commit to user
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Rumah Pemotongan Ayam dan Tempat Pemotongan Ayam
Tabel 3. Kondisi RPA kabupaten Karanganyar
SNI Perlakuan RPA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lokasi tidak berada di bagian kota yang padat
penduduk √ X X X X X X X X X X X
Bangunan yang digunakan memiliki daerah kotor
dan daerah bersih √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Bangunan harus terbuat dari dinding yang tahan benturan, mudah dibersihkan dan tidak mengelupas. Lantai harus rata, bahan kedap air dan mudah dibersihkan. Ventilasi baik
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Penurunan ayam dari kendaraan lalu ayam diistirahatkan sementara serta dilakukan
pemeriksaan postmortem √ X √ X √ √ X X √ √ √ √
Penyembelihan dilakukan menggunakan pisau
anti korosif dan tidak mudah rusak √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Bleeding dilakukan kurang lebih selama 5 menit √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Scalding dilakukan menggunakan alat anti
korosif dan dibersihkan secara berkala √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Eviserasi dilakukan menggunakan alat pelindung diri (sarung tangan, celemek, penutup kepala dan masker) serta pisau anti korosif serta dilakukan pemeriksaan antemortem
X √ X X √ √ √ X √ √ √ √
Pencucian karkas dilakukan di daerah bersih menggunakan air mengalir minimal 25-35 liter/ekor
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pembagian daging menggunakan pisau dan
talenan anti korosif, lalu di lakukan pegemasan. √ X √ √ √ √ X X √ √ √ √
√ : Telah sesuai dengan SNI, X: Belum sesuai SNI
commit to user Tabel 4. Kondisi TPA kabupaten Karnganyar
SNI
Perlakuan RPA
1 2 3 4 5 6 7 8
Lokasi tidak berada di bagian kota yang padat penduduk
X X X X √ √ √ √
Bangunan yang digunakan memiliki daerah kotor dan daerah bersih
X X X X X X X X
Bangunan harus terbuat dari dinding yang tahan benturan, mudah dibersihkan dan tidak mengelupas. Lantai harus rata, bahan kedap air dan mudah dibersihkan. Ventilasi baik
√ √ √ √ √ √ √ √
Penurunan ayam dari kendaraan lalu ayam diistirahatkan sementara serta dilakukan pemeriksaan postmortem
√ √ √ √ √ X √ √
Penyembelihan dilakukan
menggunakan pisau anti korosif dan tidak mudah rusak
√ √ √ √ √ √ √ √
Bleeding dilakukan kurang lebih selama 5 menit
√ √ √ √ √ √ √ √
Scalding dilakukan menggunakan alat anti korosif dan dibersihkan secara berkala
√ √ √ √ √ √ √ √
Eviserasi dilakukan menggunakan alat pelindung diri (sarung tangan, celemek, penutup kepala dan masker) serta pisau anti korosif serta dilakukan pemeriksaan
antemortem
X X X √ √ √ X X
Pencucian karkas dilakukan menggunakan air mengalir minimal 25- 35 liter/ekor
X √ √ X X √ √ √
Pembagian daging menggunakan pisau dan talenan anti korosif, lalu di lakukan pegemasan.
√ √ X √ √ X X √
√ : Telah sesuai dengan SNI, X: Belum sesuai SNI
commit to user
Hasil penelitian yang dilakukan di 12 RPA dan 8 TPA yang tersebar di kabupaten Karanganyar menunjukkan terdapat 11 RPA dan 4 TPA yang berada di lokasi padat penduduk. Menurut Suharso (2010) tempat pemotongan yang berada di area padat penduduk dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan rentan terkena kontaminasi. Bangunan seluruh RPA dan TPA telah memenuhi standar SNI 01-6160-1999 tentang Rumah Pemotongan Unggas. Dinding di seluruh RPA dan TPA sudah terbuat dari dinding semen dan kedap air. Lantai di RPA dan TPA dibuat rata tidak ada lubang yang membahayakan, namun seluruh RPA dan TPA belum memiliki sudut pertemuan antara dinding dan lantai yang berbentuk melengkung yang bertujuan agar setiap sudut mudah dibersihkan dan tidak ada sisa daging ayam yang tertinggal sehingga dapat menyebabkan kontaminasi (Lampiran 1).
Bangunan diseluruh RPA sudah memiliki daerah kotor dan daerah bersih, walaupun penggunaan daerah tersebut masih kurang efektif.
Berdasarkan hasil penelitian, daerah kotor disebagian besar RPA digunakan sampai tahap penimbangan karkas dan daerah bersih hanya digunakan untuk pemotongan dan pengemasan. Menurut SNI 01-6160-1999 daerah kotor merupakan daerah yag terdiri dari tempat penurunan unggas hidup sampai dengan pengeluaran jeroan dan daerah bersih terdiri dari pencucian karkas sampai dengan tahap pengemasan. Seluruh bangunan TPA belum memiliki daerah kotor dan daerah bersih. Penanganan unggas dilakukan di satu ruangan yang sama (Lampiran 3).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 4 RPA yang tidak melakukan pengistirahatan sementara ayam datang. Ayam datang tidak diistirahatkan terlebih dahulu di petak namun langsung dilakukan pemotongan. Hal yang sama terdapat di 1 TPA kabupaten Karanganyar, ayam yang datang langsung dilakukan pemotongan, karena TPA tersebut hanya menerima penyembelihan ayam yang dibawa oleh konsumen (Lampiran 2). Menurut Anggraeni (2005) perlakuan yang diberikan sebelum pemotongan akan memengaruhi kualitas akhir pH daging yang dihasilkan. pH daging tersebut akan memengaruhi
commit to user
warna dan tekstur daging ayam.Selanjutnya ialah proses penyembelihan, seluruh RPA dan TPA sudah menggunakan pisau anti korosif, mudah dibersihkan dan tidak cepat rusak. Alat penyembelihan tersebut dilakukan pencucian sekala berkala.
Hasil penelitian menunjukkan seluruh RPA dan TPA telah melakukan prosedur bleeding dan scalding yang sesuai dengan SNI 01-6160-1999 tentang Rumah Pemotongan Unggas (Lampiran 1). Terdapat 4 RPA dan 5 TPA yang belum menggunakan alat pelindung diri secara lengkap saat proses eviserasi. Beberapa RPA dan TPA hanya menggunakan celemek dan penutup kepala tanpa menggunakan sarung tangan. Menurut Shopie et al. (2010) alat pelindung diri merupakan alat yang digunakan untuk meminimalisir kontaminasi dari tangan pekerja ke daging. Menurut SNI 01-6160-1999 tentang Rumah Potong Unggas air yang digunakan untuk pencucian karkas menggunakan air minimal 25 liter/ekor. Seluruh RPA sudah menggunakan air mengalir walaupun belum dapat dipastikan sebanyak 25 liter/ekor. Terdapat 3 RPA dari 8 TPA yang belum menggunakan air mengalir. Tiga TPA tersebut masih menggunakan air yang berada di dalam wadah. Hal tersebut dapat menyebabkan kontaminasi yang terjadi dari penggunaan air. Tahap terakhir ialah pemotongan dan pembagian karkas sesuai dengan permintaan konsumen menggunakan talenan. Terdapat 3 RPA dan 3 TPA yang masih menggunakan talenan kayu dan terlihat jarang dibersihkan. Menurut Hadioetomo (1996) kontaminasi mikroba banyak terjadi disebabkan peralatan yang kurang bersih, kontaminasi dari tangan pekerja serta kontaminasi dari air yang sudah tercemar. Proses penyembelihan sampai pengemasan dilakukan secepat mungkin sehingga meminimalisir terjadinya kontak langsung dengan luar.
commit to user B. Uji Kualitas Fisik
Penampilan sifat fisik sangat berpengaruh terhadap penampilan kualitas daging. Utari (2016) menyatakan masalah keamanan pangan yang sering muncul adalah adanya kontaminasi yang mengakibatkan penampilan fisik pada produk tidak sesuai dengan yang diinginkan konsumen. Menurut SNI 1-6160-1999 tentang Rumah Potong Unggas, tempat pemotongan ayam harus menggunakan tempat bersih serta air yang digunakan berasal dari sumber berkualitas baik. Kondisi tempat pemotongan berpengaruh terhadap kualitas daging yang dihasilkan.
Tabel 5. Hasil Uji Kualitas Fisik RPA
RPA/TPA No. Uji Kualitas Fisik
pH Warna** Tekstur***
RPA
1 6,12 3 5
2 6,30 3 3
3 6,24 3 5
4 6,26 3 3
5 6,11 3 5
6 6,12 3 5
7 6,27 3 3
8 6,27 3 3
9 5,99 2 4
10 6,20 3 5
11 5,96 2 4
12 5,81 2 4
TPA
1 6,10 2 4
2 5,90 2 4
3 5,90 2 4
4 6,26 3 3
5 6,18 3 5
6 5,98 2 4
7 6,10 2 4
8 6,15 3 5
Keterangan:
** : 2 = putih pucat kekuningan 3 = putih kekuningan
*** : 3 = serabut agak halus, tidak elastis dan keras jika ditekan 4 = serabut halus, elastis namun terasa basah jika ditekan 5 = serabut halus, elastiis dan terasa basah kering jika ditekan
commit to user 1. Uji pH
Hasil penelitian menunjukkan, dari 20 sampel daging ayam yang diuji nilai pH yang berkisar antara 5,81-5,95 terdapat di 1 RPA dan 2 TPA, pH antara 5,96-6,10 terdapat di 2 RPA dan 3 TPA, pH 6,11-6,25 terdapat di 5 RPA dan 2 TPA serta pH 6,26-6,30 berada di 4 RPA dan 1 TPA.
Beberapa hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bintoro et al. (2006) mengungkapkan bahwa nilai pH daging ayam segar sebesar 5,80-6,07. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Suradi (2008) yang menyatakan bahwa daging ayam broiler memiliki pH 6,16-6,21 setelah pemotongan. Menurut Prayitno dan Suryanto (2012) pH optimal daging ayam broiler tanpa perlakuan berkisar antara 6,11-6,25. Soeparno (2009) menambahkan pada kondisi normal, daging ayam segar memiliki kisaran pH sekitar 5,3-6,5 pasca pemotongan.
Penelitian tersebut mengacu pada standar pH menurut SNI 3924-2009 tentang daging ayam yaitu menetapkan standar pH 6-7 (BSN, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan terdapat 4 RPA dan 1 TPA yang tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menyatakan nilai pH penelitian 6,26-6,30 memenuhi syarat pH normal daging ayam, namun mempunyai nilai pH diatas pH optimum daging ayam. Buckle et al.
(1987) menyatakan bahwa nilai pH akhir daging ayam diakibatkan perlakuan yang diberikan RPA dan TPA ketika ayam masih dalam keadaan hidup, sebelum dilakukan pemotongan ayam harus diistirahatkan dan tidak mengalami stress. Anggraeni (2005) juga menambahkan bahwa penanganan sebelum postmortem dapat memengaruhi kualitas pH daging ayam karena dapat memengaruhi keasaman atau perkembangan waktu rigor. Apabila ayam dipotong dalam kondisi stres maka cadangan glikogen dalam otot rendah akibatnya pH akhir yang dihasilkan melebihi pH optimal daging. Berdasarkan pada penelitian, perlakuan yang diberikan pekerja dibeberapa RPA dan TPA terhadap ayam sebelum pemotongan tidak dilakukan pengistirahatan sehingga pH yang dihasilkan berbeda dengan penelitian sebelumnya.
commit to user
Nilai pH yang berkisar antara 5,81-5,95; 5,96-6,10 dan 6,11-6,25 memenuhi syarat pH normal, bahkan ada yang memenuhi nilai pH optimum daging ayam segar. Berdasarkan pada penelitian, perlakuan yang diberikan di sebagian besar RPA terhadap ayam yang baru datang ialah ditempatkan di tempat yang memungkinkan adanya pergerakan untuk ayam beristirahat. Bangunan RPA tersebut sudah memenuhi standar dari SNI 01-6160-1999 tentang Rumah Potong Ayam. Perlakuan yang sama juga dilakukan di TPA, ayam yang baru datang ditempatkan di petak kecil untuk diistirahatkan sebentar, lalu langsung dilakukan pemotongan.
2. Uji Warna
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 3 RPA dan 5 TPA yang memiliki skor warna nomor 2 yaitu warna putih pucat kekuningan serta terdapat 9 RPA dan 3 TPA yang memiliki skor warna nomor 3 yaitu warna putih kekuningan. Menurut Paiao et al. (2003) skor warna 2 dan 3 merupakan skor nilai warna yang baik untuk daging ayam karena nilai pH sekitar 5,7-6,50. Hal tersebut tidak sejalan degan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Anggraeni (2005) yang menyatakan bahwa daging ayam normal dengan warna putih kekuningan memiliki pH 5,3-5,7, namun penelitian Cassens (2016) menyatakan bahwa daging ayam yang belum terkena kontaminasi akan berwarna putih cerah kekuningan memiliki pH 5,7-6,50.
Ciri-ciri warna daging broiler yang baik menurut SNI 01-4258- 2010 ialah memiliki warna putih kekuningan cerah (tidak gelap, tidak pucat dan tidak kebiruan). Susanto (2014) menambahkan daging yang baik harus mempunyai warna sama antara bagian dalam dan bagian luar daging.
Uji warna daging dilakukan untuk mengetahui warna daging yang baik dan layak untuk dikonsumsi, karena warna daging erat kaitannya dengan kontaminasi yang terjadi (Suherman, 2008).
Skor warna nomor 2 terdapat di 3 RPA dan 5 TPA kabupaten Karanganyar. Menurut penelitian Resnawati (2008) warna daging ayam dipengaruhi beberapa faktor diantaranya nilai pH, semakin rendah nilai pH
commit to user
maka warna daging akan semakin pucat. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa skor warna 2 memiliki warna lebih pucat dibandingkan skor warna 3. Hasil penelitian menyatakan bahwa skor warna 2 memiliki kisaran pH 5,81-6,10. Skor warna nomor 3 terdapat di 9 RPA dan 3 TPA. Nilai uji warna tersebut merupakan nilai warna yang sesuai dengan kondisi daging ayam normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor warna 3 memiliki kisaran pH 6,11-6,30.
3. Uji Tekstur
Hasil penelitian menunjukkan, dari 20 sampel yang diambil terdapat 4 RPA dan 1 TPA yang memiliki nilai skor 3 (serabut agak halus, sedikit keras tidak terlalu elastis dan terasa kering bila ditekan), terdapat 3 RPA dan 5 TPA yang memiliki nilai skor 4 (serabut halus, elastis dan sedikit basah bila ditekan) serta terdapat 5 RPA dan 2 TPA yang memilik nilai skor 5 (serabut sangat halus, elastis dan terasa basah kering bila ditekan) dari 5 skoring tekstur. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Susanto (2014) menyatakan bahwa tekstur daging ayam yang normal ialah memiliki konsistensi, elastis bila ditekan dan jika disentuh tidak berair namun terasa basah kering. Menurut SNI 3924-2009 tentang daging ayam, tekstur daging ayam normal berkaitan dengan nilai pH dan warna. Tekstur daging ayam yang berserabut halus serta tidak lembek memiliki pH berkisar 5-6 dan memiliki warna putih kekuningan. Tekstur yang cenderung keras memiliki pH >6 dan warna lebih gelap.
Hasil penelitian yang dilakukan, terdapat 4 RPA dan 1 TPA yang memiliki nilai skor 3. pH daging ayam dari RPA dan TPA ini berkisar antara 6,25-6,30. Nilai pH tersebut berada dikisaran normal namun bukan pH optimal, sehingga tekstur yang didapatkan tidak berada pada tekstur yang optimal. Penelitian yang dilakukan sejalan dengan pendapat Anggraeni (2005) yaitu nilai pH >6,20 memiliki tekstur yang lebih keras.
Menurut Price dan Scwhweigert (1971), nilai pH akhir yang tinggi akan meningkatkan kemampuan mengikat air, karena cairan daging terikat oleh proteinnya. Hal ini menyebabkan daging memiliki tekstur lebih keras.
commit to user
Nilai skor 4 memiliki pH berkisar 5,81-6,10, tekstur daging ayam elastis namun masih terasa basah bila ditekan. Kondisi ini dapat dikategorikan daging ayam yang normal dan layak konsumsi, karena masih rendahnya kemampuan mengikat air dari dalam daging sehingga daging ayam yang dihasilkan masih terasa elastis yang menandakan ayam yang disembelih tidak dalam kondisi stres. Hal yang sama terjadi pada nilai skor 5 yang memiliki pH berkisar 6,11-6,25 yaitu daging ayam memiliki tekstur elastis dan warna putih kekuningan. Hasil skor 5 sudah memasuki tekstur daging ayam yang memenuhi standar. Hasil penelitian menunjukkan tekstur daging ayam cenderung empuk dan kenyal. Hal tersebut sesuai pendapat Dilaga dan Soeparno (2007) yaitu daging ayam yang baik cenderung memiliki tekstur kenyal dan tidak berair.
commit to user C. Uji Kualitas Mikrobiologi
Daging ayam merupakan bahan pangan yang mudah tercemar oleh berbagai mikroorganisme dari lingkungan sekitarnya. Soeparno (2009) menyatakan kontaminasi mikroba pada daging dimulai sejak berhentinya peredaran darah pada saat penyembelihan, terutama apabila alat-alat yang dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril.
Tabel 6. Hasil Uji Mikrobiologis RPA dan TPA Kabupaten Karanganyar Nomor RPA/TPA Uji TPC Uji Escherichia
coli Uji Salmonella 1
RPA
Normal Negatif Positif
2 Normal Positif Negatif
3 Normal Negatif Negatif
4 Normal Negatif Negatif
5 Normal Negatif Negatif
6 Normal Negatif Negatif
7 Normal Positif Negatif
8 Normal Positif Negatif
9 Normal Negatif Negatif
10 Normal Negatif Negatif
11 Normal Negatif Negatif
12 Normal Negatif Negatif
1
TPA
Normal Positif Negatif
2 Normal Negatif Negatif
3 Normal Negatif Negatif
4 Normal Positif Negatif
5 Normal Positif Negatif
6 Normal Negatif Negatif
7 Normal Negatif Negatif
8 Normal Negatif Negatif
1. Total Plate Count
Hasil perhitungan TPC pada sampel daging ayam di Kabupaten Karanganyar dapat dilihat pada Tabel 6. Jumlah TPC di 12 RPA dan 8 TPA memiliki jumlah total bakteri <1x106 CFU/g.. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Leestyawati (2005) menyatakan sebanyak 60% sampel daging ayam di RPA dan TPA Bali memiliki jumlah total bakteri >1x106 CFU/g. Hafid et al. (2014) melaporkan jumlah total mikroba di seluruh RPA dan TPA kota Kendari >1x106 CFU/g.
commit to user
Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian, dimana seluruh hasil sampel memiliki jumlah total bakteri <1x106 CFU/g. Menurut SNI 3924-2009 tentang Mutu Karkas dan Daging Ayam, batas maksimum jumlah mikroba didalam daging ayam ialah 1x106 CFU/g. Berdasarkan penelitian, pencucian karkas di 12 RPA sudah menggunakan air yang mengalir, namun belum tersedia sarana untuk mencuci tangan bagi pekerja yang dimaksudkan agar higienitas tetap terjaga. Beberapa peralatan yang langsung berhubungan dengan daging sudah menggunakan bahan anti korosif, namun talenan yang digunakan belum menggunakan bahan anti korosif. Menurut Utari (2016) pisau, sarung tangan, alat potong, alat cacah, talenan, timbangan serta pekerja merupakan sumber mikroorganisme kontaminan, maka dari itu diperlukan penanganan yang higienis dengan sistem sanitasi yang baik untuk mengurangi kontaminasi.
Besarnya kontaminasi mikroorganisme pada daging akan menentukan kualitas dan masa simpan daging proses (Soeparno, 2005).
Penanganan di TPA juga hampir sama dengan RPA. Semua peralatan yang digunakan sudah menggunakan bahan anti korosif. Kendala yang dihadapi ialah sebagian TPA belum tersedia alat pelindung diri lengkap seperti masker, sarung tangan dan penutup kepala yang dimaksudkan agar higienitas tetap terjaga Air yang digunakan dalam proses pemotongan di TPA sebagian besar sudah menggunakan air mengalir dan terdapat beberapa TPA yang belum menggunakan air mengalir untuk pembersihan karkas.
2. Escherichia coli
Hasil penelitian menunjukkan dari 20 sampel daging ayam segar yang diambil di RPA dan TPA kabupaten Karanganyar terdapat 14 sampel daging yang dinyatakan negatif tercemar bakteri Escherichia coli dan 6 sampel daging dinyatakan positif tercemar. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hajrawati et al. (2016) menyatakan bahwa jumlah cemaran bakteri Escherichi coli di RPA tradisional Bogor mencapai 30% dari total sampel. Hasil penelitian
commit to user
Bontong et al. (2012) yang melaporkan cemaran bakteri Escherichia coli terdapat diseluruh RPA dan TPA kota Kupang. Persyaratan yang telah ditetapkan SNI 3924-2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan ialah mensyaratkan jumlah maksimum bakteri Escherichia coli sebesar 1x101 cfu/g.
Hasil penelitian menunjukkan, hasil negatif cemaran Escherichia coli terdapat di 9 RPA dan 5 TPA kabupaten Karanganyar. Berdasarkan hasil penelitian, penanganan daging ayam di RPA dan TPA tersebut sebagian besar sudah cukup baik. Penanganan ayam di RPA dimulai dari penyembelihan, lalu dilakukan bleeding walaupun hanya sebentar dan langsung dilakukan pencabutan bulu menggunakan alat sederhana.
Menurut SNI 01-5150-1999 tentang Rumah Potong Unggas, peralatan yang kontak langsung dengan daging harus terbuat dari bahan kedap air seperti beralaskan keramik, bahan yang tidak mudah berkarat dan bahan yang mudah dibersihkan. Seluruh RPA dan TPA menggunakan pisau yang terbuat dari bahan anti karat, tetapi beberapa RPA dan TPA menggunakan talenan yang terbuat dari kayu dan jarang dibersihkan secara berkala.
Hasil positif cemaran Escherichia coli didapatkan dari 3 RPA dan 3 TPA. Hasil penelitian menunjukkan, pada tahapan pencucian karkas dan pembagian daging, air dan talenan yang digunakan belum sesuai dengan standar yang berlaku. Menurut Forsythe (2010) sumber pencemaran bakteri Escherichia coli dapat disebabkan dari peralatan yang digunakan untuk proses pemotongan, eviserasi dan pembagian bagian daging.
Escherichia coli hidup normal dalam saluran intestinal hewan berdarah panas dan bisa mencemari makanan dengan berbagai cara, termasuk pencemaran melalui tangan, selama proses eviserasi, pencemaran tidak langsung melalui polusi air, dan pengemasan produk.
Penelitian juga menunjukkan beberapa TPA menggunakan air yang tidak mengalir dalam proses pencucian daging. Menurut Hafid et al.
(2014) Escherichia coli kemungkinan berasal dari kontaminasi dengan lingkungan terutama air ketika pengolahan. Hal ini sesuai dengan
commit to user
pernyataan Buckle et al. (2009) kontaminasi Escherichia coli pada daging dan olahannya biasanya berasal dari air yang digunakan pada saat pencucian karkas. Menurut Inanusantri dan Setioati (2011) kontaminasi Escherichia coli dapat berasal dari kontaminasi feses di lingkungan rumah pemotongan unggas yang berkaitan dengan pengulitan dan pengeluaran isi usus serta pencemaran dari rumah potong, sehingga sekalipun dalam lingkungan rumah potong yang baik kontaminasi Escherichia coli tidak dapat dihindarkan karena penggunaan air yang telah terkontaminasi. Hal tersebut membuktikan bahwa penanganan yang kurang baik merupakan faktor terjadinya kontaminasi Escherichia coli di tempat pengolahan.
3. Salmonella
Hasil penelitian menunjukkan, dari 20 sampel daging ayam terdapat 11 RPA dan 8 TPA yang dinyatakan negatif tercemar bakteri Salmonella dan terdapat 1 RPA yang positif tercemar bakteri tersebut.
Penelitan sebelumnya yang dilakukan oleh Lawrie dan Ledward (2006) menyatakan bahwa bakteri Salmonella sangat mudah tumbuh di lingkungan RPA yang kotor, hampir 80% daging ayam tercemar bakteri ketika adanya kontaminasi dari air yang digunakan saat pembersihan karkas dan eviserasi yang dilakukan di RPA.
Standar makanan mensyaratkan tidak ada Salmonella dalam 25 gram sampel makanan. Uji angka Salmonella dilakukan pada daging ayam berdasarkan syarat yang telah ditetapkan pada SNI 7388 : 2009 Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam pangan dengan jumlah Salmonella yaitu negatif di 25 gram/koloni.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cemaran Salmonella pada daging ayam di RPA dan TPA kabupaten Karanganyar relatif rendah, dari 20 sampel daging ayam segar didapatkan sebanyak 19 sampel daging dinyatakan negatif tercemar bakteri Salmonella. Berdasarkan pada penelitian, penanganan ayam di RPA dan TPA tersebut sudah memenuhi standar SNI 01-5150-1999 tentang Rumah Potong Unggas.
commit to user
Terdapat 1 RPA yang dinyatakan positif tercemar bakteri Salmonella.
Berdasarkan pada penelitian, penanganan di RPA tersebut sudah memenuhi standar SNI 01-5150-1999 tentang Rumah Potong Unggas. Kendala yang dihadapi ialah kurangnya higienitas pekerja yang menangani proses eviserasi pada ayam. Proses eviserasi tidak dilakukan secara cepat, padahal proses eviserasi merupakan hal yang penting saat proses penanganan daging ayam. Menurut penelitian terdahulu dari Kusuma et al. (2012) cemaran Salmonella tertinggi di RPA dan TPA terjadi pada proses eviserasi yang dilakukan secara manual sehingga dapat berpotensi menimbulkan pencemaran pada karkas. Proses eviserasi manual dapat dilakukan dengan mempertimbangkan waktu eviserasi, pada proses tersebut harus dilakukan secara cepat dan menggunakan air yang mengalir sehingga kontaminasi Salmonella dapat ditekan. Sophie et al. (2010) menambahkan bahwa umumnya sumber cemaran Salmonella di lingkungan RPA berasal dari proses pemotongan, kotoran yang dikeluarkan dari organ digestive dan peralatan yang digunakan oleh pekerja. Kontaminasi yang terjadi ialah kontaminasi silang, menurut Purnawijayati (2010) kontaminasi silang adalah pencemaran pada bahan makanan melalui perantara. Perantara utama meliputi peralatan, serangga, atau manusia yang menangani bahan pangan tersebut dan proses eviserasi.