• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi pada Pegawai Negeri Sipil di Kementrian X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi pada Pegawai Negeri Sipil di Kementrian X"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi pada Pegawai Negeri Sipil di Kementrian X

Atthahira Sastia Kartika dan Dianti Endang Kusumawardhani

1. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia 2. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

E-mail: sastiakartika@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada pegawai negeri sipil di Kementrian X. Responden penelitian berjumlah 63 orang, dengan 38 laki-laki dan 25 perempuan (Musia=36,63 tahun, SD=1,1). Responden penelitian mengisi alat ukur job satisfaction survey yang mengukur kepuasan kerja dan affective, continuance, and normative commitment scales yang mengukur komitmen organisasi. Hasil menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada pegawai negeri sipil di Kementrian X.

Kata Kunci: Kepuasan kerja; komitmen organisasi; pegawai negeri sipil.

Relationship between Job Satisfaction and Organizational Commitment among Government Officials in Ministry X

Abstract

This study aimed to examine the relationship between job satisfaction and organizational commitment among government officials in Ministry X. Total respondents of this study were 63 people, consisted of 38 male respondents and 25 female respondents (Mage = 36,63 years, SD = 1,1). In this study, the participants filled in the job satisfaction survey as a tool to measure the job satisfaction, and affective, continuance, and normative commitment scales, that measure organizational commitment. The results showed a positive and significant relationship between job satisfaction and organizational commitment in the government officials in Ministry X.

Keywords: Job satisfaction; organizational commitment; government officials

Latar Belakang

Dalam setiap organisasi, pengunduran diri pegawai merupakan hal yang lazim terjadi. Abbasi dan Hollman (dalam Ahmad & Omar, 2010) mengatakan bahwa pengunduran diri pegawai merupakan masalah yang terus menerus dialami oleh organisasi. Oleh karena itu, organisasi perlu mewaspadai pengunduran diri pegawai karena menggantikan posisi pegawai membutuhkan biaya dan usaha yang besar untuk proses seleksi, rekrutmen, serta pelatihan

(2)

bagi pegawai baru (Jex & Britt, 2008). Selain menyulitkan organisasi dalam hal seleksi dan rekrutmen, tingkat pengunduran diri pegawai yang tinggi juga dapat merugikan dan membahayakan strategi organisasi dalam mencapai tujuannya (Abbasi & Hollman, dalam Ahmad & Omar, 2010). Kerugian tersebut terjadi karena umumnya pegawai yang mengundurkan diri secara sukarela adalah pegawai berperforma tinggi, sehingga dapat menurunkan produktivitas dan juga meningkatkan biaya seleksi dan rekrutmen untuk mengisi posisi yang ditinggalkan oleh pegawai (Riggio, 2009). Selain kerugian materi, tingkat pengunduran diri pegawai yang tinggi dapat memengaruhi reputasi dari organisasi sehingga menyulitkan organisasi dalam menarik pegawai baru untuk bergabung ke dalam organisasi (Jex, 2002; Jex & Britt, 2008).

Dari hasil penelusuran peneliti, jarang diberitakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengundurkan diri dari pekerjaannya. Meskipun demikian, menurut Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, diperkirakan 40% PNS memiliki kinerja yang buruk, sehingga akan diminta untuk pensiun dini (Wasono, 2012). Hal tersebut dapat merugikan pemerintah karena PNS yang memiliki produktivitas yang rendah mungkin akan membuat badan pemerintahan tidak berjalan dengan optimal. Selain itu, jika ditelusuri lebih lanjut, banyak berita yang melaporkan buruknya kinerja PNS, seperti tidak masuk setelah libur panjang tanpa alasan hingga tidak berada di tempat kerja pada saat jam kerja.

Sayangnya, kondisi tersebut berlangsung dari tahun ke tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah terus menerus menghadapi masalah yang sama dari tahun ke tahun, terutama dalam hal kinerja PNS.

Dari berita tersebut, terlihat bahwa perilaku counterproductive atau perilaku yang merugikan organisasi (Riggio, 2009) yang ditunjukkan oleh PNS, mungkin merupakan respon negatif PNS atas ketidapuasaan terhadap pekerjaannya. Counterproductive behavior itu sendiri adalah perilaku yang berlawanan dengan tujuan organisasi (Jex & Britt, 2008). Pada saat pegawai merasakan ketidakpuasaan, maka ada kemungkinan pegawai tersebut ingin mengundurkan diri dari pekerjaannya (Jex & Britt, 2008). Pada saat pegawai yang tidak puas akan pekerjaannya tetap bertahan di pekerjaannya, maka besar kemungkinannya pegawai tersebut akan menunjukkan counterproductive behavior (Kumar, Ramendran, & Yacob, 2012). Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa perilaku counterproductive ini muncul karena adanya ketidakpuasan pegawai terhadap pekerjaannya.

Kepuasan kerja itu sendiri adalah perasaan seorang pegawai atas pekerjaan yang dimiliki

(3)

beserta aspek-aspek yang terdapat di dalamnya (Spector, 1997). Noe dkk (2008) juga mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan menyenangkan yang dihasilkan dari persepsi pegawai terhadap pekerjaan yang dimilikinya. Sejalan dengan pendapat Noe, Luthans (dalam Azeem, 2010) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai kondisi emosional yang positif berdasarkan hasil penilaian seseorang terhadap pekerjaan yang dimiliki.

Arnold dan Randall dkk. (2010) mengatakan bahwa kepuasan kerja sangat penting untuk diperhatikan. Terdapat dua hal yang menyebabkan kepuasan kerja menjadi penting. Pertama, kepuasan kerja menjadi salah satu indikator dari kesejahteraan psikologis maupun kesehatan mental seseorang. Kedua, kepuasan kerja memengaruhi motivasi dan performa pegawai di organisasi (Arnold & Randall dkk., 2010). Selain itu, kepuasan kerja juga berpengaruh terhadap pengunduran diri pegawai (Riggio, 2009; Jex & Britt, 2008). Riggio (2009) selanjutnya mengatakan bahwa biasanya keinginan ataupun keputusan seseorang untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya dipengaruhi oleh kepuasan kerja.

Pengunduran diri pegawai, atau employee turnover adalah keluarnya pegawai dari organisasi tempatnya bekerja (Noe dkk., 2008). Employee turnover ini dapat dibedakan menjadi voluntary turnover dan involuntary turnover (Noe dkk., 2008; Riggio, 2009). Voluntary turnover terjadi ketika pegawai secara sukarela mengundurkan diri dari organisasi tempatnya bekerja, dan involuntary turnover terjadi ketika organisasi memberhentikan pegawainya (Riggio, 2009; Noe dkk., 2008). Banyak peneliti yang melakukan penelitian mengenai pengunduran diri pegawai dengan meneliti intensi pengunduran diri pegawai (turnover intention). Hal tersebut dilakukan karena intensi pengunduran diri ini dapat dengan akurat memprediksi kemungkinan pengunduran diri pegawai atau actual turnover (Van Breukelen, Van Der Vlist, & Steensma, 2004).

Beberapa penelitian juga menemukan bahwa voluntary turnover pada pegawai dapat dipengaruhi oleh komitmen organisasi (Hom & Griffeth, dalam Samad, 2005; Riggio, 2009).

Komitmen organisasi atau organizational commitment didefinisikan sebagai keadaan psikologis yang mencirikan hubungan antara pegawai dengan organisasi dan memengaruhi keputusan pegawai untuk menghentikan atau mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1991). Komitmen organisasi ini memiliki tiga komponen, yang dikenal sebagai Three-Component Model (TCM) of Organizational Commitment, yaitu komitmen afektif, komitmen berkesinambungan, dan komitmen normatif (Meyer & Allen, 1991; Meyer & Allen, 1997).

(4)

Jika melihat fenomena PNS, counterproductive behavior ini juga secara tidak langsung menunjukkan komitmen organisasi yang rendah dari pegawai. Meyer dan Allen (1997) mengatakan bahwa pegawai yang memiliki komitmen afektif yang tinggi memiliki keterikatan emosional terhadap organisasi tempatnya bekerja, sehingga akan menunjukkan performa yang baik bagi keberhasilan organisasi. Selanjutnya, Meyer dan Allen (1997) juga menjelaskan bahwa pegawai dengan komitmen berkesinambungan yang tinggi, tetap bertahan di organisasinya, tetapi tidak memiliki keterikatan emosional sehingga kemungkinan untuk berkontribusi demi tujuan organisasi lebih kecil dibandingkan pegawai dengan komitmen afektif tinggi. Untuk pegawai dengan komitmen normatif yang tinggi, Meyer dan Allen (1997) mengatakan bahwa, pegawai tersebut merasa berhutang terhadap organisasinya sehingga termotivasi untuk membayar hutang tersebut dengan berperilaku yang baik bagi organisasinya. Meskipun komitmen organisasi identik dengan turnover, menurut pendapat Meyer dan Allen (1997) tidak ideal jika komitmen organisasi hanya dikaitkan dengan turnover. Kinerja pegawai sama pentingnya dengan kesetiaan pegawai terhadap organisasi (Meyer & Allen, 1997).

Melihat penjelasan sebelumnya, dapat terlihat bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi berhubungan satu sama lain. Kepuasan kerja itu sendiri menjadi salah satu faktor yang memengaruhi komitmen organisasi (Lok & Crawford, 2003; Mahanta, 2012; Salami, 2008).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Lok dan Crawford (2003), ditemukan bahwa komitmen organisasi berhubungan positif dengan kepuasan kerja. Salami (2008) juga melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi dan menemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen organisasi. Hubungan tersebut terjadi karena pada dasarnya seorang pegawai yang merasa puas dengan pekerjaannya memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi tempatnya bekerja (Salami, 2008). Penelitian lain yang juga menemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan dengan komitmen organisasi adalah Muthuveloo dan Rose (2005) yang menemukan bahwa kepuasan kerja dan karakteristik organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen afektif dan normatif. Selain itu, Azeem (2010) juga menemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dengan komitmen organisasi.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, terlihat bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi dapat memengaruhi pengunduran diri pegawai dan juga perilaku pegawai di organisasi. Selain itu, dengan memerhatikan hasil dari penelitian-penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya,

(5)

terlihat bahwa kepuasan kerja sering dihubungkan dengan komitmen organisasi. Meskipun demikian, dari hasil penelusuran, jarang sekali ditemukan penelitian yang melihat hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada PNS, terutama di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang dimiliki PNS. Adapun pada penelitian ini, responden penelitian adalah PNS pada kementrian X dengan karakteristik pegawai tetap, berusia minimal 20 tahun, dan telah bekerja selama minimal dua tahun. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasional untuk mencari hubungan antara dua variabel. Adapun variabel yang terdapat di dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang diukur menggunakan dua alat ukur yaitu job satisfaction survey dan affective, continuance, and normative commitment scales.

Berdasarkan penjelasan tersebut, adapun permasalahan di dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana gambaran kepuasan kerja pada Pegawai Negeri Sipil di dalam Kementrian X?

2. Bagaimana gambaran komitmen organisasi pada Pegawai Negeri Sipil di dalam Kementrian X?

3. Apakah terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada Pegawai Negeri Sipil di dalam Kementrian X?

4. Bagaimana gambaran kepuasan kerja pada Pegawai Negeri Sipil di Kementrian X berdasarkan aspek-aspek demografis?

5. Bagaimana gambaran komitmen organisasi pada Pegawai Negeri Sipil di Kementrian X berdasarkan aspek-aspek demografis?

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat terdapat atau tidaknya hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang dimiliki oleh PNS di dalam Kementrian X.

Pada penelitian ini, peneliti juga melihat gambaran kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada PNS secara umum, maupun berdasarkan aspek-aspek demografis.

Tinjauan Teoritis

Kepuasan Kerja

Definisi Kepuasan Kerja

Pada dasarnya, kepuasan kerja adalah perasaan suka maupun tidak suka seorang pegawai terhadap pekerjaan yang dimiliki (Spector, 1997; Spector, 2000). Definisi selanjutnya dikutip

(6)

dari pendapat Riggio (2009) yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan dan sikap pekerja, baik positif maupun negatif, terhadap pekerjaannya. Riggio kemudian menambahkan bahwa kepuasan kerja ini dibangun dari beragam aspek, baik maupun buruk, dari pekerjaan yang dimiliki. Noe dkk. (2008) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan menyenangkan yang dihasilkan dari persepsi bahwa pekerjaan yang dimiliki dapat memenuhi nilai-nilai yang dianggap penting. Luthans (dalam Azeem, 2010) juga mendefinisikan kepuasan kerja sebagai kondisi emosional positif yang diperoleh dari hasil penilaian seseorang terhadap pekerjaan yang dimiliki. Sejalan dengan pendapat Luthans, Johnson dan Johnson (2000) juga mengungkapkan bahwa kepuasan kerja adalah sebuah respon dari pegawai terhadap pekerjaan yang dimiliki dan respon tersebut dibangun atas interpretasi yang berbeda-beda.

Dari definisi-definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan dan sikap pegawai, baik positif maupun negatif terhadap pekerjaannya, yang diperoleh dari hasil penilaian pegawai mengenai mampu atau tidaknya pekerjaan tersebut memenuhi kebutuhan yang dianggap penting.

Faset Kepuasan Kerja

Spector (1997) mengatakan bahwa kepuasan kerja dapat dilihat sebagai perasaan pegawai terhadap pekerjaannya secara umum (pendekatan global) maupun sebagai perasaan pegawai terhadap pekerjaannya berdasarkan faset-faset dari pekerjaannya tersebut (pendekatan faset).

Dari kedua pendekatan tersebut, Spector (1997) mengatakan bahwa dengan pendekatan faset, organisasi mendapatkan gambaran yang lebih luas mengenai kepuasan kerja dari para pegawainya karena setiap pegawai bisa saja memiliki perasaan yang berbeda-beda mengenai faset-faset dalam kepuasan kerja. Spector (1997) kemudian memberikan sembilan faset kepuasan kerja, yaitu (1) Gaji, kepuasan akan gaji dan kenaikan gaji yang dialami oleh para pegawai; (2) Promosi, kepuasan dengan kesempatan untuk mendapatkan promosi jabatan; (3) Pengawasan, kepuasan terhadap atasan yang bertanggung jawab langsung mengawasi; (4) Fringe Benefits, kepuasan atas keuntungan atau tunjangan yang diperoleh; (5) Hadiah, kepuasan terhadap penghargaan yang diberikan atas pekerjaan yang dilakukan; (6) Operating Conditions, kepuasan terhadap peraturan dan prosedur yang berlaku di organisasi; (7) Rekan Kerja, kepuasan terhadap rekan kerja di organisasi; (8) Tipe Pekerjaan, kepuasan terhadap tipe pekerjaan yang dilakukan; dan (9) Komunikasi, kepuasan dengan komunikasi yang terjalin di dalam organisasi.

(7)

Faktor yang Memengaruhi Kepuasan Kerja

Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi kepuasan kerja, baik yang berasal dari pegawai (personal), maupun yang berasal dari pekerjaan itu sendiri (Spector, 1997; Aydogdu

& Asikgil, 2011). Faktor personal yang memengaruhi kepuasaan kerja diantaranya adalah pengalaman, usia, dan jenis kelamin (Aydogdu & Asikgil, 2011). Spector (1997) juga memberikan faktor personal yang dapat memengaruhi kepuasan kerja, yaitu trait kepribadian dan person-job fit. Dari faktor pekerjaan, faktor-faktor tersebut diantaranya karakteristik pekerjaan, tekanan organisasi, peran, gaji dan keuntungan, beban kerja, atasan dan rekan kerja, promosi, kondisi pekerjaan, dan masa jabatan (Spector, 1997; Sarker, Crossman, &

Chinmeteepituck, 2003; Noe dkk., 2008; Aydogdu & Asikgil, 2011).

Komitmen Organisasi Definisi

Komitmen organisasi didefinisikan sebagai derajat seorang pegawai mengidentifikasikan dan mendedikasikan dirinya dengan organisasi tempatnya bekerja, berusaha semaksimal mungkin untuk kepentingan organisasi tersebut serta tetap mempertahankan pekerjaannya di organisasi tersebut (Jex, 2002; Jex & Britt, 2008; Noe dkk., 2008). Selain itu, Mowday dkk. (dalam Arnold & Randall dkk, 2010) juga mendefinisikan komitmen organisasi sebagai identifikasi pegawai terhadap organisasi tempatnya bekerja dengan (1) meyakini nilai-nilai dan tujuan yang dimiliki oleh organisasi, (2) berusaha dengan sungguh-sungguh untuk organisasi, dan (3) memiliki keinginan untuk bertahan di organisasi tempatnya bekerja.

Meyer dan Allen (1991) juga memberikan definisi komitmen organisasi, yaitu keadaan psikologis yang mencirikan hubungan antara pegawai dengan organisasi dan memengaruhi keputusan pegawai untuk menghentikan atau mempertahankan keanggotannya di dalam organisasi tersebut. Dari definisi-definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa komitmen organisasi adalah keadaan psikologis yang mencirikan hubungan pegawai dengan organisasi, di mana pegawai mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi tempatnya bekerja, bersedia untuk berusaha sebaik-baiknya demi organisasi tersebut, serta memengaruhi keputusannya untuk menetap atau menghentikan keanggotan di dalamnya.

Komponen Komitmen Organisasi Komitmen Afektif

Komitmen afektif (affective commitment) adalah kelekatan emosional antara pegawai terhadap organisasi tempatnya bekerja (Meyer & Allen, 1991; Meyer & Allen, 1997).

(8)

Komitmen afektif juga menunjukkan bahwa selain memiliki kelekatan emosional, pegawai juga mengidentifikasikan dirinya dan memiliki keterlibatan dengan organisasi tempatnya bekerja (Meyer & Allen, 1991). Meyer dan Allen (1991), kemudian juga menjelaskan bahwa para pegawai yang memiliki komitmen afektif, akan tetap bertahan di organisasi tempatnya bekerja, karena mereka memang ingin bertahan di organisasi tersebut. Rhoades, Eisenberger, dan Armeli (2001) menjelaskan bahwa kelekatan emosional pegawai dengan organisasi tempatnya bekerja merupakan faktor yang penting dalam menentukan dedikasi dan kesetiaan pegawai terhadap organisasi. Para pegawai dengan komitmen afektif yang tinggi akan menunjukkan performa yang baik demi kelangsungan dan keberhasilan organisasi (Meyer &

Allen, 1997).

Komitmen Berkesinambungan

Komitmen berkesinambungan (continuance commitment) adalah komitmen, di mana para pegawai bertahan di organisasi tempat mereka bekerja dengan pertimbangan untung dan rugi jika meninggalkan organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1991; Meyer & Allen, 1997). Para pegawai yang memiliki komitmen berkesinambungan bertahan di organisasi tempat mereka bekerja karena mereka butuh untuk tetap bertahan di organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1991). Para pegawai dengan komitmen berkesinambungan yang tinggi memiliki kemungkinan yang kecil untuk berkontribusi demi tujuan organisasi (Meyer & Allen, 1997).

Komitmen Normatif

Pada komitmen ini, para pegawai bertahan di organisasi karena merasa memiliki kewajiban untuk tetap bertahan (Meyer & Allen, 1991). Mereka merasa berhutang budi terhadap organisasi atas keuntungan-keuntungan yang telah diberikan oleh perusahaan, seperti gaji, tunjangan, dan lain sebagainya. Perasaan berhutang inilah yang juga memotivasi para pegawai untuk berperilaku baik dan turut serta berkontribusi di dalam organisasi tempatnya bekerja untuk membayar hutangnya terhadap organisasi (Meyer & Allen, 1997). Di dalam bentuk komitmen normatif ini, para pegawai bertahan di organisasi tempat mereka bekerja karena merasa mereka harus bertahan di organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1991).

Faktor yang Memengaruhi Komitmen Organisasi

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi komitmen organisasi. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu karakteristik personal dan karakteristik organisasi (Suman & Srivastava, 2010; Joiner & Bakalis, 2006). Di dalam karakteristik personal, faktor-faktor tersebut terdiri dari usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan (Suman

(9)

& Srivastava, 2010; Joiner & Bakalis, 2006; Salami, 2008; Aydogdu & Asikgil, 2011). Di dalam karakteristik organisasi, faktor-faktor yang memengaruhi komitmen organisasi terdiri dari struktur organisasi, karakteristik pekerjaan, dukungan atasan dan rekan kerja, kemudahan akses (Suman & Srivastava, 2010; Joiner & Bakalis, 2006), percieved organizational support (Eisenberg dkk., dalam Joiner & Bakalis, 2006), dan masa jabatan (Kaur & Sandhu, 2010; Noordin dkk., 2011).

Metode Penelitian

Tipe dan Desain Penelitian

Melihat dari aplikasi penelitian, penelitian ini adalah applied research karena hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi bagi organisasi mengenai kepuasan kerja yang dimiliki oleh pegawainya. Melihat dari tujuan penelitian, tipe penelitian ini termasuk ke dalam penelitian korelasional karena peneliti ingin melihat keberadaan hubungan antara kedua variabel yang digunakan yaitu kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Berdasarkan metode pengumpulan data, penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif. Pada penelitian ini, peneliti ini menggunakan desain penelitian cross-sectional study karena peneliti hanya melakukan pengambilan data sebanyak satu kali. Peneliti menggunakan the retrospective study design karena peneliti menggunakan data baru yang didasarkan pada hasil evaluasi pegawai selama bekerja di organisasi. Penelitian ini merupakan penelitian non-experimental karena peneliti tidak melakukan manipulasi maupun randomisasi terhadap responden.

Responden Penelitian

Responden penelitian ini adalah PNS dengan status pegawai tetap pada Kementrian X yang berusia minimal 20 tahun dan sudah bekerja minimal selama 2 tahun. Responden penelitian ini berjumlah 63 orang dari Kementrian X dengan 38 responden laki-laki dan 25 responden perempuan. Metode sampling yang digunakan adalah convenience sampling.

Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, data diperoleh melalui dua jenis alat ukur berupa kuesioner, yaitu job satisfaction survey (JSS) untuk mengukur kepuasan kerja yang dikonstruksi oleh Spector pada tahun 1985 (Spector, 1997) dan affective, continuance, and normative commitment scales untuk mengukur komitmen organisasi yang dikonstruksi oleh Meyer dan Allen (1997).

Adapun kedua alat ukur ini kemudian diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia

JSS terdiri dari tiga puluh enam item untuk mengukur sembilan faset kepuasan kerja yaitu

(10)

gaji, promosi, pengawasan, keuntungan, hadiah, operating conditions, rekan kerja, tipe pekerjaan, dan komunikasi (Spector, 1997). Selain mengukur sembilan faset kepuasan kerja, JSS juga mengukur kepuasan kerja secara keseluruhan (Spector, 1997). Setiap faset dari kepuasan kerja terdiri dari empat buah item dan skor total dapat diperoleh dengan menjumlahkan skor-skor yang diperoleh dari setiap item (Spector, 1997). Alat ukur ini terdiri dari penyataan-pernyataan yang bersifat favorable yang berjumlah 17 item dan unfavorable yang berjumlah 19 item (Spector, 1997). Alat ukur ini menggunakan pilihan jawaban berbentuk skala Likert dengan rentang 1 (satu) sampai 6 (enam), di mana 1 adalah sangat tidak setuju dan 6 adalah sangat setuju. Skor minimal yang dapat diperoleh oleh responden adalah 36 dan skor maksimal yang dapat diperoleh responden adalah 216. Untuk sub skala, skor minimal yang dapat diperoleh adalah 4 dan skor maksimal adalah 24.

Item-item favorable di dalam alat ukur ini akan diberikan skor 1 untuk “Sangat Tidak Setuju (STS)” dan skor 6 untuk “Sangat Setuju (SS)”. Untuk item-item unfavorable, pemberian skor dibalik sehingga untuk pilihan “Sangat Tidak Setuju (STS)” diberi skor 6 dan untuk pilihan

“Sangat Setuju” diberi skor 1. Selanjutnya, di dalam alat ukur ini, peneliti menambahkan tulisan “Istilah organisasi merujuk pada organisasi tempat anda bekerja saat ini” di bawah alat ukur Job Satisfaction Survey. Keputusan untuk menambahkan tulisan ini adalah untuk menyamakan persepsi responden akan istilah organisasi yang terdapat di dalam alat ukur ini.

Affective,Continuance, and Normative Commitment Scales terdiri dari 18 item yang mengukur tiga komponen komitmen organisasi. Alat ukur ini terdiri dari penyataan-pernyataan yang bersifat favorable yang berjumlah 14 item dan unfavorable yang berjumlah 4 item (Meyer &

Allen, 1997). Alat ukur ini menggunakan pilihan jawaban berbentuk skala Likert dengan rentang 1 (satu) sampai 7 (tujuh), di mana 1 sangat tidak setuju dan 7 sangat setuju. Pada penelitian ini, peneliti melakukan modifikasi dengan menghilangkan pilihan jawaban “ragu- ragu” untuk menghindari kemungkinan jawaban mengumpul di tengah dan menambahkan tulisan “Istilah organisasi merujuk pada organisasi tempat anda bekerja saat ini” di bawah alat ukur Affective, Continuance, and Normative Commitment Scales untuk menyamakan persepsi responden akan istilah organisasi yang terdapat di dalam alat ukur ini. Oleh karena itu, di dalam alat ukur ini, peneliti menggunakan skala Likert dengan rentang 1 (satu) sampai 6 (enam).

Skor minimal yang dapat diperoleh dari alat ukur ini adalah 18 dan skor maksimal 108. Item- item favorable di dalam alat ukur ini diberikan skor 1 untuk “Sangat Tidak Setuju (STS)”

(11)

dan skor 6 untuk “Sangat Setuju (SS)”. Pada item unfavorable, pemberian skor dibalik sehingga untuk pilihan “Sangat Tidak Setuju (STS)” diberi skor 6 dan pilihan “Sangat Setuju”

diberi skor 1.

Teknik Statistik

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik statistik deskriptif, Pearson correlation, independent sample t-test, dan one-way Analysis of Variance (ANOVA) dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0.

Hasil Penelitian

Gambaran Umum Kepuasan Kerja pada Pegawai Negeri Sipil

Tabel. 1

Variabel N Rata- Rata

Modus Skor Minimum

Skor Maksimum

Standar Deviasi

Kepuasan Kerja 63 137,65 110 56 180 26,419

Dari skor kepuasan kerja yang diperoleh pada Tabel. 1, dapat terlihat bahwa kepuasan kerja yang dimiliki oleh PNS tinggi, dengan nilai rata-rata (137,65) mendekati skor maksimal.

Selain itu, berdasarkan faset kepuasan kerja, pada Tabel. 2 terlihat bahwa dari sembilan faset kepuasan kerja, PNS terlihat paling puas dengan tipe pekerjaan yang dilakukan (rata-rata 17,11) dan paling tidak puas dengan prosedur atau peraturan yang berlaku di organisasi (conditions of works) dengan rata-rata 13,65

Tabel. 2

No Variabel Rata-Rata 1 Tipe Pekerjaan 17,11

2 Pengawasan 16,89

3 Rekan Kerja 16,76

4 Hadiah 15,54

5 Gaji 15,13

6 Keuntungan 14,65

7 Promosi 14,08

8 Komunikasi 13,84

9 Conditions of Works

13,65

(12)

Gambaran Umum Komitmen Organisasi pada Pegawai Negeri Sipil

Tabel. 3

Variabel N Rata- Rata

Modus Skor Minimum

Skor Maksimum

Standar Deviasi Komitmen

organisasi

63 77,03 76 47 102 13,100

Pada Tabel. 3, dapat terlihat bahwa komitmen organisasi yang dimiliki oleh PNS tinggi dengan rata-rata 77,03 yang lebih mendekati skor maksimum. Selanjutnya, pada Tabel. 4 data terlihat gambaran tiap-tiap komponen komitmen organisasi pada PNS. Dari tabel tersebut, dapat terlihat jika komitmen normatif paling tinggi dimiliki oleh PNS, dengan komitmen berkesinambungan paling rendah dimiliki oleh PNS.

Tabel. 4

Komponen N Rata-

Rata

Modus Skor Minimum

Skor Maksimum

Standar Deviasi

Komitmen Normatif 63 26,37 30 11 35 5,392

Komitmen Afektif 63 26,19 26 14 36 5,349

Komitmen Berkesinambungan

63 24,48 21 11 36 4, 849

Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi

Pada Tabel. 5, dapat terlihat bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan komitmen organisasi (r= 0,633, p<0,01, 2-tailed). Melihat kekuatan korelasi tersebut, jika menggunakan batasan kekuatan korelasi menurut Jackson (2009), maka kepuasan kerja dan komitmen organisasi memiliki hubungan yang moderat.

Tabel. 5

Variabel N r P

Kepuasan kerja dan komitmen organisasi 63 0,633 .000**

** Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)

Gambaran Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi berdasarkan Aspek Demografis Peneliti juga melihat kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada PNS yang ditinjau dari

(13)

aspek demografis, yaitu yaitu usia, jenis kelamin, dan lama kerja (tahapan karir). Pada aspek demografis ini, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam kepuasan kerja maupun komitmen organisasi pada aspek demografis. Dari aspek usia, tidak ditemukan perbedaan kepuasan kerja maupun komitmen organisasi pada kelompok usia (early-career, middle- career, dan late-career). Melihat dari aspek jenis kelamin, juga tidak ditemukan perbedaan kepuasan kerja maupun komitmen organisasi pada pria dan wanita. Terakhir, dari aspek lama kerja (tahapan karir), juga tidak terdapat perbedaan kepuasan kerja maupun komitmen organisasi pada kelompok tahapan early-career, middle-career, maupun late-career.

Pembahasan

Dari analisis utama, ditemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan komitmen organisasi (r =0,633, p<0,01, 2-tailed). Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian lain yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Adapun penelitian tersebut diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Salami (2008), Altinoz, Cakiroglu, dan Cop (2012), Shah, Isran, dan Memon (2012), serta Mahanta (2012).

Pada penelitian ini, tidak ditemukan perbedaan kepuasan kerja maupun komitmen organisasi pada jenis kelamin. Menurut Spector (2000) penelitian-penelitian yang melihat pengaruh jenis kelamin pada kepuasan kerja memang memberikan hasil yang beragam dan tidak konsisten.

Terdapat penelitian yang menemukan bahwa wanita mungkin lebih merasa senang dengan sedikit pekerjaan dibanding pria, tetapi alasan yang mendasarinya masih belum jelas (Spector, 2000). Hasil penelitian juga ini menunjukkan bahwa penelitian mengenai perbedaan jenis kelamin pada komitmen organisasi memberikan hasil berbeda-beda dan tidak konsisten.

Penelitian ini tidak menemukan perbedaan kepuasan kerja pada tahap usia. Penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Okpara (2004) yang menemukan usia memengaruhi kepuasan kerja. Meskipun demikian, rata-rata kepuasan kerja pada tahap usia late-career (141,15) paling tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata kepuasan kerja pada tahap usia middle-career (129,00) dan early-career (139,18). Hal ini sesuai dengan penelitian Kaya (dalam Aydogdu & Asikgil, 2011) yang menemukan bahwa kepuasan kerja akan meningkat seiring bertambahnya usia. Selain itu, terlihat bahwa pada tahap usia middle-career, terdapat penurunan pada kepuasan kerja jika dibandingkan dengan kepuasan kerja tahap usia early- career, sehingga berdasarkan rata-rata tersebut, kepuasan kerja terlihat berbentuk U-Shaped.

(14)

Di dalam penelitiannya, Hunter (2007), juga menemukan bahwa kepuasan kerja dan usia membentuk kurva U. Di dalam diskusinya, Hunter (2007) menjelaskan bahwa setelah para pegawai muda merasa stabil dengan pekerjaan yang baru dimilikinya, mereka akan memiliki keinginan untuk melebihi pencapaian yang telah dicapai. Meskipun demikian, hal tersebut belum tentu dapat dilakukan karena pegawai masih berada pada tahap perkembangan karir atau yang disebut Hunter sebagai line of progression. Pegawai mungkin melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat rutinitas dan akhirnya para pegawai merasa bosan sehingga kepuasan kerja menurun. Meskipun bosan, karena tuntutan kebutuhan sehari-hari, mereka akhirnya tetap bertahan di dalam pekerjaannya.

Semakin lama seseorang bekerja dan semakin bertambahnya usia, maka orang tersebut akan lebih terbiasa dengan rutinitas yang dilakukan karena merasa tidak lama lagi mereka akan pensiun (Hunter, 2007). Hal itu membuat pegawai dapat mengatasi rasa ketidakpuasan tersebut. Selain itu, Hunter (2007) juga mengatakan bahwa fluktuasi ini juga dapat disebabkan tanggung jawab yang semakin besar, seperti keluarga, seiring bertambahnya usia.

Pada perbedaan komitmen organisasi pada tahap usia early-career, middle-career, dan late- career, penelitian ini tidak menemukan perbedaan. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salami (2008). Meskipun demikian, Salami juga mengatakan bahwa terdapat penelitian lain yang tidak menemukan bahwa usia berhubungan dengan komitmen organisasi. Suman dan Srivastava (2010) juga menemukan bahwa usia tidak memengaruhi komitmen organisasi. Selain itu, Meyer dan Allen (1997) mengatakan bahwa penelitian mengenai aspek demografis, seperti usia, memberikan hasil yang tidak konsisten terutama dalam kaitannya dengan komitmen afektif. Oleh karena itu, dapat terlihat bahwa pengaruh usia terhadap komitmen organisasi masih diperdebatkan.

Pada penelitian ini, peneliti juga melihat perbedaan kepuasan kerja pada tahapan karir (lama kerja) di mana tidak ditemukan perbedaan kepuasan kerja pada tahap early-career, middle- career, maupun late-career. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarker, Crossman, dan Chinmeteepituck (2003) yang menemukan perbedaan kepuasan kerja yang signifikan pada tahapan karir. Meskipun demikian, berdasarkan nilai rata-rata, terlihat bahwa nilai rata-rata kepuasan kerja pada late-career stage (140,33) paling tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata middle-career stage (134,15) dan early-career stage (139,82). Jika dilihat, kepuasan kerja pada tahap karir membentuk kurva U. Hunter (2007) kemudian mengatakan kurva ini terbentuk karena mungkin para pegawai

(15)

yang telah bekerja lama (lebih dari 10 tahun) merasa bahwa kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan menantang semakin sedikit, sehingga mereka tidak terlalu berharap banyak, sedangkan para pegawai yang bekerja kurang dari 10 tahun, mungkin masih memiliki harapan tersebut. Hal tersebut membuat para pegawai yang sudah bekerja lama membentuk kepuasan kerja karena mereka merasa bahwa hanya pekerjaan inilah yang mereka miliki

Penelitian ini juga melihat perbedaan komitmen organisasi pada tahapan karir (lama kerja) dan tidak menemukan perbedaan komitmen organisasi pada tahap early-career, middle- career, dan late-career. Melihat dari nilai rata-rata komitmen organisasi, tahap late-career memiliki nilai rata-rata tertinggi ada pada tahap late-career (77,03) jika dibandingkan dengan middle-career stage (75,30) dan early-career stage (76,25). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Noordin dkk (2011) yang menemukan bahwa para manajer yang sudah bekerja selama lebih dari 10 tahun memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena responden pada penelitian ini berasal dari jabatan yang berbeda-beda, sehingga mungkin terdapat perbedaan di setiap jabatan.

Natarajan dan Nagar (2011) mengatakan bahwa semakin lama seseorang bekerja di sebuah organisasi, maka semakin banyak pula masalah yang dihadapi, sehingga ketika masalah tersebut dapat teratasi, pegawai akan semakin mengidentifikasikan dirinya ke dalam organisasi tersebut. Melihat jabatan para responden penelitian ini berbeda-beda, dan mayoritas adalah staf, maka masalah yang dihadapi pun berbeda-beda. Selain itu, mungkin karena mayoritas jabatan responden adalah staf, mereka tidak memiliki andil yang besar dalam penyelesaian masalah . Oleh karena itu, perlu dikaji lebih dalam mengenai pekerjaan yang dilakukan oleh PNS. Di dalam penelitian ini, fenomena perilaku counterproductive yang ditunjukkan oleh PNS, diasumsikan terjadi karena adanya ketidakpuasan pegawai terhadap pekerjaan yang dimiliki. Meskipun demikian, dari hasil penelitian ini, justru nilai rata-rata keseluruhan kepuasan kerja pada PNS tinggi (137,65). Hal ini bertolak belakang dengan asumsi peneliti yang menduga bahwa kepuasan kerja yang dimiliki PNS rendah.

Kepuasan kerja yang tinggi tersebut mungkin terjadi karena ada kemungkinan PNS merasa memiliki keamanan dengan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena itulah para PNS memiliki kepuasan kerja yang tinggi karena memiliki jaminan akan pekerjaan. Hal itu pula yang dapat menjelaskan alasan komitmen normatif justru memiliki nilai rata-rata tertinggi jika dibandingkan dengan nilai rata-rata komitmen berkesinambungan karena

(16)

mereka merasa sudah aman di kementrian tersebut dan ingin membayar rasa aman tersebut.

Pada penelitian ini, salah satu asumsi peneliti adalah PNS memiliki komitmen berkesinambungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan komitmen afektif maupun normatif sehingga memunculkan perilaku counterproductive. Hal ini sesuai dengan pendapat Meyer dan Allen (1997) yang mengatakan bahwa pegawai yang memiliki komitmen berkesinambungan yang lebih tinggi, cenderung memiliki performa yang rendah. Akan tetapi, dari hasil penelitian ini justru ditemukan bahwa rata-rata komitmen berkesinambungan paling kecil (24,48) jika dibandingkan dengan rata-rata komitmen afektif (26,19) dan komitmen normatif (26,37). Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, hal ini mungkin terjadi karena PNS ingin membayar rasa aman akan jaminan pekerjaan yang telah diberikan.

Salah satu hal yang kontradiktif pada hasil penelitian ini adalah, para PNS memiliki komitmen normatif yang tinggi tetapi kinerja yang buruk. Tingginya komitmen normatif yang dimiliki PNS diasumsikan karena para pegawai mendapatkan jaminan pekerjaan yang diberikan oleh badan pemerintahan. Asumsi ini dibuat berdasarkan pendapat Meyer dan Allen (1997) yang mengatakan bahwa para pegawai dengan komitmen normatif yang tinggi akan menunjukkan kinerja yang terbaik karena merasa hal itulah yang harus dilakukan untuk membayar jasa yang telah diberikan oleh organisasi. Jika mengikuti teori yang diberikan oleh Meyer dan Allen (1997), seharusnya PNS menunjukkan kinerja yang baik. Meskipun demikian, kembali kepada fenomena PNS tersebut, terlihat bahwa PNS tidak menunjukkan kinerja yang baik. Oleh karena itu, peneliti mewaspadai kemungkinan terjadinya social desirability.

Furr (2011) mengatakan bahwa social desirability adalah kecenderungan responden untuk memberikan jawaban yang diperkirakan memang jawaban yang diharapkan untuk muncul.

Mungkin saja PNS yang menjadi responden penelitian ini merasa sedang diawasi sehingga memberikan respon yang dianggap memang diinginkan. Social desirability inilah yang mungkin memengaruhi hasil penelitian ini, terutama dalam kaitannya dengan komitmen berkesinambungan dan komitmen normatif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, komitmen berkesinambungan menunjukkan kelekatan pegawai terhadap organisasi atas dasar untung dan rugi. Bisa saja para pegawai merasa, tidak seharusnya mereka memanfaatkan organisasi sehingga mereka menjawab beradasarkan jawaban yang dianggap diinginkan.

Jika melihat dari sisi komitmen, dapat terlihat bahwa komitmen normatif yang dimiliki oleh

(17)

PNS paling tinggi jika dibandingkan dengan komitmen afektif dan berkesinambungan. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya tunjangan dan keuntungan yang diperoleh PNS, seperti tunjangan pensiun. Selain itu, para PNS juga jarang diberhentikan secara mendadak. Adapun prosedur pemberhentian PNS sudah diatur di dalam peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1979. Di dalam peraturan tersebut dapat terlihat bahwa PNS hanya dapat diberhentikan secara tidak hormat jika melanggar hukum. Di dalam peraturan tersebut juga dikatakan bahwa PNS yang diberhentikan karena penyederhanaan organisasi akan disalurkan ke organisasi lain atau diberhentikan secara hormat dengan tetap mendapatkan tunjangan-tunjangan.

Melihat hal tersebut, dapat dikatakan bahwa para PNS memang berusaha untuk membalas keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh organisasi dengan tetap bertahan di organisasi tersebut. Meskipun demikian, melihat fenomena PNS yang berperforma buruk, maka terdapat kemungkinan besar bahwa social desirability ini terjadi.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada PNS. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja yang dimiliki oleh PNS maka semakin tinggi pula komitmen organisasi yang dimiliki. Pada gambaran kepuasan kerja yang dimiliki oleh PNS, ditemukan bahwa secara keseluruhan kepuasan kerja yang dimiliki PNS tinggi. Selain itu, jika melihat dari faset-faset kepuasan kerja, terlihat bahwa kepuasan akan tipe pekerjaan yang dilakukan paling tinggi dirasakan oleh PNS, sedangkan kepuasan akan peraturan dan prosedur yang berlaku di dalam organisasi paling rendah dirasakan oleh PNS. Secara keseluruhan, komitmen organisasi yang dimiliki oleh PNS tinggi. Jika dilihat berdasarkan komponen komitmen organisasi, terlihat bahwa komitmen normatif paling tinggi dirasakan oleh PNS, sedangkan komitmen berkesinambungan paling rendah dirasakan oleh PNS.Pada penelitian ini juga tidak ditemukan perbedaan kepuasan kerja maupun komitmen organisasi pada aspek demografis (usia, jenis kelamin, dan lama kerja)

Saran

Untuk penelitian-penelitan selanjutnya, ada baiknya peneliti memperbanyak jumlah responden penelitian agar hasil dapat lebih mewakili kementrian X sebagai populasi. Selain itu, peneliti perlu untuk memperluas cakupan penelitian, dimana tidak hanya terbatas pada Kementrian X saja, agar dapat menjawab fenomena PNS di Indonesia secara luas. Peneliti

(18)

juga perlu untuk menggunakan metode pengumpulan data yang beragam, seperti wawancara dan observasi, agar pemahaman yang diperoleh lebih mendalam. Selanjutnya, untuk penelitian selanjutnya, ada baiknya peneliti memerhatikan karakteristik pegawai pada tahap karir maupun usia agar mendapatkan gambaran yang mendalam mengenai kepuasan kerja maupun komitmen organisasi berdasarkan tahap karir maupun usia.

Selain itu, untuk penelitian-penelitian selanjutnya, diharapkan peneliti dapat menguji topik- topik lain yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti penelitian kualitatif mengenai kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada PNS untuk mengetahui alasan yang mendasari PNS tetap bertahan di pekerjaannya tetapi menunjukkan perilaku counterproductive atau pengaruh faktor-faktor di luar pekerjaan (keluarga, teman, dan lain sebagainya) yang dapat memengaruhi kepuasan kerja dan komitmen organisasi PNS.

Adapun saran praktis dari penelitian ini adalah pihak KementrianX, dapat melihat aspek- aspek kepuasan kerja yang masih kurang dirasakan oleh PNS, yaitu kepuasan akan peraturan dan prosedur yang berlaku di dalam organisasi. Oleh karena itu, pihak kementrian X dapat mempertimbangkan untuk menganalisa kembali peraturan dan prosedur yang berlaku. Jika melihat hasil penelitian yang menunjukkan PNS memiliki komitmen organisasi yang tinggi, maka pihak organisasi harus mempertahankan hal tersebut dengan cara melihat aspek-aspek kepuasan kerja yang masih kurang dari PNS.

. Referensi:

Ahmad, A., & Omar, Z. (2010). Percieved family-supportive work culture, affective commitment and turnover intention of employees. Journal of American Science, 6(12), 839-846.

Altinoz, M., Cakiroglu, D., & Cop, S. (2012). The Effect of Job Satisfaction of the Talented Employees on Organizational Commitment: A Field Research. Procedia-Social and Behavioral science, 58, 322-330.

Arnold, J & Randall, R., dkk. (2010). Work Psychology; Understanding Human Behavior in the Workplace. 5th ed. Essex: Pearson

Aydogdu, S., & Asikgil, B. (2011). An empirical study of the relationship among job satisfaction, organizational commitment, and turnover intention. International Review of Management and Marketing, 1(3), 43-53.

Azeem, S. M. (2010). Job satisfaction and organizational commitment among employees in the sultanate of Oman. Psychology, 1(4), 295-299. doi:10.4236/psych.2010.14038.

(19)

Furr, R. M. (2011). Scale Construction and Psychometrics: For Social and Personality

Psychology. London: SAGE Publication. Diunduh dari

http://books.google.co.id/books?id=bwp5W4DAz8MC&printsec=frontcover#v=onepa ge&q&f=false

Hunter, D. (2007). Non linear patterns of job satisfaction and age cohorts in an industrial environtment. Journal of American Academy of Business, Cambridge, 11(2), 231-238.

Jackson, S. L.(2009). Research Methods and Statistics: A Critical Thinking Approach. 3rd ed.

California: Wadsworth Cengage Learning.

Jex, S. M. (2002). Organizational Psychology: A Scientist Pratitioner Approach. New York:

John Wiley & Sons, Inc.

Jex, S. M., & Britt, T. W. (2008). Organizational Psychology: A Scientist pratitioner approach. 2nd ed. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.

Joiner, T. A., & Bakalis, S. (2006). The antecendents of organizational commitment: The case of Australian casual academics. International Journal of Education, 20(6), 439-452.

DOI 10.1108/09513540610683694

Johnson, G. J., & Johnson, W. R. (2000). Percieved overqualification and dimensions of job satisfaction: A longitudinal analysis. The Journal of Psychology, 134(5), 537-555.

Kaur, K., & Sandhu, K. H. (2010). Career stage effect on organizational commitment:

Empirical evidence from Indian banking industry. International Journal of Business and Management, 5(12), 141-152.

Kumar, R., Ramendran, C., & Yacob, P. (2012). A study on turnover intention in fast food industry: Employees’ fit to the organizational culture and the important of their commitment. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 2(5), 9-42.

Lok, P., & Crawford, J. (2003). The effect of organizational culture and leadership style on job satisfaction and organizational commitment: A cross-national comparison. The Journal of Management Development, 23(3/4), 321-338.

Mahanta, M. (2012). Personal Characteristics and Job Satisfaction as Predictors of Organizational Commitment: An Empirical Investigation. South Asian Journal of Management, 19(4), 46-58.

Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1991). A Three-component conceptualization of organizational commitment. Human Resource Management Review, 1(1), 61-89.

Meyer, J. P., & Allen N. J., (1997). Commitment in the workplace: Theory, research and application. New Delhi: Sage Publication, Inc.

(20)

Muthuveloo, R., & Rose, R. C. (2005). Antecedents and outcomes of organizational commitment among Malaysian engineers. American Journal of Applied Sciences, 2(6), 1095-1100.

Natarajan, N. K., & Nagar, D. (2011). Effects of service tenure and nature of occupation on organizational commitment and job satisfaction. Journal of Management Research, 11(1), 59-64.

Noe, R. A., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., & Wright, P. M. (2008). Fundamentals of human research management. 3rd ed. New York: McGraw-Hill.

Noordin, F., Abdul Rahim, A. R., Ibrahim, A. H., & Omar, M. S. (2011). An analysis of career stages on organisational commitment of australian managers. International Journal of Business and Social Science, 2(17), 117-126.

Okpara, J. O. (2004). Personal characteristics as predictors of job satisfaction: An exploratory study of IT managers in a developing economy. Information Technology & People, 17 (3), 327-338.

Rhoades, L., Eisenberger, R., & Armeli, S. (2001). Affective commitment to the organization : The contribution of percieved organizational support. Journal of applied psychology.

85(5). 825-836.

Riggio, R. E. (2009). Intoduction to industrial/organizational psychology. 5th ed. New Jersey:

Pearson Prentice Hall.

Samad, S. (2005). Unraveling the organizational commitment and job performance relationship: Exploring the moderating effect of job satisfaction. The Bussines Review, Cambridge, 4(2), 79-84.

Salami, S. O. (2008). Demographic and psychological factors predicting organizational commitment among industrial workers. Anthropologist, 10(1), 31-38.

Sarker, S. J., Crossman, A., & Chinmeteepituck, P. (2003). The relationship of age and length of service with job satisfaction: An examination of hotel employees in Thailand.

Journal of Managerial Psychology, 18(7), 745-758. DOI 10.1108/02683940310502421.

Shah, S. M. A., Isran, S., Memon, M. S. (2012). The impact of employee job satisfaction on the organizational commitment: A study of faculty members of public sector Universities of Pakistan. Interdiciplinary Journal of Contemporary Research in Business, 3(10), 161-170.

Suman, S., & Srivastava, A. K. (2010). Antecedents of organizational commitment across the jobs. Journal of Psychosocial Research, 59(2), 195-208.

(21)

Spector, P. E. (1997). Job satisfaction: Application, assessment, causes, and consequences.

California: Sage Publication Inc.

Spector, P. E. (2000). Industrial and Organizational Psychology: Research and Practice. 2nd ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Van Breukelen, W., Van Der Vlist, R., & Steensma, H. (2004). Voluntary employee turnover:

Combining variables from the ‘traditional’ turnover literature with the theory of planned behavior. Journal of Organizational Behavior, 25, 893-914. DOI:

10.1002/job.281.

Wasono, H.T. (2012, 21 Maret). Kinerja buruk, 40 persen PNS diminta pensiun dini. Tempo.

Diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2012/03/21/173391746/Kinerja-Buruk- 40-Persen-PNS-Diminta-Pensiun-Dini.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tahapan demi tahapan

[r]

Pengasumsiannya bahwa pengertian dari teori ini adalah masyarakat yang membutuhkan informasi atau berita, lalu dapat di ketahui pula bagaimana dengan Kecukupan

Dari hasil pengimplementasian perencanaan lintasan pada mobile robot Qbot menggunakan metode Radial Basis Function dengan kontroler PID Fuzzy dapat disimpulkan bahwa plant

Di Indonesia, sistem pemidanaan secara garis besar mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan

Pada proses ini, rangkaian logika yang dibuat akan dioptimasi dengan meminimalkan jumlah penggunaan gerbang, mengganti elemen logika dengan elemen logika lain yang mempunyai

[r]