• Tidak ada hasil yang ditemukan

Read Ebook {PDF EPUB} Kamu Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya by Sabda Armandio

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Read Ebook {PDF EPUB} Kamu Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya by Sabda Armandio"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Read Ebook {PDF EPUB} Kamu Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya by Sabda

Armandio

(2)

terlalurisky.

mengarungi lautan lalu menumpahkannya hingga ke halaman belakang.

Resensi Novel “KAMU Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya” karangan Sabda Armandio Alif.

Bela-belain foto buku ini saat ke pantai, demi mengenang adegan terakhir di novel. Tiga tokohnya tiba-tiba pergi ke pantai, mengingat semua yang sudah terjadi.

Suka banget sama novel ini. Ceritanya seru nan ajaib; sepanjang buku bertaburan kalimat-kalimat cerdas; dan pemikiran-pemikiran dua tokoh utama: si aku (narator) dan Kamu sangat cespleng . Dari mulai pemikiran soal sekolah dan sistem pendidikan, negara, agama, cinta, kenangan, sampai masalah kesepian.

Tiap baca buku, saya selalu menandai potongan cerita, atau kalimat yang gue suka. Nah, di novel ini, gue menghabiskan nggak kurang dari 30 lembar post-it! Ini beberapanya:

“Aku cuma senang tertawa. Kau tahu kenapa? Mungkin aku hanya sedang berusaha mengecoh kesepian.”

“Aku ingin jadi pengarang agar bisa memetakan pikiran dan perasaanku sendiri.”

“Suatu hari aku mau jadi petani. Mencangkul sambil menyanyikan lagu-lagu AC/DC, kayaknya gagah sekali. Aku baca di koran, katanya pembangunan mal di Jakarta masuk rangking sepuluh besar di dunia, dan orang-orang bangga. Aku justru heran, sebenarnya itu kemajuan atau kemunduran, sih?”

Bahkan–ini norak–ada satu bagian yang saat saya baca, saya sampai melempar bukunya ke tembok, sambil cengegesan, saking greget kagum sama cerita dan olahan-olahan kalimatnya.

Kalau dipikir-pikir, 70 persen novel ini berisi tumpahan pemikiran si aku yang memang hobi banget melamun (si aku adalah pelamun yang lebih suka mie instan ketimbang senja). Di satu titik saya ngerasa buku ini lebih terasa sebagai panduan melamun dan merapihkan pikiran, alih-alih sebagai novel. Sampai sekarang pun, tokoh si aku dan Kamu semacam hidup di dalam kepala. Tiap kali sedang melamun, saya membayangkan saya bercerita ke mereka gitu. Waa.

Mau tau ceritanya? kira-kira gini:

Di suatu malam, si aku mengenang sahabatnya yg bernama Kamu. Saat SMA, jelang ujian nasional, mereka hatrick bolos: tiga hari berturut-turut.

Hari pertama, cerita ajaib dialami di alam mimpi.

Hari 2, si aku menemani mantan pacarnya yang hamil entah oleh siapa, ke dokter. Hari ketiga, mereka bertemu Permen.

Selesai baca saya bertanya, berapa banyak buku lagi yang mesti gue baca ya biar bisa nulis cerita seasik ini.

Kamu Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya (Sabda Armandio)

Kamu Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya; adalah sebuah novel yang ceritanya memang tidak perlu dipercaya, percayalah. Kurang ajar betul penulisnya, bisa-bisanya ia menulis cerita yang tidak perlu dipercaya pembacanya.

Diisi dengan cerita semi fiksi ilmiah di awal cerita yang kesemuanya terjadi ketika si narator ketiduran dan melamun. Sampai pembahasan tentang alam, makhluk hidup, sistem pendidikan dan obrolan-obrolan tentang mahkluk yang katanya berada diurutan paling atas dalam sistem kehidupan:

manusia. Oiya, perlu kamu ketahui, si narator ini adalah lelaki yang mempunyai 7 jari di tangannya. 5 jari utuh di tangan kanannya, dan 2 jari di tangan kirinya; jempol dan telunjuk.

Awalnya saya kebingungan dengan “Kamu”, karena Kamu disini bukanlah sebuah subjek atau objek kalimat melainkan sebuah nama. Kamu adalah sahabatnya si narator. Diawali ketika Kamu mengajak bolos si narator untuk mencari sendoknya yang tertukar dengan sendok tukang mie ayam langganannya sampai menemani Kamu mengantarkan bungkusan berisi cimeng ke rumah seorang Kakek yang dipanggil Kek Su.

Dalam perjalanan, mereka terjebak macet karena tiba-tiba muncul segerombolan monyet yang mengganggu perjalanan mereka. Akhirnya Kamu mengusulkan untuk mencari jalan pintas menuju rumah Kek Su. Mereka melewati parit dan memasuki gorong-gorong yang seperti sumur lalu selama perjalanan, mereka melihat tiga matahari di langit dan bertemu sekawanan Orangutan yang memakai baju bertuliskan “Save Humans”.

Sudah kubilang, cerita ini memang cerita yang tidak perlu dipercaya. Namun begitu, walaupun buku ini cenderung seperti buku yang olahan ceritanya terlihat seperti dibuat main-main oleh penulisnya, buku ini sedikit banyak memberikan bahan renungan (ceileh) selama dan setelah membacanya.

Dibawah ini saya taruh kalimat-kalimat favorit saya (yang mungkin bisa jadi bahan perenungan buat kamu para pembaca yang jatmika):

..falsafah tiga monyet bijak—tidak melihat yang buruk, tidak berbicara yang buruk, tidak mendengar yang buruk. 22.

(3)

Aku ingin menjadi pengarang agar bisa memetakan perasaan dan pikiranku sendiri. 24.

..aku tidak tahu harus memercayai siapa akhir-akhir ini. Rasanya orang-orang gemar membuat kita tersesat. 24.

Kamu tidak begitu menyukai pelajaran Bahasa Indonesia meski bercita-cita menjadi pengarang. 25.

..mungkin aku hanya sedang berusaha mengecoh kesepian. 60.

Alam selalu bisa menjaga diri, ia bisa menyembuhkan lukanya sendiri. Pohon dan rumput aka tetap tumbuh meski kita tak ada. Justru kita yang harus saling menyelamatkan, bukan? 95.

Dan kau, ada sesuatu di dalam kepalamu tapi kau enggan membicarakannya. 188.

Di dunia ini ada banyak sekali masalah dan ngomong selalu lebih mudah ketimbang berpikir. 260.

Barangkali orang yang gemar memuliakan dirinya sendiri adalah orang yang paling sedih sekaligus menyedihkan di muka bumi. 269.

Kadang aku kangen masa kecil. Semakin dewasa aku merasa jadi semakin naif. 291.

..aku sedikit banyak menyadari bahwa rasa bosan dan ketidakpuasan adalah aplikasi gratis yang menempel pada waktu. Selama waktu bergerak, mereka akan terus ada. 330.

DALAM LIPATAN KAIN.

Dari sajak, prosa, telaah, dan catatan-catatan kecil lainnya…

Kamu (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya)

SABDA ARMANDIO, “KAMU”, TIGA HARI ANEH.

Judul : Kamu (Novel) | Penulis : Sabda Armandio | Penerbit : Moka Media | Cetakan : Pertama, 2015 | Tebal : viii + 348 hlm: 11 x 17 cm | ISBN : 978-795-961-9.

Ulasan diterbitkan di halaman Buku, koran Padang Ekspres, Minggu, 26 April 2015. Pada edisi koran, ada kesilapan dari penulis yang mencantumkan judul film Jim Carrey Sip Men!, seharusnya judul film tersebut adalah Yes Man! Mohon dimaafkan atas kesalahan tersebut.

Judul : Kamu (Novel) | Penulis: Sabda Armandio | Penerbit: Moka Media | Cetakan: Pertama, 2015 | Tebal : viii + 348 hlm: 11 x 17 cm ISBN:

978-795-961-9.

Sabda Armandio Alif barangkali adalah salah seorang prosais muda dengan kemunculan karya cemerlang. Sebuah novel bertajuk Kamu (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya) yang ditulis Sabda memperlihatkan bagaimana ia menggarap jalinan cerita dari peristiwa-peristiwa biasa bahkan terkadang teramat konyol, nyeleneh, asing, tapi mampu membuat pembaca bertahan dalam rekaannya. Sabda seakan memberikan kesempatan hanya tiga hari untuk tokoh “aku” mengingat mundur ke masa lalu dan menarasikan tokoh-tokoh lain semisal “kamu”, “pacarku”, “mantan pacarku”, “perempuan teman sekelasku”, “permen”, dll.

Sabda juga memberikan kesempatan tiga hari bagi pembaca untuk memasuki peristiwa asing yang terjadi pada tokoh “aku” dan persentuhannya dengan tokoh-tokoh lain. Tiga hari sebagai pembuktian bahwa tidak butuh waktu panjang untuk menghidupkan tokoh dan peristwa dalam sebuah novel. Tiga hari yang terkayakan.

Sudut pandang orang pertama tunggal digunakan Sabda sebagai penutur dalam novel barangkali benar menggambarkan prosa modern (novel) dalam kerangka kerja naratologi. Sebagaimana pandangan Ian Watt (Faruk, 2007:185), “aku” yang merupakan kata ganti yang menunjuk diri sebagai individu, merepresentasikan diri manusia dalam keadaan paling konkret, partikular, unik, yang berbeda misalnya dari kami yang merepresentasikan manusia dalam keadaan kolektif, abstrak, dan terbagi.

“Aku” dalam novel Sabda menggambarkan laku manusia sehari-hari ( ordinary man ). Bukan manusia yang lebih tinggi dalam gambaran tragedi, bukan pula manusia rendah dalam gambaran komedi. “Aku” adalah manusia biasa, manusia yang bukan apa-apa, tetapi dapat menjadi apa saja, manusia yang belum jadi sekaligus menjadi. Manusia yang terlibat dalam proses, terlibat dalam keadaan dan peristiwa, bukan manusia yang berada di luar proses, manusia yang ada di luar atau dikeluarkan dari peristiwa dan keadaan itu.

Dalam posisi keadaan biasa tersebut, tokoh “kamu” oleh Sabda turut diposisikan dalam bagian terpenting daalam novel ini.. Dari tokoh “kamu”- lah semua pengalaman aneh dan konyol yang dialami narator. “Kamu” seakan menjadi pusaran dari rekaan Sabda sehingga tajuk novel tersebut memberi kesempatan bagi tokoh tersebut untuk muncul dan diunggulkan oleh “aku”.

Beberapa Peristiwa Aneh.

Sabda memainkan peristiwa masa lalu tokoh “aku”. Meski cuma tiga hari dinarasikan, tetapi seakan menyayat lapis-lapis terpenting dari kenangan tokoh tersebut. Dimulai dari narasi tokoh “aku” yang bekerja di sebuah perusahaan swasta dan ia hanya mempunyai tujuh jari tangan: lima di kanan, dua di kiri (hanya telunjuk dan ibu jari). “Aku” yang berusia 27 tahun, baru saja pindah indekos, dan perpindahan tersebut membuatnya mengenang sesuatu mengenai masa lalu dengan cara yang unik: “ Mengenang sesuatu sepertinya menarik, lagi pula mudah. Ada banyak cerita asik untuk memulai: tentanglah kardus berisi barang-barang lawasmu, ambil satu benda yang terletak di lantai, benda apa saja, dan biarkan ia bercerita.

(4)

Atau begini: jilat bersih sendok bekas makan, pandangi agak lama, dan sebuah cerita bisa kembali begitu saja—seperti pria ramah yang mengetuk jendela kamarmu dan berkata, “Ya, ini saatnya membuka jendela ” (hal.23).

Dari sanalah, “aku” mulai mengenang 10 tahun ke belakang, sewaktu masih kelas III SMA. “Aku” menarasikan hari pertama dalam novel tersebut ketika melalui sambungal telpon ia diajak bolos sekolah oleh “kamu” untuk mencari sendok tukang bakso yang dihilangkannya. Tokoh “aku” pun mendapat telpon kedua dari “perempuan teman sekelas” yang mengajaknya bolos untuk menceritakan keluhan hidupnya. Namun ia mengingat janji dengan “kamu” dan memilih menemani “kamu” mencari sendok.

Dari pencarian sendok inilah peristiwa unik dan aneh dimulai. “Kamu” yang kerap berkata salut! dengan berbagai gaya pengucapan di setiap situasi menganggap sendok tukang bakso yang dihilangkannya harus dicari. Dikarenakan tidak dapat diganti dengan sendok lain. Sebab sendok yang dia punya di rumah adalah “sendok untuk mengingat” dan dibuat sepasang : Tistan dan Isolde.” Perdebatan pencarian sendok antara “aku” dan

“kamu” berakhir ketika “kamu” mengundur waktu pencarian dan mengajak “aku” mengantar tas titipan ayahnya ke rumah Kek Su di Gunung Mas, Bogor.

Lima menit terpanjang dalam hidup tokoh “aku” barangkali dirasakannya ketika itu. “Aku” seakan masuk ke dalam dunia mimpi ketika tertidur (atau barangkali tidak) di atas mobil “kamu”. Dari perihal itulah “aku” mengalami peristiwa aneh, Badai Monyet Parit menyerang kota Bogor, orang-orang panik karena monyet-monyet mengambil telepon seluler, kota lumpuh.

“Aku” dan “kamu” mengambil jalan pintas menuju rumah Kek Su. Mereka meyusuri sebuah gorong-gorong di belakang air mancur kota Bogor dan sampai ke “sisi B kota Bogor”. Tempat asing dengan tiga matahari menggantung, ladang bunga, harum, tanah, awan yang bergerak tanpa harus diseret angin. Tempat yang menurut “aku” tidak pernah ada di Bogor. Di tempat itu pula mereka bertemu dengan beberapa orang utan yang salah satunya memakai kaos bertuliskan “Save Human”.

Pertemuan dan percakapan dengan orang utan tersebut mengantarkan “aku” dan “kamu ke peristiwa yang lebih aneh lagi ketika sampai di rumah Kek Su. Kek Su yang gemar mengganti sebuah istilah dengan kata yang berima dan hanya mempunyai mata kanan dengan mata kiri rata dengan wajah mempunyai kepiawaian yang absurd. Ia melukis matanya sendiri dan menjadi mata asli. Kek Su menawarkan untuk melukis tiga jari “aku”, tapi ia menolak. Dan menang ternyata peristiwa itu adalah peristiwa paling membingungkan tokoh “aku”: Badai Monyet Parit, sisi B kota Bogor, dan kepiawaian Kek Su.

Hari ke dua dan ke tiga dinarasikan tokoh “aku” melalui beberapa peristiwa yang juga tergolong aneh dan dibungkus dengan kisah tragik.

Misalkan ketika tokoh “aku” diajak oleh “mantan pacar” ke sebuah rumah sakit untuk memeriksakan kehamilannya—konon ia dihamili orang lain.

Namun ketika mereka mampir ke sebuah kafe untuk makan, “aku” bertemu dengan seorang tukang sulap yang bisa membaca dirinya dan membaca diri mantan pacarnya. Tukang sulap dengan topi model top-hat yang bisa mengeluarkan kelinci, mengeluarkan selembar kartu namanta tapi beralamatkan rumah “aku”, dan hilang tertarik ke dalam topi sendiri.

Resistensi Tokoh.

Beberapa peristiwa aneh dihadirkan Sabda dari pengalaman “aku”, “kamu”, dan tokoh lain setidaknya menggambarkan resistensi terhadap realitas hidup kekinian. Tokoh “aku” seakan hadir dan lengkap dari pengalaman tokoh lain, ia barulah menjadi “aku” setelah ia bersentuhan dengan pengalaman tokoh lain. Tiga hari aneh tersebut diisi sepenuhnya dengan bolos sekolah. Perdebatan “aku” dan beberapa tokoh lain seakan mengambarkan sebuah kritikan terhadap sekolah sebagai ruang penyeragaman. Kritik tersebut terlihat juga dari kehadiran tokoh bernama

“Permen” yang disukai oleh “kamu”, yang konon, memilih home-schooling.

Selain itu tokoh “mantan pacar” juga dibenturkan perdebatan tentang anggapan terhadap perempuan hamil di luar nikah, kehendak untuk sekolah, namun norma sosial. Tokoh “Perempuan teman sekelas” hadir dengan dilema. Ternyata belakangan hari ia baru mengetahui bahwa mencintai ayah kandungnya. Ia masih mempertanyakan hasrat yang oleh orang-orang dibahasakan sebagai electra complex tersebut. “Perempuan teman sekelas”

menganggap cinta itu pemberian tuhan. Ia merasakan, meragukan, dan mengaminkan cintanya. Bahkan dalam novel dinarasikan peristiwa

“perempuan teman sekelas” bertanya pada seorang ustad melalui sambungan telpon di acara reality show sebuah stasiun televisi. Pertanyaan tokoh tersebut menyentak orang-orang. Perasaan dan naluriah dasar manusia dibenturkan dengan norma dan hukum agama.

Dama novel tersebut Sabda seakan menggali ceruk terdalam masa lalu tokoh melalui perihal sangat sederhana dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang barangkali dalam realitas dianggap enteng dan tidak penting dipertanyakan. Kegemaran Sabda akan film, video game, dan beragam genre musik juga terlihat dari cara ia menghadirkan peristiwa dan memunculkan suasana. Dari jazz, rock and roll, blues, hingga musik pop lawas Indonesia. Minnie Smith and Her Jazz Hounds, Bob Dylan, The Beatels, Rolling Stones, The Doors, Norah Jones, Nick Drake, Stevie Wonder, hingga Elfa Singer dihadirkan untuk membangun suasana sekaligus dibangun oleh suasana.

Wajah sumringah Audrey Hepburn memerankan tokoh Holly Golightly dalam film Breakfast at Tiffany’s atau Jim Carrey dalam film Yes Man!

turut dibangun dan terbangun dari sebuah peristiwa. Juga beberapa teori yang mempengaruhi peradaban dunia semisal The Smoky God George Emerson dijadikan pandangan dan landasan tokoh dalam berinteraksi. Sebuah novel hadir dengan peristiwa yang boleh dipercaya atau tidak.

Seperti penawaran Sabda dari novelnya pada pembaca: cerita-cerita yang tidak perlu dipercaya .***

Tiga Hari yang Absurd, Menggelitik, dan Menarik (Review Novel Kamu Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya)

Novel pertama Sabda Armandio berjudul KAMU (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya) ini banyak bercerita tentang kenangan. Pencerita, sebut saja “Aku” dan temannya, Kamu, menjadi dua tokoh yang banyak mengisi kisah dalm halaman demi halaman novel. “Aku” memiliki karakter pasif, cenderung pemurung, dan mudah melupakan sesuatu. Sementara tokoh Kamu, seseorang yang tengil, pemberontak, gemar menghisap ganja, namun, menurutku, cerdas.

(5)

Sepanjang cerita, “Aku” banyak mengalami kejadian ganjil. Namun, kemurungannya menjadikannya menganggap apa pun sebagai hal biasa dan tak perlu dipikirkan terlalu dalam. Suatu ketika “Aku” hendak menulis kenangan sepuluh tahun lalu saat masih sering menghabiskan waktu bersama Kamu, ketika SMA. Ia mengenang, dan kenangan itu menjadi kisah yang terus melaju, nyaris sampai ujung halaman terakhir buku ini.

Kenangan itu sebenarnya tidak lama, hanya tiga hari. Namun salam tiga hari itu banyak kejadian yang absurd, konyol, dan penuh kesan. Awalnya, Kamu mengajak “Aku” bolos sekolah. Anehnya, bolos ini bukan untuk main game, ke tempat hiburan, atau sekadar bersantai di pinggir-pinggir jalan atau tempat makan. Kamu mengajak bolos untuk mencari sendok yang tertukar ketika ia membeli bakso, juga untuk mengantarkan paket yang dititipkan ayahnya.“Aku” mengiyakan ajakan Kamu dan dari sana, petualangan ganjil itu dimulai.

Ada saat ketika hendak mengantar paket itu, mereka berdua (“aku” dan Kamu) mengendarai Datsun dan terjebak macet di jalan. Belakangan, diketahui macet itu karena “badai monyet parit.” Entah bagaimana itu bermula, ribuan monyet keluar dari dalam parit dan membuat kegaduhan di jalan, sehingga laju lalu lintas macet total. Sedangkan, Kamu harus tiba di tempat tujuan tepat waktu. Jadi, Kamu mengajak “aku” turun dari mobil dan lewat jalan pintas.

Ternyata, jalan pintas itu adalah semacam lorong bawah tanah yang katanya bisa membuat perjalanan 20 km hanya ditempuh kurang dari sejam hanya dengan jalan kaki. Meski awalnya tak percaya, “Aku” akhirnya menurut saja ketika melihat lubang lorong itu, lalu masuk dan berjalan bersama Kamu di dalamnya.

Saat keluar dari dalam lorong, mereka sampai di sebuah tempat yang, lagi-lagi, ganjil. Kisah bagian ini bertajuk “Sisi B dari Kota Bogor”. Tempat itu diceritakan seperti padang luas dengan ladang bunga. Di tempat itu, keheranan-keheranan dan kepasrahan “Aku” dalam menghadapi kejadian- kejadian yang menimpanya mendominasi cerita. Selanjutnya, ada adegan di mana “Aku” terbangun dan tak lagi mendapati ladang bunga. Mereka (“Aku” dan Kamu) sudah ada di pinggir pantai dan bertemu dengan orang utan raksasa yang bisa bicara.

Ada dialog menarik di sini, saat orang utan itu mengatakan bahwa mereka (orang utan) ada untuk “menyelamatkan manusia”. “Aku” dengan segala kebingungannya seketika membalas dan “membetulkan” omongan orang utan itu dengan mengatakan “menyelamatkan alam”. Namun orang utan itu berkata, “Bukan, bukan menyelamatkan alam. Buat apa alam diselamatkan. Lagipula diselamatkan dari apa? Alam selalu bisa menjaga diri, ia bisa menyembuhkan lukanya sendiri. Pohon dan rumput akan tetap tumbuh meski kita tak ada. Justru kita yang harus saling menyelamatkan, bukan?” (hlm 95).

Setelah itu, mereka berdua masuk ke dalam sumur dan entah bagaimana kemudian sampai di area kebun teh. Kamu mengajak “Aku” menyusuri kebun teh itu dan bertemu dengan Sugali atau Kek Su. Ternyata tas titipan ayah Kamu ditujukan pada Kek Su. Kek Su juga tak kalah ganjil. Di mata “Aku”, Kek Su bermata satu. Di samping itu, Kek Su gemar membuat istilah baru. Istilah lama ia sembunyikan dengan istilah baru yang berima. Misalnya mengatakan “mobil” sebagai “burung ababil”, atau “kebun strawberi” dengan “Kebun Menerima dan Memberi” (hlm. 108). Dari rumah Kek Su, Kamu sempat mengajak “Aku” ke makam keluarganya; Ibu, Kakek, Nenek, dan Adiknya. Di sini sempat terjadi banyak perbincangan antara Aku dan Kamu; tentang kehilangan, tentang bahasa, sampai tentang cinta.

Sampai di halaman 139, baru diketahui bahwa semua kejadian—mulai dari turun dari mobol karena macet dan masuk jalan pintas berupa gorong- gorong, sampai di ladang bunga, bertemu orang utan, bertemu Kek Su, dan berziarah ke makam keluarga Kamu—semua itu hanyalah mimpi, mungkin bukan mimpi, tapi semacam lamunan yang kelewat mendalam hingga seakan-akan menjadi nyata. “Aku” terbangun dan mendapati dirinya masih ada di dalam mobil yang terperangkap kemacetan.

Akhirnya Kamu mengajak “Aku” pulang, mencari tukang bakso untuk mengurusi sendok yang hilang, dan tak jadi mengantar paket titipan ayahnya. Mereka sampai di pinggir jalan dekat lapangan basket. Kemudian, bertemu gerobak bakso yang Kamu maksud–tapi bukan tukang baksonya. Lalu datang segerombolan pemuda bermotor berhenti di pinggir jalan. Mereka menggoda dua perempuan yang juga hendak membeli bakso setelah bermain basket di lapangan. Dan entah bagaimana, tukang bakso itu mengambil walkie talkie dan berbicara dengan seseorang di seberang, kemudian menodongkan pistol pada gerombolan pemuda itu. Lalu mobil polisi datang dan adegan peringkusan itu terjadi dengan cepat.

Aku dan Kamu yang sedang menikmati bakso terbengong menatap kejadian itu. Belakangan, diketahui bahwa tukang bakso itu ternyata polisi yang menyamar (hlm 156)

Hari kedua, bercerita tentang “Aku” yang dimita mantan pacarnya—yang sedang mengandung, namun bukan oleh “Aku”—untuk ketemuan.

Mereka pergi ke sebuah kafe dan lagi-lagi, kejadian aneh kembali menghampiri. Ketika mantan pacarnya ke toilet, “Aku” kedatangan seorang lelaki berjenggot panjang yang mirip seorang pesulap; lelaki itu mengeluarkan benda-benda dari dalam topinya; boneka kelinci putih dan katak.

Namun, sebenarnya lelaki itu mencari kartu nama yang hendak diberikan pada “Aku” (hlm 191).

Setelah di rumah, “Aku” mendapatkan surat dari mantan pacarnya. Surat itu berisi kabar bahwa mantan pacarnya sudah yakin akan mengakhiri hidup. Namun, membacanya, “Aku” tak langsung terkejut. Ia hanya menanggapinya dengan biasa-biasa saja. “Salam hangat, begitu tulisnya satu sentimeter di atas tanda tangan. Salam penutup itu seperti matahari kecil yang sedikit menyinari isi surat yang dingin. Salam hangat. Begitu. Baiklah, semoga kematian yang diharapkannya benar-benar hangat” (hlm 228). ***

Awal-awal membaca buku ini, aku sempat melipat sudut halaman tiap kali menemukan kalimat yang menarik, inspiratif, atau lucunya bukan main.

Namun setelah lebih dari separuh buku kulewati, aku baru tersadar telah membuat buku ini kelewat kumal karena nyaris tiap dua-tiga halaman, aku selalu membuat lipatan.

Novel ini banyak berisi kegelisahan, keluhan yang berkecamuk dalam benak remaja dalam menghadapi dunia. Meskipun dengan bahasa yang sesekali kasar khas anak muda, namun dialog-dialog di dalamnya bukan berarti dangkal atau sekadar gumaman tak penting. Bahkan, kalau boleh dibilang, banyak kalimat-kalimat menarik yang menggambarkan kegelisahan akan realitas mutakhir saat ini. Di bawah ini adalah beberapa dari mungkin lebih dari seperempat jumlah halaman buku di mana terdapat kalimat menarik tersebut.

(6)

“Aku pernah mendengar orang-orang yang membakar hutan sering teriak-teriak ‘cari uang buat makan’. Jadi kupikir kalian makan uang,” ujar Orang Utan sambil menggosok-gosok kepalanya (hlm 98)

Perempuan di depanku ini benar-benar payah dalam menghafal tanggal, tahun, dan nama-nama tokoh dalam pelajaran sejarah, tetapi ia memahami betul cara mengikat rambut. Hasilnya tak terlalu kencang, juga tak kelewat kendur. Ikatan yang membuatnya nyaman. Paham, kupikir jauh lebih penting ketimbang hafal (hlm 175)

Kini makanan semakin praktis. Mi instan, kupikir adalah salah satu ciptaan tercanggih manusia hingga saat ini. Yang jadi petani cukup segelintir orang saja. Sisanya, cari uang dengan profesi lain.Yah, mungkin malu jadi petani dan berfikir selama masih ada orang lain yang mau bertani, bereslah (hlm 288).

“Karena aku tidak tahu harus memercayai siapa akhir-akhir ini. Rasanya, orang-orang gemar membuat kita tersesar. Jadi, kupikir, aku harus membuat peta milikku sendiri” (hlm 323)

Ada pula kata-kata yang mengkritik dunia pendidikan, terutama adanya UN. Ketika itu, ada seorang murid bernama Hana yang bunuh diri karena takut menghadapi UN. Dan Kamu berkomentar,“Lagipula, menurutku Hana nggak benar-benar bunuh diri, secara nggak langsung, negaralah yang membunuhnya” (hlm 305)

Kalimat demi kalimat tanpa terasa telah terlahap dengan cepat saat membaca novel ini. Kekonyolan, kemurungan, juga kegelisahan yang tercipta, baik dalam benak “Aku” seorang diri, maupun ketika sedang bersama Kamu, berkali-kali memunculkan kejutan bagi pembaca. Kadang, pembaca dibuat heran dengan segala keanehan cerita, namun, kadang juga mangut-mangut mengamini sebuah ide di dalamnya. Kadang, pembaca hanyut menyelami haru-biru kenangan yang syahdu, namun kadang juga tergelak lepas karena humor yang sering menyelimuti cerita. Selamat membaca, kamu.[]

Sabda Armandio: Pentingnya Cara Penyampaian dalam Karya.

Adalah sebuah kutipan dari buku berjudul Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya karya Sabda Armandio Alif. Salah satu penulis yang saat ini karyanya dinantikan oleh banyak pembaca dan dianggap sebagai salah satu rising young writer menurut beberapa media.

Saya sendiri, banyak mendengar percakapan dari teman-teman saya tentang betapa menyenangkannya membaca karya-karya Dio, panggilan akrab penulis novel itu. Tentu, sebagai orang yang menolak ketinggalan, saya coba baca karya Dio yang pertama.

Menyentil, getir, namun pesan dan kesan dari si penulis berhasil sampai untuk saya. Untuk menilik kisi-kisi, mungkin kamu yang butuh inspirasi untuk menulis dan ingin membaca karya Dio, bisa melihat review GoodReads–seperti apa yang saya lakukan dulu. “Sial. Berkali-kali saya mengucap kata tersebut selama membaca buku ini. Dio berhasil, sangat berhasil meludahi seseorang, sistem, dan kehidupan dengan sopan melalui novel ini,” tulis Yulaika Ramadhani yang memberi bintang 4 pada laman GoodReads untuk novel pertama Sabda Armandio ini.

Terkesan dan punya banyak pertanyaan di kepala soal kepenulisan dan proses penerbitan yang dilalui Dio, saya langsung menghubunginya. Ini sebenarnya kali kedua kami janjian untuk wawancara. Pertama kali, dulu saya mewawancarai Dio untuk sebuah artikel isu soal infografik garapan Tirto.id. Ternyata, selain menjadi penulis, Dio juga merupakan otak di balik segala visual dari media tenar tersebut.

Kali ini kami janjian di Kemang Timur, di sebuah kafe yang dekat dengan kantornya. Dio datang dan langsung memesan kopi. Selama wawancara, ia terlihat cukup santai menyeruput kopi sembari sesekali menghembus asap rokok. Kami banyak bicara tentang ketertarikan Dio dalam menulis, proses penerbitan buku, cita-cita Dio menggarap novel grafis, caranya melatih kepenulisannya dan industri toko buku besar.

Poin yang terakhir adalah poin menarik, karena Dio sendiri menerbitkan dua buku ( Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya dan 24 Jam Bersama Gaspar ) lewat dua penerbit buku indie yang berbeda. Mungkin, untuk kamu yang ingin berkarya dengan maksimal lewat tulisan, beberapa masukan dan obrolan dari Dio bisa menginspirasimu. Berikut wawancara C rafters .

Pertama kali menerbitkan buku ceritanya gimana?

Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya itu sebenarnya materi-materi karakternya itu sudah ada sejak aku SMA. Jadi, ada beberapa karakter dan dari salah satu tokoh-tokohnya itu, aku membuat banyak cerita. Jadi, kalau dilihat dari bukunya itu sendiri kan sebenarnya itu potongan- potongan cerita pendek. Ya, itu bahannya dari aku SMA, terus setelah itu sempet nganggur . Akhirnya, aku baca-baca buku baru dan mulai dimatangkan lagi di tahun 2013 akhir, terus aku udah punya blog waktu itu. Jadi, semua naskahnya aku masukin ke blog di tahun 2014.

Ya , ada seorang teman yang kerja di penerbitan Moka Media, dan dia tertarik. Katanya, ya kita bukukan aja. Di situ akhirnya, kenal dengan Dea Anugrah, dan dia jadi editor. Yaudah, terus naskahnya itu diambil dari blog. Terbitnya sendiri tahun 2015 awal. 2014 itu proses untuk editing, cari ilustrator. Editingnya butuh sekitar 4 bulan. 24 Jam Bersama Gaspar (penerbit: Mojok) itu tahun 2016. Karena aku ngumpulin bahannya lama, sebenernya aku udah punya bahannya. Setelah Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya selesai digarap, aku sudah punya cerita baru.

Selama dua penerbitan buku itu kamu turut andil enggak untuk memilih si ilustrator?

Buatku, cover itu penting, ya, artinya, cover adalah sesuatu yang bisa dibilang terpisah dari si bukunya. Cover menjadi karya seni yang lain, di luar seni kepenulisan. Di buku pertama, aku enggak punya banyak pilihan. Waktu itu penerbitnya tidak memberikan aku kebebasan untuk memilih ilustrasi cover buku. Tapi, untuk ilustrasi di dalam bukunya sendiri dulu yang bikin itu Toro Elmar. Ilustrasi di dalamnya aku punya andil, kalau untuk cover -nya, yang mengerjakan adalah desainer in-house mereka. Aku paling cuma kasih beberapa referensi cover buku yang aku suka aja.

Waktu itu aku kasih contohnya Vonnegut , dengan satu simbol. Dan saat itu yang paling dominan itu objek si mobil yang sering digunakan

(7)

karakter-karakter itu. Dulu, aku dikasih tiga pilihan desain dan yang aku pilih itu yang terbit.

Kalau di buku 24 Jam Bersama Gaspar , prosesnya jauh lebih bebas. Keduanya itu temanku, Kupiarif dan Radityo, jadi dua-duanya aku tahu artist di bidangnya masing-masing dan punya style yang amat berbeda. Mereka mau. Aku kasih tahu cerita dan referensinya, aku juga kasih kebebasan untuk mereka. Aku membebaskan mereka untuk menginterpretasikan cerita yang sudah aku buat itu. Lalu, untuk ilustrasi dalam buku (Tio) itu malah lebih mudah lagi. Aku udah kenal Tio lama, jadi aku enggak terlalu khawatir. Dia juga menambahkan detail-detail kecil dan membuat cerita sendiri dari ilustrasi dia sendiri di dalam buku itu. Dan hasilnya oke.

Untuk menulis blog sendiri?

Iya, jadi tahun lalu aku sempat vakum menulis blog, terus blogku ditutup. Ya, aku buat blog baru dan belum sempat diisi lagi.

Ketertarikanmu untuk menulis sendiri dimulainya gimana sih?

Kalau mulai nulis itu agak panjang ceritanya. Waktu SD aku buat komik kecil-kecilan. Temen bikin gambar dan aku bikin cerita. Mungkin dari situ mulai terasah, ya. Keinginan untuk menulis sesuatu dan lingkungan rumahku waktu itu dipenuhi oleh orang-orang yang suka cerita jadi, selalu ada sesuatu yang ingin disampaikan. Waktu SMP, aku buat cerita detektif. Jadi, Gaspar itu sebenarnya obsesi lama. Terus mulai serius mendalami gaya bercerita dan cara menulis kalimat ya saat SMA lah. Udah mulai mencoba cara-cara lain, karena aku cukup bosen baca cerita lokal yang selalu seperti itu. Ya, karena dulu aku masih muda ya, jadi aku sering memikirkan perasaan-perasaan seperti itu.

Tapi, kemudian aku mulai serius membaca teks fiksi tahun 2011. Waktu itu aku mulai rajin menulis cerpen dan udah bikin blog, ya. Blog itu semacam laboratorium aku. Habis baca sesuatu, aku implementasikan dengan cara aku sendiri, semacam meniru tapi dibuat dengan prosesku sendiri.

Di luar menulis, kamu punya banyak ketertarikan lain seperti bermusik dan tentunya, pekerjaanmu sebagai Visual Head di Tirto. Apakah ini menyelamatkan atau menghambatmu dalam berkarya?

Sebetulnya, aku cuma suka sedikit A, sedikit B dan sedikit C. Akhirnya, karena suka, jadi aku pelajari semua satu-satu. Aku memang mudah bosan. Karena menulis itu sebenarnya memuakkan, ya, hahaha . Jadi aku merasa butuh refreshing . Terus, yaudah, jadi karena aku suka musik, aku suka buat komposisi, dulu sempat nge-band, terus juga kadang-kadang karena musik enggak terlalu seru, aku suka buat yang lain juga. Ya, cuma mengatasi rasa bosan satu ke rasa bosan lainnya saja. Minatku banyak sekali. Tapi, itu cuma sebagai sarana kebosananku. Enggak ada hal yang serius di balik itu.

Kamu punya target dalam menulis?

Enggak. Ya, aku sangat mencintai dunia kepenulisan, ya. Jadi kalau nulis enggak bisa buru-buru. Rentangnya bisa jauh. Bisa dua sampai tiga tahun.

Bukuku yang cerpen baru itu juga kompilasi dari tahun-tahun lalu. Cuma sekitar 12-18 cerita nantinya yang akan diterbitkan di tahun 2019 ini.

Semua bukuku penerbitnya berbeda-beda. Sekarang yang cerpen itu penerbit Gambang di Jogja.

Kalau bicara industri buku sekarang, itu pernah jadi pemikiranmu enggak untuk mengikuti tren di toko buku besar?

Enggak. Sebetulnya aku enggak terlalu peduli. Karena, aku pikir, kita sekarang bisa mendapat bacaan buku bagus itu bisa lewat internet. Dulu kan aksesnya terbatas. Kalau sekarang, akses kan banyak kita cuma perlu rajin-rajin cari referensi dan penulis baru. Aku lebih suka mencari tau, penulis yang aku suka menyukai siapa, nanti baru aku cari tau lagi. Jadi berkembang dari situ. Dan kebanyakan yang aku baca juga bentuknya ebook . Cuma, perlu kita tahu bahwa kita tidak perlu menggantungkan diri kita ke toko buku besar. Tapi terserah juga, sih. Sekarang, banyak juga penjual buku online yang menjual buku-buku bagus. Jadi, kalau ditanya apa pendapatku soal toko buku sekarang, aku agak enggak terlalu peduli.

Buku-buku/penulis yang kamu rasa wajib baca itu siapa dan apa aja?

Referensiku juga berubah-ubah. Tapi, aku selalu menyarankan untuk membaca ulang Idrus. Itu mungkin salah satu yang harus dibaca, karena Idrus itu lucu sekali. Kemarin juga ada novel baru karya Yaa Gyasi, judulnya Homegoing , itu juga bagus. Aku sekarang ini lagi baca-baca buku matematika malah, hahaha .

Saranmu untuk penulis yang ingin menerbitkan karya?

Kalau untuk novel, menurutku, seperti aku ya, aku banyak berteman dengan penulis juga. Jadi, dia bisa ngasih banyak saran. Dan aku orang yang cukup konservatif soal buku. Jadi, kalau aku penulis, aku butuh editor dan dia harus paham dengan dunia tulis menulis. Kalau pun menurut dia cerita yang aku buat enggak layak terbit, maka aku harus memperbaikinya.

Tapi, sebetulnya, blog itu sangat membantu. Artinya, aku bukan orang yang suka mengirim cerita ke penerbit–bahkan enggak pernah. Aku enggak akrab dengan tradisi seperti itu seperti beberapa teman-temanku. Karena aku tau aku lebih suka proses bereksperimennya, dibandingkan melihat karyaku diterbitkan. Jadi, blog sangat membantu aku, dan komentar di sana bisa membuat sebuah dialog dan diskusi juga. Apalagi, sekarang bentuk blog sudah makin banyak.

Namun, aku pikir, ketimbang menulisnya, lebih penting kita membaca dengan serius–dengan benar. Kalau kita sudah banyak membaca, banyak referensi, kita bisa memperbaiki mutu tulisan kita.

Soal kesiapan untuk penulisnya untuk menerbitkan buku sendiri, apa pendapatmu?

(8)

Aku selalu butuh editor. Posisi editor sendiri buatku sangat penting. Dia bukan cuma sekadar editor, tapi juga teman ngobrol. Misal, buku apa sih yang kira-kira bisa jadi referensiku? Jadi, sebetulnya tulis menulis ini akhirnya juga berhubungan dengan cara kita bersosialisasi. Dengan orang- orang yang punya ketertarikan yang sama. Kita bisa tukar pikiran. Sangat penting untuk ada teman ngobrol. Misal, menurut kita itu sudah bagus, ya. Tapi, akan lebih objektif kalau ditangani oleh orang yang mengerti.

Kepikiran untuk menulis dalam bentuk lain kah? Puisi mungkin?

Puisi bukan bidangku. Kalau bentuk lain, mungkin komik. Untuk menggabungkan kedua ketertarikanku. Aku suka visual dan aku suka cerita.

Bentuk komik/novel grafik itu sudah kepikiran lama cuma belum sempat aku garap.

Latihan seperti apa yang kamu lakukan untuk mengembangkan kepenulisanmu?

Latihan menulis itu penting. Dan menurutku, itu harusnya muncul secara otomatis ya sebenarnya. Setelah membaca sesuatu, kita kepikiran “Oh, mungkin, kalau ceritanya seperti ini akan lebih menarik!” Dulu sih, aku rutin membaca cerita dan setelah selesai, aku buat alternatifnya. Semacam spin off versiku. Misalnya, yang paling aku ingat, Sun Also Rises karya Hemingway, itu aku bikin cerita sendiri tentang naratornya. Jadi, aku buat kemungkinan-kemungkinan baru tentang si tokoh karakter itu.

Dan, salah satu yang paling membantu, sampai hari ini, yang aku lakukan itu menerjemah. Jadi, menerjemah cerita (umumnya dari bahasa Inggris) ke bahasa Indonesia. Itu sangat membantu. Karena saat menerjemahkan, itu sama sekali bukan perkara sepele. Karena untuk menyampaikan maksud, kita juga harus tau tentang pikiran apa yang ingin disampaikan si penulisnya.

Bisa juga, kalau kita mendengar kalimat-kalimat bagus gitu, ya dicatat saja. Aku suka ngetik di handphone sih, sambil dengerin lagu.

Untukmu distribusi lewat media sosial seberapa penting?

Aku enggak terlalu memikirkan itu, karena aku enggak bakat jualan. Tapi, promosi karya sendiri itu sebenarnya membantu penerbit untuk mengurus bisnis mereka. Jadi, aku kan suka dengan penerbit-penerbit dekat yang juga temanku. Mereka punya industri sendiri, bisnis sendiri, alangkah enaknya aku membantu mereka. Aku suka berteman saja, sih. Membantu usaha mereka kan, enggak ada salahnya.

Sebetulnya dalam karyamu, gagasan apa sih yang selalu ingin kamu sampaikan lewatnya? Apakah itu penting untuk kamu sebagai penulis?

Sebetulnya, ada yang ingin aku sampaikan. Tapi, yang kemudian aku cari adalah bentuk penyampaiannya. Bentuk penyampaiannya jangan sampai menjadi seperti menggurui, atau buku ceramah. Jadi, di novel pertama aku contohnya, aku menceritakan tentang murid yang hamil di luar nikah terus dikeluarkan dari sekolahnya, ada yang gagal Ujian Nasional lalu bunuh diri–yang aku cari sebenarnya penyampaian ceritanya. Sebetulnya, di novel pertama itu aku sekarang menganggapnya masih sangat kasar dan di novel pertama aku merasa masih ada tendensi untuk menceramahi.

Itu yang pelan-pelan aku kikis. Di buku keduaku, soal pernikahan di bawah umur dan juga betapa terganggunya aku dengan orang-orang yang fanatik. Tapi kemudian, cara menyampaikannya yang aku buat enak dibaca aja. Aku enggak pernah berusaha menjual gagasan di dalam karyaku.

Namun, itu terbentuk saja seiring aku berproses. Kalau untukku make sense , maka akan aku lanjutkan. Tapi lagi-lagi, yang paling penting adalah cara menyampaikannya.

Referensi

Dokumen terkait