191
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
Kajian geokimia gunung api yang dititik beratkan dalam kajian kelakuan volatil dalam erupsi Gunung Merapi dan Gunung Kelud dapat disimpulkan sebagai berikut:
Erupsi eksplosif mempunyai komposisi mineral yang sama dengan erupsi efusif, tetapi erupsi eksplosif mempunyai tekstur yang lebih vesiculer, ukuran mineral relatif lebih kecil yang menunjukkan banyaknya kandungan gas dengan tingginya kecepatan magma menuju ke permukaan. Pada erupsi eksplosif terjadi magma mixing yang ditunjukkan adanya zonasi reverse dan zonasi normal secara bersamaan dalam plagioklas dengan volume plagioklas yang besar (lebih dari 60%), serta terjadi ketidakkonsistenan konsentrasi SiO2 dan MgO dalam proses kristalisasi piroksen.
Komposisi oksida-oksida unsur mayor batuan menunjukkan kecenderungan yang konsisten terhadap fraksinasional kristalisasi yang berpengaruh pada viskositas dan densitas magma. Pada erupsi ekslposif mempunyai nilai viskositas yang lebih tinggi, densitas lebih rendah serta proses fraksinasi terjadi lebih cepat dan sebaliknya untuk erupsi efusif. Komponen mayor pada erupsi eksplosif menunjukkan adanya pergeseran nilai yang kemungkinan berasal dari proses kerak yang lebih dalam. Tingginya unsur trace Zr dan slop rasio Ba/Sr pada erupsi eksplosif mengindikasikan adanya saturasi fluida yang memicu erupsi yang kuat. Kondisi ini di tunjang dengan rasio La/Yb dan Dy/Yb dari komponen REE dan lebih tingginya nilai LOI.
MI merupakan magma yang terjebak, merepresentasikan cairan magma, mempunyai komponen utama gas CO2 dan H2O, serta cairan silika. Erupsi efusif mengalami proses pendinginan lebih lambat menyebabkan gelembung/gas bahkan kristal dalam MI cukup waktu untuk terbentuk secara homogen. Sebaliknya, pada
192 saat erupsi eksplosif, MI bersifat homogen dan heterogen karena adanya proses pendinginan magma yang sangat cepat dan terjadi pada temperatur dan tekanan yang tinggi pada kedalaman fase dangkal, menengah, dan dalam. Proses pada erupsi efusif terjadi pada penyimpanan magma dangkal dengan kedalaman 7-8 km dan pada kedalaman menengah pada 10-17 km, sedangkan pada erupsi eksplosif terjadi pada tiga fase kedalaman yaitu 6-8 km, 10-15 km, dan mendekati 30 km.
Gas vulkanik yang dapat digunakan sebagai indikator menjelang terjadinya erupsi, baik eksplosif maupun efusif, adalah H2O, CO2, HCl, SO2, H2S dan sebagainya. Gas H2O dan CO2 merupakan komponen utama gas vulkanik mempunyai korelasi yang signifikan pada saat erupsi eksplosif, karena besarnya konsentrasi gas CO2 yang terlepas dari magma yang lebih dalam. Selain itu, H2S lebih dominan dibanding SO2, karena H2S merupakan senyawa sulfur yang stabil pada temperatur dan tekanan yang lebih tinggi. HCl mempunyai konsentrasi yang lebih rendah pada saat terjadi erupsi eksplosif, karena tingginya Sulfur dalam magma menyebabkan turunnya nilai distribusi Cl yang menurunkan kecilnya pelepasan Cl. Perubahan gas vulkanik berkorelasi dengan kegempaan dan pertumbuhan kubah lava. Pada saat erupsi efusif, di awal kenaikan aktivitas, gas SO2 berkorelasi dengan guguran, pada saat MP mulai muncul dan guguran tidak terjadi, maka SO2 berkorelasi dengan MP. Hal ini mengindikasikan gas SO2
terlepas dipermukaan pada saat erupsi efusif. Pada erupsi efusif gas vulkanik (emisi gas HCl dan rasio CO2/H2O) mempunyai korelasi positif dengan pertumbuhan kubah kava. Hembusan gas pada saat erupsi eksplosif pada danau kawah yang kuat, berpengaruh pada kation dan menghasilkan keasaman danau kawah yang lebih tinggi. Emisi gas yang kuat dan panas yang terlepas lebih besar pada saat erupsi eksplosif menyebabkan naiknya temperatur danau dengan tajam, sedangkan erupsi efusif meningkat secara gradual dan menunjukkan tidak cukupnya tekanan.
Berdasarkan berbagai parameter uji, dibuat model erupsi eksplosif dan efusif Gunung Merapi dan Gunung Kelud. Pada saat erupsi eksplosif terjadi magma mixing dan recharge magma dalam jumlah besar yang mengandung
193 banyak gas, serta proses asimilasi, kristalisasi terjadi dengan cepat. Pelepasan gas vulkanik menuju ke permukaan juga terjadi dengan cepat dengan dominasi gas CO2 dan Sulfur. Proses efusif terjadi sebaliknya yaitu tidak adanya recharge magma dari dalam, proses asimilasi, kristalisasi serta pelepasan gas membutuhkan waktu yang lebih lama. Gas yang terlepas berasal dari reservoir lebih dangkal.
9.2 Saran
Hasil kajian geokimia Gunung Merapi dan Gunung Kelud menunjukkan berbedaan-berbedaan yang signifikan dalam erupsi gunung api tersebut.
Komponen kimia batuan, air maupun gas mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan karakter erupsi apakah erupsi bersifat efusif atau eksplosif, dengan demikian kajian geokimia terutama air dan gas dapat digunakan sebagai prekursor pada saat gunung api tersebut mengalami kenaikan aktivitas.
Gunung Merapi dan Gunung Kelud telah mengalami morfologi di kawah- kawahnya. Pertanyaan yang selalu ada selama ini adalah “apakah pemantauan geokimia masih dapat dilakukan pada saat ini dengan adanya perubahan morfologi tersebut?“, dan tentu saja jawabnya adalah “dapat” dan peranan pemantauan geokimia tersebut sangat besar. Saran-saran yang kami sampaikan untuk monitoring geokimia komponen volatil adalah sebagai berikut:
1. Besar dan dalamnya kawah yang terbentuk di puncak Gunung Merapi setelah erupsi eksplosif tahun 2010 menyebabkan tidak mungkinnya pengambilan sampel gas di fumarola/solfatara di puncak. Metode pemantauan secara kontinyu dengan sistem pengiriman data secara telemetri sangat diperlukan, terutama untuk gas SO2.
2. Pengukuran gas di Gunung Merapi dengan menggunakan multi gas parameter dapat dilakukan secara reguler dengan pengukuran jarak jauh.
Detektor gas yang dapat digunakan antara lain gas H2S, HCl, HBr, CO2, dan SO2.
3. Perlu dicari titik sampling gas yang baru yang digunakan sebagai titik sampling tetap untuk analisis gas yang teremisikan dari Gunung Merapi, dengan tidak mengabaikan faktor keselamatan.
194 4. Danau kawah Gunung Kelud yang sebagian besar sudah tertutupi oleh kubah lava, masih dapat digunakan sebagai monitoring geokimia air danau kawah. Gelembung-gelembung gas masih terdapat di danau kawah tersebut dan juga air danau kawah mempunyai temperatur sekitar 60oC yang mengindikasikan masih adanya suplai gas dari gunung api tersebut.
5. Adanya hembusan fumarola di sekitar kubah lava hasil erupsi Gunung Kelud tahun 2007, perlu ditentukan titik sampling tetap untuk monitoring emisi gas.
6. Metoda dan parameter tersebut di atas dapat diaplikasikan dalam rangka mitigasi bencana erupsi gunung api, yaitu memberi sinyal awal pada saat gunung api akan mengalami erupsi, khususnya Gunung Merapi dan Gunung Kelud atau gunung api yang sejenis.
195
RINGKASAN
Gunung Merapi dan Gunung Kelud merupakan gunung api yang sangat aktif di Indonesia. Gunung Merapi mempunyai jangka waktu erupsi yang lebih pendek dibandingkan dengan Gunung Kelud, akan tetapi kedua gunung api tersebut merupakan gunung api yang sangat berbahaya karena akibat erupsinya dengan karakternya masing-masing. Gunung Merapi mempunyai karakter erupsi dengan terbentuknya kubah lava dan pada saat kubah lava tidak stabil karena suplai magma dari dalam yang terus menerus mengakibatkan terjadinya awan panas. Sedangkan Gunung Kelud mempunyai karakter erupsi yang bersifat eksplosif yang mengeluarkan material hasil erupsi yang bercampur dengan air danau kawah yang membentuk lahar. Akan tetapi karakter kedua gunung api tersebut berbeda pada erupsi terakhir. Gunung Merapi yang biasanya erupsi bersifat efusif dengan membentuk kubah lava, pada erupsi terakhir mengalami erupsi yang bersifat eksplosif dan sebaliknya Gunung Kelud yang biasanya bersifat eksplosif, pada erupsi terakhir bersifat efusif dengan tumbuhnya kubah lava yang menutupi danau kawah.
Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan karakter erupsi ini adalah komposisi kimia dari magma. Kajian geokimia untuk mempelajari perbedaan karakter gunung api baik yang bersifat eksplosif maupun efusif dilakukan terhadap kimia batuan, air, maupun gas. Namun demikian titik berat kajian dilakukan pada kajian senyawa volatil, dimana senyawa ini mempunyai pengaruh yang besar pada saat erupsi terjadi.
Hasil kajian dari kimia batuan menunjukkan bahwa mineral yang terkandung dalam sampel-sampel material hasil erupsi, baik yang bersifat eksplosif maupun efusif, mempunyai komponen utama yang sama yaitu plagioklas, piroksen (ortopiroksen dan klinopiroksen), hornblend, fragmen litik, opak dan glass, tetapi terdapat perbedaan secara tekstur. Pada material erupsi yang bersifat eksplosif memberikan sifat vesiculer yang menunjukkan tingginya gas.
Karakter erupsi eksplosif (terjadinya magma mixing) juga ditunjukkan dari
196 adanya zonasi yang normal bersama-sama dengan zonasi reverse pada mineral plagioklas. Mineral pada erupsi eksplosif mempunyai ukuran mineral yang lebih kecil. Hasil analisis elemen mayor menunjukkan rentang SiO2 yang lebih luas pada erupsi eksplosif dan sedikit terjadi pergeseran nilai yang berimplikasi terhadap nilai densitas dan viskositas. Komposisi oksida-oksida yang lain seperti MgO, FeO, Al2O3, CaO, NaO, dan K2O menunjukkan adanya kecenderungan yang konsisten terhadap fraksinasi kristal fase mafik dan plagioklas kalsik maupun dengan campuran andesit. Berdasarkan hasil analisis dari elemen trace dan REE, pada erupsi eksplosif terdapat indikasi adanya saturasi fluida yang memicu erupsi yang kuat.
Melt inclusion (MI) yang terperangkap dalam mineral merepresentasikan
sifat cairan magma. MI mengandung gelembung/gas yang komponen utamanya CO2 dan H2O. Erupsi eksplosif memberikan dua tipe MI, yaitu MI yang bersifat homogen dan heterogen, sedangkan erupsi efusif merupakan MI yang homogen.
Plotting komposisi MI, massa dasar, dan whole rock menunjukkan nilai yang sangat berbeda. Hal ini kemungkinan karena inclusion tersebut dapat merupakan inclusion yang waktu tinggalnya belum lama dalam magma setelah entrapment,
dan/atau proses pendinginan yang cepat setelah entrapment (baik dalam dapur magma atau setelah erupsi ke permukaan) kemungkinan yang lain adalah inclusion berasal dari sumber magma yang berbeda dalam dapur magma. Indikasi
magma mixing berdasar zonasi yang ada dalam plagioklas diperkuat dengan ketidak konsistenan konsentrasi SiO2 dan MgO pada proses kristalisasi piroksen.
Hasil perhitungan termobarometri sampel dilakukan berdasarkan mineral klinopiroksen-melt. Karakter erupsi yang bersifat efusif memberikan fase yang lebih homogen dibanding dengan erupsi yang bersifat eksplosif. Proses kristalisasi pada erupsi efusif terjadi pada penyimpanan magma dangkal dengan kedalaman 7-8 km dan pada kedalaman menengah pada 10-17 km, sedangkan pada erupsi eksplosif terjadi pada tiga fase kedalaman yaitu 6-8 km, 10-15 km, dan mendekati 30 km.
Emisi gas vulkanik, H2O, CO2, HCl, SO2, H2S, yang dilepas melalui fumarola/solfatara suatu gunung api pada saat erupsi bersifat efusif mempunyai
197 laju konsentrasi emisi yang lebih kecil dibandingkan dengan erupsi eksplosif, demikian pula dengan gunung api yang berdanau kawah. Emisi gas yang dilepas ke danau kawah yang berfungsi sebagai trapping gas vulkanik juga memberikan emisi gas yang lebih tinggi pada saat erupsi eksplosif dibanding dengan erupsi efusif. Perbedaan emisi gas-gas tersebut pada saat erupsi eksplosif dan efusif juga berkorelasi dengan data geofisika seperti kegempaan, pertumbuhan kubah lava, dan deformasi.
198
SUMMARY
Merapi and Kelud are very active volcanoes in Indonesia. Merapi volcano has eruption period shorter than Kelud, but both these volcanoes are very dangerous volcano as a result of their eruption character. Merapi volcano has eruption character with the formation of lava domes, if the lava dome unstable due to the supply of magma continuously results pyroclastic flow. While Kelud volcano has explosive eruptions character that eject material of the eruption mixed with water of crater lake form the lahar. However, both of the volcanoes have different characters in last eruptions. Merapi volcano usually has effusive eruption by forming a lava dome, however the last eruption was explosive eruption and vice versa Kelud volcano usually has explosive eruption, the last eruption was effusive with the growing lava dome that covers the crater lake.
One of the factors that lead to differences in the eruption character is the chemical composition of the magma. Geochemical studies to investigate the differences of volcanic character both of effusive and explosive eruption conducted to chemical of the rocks, water, and gas. However, the focuses of studies have been carried out on the study of volatile compounds, which has a considerable influence of the eruption.
The results of the study showed that the mineral chemistry of rocks contained in samples of the eruption material, both explosive and effusive, have the same major components, namely plagioclase, pyroxene (orthopyroxene and clinopyroxene), hornblende, lithic fragments, opaque and glass, but there is a difference in texture. The explosive eruption material has vesicular properties that show high gas content. The character of explosive eruptions (magma mixing occurrence) also indicated the presence of normal zoning together with reverse zoning in plagioclase minerals. Minerals in explosive eruptions have smaller minerals sizes. Results of major element analysis showed a wider range of SiO2 in explosive eruptions and a bit of a shift in values that has implications for density and viscosity values. The composition of other oxides such as MgO, FeO, Al2O3,
199 CaO, NaO, and K2O showed a consistent tendency to crystal fractionation of mafic phases and plagioclase as well as mixing of andesite. Based on the analysis of trace elements and REE, the explosive eruption indicated of fluid saturation that triggered strong eruption.
Melt inclusions ( MI ) are trapped in minerals represent the fluid nature of the magma. MI contents bubbles/gas of CO2 and H2O as main compounds.
Explosive eruptions provide two types of MI, namely homogeneous and heterogeneous MI, whereas effusive eruption is a homogeneous MI. Plotting of MI composition, mass base, and whole rock show very different values. This is probably due to the inclusion that not long time stay in the magma after entrapment, and/or a rapid cooling process after entrapment (either in the magma chamber or after the eruption to the surface ) the other possibilities is the inclusion of derived from different magma sources of the magma chamber. Indication of magma mixing based of the existing zoning in plagioclase reinforced with inconsistencies SiO2 and MgO concentrations in pyroxene during crystallization process.
The results of thermobarometry calculations were performed by the melt of clinopyroxene mineral. Effusive eruptions provide more homogeneous phases compared than explosive eruptions. Effusive eruption of crystallizations process occurred in shallow magma storage at 7-8 km depth and at intermediate depths in the 10-17 km, while the explosive eruptions occurred in three phases , namely a depth of 6-8 km, 10-15 km, and close to 30 km .
Volcanic gas emissions, H2O, CO2, HCl, SO2, H2S, which is released through fumaroles/solfataras of volcano during eruption are effusive have smaller concentration emission rate compared to explosive eruptions, as well as volcano that has crater lakes. Gas emissions are released into the crater lake that serves as a volcanic gas trapping also provide the higher emission during explosive eruptions compared to the effusive one. Differences emissions of these gases during an explosive and effusive eruptions also correlated with geophysical data such as seismic, lava dome growth and deformation.