• Tidak ada hasil yang ditemukan

All Fields of Science J-LAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "All Fields of Science J-LAS"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

207

AFoSJ-LAS, Vol.1, No.4, 15 Desember 2021 (hal:207-217) ISSN.2776-2408 ; p-ISSN 2798-9267

All Fields of Science J-LAS

Jurnal Penelitian

Availabel Online: http://j-las.lemkomindo.org/index.php/AFOSJ-LAS

Asas Kelangsungan Usaha Dalam Kepailitan

Christopher Panal Lumban Gaol1*

1Universitas Katolik Santo Thomas Corresponding Autor*: [email protected]

Abstrak

Kepalitan yang menjalankan dalam asas kelangsungan usaha dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum kepada kreditor, hal ini disebabkan dalam menjalankan asas kelangsungan usaha tersebut debitor yang solven dapat menjadi debitor yang insolven. Adapun asas kelangsungan usaha ini perlu ditegakkan untuk dapat menjalankan perekonomian negara sehingga tidak seluruh usaha yang sudah memenuhi syarat-syarat kepailitan langsung dianggap tidak dapat menjalankan usahanya. Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Penerapan Asas Business Going Concern yang berlaku di wilayah Republik Indonesia pada saat ini tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada para kreditur. Semangat yang dibangun adalah untuk kepentingan yang lebih besar yaitu untuk masyarakat luas, tetapi yang terlupakan adalah bagaimana kepentingan para kreditur yang bisa jadi merupakan warga Indonesia ataupun para Investor asing yang bahkan dapat memberikan ketidakpercayaan untuk melanjutkan Investasi di Indonesia. Ketiadaan peran para kreditur yang dapat menentukan apakah debitur tersebut dapat diberikan kelangsungan usaha melalui asas Business Going Concern dianggap telah mengeyampingkan hak-hak para kreditur yang ada.

Kata kunci: Kepalitian, Asas Kelangsungan Usaha, Bisnis.

Abstract

The security that runs in the principle of business continuity can result in legal uncertainty to creditors, this is due to carrying out the principle of business continuity of the debtor solvent can be a debtor who insolven As for the principle of business continuity it needs to be enforced to be able to run the country's economy so that not all businesses that have met the conditions of direct bankruptcy are deemed unable to carry out their businesses. Writing. this made based on results normative juridical research using descriptive analytical methods . Application Asas Business Going Concern those in force in the territory of the Republic of Indonesia cannot currently provide legal certainty to creditors. The spirit that is built is in the greater interest of the wider community, but what is forgotten is how the interests of creditors who could become Indonesian citizens or even foreign investors who can even give distrust to continue investing in Indonesia.

The lack of role of creditors can determine whether the debtor can be given business continuity through the principle Business Going Concern considered to have streamlined the rights of existing creditors.

Keywords: Bankruptcy, Business going concern, Business.

(2)

208 PENDAHULUAN

Perjalanan bisnis merupakan salah satu penopang dalam perekonomian negara, apalagi jika usaha bisnis tersebut dapat menyerap tenaga kerja yang banyak. Jika banyak sumber daya manusia yang mendapatkan penghasilan dari hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa banyak yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari minimal dengan pendapatan yang sesuai dengan upah minimum yang diatur oleh negara ini.

Permasalahan bisnis tidak lepas dari hutang piutang. Adanya kerja sama antara perusahaan satu dengan perusahaan lain yang menjalankan bisnis di wilayah Republik Indonesia merupakan salah satu cara bagaimana sebuah bisnis dapat berjalan.

Ketergantungan terhadap pihak-pihak dengan fungsi perusahaan yang berbeda juga tidak terelakkan dalam dunia bisnis. Hal-hal tersebut dikarenakan adanya kebutuhan dan juga kekhususan dalam memproduksi sebuah barang.

Kerja sama antara perusahaan tersebut dapat berakhir dengan baik, atau bahkan buruk terhadap hasil yang diinginkan. Contohnya jika hak dan kewajiban dapat berjalan dengan baik sebagaimana mestinya, maka kerja sama itu akan berakhir dengan baik. Jika hak dan kewajiban tidak berjalan dengan mestinya, maka akhir dari perjanjian itu bisa memiliki masalah.

Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan hutang tersebut adalah dengan memohonkan kepailitan ke Pengadilan Niaga, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengenai Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya akan disebut “UUKPKPU”.

Dalam Black Law Dictionary, pailit atau Bankrupt adalah

“The state or condition of a person (individual or partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”.

Yang dapat disimpulkan bahwa pengertian pailit digambarkan dengan ketidakmampuan debitur untuk membayar, baik yang berupa orang pribadi maupun entitas usaha atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang kepada krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distresss) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang aka nada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditur.

Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata sebagai realisasi dari dua asas pokok yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang Undang

(3)

209

Hukum Perdata. Pasal 1131 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menetapkan sebagai berikut :

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

Selanjutnya Pasal 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menentukan sebagai berikut di bawah ini :

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

Syarat untuk dapat mengajukan permohonan kepailitan terdapat dalam Pasal 2 UUKPKPU yaitu:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum. Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”

Mengenai syarat sehingga debitur tersebut dapat diajukan sebagai subjek dalam permohonan kepailitan terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yaitu:

Debitur tersebut memiliki 2 atau lebih kreditur;

Adanya hutang yang tidak dibayar minimal kepada 1 kreditur;

Utang kepada 1 kreditur tersebut telah jatuh tempo;dan Utang kepada 1 kreditur tersebut dapat ditagih.

Pada Pasal 8 ayat 1 UUKPKU:

“Pengadilan: wajib memanggil Debitor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan; dapat memanggil Kreditor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”

Pada Pasal 8 ayat (4) berbunyi :

“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”

Adapun UUKPKPU didasarkan atas beberapa asas, asas tersebut antara lain:

(4)

210 Asas Keseimbangan

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu disatu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya pranata dan Lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur. Di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan Lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.

Asas Kelangsungan Usaha

Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.

Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan Kreditur lainnya.

Asas Integrasi

Asas Integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa system hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari system hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Didalam asas kelangsungan usaha yang menjadi perlindungan kepada seorang debitur sehingga jika perusahaan tersebut masih dalam keadaan solven atau masih dalam keuangan yang sehat dan masih dapat melakukan pembayaran utang. Maka debitur tersebut tidak perlu dipailitkan, dikarenakan akibat dari pailit yang diatur Pasal 31 UUKPKU yang berbunyi:

“Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitur.

Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya.

Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Debitur yang sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan.”

Sedangkan pasal 93 UUKPKU:

“Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul Hakim Pengawas, permintaan Kurator, atau atas permintaan seorang Kreditur atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas, dapat memerintahkan supaya Debitur Pailit ditahan, baik ditempatkan di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

Perintah penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

Masa penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penahanan dilaksanakan.

(5)

211

Pada akhir tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), atas usul Hakim Pengawas atau atas permintaan Kurator atau seorang Kreditur atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas, Pengadilan dapat memperpanjang masa penahanan setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Biaya penahanan dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta pailit.”

Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, permasalahan yang diangkat adalah bagaimana Asas Kelangsungan usaha dapat diterapkan didalam kepailitan?

METODE PENELITIAN

Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian ditujukan untuk menganalisis bahan- bahan hukum yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) atau dokumen peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, buku, jurnal hukum, dan berbagai putusan pengadilan yang berkaitan dengan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada Asas kelansungan usaha.

PEMBAHASAN Kepailitan

Untuk pengertian mengenai kepailitan, di dalam Pasal 1 angka 1 UUKP disebutkan bahwa:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UUKP bahwa pengajuan perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang akan diajukan Ke Pengadilan Niaga dalam Lingkungan Peradilan Umum.

Di dalam pengajuan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga oleh kreditur, ada syarat- syarat yang harus dipenuhi, hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 angka 1 jo. Pasal 8 angka 4 UUKP tentang persyaratan pengajuan kepailitan adalah:

Ada dua atau lebih kreditur. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang, yang dapat ditagih di muka pengadilan.

"Kreditur" di sini mencakup baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen;

Ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Artinya adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase; dan

(6)

212

Kedua hal tersebut (adanya dua atau lebih kreditur dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih) dapat dibuktikan secara sederhana.

Untuk dapat memailitkan seseorang maupun badan hukum sudah tentu memerlukan bukti yang cukup. Pada Pengadilan Niaga pembuktian yang dilakukan adalah pembuktian yang ada di dalam hukum acara perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 299 UUKP yang menyebutkan “kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata”. Akan tetapi ada perbedaan yang sangat mendasar dalam hal pembuktian yaitu adanya batasan waktu dalam berperkara di Pengadilan Niaga yang berakibat pembuktiannya dilakukan secara sederhana (sumiir).

Dalam pembagian alat bukti menurut hukum acara perdata, yaitu sebagai berikut:

Alat bukti tertulis atau surat (Pasal 1867 - 1894 Burgerlijk Wetboek yang selanjutnya disebut (BW));

Kesaksian (1902 – 1912 BW);

Persangkaan-persangkaan (1866 BW);

Pengakuan (1923-1928 BW);

Sumpah (1929-1945 BW);

Keterangan ahli (154 HIR, 181 Rbg);

Pemeriksaan setempat (1866 BW);

Di dalam adanya kreditur 2 (dua) atau lebih harus dapat dibuktikan dan kepailitan mengenal berbagai macam kreditur, yang terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu kreditur separatis, kreditur preferen dan kreditur konkuren:

Kreditur Separatis

"separatis" yang berkonotasi "pemisahan" karena kedudukan kreditur tersebut memang dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti kreditur dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan, yang terpisah dengan harta pailit umumnya.

Contohnya, para kreditur yang memiliki jaminan.

Kreditur Preferen

Termasuk dalam golongan secured creditors, karena semata-mata sifat piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan pembayarannya.

Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen berada di urutan atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors lainnya. Utang debitur pada kreditur preferen memang tidak diikat dengan jaminan kebendaan, tapi undang-undang mendahulukan mereka dalam hal pembayaran. Oleh karena itu, jika debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka prosedur pembayaran terhadap kreditur preferen sama seperti kreditur konkuren yaitu dengan cara memasukkan tagihannya kepada kurator untuk diverifikasi dan disahkan dalam rapat verifikasi. Contohnya, kreditur yang tidak memiliki jaminan. Subkontraktor dalam pertambangan.

(7)

213 Kreditur Konkuren

Kreditur yang dikenal juga dengan istilah kreditur bersaing. Dalam lingkup kepailitan, yang dapat digolongkan sebagai kreditur konkuren (unsecured creditor) adalah kreditur yang piutangnya tidak dijamin dengan hak kebendaan (security right in rem) dan sifat piutangnya tidak dijamin sebagai piutang yang diistimewakan oleh undang- undang. Dengan kata lain, kreditur konkuren adalah kreditur yang harus berbagi dengan para kreditor lain secara proporsional, yaitu menurut perbandingan besarnya tagihan masing-masing dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Sedangkan pembayaran terhadap kreditur konkuren adalah ditentukan oleh kurator.

Kredit

Kredit menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor. 44/POJK.03/2017 Tentang Pembatasan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Oleh Bank Umum Untuk Pengadaan Tanah Dan/atau Pengolahan Tanah, Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank Umum dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk:

Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;

Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; dan Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.

Unsur dalam kredit yaitu:

Kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditor dengan debitor yang disebut dengan perjanjian kredit;

Para pihak yaitu pihak kreditor sebagai pihak yang memberikan pinjaman, dan debitor yang menerima pinjaman;

Unsur kepercayaan dari kreditor bahwa pihak debitor mau dan mampu membayar/mencicil kreditnya;

Kesanggupan dan janji membayar utang dari pihak debitor;

Pemberian sejumlah uang/jasa oleh kreditor kepada debitor; dan

Pembayaran kembali sejumlah uang kepada kreditor disertai dengan imbalan bunga/pembagian keuntungan.

Sebelum kredit diberikan, bank berkepentingan untuk melakukan analisis permohonan kredit yang diajukan. Pasal 8 ayat 1 UUP mengatakan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjiakan, Adapun fungsi analisis kredit menurut M. Bahsan, antara lain:

(8)

214

Sebagai dokumen utama yang menyajikan penilaian kelayakan suatu permohonan kredit termasuk mengenai kelayakan usaha dan kegiatan permohonan kredit atau debitor;

Sebagai dokumen bagi pihak pemutus kredit atau pemeriksa kredit dalam memberikan suatu keputusan; dan

Untuk mengetahui risiko yang mungkin terjadi agar nantinya dapat diatasi.

Perlunya analisis kredit dilakukan dengan maksud untuk meminimalisasi resiko yang mungkin terjadi. Bank pada umumnya menggunakan metode 5C atau The Five C’s Analysis dalam memutuskan, apakah kredit yang diajukan oleh pemohon diterima atau ditolak.

Manajemen risiko dilakukan dengan tujuan untuk menghindari kemungkinan terjadinya risiko yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tentunya secara umum untuk menjaga reputasi bank agar tidak tercemar.

Manajemen risiko diperlukan antara lain untuk mendukung pencapaian tujuan, memungkinkan untuk melakukan aktivitas yang memberikan peluang yang jauh lebih tinggi dengan mengambil risiko yang lebih tinggi diambil dengan dukungan sikap dan solusi terhadap risiko. Selain itu manajemen risiko juga diperlukan untuk mengurangi kemungkinan kesalahan fatal, dan menyadari bahwa risiko dapat terjadi pada setiap aktivitas dan tingkatan dalam organisasi sehingga setiap individu harus mengambil dan mengelola risiko masing-masing sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.

Asas Kelangsungan Usaha

Debitur yang telah dijatuhi putusan pailit, seharusnya hartanya dapat dilakukan pelelangan untuk melunasi utang-utang/ kreditnya kepada Kreditur. Pelelangan tersebut dilaksanakan agar tidak terjadi perpindahan Kepemilikan/Levering melalui dibawah tangan, sehingga harus dilaksanakan melalui pelelangan.

Kurator adalah orang yang berhak untuk mengurus harta dari Debitur yang sudah diputus pailit. Kurator sendiri memiliki tugas untuk membagi secara rata sesuai dengan bagian masing-masing dari Kreditur.

Kurator juga dapat menempuh jalan yang berbeda dengan melakukan atau menerapkan asas dalam kepailitan yaitu Asas Business Going Concern, yang sering disebut dengan prinsip atau asas keberlangsungan usaha.

Permintaan dari asas Business Going Concern adalah untuk memaksimalkan potensi dari Debitur yang walaupun memenuhi syarat untuk diputus Pailit oleh Pengadilan Niaga, tetapi jika aset dan kinerja masih dalam keadaan yang positif atau menguntungkan seringkali juga dalam dunia bisnis dikatakan masih dalam keadaan sehat, untuk dapat terus melaksanakan kegiatan bisnisnya untuk membayar utang/kredit tersebut.

Syarat untuk mengajukan kepailitan terdapat pada pasal 2 ayat (1) tersebut menjadi harus dapat “dibuktikan secara sederhana”. Sehingga menjadikan perumusan dengan adanya Pasal 8 ayat (4) tersebut menjadi:

Debitur tersebut memiliki 2 atau lebih kreditur;

Adanya hutang yang tidak dibayar minimal kepada 1 kreditur;

(9)

215

Utang kepada 1 kreditur tersebut telah jatuh tempo;dan Utang kepada 1 kreditur tersebut dapat ditagih.

Dapat dibuktikan secara sederhana.

Ketentuan mengenai adanya asas kelangsungan usaha atau Business Going Concern ini berada pada Pasal 104 UUKPKPU:

“Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Berdasarkan Pasal 104 UUKPKPU bahwa Kurator dapat melaksanakan asas kelangsungan usaha/ business going concern, dengan persetujuan panitia kreditur sementara. Jika tidak ada panitia kreditur sementara maka kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. Hal ini menjadi wewenang dari kurator apakah mengajukan untuk melaksanakan asas kelangsungan usaha/ business going concern atau tidak melaksanakannya.

Pada Pasal 144 UUKPKPU berisi sebagai berikut “Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.”

Pada Pasal 145 UUKPKPU berisi sebagai berikut:

“Apabila Debitor Pailit mengajukan rencana perdamaian dan paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang menyediakannya di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat dengan cuma-cuma oleh setiap orang yang berkepentingan, rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang, kecuali dalam hal yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147.

Bersamaan dengan penyediaan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Kepaniteraan Pengadilan maka salinannya wajib dikirimkan kepada masing-masing anggota panitia kreditor sementara.”

Pada Pasal 144 dan Pasal 145 UUKPKPU telah menunjukkan penerapan asas keberlangsungan usaha/business going concern ini dikarenakan hal ini tidak berbicara Ketika putusan terhadap permohonan kepailitan tersebut sudah dibacakan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Niaga. Pasal ini lebih diterapkan dalam proses Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang/PKPU.

Penerapan bagaimana asas keberlangsungan usaha/business going concern ini dapat dilakukan itu berada pada penilaian oleh kurator. Dalam UUKPKPU pada Pasal 1 ayat (5) “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini”.

Kurator yang diangkat oleh Pengadilan dan berada dibawah pengawasan Hakim Pengawas, bertugas untuk mengurus dan membereskan harta dari debitur yang akan dibagi kepada para kreditur. Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) tersebut mengakibatkan adanya 2 macam jenis kurator yaitu:

Balau Harta Peninggalan;

(10)

216 Orang perseorangan.

Dasar untuk mengajukan permohonan Asas Business Going Concern ini tidak lepas dari adanya isi dari UUKPKPU itu sendiri sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 Ayat (1) junto Pasal 8 Ayat (4) UUKPKPU, Hakim Pengadilan Niaga hendaknya mempertimbangkan kondisi debitor, adapun pendapat Erman Rajagukgugk tersebut, adalah sebagai berikut:

“Hakim perlu mempertimbangkan kondisi Debitur dalam memutuskan perkara kepailitan, manakala Debitur yang bersangkutan masih mempunyai harapan untuk bangkit kembali, mampu membayar utangnya kepada Kreditur, apabila ada waktu yang cukup dan besarnya jumlah tenaga kerja yang menggantungkan nasibnya pada perseroan yang bersangkutan.

Dalam kasus-kasus tertentu kesempatan untuk terus berusaha perlu diberikan kepada Debitur yang jujur dan dengan putusan itu pula sekaligus kepentingan Krediturdan kebutuhan masyarakat dapat dilindungi.”

Pengertian untuk menerapkan Asas Business Going Concern ini terdapat dalam Pasal 104 (1) dan (2) UUKPKPU yang berbunyi sebagai berikut:

Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan Kembali;

Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, curator memerlukan izin hakim pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Berdasarkan Pasal 104 UUKPKPU diatas, terjadi kerancuan yang sangat mendasar dalam menentukan apakah Debitur tersebut dapat diberi kesempatan untuk melanjutkan usahanya Kembali dengan asas Business Going Concern ini. Hal ini disebabkan tidak dilibatkannya Kreditur-Kreditur yang ada untuk menetapkan apakah Debitur tersebut dianggap layak atau bisa untuk mengembalikan utangnya.

Asas Business Going Concern dipertegas oleh J.B. Huizink yaitu nilai suatu perusahaan sering lebih tinggi dari pada jumlah nilai dari masing-masing unitnya. Jika suatu perusahaan dibekukan, karyawannya diberhentikan serta aktivanya dilikuidasi, maka hasil yang diperoleh jelas akan lebih sedikit daripada jika perusahaan tersebut dijual sebagai suatu On Going Concern.

Penerapan Asas Business Going Concern yang sesuai dengan kebutuhan sangat baik dan berguna kepada negeri, tetapi jika Asas Business Going Concern tersebut dipergunakan oleh Debitor yang bermain belakang dengan Kurator ataupun dengan Pengadilan, akan menghambat laju perekenomian Indonesia secara kecil dan berdampak kepada kepastian hukum dalam dunia bisnis.

KESIMPULAN

Penerapan Asas Business Going Concern yang berlaku di wilayah Republik Indonesia pada saat ini tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada para kreditur.

Semangat yang dibangun adalah untuk kepentingan yang lebih besar yaitu untuk masyarakat luas, tetapi yang terlupakan adalah bagaimana kepentingan para kreditur yang bisa jadi merupakan warga Indonesia ataupun para Investor asing yang bahkan dapat memberikan ketidakpercayaan untuk melanjutkan Investasi di Indonesia.

(11)

217

Ketiadaan peran para kreditur yang dapat menentukan apakah debitur tersebut dapat diberikan kelangsungan usaha melalui asas Business Going Concern dianggap telah mengeyampingkan hak-hak para kreditur yang ada.

DAFTAR PUSATAKA

Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, “Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata”, Jakarta:

Kencana, Prenadamedia Group, 2013.

Asikin, Zainal, “Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia”, Bandung:

Pustaka Reka Cipta, 2013.

Bahsan, M., “Pengantar analisis kredit perbankan indonesia”, dalam Sentosa Sembiring, Idroes, Ferry N., “Manajemen Risiko Perbankan: Memahami Pendekatan 8 Pilar

Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaanna di Indonesia”, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008.

Khairandy, Ridwan, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak”, Jurnal Hukum, No. Edisi khusus vol 18, 2011.

Manik, Edward, “Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang(dilengkapi dengan studi kasus kepailitan)”, Manda Maju, Bandung, 2012.

Puang, Victorianus M.H. Randa, “Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan Pailit”, PT. Sarana Tutorial Nurani Sejahtera, Bandung, 2011.

Rajagukguk, Eman, “Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan”, dalam Rudy A. Lontoh, Denny Kailimang, dan Benny Pontoh (ed.), Hukum Kepailitan: Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran, Ed.1, Cet.1, Alumni, Bandung, 2001.

Sastrawidjaja, Man S., “Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang”, Bandung: P.T. ALUMNI, 2014.

Sembiring, Sentosa, “Hukum Perbankan Edisi Revisi”, Bandung: CV. Mandar Maju, 2012.

Shubhan, M. Hadi ,“Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan”, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2009.

Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang kepailitan

R Juli Moertiono (2021), Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah dalam Perspektif Teori Perlindungan Hukum: AFoSJ-LAS: Journal All Field of Science J-LAS,V0l.1,no.3 2021(252-262).

https://j-las.lemkomindo.org/index.php/AFOSJ-LAS/article/view/64.

Ismayani Ismayani, Asmaiyani Asmaiyani, Jenda Ingan Mahuli (2021), Upaya Hukum Terhadap Diri Seseorang Yang Di Dakwa Pasal 310 Kuhpidana Mengenai Kehormatan Dan Mengenai Nama Baik Didepan Umum: AFoSJ-LAS: Journal All Field of Science J-LAS,V0l.1,no.2 2021(7-14).

https://j-las.lemkomindo.org/index.php/AFOSJ-LAS/article/view/11.

Referensi

Dokumen terkait

Pada skripsi ini dibuat model 3D yakni mobil Audy R8 Spyder dengan menganalisa perbandingan kualitas citra realistis, waktu render, dan kinerja render yaitu dengan Teknik

Dari penjelasan yang telah di uraikan di atas penulis dapat menggunakan metode K-Means Clustering untuk pengelompokan jenis komentar berdasarkan jumlah kalimat

Dalam pembiayaan musyarakah seorang nasabah dapat mengajukan proposal kepada bank syariah untuk mendanai suatu kegiatan usaha tertentu dan kemudian akan disepakati berapa

Strategi pengembangan agribisnis nilam adalah pertumbuhan yang agresif ( growth strategy ) dengan empat alternatif strategi yaitu (1) strategi S-O,

Pengujian warna minyak nilam dari alat penyuling modifikasi menghasilkan warna minyak nilam yang lebih gelap bila dibandingkan dengan warna minyak nilam alat penyuling

Data Perhitungan Bakteri Staphylococcus aureus Pada Tangan Sebelum Direndam dan Setelah Direndam Dengan Maserasi Daun Kelor.

Nahiz eta, gure ustez, argi dagoen Fredulforen eta Valpuestaren arteko lotura (jarraikortasun bat duena bere familiako kideen artean eta Joanen dohaintza

Hasil analisis filologi dari kajian ini yang kedua yaitu berupa suntingan teks Syi’ir Qiyamah dan teks Daqa’iqul Akhbar (bab 28).. Suntingan teks Syi’ir Qiyamah