45 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang digunakan untuk memahami tentang fenomena perubahan yang terjadi pada pemberian layanan Terapi Okupasi akibat Pandemi Covid-19 serta mengeksplorasi cara terapis dalam beradaptasi dengan perubahan yang ada agar tetap mampu memberikan layanan terapi dengan baik. Proses pengambila n data pada penelitian ini dilakukan secara online menggunakan teleconference dengan aplikasi Zoom Meeting pada tanggal 30 September - 29 November 2020.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengumpulan dokumentas i berupa rekaman proses wawancara dengan recorder pada aplikasi Zoom Meeting, serta data tambahan berupa foto bentuk adaptasi terapi dimasa pandemi. Partisipan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria inklusi yang ditetapkan.
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah enam orang dengan rentang usia antara 24-39 tahun dengan keseluruhan partisipan berjenis kelamin perempuan dan bekerja pada berbagai latar belakang instansi baik negeri maupun swasta antara lain RS Umum Daerah, RS Jiwa Daerah, RS Ibu dan Anak, Klinik Tumbuh Kembang Anak, dan Yayasan Vokasional. Partisipan juga bekerja di kota yang berbeda yaitu Jakarta, Pekanbaru, Solo, Klaten, dan Sidoarjo. Dalam pemberian layanan terapi, terdapat tiga (3) orang partisipan yang tetap memberikan pelayanan secara langsung bahkan sejak awal pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, dan tiga (3) orang partisipan lainnya sempat memberikan intervensi terapi secara tidak langsung karena partisipan melakukan kerja dari rumah atau Work From Home.
Data mengenai partisipan dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Karakteristik Partisipan
Partisipan Usia,
tahun Jenis Kelamin Tempat Kerja Bekerja Langsung / Tidak Nn. G 23 Perempuan YPAC Jakarta Tidak Langsung Nn. D 23 Perempuan
Klinik Tumbang Tidak Langsung Nn. Me 23 Perempuan
RS Ibu dan Anak Langsung Nn. E 27 Perempuan
Klinik Tumbang Tidak Langsung Ny. Ma 39 Perempuan
RSJD Langsung
Ny. T 33 Perempuan
RSUD Langsung
Catatan : Klinik Tumbang = Klinik Tumbuh Kembang
B. Hasil Penelitian
Berdasarkan proses analisis data dengan menggunakan teknik analis is data tematik, didapatkan 4 tema yang terkait dengan adaptasi dalam pemberian Terapi Okupasi dimasa pandemi Covid-19, antara lain : (1) Perubahan Layanan Terapi, (2) Strategi Adaptasi Terapi, (3) Tantangan dalam adaptasi terapi, dan (4) Penguatan strategi adaptasi. Secara rinci untuk sub-tema dari masing- masing tema yang didapatkan dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Tema dan Subtema
Tema Subtema
Perubahan Layanan Terapi 1- Perubahan bagi Penyedia Layanan Terapi 2- Perubahan bagi Pasien
Strategi Adaptasi Terapi 1- Adaptasi Teknis Terapi
2- Adaptasi Kelengkapan Proses Terapi 3- Adaptasi Kebijakan Perlindungan Tantangan dalam Adaptasi
Terapi
1- Masalah Penggunaan APD 2- Kesulitan dalam Teletherapy 3- Kesulitan dalam Homevisit Penguatan Strategi Adaptasi 1- Mengatasi Tantangan Adaptasi
2- Meningkatkan Kapasitas Sistem Tubuh
1. Perubahan Layanan Terapi
Pandemi ini telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam proses pemberian layanan terapi. Pemberian layanan Terapi Okupasi setelah pandemi Covid-19 mengalami berbagai macam perubahan bila dibandingkan dengan situasi sebelum pandemi terjadi. Hal ini dikarenakan perubahan yang terjadi secara mendadak dan tiba-tiba membuat terapis harus berusaha dengan keras untuk tetap bertahan dan memberika n pelayanan yang terbaik. Perubahan akibat pandemi Covid-19 dirasakan oleh berbagai pihak seperti terapis, instansi pelayanan kesehatan, pasien maupun caregiver. Berdasarkan tema ini, kemudian didapatkan dua sub tema antara lain :
a. Perubahan Bagi Penyedia Layanan Terapi
Pandemi Covid-19 telah memberikan pengaruh yang besar pada proses pemberian pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Rumah Sakit/klinik dan terapis menjadi salah satu pihak yang merasakan dampaknya. Perubahan situasi membuat pelayanan kesehatan harus menyesuaikan diri dengan baik dan harus menyusun kebijakan baru untuk mencegah penyebaran Covid-19 dilingkungan RS dan melindungi karyawan dan pasien maupun pengunjung.
Pandemi Covid-19 telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap Terapis Okupasi sebagai penyedia layanan terapi. Dimana pandemi membuat banyak kegiatan harus ditiadakan hingga banyak klinik layanan kesehatan juga harus ditutup sementara, sehingga banyak terapis yang tidak dapat bekerja. Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh instansi terutama dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19 akan sangat mempengar uhi proses intervensi terapi. Seluruh partisipan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa mereka merasakan banyak perubahan akibat kondisi pandemi ini. Dampak yang dirasakan terapis tersebut antara lain perubahan jam kerja, penurunan jumlah pasien, penurunan pendapatan, dan perubahan kebijakan. Penurunan jumlah pasien
menjadi salah satu hal yang sangat dirasakan oleh terapis di masa pandemi ini. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh partisipan sebagai berikut :
“awal pandemi itukan, bulan maret itu ya.. kita ga diliburkan, jadi kita tetep masuk dan itukan pasien lagi anjlok banget, sehari itu kan Cuma pasien kesuluruhan pasien OT, TW, Fisio gitu gitukan 10 ga nyampe, pas lagi PSBB itu kan. Nah itukan gitu, pasiennya dikit banget (P3)”
Melihat dari jumlah pasien yang mengalami penurunan drastis terutama dimasa awal-awal merebaknya pandemi Covid-19 di Indonesia, membuat terapis merasakan penurunan yang cukup signifikan pada pendapatan mereka, terutama bagi terapis yang bekerja di instansi swasta seperti klinik yang banyak memutuska n untuk mengurangi bahkan menutup klinik. Pada penelitian ini empat (4) partisipan menyatakan hal yang sama yaitu pandemi Covid-19 ini telah mengurangi pemasukan mereka. Hal ini salah satunya disampaikan juga oleh partisipan berikut ini :
” Iya (gaji) berkurang. Ga sampai setengah sih, tapi yo beberapa persen ya, 40% lah ya mungkin kalau dihitung-hitung. Ya 30an persen, 30-35%. (P2)”.
“Penurunan jelas.. mulai dari penurunan pendapatan, nanti berimbas ke insentif jugaa turun drastis berapa puluh persen. (P6)”
Pada penelitian ini juga diketahui bahwa lima (5) partisipan mengungkapkan pandemi Covid-19 yang terjadi memberika n banyak perubahan bagi rumah sakit maupun klinik tempat terapis bekerja. Perubahan yang dirasakan terutama oleh instansi yaitu perubahan peraturan dan kebijakan yang diberlakukan untuk melindungi karyawan, pasien, serta pengunjung dari paparan Covid -
19. Kebijakan yang diambil antara lain seperti penerapan pembatasan terhadap pengunjung, membatasi orang didalam ruangan, mengutamakan perlindungan. Salah satunya dalam penyediaan kebutuhan yang diperlukan untuk melindungi dari paparan Covid-19 seperti menyediakan handsinitizer dan sabun.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan partisipan sebagai berikut:
“RS jadi lebih gercep gitu loh, nyediain sabun jadi cepet, nyediain handsanitizernya jadi cepet, jadi seneng sih, maksudnya kayak terjamin kan..(P3)”
b. Perubahan bagi Pasien
Pihak lain yang juga ikut merasakan banyak perubahan dari kondisi pandemi ini adalah pasien dan keluarga. Pandemi Covid-19 membuat banyak fasilitas pelayanan umum harus berhenti beroperasi ataupun melakukan pembatasan terhadap pengunj ung.
Hal ini membuat pasien mengalami penurunan kondisi akibat lamanya tidak mengikuti terapi. Selain itu, beberapa orangtua mengalami permasalahan dalam finansial akibat krisis ini, sehingga untuk membiayai terapi anak menjadi cukup berat. Penuruna n kemampuan yang dialami pasien salah satunya diungkapkan oleh partisipan (3) berikut :
“Di OT dilihat lagi, wah mundur banget nih. Ibaratnya udah bisa duduk tenang, dia masih yang aktif lagi, yaudah itu start lagi dari awal. jadi ga bisa juga kita mau pake yang direkam medis gitu kan, kita mau ngelanjutin itu. Karena dia udah mundur lagi gitukan.
Terpaksa kita ikut program lama lagi maksudnya ke program yang baru dengan goal yang baru buat anak yang lama. (P3)”.
Dampak lain yang dirasakan pasien maupun orangtua yaitu situasi yang mengharuskan semua orang hanya dirumah saja membuat orangtua kesulitan saat harus memenuhi kebutuhan diet anak terutama bagi anak seperti anak dengan Autism yang melakukan diet makanan untuk mengurangi permasalahan perilakunya. Begitu pula dengan penggunaan perangkat gadget dan televisi yang sebelumnya dibatasi. Namun, karena terlalu lama harus dirumah dan tidak ada aktivitas lain yang bisa diberikan, maka orangtua cenderung lengah dan membolehkan anak untuk kembali mengakses gadget dan menonton televisi. Hal ini sesuai dengan yang dialami oleh partisipan (3) berikut :
“.. misalnya anaknya yang Autis mereka sendiri juga bingung, mau dibawa terapi tapi takut keluar rumah, yaudah deh ku kasih gadget deh, iyanih bu kemain saya setel tv lagi. Iya nih bu kemarin diet makanannya di stop karena memang kita ga berani kepasar.. (P3)”
2. Strategi Adaptasi Terapi
Perubahan yang ditimbulkan oleh pandemi terhadap pola okupasi masyarakat, juga memberikan dampak yang cukup besar pada proses layanan Terapi Okupasi. Profesi Terapi Okupasi juga menyadari besarnya perubahan yang pandemi Covid-19 berikan pada proses menjala nka n okupasi setiap orang. Salah satunya yaitu dengan adanya kebijakan pembatasan mobilisasi masyarakat dalam rangka menekan penyebaran Covid-19, membuat banyak instansi kesehatan seperti klinik swasta akhirnya harus meniadakan layanannya. Hal ini tentu memberikan dampak yang besar bagi pasien yang membutuhkan layanan terapi, dimana pasien dapat menjadi menurun kemampuannya akibat tidak mendapat layanan terapi dengan baik. Sehingga dalam mengatasi kondisi krisis seperti pandemi ini, maka terapis diharuskan untuk melakukan serangkaian adaptasi agar tetap dapat memberikan pelayanan terapi dengan baik.
Berdasarkan penelitian, strategi adaptasi yang dilakukan oleh Terapis Okupasi dalam menunjang pemberian layanan intervensi Terapi Okupasi dimasa pandemi Covid-19 antara lain seperti adaptasi pada teknis pemberian intervensi terapi, adaptasi pada kelengkapan dalam penunjang terapi dimasa pandemi, serta adaptasi dalam pemberlakuan berbagai kebijakan perlindungan untuk melindungi Terapis maupun pasien.
a. Adaptasi Teknis Terapi
Melihat besarnya kebutuhan akan layanan terapi bagi pasien dan perlunya mempertahankan eksistensi layanan Terapi Okupasi di tengah krisis pandemi Covid-19, membuat terapis harus membuat strategi adaptasi terhadap pemberian terapi salah satunya dengan mengubah Teknis pemberian layanan terapi yang awalnya hanya dilakukan di Rumah Sakit/klinik, menjadi pelayanan terapi yang dapat dilakukan dengan cara lain yang sesuai dengan situasi Pandemi Covid-19 yang terjadi. Salah satu teknis terapi yang disarankan menjadi solusi alternatif yang dapat digunakan yaitu layanan teletherapy. Teletherapy dilakukan dengan memanfaa tka n media teknologi berupa teleconference dimana terapis, pasien, dan caregiver bertemu dan melakukan terapi secara online. Saat terapi online, orangtua akan memiliki peran yang besar dalam mendampingi dan memberikan instruksi pada anak, sedangkan terapis akan mengobservasi cara orangtua dalam memberi intruks i dan cara anak mengikuti instruksi yang telah diberikan. Hal ini diungkapkan oleh partisipan (4) berikut :
“kalau misalnya online terapi ini tuh, peran orangtua tuh jauh lebih penting, kita disinikan terapisnya Cuma ngasih intruksi kan, suruh ngerjain apa.. (P4)”.
Selain layanan Teletherapy, terapi juga ada yang menggunaka n bentuk layanan jarak jauh lain yang menjadi alternatif yang dilakukan terapis agar dapat memberikan terapi dari jarak jauh yaitu dengan terapi melalui home program. Terapi home program ini didesain oleh terapis untuk mengisi waktu anak selama dirumah dengan aktivitas yang dapat meningkatkan kemampuan anak sesuai dengan kebutuhannya. Aktivitas yang diberikan sudah dijadwalkan oleh sebelumnya oleh terapis, dan orangtua menjadi pihak yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam terlaksananya kegiatan pada home program tersebut. Saat melakukan aktivitas tersebut, orangtua wajib untuk mengirimkan video anak kepada terapis dan melalui video tersebut terapis akan mengevalua si kemampuan anak dalam melaksanakan tugas serta kemampuan orangtua dalam memberikan arahan. Hal ini diungkapkan oleh partisipan (2) sebagai berikut :
“kita kan membuat program setiap anak, terus setelah itu kita minta untuk nyetor video kayak gitu ke terapis, jadi timbal balik ke orang tua. Intinya apa yaa.. mungkin ada kegiatan yang kurang tepat kita benerin setelahnya gitu. (P2)”
Layanan terapi jarak jauh memang dirasa sangat membantu dalam pemberian terapi dimasa pandemi ini, namun ada beberapa situa si pasien yang tidak bisa diberikan terapi bila dari jarak jauh. Sehingga, salah satu partisipan menawarkan bentuk adaptasi terapi lain yang dilakukan yaitu dengan memberikan terapi secara langsung dimana terapis yang akan datang memberikan terapi dirumah pasien. Bentuk layanan ini dibutuhkan terutama bagi pasien yang sangat sulit untuk dihandling bila proses terapi dilakukan dari jarak jauh, misalnya pada anak yang memerlukan stretching langsung, maupun sedang tantrum yang kerap kali membuat orangtua kewalahan. Homevisit merupakan salah satu bentuk adaptasi layanan terapi yang dilakukan
dengan terapis mendatangi rumah pasien dan melakukan proses terapi dengan memanfaatkan peralatan yang ada dilingkunga n rumah pasien. Proses pemberian homevisit dilakukan juga sebagai solusi bagi pasien yang tidak dapat mengikuti kegiatan terapi di klinik karena takut akan terpapar virus. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“…dari pandemi ini tuh ada program baru.. jadi ada program homecare..(P2)”.
“… akhirnya aku nyoba homevisit. Dan sampai sekarang aku masih homevisit sih.. (P4)”
b. Adaptasi Kelengkapan Proses Terapi
Pemberian layanan intervensi Terapi Okupasi selain dilakukan dengan layanan jarak jauh juga dilakukan secara tatap muka langsung selama pandemi Covid-19 terutama bagi terapis yang bekerja di Instansi Rumah Sakit. Dimana hal ini tentu menimbulka n kekhawatiran dan rasa takut bagi terapis maupun pasien terhadap resiko terpapar virus. Sehingga, harus ada upaya yang dilakukan untuk meminimalkan resiko terpapar ini, salah satunya dengan melakukan serangkaian langkah perlindungan standar. Peningkata n resiko terpapar infeksi bagi terapis dan pasien saat melaksanaka n intervensi terapi langsung, membuat protokol kesehatan menjadi hal yang wajib untuk diterapkan. Seluruh partisipan mengungkapka n bahwa penerapan protokol kesehatan yang sesuai dengan anjuran dari World Health Organization (WHO) menjadi salah satu adaptasi yang dilakukan agar dapat memberikan terapi dengan aman dimasa pandemi. Setelah pandemi Covid-19, terapis diwajibkan untuk selalui menggunakan masker, memakai Alat Perlindungan diri (APD), menjaga jarak, menyemprotkan desinfektan, dan melakukan setting terhadap ruangan. Berdasarkan penelitian ini, bentuk penerapan protokol kesehatan yaitu seperti protokol perlindunga n
diri, pembersihan dengan desinfektan, dan setting ruangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan seperti berikut :
“… kita di rawat jalan jadi APD nya level berapa yaa.. level 2 mungkin. jadi gown lengan panjang, kalau celana ya panjang, terus apaa masker bedah paling ga rangkap dua, face shield, sarung tangan… (P6)”
Penyemprotan desinfektan juga dilakukan sebagai perlindunga n tambahan dari resiko penyebaran melalui benda-benda yang memiliki resiko besar dapat menjadi perantara penyebaran virus corona. pada berbagai area atau benda yang digunakan oleh banyak orang di area layanan kesehatan untuk mencegah paparan dari infeksius. Kegiatan ini menjadi kegiatan rutin yang dilaksanakan di layanan kesehatan untuk melind ungi karyawan dan pengunj ung serta pasien yang datang. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan (1) seperti berikut:
“Penyemprotan desinfektan yang besar gitu setiap 3 weeks.
Tapi sebenarnya tiap hari di lap pake desinfektan.. (P1)”
c. Adaptasi Kebijakan Perlindungan
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh terapis yaitu dengan menerapkan strategi pencegahan paparan Covid-19 dengan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh instansi kesehatan. Kebijakan yang diterapkan didasarkan pada panduan pencegahan dan perlindunga n infeksi yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO).
Upaya pencegahan yang dilakukan menurut partisipan antara lain pembatasan terhadap pengunjung, skrining Covid-19 sebelum terapi, dan kebijakan pencegahan Covid-19 bagi karyawan RS/
klinik. Dalam rangka mencegah peningkatan kasus paparan Covid - 19, instansi melakukan upaya deteksi dini dimulai dari pintu masuk
pengunjung dan karyawan untuk melakukan pemeriksaan awal terhadap setiap pengunjung rumah sakit maupun klinik. Deteksi yang dilakukan seperti pengukuran suhu tubuh, pengisian kuesioner singkat dan sebagainya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan seperti berikut :
“…tapi kalau setelah pandemi karyawan yang mau masuk harus cek suhu, cuci tangan. gitu aja sih.. (P5)”
“… cek suhu, screening dari loket bawah jadi sebelum pasien itu masuk, kita sudah ada scaning temperatur.. (P6)”
Selain itu, beberapa instansi juga menerapkan kebijakan untuk mencegah Tenaga kesehatan membawa paparan infeksius dari rumah sakit ke rumah dengan berbagai kebijakan seperti tenaga kesehatan harus segera mandi dan membersihkan diri setelah pulang dari Rumah Sakit. Selain itu, tenaga kesehatan wajib untuk mencuci pakaian yang digunakan selama dirumah sakit segera setelah pulang kerumah untuk mengurangi resiko benda infeksius yang bisa saja menempel pada pakaian. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan (6) seperti berikut :
“sekarang pulang kerja langsung mandi, bajunya langsung cuci.. jadinya mau ga mau sih.. okey yaa untuk perlindungan orang rumah juga, … (P6)”
Selain itu, kebijakan lain yang diterapkan oleh instansi kesehatan dalam upaya pencegahan paparan infeksi covid-19 yang sesuai dengan anjuran World Health Organization (WHO) yaitu dengan melakukan setting ruangan dengan memberikan jarak antar pengunjung di area yang dikunjungi banyak orang seperi ruang tunggu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan (6) seperti berikut :
“kursi tunggu, kursi antrian di ruang OT, diruang Fisio disetting biar ga terpapar.. (P6)”
3. Tantangan dalam Adaptasi Terapi
Dalam penerapan strategi adaptasi, terapis tentu akan menghadap i beragam tantangan. Situasi pandemi Covid-19 menjadi krisis akibat pandemi yang baru dialami terutama bagi terapis okupasi sehingga menyebabkan terapis harus dipaksa untuk segera menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. Beragam kesulitan yang dialami oleh terapis dalam penelitian ini antara lain seputar permasalah dalam penggunaan maupun ketersediaan Alat Perlindungi diri, kesulitan dalam pelaksanaan teletherapy, maupun kesulitan dalam melakukan terapi homevisit.
a. Masalah dalam Penggunaan APD
Alat Perlindungan Diri atau APD merupakan serangkaian perlindungan diri yang digunakan terapis untuk melindungi diri dari paparan benda infeksius saat bekerja secara tatap muka langsung dengan pasien. Penggunaan APD ini sangat diperlukan untuk melindungi terapis terutama saat melakukan kontak dengan pasien.
Namun, penggunaan APD memberikan tantangan tersendiri kepada terapis. Salah satunya seperti penggunaan baju pelindung atau Gown yang digunakan terapis untuk melindungi terapis dari paparan ternyata menyulitkan terapis dalam bergerak bebas terutama saat harus memberikan intervensi terapi pada pasien anak yang perlu loncat-loncat, lari-lari, dan naik turun permainan. Selain itu, penggunaan masker dan faceshield juga menyebabkan sesak saat harus bergerak aktif karena hidung dan mulut tertutup sehingga mengganggu proses inspirasi dan ekpirasi pernapasan. Hal ini yang sama juga diungkapkan oleh partisipan tiga (3) berikut :
“.. paling kerasa itu engapnya kalau pake masker. Kalau faceshieldnya pas awal-awal tuh bukan yang kacamata, jadi kayak yg press gitu, itukan pengap banget ya, keluar udara juga dari sini aja, pengap banget. Sedangkan OT kan lompat-lompat, naik-naik, terus habis itu ngomong. Jadi kalau awal-awal tuh pengap banget, sesak.. (P3)”.
Penggunaan APD yang digunakan menutupi mulut seperti masker juga memberikan hambatan lain yaitu mengganggu komunikas i antara terapis dan pasien. Ekspresi wajah terapis juga tertutup dengan masker sehingga pada pasien anak yang perlu meliha t ekspresi untuk memahami sesuatu menjadi tidak dapat mengerti hal yang terapis ucapkan. Selain itu penggunaan APD, seringkali juga menjadi pendistraksi yang mengganggu fokus pasien terutama pasien anak saat mengikuti terapi. Hal ini seperti yang diungkapka n oleh partisipan berikut :
“.. pakai APD ini kan ada plus minusnya.. minusnya kan memang komunikasi kita terhadap anak berkurang yaa.. anak ga tau bagaimana mimiknya kita, ekspresinya kita bagaimana.. (P2)”.
“misalnya mau ngomong sama anaknya kadang dia kepentok sama faceshield.. (P4)”.
Penggunaan Alat Perlindungan diri (APD) yang menjadi kewajiban disituasi pandemi seperti covid-19 ini membuat kebutuhan akan pengadaan APD menjadi meningkat. Sehingga banyak rumah sakit yang sebenarnya sangat membutuhkan APD namun persediaan menjadi berkurang dan harga dipasaran yang juga ikut tinggi.
Sehingga salah seorang terapis mengungkapkan bahwa APD yang diberikan dari rumah sakit harus dibatasi karena stok yang tidak banyak. Hambatan dalam kesediaan APD tersebut seperti dalam ungkapan partisipan enam (6) sebagai berikut :
“.. handscoon itu rehab sendiri dapat, OT sendiri dapat berapa yaa... setahun dapat 40 boks atau berapa yaa.. kalau OT nya sendiri. tapi mau ga mau cuma dapat 10 boks.. (P6)”.
b. Kesulitan dalam Teletherapy
Hadirnya teletherapy sebagai solusi alternatif dalam pemberian layanan Terapi Okupasi tidak lepas dari hambatan-hambatan yang muncul. Terlebih karena adaptasi dengan menggunakan teletherapy menjadi hal yang baru dan jarang sekali dilakukan sebelum pandemi Covid-19 merebak. Sehingga terapis dan pasien mengala mi berbagai kesulitan dalam menggunakan layanan teletherapy.
Beberapa kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan layanan teletherapy pada intervensi Terapi Okupasi seperti kesulita n menggunakan aplikasi teletherapy, kendala koneksi internet, terapis kesulitan terapi jarak jauh, dan sikap orangtua yang kadang kurang kooperatif dalam terapi online.
Penggunaan Teletherapy yang membutuhkan kestabilan koneksi internet membuat kesulitan tersendiri bagi terapis dan pasien.
Terkadang ditengah intervensi koneksi terputus sehingga terapi tidak dapat dilakukan dengan baik dan informasi yang disampaika n juga tidak dapat langsung diterima oleh pasien. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“keluhannya sih kayak ini kok susah banget masuk ke kelasnya, lebih ke kendala teknis di hapenya aja sih. (P1)
“… kalau misalnya online terapi ini tuh, peran orangtua tuh jauh lebih penting, kita disinikan terapisnya Cuma ngasih intruksi kan, suruh ngerjain apa.. kita kan… (P4).
c. Kesulitan dalam Homevisit
Pelaksaan terapi dengan homevisit memeliki kesulitan tersendir i, dimana proses terapi yang dilakukan dirumah pasien membuat terapis harus mampu menggunakan barang yang ada untuk bisa mendukung proses terapi. Selain itu, lingkungan rumah pasien belum tentu didesain untuk dapat digunakan untuk terapi dan resiko anak mengalami cedera bisa terjadi sehingga terapis harus ekstra dalam mengawasi anak. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“… homevisit itu ternyata lebih challenging loh dibanding di klinik. Karena kita harus mikir secepat kilat, apa yang ada dirumah ini… (P4)”
“… Kalau di klinik, kita datang tuh Cuma bawa badan gitu, mainan udah ada, ya matras ya pasti udah tersedia.. dinding- dinding juga udah dilapisi matras.. jadi kalau anaknya jatuh udah safety lah.. kalau dirumah klien, ada beberapa klien yang dia punya ruangan main sendiri yang ada busa-busanya dan segala macem..
ada juga yang ga ada ruangan mainnya. Kan klien beda-beda kan ya kondisi keuangannya.. nah kalau kayak gitu ya paling, kita yang harus lebih esktra untuk ngejaga anaknya ini… (P4)”.
4. Penguatan Strategi Adaptasi
Penerapan adaptasi dalam pemberian intervensi Terapi Okupasi sebagai suatu respon dalam menyikapi perubahan yang diakibatkan oleh pandemi.
Kemampuan terapis dalam beradaptasi menunjukkan bahwa Terapi Okupasi masih dapat bertahan walau menghadapi krisis seperti pandemi Covid-19. Penerapan adaptasi memang tidak mudah dan bahkan harus melewati berbagai hambatan. Sehingga dibutuhkan penguatan dengan beberapa cara untuk memberikan kemampuan bagi terapis dalam mempertahankan terlaksananya proses terapi dengan baik. Berdasarkan
penelitian bentuk penguatan terhadap strategi adaptasi yang dapat dilakukan oleh partisipan yaitu dengan mengatasi tantangan dalam adaptasi dan meningkatkan kapasitas sistem tubuh.
a. Mengatasi Tantangan Adaptasi
Agar dapat melaksanakan adaptasi terapi dengan baik, terapis perlu untuk mencari problem solving dalam menghadapi tantangan yang muncul. Terapis harus berusaha untuk mencari solusi agar proses terapi dapat terlaksana dengan baik. Tantangan yang muncul harus diatasi dengan berbagai cara. Pada penelitian ini, kesulita n komunikasi menjadi hal yang sering dialami oleh terapis terutama saat menggunakan APD seperti masker dan faceshield. Kesulitan komunikasi ini dapat diatasi dengan mengatur instruksi dan senantiasa menjaga komunikasi dengan orangtua. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“… Karena keterbatasan pemakaian masker, kemudian pemakaian shower cap, akhirnya memang harus suaranya harus diperbesar yaa.. (P6)”.
Sedangkan pada pelaksanaan teletherapy kendala jaringan yang muncul dalam pelaksanaan terapi dapat diatasi dengan mencari lokasi dengan kestabilan internet yang baik. Kestabilan koneksi harus dilakukan untuk membuat informasi dapat disampaikan dan diterima dengan baik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut:
“Pake paket data wkwk…Atau mencari sinyal yang bagus…
Maksudnya pake data seluler, kan biasanya apa-apa serba wifi…
(P1)”.
b. Meningkatkan Kapasitas Sistem Tubuh
Dalam proses adaptasi terdapat berbagai hambatan salah satunya dalam penggunaan alat perlindung diri seperti masker dan faceshield mengurangi kapasitas oksigen yang masuk ke tubuh dan pengeluaran karbon dioksida sehingga menimbulkan sesak.
Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, salah satu Partisipan berusaha untuk mengurangi resiko tersebut melalui olahraga, pola hidup sehat, dan memperbanyak konsumsi air putih. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan (3) berikut:
“… Jadi kita jadi lebih banyak minum air putih, makan- makanan yang sehat yang ibaratnya bisa nyimpen energi lebih lama gitu kan, gitu sih awal-awalnya. Ibaratnya yang kita lakukan gitukan, jadi lebih sehat sih sebenarnya, karena kan juga kebutuhan gitukan biar ga ngos-ngosan… (P3)”
C. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa seluruh partisipan menjumpai perubahan dan tantangan yang cukup berarti akibat terjadinya pandemi Covid-19 ini. Pada proses menganalisa data penelit ia n yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber ditemukan enam buah tema sebagai berikut : (1) Perubahan layanan terapi, (2) Strategi adaptasi terapi, (3) Tantanga n dalam adaptasi terapi, dan (4) Penguatan strategi adaptasi.
1. Perubahan Layanan Terapi
Pandemi Covid-19 menyebabkan perubahan yang meluas pada kehidupan sehari-hari masyarakat global. Perubahan yang besar juga dirasakan oleh profesi Terapi Okupasi Terapi. Covid-19 menahan orang untuk datang ke rumah sakit karena takut terpapar. Rumah Sakit menjadi pihak yang merasakan dampak yang cukup besar, dimana rumah sakit sebagai pusat layanan kesehatan dapat meningkatkan kemungkinan terpapar oleh Covid-19. Kebijakan yang diambil dilakukan untuk mengatasi pandemi
dan melindungi staf, pasien, dan pengunjung. Rumah sakit harus mampu mencegah dan mengendalikan infeksi dan melakukan perlindungan yang ekstra terhadap setiap orang yang berada dilingkungan rumah sakit untuk mencegah penyebaran infeksi ke pasien, staf dan pengunjung, bahkan masyarakat (WHO, 2014).
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa Rumah Sakit maupun klinik tempat partisipan bekerja merasakan berbagai perubahan seperti perubahan peraturan dan kebijakan, pengurangan durasi kerja karyawan, penurunan pemasukan, peningkatan protokol kesehatan, dan pembatasan pegunjung. Usaha perlindungan yang dilakukan oleh instansi seperti menyediakan seluruh kebutuhan proteksi bagi tenaga kesehatan seperti penyediaan masker, baju pelindung, hand wash, hand gloves dan lainnya.
Modifikasi yang berkaitan dengan pemberian layanan rehabilitasi akan sangat memerlukan upaya pengendalian infeksi, sehingga perubahan mungkin akan terjadi pada struktur, kebijakan, peran, maupun sarana komunikasi di Rumah Sakit (WHO, 2014).
Layanan Terapi Okupasi memegang peranan penting dalam sistem kesehatan dan rehabilitasi. Namun, pandemi ini juga telah menguba h banyak aspek dalam pemberian layanan terapi. Terapis Okupasi dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa mereka merasakan berbagai perubahan yang terjadi seperti tidak dapat bekerja di awal-awal pandemi, harus membuat teknis terapi yang baru, pasien jumlahnya sedikit, Work From Home (WFH). Perubahan yang terjadi salah satunya akibat pemberlakuan berbagai kebijakan untuk menekan penyebaran Covid-19 yang dampaknya dirasakan dengan terbatasnya mobilisasi masyarakat (Michelle et al, 2020). Hal ini juga membuat banyak pusat rehabilitas i kesehatan harus mengurangi jam operasi terutama dimasa awal pandemi (Bettger et al, 2020). Sehingga, penurunan pendapatan menjadi hal yang paling dirasakan oleh terapis, hal ini tidak dapat dipungkiri karena pembatasan pelayanan tentu saja akan mempengaruhi pemasukan instans i dan tentunya akan berdampak juga bagi terapis. Menurut Michael (2020), pandemi ini terbukti mempengaruhi terjadinya penurunan bahkan
kehilangan pendapatan. Selain itu, terapis juga mau tidak mau perlu untuk meningkatkan proteksi diri dengan meningkatkan penggunaan APD untuk melindungi terapis dari paparan material infeksius (OSHA, 2007).
Pemberhentian layanan terapi pada beberapa instansi layanan kesehatan juga akan memberikan pengaruh kepada pasien berupa penurunan kemampuan. Kurangnya akses terhadap rehabilitas i menyebabakan berbagai penurunan yang dirasakan oleh pasien seperti penurunan kemampuan, deconditioning, dan weekness terutama pada pasien dengan usia lanjut (Vieira et al, 2020). Pemberhentian terapi terutama pada anak berkebutuhan khusus menurut Faiz & Jameel (2020), terbukti dapat meningkatkan munculnya masalah tantrum dan perilaku anak. selain itu, situasi yang mengharuskan anak banyak dirumah juga mempengar uhi peningkatan pemberian gadget. Menurut Keumala (2018), pemberian gadget secara terus menerus dapat memberikan dampak negatif pada anak berupa keterlambatan bicara, kesulitan memusatkan perhatian, masalah belajar, bahkan gangguan perilaku. sehingga, bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) pemberian gadget akan berdampak pada penuruna n kemampuan anak. Pengurangan layanan terapi yang menyebabkan berbagai dampak akan menjadi beban baru bagi keluarga dan terapis.
2. Strategi Adaptasi Terapi
Profesi Terapi Okupasi menyadari dan merasakan banyaknya perubahan yang diakibatkan oleh Pandemi Covid-19 dalam kemampua n seseorang melakukan pekerjaannya (WFOT, 2020). Sehingga Terapis sadar bahwa mereka perlu untuk beradaptasi agar dapat bertahan dan tetap mampu menjalankan peran profesionalnya (Michael, 2020). Adaptasi menjadi hal yang harus dilakukan oleh terapi untuk menunjang tetap berjalannya proses terapi selama masa pandemi Covid-19. Seperti yang diungkapkan oleh Spencter (dalam Johansson, 2017) bahwa adaptasi akan memungki nka n individu untuk mampu memenuhi tuntutan lingkungan, serta menjala nka n perannya dengan baik. Keadaan darurat kesehatan masyarakat akibat Covid - 19 juga menjadi pendorong untuk semua bidang perawatan kesehatan untuk
mencapai opsi alternatif untuk pemberian perawatan (Zahoransky, 2020).
Namun, situasi krisis yang terjadi dengan banyak ancaman akan paparan infeksi membuat terapis harus bisa memilih cara adaptasi yang aman.
Dalam mewujudkan peran profesi Terapi Okupasi dalam memberikan layanan terapi dengan baik maka berbagai strategi adaptasi dilakukan oleh terapis antara lain seperti penerapan adaptasi dalam teknis pemberian terapi, adaptasi perlindungan kelengkapan penunjang terapi, serta berbagai adaptasi dalam pemberlakuan kebijakan untuk melind ungi staf dan pasien. Kehadiran pandemi Covid-19 juga telah menjadi katalisator transformasi dari pelayanan kesehatan untuk mempercepat laju adopsi perubahan dalam intervensi kesehatan masyarakat (Jazieh, 2020).
Melihat dampak yang diberikan kepada pasien dari kurangnya mendapatkan layanan terapi membuat terapis dan instansi harus memikirkan solusi alternatif agar tetap dapat menjangkau masyarakat dengan aman. The Centers for Disease Control and Prevention atau CDC juga menyarankan bagi pemberi layanan rehabilitasi untuk dapat menerapkan alternatif untuk bisa berkomunikasi langsung antara pasien dan terapis, dengan pengaturan terapi dari jarak jauh (CDC, 2020). Berdasarkan penelitian, beberapa partisipan mulai mengembangkan perubahan teknis pemberian layanan terapi dengan menggunakan layanan terapi jarak jauh.
Hal ini dipilih salah satunya karena masih banyak klinik tempat partisipan bekerja belum membuka layanan langsung ataupun karena pasien belum banyak yang berani untuk datang lagi ke klinik. Layanan terapi jarak jauh menjadi salah satu solusi alternatif yang semakin berkembang di masa pandemi Covid-19 ini (Sarsak et al, 2020; Zahoransky et al, 2020). Program terapi jarak jauh dengan teletherapy menggunakan layanan teleconference menjadi adaptasi yang dirasa paling signifikan dalam transisi layanan kesehatan selama pandemi Covid-19 (William et al, 2020).
Strategi adaptasi lain yang dapat dilakukan terapis yaitu dengan memberikan terapi melalui layanan Homevisit. Layanan Home Visit ini juga menjadi salah satu bentuk inovasi yang diberikan untuk tetap memberika n pelayanan terapi kepada pasien. Menurut Hotta (2015), layanan Home visit
atau home rehabilitation didefinisikan sebagai bentuk terapi yang dilakukan dirumah pasien dengan aktivitas dan peralatan yang digunakan disesuaika n dengan yang ada di rumah pasien sehingga pasien akan lebih familia r menggunakannya. Tujuan dari layanan terapi home visit adalah untuk melanjutkan aktivitas, memperbaiki Quality of Life pasien, dan membant u mengurangi beban pengasuhan (Hotta, 2015). Layanan ini membuat terapis harus bekerjasama dengan pasien dan keluarga dalam membentuk konteks lingkungan rumah yang mampu menunjang proses keterapian yang sesuai bagi pasien (William, 2016). Menurut Atwal et al (2013), home visit memberikan pemahaman terhadap terapis dalam melakukan penila ia n terhadap lingkungan pasien yang dirasa dapat membantu meningka tka n kemampuan pasien karena lingkungan rumah dianggap lebih spesifik dan bermakna.
Selain melakukan adaptasi dalam teknis pemberian intervensi terapi, terapis juga melakukan adaptasi lain terutama bagi terapis yang memberika n pelayanan terapi secara langsung di klinik maupun rumah sakit, yaitu dengan adaptasi kelengkapan penunjung terapi salah satunya dengan penerapan penggunaan Alat perlindungan diri (APD) untuk melind ungi terapis dan pasien dari paparan infeksius. Penerapan penggunaan Alat perlindungan diri (APD) menjadi hal yang wajib untuk dilakukan oleh terapis. Paparan virus Covid-19 yang bertransmisi melalui tetesan, aerosol, dan kontak pada permukaan mendorong penggunaan APD menjadi proteksi yag berguna untuk mengurangi infeksi nosokomial (Swaminathan et al, 2020). Sehingga terapis sangat memerlukan akses terhadap penggunaa n APD karena untuk menjadi keselamatan pasien dan terapis sendiri dari penyebaran virus lebih lanjut (WFOT, 2020). Alat perlindungan diri yang disarankan oleh World Health Organization (WHO) yaitu terdiri atas masker, hand glove, pakaian pelindung atau Gown, dan pelindung mata (WHO, 2014). Menurut CDC (2020), dalam menghadapi pandemi maka protokol kebersihan dari tempat kerja, peralatan, dan fasilitas harus dijaga agar tetap bersih dan rapi.
Berdasarkan penelitian ini, seluruh partisipan melakukan adaptasi terapi dengan menerapkan protokol kesehatan ini, dimana partisipan diwajibkan menggunakan masker selama bekerja. Beberapa terapis juga menggunakan baju pelindung dan hand glove sebagai upaya melindungi diri saat harus berinteraksi dengan pasien dari jarak yang dekat. Selain itu, terapis harus menegakkan protokol kesehatan dengan disiplin menggunaka n masker, penggunaan APD, dan rajin mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kontak dengan bahan infeksius (Faiz & Jameel, 2020).
Pembersihan juga menjadi hal yang disarankan, dimana proses membersihkan harus difokuskan pada benda yang dipegang oleh banyak orang seperti meja, kursi, dan gagang pintu (CDC, 2020). Proses desinfeks i dilakukan untuk menghilangkan benda infeksius pada permukaan benda- benda (WHO, 2014). Salah satu bentuk adaptasi berbasis protokol kesehatan lain yang disarankan yaitu dengan melakukan pembatasan terhadap pengunjung di pusat layanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan panduan yang disampaikan oleh The Centers for Disease Control and Prevention atau CDC. Dimana pengunjung yang akan memasuki pusat layanan kesehatan diwajibkan untuk melakukan deteksi awal Covid-19 dan wajib mengikuti kebijakan yang ditetapkan seperti penggunaan masker dan menjaga jarak (CDC, 2020). Penyedia layanan rehabilitasi salah satunya Terapis Okupasi harus mengambil langkah yang tepat untuk meningka tka n kapasitas pelayanannya walau disituasi krisis seperti pandemi Covid-19.
Upaya perlindungan dengan penerapan protokol kesehatan perlindungan diri menjadi hal yang wajib untuk dilakukan. Namun, peran penularan nosokomial cukup tinggi, sekitar 12-29% kasus penularan terjadi karena penularan nosokomial (Wang et al, 2020). Sehingga perlindunga n bagi tenaga kesehatan masih harus diutamakan agar jumlah kematian tenaga kesehatan akibat covid-19 dapat diturunkan. Perlindungan yang dilakukan yaitu dengan melaksanakan tes rutin secara berkala. Hal ini dikarenakan identifikasi awal dan isolasi bagi tenaga kesehatan yang terdeteksi terpapar dapat membantu mencegah penularan selanjutkan ke pasien dan rekan kerja,
serta tindakan pengendalian dapat lebih difokuskan pada area kontak tenaga kesehatan yang terpapar tersebut (Rivett et al, 2020).
3. Tantangan dalam Adaptasi Terapi
Setelah menghadapi perubahan yang ditimbulkan oleh adanya pandemi Covid-19, terapis yang telah berupaya untuk beradaptasi masih harus berjuang dalam menyesuaikan diri dengan bentuk dan teknis adaptasi terapi yang baru ini. Setiap strategi adaptasi yang dipilih oleh terapis memiliki tantangan dan kesulitannya masing- masing. Salah satu tantangan adaptasi yang dihadapi ialah dalam penerapan protokol perlindungan diri. Dimana ketika terapis memutuskan untuk melakukan terapi dengan tatap muka maka keamanan harus diutamakan salah satunya dengan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker, Faceshield, dan Gown.
Penggunaan APD tidak diragukan lagi dalam perannya sebagai perisai perlindungan bagi tenaga kesehatan dalam memerangi Covid-19. Namun disisi lain, APD juga memberikan hambatan dan kekurangannya sendiri (Agarwal et al, 2020), serta memberikan kesulitan tersendiri bagi tenaga kesehatan (Fan et al, 2020). Menurut Agarwal (2020), hambatan dalam penggunaan APD salah satunya pada gangguan komunikasi dan ekspresi akibat penggunaan masker yang menutupi sebagian area wajah. Penggunaan ekspresi sangat penting karena wajah memilik kemampuan dalam melakukan komunikasi secara non verbal melalui ekspresi (Von Piekartz & Mohr, 2014). Sehingga pengguna a n masker yang menutupi sebagian wajah menjadi kendala yang dirasakan terapis terutama ketika memberikan terapi pada anak-anak yang memerlukan ekspresi wajah terapis dalam memahami suatu situasi. Penggunaan masker juga memunculkan ketidaknyamanan karena kesulitan bernapas terlebih saat harus memberikan terapi dengan anak yang butuh banyak gerak. Menurut Agarwal et al (2020), penggunaan masker sering kali menimbulkan rasa panas, dehidrasi, kelelahan, sesak napas, bahkan menimbulkan rasa pusing dan tidak nyaman bagi tenaga kesehatan. Bahkan menurut Scheid (2020), pengguna a n masker menimbulkan rasa tidak nyaman, merepotkan, dan mengganggu. Selain ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari penggunaan APD, kebutuhan APD
yang tinggi juga meningkatkan kebutuhan akan persediaan APD (Fan et al, 2020).
Tantangan adaptasi lain yang ditemui oleh terapis yaitu dalam penerapan teletherapy. Kehadiran teletherapy yang hadir sebagai solusi yang inovatif juga memiliki tantangan dalam penerapannya. Hambatan yang diungkapkan partisipan dalam penelitian ini antara lain kesulitan dalam mengakses aplikasi teletherapy, kendala koneksi internet, kesulitan terapi tanpa tatap muka langsung, dan sikap orangtua yang kurang kooperatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Luiggi-Hernandez & Rivera-Amaddor (2020), bahwa tidak semua orang mampu menerapkan teknologi teletherapy ini dan juga tidak selalu bisa menggantikan terapi tatap muka langsung serta akan mengura ngi kedekatan terapis dan pasien secara langsung.
Hambatan lain yang ditemui dalam penerapan teletherapy sebagian besar berupa hambatan teknis seperti kendala koneksi internet, ponsel yang tidak menunjang teletherapy (Wotton, 2019), ditambah dengan kurangnya pengalaman dalam menggunakan teletherapy (De Souza et al, 2016).
Gangguan dalam konektivitas juga membuat informasi yang disampaika n terapis terkadang terlambat untuk diterima. Sehingga akan memberika n dampak terhadap proses terapi, berefek pada intervensi, dan menurunk a n kepuasan pasien serta terapis sehingga berdampak negatif pada penuruna n layanan (Wotton, 2019).
Partisipan yang menerapkan strategi Home visit sebagai adaptasi terapi juga menghadapi kesulitan dalam beradaptasi pada lingkungan rumah pasien.
Home visit yang dilaksanakan di lingkungan rumah pasien memberika n tantangan tersendiri bagi terapis, seperti menggunakan alat dan bahan yang tersedia di rumah pasien untuk melakukan kegiatan terapi yang membuat terapis harus menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah pasien, serta terapis juga harus lebih waspada agar pasien tidak terluka saat berlari ataupun bergerak terlalu aktif karena dirumah perlindungan yang digunakan tidak selengkap saat di klinik.
4. Penguatan Strategi Adaptasi
Pada proses melakukan adaptasi tentu menjadi hal yang tidak mudah terutama bagi terapis dan pasien yang harus menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. Sehingga, penguatan diri dalam melakukan dan menyusaikan diri dengan berbagai strategi adaptasi yang telah dibuat menjadi hal yang wajib dilakukan. Profesi Terapi Okupasi sedari awal dibentuk memiliki perang sebagai pemberi respons terhadap segala peristiwa yang menyebabkan perubahan dan gangguan okupasi dalam kehidupan orang, kelompok, dan populasi (AOTA, 2020). Solusi dalam mengatasi tantangan dalam pengguna a n APD akan membantu tenaga kesehatan dalam menangani dan memecahka n masalah yang timbul dari penggunaan APD itu sendiri (Agarwal et al, 2020;
Hampton et al, 2020). Sehingga dalam menghadapi hambatan lain yang ditimbulkan dari strategi-strategi adaptasi maka terapis harus mampu menemukan solusi yang tepat dan tetap dapat memberikan terapi yang baik ke pasien.
Dalam menghadapi hambatan penggunaan Alat Pelindung Diri pada komunikasi, terapis dalam penelitian mengungkapkan bahwa mereka harus bersuara dengan lebih keras dan lebih jelas agar pasien dapat memaha mi instruksi yang diberikan. Menurut Hampton (2020), hambatan komunikas i karena penggunaan masker disarankan bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan volume suaranya agar dapat terdengar oleh pasien. Pada permasalahan lain yang dihadapi terapis terutama dalam penerapan teletherapy seperti masalah koneksi internet, hal yang ditemukan dalam penelitian yaitu terapis harus mengusahakan untuk mencari tempat dengan konektivita s internet yang stabil. Demikian juga menurut Wotton (2019), bahwa permasalahan dalam koneksi internet dapat dilakukan dengan memastik a n lokasi terapis dan pasien berada pada akses internet yang stabil, serta diperlukan komunikasi untuk mengetahui kesulitan yang dihadapi dalam mengakses teletherapy untuk mencegah kesulitan saat sedang mengik ut i kegiatan terapi nantinya. Hambatan dalam Teletherapy menurut (Kruse et al, 2018), dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada terapis dan pasien, memanajemen perubahan, dan terus meningkatkan interaksi antara
terapis dan pasien. Sedangkan pada penerapan Homevisit, kesulitan yang dihadapi harus dihadapi dengan baik serta harus melibatkan peran semua pihak agar terapi dengan kunjungan rumah dapat memberikan pengaruh yang baik bagi pasien (Ohura et al¸2015).
Bentuk penguatan lain yang dilakukan terapis dalam menjala nka n adaptasi pada intervensi Terapi Okupasi dapat dilakukan dengan meningkatk a n kapasitas tubuhnya agar tetap dapat memberikan terapi dengan baik.
Peningkatan kapasitas tubuh dapat dilakukan dengan hidup lebih sehat dengan mengkonsumsi makanan bergizi, rutin mengkonsumsi air mineral, dan rutin berolahraga untuk meningkatkan kemampuan dalam respiratory agar tidak mudah engap saat menggunakan APD. Menurut Johnson (2016), perubahan fisiologi yang terjadi akibat penggunaan masker seperti sesak napas dapat diatasi dengan meningkatkan kemampuan tubuh dengan melakukan berbagai pelatihan peningkatan endurance tubuh seperti dengan berolahraga. Sehingga, dalam menunjang kemampuan dalam melakukan beradaptasi, terapis juga harus untuk meningkatkan kemampuan tubuhnya terutama agar tetap sehat dan dapat terhindar dari paparan Covid-19 dan terapi akhirnya juga dapat berjalan dengan baik.
D. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini belum dapat dikatakan sempurna karena keterbatasan menja di hal yang tentunya ada dalam setiap penelitian. Pada penelitian beberapa keterbatasan yang ditemukan antara lain sebagai berikut.
1. Kesulitan dalam proses pengambilan data karena sulit dalam menyesuaikan waktu interview antara partisipan dan peneliti.
2. Kesulitan dalam pengumpulan data observasi karena keterbatasan akses dan kesulitan mendapatkan dokumentasi berupa foto karena tidak semua partisipan berkenan untuk mengirimkan dokumentasi.