INTISARI
Kanker merupakan penyakit dengan angka kematian yang masih tinggi. Secara empiris, rumput teki (Cyperus rotundus L.) telah digunakan sebagai bahan campuran dalam resep pengobatan beberapa jenis kanker (kanker serviks) terutama di China. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek sitotoksik dari fraksi protein umbi teki terhadap kultur sel kanker (sel SiHa) dan kultur sel normal (sel Vero).
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Fraksi protein umbi teki diendapkan dengan penambahan amonium sulfat dalam konsentrasi tertentu sehingga didapat seri fraksi-fraksi protein. Pengujian dilakukan secara kolorimetri menggunakan metode MTT [3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide]. Hasil yang diperoleh berupa persen kematian sel yang kemudian diolah secara statistika dengan menggunakan analisis probit (harga LC50) dan t-independent.
Dari hasil uji sitotoksisitas diketahui bahwa fraksi protein umbi teki bersifat sitotoksik terhadap kultur sel SiHa dan sel Vero. Harga LC50 yang diperoleh pada FP20, FP40, FP60, dan FP80 terhadap sel SiHa berturut-turut sebesar 105,80 µg/ml; 106,20 µg/ml; 108,08 µg/ml; dan 84,46 µg/ml. Pada perlakuan terhadap sel Vero sebesar 35,1 µg/ml; 27,4 µg/ml; 14,7 µg/ml; dan 16,4 µg/ml. Harga LC50 tersebut menunjukkan fraksi protein umbi teki memiliki sitotoksisitas lebih besar terhadap sel Vero dibanding sel SiHa.
Kata kunci : umbi teki, sitotoksisitas, sel SiHa, sel Vero, fraksi protein, nilai LC50
Cytotoxicity of Nutgrass Tuber (Cyperus rotundus L.) Protein Fraction PF20, PF40, PF60, and PF80 against SiHa Cell Culture
ABSTRACT
Cancer is a disease with high death rate. In China, nutgrass (Cyperus rotundus L.) has been used empirically in cervical cancer treatment. The aim of this research is to determine cytotoxic activity of nutgrass tuber against cancer cells (SiHa cells) and normal cells (Vero cells).
The study was a pure experimental research with one way complete random design. Protein fractions of nutgrass tuber were obtained by precipitation using ammonium sulphate salt in various concentrations. The cytotoxicity assay was determined colorimetrically using the MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide) method. Data were collected in the percentage of cell death were calculated using probit analysis (LC50 value) and analyzed with
t-independent.
The results of cytotoxicity assay determined that protein fraction of nutgrass tuber had cytotoxic activity to SiHa and Vero cells. The LC50 value
obtained from FP20, FP40, FP60, dan FP80 to SiHa cells are 105,80 μg/ml; 106,20 μg/ml; 108,08 μg/ml; and 84,46 μg/ml respectively, while LC50 value for Vero
cells respectively are 35,09 µg/ml; 27,36 µg/ml; 14,73 µg/ml; and 16,43 µg/ml. The LC50 value indicated that protein fraction of nutgrass tuber possess higher
cytotoxicity to Vero cells compared SiHa cells.
Keyword: nutgrass tuber, SiHa cell, Vero cell, protein fraction, cytotoxicity, LC50
value
SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN
UMBI TEKI (Cyperus rotundus L.) FP20, FP40, FP60, dan FP80 TERHADAP KULTUR SEL SiHa
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Soelistio Wati Widjaja NIM : 038114039
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN
UMBI TEKI (Cyperus rotundus L.) FP20, FP40, FP60, dan FP80 TERHADAP KULTUR SEL SiHa
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Soelistio Wati Widjaja NIM : 038114039
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
Tuhan tidak berjanji....
Aku berlayar...jauh untuk menemukan sebuah dermaga indah
dalam lautan biru...
Banyak sekali kegelapan, hawa dingin, rasa sepi, dan ombak yang kurasa
Semua itu demi sebuah masa depan...
Dibalik itu, aku menemukan harta yang tak ternilai harganya
...cinta...
...persahabatan...
...keberanian & kedewasaan...
Sekarang, kulemparkan jangkar kapalku pada tujuanku
akan kuberikan buah karya ini untuk semua orang yang kucintai
Setelah itu, aku akan kembali dalam pelayaranku menemukan
...Harapan dan cita-citaku...
Yaitu sebuah masa depan yang harus kubangun
**watie – 24102006** atas cinta yang selalu mendampingiku....
ʍʌ....Especially my
S
elf, yang memberi banyak arti dalam hidupku....dan
a
lmamaterku...KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis telah dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN UMBI TEKI (Cyperus rotundus L.) FP20, FP40, FP60, dan FP80 TERHADAP KULTUR SEL SiHa”. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada Program Studi Farmasi di Universitas Sanata Dharma.
Semua kelancaran dan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, dapat terwujud dengan adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis dengan rendah hati mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. A. Yuswanto S.U., Ph.D., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam membimbing dan memberi dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dra. A. Nora Iska Harnita, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas kesediaan menguji dan telah memberikan banyak masukan dan arahan.
3. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas kesediaan menguji dan telah memberikan banyak masukan dan arahan.
4. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
5. Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si., yang telah membantu dalam melakukan determinasi tumbuhan Cyperus rotundus L.
6. Mbak Istini, Pak Pandi, Mbak Heni dan segenap karyawan Laboratorium Hayati UGM yang telah bersedia mendampingi selama melakukan penelitian ini.
7. Papa-Mama, my sister-brother, terima kasih untuk doa, kasih sayang, perhatian, dan materi yang selalu mengiringi perjalananku.
8. Untuk sebuah “rasa” dalam hatiku, Robertus Hengky, yang mengisi dan memberikan banyak keajaiban berarti dalam hari-hariku, ~terima kasih~ 9. Anggota team rumput teki : Mba Ratih, Mila, dan Agnes, “Proficiat !! kita
berhasil penelitian” makasih segala bantuan, kerjasama, dan suka dukanya selama ini, juga team Azadirachta indica A. Juss.
10. Nela, Tina, Totok, Bambang, Bangun, dan teman-teman praktikum B”03 yang menjadi teman seperjuangan dalam survival di Farmasi.
11. Teman-teman ”Sekar Ayu Apartment” yang telah menjadi keluarga dalam perantauanku.
12. Semua pihak lain yang juga turut serta membantu penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi pada penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga penulisan skripsi ini berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya dan mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
INTISARI
Kanker merupakan penyakit dengan angka kematian yang masih tinggi. Secara empiris, rumput teki (Cyperus rotundus L.) telah digunakan sebagai bahan campuran dalam resep pengobatan beberapa jenis kanker (kanker serviks) terutama di China. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek sitotoksik dari fraksi protein umbi teki terhadap kultur sel kanker (sel SiHa) dan kultur sel normal (sel Vero).
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Fraksi protein umbi teki diendapkan dengan penambahan amonium sulfat dalam konsentrasi tertentu sehingga didapat seri fraksi-fraksi protein. Pengujian dilakukan secara kolorimetri menggunakan metode MTT [3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide]. Hasil yang diperoleh berupa persen kematian sel yang kemudian diolah secara statistika dengan menggunakan analisis probit (harga LC50) dan t-independent.
Dari hasil uji sitotoksisitas diketahui bahwa fraksi protein umbi teki bersifat sitotoksik terhadap kultur sel SiHa dan sel Vero. Harga LC50 yang diperoleh pada FP20, FP40, FP60, dan FP80 terhadap sel SiHa berturut-turut sebesar 105,80 µg/ml; 106,20 µg/ml; 108,08 µg/ml; dan 84,46 µg/ml. Pada perlakuan terhadap sel Vero sebesar 35,1 µg/ml; 27,4 µg/ml; 14,7 µg/ml; dan 16,4 µg/ml. Harga LC50 tersebut menunjukkan fraksi protein umbi teki memiliki sitotoksisitas lebih besar terhadap sel Vero dibanding sel SiHa.
Kata kunci : umbi teki, sitotoksisitas, sel SiHa, sel Vero, fraksi protein, nilai LC50
Cytotoxicity of Nutgrass Tuber (Cyperus rotundus L.) Protein Fraction PF20, PF40, PF60, and PF80 against SiHa Cell Culture
ABSTRACT
Cancer is a disease with high death rate. In China, nutgrass (Cyperus rotundus L.) has been used empirically in cervical cancer treatment. The aim of this research is to determine cytotoxic activity of nutgrass tuber against cancer cells (SiHa cells) and normal cells (Vero cells).
The study was a pure experimental research with one way complete random design. Protein fractions of nutgrass tuber were obtained by precipitation using ammonium sulphate salt in various concentrations. The cytotoxicity assay was determined colorimetrically using the MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide) method. Data were collected in the percentage of cell death were calculated using probit analysis (LC50 value) and analyzed with
t-independent.
The results of cytotoxicity assay determined that protein fraction of nutgrass tuber had cytotoxic activity to SiHa and Vero cells. The LC50 value
obtained from FP20, FP40, FP60, dan FP80 to SiHa cells are 105,80 μg/ml; 106,20
μg/ml; 108,08 μg/ml; and 84,46 μg/ml respectively, while LC50 value for Vero
cells respectively are 35,09 µg/ml; 27,36 µg/ml; 14,73 µg/ml; and 16,43 µg/ml. The LC50 value indicated that protein fraction of nutgrass tuber possess higher
cytotoxicity to Vero cells compared SiHa cells.
Keyword: nutgrass tuber, SiHa cell, Vero cell, protein fraction, cytotoxicity, LC50
value
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... .. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
INTISARI... ix
ABSTRACT... x
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN... xx
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan masalah... 3
2. Keaslian penelitian ... 4
3. Manfaat penelitian... 4
B. Tujuan ... 5
1. Tujuan umum ... 5
2. Tujuan khusus ... 5
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 6
A. Rumput Teki (Cyperus rotundus L.) ... 6
1. Sistematika tumbuhan ... 6
2. Nama daerah... 6
3. Deskripsi ... 6
4. Habitat ... 7
5. Kandungan kimia ... 7
6. Khasiat dan penggunaan ... 7
B. Kanker ... 8
1. Tinjauan umum ... 8
2. Siklus sel ... 10
3. Kanker serviks (kanker leher rahim)... 11
4. Pengobatan kanker ... 13
Protein yang bersifat sitotoksik... 13
a. RIP (Ribosome-inactivating Protein)... 14
b. Toksin... 14
c. Antibodi-Imunoglobulin ... 15
d. Komplemen ... 16
C. Protein ... 17
1. Tinjauan umum ... 17
2. Pemurnian protein ... 19
a. Metode pengendapan dengan garam ... 19
b. Metode kromatografi kolom ... 21
c. Elektroforesis ... 23
3. Pengukuran kadar protein ... 23
a. Spektrofotometri UV ... 23
b. Metode Lowry... 24
c. Metode Biuret ... 24
d. Metode Kjeldahl ... 24
e. Metode Bradford dan Bicinchoninic Acid (BCA) ... 25
D. Kultur Sel ... 25
1. Morfologi sel kanker dan sel normal ... 26
2. Sel Vero ... 26
3. Sel SiHa... 26
E. Sitotoksisitas ... 27
1. Metode neutral red uptake ... 29
2. Metode trypan blue ... 30
3. Aktivitas LDH (Lactate Dehidrogenase) ... 30
F. Keterangan Empiris... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 32
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 32
B. Variabel-Variabel Penelitian... 32
1. Variabel bebas... 32
2. Variabel tergantung... 32
3. Variabel pengacau terkendali... 32
4. Variabel pengacau tak terkendali ... 32
5. Definisi operasional ... 33
C. Alat dan Bahan ... 33
1. Alat ... 33
2. Bahan ... 34
D. Tata Cara Penelitian ... 34
1. Determinasi tumbuhan ... 34
2. Pengumpulan umbi teki... 35
3. Sterilisasi alat ... 35
4. Pembuatan medium pencuci dan medium penumbuh ... 35
a. Pembuatan medium pencuci ... 35
b. Pembuatan medium kultur (RPMI 1640-serum) ... 35
5. Preparasi sampel ... 35
a. Pembuatan fraksi protein dari umbi teki ... 35
b. Pengukuran estimasi kadar protein total ... 37
6. Preparasi sel SiHa ... 38
a. Propagasi sel SiHa ... 38
b. Panen sel SiHa ... 38
7. Preparasi sel Vero ... 39
a. Propagasi sel Vero... 39
b. Panen sel Vero... 39
8. Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi teki ... 40
a. Sel SiHa... 40
b. Sel Vero... 41
9. Perhitungan persen kematian sel dengan metode MTT ... 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42
A. Determinasi Tumbuhan... 42
B. Sterilisasi Alat ... 43
C. Preparasi Sampel Fraksi Protein Umbi Teki... 44
D. Pengukuran Estimasi Kadar Protein Total ... 46
E. Uji Sitotoksisitas ... 48
1. Sel SiHa ... 49
2. Sel Vero ... 51
3. Prosedur uji sitotoksisitas ... 54
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 59
A. Kesimpulan ... 59
B. Saran... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60
LAMPIRAN... 65
SURAT PENGESAHAN DETERMINASI... 100
BIOGRAFI PENULIS ... 101
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel I. Data absorbansi fraksi protein dan kadar protein... 47 Tabel II. Data prosentase kematian sel SiHa diinkubasi selama
24 jam dengan 6 seri konsentrasi pada
FP20, FP40, FP60, dan FP80 umbi teki... 49 Tabel III. Data prosentase kematian sel Vero diinkubasi selama
24 jam dengan 6 seri konsentrasi pada
FP20, FP40, FP60, dan FP80 umbi teki... 51 Tabel IV. Harga LC50 hasil interpolasi analisis probit
pada sel SiHa dan sel Vero ... 56 Tabel V. Data pembacaan absorbansi oleh ELISA reader
uji sitotoksisitas umbi teki FP20 terhadap sel SiHa... 70 Tabel VI. Data pembacaan absorbansi oleh ELISA reader
uji sitotoksisitas umbi teki FP40 terhadap sel SiHa... 70 Tabel VII. Data pembacaan absorbansi oleh ELISA reader
uji sitotoksisitas umbi teki FP60 terhadap sel SiHa... 71 Tabel VIII. Data pembacaan absorbansi oleh ELISA reader
uji sitotoksisitas umbi teki FP80 terhadap sel SiHa... 71 Tabel IX. Data pembacaan absorbansi oleh ELISA reader
uji sitotoksisitas umbi teki FP20 terhadap sel Vero... 72 Tabel X. Data pembacaan absorbansi oleh ELISA reader
uji sitotoksisitas umbi teki FP40 terhadap sel Vero... 72
Tabel XI. Data pembacaan absorbansi oleh ELISA reader
uji sitotoksisitas umbi teki FP60 terhadap sel Vero... 73 Tabel XII. Data pembacaan absorbansi oleh ELISA reader
uji sitotoksisitas umbi teki FP80 terhadap sel Vero... 73 Tabel XIII. Komposisi medium RPMI 1640 dan M199 ... 74 Tabel XIV. Nilai r (koefisien korelasi) pada level signifikansi
5% dan 1%... 94
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Fase sel kanker ... 11
Gambar 2. Skema antibodi mengikat antigen ... 15
Gambar 3. Dua macam asam amino α... 17
Gambar 4. Mekanisme “salting out”... 20
Gambar 5. Proses dialisis ... 21
Gambar 6. Struktur molekul dari MTT dan hasil reduksinya ... 29
Gambar 7. Struktur trypan blue... 30
Gambar 8. Foto tumbuhan Cyperus rotundus L... 42
Gambar 9. Asam amino aromatik pada penyerapan sinar UV... 47
Gambar 10. Struktur fenilalanin... 48
Gambar 11. Grafik prosentase kematian sel SiHa diinkubasi selama 24 jam dengan 6 seri konsentrasi pada FP20, FP40, FP60, dan FP80 umbi teki ... 49
Gambar 12. Foto sel SiHa pada kontrol ... 50
Gambar 13. Foto sel SiHa perlakuan fraksi protein umbi teki FP40 (a) kadar 4000 μg/ml (b) kadar 500 μg/ml ... 50
Gambar 14. Grafik prosentase kematian sel Vero diinkubasi selama 24 jam dengan 6 seri konsentrasi pada FP20, FP40, FP60, dan FP80 umbi teki ... 52
Gambar 15. Foto sel Vero pada kontrol ... 53
Gambar 16. Foto sel Vero perlakuan fraksi protein umbi teki FP40
kadar 4000µg/ml dan 1000µg/ml... 53
Gambar 17. Foto umbi teki utuh ... 65
Gambar 18. Foto potongan umbi teki ... 66
Gambar 19. Foto microplate (96-well plates) ... 66
Gambar 20. Foto Spektrofotometer UV CECIL Series 2 ... 67
Gambar 21. Foto ELISA reader SLT 340 ATC ... 67
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Foto tumbuhan rumput teki (Cyperus rotundus L.) dan
microplate (96-well plate)... 65 Lampiran 2. Foto ELISA reader dan Spektrofotometer UV ... 67 Lampiran 3. Cara perhitungan jumlah penambahan amonium sulfat
pada fraksi protein umbi teki
FP20, FP40, FP60, dan FP80... 68 Lampiran 4. Cara perhitungan kadar protein ... 69 Lampiran 5. Data pembacaan absorbansi oleh ELISA reader dalam
uji sitotoksisitas terhadap sel SiHa
dengan metode MTT ... 70 Lampiran 6. Data pembacaan absorbansi oleh ELISA reader dalam
uji sitotoksisitas terhadap sel Vero
dengan metode MTT ... 72 Lampiran 7. Medium pertumbuhan sel SiHa (RPMI 1640) dan
sel Vero (M199) ... 74 Lampiran 8. Hasil analisis probit fraksi protein umbi teki terhadap
kultur sel SiHa dengan metode MTT ... 76 Lampiran 9. Hasil analisis probit fraksi protein umbi teki terhadap
kultur sel Vero dengan metode MTT ... 85 Lampiran 10. Perhitungan nilai korelasi LC50 sel SiHa dan sel Vero pada
taraf kepercayaan 95% ... 94
Lampiran 11. Uji distribusi data sel SiHa dengan Kolmogorov-Smirnov ... 95 Lampiran 12. Uji distribusi data sel Vero dengan Kolmogorov-Smirnov ... 96 Lampiran 13. Hasil uji signifikansi LC50 antara sel SiHa dan sel Vero dengan
analisis statistik ... 97
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Kanker merupakan salah satu ancaman utama di dalam bidang kesehatan.
Setelah penyakit jantung, kanker menjadi penyebab kematian utama di AS. Di
Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga, tingkat mortalitas yang
disebabkan kanker 4,9% tahun 1995 dan menjadi 6,0% tahun 2001. Kanker
menempati peringkat ke-6 dan jumlah pasien kanker terus meningkat setiap tahun
(Rahmawati, dkk, 2006). Kanker serviks merupakan jenis kanker kedua terbanyak
pada wanita di seluruh dunia setelah kanker payudara. Namun di Indonesia,
kanker serviks menduduki peringkat pertama. Kanker serviks yang sudah masuk
ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka waktu yang relatif
cepat (Andrijono, 2003).
Keberhasilan terapi kanker relatif masih belum memuaskan. Semua
pengobatan kanker seperti pembedahan, kemoterapi, terapi radiasi, hormon dan
biologi (immunotherapy) memiliki dampak yang sangat baik bagi penderita. Akan
tetapi, terapi kanker yang dilakukan menyebabkan sel-sel normal dapat menjadi
rusak, ditandai dengan sakit atau melemahnya bagian tubuh tertentu sebagai efek
samping dari terapi diatas dan memerlukan biaya yang cukup tinggi (Rizal, 2003).
Penggunaan tumbuhan sebagai obat di Indonesia telah berlangsung sejak lama dan
masyarakat menggunakan secara turun-temurun berdasarkan pengalaman, masih
terbatas tradisional dan belum banyak diketahui manfaat lainnya. Berbagai usaha
telah dilakukan untuk mengembangkan dan memanfaatkan bahan alam Indonesia
untuk menemukan obat-obat baru antikanker yang selektif. Salah satu cara dengan
eksplorasi tanaman yang diduga berkhasiat sebagai antikanker yang secara
tradisional telah digunakan masyarakat, contohnya mahkota dewa, sambiloto,
tapak dara, rumput teki, dan lain-lain (Dalimartha, 2003).
Pada rumput teki (Cyperus rotundus L.) bagian tanaman yang biasa
digunakan sebagai obat adalah rimpangnya (umbi) ataupun akar. Teki berkhasiat
menormalkan siklus haid, analgesik, penenang (sedative). Rumput teki merupakan
obat penting untuk gangguan kesehatan pada wanita. Selain itu, juga bermanfaat
untuk mengatasi gangguan sakit dada, sakit gigi, gangguan fungsi pencernaan
seperti mual, muntah, nyeri lambung, sakit perut, diare, haid tidak teratur, sakit
waktu haid, keputihan, dan menyuburkan kandungan. Sampai sekarang ini,
informasi rumput teki sebagai antikanker masih sangat terbatas. Namun, pernah
ada keterangan yang mengatakan mengenai penggunaan rumput teki sebagai
bahan campuran dalam resep pengobatan beberapa jenis kanker terutama kanker
serviks di China (Hanks, 2000). Selain itu, pada bagian umbinya terdapat
oleanolic-acid dan oleanolic-acid-3-o-neohesperidoside yang berfungsi sebagai
agen kemopreventif (Duke, 2001).
Beberapa protein diduga mempunyai efek sitotoksik seperti toksin,
antibodi-imunoglobulin, komplemen, dan RIP. Penelitian mengenai efek
sitotoksik suatu fraksi protein sejenis Ribosome Inactivating Protein (RIP) telah
banyak dilakukan, contohnya pada biji, akar, dan daun dari tanaman Mirabilis
sehingga dapat membunuh sel. Maka pada penelitian ini dimaksudkan dapat
memberikan informasi mengenai sitotoksisitas dari fraksi protein umbi teki
terhadap sel kanker (sel SiHa) karena sejauh penelusuran penulis belum ada
penelitian mengenai hal ini. Permasalahan lain yang timbul, apakah umbi teki
juga bersifat sitotoksik pada sel normal maka dalam penelitian dilihat pula efek
sitotoksik fraksi protein umbi teki terhadap sel normal (sel Vero). Hasil penelitian
yang diharapkan bahwa fraksi protein umbi teki akan memberikan efek sitotoksik
yang selektif hanya terhadap sel kanker tetapi tidak sitotoksik terhadap sel normal.
Dari nilai LC50 yang diperoleh dapat diketahui mengenai efek sitotoksisitas fraksi
protein umbi teki dan potensinya untuk dikembangkan sebagai senyawa
antikanker. Nilai LC50 < 1000 µg/ml dinyatakan bersifat sitotoksik. Menurut
National Cancer Institute (NCI), suatu senyawa berpotensi sebagai antikanker jika
memiliki nilai LC50 ≤ 20 µg/ml (Suffness and Pezzuto, 1991 cit., Candra, 2006).
Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran yang berguna dalam pengembangan
potensi dari fraksi protein umbi teki sebagai obat antikanker yang selektif.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah fraksi protein umbi teki FP20, FP40, FP60, dan FP80 memiliki
efek sitotoksik terhadap kultur sel SiHa dan sel Vero?
b. Seberapa besar nilai LC50 dari fraksi protein umbi teki FP20, FP40, FP60,
c. Apakah fraksi protein umbi teki memiliki efek sitotoksik lebih besar
terhadap sel SiHa dibandingkan sel Vero?
2. Keaslian penelitian
Sejauh penelusuran penulis di Universitas Sanata Dharma dan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, belum pernah dilakukan penelitian mengenai
sitotoksisitas fraksi protein umbi teki (Cyperus rotundus L.) FP20, FP40, FP60, dan
FP80 terhadap kultur sel SiHa. Telah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai
tumbuhan rumput teki antara lain daya inflamasi ekstrak etanol dari umbi teki
(Hartini, 1993). Hasilnya menunjukkan pada dosis 750 mg/kgBB mampu
memberikan daya anti inflamasi pada tikus sebesar 41,74±14,99%. Pada
penelitian daya melarutkan minyak atsiri dan infus umbi teki terhadap batu ginjal
kalsium secara in vitro (Suhartiningsih, 1996). Hasilnya menunjukkan minyak
atsiri dan infus umbi teki mampu melarutkan batu ginjal kalsium secara in vitro,
dimana infus umbi teki memiliki kemampuan melarutkan batu ginjal kalsium
lebih baik dari minyak atsiri.
3. Manfaat penelitian
Penelitian mengenai sitotoksisitas fraksi protein umbi teki ini diharapkan
memiliki beberapa manfaat antara lain:
a. manfaat teoritis ialah memberikan informasi mengenai efek sitotoksik
fraksi protein umbi teki terhadap sel kanker dan sel normal yang berguna
b. manfaat praktis yang diperoleh ialah dapat digunakan untuk melengkapi
bukti-bukti ilmiah yang mendukung pengembangan umbi teki sebagai
antikanker yang selektif.
B. Tujuan 1. Tujuan umum
Mengetahui potensi fraksi protein umbi teki (Cyperus rotundus L.)
untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui efek sitotoksik dari fraksi protein umbi teki FP20, FP40,
FP60, dan FP80 terhadap kultur sel SiHa maupun sel Vero.
b. Untuk mengetahui nilai LC50 dari fraksi protein umbi teki FP20, FP40, FP60,
dan FP80 terhadap kultur sel SiHa dan sel Vero.
c. Untuk mengetahui apakah fraksi protein umbi teki memiliki efek
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Rumput Teki (Cyperus rotundus L.)
1. Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan rumput teki diklasifikasikan sebagai berikut: famili
Cyperaceae, genus Cyperus, spesies Cyperus rotundus L. (Anonim, 2000 b).
2. Nama daerah
Rumput teki memiliki nama daerah Jawa: Teki, tekan (Jawa), motta
(Madura). Sulawesi: Rukut Teki wuta (Minahasa). Bulili manggasa buai (Buol),
Nusatenggara: Kareha wai (Sumba). Maluku: Rukut Teki wuta (Alfuru) (Anonim,
1980). Rumput teki juga dikenal dengan common name seperti Tiririca, Nutgrass
(Inggris), Tagernut, Hama-Suge, Xiang Fu Tzu, Xiang Fu (China), Muskezamin,
Musta, Mustaka, Mutha, So Ken Chiu, So Ts’Ao, Souchet (Anonim, 1996).
3. Deskripsi
Rumput semu menahun dapat mencapai tinggi 10 cm. Rimpang (rhizoma)
berumbi, batang bentuk segitiga. Daun 4 – 10 berjejal pada pangkal batang,
dengan pelepah daun yang tertutup di bawah tanah, berwarna coklat kemerahan,
helaian daun berbentuk garis dengan permukaan atas berwarna hijau tua
mengkilat, ujung daun meruncing, lebar helaian 2 – 6 mm, panjang 10 – 60 kali
lebar. Bunga berbentuk bulir majemuk, anak bulir terkumpul menjadi bulir yang
pendek dan tipis, berkelamin dua. Daun pembalut 3 – 4, tepi kasar, tidak merata.
Sekam dengan punggung hijau dan sisi coklat, panjang kurang lebih 3 mm.
Benang sari 3, kepala sari kuning cerah. Tangkai putik bercabang 3. Buah
memanjang sampai bulat telur terbalik, bersegitiga coklat, panjang 1,5 mm
(Sudarsono, 1996).
4. Habitat
Tumbuh di dataran rendah sampai dengan ketinggian 1000 m di atas
permukaan laut, banyak tumbuh liar di Afrika Selatan, Korea, Cina, Jepang,
Taiwan, Malaysia, Indonesia dan kawasan Asia Tenggara pada umumnya.
Tumbuh di lahan pertanian yang tidak terlalu kering (tanahnya tidak
berbencah-bencah), di ladang, dan kebun. Teki tumbuh paling baik pada lahan subur yang
lembab, tidak tumbuh dengan baik pada tempat teduh, dan lazim mengganggu
area dan halaman rumput (Sudarsono, 1996).
5. Kandungan kimia
Secara umum tumbuhan rumput teki mengandung minyak atsiri, alkaloid,
glikosida, flavonoid, gula, zat pati, dan protein (Soedibyo, 1998). Pada rimpang
dan umbi teki mengandung 4alpha,5alpha-oxidoeudesm-11-en-3-alpha-ol,
beta-cyperone, calcium, copper, cyperolone, iron, isocyperol, isokobusone, kobusone,
linoleic-acid, linolenic-acid, magnesium, manganese, myristic-acid,
oleanolic-acid, oleanolic-acid-3-o-neohesperidoside, potassium, sodium, oleic-oleanolic-acid,
patchoulenone, stearic-acid, sugetriol, sugenol, sugeonol, zinc (Duke, 2001).
6. Khasiat dan penggunaan
Biasanya bagian yang dipakai sebagai obat adalah umbinya (rimpang).
Aksi dari umbi teki bertindak sebagai anthelmintik, antifungi, antiparasitik,
diuretik, emmenagogue, galaktagogue, stimulant, tonik (Anonim, 2006 a). Sebuah
penelitian di China menemukan bahwa teki digunakan sebagai tanaman
karminatif, energi dan hormon pengatur dalam Traditional Chinese Medicine.
Rumput teki dapat pula membantu pengobatan terhadap beberapa jenis kanker
serviks (Anonim, 2006 a). Herba rumput teki diketahui merangsang produksi
interferon, yakni suatu protein terlarut yang dihasilkan dari sel saat terinfeksi
DNA atau RNA yang mengandung virus. Interferon juga bersifat sebagai stimulan
makrofag dan mempunyai aktivitas membunuh sel kanker (Hoffman, 2006).
B. Kanker
1. Tinjauan umum
Kanker (neoplasma) adalah suatu penyakit dimana terjadi pertumbuhan
sel-sel jaringan tubuh yang abnormal, cepat, tidak terkendali, serta merusak
bentuk dan fungsi organ asalnya. Sel kanker akan tumbuh menyusup ke jaringan
sekitarnya (invasif), lalu membuat anak sebar (metastasis) ke tempat yang lebih
jauh melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Anak sebar akan
tumbuh menjadi kanker baru yang mempunyai sifat yang sama dengan kanker
induknya, sampai akhirnya menyebabkan kematian penderitanya (Dalimartha,
2004).
Dalam sel normal, pertumbuhan dikontrol dengan baik oleh keseimbangan
antara kecepatan pertumbuhan sel dengan pengendalian pertumbuhan sel seperti
proliferasi terjadi pada saat dibutuhkan. Keseimbangan ini terjadi pada saat
selama penggantian jaringan tubuh. Diferensiasi sel selama proses ini berlangsung
secara wajar dan perkembangan terhenti ketika tidak dibutuhkan lagi. Dalam sel
kanker, proses ini terganggu artinya perkembangan sel terus berlanjut, sementara
diferensiasi sel tidak terjadi (Macdonald dan Ford, 1997).
Tumor dapat berupa tumor jinak (benign) atau tumor ganas (malignant).
Benign tumor bukanlah kanker. Benign tumor tumbuh di dalam suatu kapsul yang
dikemas dengan baik dimana membatasi ukuran dan memelihara karakteristik sel
asal, serta jarang menyebabkan kematian. Sel dari benign tumor tidak menyebar
ke bagian lain pada tubuh. Dalam banyak kasus, benign tumor tidak kembali
setelah dihilangkan (DiPiro, 1997). Kebalikannya, malignant tumor adalah
kanker, biasanya lebih serius dan dapat mengancam hidup. Sel kanker dapat
menyerbu dan merusakkan organ dan jaringan didekatnya. Juga, sel kanker dapat
meloloskan diri dari malignant tumor dan masuk aliran darah atau sistem limfatik
(getah bening). Secara itulah sel kanker menyebar dari tumor asli untuk
membentuk tumor baru di organ lain. Penyebaran kanker disebut metastasis.
Sel-sel malignant tumor mengalami perubahan genetika dan bentuk Sel-sel tidak normal
mengakibatkan sel-sel kehilangan kemampuan untuk melakukan fungsinya.
Kehilangan struktur dan fungsi dinamakan anaplasia (DiPiro, 1997).
Proses terjadinya kanker atau karsinogenesis merupakan proses multistage
yang diatur secara genetik. Tahap-tahap karsinogenesis terbagi menjadi :
1. Tahap inisiasi, merupakan tahap awal yang mengakibatkan perubahan genetik
mungkin disebabkan karena mutasi atau pengaruh zat-zat yang bersifat
karsinogen.
2. Tahap promosi, sel tumbuh dengan sangat pesat dan menjadi tumor benign.
3. Tahap progresi, neoplasma akan berkembang menjadi bersifat ganas. Ciri pada
tahap ini meliputi invasi sel tumor menuju jaringan setempat dan disusul oleh
metastasis yang berkembang.
4. Tahap metastasis yaitu penyebaran sel neoplastik dari tempat tumor utama
menuju tempat yang lebih jauh (Schneider, 1997 cit., Widyastuti, 2004).
2. Siklus sel
Proses proliferasi sel berlangsung melalui suatu siklus pembelahan yang
dinamakan daur sel (cell cycle). Mekanisme pembelahan sel secara substansial
adalah sama pada semua sel. Siklus sel dibedakan atas fase mitosis (fase-M) dan
interfase. Interfase dibagi lagi menjadi :
• Fase-G1 (growth1) merupakan interval antara akhir dari fase-M dan permulaan
replikasi DNA. Pada fase-G1 terutama disintesis asam ribonukleat, sel akan
tumbuh, dan struktur sitoplasma tertentu akan berdiferensiasi.
• Fase-S dengan pembentukan asam desoksiribonukleat baru, jumlah kromosom
akan berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan dipersiapkan.
• Fase-G2 merupakan fase pertumbuhan pasca sintesis. Selama G2 replikasi
DNA dipantau untuk memastikan telah terbentuk double DNA. Disini
Go G1
M
G2
S
Gambar 1. Fase sel kanker
Sel tumor dapat berada dalam 3 keadaan : (1) sedang membelah (siklus
proliferatif) ; (2) keadaan istirahat (tidak membelah, G0) ; dan (3) yang secara
permanen tidak membelah. Sel dalam fase G0 yang masih potensial untuk
berproliferasi disebut sel klonogenik atau sel induk (stem cell). Jadi yang
menambah jumlah sel kanker ialah sel yang dalam siklus proliferasi dan dalam
fase-G0 (Nafrialdi & Gan, 1995).
3. Kanker serviks (kanker leher rahim)
Di Indonesia, kanker serviks menduduki peringkat pertama. Serviks atau
leher rahim merupakan bagian ujung bawah rahim yang menonjol ke liang
sanggama (vagina). Kanker serviks berkembang secara bertahap, tetapi progresif.
Proses terjadinya kanker ini dimulai dengan sel yang mengalami mutasi lalu
berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut
displasia. Kanker serviks mengikuti suatu kemajuan mulai tahap displasia menuju
karsinoma in situ (kanker yang tidak meluas di luar membran epithelial) dan
berkembang menjadi karsinoma invasif (kanker yang telah menyebar ke jaringan
sehat) (Dalimartha, 2003).
Ada 2 jenis utama kanker serviks: squamous sel karsinoma dan
adenokarsinoma. Sekitar 80% – 90% kanker serviks adalah squamous sel
sel yang menutupi permukaan endoserviks. Sisanya 10% – 20% kanker serviks
adalah adenokarsinoma. Adenokarsinoma serviks berkembang dari sel kelenjar
penghasil mukus pada endoserviks. Kanker serviks yang mempunyai corak
kedua-duanya squamous sel karsinoma dan adenokarsinoma disebut adenosquamous
karsinoma (Anonim, 2006 b).
Kanker serviks adanya pertumbuhan sel yang tidak terkendali pada leher
rahim. Penyebab kanker serviks tak diketahui. Infeksi dengan dua jenis human
papillomavirus (HPV), yang ditularkan secara seksual, berhubungan kuat dengan
kanker serviks dan merupakan faktor resiko yang utama. Bukti, HPV ditemukan
hampir 80% mengenai karsinoma serviks (Anonim, 2006 b). Strain serviks HPV
dibagi menjadi kategori "resiko tinggi" dan "resiko rendah" berdasar pada
hubungannya dengan kanker serviks. HPV-6 dan HPV-11, sebagai contoh,
menyebabkan banyak kasus benjolan genital tetapi dianggap "resiko rendah"
karena jarang ke arah kanker. Strain HPV lain, seperti HPV 16, 18, 33, 35, dan
45, dikategorikan "resiko tinggi" karena telah dihubungkan dengan peningkatan
resiko untuk serviks dan kanker vaginal. Wanita yang melakukan seks pada usia
muda, pasangan berganti-ganti, dan perokok memiliki resiko lebih besar terpapar
HPV (Anonim, 2006 b).
Pemeriksaan teratur dengan pap smear secara efektif menurunkan resiko
untuk berkembang ke kanker serviks invasif, dengan mendeteksi perubahan
prakanker pada sel serviks. Wanita-wanita yang tidak menerima pap smear teratur
4. Pengobatan kanker
Pengobatan kanker sangat kompleks karena selain memiliki khasiat
antikanker, kelompok obat ini juga bersifat merusak sel-sel tubuh yang normal.
Obat ini digunakan untuk tujuan mengobati, memperpanjang hidup, atau
meringankan pasien akibat gejala kanker (paliatif) (Anonim, 2000 a). Kanker
banyak diobati dengan pembedahan atau radiasi sebelum bermetastasis maka
deteksi dan penanganan lebih awal memberikan keuntungan yang nyata, sebagai
contoh tes pap smear. Empat cara utama yang dilakukan pada pendekatan
pengobatan kanker yaitu pembedahan, radiasi, kemoterapi, dan imunoterapi
(DiPiro, 1997). Kemoterapi juga sering digunakan bersama dengan terapi bedah
dan atau radiologi sebagai ajuvan (setelah terapi bedah atau radioterapi untuk
tumor yang kemungkinan menimbulkan metastasis) maupun sebagai neoajuvan
(memperkecil tumor sebelum radioterapi atau pembedahan) (Anonim, 2000 a).
Antikanker diharapkan memiliki toksisitas selektif artinya menghancurkan
sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal. Terapi dikatakan baik apabila dosis
yang digunakan dapat membunuh sel kanker dan tidak terlalu mengganggu sel
normal yang berproliferasi (Ganiswarna, 1995).
Protein yang bersifat sitotoksik
Antikanker dari bahan alam berasal dari tumbuhan, hewan laut maupun
mikrorganisme. Pada tanaman tingkat tinggi, senyawa antikanker banyak tersebar
luas dan meliputi berbagai golongan senyawa seperti tanin, flavonoida, alkaloida,
saponin, iridoid, glikosida, kuasinoid, dan protein (Dewick, 1989 cit., Candra,
beracun. Daya racunnya disebabkan oleh antaraksi dengan subunit ribosom 60s
mamalia, mengakibatkan terjadinya hidrolisis beberapa ikatan glikosida-N dengan
akibat penghambatan sintesis protein (Robinson, 1995).
a. RIP (Ribosome-Inactivating Protein)
Beberapa tanaman mengandung protein sejenis Ribosome-Inactivating
Protein (RIP) yang memiliki aktivitas RNA N-glikosidase yang dapat
menginaktivasi kerja ribosome, sehingga berpotensi memiliki sifat sitotoksik
terhadap sel kanker dan dapat dikembangkan sebagai senyawa antikanker. RIP
juga memiliki kemampuan memotong DNA superkoil untai ganda menjadi bentuk
nik sirkuler dan nik linier yang mempunyai aktivitas menghambat sintesis protein
pada eukariotik (Ikawati, 2004).
b. Toksin
Toksin adalah substansi beracun yang dihasilkan oleh sel/organisme
hidup. Toksin sejenis protein yang mampu menyebabkan penyakit pada kontak
atau absorbsi dengan jaringan tubuh oleh interaksi dengan makromolekul biologi
seperti enzim / reseptor sel. Toksin A dan toksin B termasuk kelompok yang
disebut large clostridial exotoxins, masing-masing mempunyai karakteristik
pembeda. Keduanya mengganggu sitoskeleton dari sel epitel intestinal dengan
aksi pada pengaturan protein yang terlibat dalam actin polymerization. Toksin A
bertanggung jawab untuk semua gejala gastrointestinal yang berhubungan dengan
penyakit. Toksin A digolongkan enterotoksin karena menyebabkan kerusakan luas
pada jaringan mukosa usus. Toksin B mempunyai aktivitas sitotoksik yang lebih
toksin A untuk menginisiasi kerusakan jaringan dan menyediakan jalan masuk
toksin B ke sel intestinal (Treagan, 1996). Telah dikenal beberapa jenis toksin
yang mengandung kedua fragmen tersebut yaitu :
1) Pseudomonas aeruginosa : eksotoksin A juga menghambat sintesis protein
melalui faktor pemanjangan t-RNA EF-2.
2) Shigella dysenteriae : neurotoksin shiga menghambat sintesis protein melalui
unit ribosom 60S.
3) Vibrio cholerae : enterotoksin koleragen merangsang adenil-siklasa sehingga
produksi adenosin monofosfat (AMP) siklis berlebihan dan menginduksi
hilangnya cairan dan elektrolit (Johnson et al., 1994).
c. Antibodi-Imunoglobulin
Antibodi (Ab) merupakan suatu kelompok protein yang heterogen,
terdiri dari rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Antibodi
digunakan oleh sistem imun untuk mengidentifikasi dan menetralkan zat asing
seperti bakteri dan virus. Tiap antibodi mengenali suatu antigen spesifik yang unik
ke targetnya (Johnson et al., 1994).
Terdapat 5 tipe antibodi yaitu IgA, IgD, IgE, IgG, IgM. Karena
antibodi terdapat bebas dalam aliran darah atau terikat pada embran sel, maka
disebut bagian dari sistem imun humoral. Rancangan terapi antibodi monoklonal
telah diterapkan pada sejumlah penyakit (seperti rheumatoid arthritis) dan
beberapa bentuk kanker, dimana mengikat hanya untuk sel kanker-antigen
spesifik dan merangsang respon imunologi melawan sel kanker target. Pengikatan
antibodi pada sel tumor akan mematikan tumor dengan jalan :
1) Penempelan Ab pada reseptor Fc pada makrofag, PMN dan selanjutnya terjadi
fagositosis.
2) Penempelan Ab pada reseptor Fc pada sel pembunuh dan kemudian terjadi
lisis akibat sitotoksisitas sel yang tergantung pada antibodi.
3) Pengaktifan rangkaian lengkap komplemen dan menyebabkan lisisnya tumor.
4) Pengaktifan rangkaian komplemen untuk membuat C3b pada permukaan sel
tumor yang akan bereaksi dengan reseptor C3b pada makrofag dan PMN untuk
menggiatkan fagositosis (Johnson et al., 1994).
d. Komplemen
Komponen komplemen istilah kolektif untuk sekumpulan protein
heterogen yang berperan pada pengaktifan sekuensial dengan hasil akhir
hancurnya sel sasaran. Sifatnya termolabil (tidak tahan pemanasan). Sitotoksisitas
seluler dengan perantaraan komplemen didahului oleh pengikatan Ab pada
antigen permukaan sel atau akibat pembentukan kompleks Ag-Ab yang
1) urutan pengaktifan komplemen klasik yaitu dengan perantaraan antibodi IgG,
IgG2 IgG3 atau IgM.
2) jalur alternatif yaitu mulai dengan masuknya antigen tertentu (misalnya
lipopolisakarida, endotoksin, zimosan) dan kompleks Ag-Ab (Johnson et al.,
1994).
C. Protein
1. Tinjauan umum
Protein merupakan polipeptida berbobot molekul tinggi. Protein
memainkan peranan pokok dalam fungsi sel. Semua asam amino-α merupakan
asam organik (α-COOH) mengandung suatu gugusan amino (NH2) dan atom
hidrogen yang berikatan dengan α-karbon. Masing-masing berbeda satu sama lain
melalui komposisi kimiawi dari gugusan R (rantai samping). Gugusan α-COOH
dan α-NH2 terionisasi dalam larutan pada pH fisiologi, asam amino dalam
keadaan dipolar (zwitterion) (Armstrong, 1995).
Asam-asam amino dalam protein dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar
berdasarkan apakah gugus R yang melekat pada atom α-karbon merupakan gugus
polar ataukah non polar.
R C
H
COOH NH2
R
O H N H2
O
Pada pH sekitar ± 7,4 gugus karboksil hampir seluruhnya terdapat sebagai ion
karboksilat yaitu R-COO-. Pada nilai pH ini, sebagian besar gugus amino berada
dalam bentuk terikat (terprotonasi) yaitu R-NH3+ (Murray et al., 1995).
Pada pH dan suhu yang tinggi maka protein globular mengalami
perubahan fisik yang dinamakan denaturasi. Denaturasi adalah terbukanya lipatan
alamiah struktur protein. Zat-zat pendenaturasi (urea, guanidin hidroklorida) akan
memutuskan ikatan hidrogen dan memecahkan polipeptida yang berhubungan
secara non kovalen. Zat-zat pengoksidasi dan pereduksi memutuskan jembatan
disulfida, kemudian polipeptida dipisahkan dengan teknik kromatografi (Murray
et al., 1995). Jika denaturasi protein belum berlanjut maka polimer akan dapat
melipat lagi dan kembali pada struktur alamiahnya. Proses ini termasuk denaturasi
reversibel (Martoharsono, 1983)
Sifat kelarutan dan ionisasi dari gugusan R merupakan ciri asam amino
yang berpengaruh. Atas dasar dua karakteristik dari gugusan R-nya, ke-20 asam
amino diklasifikasikan menjadi empat kategori yaitu :
Kelompok R non polar, gugus alifatik R pada asam amino alanin, valin, leusin dan
isoleusin serta gugus aromatik R pada asam amino fenilalanin, tirosin dan
triptofan bersifat hidrofobik, yaitu sifat yang membawa konsekuensi penting bagi
penyusunan molekul-molekul air dalam protein di dekatnya (Murray et al., 1995).
Kelompok R polar tidak bermuatan, golongan yang mengandung 7 asam amino
ini secara relatif hidrofilik karena gugusan fungsional polar pada rantai
sampingnya antara lain serin, treonin, dan tirosin mengandung gugusan OH yang
sulfidril (-SH). Asparagin dan glutamin memiliki gugusan amida polar pada rantai
sampingnya (Armstrong, 1995).
Kelompok R polar bermuatan negatif (asam), baik asam aspartat dan asam
glutamat memiliki gugusan karboksil kedua, yang terionisasi penuh (bermuatan
negatif) pada pH fisiologis. Ionisasi ini secara bermakna menyumbang pada
polaritas dari rantai sampingnya.
Kelompok R polar bermuatan positif (basa), yaitu lisin, arginin, dan histidin
(Armstrong, 1995).
2. Pemurnian protein
Metode-metode yang dapat dilakukan pada tahap pemurnian protein
antara lain pengendapan dengan garam, kromatografi kolom (ion-exchange
chromatography, gel-filtration chromatography) dan elektroforesis.
a. Metode pengendapan dengan garam
Perbandingan gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik pada permukaan
protein menentukan kelarutannya. Kelarutan protein merupakan interaksi polar
dengan pelarut aqueous, interaksi ionik dengan garam, dan interaksi elektrostatik
antara molekul bermuatan sejenis. Kelarutan dapat ditingkatkan dengan
penambahan konsentrasi garam dikenal sebagai salting in (Rosenberg, 1996).
Protein mempunyai titik isoelektrik di mana besarnya muatan gugus asam
amino seimbang satu sama lain. Jika kekuatan ionik suatu larutan sangat tinggi
maupun sangat rendah protein akan mengendap pada titik isoelektrik tersebut.
Pengendapan amonium sulfat merupakan metode pemurnian protein dengan
molekul air terikat ion sulfat (SO4-2), sehingga mengurangi jumlah air yang
tersedia untuk interaksi dengan molekul protein. Pada konsentrasi tertentu
(NH4)2SO4, jumlah molekul air yang tertinggal tidak cukup untuk berikatan
dengan protein menyebabkan protein terendapkan (Rosenberg, 1996).
Pengendapan dengan amonium sulfat dapat terjadi karena penurunan kelarutan
protein karena garam yang ditambahkan pada konsentrasi tinggi disebut peristiwa
salting out (Wiseman, 1986).
Gambar 4. Mekanisme “salting out”
Proses pengendapan dilakukan dengan fraksinasi, bertujuan untuk
memisahkan campuran protein ke dalam suatu seri fraksi-fraksi protein sehingga
sebagian besar protein yang dimurnikan terdapat dalam suatu fraksi yang terpisah.
Fraksinasi protein dengan jalan pengendapan dapat dilakukan dengan
menggunakan amonium sulfat dalam konsentrasi tertentu. Protein yang
terendapkan dipisahkan dengan sentrifugasi atau filtrasi. Yang pertama kali
mengendap adalah globulin lalu albumin akan mengendap bila larutan sudah
Hasil pengendapan didialisis untuk menghilangkan amonium sulfat yang
digunakan untuk mengendapkan protein. Dialisis ini berdasarkan pada perbedaan
konsentrasi antara dua permukaan membran dialisis. Kecepatan dari dialisis dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan gradien konsentrasi dari larutan internal dan
eksternal. Molekul kecil, dalam hal ini adalah amonium sulfat, akan keluar dari
kantong dialisis dan protein yang mempunyai bobot molekul besar akan tetap
tertinggal di dalam kantong dialisis. Hal ini dapat terjadi karena membran dialisis
bersifat semipermeabel. Proses dialisis akan berhenti setelah tercapai keadaan
setimbang atau equilibrium (Scopes, 1994 cit., Darsini, 2003).
Gambar 5. Proses dialisis
b. Metode kromatografi kolom
Kromatografi kolom digunakan berikutnya untuk fraksinasi campuran
protein dalam larutan. Kolom silindris diisi dengan matriks yang tidak larut,
seringkali berupa butiran resin sintetik atau fiber selulosa tiruan. Campuran
protein dipindahkan ke kolom dan dicuci melewati matriks dengan penambahan
pelarut. Pelarut mengalir secara teratur ke dalam kolom dari penampung. Protein
pada interaksi antara matriks dan protein. Cairan yang keluar (eluat) dikumpulkan
menjadi fraksi-fraksi (Moran & Scrimgeour, 1994).
Konsentrasi protein tiap fraksi dapat ditentukan secara spektrofotometri
dengan mengukur absorbansi eluat pada 280 nm. Untuk mendapatkan protein
yang diharapkan, fraksi yang berisi protein kemudian harus diuji aktivitas biologis
atau beberapa sifat lainnya (Moran & Scrimgeour, 1994).
Pada ion-exchange chromatography, matriks berupa butiran atau fiber
yang membawa muatan positif (anion-exchange resins) atau muatan negatif
(cation-exchange resins). Anion-exchange mengikat protein bermuatan negatif,
menahannya dalam matriks untuk elusi berikutnya. Sebaliknya, cation-exchange
mengikat protein bermuatan positif. Protein yang terikat dapat dielusi bertingkat
dengan meningkatkan konsentrasi garam dalam larutan secara bertahap, karena
muatan ion garam dan protein yang sama mengikat matriks secara kompetitif
(Moran & Scrimgeour, 1994).
Pada gel-filtration chromatography, pemisahan protein berdasarkan
ukuran molekul menggunakan gel resin yang berupa butiran penyerap. Protein
yang lebih kecil dari ukuran pori rata-rata, banyak berpenetrasi ke bagian dalam
butiran dan diperlambat oleh matriks sehingga terelusi terakhir dari kolom.
Sedikit pori dapat menerima molekul protein yang lebih besar maka protein yang
paling besar bergerak melewati butiran dan terelusi pertama. Pemilihan ukuran
pori pada matriks gel-filtration tergantung pada bobot molekul protein yang
c. Elektroforesis
Pada elektroforesis, memisahkan protein berdasarkan perpindahan
molekul dalam medan listrik. Pada polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE),
sampel protein diletakkan pada highly cross-linked gel matrix, dan medan listrik
dialirkan. Matriks berupa buffer sampai pH yang sedikit basa supaya sebagian
besar protein adalah anionik dan bergerak ke arah anoda. Secara khusus, beberapa
sampel bergerak serentak bersama dengan sampel baku. Gel matriks
memperlambat pergerakan molekul-molekul besar selama berada di medan listrik.
Oleh sebab itu, protein terfraksinasi atas dasar muatan dan massa (Moran &
Scrimgeour, 1994). Sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis
(SDS-PAGE) adalah metode terbaik dalam mengidentifikasi dan memonitor
protein selama pemurnian dan memperkirakan bobot molekul protein (Deutscher,
1990).
3. Pengukuran kadar protein
Sejumlah metode tersedia untuk penetapan kandungan protein dalam
larutan protein yaitu metode Kjeldahl, spektrofotometri UV, dan kolorimetri
(Bicinchoninic Acid [BCA], Bradford, Biuret, Lowry).
a. Spektrofotometri UV
Pada spektrofotometri UV, absorbansi yang terukur berasal dari
asam-asam amino aromatik (triptofan dan tirosin). Banyak protein memiliki absorbansi
maksimum pada 280 nm, dengan kandungan asam amino aromatiknya. Asam
nukleat atau komponennya menganggu dalam pengukuran, kandungan cincin
absorbansi yang lebar ini menganggu pengukuran selektif protein pada 280 nm.
Maka dari itu perlu mengukur pula kadar asam nukleat pada λ 260 nm sebagai
faktor koreksi (Kerese, 1984).
b. Metode Lowry
Pada metode ini berdasarkan dua reaksi yaitu pembentukan kompleks
warna ion Cu2+ dengan adanya ikatan peptida dan reduksi
fosfomolibdat-fosfotungstat (reagen Folin-Ciocalteu) oleh asam amino aromatik. Metode ini
membutuhkan waktu lama tetapi sangat akurat dan reprodusibel, dan sensitif
(Bergmeyer, 1974).
c. Metode Biuret
Prinsip metode ini adalah pembentukan kompleks warna reagen Cu
dengan ikatan peptida, dimana intensitas warna dapat dibaca secara kolorimetri.
Reaksi biuret tergantung pada susunan kompleks antara ion tembaga (II) dan
empat atom peptida-N dibawah suasana alkalis membentuk kompleks berwarna
biru-ungu yang mengindikasikan keberadaan protein (Kerese, 1984).
d. Metode Kjeldahl
Penentuan nitrogen sebagai dasar kandungan protein, sekarang tidak lagi
penting. Metode ini membutuhkan waktu yang lama dan seringkali membutuhkan
persiapan sampel untuk menghilangkan kandungan selain nitrogen. Pengukuran
kadar protein dalam metode Kjeldahl didasarkan pada pengukuran proporsi
nitrogen dimana konsentrasi nitrogen dalam protein sebesar 16% (Bergmeyer,
e. Metode Bradford dan Bicinchoninic Acid (BCA)
Pada metode Bradford ditambahkan reagen Coomassie Brilliant Blue
G-250 yang akan berinteraksi hidrofobik dan ionik dengan protein menghasilkan
suatu warna yang diukur absorbansinya secara kolorimetri untuk menetapkan
kadar proteinnya (Anonim, 2006 c).
Pada metode BCA menggunakan reagen Folin yang akan berinteraksi
dengan senyawa kompleks antara ion kupri dan ikatan peptida. Penetapan kadar
protein dengan mengukur absorbansi kompleks warna biru secara kolorimetri
(Anonim, 2006 c).
D. Kultur Sel
Kultur sel adalah proses dimana baik sel prokariotik maupun eukariotik
tumbuh di bawah kondisi yang terkontrol. Kultur sel diperoleh dari baik jaringan
utama eksplan/sel maupun suspensi sel. Kultur sel primer secara khas akan
mempunyai jangka hidup yang terbatas dalam kultur sedangkan bentuk sel
berkelanjutan, dalam arti, bentuk sel sering diubah dan abnormal. Cell lines
tumbuh dan dijaga pada kondisi yang baik (secara khas, 37°C, 5% CO2) dalam
inkubator sel sebab medium yang digunakan adalah buffer dengan sodium
bikarbonat dan pH harus diperhatikan. Kultur harus diperiksa setiap hari,
mengamati morfologi, warna medium dan kepadatan sel. Sel dipanen ketika sel
sudah mencapai suatu kepadatan populasi yang pertumbuhannya ditekan-tekan
1. Morfologi sel kanker dan sel normal
Sel kanker memiliki ciri morfologi yang spesifik yaitu intinya lebih besar
daripada sel normal, distribusi kromatin dalam inti kasar, jumlah nukleolinya
meningkat dengan ukuran yang lebih besar daripada nukleoli sel normal, dan sel
kanker tidak menunjukkan adanya inhibisi kontak (terikat erat satu dengan yang
lainnya) (Anonim, 2004).
2. Sel Vero
Sel Vero digunakan dalam kultur sel. Sel Vero adalah sel garis keturunan
Vero, diperoleh dari sel epitelial ginjal dari monyet hijau Afrika (Cercopithecus
aethiops). Garis keturunan Vero diisolasi pada 27 Maret 1962, oleh Yasumura dan
Kawakita di Universitas Chiba, Jepang. Sel Vero digunakan dalam kultur sel
untuk banyak tujuan yaitu skrining untuk toksin E.coli (Verotoxin) dan sebagai sel
host untuk tumbuhnya virus (Anonim, 2006 d).
3. Sel SiHa
Menurut Sofian, ginekolog RS Cipto Mangunkusumo, 90% kasus kanker
leher rahim diduga kuat akibat virus yang bernama Human Papilloma Virus
(HPV) yang ditemukan pada tahun 1990, khususnya tipe 16 dan 18. Sel SiHa
adalah salah satu bentuk tumor serviks. Sel SiHa diperoleh dari fragmen sampel
jaringan primer dari suatu karsinoma serviks dan merupakan squamosa yang tidak
terdiferensiasi. Sel SiHa diperoleh dari karsinoma serviks yang diambil melalui
pembedahan, mempunyai satu atau dua salinan DNA HPV-16 pada kromosom 13.
digunakan sebagai model sel karsinoma serviks dalam kerja penelitian (Ishibashi,
2006).
Medium pertumbuhan dari sel SiHa menggunakan medium RPMI
(Rosswell Park Memorial Institute) 1640 ditambah dengan 2mM L-Glutamine dan
10% Foetal Bovine Serum (FBS). Medium ini dapat memelihara antara 3-9 x 105
sel/ml. Medium RPMI 1640-serum mengandung nutrisi yang dibutuhkan sel
seperti asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa serta
dilengkapi dengan serum yaitu suatu hormon yang akan memacu pertumbuhan
sel. Seluruh komponen dalam medium RPMI 1640-serum berguna untuk
memberikan nutrisi yang cukup pada sel supaya sel dapat bertahan hidup dan
dapat memperbanyak diri. Medium pertumbuhan untuk sel Vero menggunakan
medium M199 (Freshney, 1986). Komposisi medium RPMI 1640 dan M199 dapat
dilihat pada Lampiran 7.
E. Sitotoksisitas
Sitotoksisitas ialah sifat toksis/beracun suatu senyawa terhadap sel hidup.
Uji sitotoksisitas ialah suatu uji yang secara in vitro menggunakan kultur sel
dalam mengevaluasi keamanan obat, makanan, kosmetik maupun bahan-bahan
kimia lainnya. Uji ini selain menggunakan kultur sel juga menggunakan primer
kultur dan juga studi farmakokinetika in vitro untuk mengembangkan obat-obat
terapetik dan mengamati toksisitas baik akut maupun kronik (Freshney, 1986).
Penggunaan uji sitotoksisitas pada kultur sel merupakan uji kualitatif dan
dilakukan dengan berbagai metode penunjuk viabilitas atau penunjuk toksisitas
yang seringkali didasarkan pada parameter kerusakan membran, perubahan
kemampuan metabolisme serta perubahan morfologi sel (Snell & Mullock, 1987).
Uji sitotoksik untuk uji aktivitas antineoplastik menunjukkan adanya perbedaan
respon dari populasi sel kanker yang berbeda dan respon yang diberikan oleh sel
kanker lebih besar daripada sel normal (Freshney, 1986).
Sejumlah metoda telah dikembangkan untuk mempelajari kelangsungan
hidup sel (viabilitas) dan perkembangbiakan (proliferasi) dalam populasi sel.
Pengujian modern yang sederhana telah dikembangkan yaitu suatu bentuk
microplate (96-well plate). Uji sitotoksisitas dengan cara ini ekonomis dan mudah
perlakuannya, serta dapat dilihat mata dengan baik. Piringan 96 sumuran (96-well
plate), masing-masing sumuran mempunyai luas 28-32 mm2 dan kapasitas untuk
0,1-0,2 ml media dan 5.104–1.105 sel. Mikrotitrasi memberikan suatu metode uji
sitotoksisitas terhadap sampel dalam jumlah yang banyak (Freshney, 2000 cit.,
Widyastuti, 2000).
Salah satu metode penunjuk sitotoksisitas adalah dengan pengujian secara
kolorimetri. Satu parameter yang digunakan sebagai dasar pengujian secara
kolorimetri adalah aktivitas metabolisme pada sel hidup. Sebagai contoh,
pengujian dengan microtiter plate metode MTT
[3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide] dimana terbukti lebih akurat dan menghemat waktu
dibandingkan hitungan konvensional hemositotometer. Uji MTT untuk pertama
kali diuraikan oleh Mosmann pada tahun 1983, didasarkan pada kemampuan
tetrazolium pada MTT yang berwarna kuning pucat dan membentuk kristal
formazan berwarna ungu yang tidak dapat keluar menembus membran sel,
sehingga terakumulasi dalam sel hidup (Mosmann, 1983).
NH
Gambar 6. Struktur molekul dari MTT dan hasil reduksinya
Setelah inkubasi sel dengan MTT kira-kira 2-4 jam, ditambahkan larutan
deterjen ke sel lisis dan melarutkan kristal berwarna. Warna ungu formazan harus
kelihatan di dalam sel sebelum larutan deterjen dapat ditambahkan. Jumlah sel
yang masih hidup berbanding lurus dengan kadar formazan yang terbentuk.
Warna kemudian dapat diukur secara kolorimetri. Hasil dibaca dengan
menggunakan ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay) reader pada
panjang gelombang 570 nm (absorbansi maksimum). Intensitas warna yang
dihasilkan berbanding lurus dengan jumlah sel hidup (Anonim, 2006 e).
Metode lain yang juga dapat digunakan dalam penilaian sitotoksisitas
antara lain :
1. Metode neutral red uptake
Metode ini menggunakan neutral red dye, yang secara khusus diserap dan
terakumulasi ke dalam lisosom sel hidup. Absorbansi dibaca pada 540 nm dengan
dengan jumlah sel hidup. Kekurangan pada metode ini adalah pengendapan dye
berbentuk kristal seperti jarum, halus, dan terlihat jelas. Metode ini sangat
sederhana, cepat, sensitif, dan ekonomis (Barile, 1997).
2. Metode trypan blue
Trypan blue pertama kali disintesis tahun 1890 oleh ahli kimia di Jerman.
. Gambar 7. Struktur trypan blue
Trypan blue, suatu noda khusus yang mewarnai jaringan mati atau sel
menjadi biru. Ini merupakan diazo dye. Tes dengan trypan blue secara kualitatif
dan menandai hanya jika suatu sel dalam keadaan hidup serta hasil dibaca dengan
individual. Sel atau jaringan hidup dengan membran sel tetap utuh tidak akan
diwarnai. Karena sel sangat selektif pada senyawa yang menembus membran,
dalam sel hidup trypan blue tidak diserap. Karenanya, sel mati ditunjukkan
sebagai warna biru yang membedakan di bawah mikroskop (Anonim, 2006 f).
3. Aktivitas LDH (Lactate Dehidrogenase)
Metode ini berdasarkan konsep bahwa sel yang mati melepaskan LDH ke
dalam medium yang dapat diukur dengan metode spektrofotometri. Metode ini
mengukur secara kuantitatif viabilitas sel yang hilang dan merespon viabilitas sel,
bervariasi tergantung tipe sel dan pelepasannya dari sel yang bervariasi tergantung
besarnya kerusakan membran untuk melisis sel (Doyle and Griffiths, 2000).
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui hubungan empiris
antara pengaruh pemberian fraksi protein umbi teki FP20, FP40, FP60, dan FP80
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian sitotoksisitas fraksi protein umbi teki FP20, FP40, FP60, dan FP80
terhadap kultur sel SiHa ini termasuk penelitian eksperimental murni dengan
rancangan acak lengkap pola satu arah.
B. Variabel-Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Kadar fraksi protein umbi teki FP20, FP40, FP60, dan FP80 yaitu 4000 μg/ml ;
2000 μg/ml ; 1000 μg/ml ; 500 μg/ml ; 250 μg/ml ; dan 125 μg/ml.
2. Variabel tergantung
Prosentase kematian sel SiHa dan sel Vero.
3. Variabel pengacau terkendali
a. tempat tumbuh dan waktu pemanenan umbi teki dikendalikan dengan
mengambil umbi pada tempat dan waktu yang sama
b. medium tumbuh sel dikendalikan dengan menggunakan medium RPMI
1640 yang mengandung FBS 10% (sel SiHa) dan M199 (sel Vero)
c. pH serta suhu pembuatan dan penyimpanan fraksi protein, dikendalikan
pada pH 7,2 dan suhu ± 4oC
4. Variabel pengacau tak terkendali
Kematian alami sel SiHa dan Vero dan umur tumbuhan rumput teki.
5. Definisi operasional
a. Sitotoksisitas ialah uji toksisitas secara in vitro terhadap sel SiHa dan sel
Vero dengan metode MTT.
b. Fraksi protein (FP20, FP40, FP60, FP80) ialah bagian dari tanaman yang
berisi protein yang diperoleh dari hasil pengendapan secara bertingkat
dengan garam amonium sulfat pada derajat kejenuhan 20%, 40%, 60%,
80%.
c. LC50 ialah konsentrasi fraksi protein umbi teki yang dapat membunuh
sebesar 50% sel uji.
d. Sel SiHa adalah subjek uji (sel kanker) dalam uji sitotoksisitas.
e. Sel Vero adalah pembanding (sel normal) dalam uji sitotoksisitas.
C. Alat dan Bahan 1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain: alat-alat gelas,
stamper, mortir, timbangan analitik (AND ER-400 H), alumunium foil, magnetic
stirrer, tabung conical, autoklaf, tissue culture flask, swing rotor sentrifuge
(PLC), inkubator (Memmer), mikropipet, membran dialisis (Sigma), cell counter
(Nunc), 96-well plate (Nunc), spektrofotometer UV (Cecil CE-292), ELISA
reader (SLT 340 ATC), laminar air flow (Nuaire), mikroskop (Olympus IMT-2),
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah :
a. Sampel umbi teki
b. Kultur sel SiHa dan sel Vero yang diambil dari stok di Laboratorium Hayati
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
c. Pereaksi-peraksi yang digunakan untuk preparasi fraksi protein umbi teki :
larutan dapar natrium fosfat 5 mM pH 7,2 ; larutan dapar natrium fosfat 5 mM
pH 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl ; amonium sulfat p.a. (Merck)
d. Pereaksi-pereaksi untuk uji sitotoksisitas
Medium pencuci : RPMI 1640 (Sigma), natrium bikarbonat, Hepes ; medium
penumbuh : RPMI 1640, FBS (Foetal Bovine Serum) 10%,
Penisilin-Streptomisin 1% (Gibco), dan Fungison 0,5% (Gibco) ; reagen stopper : SDS
(Sodium Dodesil Sulfat) dalam HCl 0,01 N ; MTT
[3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide] (Sigma) ; bahan untuk isolasi sel SiHa
dan sel Vero : tripsin 0,25%
D. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tumbuhan
Bahan utama yang akan digunakan dalam penelitian yaitu umbi teki (Cyperus
rotundus L.), telah diidentifikasi dan determinasi terlebih dahulu di laboratorium
Farmakognosi Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta dan juga dipastikan kebenarannya menggunakan acuan baku (Backer
2. Pengumpulan umbi teki
Umbi teki yang digunakan diambil dari Bandelan, Sumberarum, Moyudan,
Sleman (tepi Sungai Progo), pada bulan Juli 2006.
3. Sterilisasi alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini harus disterilkan terlebih
dahulu untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Alat-alat dicuci bersih dengan
sabun dan dikeringkan, setelah itu dibungkus dengan alumunium foil dan
disterilkan dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C (Anonim, 1995).
4. Pembuatan medium pencuci dan medium penumbuh
a. Pembuatan medium pencuci
RPMI 1640 dilarutkan dalam aquabidest kurang lebih 80 ml, ditambah 2,3 g
natrium bikarbonat, 2 g Hepes, diencerkan sampai 100 ml, pH dibuat 7,2, lalu
disterilkan dengan filter berdiameter 0,22 μm. Medium disimpan dalam almari es
pada suhu 4oC (Freshney, 1986; Jacoby dan Pastan, 1979; Sambrook et al., 1989).
b. Pembuatan medium kultur (RPMI 1640-serum)
Untuk medium RPMI 1640-serum, ditambahkan FBS 10%,
penisilin-streptomisin 1% dan fungison 0,5% dalam medium RPMI 1640 dan disterilkan
dengan filter berdiameter 0,22 μm. Media disimpan dalam almari es pada suhu
4oC (Freshney, 1986; Jacoby dan Pastan, 1979; Sambrook et al., 1989).
5. Preparasi sampel
a. Pembuatan fraksi protein dari umbi teki
Umbi teki dikumpulkan segar, diseleksi lalu dicuci bersih dengan air
dimasukkan ke dalam plastik dan disimpan dalam freezer selama dua malam.
Bahan ditumbuk halus dengan penambahan sesedikit mungkin dapar natrium
fosfat 5mM pH 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl pada suhu 4°C. Bahan
diperas dengan kain monel, ditampung dalam tabung conical yang bersih dan
steril. Cairan yang diperoleh disentrifus dengan 2010 xG selama 20 menit.
Supernatan dikumpulkan dalam beaker glass 1000 ml dan diendapkan proteinnya
dengan menambahkan amonium sulfat sebanyak 79,8 gram, stirrer semalam.
Kemudian disentrifus lagi 2010 xG selama 20 menit suhu 4°C. Supernatan (1)
ditampung dalam beaker glass 1000 ml sedangkan pelet yang diperoleh dilarutkan
dalam sesedikit mungkin larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2 ; kemudian
didialisis dengan tabung dialisis dalam larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2
selama semalam. Hasil dialisis disentrifus 2010 xG selama 20 menit suhu 4°C.
Pelet dibuang dan supernatan diambil. Supernatan ini merupakan sampel FP20.
Supernatan (1) yang ditampung tadi kemudian ditambah dengan amonium
sulfat sebanyak 74,2 gram, stirrer semalam. Kemudian disentrifus lagi 2010 xG
selama 20 menit pada suhu 4°C. Supernatan (2) ditampung dan pelet yang
diperoleh dilarutkan dalam sesedikit mungkin larutan dapar natrium fosfat 5mM
pH 7,2 ; kemudian didialisis selama semalam. Hasil dialisis disentrifus 2010 xG
selama 20 menit suhu 4°C. Pelet dibuang dan supernatan merupakan sampel FP40.
Supernatan (2) yang ditampung tadi kemudian ditambah dengan amonium
sulfat sebanyak 87,22 gram, stirer semalam. Kemudian disentrifus lagi 2010 xG
selama 20 menit pada suhu 4°C. Supernatan (3) ditampung dan pelet yang