• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Kontribusi Hukum Muamalat: Studi atas Hukum Perjanjian (al- Aqd) dalam Pembangunan Hukum di Indonesia. Oleh: Muyassarotussolichah *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Potensi Kontribusi Hukum Muamalat: Studi atas Hukum Perjanjian (al- Aqd) dalam Pembangunan Hukum di Indonesia. Oleh: Muyassarotussolichah *"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Muyassarotussolichah* Abstrak

Hukum mu’amalat pada implementasinya lebih banyak berhubungan antarindividu, akan tetapi akibat yang ditimbulkan dari perjanjian atau transaksi antarindividu tersebut tidak saja diselesaikan oleh individu yang bersangkutan, namun juga melibatkan negara sebagai pelindung dan pelaksana kesejahteraan rakyat (welfare state). Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh aktivitas mu’amalat seringkali tidak bisa diselesaikan oleh individu atau melibatkan negara untuk turut campur di dalamnya, maka hukum mu’malat khususnya hukum perjanjian sudah seharusnya menjadi hukum positif dalam kehidupan umat Islam di Indonesia.

Alasan menjadikan hukum mu’malat, selain kondisi riil di lapangan, juga hukum mu’amalat memiliki norma-norma hubungan yang erat dengan agama sebagaimana hukum keluarga, maka terhadap norma seperti ini diperlukan pengkajian secara filosofis, dicari azasnya dan dilegalisasikan atau diberlakukan (dipositivikasikan) sebagai peraturan. Dengan demikian, hukum mu’amalat (hukum perjanjian) secara faktual memiliki potensi yang kuat untuk dimasukkan sebagai bahan baku hukum perdata nasional.

Kata kunci: hukum mu’amalat, perjanjian, pembangunan hukum A. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki potensi tetap (kodrat) untuk hidup dalam masyarakat. Sebagai makhluk social, manusia membutuhkan manusia lain untuk bersama-sama hidup berdampingan dalam masyarakat. Disadari atau tidak, hidup manusia yang selalu berhubungan dengan manusia lain adalah dalam rangka untuk mencukupkan kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannnya dengan orang lain disebut dengan mu’amalat.1

Dalam pergaulan hidup inilah tiap-tiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain. Maka, timbullah dalam pergaulan hidup

* Dosen Jurusan Muamalah Program Studi Keuangan Islam (KUI) Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

1 Ahmad Azhar Basyir, Azas-azas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1990), p. 7.

(2)

tersebut hak dan kewajiban. Setiap orang memiliki hak yang selalu wajib diperhatikan orang lain dan dalam waktu yang sama juga memikul kewajiban yang harus ditunaikan terhadap orang lain. Hubungan hak dan kewajiban diatur dengan patokan-patokan hukum, guna menghindari terjadinya bentrokan-bentrokan antar berbagai kepentingan. Patokan- patokan hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat disebut dengan hukum mu’amalat.2

Hukum mu’amalat merupakan salah satu aspek dari hukum Islam3 yang berisi norma-norma yang mengatur hubungan keperdataan antara individu yang melibatkan kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomis (materiil). Termasuk ke dalam cakupan hukum mu’amalat adalah hukum benda, hukum perikatan (perjanjian), hukum bisnis dan juga dalam praktiknya memasukkan hukum badan hukum.4

Cakupan yang begitu luas dalam hukum mu’amalat pada implementasinya lebih banyak berhubungan antarindividu, akan tetapi akibat yang ditimbulkan dari perjanjian atau transaksi tidak saja dapat diselesaikan oleh individu yang bersangkutan namun juga melibatkan negara sebagai pelindung dan pelaksana kesejahteraan rakyat (welfare state).

Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh aktivitas mu’amalat seringkali tidak bisa diselesaikan oleh individu atau melibatkan negara untuk turut campur di dalamnya,5 maka hukum mu’malat khususnya hukum perjanjian sudah seharusnya menjadi hukum positif dalam kehidupan umat Islam di Indonesia.

Alasan menjadikan hukum mu’malat, selain kondisi riil di lapangan, juga hukum mu’amalat memiliki norma-norma hubungan yang erat dengan agama sebagaimana hukum keluarga, maka terhadap norma seperti ini diperlukan pengkajian secara filosofis, dicari azasnya dan dilegalisasikan atau diberlakukan (dipositivikasikan) sebagai peraturan. Dengan demikian,

2Ibid.

3 Aspek hukum lainnya dalam hukum Islam adalah hukum ibadat, hukum adab (akhlaq), hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah), al-Ahkam as-Sulthaniyah, al-Uqubat dan as-Sair (hukum antarnegara).

4 Musthafa Ahmad Az-Zarqa’ memberikan batasan hukum mu’amalat mencakup hukum-hukum tentang perbuatan dan hubungan-hubungan sesama manusia mengenai harta kekayaan, hak-hak dan penyelesaian sengketa. Dikutip dari Zarqa’ dalam Modul of Certified Islamic Financial Analyst (C.I.F.A), Philoshophy of Islamic Law of Transactions, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Tanpa Tahun, p. 20. Lebih lanjut dapat dibaca dalam buku Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, Al-Madkholu al-Fiqhie al-

‘Aamm, (Damaskus: al-Adyab, 1967-1968), p. 55.

5 Turut campur dalam hal ini, lebih menitikberatkan pada persolan administratif.

Misalnya kepemilikan atas tanah melibatkan pejabat PPAT dan BPN, transaksi jual beli melibatkan notaris, dan seterusnya. Tidak secara materiil, karena materi hukum mu’amalat telah ditentukan oleh masing-masing pihak.

(3)

hukum mu’amalat (hukum perjanjian) secara faktual memiliki potensi yang kuat untuk dimasukkan sebagai bahan baku hukum perdata nasional.6

Berdasarkan alasan sebagaimana terurai di atas, tulisan ini mengupas lebih lanjut potensi hukum mu’amalat secara umum dan khususnya hukum perjanjian (sebagai bagian dari hukum mu’amalat) dalam memberikan kontribusi pembangunan hukum nasional di Indonesia, dan juga kemungkinan dipositivikasikan sebagai hukum perjanjian Islam di Indonesia.

B. Tinjauan tentang Hukum Muamalah 1. Kedudukan Hukum Mu’amalat

Masyarakat Indonesia sebagaian terbesar pemeluknya beragama Islam. Hukum Islam memegang peranan penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya. Oleh karena itu, langkah terbaik yang dapat ditempuh adalah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang hal itu relevan dengan kebutuhan hukum umat Islam. Cukup banyak azas yang bersifat universal yang terkandung dalam hukum Islam yang dapat digunakan dalam menyusun hukum nasional.7

Menurut politik hokum, yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia tidaklah karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, norma-norma hukum Islam secara otomatis menjadi norma-norma hukum nasional. Norma-norma hukum Islam baru dapat dijadikan norma hukum nasional atau ditransformasikan menjadi hukum nasional, menurut politik hukum itu, norma-norma hukum Islam sesuai dan dapat menampung kebutuhan seluruh lapisan rakyat Indonesia.8

Teuku Muhammad Radhi yang dikutip oleh Suparman Usman mengemukan bahwa salah satu syarat bagi dapat berlakunya hukum dengan baik dalam masyarakat ialah bahwa hukum tersebut haruslah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar beragama Islam dan karenanya dapat dipahami apabila ada keinginan agar dalam penyusunan hukum nasional pihak berwenang mengindahkan

6 Dengan cara menqonunkan hukum mu’malat, yaitu memberikan kontribusi pembangunan hukum di Indonesia dari sudut materi-materi hukum mu’amalat. Dengan kata lain, dalam pembangunan hukum nasional, hukum Islam di samping hukum-hukum yang lain akan menjadi sumber bahan baku penyusunan hukum nasional.

7 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Edisi ketiga, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), p. 245.

8 Ibid., p. 248.

(4)

hukum Islam dan jangan hendaknya dalam hukum nasional yang akan datang terdapat hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.9

Berlakunya hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia yang merupakan jumlah mayoritas di negeri ini, dilandasi oleh nilai filosofis, yuridis dan sosiologis bangsa Indonesia. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum bagi umat Islam Indonesia. Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup dan karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.10 Dengan demikian, hukum Islam menempati kedudukan sebagai salah satu tatanan hukum yang berlaku di masyarakat dan juga menjadi bahan baku dalam pembentukan hukum nasional.

Menurut A. Ghani Abdullah yang dikutip oleh Muhammad Abdun Nasir, ada tiga alasan yang memberi posisi yuridis bagi keberlakuan hukum Islam di Indonesia yaitu: 11Pertama dasar filosofis. Injeksi substansial segi- segi normatif ajaran Islam di Indonesia melahirkan sikap epistimologis yang mempunyai sumbangan besar bagi tumbuhnya pandangan hidup, cita moral dan cita hukum dalam kehidupan sosio-kultural. Proses demikian berjalan seiring dengan tingkat pemahaman keagamaan, sehingga memantulkan korelasi antara ajaran Islam dengan realitas sosial dan fenomena keislaman.

Kedua dasar sosiologis. Sejarah masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum dalam kaitannya dengan kehidupan keislaman memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan, seperti adanya gejala mentakhimkan permasalahan kepada orang-orang yang difigurkan sebagai muhakkam dan akhirnya terkristalisasi menjadi tradisi tauliyah hingga sekarang.

Ketiga dasar yuridis. Sejarah hukum menunjukkan bahwa validitas fenomena yuridis mampu mengungkap perjalanan panjang tata hukum.

Perjalanan panjang tata hukum kolonial yang sarat dengan cita kolonialistiknya tetap saja tidak mampu membendung arus tuntunan layanan masyarakat Islam, sehingga pada akhirnya mengakibatkan hukum Islam diberi tempat di dalam tata hukumnya.

9 Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, t.t), p. 126. Kutipan aslinya diambil dari Teuku Muhammad Radhi, Peranan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional, cet. I, (Yogyakarta: CV Bina Insani dan FSY IAIN Suka, 1983), p. 11.

10 Ibid.

11 Muhammad Abdun Nasir, Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia, (Mataram: IAIN Mataram Press, 2004).

(5)

2. Sumber-sumber Hukum Mu’amalat

Seperti sumber hukum Islam pada umumnya, sumber hukum mu’amalat terdiri dari: sumber-sumber pokok, yaitu al-Qur’an dan Hadis Nabi (Sunnah Nabi s.a.w.) dan sumber-sumber tambahan (instrumental), yaitu: ijma', qiyas, maslahat mursalah, istihsan (kebijaksanaan hukum), istishab (kelangsungan hukum yang sudah ada, ‘uruf (adat kebiasaan), fatwa sahabat Nabi s.a.w. dan hukum Nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana).

3. Prinsip-prinsip Hukum Mu’amalat

Dalam al-Qur’an dan Hadis telah diberikan dasar-dasar bermuamalah. Keduanya merupakan dasar moral dalam kegiatan muamalah baik hablumminallah maupun hablumminannas. Realitasnya, dalam kehidupan manusia hanya bertujuan akhir untuk memenuhi perintah Allah.12

Ajaran dalam Islam yang tertuang dalam sumber pokoknya, al- Qur’an dan Hadis secara universal terdapat lima prinsip dalam bermuamalah yaitu tauhid (keimanan), keadilan, nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan) dan ma’ad (hasil). Berdasar lima nilai tersebut, dibangun tiga prinsip derivatif sebagai ciri-ciri dan cikal bakal ekonomi Islam. Ketiga prinsip tersebut adalah multiplay ownership, freedom to act, dan social justice. Dari ketiganya dibangun konsep yang memayungi semuanya yaitu akhlaq.13

Menurut Ahmad Azhar Basyir, prinsip-prinsip hukum mumalat dapat dirumuskan sebagai berikut:14

a. Pada dasarnya segala bentuk mua’amalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Prinsip ini mengandung arti bahwa Islam memberikan kesempatan terhadap perkembangan bentuk dan macam-macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqhiyah, taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkan wa al-azman.

b. Mu’amalat dilakukan atas dasar suka rela, tanpa mengandung unsur- unsur paksaan, memberikan kebebasan kepada para pihak dalam melaksanakan transaksi sesuai dengan QS. an-Nisa’ (4): 29.

c. Mu’amalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat dalam kehidupan masyarakat, dengan akibat bahwa segala bentuk muamalah yang merusak kehidupan dengan

12 Yusuf al-Qaradhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zainal Arifin dan Dahlia Husain, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), p. 31.

13 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, Cet. I, (Jakarta: IIIT Indonesia 2002), p. 17.

14 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas..., p. 10.

(6)

manusia tidak dibenarkan.

d. Mu’amalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.

Menurut Juhaya S. Praja, asas-asas hukum mu’amalat15 berkembang sebagaimana tumbuh dan berkembangnya manusia. Asas-asas yang dimaksud adalah:16

a. Asas Taba’dulul Manafi’ berarti bahwa segala bentuk kegiatan muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat. Asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip atta’awun atau mu’awwanah, sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar individu atau pihak-pihak dalam masyarakat dalam rangka memenuhi kepentingannya masing-masing.

Asas Taba’dulul Manafi’ merupakan kelanjutan dari prinsip kepemilikan dalam hukum Islam yang menyatakan bahwa segala yang di langit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah. Dengan demikian, manusia sama sekali bukan pemilik yang berhak sepenuhnya atas harta di bumi, melainkan hanya sebagai pemilik hak yang memanfaatkannya. Hal ini didasarkan pada QS. al-Ma’idah: 17 (lillah mulk al-samawat wal al-ardl wama bainahuma).

b. Asas Pemerataan

Asas ini merupakan penerapan prinsip keadilan dalam bidang muamalat yang menghendaki agar harta didistribusikan secara merata di antara masyarakat, sehingga tidak dikuasai oleh segelintir manusia. Asas ini merupakan pelaksanaan Firman Allah QS. al-Hasyr: 7 ”agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja (...laa yakuunu duulatan bainal agniya...).

c. Asas ‘an Taradin atau Suka Sama Suka

Asas ini menyatakan bahwa setiap bentuk mu’amalat antar individu atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing, baik kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat maupun dalam menerima atau menyerahkan harta yang dijadikan obyek perikatan. Asas ini didasarkan pada Firman Allah QS. al-An’am: 152 dan al-Baqarah: 282.

d. Asas Adamul Gurar

Asas adamul gurar berarti bahwa pada setiap bentuk mu’amalat tidak boleh ada gharar, yaitu tipu daya yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak yang lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi

15Terutama dalam hal ini yang menyangkut harta terutama harta dan jual beli.

16 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Yayasan Piara, 1993), pp. 173- 176.

(7)

atau perikatan. Asas ini merupakan kelanjutan dari asas Asas ‘an Taradin atau suka sama suka.

e. Asas al-Birr wa al-Taqwa

Asas ini merupakan bentuk mu’amalat yang menekankan suka sama suka, yaitu sepanjang bentuk mu’amalat dan pertukaran manfaat itu dalam rangka pelaksanaan saling tolong menolong antar sesama manusia untuk kebajikan dan ketaqwaan dalam berbagai bentuknya. Dengan kata lain, mu’amalat yang bertentangan dengan kebajikan dan ketaqwaan atau bertentangan dengan tujuan-tujuan kebajikan dan ketaqwaan tidak dapat dibenarkan.

f. Asas Musyarakah

Asas ini menghendaki bahwa setiap bentuk mu’amalat adalah kerjasama antar pihak yang saling menguntungkan bukan saja pihak yang terlibat melainkan juga bagi keseluruhan masyarakat manusia. Oleh karena itu, ada sejumlah harta yang dalam mu’amalat diperlakukan sebagai milik bersama dan sama sekali tidak dibenarkan dimiliki oleh individu atau perorangan. Asas ini melahirkan dua konsep kepemilikan: pertama milik pribadi atau perorangan (milk adamiy), yaitu harta atau benda dan manfaat yang dapat dimiliki secara perorangan. Kedua, milik bersama atau milik umum yang disebut haqq Allah atau haqqullah. Benda atau harta milik Allah dikuasai oleh pemerintah, seperti: air, udara, kandungan bumi baik mineral maupun barang tambang lainnya. Bahkan ada harta yang diyatakan oleh Rasullullah sebagai harta bersama oleh seluruh umat manusia, yaitu air, api dan garam.

C. Tinjauan Tentang Hukum Perjanjian (Al-‘Aqd)

1. Pengertian Perjanjian (Al-‘Aqd) dan Perbedaannya dengan Istilah Perikatan (Iltizam) dan Tasyaruf

Dalam hukum Islam, secara umum tidak mengenal teori umum tentang perjanjian atau kontrak atau akad. Hal ini didasarkan pada metode pengembangan sistem akad dalam Islam oleh para fuqaha yang mengakategorisasikan masing-masing akad ke dalam bentuk akad-akad tertentu dengan aturannya masing-masing, meskipun hanya diformulasikan dari prinsip-prinsip dasar yang sangat luas sekali seperti aufuu bi al’uqud, aufuu bi al ahdi, uufi bi ahdikum, tanpa menjelaskan apakah itu berhubungan dengan urusan perdata privat, publik dan komersial.17 Itupun kebanyakan disarikan dari prinsip yang terkandung dalam jual beli,

17 S.E. Rayner, The Theory of Contract in Islamic Law: A Comparative Analysis With Particuar Reference to the Modern Legislation in Kuwait, Bahrain, and United Arab Emirates, (London: Graham and Trotman, t.t.), pp. 6-7.

(8)

kemudian dianalogikan kepada bentuk-bentuk akad yang lain. 18

Istilah perjanjian (al-‘aqd atau akad, contract) seringkali disalahartikan dengan istilah tasyaruf (tindakan hukum) perikatan (iltizam), dan kehendak pribadi. Meskipun kesemua dari istilah tersebut saling terkait, yaitu bahwa timbulnya perikatan disebakan adanya perjanjian/akad19 yang dilakukan oleh para pihak, sedangkan para pihak yang menjalankan perikatan berati telah melaksanakan tindakan hukum sesuai dengan perjanjian/akad yang disepakati. Begitu juga halnya dengan kehendak pribadi, merupakan rangkaian dari pelaksanaan dari perjanjian/akad.

Dalam bahasa Arab, kata yang sering dipergunakan untuk menunjukkkan perikatan dalam Islam adalah ‘aqd atau akad. Secara etimologi akad adalah ikatan, yaitu "ikatan yang menghubungkan kedua ujung dari dua benda".20 Atau “ikatan yang berarti mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain, sehingga menjadi bersambung, lalu keduanya menjadi sepotong benda”.

Secara terminologis, arti akad dibedakan menjadi dua macam, yaitu arti umum dan khusus. Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, arti umum dari akad adalah segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dilaksanakan, baik kehendak tersebut muncul dari keinginan perorangan maupun dua orang yang melakukan persetujuan.

Secara khusus akad adalah pertemuan ijab dan qabul menurut ketentuan syara' yang menimbulkan aibat hukum terhadap obyek akad, atau kesesuaian pernyataan kedua pihak yang mengadakan transaksi menurut ketentuan syara', dengan cara tertentu yang karenanya mengakibatkan kekuatan hukum yang mengikat obyek akad. Pengertian aqad secara khusus ini sejalan dengan rumusan yang terdapat dalam undng-undang, yaitu: "kesesuaian atau pertemuan dua kehendak untuk membuat suatu ikatan hukum, memindahkan maupun mengakhirinya.21

Tasyaruf adalah perkataan ataupun tindakan yang dilakukan seseorang atas kehendaknya sendiri yang menimbulkan akibat hukum, baik yang membawa manfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Contoh yang menunjukkan definisi ini adalah jual beli, hibah, waqaf dan lain-lain. Kehendak pribadi dimaksudkan sebagai "suatu janji yang

18 Liaquad Ali Khan Niazi, Islamic Law of Contract, (Lahore: Research Cell. Dyal Sing Trust Library, t.t.), p. 16.

19 Akad merupakan salah satu sumber perikatan, di samping sumber yang lainnya yaitu undang-undang dan kehendak pribadi. Dengan demikian, perikatan bisa timbul karena perjanjian yang bermula dari kehendak pribadi untuk melaksanakan perjanjian, juga bisa timbul karena undang-undang.

20 Wahbah az Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), p. 80.

21 Wahbah az Zuhaili, Al-Fiqh..., pp. 80-81.

(9)

menimbulkan tangungjawab bagi seseorang yang melakukannya kepada pihak lain yang tidak mengetahui, ketika terwujudnya suatu perikatan (dengan diucapkannya janji).22

Dalam istilah hukum Islam, perikatan disebut dengan istilah iltizam, yang dalam perspektif fiqih didefinisikan sebagai suatu tindakan yang meliputi pemunculan, pemindahan dan pelaksanaan hak. Dengan demikian, sebagaimana disebutkan di atas bahwa definisi perikatan ini sejalan dengan pengertian aqad dalam arti umumnya. Di sisi lain, pengertian perikatan tercakup kedalam pengertian tasyaruf dan kehendak pribadi.

Perikatan dapat muncul dari perseorangan (seperti wakaf, wasiat dan sebagainya) maupun dari dua pihak (misal jual beli, ijarah dan lain-lain).

Suatu perikatan yang muncul dari kehendak perorangan terjadi apabila seseorang karena kehendaknya sendiri berjanji (mengikatkan diri) sehingga memunculkan suatu hak bagi pihak lain. Meskipun demikian sebagai akibatnya seseorang yang. berkehendak melakukan suatu perikatan atas kehendaknya sendiri harus melaksanakannya, karena sifat perikatan menuntut adanya pelaksanaan.

Perikatan dalam perspektif undang-undang (qanun) Islam didefinisikan sebagai: "keadaan tertentu seseorang yang ditetapkan syariah, menuntut suatu tindakan untuk dilakukan atau tidak diwujudkan kepada pihak lain." Menurut Mustafa Zarqa, definisi ini adalah yang paling tepat, dengan memperhatikan bermacam-macam definisi yang terdapat dalam Undang-undang Perdata dari berbagai negara.23

Beberapa ulama mendefinisikan perikatan dengan meminjam istilah yang dipakai dalam undang-undang Barat, yaitu: "ikatan hukum yang berobyek pada suatu tindakan hukum atau perbuatan tidak melakukan hukum dalam masalah kekayaan (harta) yang menuntut pada salah satu fihak untuk mewujudkan suatu prestasi pada waktu yang akan datang.24 2. Rukun dan Syarat Perjanjian (Akad)

Rukun dan syarat merupakan hal yang penting dalam perjanjian Islam, karena keduanya harus terpenuhi agar perjanjian atrau akad yang dilakukan sah. Menurut Jumhur, yang dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-unsur yang membentuk akad, yaitu para pihak yang mengadakan akad, objek akad dan formula akad. Sementara itu ulama Hanafiah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan rukun adalah formula

22 Ibid., p. 83.

23 Ibid., p. 232.

24 Mustafa Ahmad Zarqa, Al-Fiqh al-Islam fi Saubih al-Jadid: Al-Madhal al-Fiqhi al- 'Ami, (Beirut: Dar al Fikr, 1965), p. 81.

(10)

akad saja yang terdiri dari ijab dan qabul dan inilah substansi akad menurut madzab tersebut. Dalam rangka menjembatani kedua pendapat tersebut, Zarqa’ yang dikutip oleh Syamsul Anwar dalam pembahasannya memakai istilah bangunan akad untuk menyebut rukun akad versi Jumhur, dan rukun akad digunakan untuk menyebut ijab qabul seperti pendapat ulama Hanafiah. 25

Syarat akad secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu syarat terbentuknya akad, kalau tidak terpenuhi maka akad tidak terbentuk dan akadnya batal. Kedua syarat sahnya akad, jika tidak terpenuhi tidak berati akadnya tidak terbentuk, bisa saja akadnya ada, akan tetapi belum sempurna, atau terdapat kekurangan, dalam hal ini menurut ulama Hanafi akadnya fasid dan harus dibatalkan. 26

Adapun mengenai syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:27 a. Tidak menyalahi hukum syara.Artinya hal yang diperjanjikan yang

diadakan bukan merupakan perbuatan yang dilarang hukum atau perbuatan melawan hukum. Perjanjian yang melanggar hukum tidak sah dengan sendirinya, dan tidak ada kewajiban masing-masing pihak untuk melaksanakan perjanjian tersebut, atau perjanjian batal demi hukum.

b. Harus diadakan dengan didasarkan atas keridaan/kerelaan para pihak.

c. Harus jelas dan gamblang. Apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus jelas tentang apa yang menjadi isi perjanjian tersebut, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak yang telah diperjanjikan di kemudian hari. Dengan demikian, para pihak harus memiliki persepsi yang sama tentang apa yang diperjanjikan baik terhadap isi maupun akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian tersebut.

3. Macam-macam Perjanjian (Akad)

Berdasar analisis para fuqaha’, akad dapat ditinjau dari berbagai segi, yaitu pengakuan syari’at, ketentuannya, tujuannya dan unsur-unsur yang menentukan perwujudan dan akibatnya.

a. Akad ditinjau dari segi sah dan tidak sah (akad sahih dan tidak sahih).28

25 Syamsul Anwar, Teori Kausa dalam Hukum Perjanjian Islam Suatu Kajian Atas Hukum, Laporan Penelitian Individual Puslit IAIN Suka Yogyakarta, p. 65.

26 Ibid.

27 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), p. 3. Syamsul Anwar lebih terinci menyebutkan tentang syarat sahnya perjanjian yaitu: tidak adanya paksaan, tidak menimbulkan kerugian, tidak mengandung ketidakjelasan, tidak mengandung riba dan tidak mengandung syarat fasid.

Ibid.

(11)

Pembahasan mengenai sahih dan tidak sahihnya akad ditentukan berdasarkan lengakap dan tidak lengkapnya rukun-rukun dan syarat-syarat akad. Akad sahih ialah akad yang memenuhi semua unsur asasinya seperti shighah (pernyataan), pihak yang mengadakan akad, obyek akad dan lain- lain. Pengaruh akad yang sahih ialah menimbulkan akibat hokum, yaitu memberikan hak kepemilikan bagi masing-masing pelaku akad pada obyek akad segera setelah ijab qabul, selama tidak ada hak khiyar (hak memilih antara melanjutkan atau membatalkan akad).

Akad tidak sah ialah akad yang tidak memenuhi semua unsur asasinya dan syarat-sayaratnya. Contohnya: pihak yang mengadakan akad terdiri dari orang yang tidak mempunyai kecakapan, obyek akadnya berupa barang yang tidak halal (bangkai darah dan sebagainya).

b. Akad ditinjau dari segi shighat: akad munjaz, akad bersyarat, akad yang bersumber pada waktu yang akan datang, akad fauri dan mustamir.

1) Akad Munjaz

Akad munjaz adalah akad yang bersumber dari sighat akad yang pasti tanpa dikaitkan dengan suatu syarat dan tidak disandarkan juga pada masa yang akan datang. Artinya, akad akan mempunyai akibat hukum seketika itu jika setelah terjadinya ijab dan qabul. Apabila akad sudah dipandang selesai, misalnya jual beli maka selesailah akad yang dimaksud dengan segala konsekuensinya. Sebab pada dasarnya setiap segala sesuatu yang memungkinkan untuk memilikinya pada waktu dilaksanakan akad, maka tidak boleh menghubungkannya atas suatu syarat serta masa yang akan datang.29

Apabila dalam akad objeknya adalah sesuatu yang harus diterima seperti hibah, gadai dan pinjam meminjam barang, maka adanya sighat belum bisa menyelesaikan terjadinya akad, akan tetapi apabila objek akad benar-benar telah dierima, barulah akan dipandang sempurna.30

2) Akad Bersyarat

Akad bersayarat adalah akad yang digantungkan kepada syarat tertentu. Akibat hukumnya baru terjadi apabila syarat tersebut terpenuhi.31 3) Akad yang bersumber pada waktu yang akan datang

Akad ini merupakan kebalikan dari akad munjaz. Apabila suatu akad tidak bisa dilaksanakan seketika itu juga, maka ada dua kemungkinan

28 Module of Certified Islamic Financial Analysist (C.I.F.A.), Philoshophy of Islamic Law of Transaktions), IAIN Sunan Gunung Djati Bandung: Program Pasca Sarjana Program Studi manajemen Keuangan dan Perbankan Islam, p. 43.

29 Ahmad Abu al-Fath, Kitab al Mu’amalat fi asy Syari’ah al Islamiyah wa al Qowanin al Misriyyah, Juz I, (Mesir: Matba’ah al Busfur, 1913), p. 195.

30 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum ...., p. 73.

31 Ibid.

(12)

sebabnya, bersandar pada waktu yang akan datang atau bergantung pada adanya syarat.32

4) Akad Fauri dan Mustamir

Akad fauri adalah akibat hukum dari akad yang dapat dilaksanakan dengan segera setelah terjadinya akad. Dengan kata lain, tujuan akad telah tercapai setelah terjadinya ijab dan qabul seperti akad jual beli barang secara tunai.

Akad mustamir adalah akad yang pelaksanaannya memerlukan waktu panjang setelah terjadinya. Dengan kata lain, tujuan akad baru tercapai setelah melalui waktu tertentu, seperti akad sewa menyewa rumah dalam jangka waktu dua tahun, akan tetapi tujuan dari akad yakni pengambilan manfaat rumah baru selesai setelah berlangsung dalam waktu selama dua tahun. 33

c. Akad ditinjau dari segi tujuannya

Ditinjau dari segi tujuannya, akad memiliki tujuan yang bermacam- macam, yaitu: 34

1) Tujuan akad untuk memberikan hak kepemilikan kepada orang lain baik berupa benda mauun manfaatnya, baik dengan imbalan ataupun tanpa imbalan. Akad semacam ini disebut dengan akad pemberian hak milik.

Pemberian hak milik dengan tukar menukar disebut dengan mu’awadah, sedangkan akad tanpa imbalan disebut dengan akad kebajikan atau tabarru’.

2) Akad yang bertujuan untuk melepaskan hak tanpa atau dengan adanya ganti disebut dengan akad pelepasan hak (iqat), seperti membebaskan orang yang berhutang dari kewajiban membayar hutang, membebaskan orang dari hukuman qishas akan tetapi dengan membayar ganti rugi atau diyat.

3) Akad yang bertujuan memberikan kekuasaan untuk melakukan sesuatu perbuatan kepada orang lain seperti memberi kuasa terhadap orang lain untuk melakukan suatu tindakan atas nama yang mewakilkan, berarti orang yang mewakilkan itu memberikan hak terhadap wakilnya untuk bertindak atas namanya. Akad ini disebut dengan akad pelepasan.

4) Akad yang bertujuan sebaliknya dari akad yang di atas, yakni mengikat orang untuk berbuat dengan wewenang yang semula dimilikinya disebut dengan akad taqyid (terikat), seperti orang yang mewakilkan menghentikan kekuasaan wakilnya.

32 Ahmad Abu al Fath, Kitab..., p. 195.

33 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum..., pp. 79-80.

34 Ahmad Muhammad al Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Alih bahasa Imam Saefudin, (Semarang: Pustaka Setia, 1999), pp. 213-224.

(13)

5) Akad yang bertujuan untuk bekerja sama dalam rangka memperoleh suatu hasil atau keuntungan disebut dengan akad persekutuan (syirkah), seperti persekutuan bagi untung rugi, bagi hasil dan sebagainya.

6) Akad yang bertujuan untuk memperkuat akad yang lain seperti akad gadai sebagai pendukung dari akad utang piutang, maka disebut akan pertanggungan.

D. Potensi Kontribusi Hukum Muamalat dalam Pembangunan Hukum Nasional

1. Alasan-alasan Dasar Hukum Muamalat Berpotensi

Secara umum, sebagaimana dikemukanan oleh Gibb bahwa dalam Islam hukum mendahului negara baik secara legislatif maupun waktu, dan lahirnya negara semata-mata untuk tujuan memelihara dan memberlakukan hukum.35 Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan realitas hukum Islam di Indonesia dalam rangka pengembangan hukum nasional, sudah seharusnya hukum Islam dipotensikan sebagai bahan hukum yang diberlakukan di Indonesia.

Kiranya hal tersebut cukup beralasan karena hukum Islam memiliki bahan-bahan yang kaya dengan pemikiran dan hasil ijtihad untuk kemaslahatan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Di antaranya ada yang masih relevan, karena memiliki nilai-nilai universal sekalipun penerapannya bervariasi sesuai dengan masa dan tempat. Sebagai contoh ialah ilmu ushul al-fiqh, teori-teori fiqh (seperti teori ta’asuf dari Maliki, teori syuf’ah dan teori ‘aqad). Meski demikian, bukan berarti tidak ada hasil ijtihad yang sudah kurang atau tidak relevan, seperti fiqh untuk selalu melaksanakan ijab-qobul dalam jual beli. Terhadap hal ini perlu dilakukan pengkajian ulang. Hal demikian dimungkinkan karena hasil ijtihad tersebut terkait dengan situasi historis dan sosiologis masa kini.36 Terlepas dari itu semua, paling tidak dalam bidang hukum keluarga, masih tetap eksis.

Sekalipun hukum Islam dalam bidang selain hukum keluarga tidak menjadi hukum positif, di negara-negara yang berorientasi modern, hukum Islam tetap memiliki pengaruh ideal, bahkan merupakan inspirasi bagi pembuatan peraturan perundangannya. 37

Dewasa ini, dalam keadaan yang sangat terbuka (transparant) sebagai

35 Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam Studi tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq Al-Syatibi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), p. 14.

36 A. Djazuli, “Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, dalam Eddi Rudiana Arief (Peny.), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), pp. 23-232.

37 Ibid. Lebih lanjut lihat dalam Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford University Press, 1975), p. 11.

(14)

konsekuensi dari era reformasi dan dalam waktu bersamaan dengan krisis yang belum kunjung selesai, hukum Islam atau fiqh mempunyai peran besar sebagai sumber hukum nasional. Arti sumber di sini akan mengalami perkembangan yang sangat signifikan, bukan saja dalam sistem peradilan yang sudah tegas dalam lingkungan peradilan agama, seperti selama ini.

Namun juga dalam sistem peradilan (meliputi materi hukum dan sistem kerja peradilan dalam rangka supremasi hukum) yang lebih luas,38 yang dapat meliputi seluruh aspek kehidupan manusia terutama dalam kaitannya antara manusia dengan manusia yang lainnya (mu’amalah).

Dengan demikian, di lapangan hukum mu’malah selain yang telah diakomodasi dalam hukum positif Indonesia, seperti dalam masalah perbankan dengan prinsip bagi hasil (perbankan syari’ah), di lingkungan hukum muamalah yang lain, seperti jual beli, sewa menyewa, perjanjian kerja, perjanjian usaha dalam bentuk perserikatan perdata (maatschap), penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam pakai habis (verbruikklening), perjanjian pertanggungan (asuransi), pemberian kuasa, perjanjian penanggungan utang, dan perjanjian perdamaian, yang merupakan perjanjian-perjanjian dengan nama sebagaimana disebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, serta perjanjian lain dengan nama apapun, jika umat muslim menghendaki maka dapat melakukannya berdasarkan ajaran-ajaran dan etika Islam. Hal ini berdasarkan asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 KUH Perdata,39 sehingga seluruh perbuatannya tersebut akan tunduk kepadanya dan terhadapnya berlaku hukum Islam.40

Terhadap eksistensi hukum mu’amalat, jika di kemudian hari diberlakukan sebagai hukum untuk umat Islam Indonesia, maka hukum formilnya dalam hal ini Hukum Acara Muamalatnya juga harus tersedia, meskipun belum tentu timbul sengketa sebagai konsekuensi dari adanya pelaksanaan hukum muamalah. Namun demikian, demi tegaknya hukum muamalat di Indonesia, hukum acara muamalat juga harus disediakan.

Sementara sebagian pendapat menyebutkan bahwa hukum belum dapat dilihat bila belum ada persengketaan. Hukum baru dapat secara nyata dirasakan dan diketahui keberadaannya apabila para pihak yang bersangkutan bersengketa, dan sengketanya diajukan ke muka hakim

38 A. Qodri Azizy, Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, (Jakarta: Teraju, 2004), p. 291.

39 Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

40 Hartono Mardjono, “Prospek berlakunya Hukum Muamalah di Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi-dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), p. 230.

(15)

untuk diperiksa dan diputus. Putusan itulah yang dianggap sebagai hukum karena semua orang akan mengetahui, hukum mana yang dipergunakan secara nyata oleh hakim dalam mengadili sengketa yang bersangkutan sampai melahirkan putusan. Hukum akan terlihat setelah dipergunakan untuk mengadili dan memutuskan suatu sengketa. Bahkan, banyak hadis Nabi, sebagai salah satu sumber hukum Islam baru muncul setelah terjadi suatu peristiwa yang memerlukan putusan. Jadi, lahirnya hukum adalah karena ada suatu peristiwa.41

Eksistensi hukum mu’amalat Islam dapat diakui, meskipun hakim yang akan memeriksa dan mengadili sengketanya tidak ada, apabila hakim- hakim yang ada pada Peradilan Agama berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 diberikan kewenangan untuk itu. Padahal diketahui bahwa hakim Peradilan Agama berdasar kompetensinya (Pasal 49 UUPA) tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa berkait dengan hukum mu’amalat.

Sebenarnya terhadap permasalahan penyelesaian hukum mu’malat, dapat dikembalikan pada Pasal 27 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut menjelaskan “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Sebagai konsekuensi logis dari pasal ini, setiap hakim pada lembaga peradilan umumpun wajib memberlakukan hukum yang telah menjadi pilihan para pihak. Tidak ubahnya seperti yang berlaku pada proses penundukan diri secara sukarela yang dikenal di lingkungan hukum perdata, karena dianggap yang bersangkutan (yang berperkara) telah menyatakan pilihan hukumnya. Dengan demikian, sudah barang tentu hakim wajib memberlakukan hukum Islam yang dengan tegas telah dipilih oleh para pihak yang bersangkutan.42

Metode pemberlakuan hukum Islam melalui hakim di pengadilan akan lebih efektif dibanding harus membuat “sebuah hukum”. Namun demikian, metode seperti itu belum biasa diterapkan, khususnya oleh hakim-hakim Pengadilan Negeri, karena hakim-hakim di Indonesia memiliki kecenderungan positivistik. Oleh karena itu, metode positivisasi hukum Islam harus dilakukan.

Metode positivisasi perlu diberlakukan, karena hal ini sesuai dengan fakta keberlakuan hukum Islam di Indonesia yang pada prinsipnya dikategorikan menjadi dua, yaitu keberlakuan secara normatif dan keberlakuan secara formal. Keberlakuan secara normatif ialah berlakunya

41 Ibid., pp. 230-231.

42 Ibid.

(16)

hukum Islam karena telah mempunyai dasar-dasar dalam agama dan hanya efektif dan berlaku dengan baik atas dasar kesadaran, dalam konteks ini tidak mempunyai konsekwensi serta akibat-akibat hukum formil.

Misalnya, sholat, puasa ramadhan dan sebagainya, di mana penegakannya lebih erat hubungannya dengan individu yang tidak membutuhkan negara.

Keberlakuan hukum Islam secara formil berarti berlakunya hukum Islam karena mempunyai dasar-dasar dalam hukum nasional yang secara resmi diakui atau didasarkan pada perundang-undangan negara. Misalnya pada masalah hukum keluarga sebagaimana tertuang dalam Undang- undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang penegakannya melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Norma hukum keluarga ini sangat erat dengan agama, sehingga membutuhkan negara untuk turut campur di dalamnya.

Sebagaimana norma hukum keluarga, posisi norma hukum mu'amalat memiliki hubungan yang erat dengan agama, karena hukum mu'amalat lahir dari agama Islam itu sendiri. Hubungan tersebut tetap terpelihara hingga sekarang, karena kaum muslimin hingga sekarang dan yang akan datang tetap memegang prinsip bahwa pembuatan hukum tetap menjadi wewenang Allah ta’ala, sedangkan para mujtahid berperan menyingkapkan hukum yang ditetapkan oleh Allah ta’ala.43

Oleh karena itu, sudah barang tentu keberlakuan hukum mu’amalat secara formil dalam arti dipositivikasikan sebagai salah satu hukum nasional di Indonesia adalah sangat penting. Hal ini juga mengingat prinsip-prinsip hukum mu’amalat yang bisa diterapkan secara universal, tidak hanya kepada orang-orang muslim, tapi juga kepada orang-orang non muslim dan berfungsi sebagai rahmatan llil’alamin.

2. Materi-materi Hukum Mu’malat Yang Berpotensi

Sebagaimana telah disebut di atas, materi hukum mu’malat yang berpotensi dalam pengembangan hukum nasional pada prinsipnya keseluruhan dari hukum mu’malat dalam hal ini mencakup Hukum Benda yang terdiri dari benda bergerak dan benda tidak bergerak. Hukum Perjanjian, dan Hukum Bisnis dan seterusnya, seperti yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang telah berlaku di Indonesia.

Potensi dari masing-masing hukum tersebut yang penting untuk dikaji lebih lanjut sehingga terwujud sebagai bahan baku dalam pembentukan hukum muamalat di Indonesia. Sementara ini, materi-materi

43 Modul of Certified Islamic Financial Analyst (C.I.F.A), Ibid. Dikutip dari Shubhi Mahmashshani, Falsaftu at-Tasyri’ fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Ilmu Lilmalaayaain, t.t.), p. 22.

(17)

tersebut sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat, karena hukum perdata khususnya hukum perdata Barat telah diberlakukan di Indonesia sejak masa kolonial, sekarang hanya bagaimana menformulasikan hukum tersebut agar tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Namun demikian, materi-materi hukum mu’amalat dapat juga diambil dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam yang berlaku di berbagai negara Islam dengan penyesuaian. Misalnya yaitu materi-materi yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam zaman kekhalifahan Turki Usmani versi mazhab Hanafi.

Materi dalam Kitab Undang-undang Perdata Islam zaman kekhalifahan Turki Usmani versi mazhab Hanafi ini, pada prinsipnya terdiri dari Buku I tentang Jual Beli, Buku II tentang Sewa-menyewa, Buku III tentang Jaminan (al-Kafalah), Buku IV tentang Pemindahan Utang (al-Hiwalah), Buku V tentang Gadai (al-Rahn), Buku VI tentang Barang yang dipercayakan (Amanah), Buku VII tentang Hibah, Buku VIII tentang Perampasan dan Perusakan Barang (al-Ghasbu wa al-Itlaaf), Buku IX tentang Pengampuan, Pemaksaan dan Hak Membeli Lebih dahulu (al- hajru, al-Ikrah, Al-Syuf’ah), Buku X tentang Hak Milik Bersama (al-Syirkah), Buku XI tentang Perwakilan (al-Wakalah), Buku XII Perdamaian dan Pembebasan (al-Shulh wa-al-Ibra), Buku XIII tentang Pengakuan (al-Iqraar), Buku XIV tentang Gugatan (al-Da’waa), Buku XV tentang Pembuktian dan Sumpah (al-Bayinah wa al-Tahlif) dan Buku XVI tentang Putusan Pengadilan dan Pemeriksaaan Perkara (al-Qodla).44

Jika ditelaah lebih lanjut, materi dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam zaman Turki Usmani tidak saja meliputi materi hukum secara materiil tapi juga materi hukum formil. Kodifikasi semacam ini menurut penulis akan lebih efektif dibanding harus memisahkan antara hukum materiil dengan formil.

Dengan demikian, dalam rangka memaksimalkan potensi hukum muamalat sebagai bahan baku dalam pembangunan hukum nasional, maka dapat difungsikan hukum perbandingan sebagai sarana untuk menentukan mana-mana di antara cakupan hukum mu’amalat yang paling berpotensi. Secara spesifik dapat disebutkan bahwa hukum perjanjian memiliki potensi yang kuat dibanding cakupan hukum muamalat yang lainnya. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan secara umum bahwa hukum mu’malat berpotensi, sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu hukum perjanjian telah menyatu dengan masyarakat sebagai sarana bertransaksi.

44 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam Zaman Kekhalifahan Turki Usmani Versi Mazhab Hanafi, A.Djazuli dkk (Tim Penerjemah), (Bandung: Qiblat Press, 2002), p. daftar isi.

(18)

E. Potensi Kontribusi Hukum Perjanjian Dalam Pembangunan Hukum Nasional

1. Alasan-alasan Dasar Hukum Perjanjian (Al-Uqud) Berpotensi Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum muamalat di samping materi-materi hukum yang lain seperti hukum benda yang terdiri dari benda bergerak dan benda tidak bergerak, hukum orang atau keluarga, hukum badan hukum dan sebagaianya. Dibanding materi-materi hukum mu’amalat yang lain, hukum perjanjian memiliki potensi yang kuat untuk dikembangkan atau dijadikan sebagai hukum nasional. Hal ini antara lain didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut: Pertama, diketahui bahwa bidang mu’amalah merupakan bidang yang amat lebar luasnya sama luasnya dengan aktivitas manusia dalam kehidupan keduniaan sehari-hari yang senantiasa berkembang sesuai dengan gerak lajunya dinamika Bani Adam.45

Menghadapi perkembangan tersebut, hukum perjanjian atau hukum perikatan Islam secara khusus pada parohan kedua abad ke-20 hingga kini mendapat arti penting yang sangat kuat. Hal ini disebabkan oleh, pertama, ia dijadikan proyek pembaharuan orientasi hukum Islam, kedua, karena lahirnya beberapa institusi syari’ah yang didasarkan pada ketentuan- ketentuan hukum perjanjian dan muamalah Islam, ketiga, semakin berkembangnya bisnis umat Islam sebagai fenomena modern dengan ketentuan agama atau hukum Islam yang orisinil yaitu perpaduan antara asalah dan mu’asarah.46

Kedua, diketahui realitas kehidupan manusia terutama prilakunya yang berkait dengan harta kekayaan lebih banyak berhubungan dengan hukum perjanjian. Misalnya: transaksi jual beli, hutang piutang, pinjam meminjam, pinjam pakai, sewa menyewa dan sebagainya. Untuk mensukseskan hubungan antara kedua belah pihak yang melakukan transasksi tersebut diperlukan hukum yang khusus mengatur tentang rukun dan syarat agar memiliki validitas sebagai hubungan yang sah, yaitu hukum perjanjian.

Ketiga, jika dilihat dari substasinya hukum perjanjian dalam hal ini akad, telah mewarnai kehidupan umat muslim dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari. Dengan kata lain, hukum perjanjian dalam hal ini akad telah dijalankan oleh sebagian besar masyarakat muslim

45 Ahmad Isa Asyur, Fiqh Islam Praktis, Alih Bahasa Abdul Hamid Zahwan, (Solo:

Pustaka Mantiq, t.t.), p. 21.

46 Syamsul Anwar, Outline Matakuliah Hukum Perikatan/Perjanjian, Jurusan Mu’amalat Prodi Hukum Islam, Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, p. 1.

(19)

khususnya di Indonesia, meskipun belum diformalkan dalam bentuk hukum positif.

2. Positivasi Hukum Perjanjian ((Al-Uqud) a. Pengertian Positivisasi

Istilah positivisasi tidak begitu banyak dipakai dalam wacana hukum Islam. Istilah ini merupakan derivasi dari pengertian hukum positif yaitu hukum yang diberlakukan pada suatu negara. Dengan demikian, positivisasi berarti merujuk pada sutu proses untuk membuat suatu aturan menjadi hukum positif. 47

Istilah lain yang sering dipakai dalam wacana hukum Islam untuk menggambarkan usaha menjadikan hukum Islam sebagai bagian hukum negara adalah pelembagaan hukum Islam,48 kodifikasi atau kompilasi hukum Islam49, trasformasi hukum Islam, Islamization of Muhammadan Law50, siyasah dan taqnin,51 akhir-akhir ini terkenal dengan istilah qanunisasi.

Pada prinsipnya, istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama. Misalnya istilah pelembagaan hukum Islam merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Bustanul Arifin.52 Secara umum, istilah tersebut dikenal dengan penerapan syari’ah. Secara “khusus” disebut dengan qanunisasi syari’ah53 yaitu memberikan kontribusi pembangunan hukum di Indonesia dari sudut materi-materi hukum Islam. Dengan kata lain, dalam pembangunan hukum nasional, hukum Islam di samping hukum-hukum

47 Muhammad Abdun Nasir, Positivisasi..., p. 19.

48 Istilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya niat Pemerintah RI dalam usaha untuk mengkompilasikan hukum Islam melalui proyek pembangunan hukum Islam yaitu dengan yurisprudensi, disingkat Kompilasi Hukum Islam (KHI). Lebih lanjut baca Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), p. 23.

49 Kodifikasi dan kompilasi hukum Islam merupakan fase ketujuh dalam perkembangan hukum Islam. Lebih lanjut baca: Muhammad Khudari Bek, Tarikh Tasyri’

al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), pp. 5-6.

50 Istilah ini dikemukan oleh M. B. Hooker yang berarti mengislamkan hukum Muhammad. Lebih lanjut dapat dibaca dalam buku M.B. Hooker, “Muhammadan Law and Islamic Law” dalam M.B. Hooker (ed.), Islamic in South-East Asia, (Leiden: E.J.Bril, 1983), p. 160.

51 Muhammad Abdun Nasir, Positivisasi..., Ibid.

52 Mantan Hakim Agung dengan jabatan ketua Muda Mahkamah Agung, untuk lingkungan Peradilan Agama. Bukunya yang terkenal berjudul Pelembagaan hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

53 Syamsul Anwar lebih senang menyebut dengan qanunisasi. Karena istilah penerapan syari’ah-makna yang telah terkontaminasi dan menimbulkan pro dan kontra, disampaikan dalam Kuliah Filsafat Hukum Perspektif Islam, Program Doktor (S-3) UII, Yogyakarta, 30 Oktober 2004.

(20)

yang lain54 akan menjadi sumber bahan baku penyusunan hukum nasional.55

b. Alasan-alasan Positivasi Hukum Muamalat: Hukum Perjanjian (al-Uqud) Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena hukum Islam merupakan bagian dari agama Islam yang universal sifatnya.

Sebagaimana dengan agama Islam yang universal sifatnya, hukum Islam berlaku bagi orang Islam di manapun ia berada, apapun nasionalitasnya.

Hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum nasional itu mungkin juga berarti hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama warga negara Republik Indonesia sebagai pengganti hukum kolonial dahulu. 56

Dalam rangka mewujudkan hukum nasional yang diberlakukan bagi semua warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya, haruslah dilakukan dengan hati-hati, karena di antara agama yang dipeluk oleh warga negara Indonesia terdapat agama yang tidak dapat dipisahkan dari hukum. Agama Islam adalah agama yang mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, sudah barang tentu dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, unsur hukum agama harus benar-benar diperhatikan.57

Berkenaan dengan sumbangan hukum Islam terhadap pembinaan hukum nasional, ada sementara pihak yang mengatakan bahwa jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiah transformasi norma-norma hukum Islam sepanjang relevan dengan kebutuhan hukum masa kini ke dalam hukum nasional. Hal demikian tidak mudah, karena di tanah air terdapat berbagai tata hukum yang satu sama lain berbeda. Meskipun demikian, di antara perbedaan tentunya ada persamaan antara hukum yang satu dengan hukum yang lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi banding. Dengan studi ini diharapkan dapat dirumuskan suatu norma hukum baru yang sekiranya dapat diterima oleh semua pihak.58

Busthanul Arifin berpendapat bahwa di Indonesia telah lama berlaku suatu hukum yang tidak bisa begitu saja dihilangkan atau diganti dengan yang baru, maka dari itu bahan-bahan yang digunakan untuk

54 Hukum Adat dan Hukum Barat.

55 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Edisi ketiga, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), p. 246.

56 Ibid., pp. 240-241.

57 Ibid.

58 A. Djazuli, Ibid., p. 235.

(21)

merekayasa suatu hukum nasional adalah hukum Barat yang memang telah diperlakukan selama ratusan tahun, hukum adat dan hukum syari’at”.

Ketiga sistem ini inilah yang sejak zaman Belanda selalu dalam perbenturan satu sama lain. Rekayasa politik kolonial terutama sekali ditujukan kepada hukum syari’at yang perwujudan lembaganya adalah peradilan agama. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang ketiga sistem hukum tersebut.59

Menurut Ismail Suny, kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia dibagi dalam dua periode, yaitu pertama, periode penerimaan hukum Islam sebagai sebagai sumber persuasif yaitu sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya. Kedua, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif, yaitu sumber yang mempunyai kekuatan (authority).60

Sejak ditandatangani gentlemnet aggreement antara para pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islami pada tanggal 22 Juni 1945 sampai dengan saat diundangkannya Dekrit Presiden RI pada tanggal 5 Juli 1959, kedudukan ketentuan “kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah persuasive source. Sebagaimana halnya semua hasil sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) adalah bagi persuasive source bagi grondwetinterpretatie UUD 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah hasil sidang BPUPKI merupakan persuasive source UUD 1945. Baru setelah ditempatkannya Piagam Jakarta dalam dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, penerimaan hukum Islam menjadi authoritative source (sumber otoritatif) dalam hukum Tata Negara Indonesia, bukan lagi sekedar persuasive source (sumber persuasif).

Dengan demikian, wajarlah jika hukum muamalat sebagai bagian hukum Islam yang lain, mendapat tempat sebagai salah satu hukum dalam tatanan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, guna mengantisipasi kecenderungan masyarakat muslim untuk menerapkan ajaran-ajaran, akhlak dan syari’at Islam dalam menjalankan aktifitas mu’amalatnya, hendaknya Majelis Ulama Indonesia bersama ormas, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, serta para cerdik cendekia muslim mengambil prakarsa untuk mempersiapkan Kompilasi Hukum Muamalat. Kebutuhan adanya Kompilasi Hukum Mu’amalat sudah sangat mendesak, yang pasti

59 Busthanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), p. 70.

60 Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad (ed.), Dimensi-dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), p. 133.

(22)

akan dirasakan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Umum, para wasit (arbiter) maupun masyarakat luas. 61

c. Langkah-langkah Positivasi Hukum Muamalat: Hukum Perjanjian

Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam rangka positivasi hukum perjanjian Islam di Indonesia adalah: 62

1) Hermeneutis

Langkah hermeneutis artinya mengolah bahan baku (materi hukum) diolah dulu. Dalam pengolahan materi atau bahan baku hukum, hukum Islam pertama harus dipisah-pisahkan dulu menjadi 3 (tiga) kategori norma, yaitu: Pertama, norma-norma yang penegakannya cukup pada individu artinya diserahkan pada individu yang bersangkutan, tidak perlu campur tangan negara atau masyarakat. Justru akan terlalu rumit atau terlalu kecil negara mengatur hal itu. Misalnya, orang makan baca bismillah, tidak perlu diqanunkan.

Kedua, norma-norma yang penegakannya tidak cukup oleh individu tapi tidak perlu negara, melainkan cukup oleh masyarakat itu sendiri.

Untuk menentukan mana yang termasuk norma ini, perlu didiskusikan dan disepakati bersama. Misalnya, ketentuan mengenai sholat ied. Ketiga, norma-norma yang penegakannya membutuhkan negara. Dalam norma ini, masih dipisah-pisahkan menjadi 3 (tiga), yaitu Pertama, norma yang sangat erat kaitannya dengan agama. Misalnya, hukum perkawinan, merupakan bagian dari agama. Terhadap norma-norma seperti ini, perlu pengakajian secara filosofis, dicari azasnya dan diujudkan dalam peraturan yang kongkrit. Kedua, norma yang agak erat dengan agama. Misalnya, hukum perdata, Benda, Hukum dagang, perikatan. Terhadap norma seperti ini juga diperlukan pengkajian secara filosofis, dicari azasnya dan dijadikan peraturan.

Hukum muamalat termasuk di dalamnya hukum perjanjian merupakan norma yang penegakannya membutuhkan negara, meskipun kedudukan norma tersebut agak erat dengan agama. Oleh karena itu, hal yang perlu dilakukan adalah menulis hukum Islam dalam kerangka hukum yang sebanding, melalui pendekatan objectifikasi.63 Jika bahan hukum sudah jelas, maka langkah lanjut yaitu sosialisasi dapat dilakukan.

2) Sosialisasi

Sosialisasi dilakukan terhadap bahan hukum yang sudah jelas akan diqanunkan, agar tumbuh kesadaran masyarakat untuk melakukan hukum

61 Hartono Mardjono, Prospek …, p.232.

62Syamsul Anwar, Kuliah ..., Ibid.

63 Menulis hukum Islam dalam kerangka hukum yang sebanding, melalui pendekatan objectifikasi merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi intelektual muslim untuk merumuskannya, sehingga terbentuk format hukum perjanjian Islam di Indonesia.

(23)

yang akan ditetapkan sejak dari awal. Internalisasi terhadap norma hukum, jauh hari telah dilakukan agar kesadaran masyarakat benar-benar nyata, sehingga memudahkan langkah lanjut yaitu politisasi.

3) Politisasi-Perundangan

Setelah langkah sosialisasi dilakukan, langkah selanjutnya adalah masuk dalam pembicaraan politis melalui lembaga politis yaitu pembicaraan bahan hukum yang sudah jelas, dan telah disosialisasikan.

Jika telah terjadi kesepahaman dalam memahami bahan hukum yang akan diqanunkan, maka pembicaraan melalui lembaga politis tidak akan memakan waktu lama, sehingga kesepakan akan segera diambil dan dilanjutkan dengan pengundangan melalui peraturan perundang- undangan.

4) Peraturan Perundangan

Peraturan perundangan merupakan proses pengundangan atau

“pengumuman” terhadap bahan hukum yang telah melalui proses penggodokan di lembaga politis dan telah disepakati.

F. Penutup

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum mu’malat mempunyai potensi kontribusi terhadap pengembangan hukum nasional, baik secara formil dengan positivisasi hukum Islam maupun secara materiil menjadi bahan baku bagi pengembangan hukum nasional. Karena hukum mu’amalat memiliki prinsip-prinsip yang universal yang dapat diterapkan kepada seluruh masyarakat Indonesia tidak terbatas pada masyarakat muslim tapi juga non muslim. Selain itu juga, norma-norma hukum mu’amalat agak erat hubungannya dengan agama, sehingga sudah seharusnya diwujudkan dalam suatu tatanan hukum di Indonesia.

Hukum mu’amalat yang dimaksud memiliki potensi kontribusi dalam pengembangan hukum nasional dapat berupa hukum yang selama ini telah dijalankan oleh masyarakat Indonesia dengan pengolahan lebih lanjut melalui tahapan-tahapan positivisasi hukum Islam dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip hukum mu’amalat. Hukum perjanjian dibanding dengan hukum mu’amalat yang lain, lebih memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan hukum dalam pembangunan hukum nasional, mengingat hukum perjanjian merupakan sarana utama dalam bertransaksi antara satu pihak dengan pihak lainnya di masyarakat, baik dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, pemindahan utang dan sebagainya. Oleh karena itu, materi-materi hukum mu’amalat, khususnya hukum perjanjian yang memiliki potensi kontribusi dalam pembangunan hukum nasional, hendaknya mendapat pengkajian lebih lanjut dalam rangka melahirkan

(24)

hukum mu’amalat di Indonesia, sehingga pada akhirnya bisa diberlakukan dengan jalan positivisasi hukum Islam. Positivisasi hukum Islam pada umunya dan khususnya hukum perjanjian, dapat dilakukan melalui tahapan- tahapan sebagai berikut: sosialisasi, politisasi dan legislasi melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

(25)

Daftar Pustaka

Abdullah, Abdul Ghani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

al-Assal, Ahmad Muhammad dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Alih bahasa Imam Saefudin, Semarang: Pustaka Setia, 1999.

al-Fath, Ahmad Abu, Kitab al Mu’amalat fi asy Syari’ah al Islamiyah wa al Qowamin al Misriyyah, Mesir: Matba’ah al Busfur, 1913.

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Edisi ketiga, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

_______, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta:

Yayasan Risalah, t.t.

al-Qaradhawi Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zainal Arifin dan Dahlia Husain, cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Anwar, Syamsul, Kuliah Filsafat Hukum Perspektif Islam, Program Doktor (S-3) UII, Yogyakarta: 30 Oktober 2004.

_______, Teori Kausa dalam Hukum Perjanjian Islam Suatu Kajian Atas Hukum, Laporan Penelitian Individual Puslit IAIN Suka Yogyakarta.

Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Azizy, A. Qodri, Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, Jakarta: Teraju, 2004, hlm. 291.

Az-Zarqa’, Musthafa Ahmad, Al-Madkholu al-Fiqhie al-‘Aamm, Damaskus:

al-Adyab, 1967-1968.

Basyir, Ahmad Azhar, Azas-azas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1990.

Bek, Muhammad Khudari, Tarih Tasyri’ al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1988 Djazuli, A., “Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di

Indonesia”, dalam Eddi Rudiana Arief (Peny.), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Karim, Adiwarman A., Ekonomi Makro Islami, cet. 1, Jakarta, IIIT Indonesia, 2002.

(26)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam Zaman Kekhalifahan Turki Usmani Versi Mazhab Hanafi, A. Djazuli dkk (Tim Penerjemah), Bandung:

Qiblat Press, 2002.

Mahmasani, Shubhi, Falsaftu at-Tasyri’ fi al-Islam, Beirut: Dar al-Ilmu Li al- Malayain, Tanpa Tahun.

Mardjono, Hartono, “Prospek berlakunya Hukum Muamalah di Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi-dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Masud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam Studi tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq Al-Syatibi, Bandung: Penerbit Pustaka, 1996.

Module of Certified Islamic Financial Analysist (C.I.F.A.), Philoshophy of Islamic Law of Transaktions), IAIN Sunan Gunung Djati Bandung:

Program Pasca Sarjana Program Studi manajemen Keuangan dan Perbankan Islam, Tt.

Nasir, Muhammad Abdun, Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia, Mataram:

IAIN Mataram Press, 2004.

Niazi, Liaquad Ali Khan, Islamic Law of Contract, Lahore: Research Cell.

Dyal Sing Trust Library, tt, M.B. Hooker (ed.), Islamic in South-East Asia, Leiden: E.J.Bril, 1983.

Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung: Yayasan Piara, 1993.

Rayner, S.E., The Theory of Contract in Islamic Law: A Comparative Analysis With Particuar Reference to the Modern Legislation in Kuwait, Bahrain, and United Arab Emirates, London: Graham and Trotman, 1991.

Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford University Press, 1975

Suny, Ismail, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad (ed.), Dimensi-dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Zarqa, Mustafa Ahmad, al-Fiqh al-Islam fi Saubih al-Jadid: al-Madhal al-Fiqhi al-'Ami, Beirut: Dar al Fikr, 1965.

Referensi

Dokumen terkait

17 dan biaya yang ditanggung perusahaan menjadi lebih besar sehingga akan menjadi semakin sensitif return saham perusahaan terhadap perubahan tingkat suku bunga, akan

Yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah penggunaan ragam banmal di kalangan mahasiswa Korea dengan menghubungkannya dengan aspek-aspek non-sosiolinguistik yang

Peneliti akan memberikan angket kuisioner kepada saudara/i, dalam pengisian angket ini, tidak ada jawaban benar maupun salah, oleh karenanya diharapkan saudara/i

Komponen-komponen ilmu di atas dipelajari agar mahasiswa mampu memahami dan menguasai teknik anestesi lokal, pencabutan gigi, infeksi oromaksilofasial serta tindakan bedah

pada kadar air minyak dan FFA tidak efektif untuk memperbaiki kualitas minyak, namun untuk angka peroksida dan angka yodium sedikit menyumbangkan perbaikan dibandingkan

Terdapat perbedaan kadar trigliserida antara kelompok diet standar ad libitum dengan kelompok diet tinggi minyak sawit maupun kelompok diet tinggi minyak sawit +

Setelah mengetahui bentuk layanan, jumlah koleksi, data statistik pengunjung, bentuk promosi Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Kulon Progo, maka penulis ingin

Dioda yang digunakan pada rangkaian rectifier adalah fast recovery diode yaitu dioda yang digunakan untuk fast switching atau pensaklaran frekuensi tinggi,