• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM PEMBUKTIAN PADA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN HUKUM PEMBUKTIAN PADA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN SKRIPSI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM PEMBUKTIAN PADA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Studi Kasus Putusan Nomor. 88/Pid.B/2014/PN.JNP)

OLEH:

SOEPRIYADI B111 10 013

BAGIAN HUKUM ACARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

(2)

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN HUKUM PEMBUKTIAN PADA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Studi Kasus Putusan Nomor.88/Pid.B/2014/PN.JNP)

OLEH:

SOEPRIYADI B111 10 013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Dalam Program

Kekhususan/Bagian Hukum Acara Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

SOEPRIYADI (B11110013). Tinjauan Hukum Pembuktian Pada Tindak Pidana pembunuhan (Studi Kasus Putusan no. 88/Pid.B/2014/PN.JNP).

Dibimbing oleh M.Syukri Akub selaku Pembimbing I dan Hj. Nur Azisa selaku Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya jaksa penuntut umum untuk membuktikan tindak pidana pembunuhan dalam perkara pidana dan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana pembunuhan.

Penelitian ini dilakukan di Jeneponto yaitu pada Pengadilan Negri Jeneponto dan Kejaksaan Negri Jeneponto, penulis melakukan wawancara dengan 1 orang jaksa dan 1 orang hakim yang menangani perkara pembunuhan di Pengadilan Negri Jeneponto yg dibahas dalam penulisan ini, serta berupa data lainnya yang diperoleh melalui kepustakaan yang relevan yaitu literatur, dokumen-dokumen serta peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan masalah tersebut. Data yang diperoleh tersebut kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, upaya jaksa untuk membuktikan tindak pidana pembunuhan di depan persidangan tidak begitu sulit karena terdawa telah mengakui melakukan pembunuhan sejak dilakukankannya penyidikan serta Jaksa juga memiliki alat bukti lainnya.

Serta dasar pertimbangan hakim yang dipergunakan dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana pembunuhan adalah pasal 338, KUHAP khususnya Pasal 183, yang kesemuanya memeuat tentang laporan penelitian BAPAS , hal-hal yang memberatkan dan meringankan pada diri terdakwa. Selain itu Hakim juga mempertimbangkan, fakta-fakta yang diperoleh dipersidangan yang ditarik dari alat bukti yang ada.

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat , karunia, dan hidayah-nya, yang diberikan sehingga penulisan skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Pembuktian Pada Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 88/Pid.B/2014/PN.JNP)”

ini dapat diselesaikan. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga pada ibunda Ny. Hj. Atika S.pd dan ayahanda tercinta Alm. Ir.

Hariyanto, yang telah melahirkan, mengasuh, membesarkan dan membimbing penulis dengan penuh kasih sayang serta senantiasa memanjatkan doa untuk penulis, semoga ibunda tetap diberikan limpahan berkah dan hidayah Allah SWT dan ayahanda senantiasa dilapangkan kuburnya. Tak lupa pula saya ucapkan terima kasih untuk adik-adikku tersayang : Soekdiarti, Bambang Risaldi dan Adriyanti serta segenap keluarga besar ayah dan ibu khususnya Inka Pradiwisti, SKM, atas doa, dukungan dan bantuannya baik secara moril maupun materil.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan oleh penulis. Melalui kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof.Dr.M. Syukri Akub, S.H,. M.H selaku pembimbing I dan Ibu Dr.Hj. Azisa, S.H,. M.H selaku pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu dan membagi ilmu,

(8)

memberi saran serta masukan yang sangat berarti bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. selaku Rektor Universitas Hasanuddin

2. Ibu Prof.Dr. Farida Patittinggi, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr.

Ahmadi Miru, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan I, Dr.

Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan II, Dr.

Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III.

3. Bapak Prof.Dr. H. M. Said Karim, S.H., M.H, Bapak Prof.Dr.

Slamet sampurno soewondo,S.H,. M.H,.DFM dan Ibu Dr.Hj.

Haeranah, S.H.,M.H selaku penguji penulis. Terima kasih atas segala kritik dan saran membangun yang telah diberikan kepada penulis.

4. Bapak Prof.Dr. Slamet sampurno soewondo,S.H,. M.H,.DFM, selaku Ketua Bagian Hukum Acara dan Dr. Hasrul, S.H,.M.H selaku Sekretaris Bagian Hukum Acara serta para dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Rasanya tiada kata yang lebih pantas selain berterima kasih atas bimbingan dan arahan- arahannya selama penulis penulis berada di Fakultas Hukum.

Semoga Allah SWT membalas jasa-jasa kalian dengan sebaik-

(9)

baik balasannya. Semoga Ilmu, Jasa, dan perhatian kalian menjadi amal jari’ah di sis Allah SWT.Amien`

5. Segenap Staff dan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu penulis selama ini.

6. Sahabat dan kakanda yang senantiasa membantu penulis kakanda Irman yasin limpo, S.H.,kakanda Rudiyanto lallo, S.H, kakanda Jufri, S.H, kakanda Eko sapta putra, S.H serta terkhusus kakanda Poniman, S.H dan kakanda Rais M. Rahman, S.H.

7. Sahabat SPARTAN Awal fajri, S.H, Rinady Syam, S.H, Wahyu Maizal, S.H, Ardiansyah, S.H. yang senantiasa memberi dukungan moril.

8. Seluruh rekan-rekan seperjuangan pemberantasan korupsi dalam wadah GARDA TIPIKOR, YOUTH CAMP KPK 2012, YOUTH INTEGRITY CAMP TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA, serta LONTARA TURATEA Relawan Anti Korupsi.

Semoga semangat pemberantasan korupsi tidak pernah pudar.

9. Seluruh rekan-rekan Legitimasi 2010, terkhusus yg sedang berjuang menyelesaikan studinya.

10. Sahabat perguruan KIBATA Haba’(paja’), Amir dg.timung, Anwar karim kr.lili, Sertu Abd. Malik dg.nyallang, ismail dg. Rapi,sini,jufri

(10)

olo,zakaria sijaya,iskandar kr.beta. yang senantiasa memberi dukungan moril.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, terkhusus untuk diri penulis.

Makassar, september 2015

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ………... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ...

ABSTRAK ...

UCAPAN TERIMA KASIH ...

DAFTAR ISI ...

BAB I PENDAHULUAN

iv v vi x

A. Latar Belakang Masalah ... 1 B. Rumusan Masalah ... 4 C. Tujuan Penelitian ... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Dan Teori Pembuktian… ... 6 1. Pengertian Pembuktian ... 6 2. Teori Pembuktian…………...

3. Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Alat Bukti……….

10 15

B. Tindak Pidana………. 29

1. Pengertian Tindak Pidana ……….………... 29 2. Unsur – Unsur Tindak Pidana……...………... 31

(12)

C. Dan Pemidanaan………... 33

1. Pengertian Pidana Dan Pemidanaan………. 33

2. Teori Dan Tujuan Pemidanaan……… 35

3. Jenis Jenis Pidana……….... D. Tindak Pidana Pembunuhan……… 1. Pengertian Pembunuhan………. 2. Jenis – Jenis Delik Pembunuhan……….. 37 43 43 45 3. Unsur – Unsur Tindak pidana Pembunuhan... 4. Unsur – Unsur Tindak pidana Pembunuhan Berencana... BAB III METODE PENELITIAN 46 47 A. Lokasi Penelitian……… 48

B. Jenis Dan Sumber Data……… 48

C. Teknik Pengumpulan Data ... 49

D. Analisis Data ... 50 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...

A.

Upaya Jaksa Penuntut Umum untuk Membuktikan Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Perkara Pidana No. 88/Pid.B/2014/PN.JNP...

B.

Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhakan putusan dalam perkara pidana No. 88/Pid.B/2014/PN.JNP. ...

51

51

63

(13)

BAB V PENUTUP ...

A. Kesimpulan ...

B. Saran ...

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

69 69 71

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga setiap kegiatan manusia atau masyarakat yang merupakan aktivitas hidupnya harus berdasarkan pada peraturan yang ada dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Hukum tidak lepas dari kehidupan manusia karena hukum merupakan aturan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupannya karena tanpa adanya hukum kita tidak dapat membayangkan akan seperti apa nantinya negara kita ini. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia yang adil, makmur, sejahtera dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan keberadaan hukum di tengah-tengah masyarakat memang tidak berdiri sendiri, maksudnya hukum memiliki keterkaitan dari kehidupan masyarakat.

Kejahatan merupakan perilaku seseorang yang melanggar hukum positif atau hukum yang telah dilegitimasi berlakunya dalam suatu negara. Ia hadir di tengah masyarakat sebagai model perilaku yang sudah dirumuskan secara yuridis sebagai pelanggar dan dilarang oleh hukum dan telah ditetapkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Hukum dalam fungsi mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan

(15)

bernegara dapat memberikan kontribusinya secara maksimal kepada pelaksanaan pembangunan jika aparat hukum dan seluruh lapisan masyarakat tunduk dan taat terhadap norma hukum, tetapi dalam kenyataannya tidak semua unsur dalam lapisan masyarakat siap dan bersiap tunduk kepada aturan yang ada. Oleh karena itu timbul perbuatan yang melanggar hukum seperti kejahatan pembunuhan dan penganiayaan.

Masalah kejahatan dalam masyarakat mempunyai gejala yang sangat kompleks dan rawan serta senangtiasa menarik untuk dibicarakan. Hal ini dapat dipahami karena persoalan kejahatan itu sendiri dalam tindakan yang merugikan dan bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu upaya dan langkah-langkah untuk memberantas kejahatan perlu senangtiasa dilakukan dalam hubungan tersebut kendati kejahatan pembunuhan akhir-akhir ini menunjukkan perkembangan yang cukup meningkat.

Banyaknya kejahatan yang terjadi di sekitar kita sangat mengerikan, hal ini dapat diketahui melalui media massa mengungkap beberapa kasus pembunuhan yang terjadi dimana faktor yang menyebabkannya adanya kecemburuan social, dendam, dan faktor psikologi seseorang.

Sebenarnya yang menjadi masalah adalah faktor pendidikan di mana kurangnya pendidikan yang dimiliki pelaku kejahatan juga menjadi salah satu faktor pendukung pelaku dalam melakukan kejahatan. Kurangnya pendidikan

(16)

yang dimiliki pelaku membuat pelaku menjadi tidak berfikir terlebih dahulu akan akibat dari tindakannya kemudian.

Dalam hal penegakan hukum, walaupun aparat penegak hukum telah melakukan usaha pencegahan dan penanggulangannya, namun dalam kenyataannya masih saja tetap terjadi dan bahkan beberapa tahun terakhir ini nampak bahwa laju perkembangan kejahatan pembunuhan di Indonesia pada umumnya dan di kota-kota lain pada khususnya cenderung meningkat baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas dengan modus operandi yang berbeda. Terjadinya pembunuhan juga tidak terlepas dari kontrol sosial masyarakat, baik terhadap pelaku maupun terhadap korban pembunuhan sehingga tidak memberi peluang untuk berkembangnya kejahatan ini.

Apalagi terhadap pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu, ancaman hukumannya lebih berat dari pembunuhan biasa karena adanya unsur yang direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP). Masalah pembunuhan berencana inipun setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan yang diakibatkan oleh tingkat pendidikan, moral, akhlak dan agama yang tidak berfungsi lagi terhadap sesama manusia.

Ada hal yang perlu dicermati bahwa sistem peradilan kita masih belum dapat menjamin sebuah proses peradilan yang jujur dan adil. Dimana kadangkala masih terdapat hukuman yang kurang adil atau kesalahan dalam penanganan perkara. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis akan

(17)

membahas pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama dan juga membahas dakwaan dan tuntutan dari jaksa melalui tinjauan yuridis, tentu saja dengan mengaitkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita. Agar kita mengetahui apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Atas dasar pemikiran inilah maka penulis menganggap bahwa perlunya kerja sama dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan masyarakat. Ini pula yang melatarbelakangi penulis memilih judul skripsi ini : Tinjauan Hukum Pembuktian Pasal 338 Dan 340 Pada Tindak Pidana Pembunuhan studi kasus putusan no.88/Pid.B/2014/PN.JNP

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa masalah yang menarik untuk dikaji, yaitu:

1. Bagaimana upaya jaksa penuntut umum untuk membuktikan tindak pidana pembunuhan dalam perkara pidana no.88/Pid.B/2014/PN.JNP ?

2. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara pidana no.88/Pid.B/2014/PN.JNP ?

(18)

C. Tujuan Penulisan

Sebagaimana lazimnya setiap penulisan karya ilmiah tentunya mempunyai beberapa tujuan. Adapun tujuan tujuan tersebut adalah:

1. Untuk mengetahui Bagaimana upaya jaksa penuntut umum untuk membuktikan tindak pidana pembunuhan dalam perkara pidana no.88/Pid.B/2014/PN.JNP

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara pidana no.88/Pid.B/2014/PN.JNP

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, dengan kata lain melalui pembuktian nasib terdakwa ditentukan apakah ia dapat dinyatakan bersalah atau tidak.

Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Benar atau salahnya suatu permasalahan terlebih dahulu perlu dibuktikan.

Begitu pentingnya suatu pembuktian sehingga setiap orang tidak diperbolehkan untuk menjustifikasi begitu saja sebelum melalui proses pembuktian. Urgensi pembuktian ini adalah untuk menghindari dari kemungkinan-kemungkinan salah dalam memberikan penilaian.

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang di pengadilan, karena melalui pembuktian tersebut putusan hakim ditentukan.oleh karena itu, maka kita perlu memperjelas terlebih dahulu tentang pengertian pembuktian baik secara etimologi maupun secara terminologi. Pembuktian secara etimologi berasal dari kata “bukti” yang

(20)

artinya dalam Kamus Bahasa Indonesia (1995:151) adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran atau peristiwa. Kata “bukti” jika mendapat awalan

“Pe” dan akhiran “an” maka berarti “Proses”, “Perbuatan”, “Cara membuktikan”. Secara terminologi pembuktian berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya dalam sidang pengadilan.

Pengertian dari bukti, membuktikan, terbukti dan pembuktian menurut W.J.S.

Poerwadarminta (Bambang Waluyo 1996: 1-2) sebagai berikut :

a. Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya);

b. Tanda bukti, barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya).

c. Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian:

1. Memberi (memperlihatkan) bukti;

2. Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dan sebagainya);

3. Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar);

4. Meyakinkan, menyaksikan.

Sehubungan dengan istilah bukti Andi Hamzah (Bambang Waluyo 1996: 2) mengemukakan bahwa bukti yaitu:

“sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau

(21)

diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, keesaksian, keterangan ahli, surat, dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah.”

M.Yahya Harahap (2002: 273) mengatakan bahwa:

“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan sesuatu peristiwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang- undang yang boleh digunakan hakim membuktikan kebenaran suatu peristiwa.”

Menurut R. Supomo (Taufiqul Hulam 2002: 62-63) menjabarkan bahwa pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas.

Arti yang luas ialah: membenarkan hubungan hukum, yaitu misalnya apabila hakim mengabulkan tufntutan penggugat. Pengabulan ini mengandung arti, bahwa hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Untuk itu, membuktikan dalam arti yang luas berarti memperrkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibentuk oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa dalam suatu pemutusan perkara di sidang pengadilan harus dapat membuktikan kesalahan terdakwa atas

(22)

pidana yang telah dilakukannya. Menurut Sudikno Mertokusumo (Taufiqul Hulam 2002:24-25) membuktikan mempunyai beberapa pengertian, yaitu arti logis, konvensional, dan yuridis, dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Membuktikan dalam arti logis ialah memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang. Dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Contohnya adalah aksioma bahwa dua garis sejajar tidak mungkin bersilang.

b. Membuktikan dalam arti konvensional ialah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif dengan tingkatan sebagai berikut:

1. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka.

Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intutif (conviction intime).

2. Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal, oleh karena itu disebut Conviction raisonnee

Membuktikan dalam arti yuridis ialah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian

(23)

pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju pada kebenaran mutlak, karena ada kemungkinan pengakuan, kesaksian, atau bukti tertulis tidak benar atau dipalsukan.

Dari uraian diatas secara umum dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan, ataupun dipertahankan, sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

2. Teori Pembuktian

Dalam pembuktian perkara pidana pada umumnya dan khususnya delik korupsi, diterapkan KUHAP. Sedangkan dalam pemeriksaan delik korupsi selain diterapkan KUHAP, diterapkan juga sekelumit hukum acara pidana, yaitu pada Bab IV terdiri atas pasal 25 sampai dengan pasal 40 dari UU No. 31 Tahun 1999.

Ada beberapa teori atau sistem pembuktian, yakni:

a. Teori Tradisionil

B.Bosch-Kemper (Martiman Prodjohamidjojo 2001:100-101) menyebutkan ada beberapa teori tentang pembuktian yang tradisionil, yakni:

(24)

1. Teori Negatif

Teori ini mengatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.

Teori ini dianut oleh HIR, sebagai ternyata dalam pasal 294 HIR ayat (1), yang pada dasarnya ialah:

a. Keharusan adanya keyakinan hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada:

b. Alat-alat bukti yang sah.

2. Teori Positif

Teori ini mengatakan bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang- undang. Dan jika bukti minimum itu kedapatan, bahkan hakim diwajibkan menyatakan bahwa kesalahan terdakwa. Titik berat dari ajaran ini ialah positivitas. Tidak ada bukti, tidak dihukum; ada bukti, meskipun sedikit harus dihukum. Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana ternyata dalam ketentuan pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan

(25)

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

3. Teori Bebas

Teori ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum. Yang dijadikan pokok, asal saja ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa, yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman.

Teori ini tidak dianut dalam sistem HIR maupun sistem KUHAP.

b. Teori Modern

1. Teori pembuktian dengan keyakinan Hakim belaka (Conviction intime)

Teori ini tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan hakim dan terkesan hakim sangat bersifat subjektif. Menurut teori ini sudah dianggap cukup bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam sistem ini, hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan apakah keadaan harus dianggap telah terbukti.

Dasar pertimbangannya menggunakan pikiran secara logika dengan memakai silogisme, yakni premise mayor, premise minor dan konklusio, sebagai hasil penarikan pikiran dan logika. Sistem penjatuhan pidana tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut perundang-undangan.

(26)

Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit pengawasan.

2. Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie)

Dalam teori ini, undang-undang menetapkan alat bukti mana yang dapat dipakai oleh hakim, dan cara bagaimana hakim mempergunakan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat- alat itu sedemikian rupa.

Jika alat-alat bukti ini sudah dipakai secara yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, maka hakim harus menetapkan keadaan sudah terbukti., walaupun hakim mungkin berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar. Sebaliknya, jika tidak dipenuhi cara- cara mempergunakan alat-alat bukti, meskipun mungkin hakim berkeyakinan bahwa keadaan itu benar-benar terjadi, maka dikesampingkanlah sama sekali keyakinan hakim tentang terbukti atau tidaknya sesuatu hal.

Kelemahan pada sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip Hukum Acara Pidana bahwa putusan harus didasarkan atas kebenaran.

(27)

3. Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk)

Teori ini juga dianut oleh (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) KUHAP dan (Herzienne Inlands Reglement) HIR, dalam teori ini dinyatakan bahwa pembuktian harus didasarkan pada undang- undang, yaitu alat bukti yang sah menurut undang-undang disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.

4. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Iaconviction raisonnee)

Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan pada dasar- dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Dalam teori ini juga disebutkan pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).

5. Teori pembuktian terbalik

Teori pembuktian terbalik merupakan suatu teori yang membebankan pembuktian kepada terdakwa atau dengan kata lain terdakwa wajib membuktikan bahwa dia tidak melakukan kesalahan, pelanggaran atau kejahatan seperti apa yang disangkakan oleh Penuntut Umum.

(28)

3. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Alat-Alat Bukti

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan alat bukti yang sah menurut undang-undang dan ditentukan secara limitatif. Di luar dari alat bukti tersebut, tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian”

hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.

Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah:

1. Keterangan Saksi, 2. Keterangan Ahli, 3. Surat,

4. Petunjuk,

5. Keterangan Terdakwa.

a. Alat Bukti Keterangan Saksi

Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.

Menurut M.Yahya Harahap (2002: 286) bahwa hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.

(29)

Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Pengertian saksi sendiri yang dapat kita lihat dalam Pasal 1 KUHAP (26), yaitu:

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Dalam hukum acara pidana, prihal keterangan saksi penjelasannya tercantum dalam Pasal 1 (27) dan Pasal 185 KUHAP yang berbunyi :

Pasal 1 (27):

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.

Pasal 185 KUHAP:

 Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di

sidang pengadilan.

 Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku

apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

 Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang

(30)

lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Pada hakekatnya, semua orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang mengatakan kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

1. Keluarga sedarah atau semanda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama- sama sebagai terdakwa;

2. Saudara dari terdakwa atau yang berusaha bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3. Suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa”.

Selanjutnya dalam pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk memberi kesaksian dibawah sumpah. Dengan bunyi pasal sebagai berikut;

“Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin.

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali”.

(31)

Dalam penjelasan dari pasal tersebut diatas Andi Hamzah (2002: 258- 259), mengatakan bahwa:

“Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu jiwa disebut Psucophaat, mereka itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan. Karena itu, keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja”.

b. Alat Bukti Keterangan Ahli

Agar tugas tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang-undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan-keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengalaman dan berpengalaman khusus.

Melihat letak urutnya, pembuat undang-undang menilai keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti yang penting artinya dalam pemeriksaan perkara pidana. Mungkin pembuat undang-undang menyadari, sudah tidak dapat dipungkiri lagi, pada saat perkembangan ilmu dan teknologi, keterangan ahli memegang peranan dalam penyelesaian kasus pidana.

Perkembangan ilmu dan teknologi setidaknya membawa dampak terhadap kualitas metode kejahatan, memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian.

Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa:

“keterangan seseorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan”. Pasal tersebut memang belum menjawab

(32)

siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini. Dikatakan bahwa keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang di tuangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.”

Dari keterangan tersebut, Andi Hamzah (2002: 297-302) menerangkan bahwa:

“Yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan diperluas pengertiannya oleh HIR yang meliputi kriminalistik, sehingga Van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan”.

Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap (2002: 297-302) hanya bisa di dapat dengan:

“Melakukan pencarian dan menghubungkan dari beberapa ketentuan yang terpencar dalam pasal-pasal KUHAP, mulai dari pasal 1 angka 28, pasal 120, pasal 133, dan pasal 179. Dengan jalan merangkai pasal-pasal tersebut maka akan memperjelas pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti”

.

Untuk lebih jelasnya kita dapat menjajaki lebih jauh dengan melihat bunyi dari pasal-pasal yang dimaksudkan.

(33)

1. Pasal 1 angka 28

Pasal ini memberikan definisi pengertian apa yang disebut

keterangan ahli, yaitu, Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Melihat bunyi pasal 1 angka 28, M. Yahya Harahap (2002:298) membuat pengertian:

a. Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa.

b. Maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan

2. Pasal 120 (1) KUHAP

“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.

Dalam pasal ini kembali ditegaskan, yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki “keahlian khusus”, yang akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.

3. Pasal 133 (1) KUHAP

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”.

Pasal 133 menitikberatkan masalahnya kepada keterangan ahli kedokteran kehakiman, dan menghubungkannya dengan tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan penganiayaan, dan pembunuhan.

(34)

4. Pasal 179 KUHAP

a. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

b. Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidan keahliannya.

Pasal 179 memberi penegasan tentang adanya dua kelompok ahli yang terdapat pada pasal-pasal sebelumnya (Pasal 1angka 28, Pasal 120, dan Pasal 133), seperti yang dituliskan M. Yahya Harahap (2002:300-301) ada dua kelompok ahli:

1. Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pmeriksaan korban penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.

2. Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki “keahlian khusus” dalam bidang tertentu.

Tentang orang-orang ahli ini juga oleh Pasal 306 HIR mengatakan, bahwa laporan dari ahli-ahli yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengutarakan pendapat dan pikirannya tentang keadaan-keadaan dari perkara yang bersangkutan, hanya dapat dipakai guna memberi penerangan kepada hakim, dan hakim sama sekali tidak wajib turut pada pendapat orang- orang ahli itu, apabila keyakinan hakim bertentangan dengan pendapat ahli- ahli itu.

Selanjutnya Karim Nasution (Djoko Prakoso 1988-81) pernah

(35)

keterangan ahli diperlukan pada saat pemeriksaan suatu perkara baik dalam pemeriksaan pendahuluan maupun selanjutnya dimuka pengadilan.

c. Alat Bukti Surat

Definisi surat Asser-Aneme (Andi Hamzah: 2002:271) adalah surat- surat adalah sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.

Selanjutnya menurut I.Rubini dan Chaidir Ali (Taufiqul Hulam: 2002:

63-64) Bukti surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas, kayu, daun lontar, dan yang sejenis) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat).

Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 187, yang bunyinya surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.

2. Surat yang dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain”.

(36)

Menurut bunyi dari Pasal 187 butir d, pendapat Andi Hamzah (2002:271) bahwa:

“Surat di bawah tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain, seperti contoh: keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa. Keterangan itu merupakan satu-satunya alat bukti disamping sehelai surat tanda terima (kuitansi) yang ada hubungannya dengan keterangan saksi tentang pemberian uang kepada terdakwa cukup sebagai bukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 butir d KUHAP”.

d. Alat Bukti Petunjuk

Petunjuk merupakan alat pembuktian tidak langsung, karena hanya merupakan kesimpulan yang dihubungkan dan disesuaikan dengan alat bukti lainnya, hal ini dapat kita lihat dari definisi alat bukti petunjuk yang terdapat pada Pasal 188 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP yaitu:

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. keterangan saksi;

b. surat;

c. keterangan terdakwa e. Keterangan Terdakwa

Taufiqul Hulam (2002:85) mengatakan perihal penggunaan alat bukti petunjuk ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan individu hakim untuk dapat melahirkan kesimpulan atau persangkaan atau tidak, ini sesuai dengan bunyi dari Pasal 188 ayat (3) yaitu penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu

(37)

bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Andi Hamzah, (2002:272) dari bunyi pasal 188 tercermin bahwa pada akhirnya persoalan sepenuhnya diserahkan pada hakim. Dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut sebagai pengamatan oleh hakim harus dilakukan selama sidang. Apa yang dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali jika perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum.

f. Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP. Penempatan pada urutan terakhir inilah yang menjadi salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.

Menurut Andi Hamzah, (2002:273) Bahwa KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c, berbeda dengan peraturan lama yaitu HIR yang menyebut

„pengakuan terdakwa‟ sebagai alat bukti. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa perbedaan antara “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dan “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti.

(38)

Dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan.

Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat:

1. Mengaku ia yang melakukan delik.

2. Mengaku ia bersalah.

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas pengertiannya dari pengakuan terdakwa.

D. Simon (Andi Hamzah: 2002:273) agak keberatan mengenai hal ini, karena hak kebebasan terdakwa untuk mengaku atau menyangkal harus dihormati. Oleh sebab itu suatu penyangkalan terhadap suatu perbuatan mengenai suatu keadaan tidak dapat dijadikan bukti.

Tetapi suatu hal yang jelas berbeda antara “keterangan terdakwa”

sebagai alat bukti dengan “pengakuan terdakwa” ialah bahwa keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.

Dalam KUHAP Pasal 189 memberikan pnjelasan bahwa:

1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri

(39)

2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membutikan baha ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

4. Tanggung Jawab Pembuktian

Pengertian tentang Penuntut Umum tertuang dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP yang dijelaskan sebagai berikut :

“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan

“Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta

(40)

kewenangan lain berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian, Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang mempunyai fungsi melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan”.

Dalam Kekuasaan Penyidikan, terdapat beberapa lembaga yang dapat melakukan penyidikan, maka dalam menjalankan kekuasaan penuntutan hanya satu lembaga yang berwenang melaksanakan yaitu lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Apabila dalam penyidikan, banyak lembaga lain yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, maka kewenangan untuk menjalankan penuntutan terhadap semua tindak pidana yang masuk dalam lingkup Peradilan Umum hanya dapat dilakukan oleh Kejaksaan.

Selain itu, sesuai dengan asas dominus litis, maka penetapan dan pengendalian kebijakan penuntutan hanya berada di satu tangan yaitu Kejaksaan. Dalam hal inilah, Penuntut Umum menentukan suatu perkara hasil penyidikan yang tertuang dalam berkas perkara sudah lengkap ataukah masih kurang lengkap. Apabila berkas perkara telah lengkap, maka Penuntut Umum akan menerima penyerahan tersangka dan barang bukti, membuat Surat Dakwaan dan melimpahkannya ke Pengadilan. Apabila berkas perkara belum lengkap, maka Penuntut Umum akan memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk segera melengkapi berkas perkara agar dapat dilimpahkan ke Pengadilan.

Dengan demikian, peranan Penuntut Umum dalam hal pembuktian sangatlah penting, karena pembuktian suatu perkara tindak pidana di depan persidangan merupakan tanggung jawab Jaksa selaku Penuntut Umum.

(41)

Dalam hal ini, sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di hampir semua negara di dunia memang meletakkan beban pembuktian di atas pundak Penuntut Umum.

Adanya beban pembuktian pada Penuntut Umum tersebut menyebabkan Penuntut Umum harus selalu berusaha menghadirkan minimum alat bukti di persidangan. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa :

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dengan demikian, untuk dapat menyatakan seseorang terbukti melakukan suatu tindak pidana, maka harus ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti ditambah dengan keyakinan Hakim dan menjadi beban Penuntut Umum untuk dapat menghadirkan minumum dua alat bukti tersebut di persidangan untuk memperoleh keyakinan Hakim.

Oleh karena itu, pembuktian merupakan faktor yang sangat determinan dalam rangka mendukung tugas jaksa selaku penuntut umum sebagai pihak yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Hal tersebut sesuai dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang mendakwakan maka pihak tersebut yang harus membuktikan dakwaannya.

(42)

B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan istilah dalam hukum pidana yang merupakan pengertian yang cukup banyak dan luas sehingga menimbulkan berbagai istlah dikalangan para sarjana hukum. Namun arti tindak pidana tersebut pada dasarnya adalah sama sedangkan perbedaan istilah itu tergantung dari sudut mana para pakar hukum memandang.

Tindak pidana (delik) berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda yaitu Strafbaarfeit, yang juga dipakai dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang diselanjutnya disingkat KUHP. Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaarfeit.

Didalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang dapat dikemukakan dalam beberapa buku hukum pidana dan beberapa perundang- undangan hukum pidana, yaitu: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran yang dapat dihukum, dan pelanggaran pidanaan.

Untuk memberi gambaran secara jelas tentang pengertian tindak pidana atau delik, berikut ini penulis kemukakan beberapa pandangan beberapa ahli hukum, antara lain:

(43)

Simons (Zainal Abidin, 2007:224), Berpendapat bahwa Strafbaar feit ialah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai).

Pompe (Kanter dan Sianturi, 2002:205), Merumuskan Strafbaar feit (Tindak Pidana) adalah suatu pelanggaran kaidah (pengangguan ketertiban umum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaannya adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

Kemudian menurut Moeljatno (2008:59) Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang mana larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Yang membedakan hukum pidana dari bidang hukum lainnya adalah sanksi yang berupa pidana yang diancamkan kepada pelanggaran normanya. Sanksi dalam hukum pidana ini adalah sanksi yang negatif, oleh karena itu dikatakan bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Disamping itu mengingat sifat dari pidana itu, yang baru diterapkan apabila sarana (upaya) lain sudah tidak memadai, maka dikatakan pula bahwa hukuman pidana mempunyai fungsi yang subsidair (Sudarto, 2007:22)

(44)

Disini Penulis dapat disimpulkan bahwa tindak pidana atau delik perbuatan adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilarang oleh aturan hukum yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana, yang bertujuan untuk ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Moeljatno ( 2008:69), unsur atau elemen perbuatan pidana (tindak pidana) adalah:

a. Kelakuan dan akibat.

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subjektif

Unsur (a) kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula adanya (b) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, dimana hal ikhwal dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pelaku.

(45)

Kemudian menurut Yulies Tiena (2006:62-63) unsur peristiwa pidana (tindak pidana) dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi subjektif dan segi objektif:

a. Dari segi objektif berkaitan dengan tindakan, peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum yang sedang berlaku, akibat perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman.

b. Dari segi subjektif, peristiwa pidana adalah perbuatan pidana yang dilakukan seseorang secara salah. Unsur-unsur kesalahan si pelaku itulah yang mengakibatkan terjadinya peristiwa pidana. Unsur kesalahan itu timbul dari niat atau kehendak si pelaku. Jadi, akibat dari perbuatan itu telah diketahui bahwa dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan hukuman.

Jadi memang ada unsur kesengajaan.

Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatau kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.

d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu mencamtumkan sanksinya.

(46)

Adapun menurut Kanter dan Sianturi (2002:211) dapatlah disusun unsur-unsur tindak pidana yaitu:

a. Subjek, b. Kesalahan,

c. Bersifat melawan hukum (dari tindakan),

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang- undang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana,

e. Waktu dan tempat keadaan. (unsur objektif lainnya).

Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian tindak pidana (dari unsur-sebagai): suatu tindakan pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang- undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab).

C. Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan

Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal dengan satu istilah umum untuk keduanya, yaitu straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala

(47)

macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.

Muladi dan Barda Nawawi Arief (Amir Ilyas, Yuyun Widaningsih, 2010:

12), menyimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang), dan

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Adapun pengertian pemidanaan adalah tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukuman, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.

Pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh Hakim untuk memidana seorang terdakwa melalui putusannya. Mengenai pengertian pemidanaan, Sudarto (M. Taufik Makarao, 2005: 16), mengemukakan sebagai berikut:

Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berchten) menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga perdata.

(48)

Istilah penghukuman dapat disempitkan artinya, yaitu kerap kali disinonimkan dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh Hakim.

2. Teori dan Tujuan Pemidanaan

Ada tiga teori pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana menurut Antonius Sudirman (2009: 107-112), yaitu sebagai berikut:

1. Teori absolut atau teori pembalasan;

2. Teori relatif atau teori tujuan, dan

3. Teori gabungan (Verenigings-Theorien).

Selanjutnya Penulis akan menguraikan satu persatu mengenai teori pemidanaan tersebut di atas, yaitu sebagai berikut:

a. Teori absolut atau teori pembalasan

Dikatakan dalam teori ini, setiap kejahatan haruslah diikuti dengan pidana. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.

Penganut teori pembalasan ini antara lain Kant dan Hogel. Mereka menganggap bahwa hukuman itu adalah suatu akibat dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum.

Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan.

Menurut Sthal (Adami Chazawi, 2002: 155), mengemukakan bahwa:

(49)

Hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia, karena itu negara wajib memelihara dan melaksankan hukum dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarannya.

b. Teori relatif atau teori tujuan

Berdasarkan teori ini, suatu kejahatan yang dilakukan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana atau hukuman. Penganjur teori ini antara lain Paul Anselm van Feurbach.

Pengertian dalam teori tujuan ini berbeda sekali dengan teori absolut. Kalau dalam teori absolut, tindakan pidana dihubungkan dengan kejahatan, maka teori relatif ditujukan kepada hari-hari yang akan datang, yaitu dengan maksud mendidik orang yang telah berbuat jahat agar menjadi baik kembali.

c. Teori gabungan (Verenigings-Theorien)

Teori ini dipelopori oleh Hugo De Groot (Ilhami Basri, 2003: 12), beranjak dari pemikiran bahwasanya pidana merupakan suatu cara untuk memperoleh keadilan absolut, dimana selain bermuatan pembalasan bagi si pelaku kejahatan, sekaligus mencegah masyarakat lain sebagai pelaku kejahatan.

Teori gabungan ini adalah teori kombinasi dari teori absolut dan relatif.

Teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani dan psikologis, yang terpenting adalah memberikan pembinaan dan pendidikan.

(50)

Namun demikian, satu hal yang senantiasa harus diingat adalah bahwa penjatuhan pidana merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Walaupun pemidanaan pada dasarnya merupakan bentuk pelanggaran HAM yang nyata, tetapi perampasan HAM seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana haruslah dimaksudkan dengan tujuan yang lebih baik, yaitu memperbaiki si terpidana dan memulihkan keadaan masyarakat serta harus dilakukan dengan patokan, standar dan prosedur yang ketat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian sifat pelanggaran HAM-nya menjadi hilang.

Menurut Erdianto Effendi (2011: 141), pemidanaan mempunyai tujuan ganda, yaitu:

a. Tujuan perlindungan masyarakat, untuk merehabilitasi dan meresosialisasikan si terpidana, mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat tindak pidana (reaksi adat) sehingga konflik yang ada dapat selesai;

b. Tujuan yang bersifat spiritual Pancasila yaitu bahwa pemidanaan bukan dimaksudkan untuk menderitakan dan dilarang untuk merendahkan martabat manusia.

3. Jenis-Jenis Pidana

Dalam Pasal 10 KUHP, jenis-jenis pidana digolongkan menjadi dua, yaitu:

a. Pidana pokok, dan b. Pidana tambahan.

(51)

Untuk satu kejahatan atau pelanggaran, hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok, namun dalam beberapa hal yang ditentukan dalam undang- undang, dapat pula ditambah dengan salah satu dari pidana tambahan.

a. Pidana pokok

Berikut jenis-jenis pidana pokok yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHPidana, yaitu sebagai berikut:

1. Pidana mati

Tujuan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar dengan ancaman hukuman mati, masyarakat akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati.

Berhubung dengan inilah pada zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan di muka umum (Wirjono Prodjodikoro, 2009: 175).

Hukuman pidana mati yang berlaku di Indonesia diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer.

Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 April 1946 dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa

(52)

bangsa Indonesia, dimana pada saat sebelum adanya PP No. 2 Thn. 1946 yang berlaku adalah hukuman gantung.

Dalam Pasal 1 PP No. 2 Thn. 1964 ini, secara tegas menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan, baik di lingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.

2. Pidana penjara

Menurut P.A.F. Lamintang (Amir Ilyas, 2012: 110), menyatakan bahwa:

Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.

Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk dipilih dan memilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik dan lain-lain.

3. Pidana kurungan

Hal-hal yang diancamkan dengan pidana kurungan adalah delik yang dipandang ringan seperti delik culpa dan pelanggaran. Menurut Niniek Suparni (2007: 23), bahwa pidana kurungan adalah sebagai berikut:

(53)

Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang.

4. Pidana denda

Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda oleh Hakim/pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Pidana denda ini dapat ditanggung oleh orang lain selama pelaku delik terpidana.

Oleh karena itu, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana.

Apabila terpidana tidak membayar uang denda yang telah diputuskan, maka konsekuensinya adalah harus menjalani kurungan (jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan, Pasal 30 ayat (2) KUHP) sebagai pengganti dari pidana denda.

b. Pidana tambahan

Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.

Dengan kata lain, pidana tambahan hanyalah aksesoris yang mengikut pada pidana pokok.

(54)

Yang termasuk kedalam jenis pidana tambahan yaitu pencabutan hak- hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan Hakim.

1. Pencabutan hak-hak tertentu

Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh Hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;

b. Hak memasuki Angkatan Bersenjata;

c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;

d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;

e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;

f. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.

2. Perampasan barang tertentu

Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya pidana denda. Jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan Hakim, yaitu berupa barang-barang milik terhukum, yaitu barang yang diperoleh dari hasil kejahatan dan barang yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan.

(55)

Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu:

a. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.

b. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang.

c. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

3. Pengumuman putusan Hakim

Pengumuman putusan Hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP, yang mengatur bahwa:

Apabila Hakim memerintahkan agar putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang lainnya, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana.

Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas dirumuskan atau ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu, misalnya Pasal 128, Pasal 206, Pasal 361, Pasal 377, Pasal 395, dan Pasal 405 KUHP.

(56)

D. Tindak Pidana Pembunuhan

1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum.

Delik pembunuhan biasa, biasa juga disebut dengan istilah delik pembunuhan dalam bentuk pokok. Delik pembunuhan ini dimuat dalam Pasal 338 KUHP yang rumusannya adalah:

”Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”

Menurut Adami Chazawi (2010:57), apabila rumusan tersebut dirinci unsur- unsurnya, maka terdiri dari:

a. Unsur Obyektif:

1) Perbuatan: menghilangkan nyawa;

2) Obyeknya: nyawa orang lain;

b. Unsur subyektif: dengan sengaja Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang dipenuhi, yaitu:

1) adanya wujud perbuatan;

2) Adanya suatu kematian (orang lain)

3) Adanya hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dan akibat kematian.

Dilihat dari kepentingan hukum yang dilindunginya, delik pembunuhan merupakan jenis delik terhadap nyawa. Tindak pidana pembunuhan atau dalam KUHP disebut sebagai tindak pidana terhadap nyawa. Perkataan

(57)

“nyawa” sering disinonimkan dengan “jiwa”. Kata nyawa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya antara lain pemberi hidup, jiwa, roh. Kata jiwa artinya roh manusia (yang ada dalam tubuh dan yang menyebabkan hidup) dan seluruh kehidupan batin manusia. Pengertian nyawa adalah yang menyebabkan kehidupan pada manusia, menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia secara umum disebut

“pembunuhan” (Leden Marpaung, 2000:4).

Mengenai pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Menurut Leden Marpaung, (2000:22), perbuatan yang dapat melenyapkan atau merampas nyawa orang lain menimbulkan beberapa pendapat yaitu:

a. Teori aequevalensi dari Von Buri yang disebut juga teori condition sine quanon yang menyamaratakan semua faktor yang turut serta menyebabkan suatu akibat.

b. Teori adaequote dari Van Kries yang juga disebutkan sebagai teori keseimbangan yaitu perbuatan yang seimbang dengan akibat.

c. Teori individualis dari teori Generalis dari Dr. T. Trager yang pada dasarnya mengutarakan bahwa yang paling menetukan terjadinya akibat tersebut yang menyebabkan, sedangkan menurut teori generalis berusaha memisahkan setiap faktor yang menyebabkan akibat tersebut.

Dalam suatu tindak pidana pembunuhan harus ada hubungan antara perbuatan yang dilakukan dengan kematian seseorang, terhadap siapa

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan antosianin pada Varietas Anjasmoro maupun Detam 1 tidak bisa menduga vigor daya simpan benih kedelai yang

Nasution, Metode Research: Penelitian Ilmiyah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.. Sampel adalah “bagian dari populasi yang di anggap mewakili populasi” 7. “Untuk sekedar

Khulashah Nurul Yaqin karya Umar Abdul Djabbar dapat tercermin dari teladan Rasulullah saw dengan akhlak terpuji beliau.. Adapun nilai pendidikan

< = 0,05 (0,026 < 0,05) hal ini menunjukkan H 0 ditolak dan H 1 diterima, dengan tingkat kepercayaan 95 % dikatakan bahwa rata-rata nilai hasil belajar peserta didik

Sebagai kelanjutan dari proses pengumuman ini, pemenang sebagaimana tersebut di atas akan ditunjuk sebagai pelaksana pekerjaan dengan surat penunjukan oleh

Karena luasnya cakupan Institusi Keuangan Islam yang dijadikan objek diterapkannya pedoman Good Corporate Governance, maka penelitian ini dibatasi pada Bank Umum

Pertanian merupakan basis perekonomian Indonesia, ia juga hingga kina masih menjadi sumber mata pencaharian utama sebahagian besar penduduk, nilai tambah

Kondisi ini dapat dicapai dengan membuat lapisan boron p+ pada permukaan belakang sel surya yang memiliki konsentrasi lebih tinggi daripada basis dan memiliki tipe doping yang sama,