• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi Daerah di Indonesia (Cerminan Implementasi Otonomi Daerah Dalam Konteks Multikulturalisme dan Etnosentrisme)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Otonomi Daerah di Indonesia (Cerminan Implementasi Otonomi Daerah Dalam Konteks Multikulturalisme dan Etnosentrisme)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Otonomi Daerah di Indonesia

(Cerminan Implementasi Otonomi Daerah Dalam Konteks Multikulturalisme dan Etnosentrisme)

Idil Akbar

Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjadjaran Email: idil.akbar@gmail.com

Abstrak

Kemajemukan yang dimiliki Indonesia bisa dipandang positif memberi dampak terhadap diversitas dan kekayaan budaya. Tetapi di sisi lain, memunculkan sikap promordialisme dan etnosentrisme yang besar, bahkan di beberapa kasus cenderung buta. Situasi ini dalam konteks pemberian otonomi daerah sering menjadi perdebatan dan membawa kesulitan tersendiri di dalam implementasinya. Namun, pemerintah tak punya pilihan lain selain menjalan UU yang sudah ditetapkan. Sebagai pijakan teori utama, artikel ini menggunakan pandangan Gerry Stocker tentang konsep demokrasi lokal sebagai substansi utama desentralisasi, dan pandangan Will Kyimlicka tentang komunitas kebudayaan sebagai cara bagaimana pemerintah mampu meredam konflik otonomi dalam perspektif multikulturalisme. Metode yang digunakan berupa studi literatur dengan menitikberatkan pada analisis wacana dan teori utama untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Kesimpulannya adalah pemerintah bisa menerapkan prinsip multikulturalisme dan etnosentrisme dalam koridor yang tepat dan meminimalisir konflik yang ada dengan syarat pemerintah mampu menorehkan kepentingannya dan mengintegrasikan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat daerah.

Kata kunci: desentralisasi, multikulturalisme, etnosentrisme, konflik Abstract

The compound belonging Indonesia could be seen giving positive impact on diversity and cultural wealth. But the other side, it’s bring up the great problem that is the attitude of primordialism and etnocentrism. This situation, in the context of the granting of decentralization, often a debate and brings its own difficulties in implementation. However, the Government had no other choice but to run a predefined ACT. As the main theory, this article uses the view Gerry Stocker about local democracy concept as a main substance of decentralization, and views Will Kyimlicka about the cultural community as a way of how the Government is able to dampen autonomous conflict in perspective of multiculturalism. The methods used in the form of study literature with emphasis on the analysis of discourse and the main theories to explain phenomena that occured. As conclusion the Government can implement the principle of multiculturalism and etnocentrism in the right corridor and minimize conflicts with the terms of a government capable of putting his interests and integrating policies in line with the interests of the local people.

Keywords: decentralization, multiculturalism, etnocentrism, conflict

(2)

Pendahuluan

Hubungan pusat – daerah, sejak lama mengalami pasang surut yang hingga sekarang masih terus berkelanjutan. Pasang surut hubungan ini pada dasarnya terletak pada adanya tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, terjadinya pasang surut hubungan pusat – daerah juga lebih banyak cenderung terletak pada upaya yang dilakukan pemerintah pusat dalam konteks bagaimana mereka “memperlakukan”

daerah, dengan segala sumber daya dan karakter yang dimiliki di daerah. Pusat memiliki kepentingan terhadap daerah, bukan hanya pada persoalan pemanfaatan dan eksplorasi sumber daya yang ada, akan tetapi bagaimana mampu “mengontrol daerah” agar tidak terjadi disintegrasi bangsa dan menjadi bagian penting dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih dari itu, dengan luasan negara yang sedemikian besar, adalah sulit bagi pemerintah pusat untuk mengurus semua urusan dengan baik. Maka, solusi yang diambil adalah dengan menyertakan daerah agar bisa mengurusi daerahnya sendiri dan mampu memprakarsai pembangunan di daerahnya. Asal tetap terletak dalam lingkaran NKRI.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah pusat untuk menyertakan daerah adalah dengan memberikan desentralisasi atau pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada daerah, dan daerah diberi keleluasan didalam mengatur rumah tangga daerahnya sendiri. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi pemerintah pusat untuk memberikan otonomi kepada daerah didalam mengembangkan daerahnya sendiri berlandaskan pada sumber daya dan kemampuan yang dimiliki. Namun, pemberlakuan otonomi daerah tidak menjadikannya nampak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Berbagai permasalahan hadir pada proses pemberlakuan tersebut. Antara pemerintah pusat dan daerah seringkali terjadi benturan kepentingan dan ketidaksesuaian mekanisme bagaimana menjalankan otonomi yang berimbang, Karena itu, tak jarang menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat di daerah. Tak jarang pula, akibat konflik tersebut menimbulkan perpecahan yang mengarah pada disintegrasi nasional.

Fenomena baru yang terjadi setidaknya dalam 12 tahun belakangan ini adalah ternyata otonomi juga menimbulkan dampak serius lain, yakni hadirnya perasaan ikatan primordialisme dan etnosentrisme yang kuat. Masyarakat daerah (yang pada kenyataannya ditopang oleh kepentingan elit daerah) merasa bahwa otonomi merupakan langkah konkrit untuk mengkerangkai secara bebas daerahnya sendiri, tanpa perlu intervensi dari pemerintah pusat. Karena itu, salah satu upaya yang lazim dilakukan adalah dengan mencegah masuknya kelompok atau perseorangan lain untuk menduduki jabatan tertentu, yang pada dasarnya dikhususkan hanya bagi “putra daerah” tersebut. Umumnya daerah berasalan, dengan cara seperti ini daerah mampu menjaga eksistensi dan keberlangsungan otonomi yang dijalankan.

Pemerintah sepertinya menyadari bahwa persoalam kemajemukan menjadi tantangan didalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah. Multikulturalisme, disatu sisi dipandang sebagai aset nasional yang harus dilestarikan. Akan tetapi disisi lain, rawan terjadinya gejolak politik dan sosial, terutama jika tersebut terkait dengan kepentingan dari masing-masing stakeholders. Hal ini pada akhirnya menimbulkan kehatian-hatian di dalam meletakkan dasar kebijakan berotonomi. Kebijakan otonomi daerah secara de facto sebetulnya telah tertuang sejak negara ini merdeka. Namun, secara de jure, kebijakan otonomi daerah baru tertuang sejak era orde baru berkuasa, yakni dengan dikeluarkannya UU No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Meski memiliki perbedaan cara pandang, satu hal bahwa setiap UU tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya sama-sama menyuratkan bahwa otonomi daerah diberlakukan dengan tujuan menyelenggarakan pemerintahan di daerah agar bisa menyejahterakan masyarakat.

(3)

Pemahaman tentang otonomi daerah sendiri sering disamakan dengan pelaksanaan devolusi1. Sedangkan otonomi (autonomy) berasal dari bahasa Yunani, auto berarti sendiri dan namous berarti hukum atau peraturan. Menurut UU No.5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku2. Sedangkan menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan3. Sejalan dengan itu, UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia4.

Parson5, misalnya, memposisikan desentralisasi sebagai pembagian kekuasaan pemerintah sebagai kelompok penguasa ke kelompok lainnya, dan masing-masing memiliki kekuasaan terhadap daerah tertentu. Sementara, Mawhood6 mendudukkan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Sementara Smith7 lebih memandang desentralisasi sebagai pelimpahan kewenangan dari pusat (top level) ke daerah (lower level) dalam suatu wilayah. Smith juga mendudukkan ide devolution of power sebagai arus utama desentralisasi, meski tidak terbatas pada struktur pemerintahan8.

Terkait dengan itu semua, kejelasan tentang persoalan otonomi daerah sebagai cerminan implementasi dalam konteks multikulturalisme dan etnosentrisme yang dihadapi bangsa ini dapat ditelusuri dalam dua hal pokok. Pertama, bagaimana sebetulnya konsep dan implementasi otonomi daerah yang tertuang dalam UU tentang Otonomi Daerah, terutama ketika ditinjau dengan pendekatan teori Gerry Stocker dan Will Kymlicka mengenai demokrasi lokal dan nasionalisme, multikulturalisme serta kewarganegaraan?

Kedua, bagaimana pula masa depan otonomi daerah di Indonesia, ditinjau dari perspektif etnosentrisme dan integrasi nasional?

Metode

Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini melalui metode studi literatur, dengan menitikberatkan pada analisis wacana dan teori utama untuk menjelaskan fenomena yang terjadi.

1 Andrew heywood, Politics, Macmillan Foundations, Houndmills. 1997, hal. 131. Devolusi sering dikenali sebagai transfer wewenang (power) dari pemerintah pusat (nasional) kepada institusi daerah yang menjadi subordinatnya.

2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah

3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

5 Parson, T. et al. (eds), Theories of Sociology, Glencoe: The Free Press, 1961.

6 Mawhood P. (ed), Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, Chicheser:

John Wiley & Sons, 1987, hal. 9.

7 Smith, B.C., Decentralization: The Territorial Dimension of The State, London: Asia Publishing House, 1985.

8 Syarif Hidayat, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society Relations, Jurnal Poelitik, Vol. I No.1 Tahun 2008, hal. 2-3.

(4)

Pembahasan

1. Otonomi Daerah: Antara Konsep dan Implementasi

Berdasarkan kepentingan pemerintah pusat, menurut Smith9, sedikitnya ada tiga tujuan utama desentralisasi. Pertama, political education (pendidikan politik). Konteks ini berarti masyarakat bisa belajar bagaimana gejala sosial, ekonomi dan politik terjadi, mampu memilah persoalan lokal secara imparsial, belajar mengindikaskan suksesi politik secara cerdas, misalnya dalam memilih anggota legislatif, termasuk belajar mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah10. Kedua adalah to provide training in political leadership (untuk latihan kepemimpinan). Diasumsikan bahwa daerah sebagai wadah awal untuk training para politisi dan birokrat sebelum masuk dalam arena yang lebih besar (nasional).

Ketiga adalah to create political stability (untuk menciptakan stabilitas politik)11.

Sementara, dari sisi kepentingan daerah, desentralisasi bertujuan untuk, pertama, adalah untuk mewujudkan political equality. Artinya, desentralisasi diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal. Kedua adalah local accountability. Dengan desentralisasi diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak komunitasnya, yang meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan daerah. Dan ketiga adalah local responsiveness. Asumsinya, pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya, pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi didaerah12.

Berdasarkan tujuan dari desentralisasi ini terlihat bahwa hubungan pemerintah pusat – daerah sebetulnya saling terikat kuat, sebab masing-masing memiliki kepentingan yang besar atas kebijakan tersebut. Namun, pada kenyataanya terdapat persoalan mendasar dari bagaimana hubungan ini berjalan kurang ideal. Meski UU No.5/1974 menyuratkan bahwa meski terdapat keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerahnya sendiri, pada kenyataannya pemerintah pusat masih mengontrol daerah dengan ketat, mulai dari pengisian jabatan kepala daerah hingga perimbangan keuangan pusat-daerah yang sangat tidak seimbang. Transformasi yang lebih baik nampak terlihat pada UU No.32/2004 yang mengimplementasikan otonomi daerah secara lebih luas. Namun, UU ini masih mengisyaratkan intervensi pusat yang cukup besar, meski sudah dalam batas yang sudah jauh berkurang dari sebelumnya. Sementara, untuk UU No.23 Tahun 2014 belum begitu terlihat bagaimana transformasi tentang otonomi daerah berjalan, sebab UU ini masih berproses dan berjalan.

Dalam konsep demokrasi lokal, Stocker menjelaskan bahwa bangunan demokrasi di tingkat lokal akan menopang kuatnya demokrasi di tingkat nasional. Sebab, demokrasi lokal merupakan bagian penting bagi demokrasi nasional. Dengan mengacu pada prinsip dan nilai yang terkandung dalam demokrasi, maka Stocker ingin menjelaskan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah mengandung penegasan yang seksama tentang relasi yang hendak dibangun antara pemerintah dan masyarakat13. Dengan kata lain, otonomi daerah merupakan jawaban dari kehendak atau aspirasi masyarakat di dalam menyelenggarakan pemerintahan daerahnya sendiri.

9 Syarif Hidayat, ibid, hal. 3-4.

10 Maddick, Henry, Democracy, Decentralization and Development, London: Asia Publisihing House, 1963, hal. 50-160

11 Syarif Hidayat, op.cit.

12 Syarif Hidayat, ibid, hal. 4-5

13 Gerry Stoker, The Politics of Local Government (2nd edition), London, Mcmillan, 1991, hal.303

(5)

Dalam kaitan ini, pemikiran kymlicka tentang komunitas kebudayaan penting pula untuk diperhatikan, terutama terkait dengan bagaimana pemerintah mampu meredam konflik otonomi dalam perspektif multikulturalisme. Kymlicka menjelaskan bahwa suatu komunitas budaya mengacu pada ‘suatu komunitas antar generasi, yang lebih atau kurang lengkap secara institusional, yang menempati suatu wilayah atau daerah tertentu, yang memiliki bahasa dan sejarah’. Anggota-anggotanya memiliki cara hidup dan aktivitas yang beragam dalam kehidupan sosial, agama, pendidikan, rekreasi dan ekonomi, yang mencakup lingkungan umum dan pribadi dan terwujud secara institusional – di sekolah, media, ekonomi, pemerintah dan sebagainya14.

Kymlicka berpikir bahwa ketika semua masyarakat memiliki budaya, suatu ‘budaya masyarakat’ merupakan suatu hal yang umum bagi semua anggota-anggotanya dan terwujud dalam institusi-institusi, merupakan suatu fenomena modern dan berhubungan erat dengan ekonomi modern dan demokrasi. Selain itu, Kymlicka memberikan batasan bahwa otonomi harus mensyaratkan adanya pelingkupan sosial (social inclusion). Sebab, menurut Kymlicka pelingkupan sosial merupakan bagian dari multikulturalisme.

Pelingkupan sosial mengakui pembentukan identitas merupakan fenomena kompleks.

Pelestarian identitas budaya, bahasa, dan agama merupakan pokok penting dalam negara multikultural. Namun upaya perpaduan sosial atas nama budaya nasional atau nasionalisme meminggirkan dan mengeluarkan kaum minoritas dari pusat-pusat pembuat keputusan15.

Hal inilah seringkali menjadi pembatas hubungan antara pusat-daerah di dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintah pusat dihadapkan pada kenyataan bahwa Indonesia adalah negara multikultur, sehingga sulit untuk bisa menyeragamkan situasi.

Sederhananya, implementasi otonomi daerah terletak pada bagaimana pusat mampu mengejawantahkan kehendak rakyat di daerah dan meminimalisir peluang konflik dan benturan budaya yang akan terjadi, baik dalam bentuk horizontal maupun vertikal.

2. Otonomi Daerah Terhadap Masa Depan Indonesia

Peluang bagi pemerintah dengan melaksanakan otonomi daerah sebetulnya sangat baik. Dengan begitu, pemerintah mampu merespon keinginan masyarakat Indonesia untuk mandiri dan memperkarsai pembangunan sendiri. Hal ini juga sejalan dengan semangat dan nilai demokrasi yang mana pemerintah tidak lagi terlalu banyak mengintervensi daerah dan membiarkan daerah membangun dan mengembangkan daerahnya sendiri.

Hanya saja yang sering dikhawatirkan adalah keterbukaan berotonomi berdampak serius terhadap persoalan disintegrasi nasional, akibat dari menguatnya etnosentrisme yang meletakkan sisi kedaerahan yang sangat tinggi. Etnosentrisme dianggap memiliki dampak yang besar terhadap tatanan nilai dan mekanisme pemerintahan yang berjalan. UU pemerintahan daerah, secara kualitas kurang ketat didalam mengupayakan agar etnosentrisme tidak menjadi “batu sandungan” bagi persatuan negara dan bangsa.

Tentunya, hal ini dapat menjadi ancaman bagi masa depan otonomi di Indonesia.

Masa depan otonomi Indonesia akan tetap terjaga apabila pemerintah mampu merumuskan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih baik, tentunya berbasis pada pemahaman multikulturalisme dan etnosentrisme yang positif. Sebab, integrasi nasional harus bisa ditempatkan dalam pandangan tertinggi didalam impelementasi otonomi daerah. Jangan sampai, otonomi justru membawa permasalahan terhadap integrasi nasional tersebut.

14 Lihat buku Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, Terjemahan Edlina Hafmini Eddin, Jakarta: LP3ES, 2002 dan bukunya berjudul, Politics in The Vernacular: Nationalism, Multiculturalism and Citizenship, Oxpord University Press, 2001, hal. 221.

15 Will Kymlicka, Kewarganegaraan Multikultur, ibid, hal. 78.

(6)

Sebagaimana diketahui, hingga tahun 2025 nanti, direncanakan akan ada penambahan Daerah Otonomi Baru sebanyak 54 kabupaten/kota dan 11 provinsi.

Sehingga, total keseluruhan daerah otonom di Indonesia hingga 2025 berjumlah 545 daerah16. Hal ini tentu akan menjadi catatan tersendiri oleh pemerintah didalam mengupayakan kualitas otonomi daerah yang baik dan mampu menjadikan masa depan otonomi daerah di Indonesia dengan sempurna.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan di atas, dapat ditarik kesimpulan, pertama, otonomi daerah harus diselaraskan dengan demokrasi yang berlangsung di daerah. Artinya, pemerintah harus mampu melihat konteks multikulturalisme dan etnosentrisme dalam koridor yang tepat untuk menciptakan kebijakan otonomi daerah yang berkualitas dan meminimalisir peluang konflik yang ada.

Kedua, otonomi daerah dapat dipandang sebagai solusi bagi aktualisasi keinginan masyarakat daerah untuk membangun dan berkembang. Terkait rawan konflik yang muncul dalam hubungan pusat-daerah diharapkan pemerintah bisa menorehkan kepentingannya dan mengintegrasikan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat daerah.

Terima Kasih

Ucapan terima kasih diberikan kepada Dekan dan seluruh Wakil Dekan FISIP Unpad serta Departemen dan Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran dimana tempat penulis bernaung, kepada kepala Departemen dan Koordinator Program Studi serta rekan sejawat lainnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Panitia SNIRA 2015 dan reviewer yang sudah menerima makalah ini untuk dipresentasikan di seminar.

Daftar Pustaka

Heywodd, Andrew. 1997. Politics. Macmillan Foundations, Houndmills.

Hidayat, Syarif, “Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society Relations”, Jurnal Poelitik, Vol. I No.1 Tahun 2008. p.65-107

Kymlicka, Will. 2001. Politics in The Vernacular: Nationalism, Multiculturalism and Citizenship, Oxpord University Press.

Kymlicka, Will. 2002. Kewargaan Multikultural, Terjemahan Edlina Hafmini Eddin.

LP3ES. Jakarta. 2002

Maddick, Henry. 1963. Democracy, Decentralization and Development. Asia Publishing House. London.

Mawhood P. (ed). 1987. Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa. John Wiley & Sons. Chicheser.

Parson, T. et al. (eds). 1961. Theories of Sociology. The Free Press. Glencoe.

Smith, B.C. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of The State. Asia Publishing House. London.

Stoker, Gerry. 1991. The Politics of Local Government (2nd edition). Mcmillan. London.

Desain Besar Penataan Daerah (DESERTADA) Kemendagri Tahun 2010 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah.

16 Desain Besar Penataan Daerah (DESERTADA) Kemendagri Tahun 2010

Referensi

Dokumen terkait

Penjumlahan vektor adalah penjumlahan dari gaya-gaya gravitasi yang dialami oleh benda, maka dapat dihitung jika sebuah benda mengalami dua buah gaya gravitasi

115 satu sarana untuk membangun karakter bangsa, pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang memiliki

Merujuk dari hasil validasi oleh validator, respon siswa, guru serta observasi di dalam kegiatan pembelajaran, modul penggunaan alat ukur yang dihasilkan pada penelitian ini

Pada tahap terakhir dari dari analisa kecelakaan kerja adalah melakukan pengendalian bahaya dengan menemukan solusi alternatif yang dapat mengembangkan suatu prosedur

Dalam pembuatan multimedia interaktif ini guru harus memperhatikan kaidah-kaidah serta teori-teori pembelajaran, karena pada dasarnya tujuan pembuatan bahan ajar

(1) Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e merupakan unsur pelaksana akademik yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Institut di bidang

Strain, sprain lumbal (70%) Fraktur osteoporotik (4%) Fraktur traumatik (<1%) Penyakit kongenital(<1%): kifosis/skoliosis berat vertebra

1) Spesifikasi teknis, disesuaikan dengan kebutuhan wilayah kerja setempat, setelah mengadakan konsultasi dengan pihak yang berkompeten. 2) Bentuk, desain, material dan