nak anake
(Keuntungannya ya sekarang untung 2 anak hehehe, Ya kalau nikah muda itu hemat usia jadi kalau anaknya mau sekolah lebih tinggi aku masih bisa kerja…)(P3, 52-56)
“…misal anak mau sekolah tinggi, kita bisa mengupayakan,..” (P4, 59-61)
Pernyataan partisipan tersebut, dapat
menjelaskan bahwa keuntungan dari pernikahan usia
muda adalah dapat terhindar dari persepsi negatif orang
lain mengenai hubungan cinta kasih sebelum
pernikahan, sehingga dapat terhindar dari perbuatan
dosa. Partisipan menambahkan bahwa memiliki buah
hati juga menjadi sebuah keuntungan, sehingga
memunculkan harapan partisipan untuk dapat bekerja di
usia yang masih produktif ketika buah hati mereka
menginjak pendidikan yang lebih tinggi.
b. Kerugian Menikah Dini
Selain memiliki keuntungan, pernikahan usia
muda juga memiliki beberapa kerugian. Hal tersebut
diungkapkan oleh partisipan berikut ini:
“…Pikiran masih kaya anak kecil juga susah, kasihan yang laki. Kan banyak juga yang menikah usia muda akhirnya cerai,…” (P1, 61-65)
“…Ora piker panjang terus nikah muda, giliran
kerja malah kepincut lanangan liya, akhire rumah
laki-laki lain, akhirnya rumah tangganya kan rusak) (P3, 58-62)
“Ya kerugiannya, usia muda itu kan usia yang masih belum dewasa, jadi pikiran belum matang, misal ada perkara rumah tangga kan seharusnya kita sebagai suami istri dapat menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah, tapi kalau pikirannya belum dewasa bukannya musyawarah malah ngambek, itukan salah mbak, masalah tidak selesai malah tambah masalah” (P4, 66-78).
Berdasarkan ungkapan partisipan tersebut
mengenai kerugian pernikahan usia muda adalah
adanya resiko keretakan rumah tangga yang mungkin
dapat terjadi akibat ketidaksiapan secara psikologis
dalam menyikapi masalah yang terjadi dalam kehidupan
rumah tangga. Hal tersebut diketahui partisipan
berdasarkan permasalahan yang muncul dari pasangan
muda lainnya yang mengalami keretakan rumah tangga,
sedangkan dalam kehidupan mereka, permasalahan
yang terjadi dapat disiasati dengan baik.
4.2.2.2 Keluarga Berencana
Selain keputusan partisipan untuk
melangsungkan pernikahan usia muda, setelah
kelahiran anak pertama, mereka juga memutuskan
untuk mengikuti program keluarga berencana. Hal
tersebut dijelaskan partisipan melalui ungkapan mereka
“Ya, tujuan dari KB kan untuk menunda kehamilan…” (P1, 91-92).
“Pakai KB mbak biar nggak hamil lagi” (Ny.B, 73 -74)
“…Untuk menunda kehamilan…” (P2, 82)
“…Untuk mencegah terjadinya kehamilan” (P4, 107).
Melalui pernyataan partisipan tersebut,
berdasar pada persepsi mereka, dapat dijelaskan
bahwa tujuan dari program keluarga berencana adalah
menunda kehamilan.
Upaya partisipan untuk menunda kehamilan
tidak lepas dari beberapa alasan yang mendasarinya.
Alasan tersebut dijelaskan partisipan melalui ungkapan
mereka berikut ini:
“Ya, enggak ada biaya kalau pengen punya anak lagi, pengennya cukup punya dua anak saja, sebisanya disekolahkan sampai tinggi, biar tidak seperti orang tuanya” (P1, 78-83)
“Nggak mbak, sudah cukup 2 saja, anjurannya kan 2 anak cukup, kebutuhane juga banyak mbak, sudah cukup 2 saja yang penting sekolah” (P2, 65-69)
“Ora dik, wis loro iki tok wae, butuhe we wis akih, le nukoke susu, le nukokke promina. Sing
penting iso nyekolahke wae aku wis seneng”
“Haduh, jangan dululah, dua anak ini saja sudah cukup, asal bisa sekolah aja udah seneng (P4, 85-87)
“…Soalnya kebutuhane sudah banyak buat dua anak ini, hehehe” (P4, 91-93).
Keputusan partisipan untuk menunda
kehamilan selanjutnya adalah karena ada banyaknya
kebutuhan ekonomi yang mereka rasakan saat ini,
sehingga melalui program keluarga berencana mereka
berharap dapat meningkatkan kesejahteraan anak yang
mereka miliki dengan meningkatan taraf pendidikan
anak agar lebih tinggi dari pendidikan orang tuanya.
Selain itu program pemerintah yang menganjurkan
untuk cukup memiliki 2 anak saja juga menjadi
pertimbangan tersendiri bagi partisipan.
a. Jenis Kontrasepsi 1. Pil KB
Berdasarkan beberapa jenis kontrasepsi yang
telah diketahui oleh partisipan, salah satu diantaranya
adalah pil KB. Adapun pengetahuan partisipan terkait pil
KB sesuai dengan ungkapan mereka berikut ini:
“Belum pernah pake kok, cuma kalo minumnya setiap malam, sama pas mau itu saja,…” (P1, 181 -183)
“Ya nek ngepil ki kudu diombe pendak dina, apa nek arep berhubungan…” (Ya kalau pil itu harus diminum setiap hari, atau kalau mau berhubungan…) (Ny.C, 183-185)
“Apa ya, saya belum pernah pakai, kayaknya harus diminum setiap hari atau ketika mau bekerja saja” (Ny.D, 208-211)
Berdasarkan persepsi partisipan tersebut, pil
KB merupakan pil yang harus dikonsumsi setiap hari
atau ketika hendak berhubungan seks yang berfungsi
untuk menunda kehamilan.
Salah satunya pengguna pil KB adalah P3
dengan permasalahan kegagalan kontrasepsi yang
diakibatkan oleh kealpaan mengonsumsi pil, hal
tersebut dapat terjadi karena partisipan hanya
mengonsumsi pil saat akan berhubungan saja,
sehingga terjadi kehamilan tanpa direncanakan. Adapun
ungkapan partisipan mengenai permasalahan diatas
adalah sebagai berikut.
“Hla soale pas kuwi aku lali ora ngombe, soale
kadang aku ngombe mung nek arep kuwi tok,
ndilalah ora ngombe akhire ya kebobolan” (Hla soalnya waktu itu aku lupa tidak minum, soalnya kadang aku minum cuma kalau mau itu saja) (P3, 356-360)
Setelah mengalami kegagalan kontrasepsi P3
beralih menggunakan suntik KB, agar terhindar dari
kealpaan mengonsumsi pil.
2. Suntik KB
Selain pil KB, terdapat suntik KB yang telah
dikenal cukup baik oleh partisipan sebagai alat
kontraepsi yang dapat menunda kehamilan. Berikut
adalah ungkapan partisipan mengenai suntik KB:
“Kalau suntik ya disuntikkan ke bokong, suntik itu ada yang tiga bulan, sama ada yang satu bulan, tapi kebanyakan pakainya yang tiga bulan,…” (P1, 149-153)
“Suntik itu ada yang 3 bulan, sama yang 1 bulan sekali kalau bedanya apa saya kurang tahu, mungkin beda dosis obatnya, kalau yang tiga bulan sekali lebih banyak, yang satu bulan sekali lebih sedikit, tapi itu cuma menurutku saja hlo” (P2, 100-107)
“Nek suntik biasa disuntikke ning bokong
jenenge opo mbuh aku ra reti, enek sing tiga bulan sekali, enek sing satu bulan sekali, kebanyakan do nganggo sing tiga bulan sekali,
soale luwih ngirit” (Kalau suntik biasa disuntikkann ke pantat, namanya apa saya tidak tahu, ada yang tiga bulan sekali, ada yang satu bulan sekali, kebanyakan memakai yang tiga bulan sekali, soalnya lebih hemat) (P3, 220-226) “Suntik ya disuntikkan ke bokong, suntik itu ada yang satu bulan ada yang tiga bulan sekali, cuman aku nggak tahu apa bedanya yang satu bulan sama yang tiga bulan, mungkin dosise beda, yang tiga bulan lebih banyak dari yang satu bulan” (P4, 175-182)
Berdasarkan persepsi partisipan tersebut,
yang diberikan melalui suntikan pada pantat dengan
kandungan dosis tertentu dan diberikan dalam rentang
waktu 1 bulan atau 3 bulan sekali dengan tujuan
menunda kehamilan. Seluruh partisipan pernah
menggunakan suntik KB dan cenderung memilih suntik 3
bulan sekali dibandingkan suntik 1 bulan sekali dengan
alasan lebih ekonomis.
Permasalahan yang terjadi diantara partisipan
adalah tidak mendapatkan menstruasi. Hal tersebut
diketahui partisipan sebagai akibat dari kandungan obat
suntik KB dalam tubuh. Berikut adalah ungkapan
partisipan mengenai hal tersebut.
“nggak pernah mens tadi nggak dapat mens nya itu selama aku pakai suntik lo, jadi udah 2 tahun nggak dapet mens, tapi ya itu tadi mungkin setiap orang beda-beda efeknya” (P1, 333-338)
“Itu tadi selama pakai suntik 3 bulan sekali selama 4 tahun ki saya tidak menstruasi mungkin efek sampinge seperti itu,..” (P4, 325-328)
Setelah mengalami permasalahan tersebut, P1
mendapat saran dari bidan untuk mengganti suntik KB 3
bulan sekali menjadi 1 bulan sekali, namun karena P1
menganggap suntik KB 1 bulan sekali terlalu sering
sehingga beesiko menimbulkan kealpaan, P1
bulan sekali. Berikut adalah ungkapan partisipan
mengenai hal tersebut.
“Masih tetep yang tiga bulan sekali aja, soale waktu itu obate nggak ada waktu mau pindah ke yang satu bulan” (Ny.A, 359-362)
“Kan untuk menunda kehamilan kalau suntik 3 bulan kan telat satu minggu kan nggak apa-apa nggak bikin hamil beda sama pil, kalau pil kan nggak minum pas itu bikin hamil” (Ny.A, 305-309) “Tetep yang tiga bulan, kan nggak mesti kalau yang satu bulan kan ntar lupa tanggale,…” (Ny.A, 366-368)
Selain P1, P4 juga mengalami permasalahan
yang sama, P4 juga mendapat saran dari bidan untuk
mengganti kontrasepsi suntik KB menjadi implan. Hal
tersebut dijelaskan P4 melalui ungkapan berikut ini.
“Sama bidan disuruh ganti ke implan tadi, tapi malah sama saja” (P4, 337-338)
Setelah mendapat saran dari bidan, P4
memutuskan untuk menggunakan implan, namun
permasalahan yang terjadi masih sama, yaitu tidak
mendapat menstruasi. Melihat hal tersebut, P4 memiliki
rencana untuk mengganti kontrasepsi implan menjadi pil
KB. Rencana P4 tersebut didasarkan pada saran dari
orang lain. Berikut adalah hal yang diungkapkan P4
berdasarkan hal tersebut.
pemerintah memberikan pil KB dan kondom gratis jatuh enek gene pak X, tapi ya dihabiskan dulu implane” (P4, 366-372)
Sehingga setelah habis masa pemakaian
Implan, P4 akan menggunakan pil KB sebagai
kontrasepsi dengan harapan dapat mengalami
menstruasi.
3. Implan
Implan merupakan kontrasepsi penunda
kehamilan yang dipasang pada lengan. Hal tersebut
sesuai dengan ungkapan partisipan berikut ini.
“Nggak terlalu tahu sih, cuma kalo implan itu kayak jarum ada berapa gitu lupa, terus bagian lengannya di bedah sedikit, terus jarume dimasukkan kesitu terus dijahit” (P1, 109-113) “Implan itu bentuknya jarum terus dimasukkan ke lengan, biar nggak hamil,…” (P2, 144-146)
“Implan ki tusuk jarum tha, nek jarene sih di
pasang ning lengen, di buka sik terus dilebokke jarume mbuh piro sing dilebokke aku ra reti,
terus dijahit,…” (implan itu tusuk jarum kan, kalau katanya sih dipasang di lengan, dibuka sedikit terus dimasukkan jarumnya entah berapa yang dimasukkan aku tidak tahu, terus
dijahit…)(P3, 148-153)
“Jarum terus dimasukkan ke dalam lengan, kayake ada 2 jarum” (P4, 226-228)
Berdasarkan persepsi partisipan tersebut,
berisi obat yang dipasang pada daerah lengan melalui
pembedahan kecil yang kemudian di jahit kembali.
Meskipun implan dikenal cukup baik sebagai
kontrasepsi jangka panjang, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa implan tetap memiliki kekurangan.
Beberapa partisipan mempertimbangkan untuk
menggunakan implan, setelah mengetahui
permasalahan yang terjadi pada pengguna implan,
melalui cerita orang lain. Hal tersebut dijelaskan melalui
ungkapan partisipan berikut ini.
“…cuma ya yang saya denger-denger bisa geser jarumnya kalau aktifitas berlebihan, tapi itu cuma katanya aja” (P2, 151-155)
“…resiko pindah-pindah kwi mau nek gaweane abot, dadi nek pasang implan menurutku ojo kerja sing abot-abot” (…resiko pindah-pindah itu tadi kalau pekerjaannya berat, jadi kalau pasang implan menurutku jangan kerja yang berat-berat) (P3, 171-175)
Sesuai dengan ungkapan pertisipan diatas,
beberapa kekurangan implan sebagai kontrasepsi yaitu
adanya resiko implan akan berpindah posisi dari
tempatnya, akibat aktifitas yang terlalu berat.
IUD merupakan kontrasepsi berbentuk huruf T
yang di pasang pada rahim. Hal tersebut dijelaskan
partisipan melalui ungkapan mereka berikut ini.
“IUD itu sama bidan disuruh tiduran terus dipasangnya di punyanya wanita,…” (P1, 215 -217)
“Kalau aku denger-denger saja ya, IUD itu dimasukkan ke dalam rahim wanita, bentuknya kalau tidak salah T,…” (P2, 126-129)
“Opo yo, nek IUD jarene bentuke T dipasang ning
rahime,…” (Apa ya, kalau IUD katanya berbentuk T dipasang di rahimnya,..) (Ny.C, 116-118)
“Kata orang-orang sih bentuknya T dimasukin ke rahim,…” (Ny.D, 143-144)
Melalui ungkapan partisipan tersebut dapat
disimpulkan bahwa IUD merupakan kontrasepsi
berbentuk T yang dimasukkan ke dalam rahim.
Kekurangan IUD sebagai kontrasepsi
diantaranya adalah kekhawatiran partisipan terhadap
prosedur pemasangan IUD serta resiko infeksi. Hal
tersebut sesuai dengan ungkapan partisipan berikut.
“Kalau aku pribadi sih, takut sama IUD, baru bayanginnya aja udah takut, malu juga soalnya pemasangannya kan di vagina wanita, yah walaupun pas nglairke juga kelihatan vaginanya, cuma rasanya beda aja, ada beberapa kasus juga soal IUD kan,…” (P2, 133-142)
“… walaupun IUD iso jangka waktu suwe, tapi
tetep wae medeni, jeneng barang ko ngunu dilebokke ning rahim kan ngeri tapi menurutku
Melalui ungkapan diatas, adapun kekurangan
yang dipersepsikan partisipan mengenai IUD yaitu,
kekhawatiran terhadap prosedur pemasangan, karena
merasa alat yang terpasang pada rahim akan melukai
organ reproduksi wanita maupun mengganggu
hubungan seksual.
5. Kondom
Salah satu kontrasepsi non hormonal yang
sudah cukup dikenal oleh partisipan adalah kondom.
Sebagaimana dijelaskan mereka melalui ungkapan
mereka mengenai kondom.
“…cuma katanya barange kayak plendungan, terus dipasang ke itunya laki-laki kalau pas lagi mau berhubungan,..” (P1, 254-257)
”Saya tahunya ya kondom itu ada yang berbentuk gerigi atau apalah, terus ada yang beraroma, kayak plendunganlah katane, tapi aku belum pernah lihat secara langsung” (P2, 159 -164)
“Nek kondom ki enek macem-macem jenise, enek sing bergerigi koyok nek iklan kae, enek sing aromane, dipasange nek meh berhubungan, dipasang gene wong lanang, nek pas tegang” (kalau kondom ada bermacam-macam jenisnya, ada yang bergerigi kayak di iklan itu, ada yang beraroma, dipasang kalau mau berhubungan, dipasang di punyanya laki-laki, kalau pas tegang) (P3, 240-246)
Berdasarkan persepsi partisipan diatas
mengenai kondom, dapat disimpulkan bahwa kondom
merupakan kontrasepsi yang dipasang pada organ intim
pria yang ereksi (tegang) saat berhubungan seksual
dimana kondom memiliki berbagai tipe, seperti kondom
berkontur dan kondom beraroma.
Kondom juga memiliki kekurangan
sebagaimana kontrasepsi yang lain bagi penggunanya.
Beberapa kekurangan kondom disampaikan oleh
partisipan melalui ungkapan mereka.
“…mung rada ribet wae kudu enek pas lagi
berhubungan, biasane juga nggak terlalu nyaman, terus nek kondome bolong marai hamil
juga tho” (…Cuma agak ribet aja harus ada pas lagi berhubungan, biasanya juga nggak terlalu nyaman, terus kalau kondomnya berlubang bisa hamil juga kan) (P3, 250-255)
“Soalnya menurut saya, kondom itu harus selalu ada ketika mau bekerja, untuk kita yang berumah tangga kan kita butuh yang pasti yang bisa buat jangka panjang, kalau kondom kan sekali pakai, sekali buang, hlah kalau misal pas kita butuh, kondomnya nggak ada, kan malah bahaya kita” (P4, 127-136)
Berdasarkan persepsi partisipan tersebut,
beberapa kekurangan kondom sebagai kontrasepsi
diantaranya: bukan merupakan kontrasepsi jangka
berhubungan suami istri, resiko ketidakefektifitasan
kondom akibat kesalahan dalam penggunaan.
6. Tubektomi dan Vasektomi
Berdasarkan hasil yang didapat peneliti
mengenai tubektomi (pengikatan dan pemotongan
saluran telur pada wanita) dan vasektomi pengikatan
dan pemotongan saluran benih agar sperma tidak
keluar pada laki-laki) partisipan mengungkapkan
ketidaktahuan mereka mengenai prosedur kontrasepsi
tetap tersebut. Sebagaimana telah disampaikan oleh
partisipan melalui ungkapan mereka.
“Apa itu? nggak tau mbak” (P1, 490)
”Sama sekali nggak tahu aku, dan nggak pernah dengar” (P1, 500-501)
“Nggak pernah denger mbak, nggak tahu apa itu” (P2, 291-292)
“Malah baru dengar dik” (P3, 453) “Nggak pernah dengar mbak” (P4, 373)
Berdasarkan hasil penelitian, tubektomi dan
4.3 Pembahasan
Untuk menjawab tujuan penelitian terkait dengan
karakteristik, persepsi, dan gangguan pasangan usia muda
dalam penggunaan alat kontrasepsi di Dusun Krajan, Desa
Regunung, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, maka
setelah peneliti menganalisa hasil penelitian, peneliti akan
menggunakan teori-teori dan penelitian terdahulu untuk
menguraikan hasil penelitian.
a. Karakteristik Partisipan di Dusun Krajan, Desa Regunung
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat peneliti,
partisipan mengungkapkan bahwa pernikahan muda adalah
pernikahan yang dilakukan dibawah usia 17 tahun, belum
memiliki KTP dan masih dalam usia sekolah. Peneliti
berasumsi bahwa pernikahan usia muda adalah pernikahan
yang dilakukan dibawah ketentuan usia yang dianjurkan
oleh pemerintah. Sebagaimana yang di jelaskan dalam
Pasal 7 UU No. 1/1974 tentang perkawinan, bahwa usia
minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk
wanita dan 19 tahun untuk pria. Namun, selama pasangan
tersebut belum mencapai usia 21 tahun maka harus
mendapatkan izin orang tua untuk menikah. Hal tersebut
1/1974 bahwa setelah pasangan berusia di atas 21 tahun,
boleh menikah tanpa izin dari orang tua. Sehingga, berdasar
pada UU perkawinan, batasan penikahan usia muda adalah
dibawah usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk
laki-laki. Sedangkan, Pasal 6 ayat 2 memberikan arti bahwa
meskipun wanita diatas 16 tahun dan laki-laki diatas 19
tahun bukan anak-anak lagi, tetapi belum dianggap dewasa
penuh. Sehingga pernikahan harus dilakukan melalui izin
dan pertimbangan dari orang tua.
Partisipan mengungkapkan bahwa sebenarnya ada
usia ideal dalam suatu pernikahan, yaitu usia 20 tahun untuk
wanita dengan harapan siapnya organ reproduksi wanita
dalam menghadapi kehamilan, dan 22 tahun untuk laki-laki
dengan harapan adanya kesiapan materi, fisik, dan
psikologis dalam membina rumah tangga. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh BKKBN (2010), bahwa usia
pernikahan yang dianjurkan untuk wanita adalah 20 tahun
dan untuk pria 25 tahun. Hal tersebut dikarenakan wanita
yang menikah dibawah usia 20 tahun belum memiliki organ
reproduksi yang siap untuk menghadapi kehamilan, serta
memiliki resiko dapat terkena kanker leher rahim karena
pada usia remaja sel-sel leher rahim belum matang, maka
akan menyimpang menjadi kanker. Sedangkan pria yang
menikah dibawah usia 25 tahun dianggap belum dewasa
penuh baik dalam hal kesiapan biologis, psikologis dan
sosial ekonomi dalam menghadapi hidup berumah tangga.
Sehingga akan lebih baik apabila pernikahan dilakukan pada
usia 20 tahun keatas untuk wanita dengan pertimbangan
kesehatan dan 25 tahun untuk laki-laki dengan harapan
kehidupan berumah tangga akan lebih terjamin baik secara
fisik, psikologis, maupun ekonomi.
Pengetahuan mereka tentang batasan usia
menikah, ternyata tidak menjadi pertimbangan mereka
dalam mengambil keputusan, sehingga tetap
melangsungkan pernikahan diusia muda. Hal tersebut
karena adanya suatu faktor yang mendasari. Faktor yang
dimaksud adalah keterbatasan ekonomi keluarga. Peneliti
berasumsi bahwa keterbatasan ekonomi dalam keluarga,
menghambat keinginan partisipan untuk menempuh
pendidikan yang lebih tinggi sehingga partisipan memiliki
tingkat pendidikan yang kurang. Keterbatasan ekonomi pula
mendorong orang tua menyegerakan partisipan untuk
bekerja atau menikah dengan seseorang yang telah memiliki
pekerjaan, sekedar untuk membantu ekonomi keluarga
memberi nafkah. Hal tersebut di jelaskan oleh Maimun
dalam Priyanti (2013) bahwa faktor yang yang
mempengaruhi perkawinan usia muda, salah satunya
adalah faktor ekonomi keluarga. Sehingga orangtua
menyegerakan anaknya untuk melangsungkan pernikahan,
sekedar untuk mengurangi beban ekonomi keluarga,
maupun ketidakmampuan keluarga untuk memberikan
kesempatan pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut juga
di dukung oleh penjelasan Sekarningrum dalam Priyanti
(2013) bahwa tingkat pendidikan yang rendah atau tidak
melanjutkan sekolah lagi, bagi seorang wanita dapat
mendorong untuk cepat-cepat menikah dan memiliki anak.
Hal tersebut terjadi karena mereka tidak mengetahui seluk
beluk pernikahan sehingga cenderung memutuskan untuk
cepat berkeluarga. Selain itu, kurangnya pengetahuan orang
tua, turut mendorong keinginan seseorang untuk
melangsungkan pernikahan di usia muda, karena
masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah akan
cenderung untuk mengawinkan anaknya di usia yang masih
muda. Penjelasan tersebut menjadi hal yang mendasari
keinginan partisipan untuk menikah di usia muda dan
menyegerakan untuk memiliki momongan. Melalui observasi
partisipan maupun pasangan memutuskan untuk tetap
tinggal dengan orang tua partisipan (pihak wanita) dengan
asumsi peneliti bahwa baik orang tua, partisipan, maupun
pasangan memiliki harapan untuk dapat saling memenuhi
kebutuhan rumah tangga, meskipun ada beberapa diantara
partisipan yang mengandalkan pasangan dalam memenuhi
kehidupan rumah tangga.
Selain faktor ekonomi, hal lain yang turut mendorong
terjadinya pernikahan usia muda adalah rasa cinta kasih
antar pasangan yang diwujudkan dalam ikatan kekasih.
Namun tidak semua lingkungan masyarakat dapat
memberikan tanggapan positif mengenai hubungan cinta
kasih sebelum pernikahan, sehingga memunculkan
keinginan partisipan agar dapat terhindar dari persepsi
negatif masyarakat. Demi menghindari hal tersebut maka
partisipan memutuskan untuk menikah, tanpa
memperhatikan usia maupun kesiapan mereka. Hal tersebut
didukung oleh penelitian Fitra dalam Astuty (2013) bahwa
sebagian pasangan muda memiliki pandangan untuk segera
melangsungkan pernikahan agar dapat terhindar dari
perbuatan dosa sebelum menikah, namun tanpa didasari
pengetahuan mengenai akibat menikah di usia muda.
tangga mungkin saja dapat terjadi akibat belum siapnya
psikologis dalam menghadapi permasalahan kehidupan
rumah tangga. Meskipun demikian, beberapa partisipan
yang mengungkapkan alasan tersebut untuk menyegerakan
pernikahan, tidak mengalami keretakan rumah tangga yang
berakhir pada perceraian. Hal tersebut menjelaskan bahwa
seiring berjalannya waktu, partisipan dan pasangannya
mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam
kehidupan berumah tangga.
b. Persepsi Pasangan Usia Muda dan Gangguan dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi
1. Pil KB
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, partisipan
hanya mengonsumsi pil KB ketika akan berhubungan
seks saja. Hal tersebut karena partisipan malas
mengonsumsi pil setiap hari seperti anjuran bidan.
Terdapatnya budaya malas mengonsumsi pil setiap hari,
juga di dukung oleh pengalaman orang lain yang hanya
mengonsumsi pil KB ketika akan berhubungan saja, dan
tidak mengalami kegagalan kontrasepsi, sehingga
partisipan beranggapan bahwa tidak mengonsumsi pil
Permasalahan yang terjadi pada salah satu
partisipan pengguna pil KB adalah kegagalan
kontrasepsi. Hal tersebut dapat terjadi, karena partisipan
tidak mengonsumsi pil KB secara rutin dan hanya
mengonsumsi ketika akan berhubungan seks saja.
Partisipan mengakui bahwa, ketika akan berhubungan
seks, lupa mengonsumsi pil KB sehingga terjadi
kehamilan.
Persepsi dan kebiasaan partisipan dalam
mengonsumsi pil KB tersebut, dapat dijelaskan dalam
teori Irianto (2014), bahwa Pil KB mengandung hormon
estrogen dan progesteron yang sudah diatur sedemikian
rupa, untuk menekan ovulasi, sehingga tidak akan terjadi
kehamilan. Dosis yang dimasukkan dalam pil KB
tergolong dosis rendah, yaitu berkisar 0,05; 0,08; dan 0,1
mg estrogen pertablet, sedangkan progesteron
bervariasi, tergantung pada pembuatnya. Pil KB
dimetabolisir atau diproses dalam tubuh hanya dalam
waktu 24 jam, sehingga pil harus dikonsumsi setiap hari
dan dalam jam yang sama, untuk menghindari kealpaan
mengonsumsi pil dan dapat menjaga keefektifitasan pil.
Efektifitas pil KB dalam mengendalikan kehamilan,
dikonsumsi setiap hari yaitu dengan angka kegagalan 1
kehamilan per 1000 perempuan dalam tahun pertama
penggunaan.
Sehingga apabila partisipan bosan
mengonsumsi pil KB dapat beralih mengunakan
kontrasepsi yang lain, yang memiliki jangka waktu
pemberian kontrasepsi lebih panjang, misalnya suntik,
implan atau IUD. Namun, apabila partisipan tetap ingin
mengonsumsi pil KB, hal yang perlu diperhatikan adalah,
mengonsumsi pil secara tepat yaitu setiap hari, karena pil
KB memang diperuntukan kepada mereka yang mau dan
rutin mengonsumsi pil setiap harinya.
2. Suntik KB
Selain pil KB, terdapat kontrasepsi suntik KB
yang diketahui oleh partisipan berdasar pada jangka
waktu pemberian suntikan yaitu 3 bulan sekali dan 1
bulan sekali dengan dosis yang berbeda. Semua
partisipan pernah menggunakan kontrasepsi suntik KB
dan memilih suntik 3 bulan sekali. Hal tersebut karena
adanya anggapan partisipan mengenai suntik KB 3 bulan
sekali, yang memiliki dosis lebih tinggi dibandingkan
suntik 1 bulan sekali, sedangkan pertimbangan yang lain
suntikan hanya didapat 3 bulan sekali, berbeda dengan
suntikan 1 bulan sekali. Hal yang lain adalah, karena
suntik 1 bulan sekali dinilai terlalu sering, sehingga
kebanyakan partisipan menolak untuk menggunakan
suntik 1 bulan sekali.
Permasalahan yang terjadi pada beberapa
partisipan pengguna suntik KB adalah tidak datangnya
menstruasi, yang diakibatkan oleh kandungan suntik KB
3 bulan sekali. Partisipan yang mengeluhkan
permasalahan tersebut kepada bidan, mendapat saran
untuk mengganti kontrasepsi suntik 3 bulan sekali
menjadi 1 bulan sekali. Partisipan menolak karena
menganggap suntik 3 bulan sekali tidak berpengaruh
pada kegagalan kontrasepsi semisal terlambat 1 minggu
untuk mendapatkan suntik KB kembali. Sedangkan suntik
1 bulan sekali dirasa terlalu sering dan dikhawatirkan
akan menimbulkan kealpaan untuk mendapatkan
suntikan kembali, sehingga beresiko mengakibatkan
kehamilan. Sedangkan partisipan yang lain mendapat
saran dari bidan untuk mengganti kontrasepsi suntik
menjadi implan, namun permasalahan yang terjadi
adalah sama, yaitu tidak mendapatkan menstruasi hingga
Suntik KB menurut teori Irianto (2014), terdapat
2 jenis, diantaranya: Golongan progestin yang berisi
progesteron saja, misalnya depo-provera 150 mg yang
berisi 1 cc dan depo-progestin yang berisi 3 cc diberikan
setiap tiga bulan sekali. Sedangkan untuk golongan
progestin dengan campuran estrogen propionat misalnya
cyclofem yang diberikan setiap satu bulan sekali.
Sedangkan permasalahan tidak haid (amenore)
yang diutarakan oleh partisipan sebagai akibat dari
kandungan suntik KB, harus dipastikan terlebih dahulu
bahwa partisipan tidak sedang hamil. Jika memang tidak,
pada kasus amenore pada pengguna kontrasepsi suntik
hormonal adalah karena efek langsung kontrasepsi
terhadap endometrium, sehingga terjadi atropi. Hal
tersebut terjadi sebagai akibat dari menipisnya lapisan
endometrium karena menurunnya hormon estrogen,
sehingga menyebabkan gangguan perdarahan. Jika
partisipan tetap menginginkan untuk mendapatkan
menstruasi sesuai dengan saran dari bidan, dapat
mengganti kontrasepsi suntik 3 bulan sekali dengan
kontrasepsi suntik 1 bulan sekali (cyclofem) yang
mengandung estrogen dalam dosis rendah untuk
tidak disarankan karena implan hanya mengandung
progesteron saja tanpa estrogen, sehingga perdarahan
menstruasi tetap akan terhambat. Penilaian P4 mengenai
rencana untuk menggunakan Pil KB setelah masa
penggunaan implan habis adalah hal yang tepat, karena
kandungan estrogen dalam Pil berperan melancarkan
menstruasi.
3. Implan
Partisipan mengetahui implan sebagai
kontrasepsi yang berbentuk jarum, dan dimasukkan
dalam lengan, yang kemudian di jahit kembali. Implan
dapat digunakan hingga 3 tahun.
Adapun permasalahan yang dihadapi oleh
partisipan mengenai implan adalah adanya rasa khawatir
implan akan berpindah posisi dari tempatnya semula,
apabila partisipan bekerja terlalu berat. Resiko infeksi
akibat pemasangan yang kurang tepat turut menjadi
alasan partisipan untuk tidak memilih implan. Banyak
diantara partisipan mengatakan bahwa angka kegagalan
implan cukup tinggi, prosedur pemasangan implan juga
dirasa menyakitkan.
Persepsi partisipan mengenai resiko implan akan
pekerjaan berat, dapat dijelaskan melalui teori Irianto
(2014) bahwa ekspulsi implan dapat terjadi apabila
pemasangan kapsul kurang steril sehingga terjadi infeksi,
kemudian mengakibatkan adanya gerakan keras pada
tempat insersi, sehingga implan akan bergeser. Hal
tersebut dapat ditanggulangi dengan mencabut semua
kapsul, namun jika tidak ada infeksi dan kapsul yang lain
masih berada ditempatnya, maka pencabutan hanya
dilakukan pada kapsul yang mengalami ekspulsi saja dan
mempertahankan kapsul yang lain.
Pemasangan kapsul implan dilakukan dengan
menggunakan anestesi lokal, sehingga rasa sakit tidak
begitu dirasakan oleh pengguna implan. Mengingat
efektifitas yang tinggi dari implan dengan angka
kegagalan 0,2-1 kehamilan per 100 perempuan juga
menjadi alternatif tersendiri untuk menanggulangi rasa
cemas partisipan mengenai prosedur pemasangan
implan.
4. Intra Uterine Devices (IUD)
Partisipan mempersepsikan IUD sebagai
kontrasepsi berbentuk T yang dipasang di dalam vagina.
Partisipan juga menambahkan kelebihan IUD sebagai
10 tahun. Meskipun partisipan mengetahui kelebihan
tersebut, prosedur pemasangan IUD yang dirasa cukup
menakutkan dan menimbulkan rasa malu menjadi
pertimbangan tersendiri untuk tidak menggunakan IUD
sebagai alat kontrasepsi. Partisipan juga menganggap
IUD sebagai benda asing yang dimasukkan dalam tubuh
dan dianggap hal yang aneh dan menakutkan sehingga
kebanyakan partisipan menolak untuk menggunakan
IUD.
Intra Uterine Devices atau IUD menurut Irianto
(2014) merupakan suatu alat atau benda yang
dimasukkan kedalam rahim dan memiliki jenis
berdasarkan bentuknya, diantaranya CU-T, Cu-7,
Nova-T. IUD hanya dapat dipasang pada wanita yang telah
melahirkan, spekulum yang dipasang disesuaikan
dengan ukuran vagina dengan hati-hati, melalui
pemeriksaan terlebih dahulu untuk memastikan tidak
adanya tumor, kanker, lesi, maupun infeksi panggul.
Penjepitan pada porsio juga tidak menyebabkan rasa
sakit, karena tidak terdapat syaraf pada porsio.
IUD memiliki kelebihan sebagai alat kontrasepsi
jangka panjang yaitu dapat digunakan hingga 10 tahun
berat badan, gangguan menstruasi dan naiknya tekanan
darah. Selain itu, IUD juga memiliki keefektifitasan yang
tinggi yaitu 0,6-0,8 kehamilan per 100 perempuan,
sehingga partisipan dapat mempertimbangkan kelebihan
tersebut untuk menggunakan IUD.
5. Kondom
Partisipan mempersepsikan kondom sebagai
alat kontrasepsi yang memiliki bentuk seperti balon,
terbuat dari karet dan memiliki bentuk serta aroma yang
bermacam-macam. Partisipan menganggap kondom
sebagai alat kontrasepsi yang tidak cocok digunakan
dalam kehidupan berumah tangga, karena harus selalu
tersedia ketika akan berhubungan seks. Kondom juga
dirasa lebih pantas digunakan oleh orang yang suka
berganti-ganti pasangan. Hal tersebut diutarakan
partisipan karena kondom dapat mencegah penularan
penyakit menular seksual.
Menurut Irianto (2014) kondom merupakan
kontrasepsi sementara apabila metode kontrasepsi yang
lain harus ditunda, sehingga bukan merupakan
kontrasepsi jangka panjang yang dibutuhkan dalam
kehidupan berumah tangga. Kondom memiliki kelebihan
mikroorganisme (IMS dan HIV/AIDS) dari satu pasangan
ke pasangan lain karena tidak bersentuhan secara