• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Prediksi Rekurensi Terapi Idiopathic Clubfoot Dengan Metode Ponseti Di RS. Orthopaedi Prof. Dr. dr. R. Soeharso Nur Kholis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor Prediksi Rekurensi Terapi Idiopathic Clubfoot Dengan Metode Ponseti Di RS. Orthopaedi Prof. Dr. dr. R. Soeharso Nur Kholis"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR

-

FAKTOR PREDIKSI REKURENSI TERAPI

IDIOPATHIC CLUBFOOT

DENGAN METODE

PONSETI DI RS ORTHOPAEDI

PROF. DR. dr. R. SOEHARSO

SURAKARTA

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Kedokteran Keluarga

Oleh

Nur Kholis Majid

NIM S500809020

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KELUARGA

MINAT UTAMA BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

ii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(3)
(4)

iv

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir dengan judul :

FAKTOR-FAKTOR PREDIKSI REKURENSI TERAPI IDIOPATHIC

CLUBFOOT DENGAN METODE PONSETI DI RS ORTHOPAEDI

PROF. DR. dr. R. SOEHARSO

SURAKARTA

Karya ilmiah akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Tesis ini tidak akan terselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak, baik berupa dukungan moril maupun materiil. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

dr. Anung Budi Satriadi Sp.OT (K) selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan saran, nasehat, perhatian dan pengarahan selama penyusunan karya akhir ini.

dr. Brian Wasita, Ph.D selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan saran, nasehat, perhatian dan pengarahan selama penyusunan karya akhir ini.

Seluruh staf Orthopaedi & Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSO Prof. Dr. dr. R. Soeharso / RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

(6)

vi

Kedua orangtua dan kedua mertua saya yang telah memberikan semangat, dukungan dan dorongan yang terus-menerus dalam penyelesaian karya akhir ini.

Istriku Senja Puspita Dewi dan anak-anakku tercinta (Naya dan Nasya) yang telah memberikan motivasi dan doa dalam penyelesaian karya akhir ini.

Seluruh Residen Orthopaedi & Traumatologi FK UNS yang selama ini bersama dalam suka dan duka

Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Kami berharap karya akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik bagi pasien. Amin.

Terimakasih

Hormat kami,

Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI…...v

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR GRAFIK... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah…... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Manfaat Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori ……… 6

2.1.1 Clubfoot………... 6

2.1.1.1. Insidensi... 6

2.1.1.2. Etiologi..…………..……... 7

2.1.1.3. Patogenesis…..…... 8

2.1.1.4. Kelainan Anatomi…... 9

2.1.1.5. Diagnosis Clubfoot... 12

2.1.1.6. Metode Ponseti……….. 12

(8)

viii

2.1.2 Faktor-Faktor Prediksi Rekurensi Metode Ponseti.…..…………...21

2.2. Kerangka Pemikiran…... 25

2.3. Hipotesa...….…... 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian... 27

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 27

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 27

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi. ……... 28

3.5 Rancangan Penelitian………... 28

3.6 Variabel Penelitian……….……... 29

3.7 Definisi Operasional Variabel..…... 29

3.8 Instrumen Penelitian…………... 31

3.9 Cara Pengumpulan Data….………... 32

3.10 Etika Penelitian….………….. …………... 32

3.11 Analisa Data...…... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Hasil 4.1.1 Distribusi Jenis Kelamin……… 33

4.1.2 Distribusi Sisi Kaki……… 34

4.1.3 Distribusi Umur……… 34

4.1.4 Distribusi Tingkat Severity………... 35

4.1.5 Distribusi Kepatuhan Periode Bracing……….. 36

4.1.6 Distribusi Kemudahan Akses ke Rumah Sakit……….. 37

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(9)

4.1.7 Distribusi Tingkat Pendidikan Caregiver……….. 38

4.1.7 Distribusi Tingkat Ekonomi Caregiver……….. 39

4.1.8 Distribusi Rekurensi………... 40

4.2Pembahasan………... 40

4.2.1 Pengaruh Umur Saat Mulai Terapi Terhadap Tingkat Rekurensi……… 41

4.2.2 Pengaruh Severity Saat Mulai Terapi Terhadap Tingkat Rekurensi……. 42

4.2.3 Pengaruh Kepatuhan dalam Periode Bracing Terhadap Tingkat Rekurensi……….. 42

4.2.4 Pengaruh Kemudahan Akses ke Rumah Sakit Terhadap Tingkat Rekurensi………... 43

4.2.5 Pengaruh Tingkat Pendidikan Orangtua/Caregiver terhadap Tingkat Rekurensi…………..………... 44

4.2.6 Pengaruh Tingkat Ekonomi Orangtua/Caregiver terhadap Tingkat Rekurensi……….. 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 47

5.2 Saran... 47

DAFTAR PUSTAKA... 49

LAMPIRAN... 52

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Deviasi talar neck ...... 10

Gambar 2. Pemasangan gips sampai paha... 16

Gambar 3. Skoring clubfoot menurut Diméglio... 19

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(11)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Prosentase Jenis Kelamin ... 32

Grafik 2. Prosentase Sisi Kaki……… 33

Grafik 3. Distribusi Umur……… 33

Grafik 4. Distribusi Severity... 34

Grafik 5. Distribusi Kepatuhan Dalam Periode Bracing………. 35

Grafik 6. Distribusi Kemudahan Akses ke Rumah Sakit……… 36

Grafik 7.Distribusi Tingkat Pendidikan Caregiver……… 37

Grafik 8. Distribusi Tingkat Ekonomi Caregiver……… 38

Grafik 9. Distribusi Rekurensi……… 39

(12)

FAKTOR-FAKTOR PREDIKSI REKURENSI TERAPI IDIOPATHIC CLUBFOOT

DENGAN METODE PONSETI DI RUMAH SAKIT ORTHOPEDI PROF.DR.dr.

R.SOEHARSO SURAKARTA

Nur Kholis Majid*, Anung Budi Satriadi**, Brian Wasita***

*Mahasiswa Program Studi Magister Kedokteran Keluarga-Minat utama Biomedik,Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,Surakarta.

**Staff Pengajar Departemen Orthopaedi & Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret – RSO Prof DR.R. Soeharso,Surakarta.

*** Staff Pengajar Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Pascasrajana Universitas Sebelas Maret,Surakarta.

ABSTRAK

Latar belakang :Idiopathic clubfoot merupakan kelainan deformitas yang kompleks yang sulit

dikoreksi. Tujuan terapinya untuk mengkoreksi deformitas supaya pasien memiliki kaki yang fungsional, tidak nyeri, plantigrade, mobilitas yang bagus, tidak ada callus, juga tidak memerlukan sepatu modifikasi. Metode Ponseti terbukti efektif untuk terapi idiopathic clubfoot, tetapi memerlukan 2 sampai 4 tahun untuk bracing. Oleh karena itu, apabila metode Ponseti tidak berhasil, kegagalan tersebut seringnya berhubungan dengan ketidakpatuhan pada waktu periode bracing. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor prediksi terhadap kekambuhan clubfoot setelah diterapi dengan Ponseti.

Metode : Penelitian dilakukan di klinik clubfoot RS. Orthopedi Prof. Soeharso dari Januari 2013

sampai Juli 2013. Dengan kasus 100 pasien diterapi dengan metode Ponseti diteliti secara cross

sectional. Faktor prediksi seperti umur pada saat mulai terapi, severity, tingkat ekonomi dan

pendidikan orangtua atau caregiver, kemudahan akses ke rumah sakit, dan kepatuhan periode

bracing dianalisis dengan regresi logistic ganda dalam hubungannya dengan kekambuhan.

Hasil : Orangtua/caregiver dari lima pasien tidak patuh saat bracing. Ketidakpatuhan merupakan

faktor utama resiko kekambuhan, dengan nilai significans 0.001 (p < 0,05). Tidak ada hubungannya antara umur saat mulai terapi, severity saat mulai terapi, tingkat ekonomi dan pendidikan orangtua atau caregiver dan kemudahan akses ke rumah sakit dengan tingkat kekambuhan clubfoot.

Kesimpulan : Ketidakpatuhan dalam periode bracing merupakan faktor resiko kekambuhan

clubfoot setelah diterapi dengan metode Ponseti. Identifikasi pasien yang mempunyai resiko

kekambuhan dibutuhkan intervensi yang lebih untuk meningkatkan kepatuhan orangtua atau

caregiver dalam periode bracing supaya meningkatkan keberhasilan.

Kata Kunci : Metode Ponseti, Idiopathic clubfoot, Faktor Prediksi Keberhasilan Ponseti.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(13)

METHOD FOR THE TREATMENT OF IDIOPATHIC CLUBFOOT

AT PROF.DR.dr. R.SOEHARSO ORTHOPEDIC HOSPITAL

SURAKARTA

Nur Kholis Majid*, Anung Budi Satriadi**, Brian Wasita***

*Student of Family Medicine Master Program-Biomedic, Postgraduate school, Sebelas Maret University,Surakarta. **Teaching staff, Departement of Orthopaedic and Traumatology, Faculty of Medicine Sebelas Maret University- Soeharso Orthopaedic Hospital. Surakarta.

*** Teaching Staff of Family Medicine Master Program-Biomedic, Postgraduate school, Sebelas Maret University,Surakarta

ABSTRACT

Background :Idiopathic clubfoot is a complex deformity that is difficult to correct. The goal of

the treatment is to reduce or eliminate these four deformity so that the patient has a functional, pain-free, plantigrade foot, with good mobility and without calluses, and does not need to wear modified shoes. Ponseti method has proven to be effective in the treatment of idiopathic clubfoot but it require two to four years for orthotic management. In those instances the Ponseti method when unsuccessful, this failure is frequently due to noncompliance with the use of the post-casting abduction orthosis. The purpose of this study was to determine for predictive reccurent to the foot deformities in patient treated with this method..

Method :We conduct the study at Clubfoot Clinic Soeharso Orthopaedic Hospital Surakarta, since January 2013 until July 2013. The cases of one hundred patients treated with use of Ponseti method were examine cross –sectional analytically. The predictive factors, such as the initial age and severity of initiation of treatment, educational and economical level of the parents or caregiver, access to the hospital and compliance with bracing, were examined with use of logistic regression modelling in relation to reccurence.

Result :The parents of five patients did not comply with the bracing. Noncompliance was the factor most related to the risk of reccurence, with significant value 0,001 (p < 0,05). With the number available, no significant relationship was found between age of the patient at initiation treatment, initial severity of the deformity, parental or caregiver educational and economical level, and access to the hospital with the risk of reccurence of the clubfoot deformity.

Conclusion : Noncompliance is a significant risk factors for the reccurence of clubfoot

deformity after correction with the Ponseti method. The identification of patients who are at risk for reccurence may allow intervention to improve the compliance of the parents with regard to the use of bracing, and, as a result, improve outcome.

Keyword :Ponseti method, idiopathic clubfoot, factors predictive of outcome

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Clubfoot merupakan kelainan bawaan sejak lahir yang paling sering

terjadi. Insidensinya 1-2 per 1000 kelahiran hidup. Kurang lebih 80%

clubfoot muncul sebagai kelainan bawaan yang berdiri sendiri dan dianggap

sebagai idiopathic. Ignacio Ponseti, dari University of Iowa, Iowa, Amerika Serikat, pertama kali mempublikasikan metodenya mengenai terapi clubfoot

pada tahun 1963 tetapi belum mendapat sambutan secara luas. Setelah publikasi dua penelitian yang dilakukan oleh Laaveg dan Ponseti (1980) dan Cooper & Dietz (1995) maka keraguan para ahli orthopaedi terhadap metode Ponseti mulai hilang dan perlahan-lahan metode Ponseti menjadi terapi awal penanganan clubfoot di seluruh dunia. Penelitian oleh Laaveg dan Ponseti (1980) melaporkan bahwa pada pengamatan terapi terhadap 70 penderita

clubfoot dengan metode Ponseti setelah 10–27 tahun setelah tindakan.

Hasilnya menunjukkan bahwa 88,5% kaki dengan fungsi yang memuaskan dan 90% penderita menyatakan puas terhadap fungsi dan penampilan kakinya (Avilucea, 2009; Goksan, 2006; Noam, 2006; Penny, 2005).

Semenjak itu metode nonoperative dengan metode Ponseti untuk penanganan clubfoot telah diterima sebagai terapi awal dan terbukti efektif untuk penanganan clubfoot. Tujuan terapi clubfoot adalah untuk mencapai dan mempertahankan koreksi clubfoot sedemikian rupa sehingga pasien

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(15)

memiliki kaki yang fungsional, tidak nyeri, plantigrade, dengan mobilitas yang baik. Walaupun beberapa penelitian menunjukkan bahwa masalah ketaatan pasien terhadap pemakaian bracing mempunyai peran meningkatnya tingkat rekurensi (Avilucea, 2009; Kasser, 2006; Noam, 2006).

Proses terapi metode Ponseti tersebut meliputi serial manipulasi dan

casting setiap minggu untuk mengkoreksi deformitas clubfoot. Cavus

merupakan deformitas yang pertama kali dikoreksi dalam metode Ponseti. Sedangkan adduksi pada forefoot, dan varus pada hindfoot dikoreksi secara simultan. Untuk mempertahankan koreksi tersebut, kaki harus dipertahankan dalam posisi abduksi 70 derajat. Untuk equinus dikoreksi terakhir kali dengan

dorsofleksi kaki setelah adduksi dan varus terkoreksi. Jika dorsofleksi kurang

dari 15 derajat dilakukan tindakan operasi baik open atau percutaneus

Achilles tendo lengthening. Setelah itu, untuk mempertahankan koreksi

deformitas digunakan Foot Abduction Brace yang dipakai full time untuk 2 sampai 3 bulan pertama. Kemudian nap and night time sampai anak umur 2-4 tahun (Ponseti, 1963; Salter, 1999).

Tantangan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dari metode Ponseti ini tidak hanya tergantung pada koreksi deformitasnya, tetapi juga bagaimana mencegah rekurensinya. Dari beberapa literatur disebutkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya rekurensi clubfoot setelah berhasil diterapi dengan metode Ponseti antara lain umur dan deformitas kaki pada initial

terapi, tingkat kepatuhan dalam periode bracing, tingkat ekonomi dan pendidikan orangtua/caregiver dan kemudahan akses ke rumah sakit.

(16)

3

Penyebab paling sering terjadinya rekurensi adalah ketidaktaatan dalam periode bracing. Faktor-faktor sosial-ekonomi, kultural dan komunikasi dokter-orangtua pasien mempunyai pengaruh terhadap tingkat kepatuhan orangtua dalam periode bracing (Avilucea, 2009). Problematika di negara-negara miskin dan berkembang berupa kemiskinan, kurangnya pengetahuan dengan sarana kesehatan yang terbatas, kurangnya tenaga medis yang memadai menyebabkan keterlambatan penanganan awal untuk penanganan

clubfoot. Kelainan bentuk kaki yang terjadi menjadi lebih berat pada saat

anak mulai belajar berjalan, karena tumpuan beban berat badan terletak pada sisi lateral dorsum pedis sehingga menambah berat deformitas yang terjadi (Cooper, 1995; Laaveg, 1980).

Penelitian yang dilakukan oleh Dobbs MB (2007) menunjukkan bahwa ketidakpatuhan orangtua pasien dan tingkat pendidikan orangtua merupakan faktor resiko yang signifikan terhadap tingkat rekurensi clubfoot setelah mendapat terapi metode Ponseti. Sedangkan Avilucea (2009) menyebutkan jarak antara rumah pasien dengan rumah sakit dan tingkat pendidikan orangtua kurang dari sama dengan SMA mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap tingkat kegagalan metode Ponseti. Goksan (2006) juga menyebutkan bahwa kepatuhan orangtua terhadap Foot Abduction Brace

merupakan faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap rekurensi (Avilucea, 2009; Dobbs, 2007; Goksan, 2006).

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik penderita

clubfoot yang datang ke Klinik Clubfoot RSO Prof. Dr. dr. R. Soeharso

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(17)

Surakarta serta mengevaluasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya rekurensi (predictive factors) pada penderita clubfoot yang datang ke Klinik Clubfoot RSO Prof. Dr. dr. R. Soeharso Surakarta setelah berhasil diterapi dengan metode Ponseti yang dilakukan di Klinik Clubfoot RSO Prof. Dr. dr. R. Soeharso Surakarta.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Bagaimana hubungan faktor-faktor prediksi rekurensi penderita clubfoot

(umur dan severity saat mulai terapi, kepatuhan orangtua/caregiver dalam periode bracing, tingkat ekonomi dan pendidikan orangtua/caregiver, kemudahan akses ke Rumah Sakit) yang datang ke Klinik Clubfoot RSO Prof. Dr. dr. R. Soeharso Surakarta terhadap kejadian rekurensi penderita

clubfoot setelah berhasil ditangani dengan metode Ponseti di Klinik Clubfoot

RSO Prof. Dr. dr. R. Soeharso Surakarta?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Mengetahui hubungan faktor-faktor prediksi rekurensi penderita

clubfoot (umur dan severity saat mulai terapi, kepatuhan orangtua/caregiver

(18)

5

clubfoot setelah berhasil ditangani dengan metode Ponseti di Klinik Clubfoot

RSO Prof. Dr. dr. R. Soeharso Surakarta.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Penelitian ini akan memberikan informasi mengenai faktor-faktor prediksi rekurensi penderita idiopathic clubfoot (umur dan severity

saat mulai terapi, kepatuhan orangtua/caregiver dalam periode

bracing, tingkat ekonomi dan pendidikan orangtua/caregiver,

kemudahan akses ke Rumah Sakit) yang datang ke Klinik Clubfoot

RS Orthopaedi Prof. Dr. dr. R. Soeharso Surakarta.

1.4.2 Penelitian ini dapat dipakai sebagai data awal untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya mengenai penanganan clubfoot di RSO Prof. Dr. dr. R. Soeharso Surakarta serta di Indonesia pada umumnya.

1.4.3 Penelitian ini dapat dipakai sebagai data pembanding bagi penelitian-penelitian mengenai penanganan clubfoot di institusi kesehatan lainnya di Indonesia.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Clubfoot

Istilah clubfoot mengacu pada kelainan kongenital pada kaki dengan deformitas yang kompleks yang terdiri dari 4 komponen, yaitu equinus dari

hindfoot, aduksi dari midfoot, varus pada sendi subtalar dan juga cavus (Ponseti,

2000). Clubfoot sering berkaitan dengan kelainan neuromuskuler dan sindroma- sindroma lain yang menyertainya. Ada beberapa kelainan dan sindrom neuromuskuler yang sering terjadi bersamaan dengan clubfoot, misalnya

Arthrogryposis multiplex congenital, Diastropic dysplasia, Streeter’s dysplasia

(constriction band syndrome), Freeman-Sheldon syndrome, Mobius syndrome,

Cerebral palsy, Spina bifida. Sedangkan pada keadaan idiopatic clubfoot biasanya

digunakan untuk menggambarkan suatu kelainan muskuloskeletal yang berdiri sendiri tanpa kelainan lain yang menyertainya (Baety, 2003; Cummings, 2002). 2.1.1.1 Insidensi

Clubfoot merupakan kelainan yang paling sering ditemukan dibandingkan

dengan kelainan kongenital orthopedi lainnya dan diperlukan perawatan yang intensif. Insidensi clubfoot bervariasi dari 0,6 per 1000 di Asia dan 0,9 per 1000 di Australia sampai lebih dari 6,8 per 1000 di Hawai, Polynesia dan Maoris. Insidensi pada bayi laki-laki lebih banyak dari pada bayi perempuan, dilaporkan

(20)

7

angka kejadian sampai dengan 4:1. Kasus bilateral sampai dengan 50% kasus (Tachdjian, 1990).

2.1.1.2 Etiologi

Sampai sekarang belum ada teori yang memuaskan untuk menjelaskan penyebab clubfoot. Teori-teori yang telah dipublikasikan yaitu (Cummings, 2002): 1) Faktor Genetik

Insiden clubfoot bervariasi sesuai dengan ras dan jenis kelamin. Saudara kandung dari anak yang menderita clubfoot memiliki faktor resiko terjadinya clubfoot 3 kali lipat. Clubfoot pada anak kembar monozigot, angka kejadiannya 32,5% sedangkan yang dizigot hanya 2,9%. Hal ini menggambarkan bahwa clubfoot sebagian dipengaruhi oleh faktor genetik. 2) Anomali Histologi

Semua jaringan lunak pada clubfoot mengalami kelainan. Isaacs et al mengidentifikasi abnormalitas dari struktur-struktur otot. Handelsman dan Badalamente menunjukkan peningkatan perbandingan serabut otot tipe I:II dibandingkan yang normal 1:2 sampai 7:1. Sedangkan Ippolito menyebutkan terjadi deformitas pada talus, dengan angulasi neck talus ke medialdan rotasi dari body talus. Disertai juga adanya deformitas calcaneus yang mengalami rotasi dan miring ke medial. Deformitas ini menyebabkan varus pada hindfoot. Ippolito dan Ponseti mempublikasikan teori bahwa adanya retraksi fibrosis pada otot distal betis. Deitz et al mengidentifikasi adanya penurunan jumlah sel dan sitoplasma pada selubung tendon tibialis posterior

dibandingkan selubung tendon tibialis anterior, hal ini menjelaskan adanya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(21)

ganguan pertumbuhan regional. Zimny et al, menjelaskan dalam studi elektron mikroskopisnya meneliti fascia medial dan lateral pada kaki clubfoot bahwa myofibroblas penyebab kontraktur dan deformitas. Sano et al, melakukan analisis imunohistokimia dan studi mikroskopis elektron mengenai biopsi terhadap 41 spesimen dari pasien clubfoot umur 6 bulan-30 bulan menjelaskan adanya protein kontraktil dan degradasi sel dari fibroblas menjadi myofibroblas yang menyebabkan deformitas pada clubfoot dan penyebab kekambuhan paling sering setelah dilakukan pembedahan.

3) Anomali Otot

Turco mengidentifikasi anomali otot sekitar 15% pada pasiennya dengan clubfoot. Porter menjelaskan anomali otot fleksor betis pada 5 anak dengan clubfoot. Dia juga mengamati pasien-pasien dengan anomali otot memiliki frekuensi lebih besar terjadinya clubfoot.

4) Anomali vaskuler

Investigasi arteriografi pada anak dengan clubfoot menunjukkan adanya hipoplasia arteri tibialis anterior atau dorsalis pedis atau arteri tibialis

posterior pada kebanyakan kasus. Meskipun hal ini masih belum jelas apakah

merupakan penyebab primer atau sekunder.

2.1.1.3 Patogenesis

Clubfoot merupakan deformitas yang komplek pada kaki dan tungkai

bawah dengan variasi struktur anatomi yang luas. Identifikasi pada

(22)

9

jaringan yang terkena telah banyak dilakukan penelitian, diantaranya adalah (Brunner, 1990) :

1) Defek neuromuskuler

Asumsi bahwa tekanan intrauterine pada nervus peroneal yang menyebabkan clubfoot sekarang sudah ditinggalkan. Penelitian terbaru mengatakan adanya kelainan somatosensory dan atau motorik ditemukan pada hampir separoh dari pasien clubfoot.

2) Pemendekan ligament lateral antara fibula dan talus atau calcaneus

(23)
(24)

11

4) Tibia

Tibia sedikit mengalami internal rotasi kira-kira 10%.Internal rotasi tibia ini tertutupi oleh pergeseran fibula ke posterior sehingga memberikan gambaran seolah-olah kaki eksternal rotasi.

5) Sendi Ankle

Deviasi talus dan posisi calcaneus yang equinus menyebabkan talus terdorong ke depan pada mortise. Sepertiga permukaan sendi talus tidak berartikulasi.

6) Perubahan jaringan lunak

Jaringan lunak disisi anteromedial dan posterolateral talus memendek. Semua jaringan termasuk kulit, ligamen, tendon, otot, pembuluh darah dan saraf mengkerut. Penelitian histologi pada jaringan ini membuktikan adanya perubahan-perubahan pada pasien clubfoot, tetapi tidak terjadi pada fetus. Hal ini menjelaskan bahwa perubahan-perubahan tersebut merupakan proses sekunder. Struktur yang paling sering terjadi pemendekan yaitu ligamen fibulocalcaneal posterior dan ligamen talocalcaneal, kapsul sendi talonavicular, ligamen talocalcaneonavicular, tendon tibialis posterior

dan fibrotik ligamen pada perpotongan tendon flexor hallucis longus dan flexor digitorum longus. Tanda lain yang jelas adalah atrofi otot betis.

Ukuran otot-otot betis berkorelasi sebaliknya dengan derajat deformitasnya. Sintesis kolagen yang berlebihan pada ligamen, tendon, otot bisa terus sampai anak berumur 3-4 tahun dan bisa saja kambuh.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(25)

2.1.1.5 Diagnosis clubfoot

Bayi baru lahir sering terjadi clubfoot karena posisi intrauteri yang akan terkoreksi spontan dalam beberapa hari atau minggu. Pada bayi normal, kaki dapat didorsofleksikan dan dieversikan sampai ibu jari menyentuh crista tibia, sedangkan pada clubfoot tidak bisa (Ponseti, 2003).

Pemeriksaan dilakukan pada posisi anak tengkurap untuk menilai sisi

plantar nya dan supine untuk mengevaluasi internal rotasi dan varus. Jika anak

bisa berdiri, dievaluasi apakah kakinya plantigrade, tumit weight bearing apakah dalam posisi varus, valgus, atau netral (Solomon, 2001).

2.1.1.6 Metode Ponseti

2.1.1.6.1 Garis besar metode Ponseti adalah (Ponseti, 2003) :

1) Tahap pertama koreksi metode Ponseti dengan mengkoreksi cavus yang terjadi karena forefoot lebih pronasi dibandingkan midfoot, sehingga koreksinya dengan melakukan supinasi forefoot sampai sejajar dengan

midfoot.

2) Semua deformitas clubfoot harus dikoreksi secara simultan dengan

equinus dikoreksi terakhir kali.

3) Setelah kaki dalam keadaan supinasi, kemudian dilakukan abduksi

dengan lembut dan bertahap dengan fulcrum pada ostalus, dengan cara melakukan penekanan sisi lateral caput talus untuk menghindari rotasi pada ankle.

(26)

13

4) Secara spontan varus dan supinasi akan terkoreksi jika seluruh kaki sudah dapat dilakukan abduksi maksimal pada eksternal rotasi sendi subtalar. Kaki tidak boleh dipronasikan.

5) Setelah semua prosedur tercapai, equinus dapat dikoreksi dengan melakukan dorsofleksi pada kaki. Seringkali diperlukan tenotomi subkutan tendo Achilles untuk koreksi equinus.

2.1.1.6.2 Tahapan penanganan metode Ponseti (Ponseti, 2000) : 1) Persiapan

Diawali dengan menenangkan anak dengan botol susu atau menyusu pada ibu, jika memungkinkan didampingi asisten yang berpengalaman.

2) Manipulasi dan casting

Hal ini dimulai segera mungkin setelah anak lahir. Anak dibuat nyaman. Biarkan anak minum selama manipulasi dan proses casting. Ponseti merekomendasikan penggunaan bahan gips karena lebih murah dan mudah dibentuk dibanding dengan fiberglass.

3) Mengkoreksi Cavus

Langkah pertama dalam metode Ponseti yaitu mengkoreksi cavus dengan memposisikan forefoot dalam satu kesegarisan dengan hindfoot.

Cavusterjadi karena pronasi dari forefoot dibandingkan dengan hindfoot.

Cavus ini hampir selalu lunak pada bayi baru lahir dan hanya

membutuhkan elevasi jari dan metatarsal I untuk mendapatkan arcus

longitudinal kaki yang normal. Forefoot disupinasikan sampai dapat melihat permukaan plantar pedis yang normal, tidak boleh terlalu tinggi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(27)

atau terlalu datar. Kesegarisan forefoot dengan hindfoot untuk mendapatkan arcus kaki yang normal sangat penting untuk melakukan abduksi yang efektif dari kaki untuk dapat mengkoreksi adductus dan

varus.

4) Melokalisasi Caput Talus

Sebagai contoh, clubfoot pada kaki kanan. Pertama, palpasi malleolus

medial dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan pemeriksa

sedangkan tangan kiri memegang ibu jari dan metatarsal yang lain. Kemudian, geser ibu jari dan jari telunjuk dari tangan kanan ke depan sampai dapat meraba caput talus di depan pergelangan kaki. Karena os naviculare bergeser ke medial dan tuberositasnya hampir kontak dengan malleolus medial sehingga dapat meraba penonjolan dari bagian lateral

caput talus di depan malleolus lateralis. Bagian anterior dari os calcaneus dapat diraba dibawah caput talus.

5) Manipulasi

Manipulasi dilakukan kira-kira selama 10 menit. Tumit jangan dipegang supaya calcaneus bisa ter-abduksi. Tindakan manipulasi terdiri dari

abduksi dari kaki dengan caput talus yang distabilisasi. Untuk

mengkoreksi kelainan ini, kita harus dapat mendeteksi caput talus yang menjadi fulcrum. Semua komponen dari deformitas clubfoot (kecuali equinus) dikoreksi secara simultan.

(28)

15

6) Memasang padding

Pasang padding yang tipis saja supaya memudahkan molding. Kaki dipertahankan dalam posisi koreksi yang maksimal dengan memegang ibu jari dan dengan menekan caput talus selama pemasangan gips.

7) Pemasangan Gips.

Tahap pertama gips dipasang dimulai dengan 3 atau 4 putaran pada jari kaki kemudian bergerak ke proksimal sampai di bawah lutut dan kemudian dilanjutkan sampai paha. Kaki dipegang dengan ibu jari dan gips diputar di atas jari-jari pemeriksa agar tersedia ruang yang cukup. Tidak boleh melakukan koreksi secara paksa menggunakan gips dengan menekan terus menerus caput talus menggunakan ibu jari, tapi tekan dan lepas secara berulang untuk mencegah decubitus. Molding gips diatas caput talus sambil memegang kaki pada posisi yang telah dikoreksi. Ibu jari dari tangan kiri membentuk gips pada caput talus sedangkan tangan kanan menjaga kaki depan dalam supinasi. Arcus kaki dibentuk supaya tidak terjadi flatfoot atau rocker-bottom deformity. Proses molding ini hendaknya merupakan proses yang dinamik, sehingga harus sering menggerakan jari-jari untuk mencegah tekanan yang berlebihan pada satu lokasi. Kemudian gips dilanjutkan ke paha. Pasang padding pada proksimal paha untuk mencegah iritasi pada kulit. Gips dapat dipasang berulang pada sisi anterior lutut secara bolak-balik supaya tidak terjadi penumpukan gips pada daerah fossa poplitea, yang akan mempersulit pelepasan gips.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(29)

Gambar 2. Pemasangan gips sampai paha

(Hefti Pediatric Orthopedics in Practise.Springer, Verlag Berlin Heidelberg. 2007)

Pertahankan gips pada sisi plantar pedis untuk menyangga jari-jari dan bagian dorsal dipotong sampai sendi metatarsophalangeal sehingga sisi

dorsum dari semua jari-jari kaki dapat ekstensi penuh. Kaki dalam posisi

equinus, dan kaki depan dalam keadaan supinasi.

8) Ciri dari abduksi yang adekuat (Ponseti, 2003) :

(1) Dapat dipalpasi processus anterior dari calcaneus yang ter-abduksi

keluar dari bawah ostalus.

(2) Derajat abduksi kurang lebih 60° terhadap bidang frontal dari tibia. (3) Calcaneus posisinya netral atau sedikit valgus. Hal ini dievaluasi

dengan cara meraba bagian posterior dari calcaneus.

(30)

17

Setelah selesai pemasangan gips, kaki akan tampak koreksi berlebihan dalam posisi abduksi dibandingkan kaki yang normal. Hal ini bukan over koreksi tetapi merupakan koreksi penuh abduksi maksimal normal (Ponseti, 2003).

9) Tenotomy

Indikasi tenotomy adalah apabila dorsofleksi sendi ankle masih kurang dari 100 dari posisi netral. Sedangkan cavus, adduktus dan varus sudah terkoreksi. Tenotomy dilakukan dengan cara memasukkan pisau dari sisi

medial, langsung ke anterior dari tendon Achilles. Bagian datar dari pisau

sejajar dengan tendon. Tendon sheath tidak dideseksi dan dibiarkan utuh. Pisau kemudian diputar, sehingga bagian tajam pisau berada di depan tendon. Kemudian pisau digerakkan sedikit ke posterior dan dirasakan sebagai “pop” saat pisau memotong seluruh tendon. Dorsofleksi akan bertambah 15º-20º setelah di tenotomy (Ponseti, 2003).

10) Gips setelah tenotomy

Setelah dilakukan koreksi deformitas equinus dengan tenotomy, gips terakhir dipasang dengan kaki posisi abduksi 60°-70 dari bidang frontal, dan 15 dorsofleksi. Kemudian gips dipertahankan sampai 3 minggu. Jika gip rusak dapat diganti sebelum 3 minggu. Pasien dapat pulang dan obat analgetik jarang diperlukan. Ini adalah gips terakhir yang diperlukan dalam program terapi clubfoot. Setelah 3 minggu, gips dilepas, dan dorsofleksi 200 bisa dilakukan karena tendon sudah healing. Kaki siap untuk dipasang brace (Ponseti, 2003).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(31)

11) Periode Bracing

Setelah pengegipan terakhir, metode Ponseti kemudian dilanjutkan dengan periode bracing untuk mempertahankan posisi kaki dalam abduksi

dan dorsofleksi. Alat bracing terdiri dari batang logam yang direkatkan

pada sepatu dengan ujungnya yang terbuka. Sudut yang dibentuk dalam

abduksi diperlukan untuk menahan abduksi kaki agar tidak kembali ke

posisi adduksi. Jaringan lunak pada sisi medial dapat tetap meregang jika

bracing dilakukan setelah pengegipan. Dalam periode ini lutut dibiarkan

bebas, supaya anak dapat menendang kaki kedepan umtuk mengkonstraksikan otot-otot gastrosoleus. Alat tersebut kemudian dilengkungkan 5°-10° ke arah menjauh dari anak untuk menahan

dorsofleksi dari kaki (Ponseti, 2003).

Periode bracing ini harus dipertahankanfulltime selama 3 bulan pertama setelah gips terakhir dilepas. Setelah itu dipakai selama 12 jam pada waktu malam dan 2-4 jam pada waktu siang. Sehingga total pemakaian 14-16 jam dalam sehari sampai anak berusia 3-4 tahun (Zionts, 2010).

12) Follow up

Orangtua pasien dianjurkan untuk kembali kontrol dalam 10-14 hari untuk memonitor penggunaan brace. Jika bracing berjalan baik, maka kontrol dapat dilakukan 3 bulan lagi (Ponseti, 2003).

(32)

19

2.1.1.7 Klasifikasi Clubfoot

Perbandingan hasil terapiClubfoot sulit dilakukan oleh karena kurangnya sistem yang bisa digunakan secara luas dan seragam yang bisa menggambarkan derajat deformitas awalnya serta hasil dari terapi. Diantara sekian banyak sistem adalah penilaian menurut Pirani & Diméglio berdasarkan skoring dari pemeriksaan klinis tanpa radiologis atau pemeriksaan khusus yang lain (Ponseti, 2003; Richard, 2008).

Gambar 3. Skoring clubfoot menurut Diméglio

(Tachdjian MO. Tachdjian Pediatric Orthopedics.Second Edition. WB Saunders Company,1990.)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(33)

Klasifikasi derajat clubfoot menurut Diméglio

(Tachdjian MO. Tachdjian Pediatric Orthopedics.Second Edition. WB Saunders Company,1990)

Klasifikasi Clubfoot menurut Ponseti (Ponseti, 2003) :

1. Untreated : di bawah umur 2 tahun

2. Neglected : tidak mendapat treatment di atas umur 2 tahun

3. Corrected : telah dikoreksi dengan manajemen Ponseti

4. Recurrent : Supinasi dan equinus setelah sebelumnya dapat terkoreksi

dengan baik

5. Resistant : Stiff clubfoot, seperti yang sering terlihat bersamaan dengan

syndrom (arthrogryposis)

6. Complex : awalnya di-treatment dengan metode selain manajemen Ponseti

(34)

21

2.1.2 Faktor-Faktor Prediksi Rekurensi Metode Ponseti

Metode Posenti merupakan tindakan yang tepat dan efektif dalam penanganan clubfoot. Tantangan untuk mencapai hasil yang memuaskan dengan metode ini tidak semata-mata terletak pada koreksi deformitasnya saja, tetapi bagaimana mencegah terjadinya kekambuhan. Kekambuhan dapat terjadi dalam setiap tahap proses terapi metode Ponseti. Biasanya kekambuhan terjadi pada tahap bracing sebagai akibat ketidakpatuhan. Teknik Ponseti memerlukan kepatuhan dan ketelitian dalam perawatan baik oleh dokter maupun orangtua pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Avilucea (2009), menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan orangtua pasien terhadap penggunaan orthose abduksi

berperan penting dalam keberhasilan terapi (Haft, 2007; Ponseti, 2009).

Keberhasilan metode Ponseti tidak hanya ditentukan pada koreksi awal pengegipan, tetapi juga edukasi orangtua dan keluarga pasien terhadap pemakaian brace dalam jangka lama untuk mempertahankan koreksi clubfoot.

”Ketidakpatuhan” dalam pemakaian brace sulit untuk dideteksi, sebagai contoh pada beberapa bayi dimana terjadi kekambuhan dikarenakan ukuran brace yang sudah terlalu sempit dan menjadi tidak nyaman sehingga bayi sering menangis karena merasa tidak nyaman terhadap brace tersebut, sehingga terdapat kecenderungan orangtua pasien untuk melepas brace tersebut. Tanpa brace, kaki dengan clubfoot akan menjadi lebih kaku dan memperbesar resiko kambuh (Ramirez, 2011).

Avilucea (2009) dalam penelitiannya mengatakan bahwa faktor kultural dan juga jarak rumah pasien terhadap rumah sakit memberikan dampak terhadap

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(35)

outcome terapi. Selain faktor tersebut, keluarga dengan penghasilan per tahun ≤ $20.000, orangtua tunggal, tidak mempunyai asuransi dan tingkat pendidikan orangtua sampai tingkat SMA atau kurang mempunyai pengaruh terhadap kekambuhan. Sedangkan untuk faktor intrinsik seperti umur pada saat dimulai terapi dan initial severity tidak mempengaruhi tingkat kekambuhan. Seperti dalam penelitian Dobbs MB (2007) dan Siapkara A (2007) yang menyebutkan meskipun adanya kecenderungan resiko kekambuhan meningkat pada pasien dengan derajat deformitas pada awal mulai terapi very severe (grade IV), tetapi dalam penelitiannya didapatkan prevalensi kekambuhan tidak tergantung pada derajat deformitas dan umur pasien saat mulai terapi atau apakah pasien sudah mendapat terapi pengegipan sebelumnya (Dobss, 2007; Ponseti, 2009; Siapkara, 2007).

Jarak antara rumah dengan Rumah Sakit juga merupakan salah satu faktor resiko kekambuhan. McElroy T (2007) melaporkan penelitiannya di Uganda, meskipun biaya perawatan metode Ponseti sudah mendapat asuransi, biaya transportasi setiap minggu menjadi hambatan dalam terapi clubfoot dengan metode ini. Biaya transportasi dan akomodasi akan meningkat dengan semakin jauhnya jarak rumah ke Rumah Sakit. Pada pasien dengan keluarga yang tingkat ekonominya tidak mampu, hal ini akan menurunkan tingkat kepatuhan orangtua pasien untuk kontrol setiap minggunya sehingga meningkatkan resiko kekambuhan (McElroy, 2007).

Faktor lain adalah beberapa orangtua menyebutkan kesulitan pada waktu memandikan anak, toilet, memakaikan baju selama tahap pengegipan. Hal

(36)

23

tersebut membuat beberapa orangtua pasien tidak nyaman dan konsekuensinya mereka ragu-ragu bahkan berhenti melanjutkan terapi. Komunikasi antara dokter dengan orangtua pasien juga merupakan faktor yang harus diperhatikan karena hal ini berguna juga bagi dokter ahli untuk dapat mengetahui kebutuhan, keraguan dan kepercayaan orangtua pasien terhadap proses terapinya. Pentingnya menjelaskan ke orangtua pasien untuk tetap mengikuti protokol terapi metode Ponseti merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan keberhasilan metode Ponseti (Alves, 2009).

Beberapa hal yang perlu dipahami oleh orangtua/caregiver antara lain (Bridgens, 2011):

1) Orangtua/caregiver pasien harus mengerti pentingnya pemakaian bracing dan mengapa harus dipakai dalam jangka lama (sampai anak umur 2-4 tahun). 2) Untuk pasien dalam tahap nap and night bracing harus dipahami bahwa

memakai brace pada saat tidur siang dan malam merupakan suatu rutinitas dan tidak boleh berhenti.

3) Brace harus pas dengan ukuran kaki dan nyaman dipakai dan juga lebarnya

bar harus cocok (selebar bahu pasien). Jika ada keluhan mengenai brace,

orangtua harus segera kembali kontrol ke klinik Clubfoot.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Zionts (2010) juga mengatakan bahwa penyebab utama kekambuhan adalah ketidakpatuhan dalam periode

bracing. Faktor lain seperti status sosial ekonomi, adat-istiadat daerah setempat,

tingkat pendidikan orangtua pasien dan komunikasi antara dokter dan orangtua pasien juga berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pemakaian brace. Alasan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(37)

lain yang mempengaruhi ketidakpatuhan terhadap pemakaian brace, orangtua pasien tidak memahami pentingnya pemakaian brace dalam keberhasilan terapi (Zionts, 2010).

Ponseti mengatakan penyebab tersering kekambuhan adalah ketidakpatuhan terhadap program pemakaian bracing setelah dilakukan

tenotomy. Morcuende juga mengatakan bahwa angka kekambuhan mencapai 6%

pada pasien dengan keluarga yang patuh dan meningkat lebih dari 80% pada pasien dengan keluarga yang tidak patuh. Pada pasien dengan keluarga yang patuh dalam program bracing, kekambuhan disebabkan karena ketidakseimbangan otot-otot kaki (Haft, 2007; Ramirez, 2011).

Ketika dokter ahli mengetahui karakteristik pasien dan faktor-faktor demografi keluarga pasien yang mempunyai faktor resiko kekambuhan setelah berhasil diterapi dengan metode Ponseti, dapat diatasi dengan penyuluhan yang lebih intensif terhadap orangtua pasien dan perlu dilakukannya kunjungan rumah untuk deteksi dini ketidakpatuhan orangtua pasien terutama pada saat periode

bracing. Apakah hal tersebut secara efektif dapat mengurangi tingkat

kekambuhan dan dapat meningkatkan outcome terapi clubfoot dengan metode Ponseti masih menjadi pokok pembahasan pada penelitian-penelitian yang akan datang (Bridgens, 2011).

(38)

25

- Deltoid ligament, tibionavicular, tibialis posterior menebal

- Serabut kolagen bergelombang dan padat - Ligamen kaya akan kolagen , lebih seluler

(sintesis kolagen yang berlebihan) - Navicularmedial displaced

- Calcaneus adduksi inversi di bawah talus - Sendi tarsal fungsional interdependent

- Koreksi simultan bertahap ke arah abduksi

- Counterpressure lateral talus

- Stretching tiap 5-7 hari

- Tulang, sendi akan remodelling akibat respon stimulasi mekanik

Rekurensi

- Severity clubfootsaat mulai terapi

- Usia saat mulai terapi - Kepatuhan periodebracing

(39)

2.3 Hipotesa

Ada hubungan faktor-faktor prediksi rekurensi (umur dan severity saat mulai terapi, kepatuhan orangtua/caregiver dalam periode bracing, tingkat ekonomi dan pendidikan orangtua/caregiver, kemudahan akses ke Rumah Sakit) terhadap kejadian rekurensi pada pasien clubfoot setelah berhasil diterapi dengan metode Ponseti.

(40)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross-sectional.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Klinik Clubfoot Rumah Sakit Ortopedi Prof.Dr. dr. R.Soeharso Surakarta.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2013 – Juli 2013 3.3 Populasi dan sampel penelitian

3.3.1 Populasi yang digunakan adalah semua pasien dengan idiopathic

clubfoot yang diterapi dengan metode Ponseti di Klinik Clubfoot RSO

Prof. Dr. dr. R. Soeharso Surakarta dari Juli 2012 – Desember 2012. 3.3.2 Pengambilan sampel dilakukan pada semua penderita idiopathic

clubfoot yang datang di Klinik Clubfoot RSO Prof. Dr. dr.R. Soeharso

(41)

Zβ = deviat baku dari kesalahan tipe II (0,84)

OR = odds rasio minimal yang dianggap bermakna (2) Px = proporsi pajanan atau proporsi faktor risiko (50%) Py = proporsi efek atau proporsi variabel terikat (50%)

Sehingga dalam penelitian ini sampel yang akan digunakan sebesar 100 pasien.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi:

1. Pasien dengan idiopathic clubfoot yang datang di poliklinik 2. Pasien sudah mendapat terapi minimal 6 bulan (periode bracing).

3.4.2 Kriteria Eksklusi:

1. Drop out selama terapi

2. Pasien dengan syndromic clubfoot

3. Catatan mengenai kriteria yang akan dinilai tidak lengkap 4. Menolak dijadikan sampel penelitian

(42)

29

3.6 Variabel Penelitian

3.6.1 Variabel bebas : faktor-faktor penyebab rekurensi 3.6.2 Variabel tergantung : kejadian rekurensi

3.7 Definisi Operasional Variabel Penelitian

3.7.1 Faktor-faktor penyebab rekurensi adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kambuhnya kembali clubfoot yang telah berhasil diterapi dengan metode Ponseti, antara lain umur dan severity saat mulai terapi, kepatuhan orangtua/caregiver dalam periode bracing, tingkat pendidikan dan ekonomi orangtua/caregiver, kemudahan akses ke rumah sakit.

3.7.1.1 Umur

- Definisi : umur penderita pada saat pertama kali dilakukan manipulasi dan casting metode Ponseti di Klinik

Clubfoot RSO Prof.Dr.dr.R.Soeharso Surakarta

- Alat ukur : rekam medis - Satuan : bulan

- Skala : interval 3.7.1.2 Severity clubfoot

- Definisi : derajat deformitas clubfoot yang diukur pada saat pertama kali dilakukan manipulasi dan casting

metode Ponseti di Klinik Clubfoot RSO Prof. Dr. dr.R. Soeharso Surakarta.

- Alat ukur : rekam medis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(43)

- Satuan : ringan, sedang, berat dan sangat berat - Skala : nominal

3.7.1.3 Kepatuhan orangtua pasien/caregiver dalam periode bracing

- Definisi : ketaatan orangtua/caregiver dalam memenuhi jadwal kontrol sesuai anjuran dokter ahli

- Alat ukur : rekam medis

- Satuan : patuh dan tidak patuh. - Skala : nominal

3.7.1.4 Tingkat ekonomi orangtua/caregiver

- Definisi : pendapatan per bulan orangtua pasien dibandingkan dengan upah minimum regional propinsi Jawa Tengah

- Alat ukur : wawancara - Satuan : rendah dan tinggi - Skala : nominal

3.7.1.5 Tingkat pendidikan orangtua/caregiver

- Definisi :tingkat pendidikan terakhir orangtua pasien/caregiver

- Alat ukur : wawancara

- Satuan : kurang dari sama dengan SMA dan lebih dari SMA. - Skala : nominal

(44)

31

3.7.1.6 Kemudahan akses ke rumah sakit

- Definisi : kemudahan penderita untuk datang ke rumah sakit yang ditentukan oleh infrastruktur, adanya biaya dan transportasi.

- Alat ukur : wawancara

- Satuan : mudah dan tidak mudah - Skala : nominal

3.7.2 Rekurensi

- Definisi : kambuhnya deformitas kaki yang ditandai dengan

berkurangnya dorsofleksi ankle joint dan valgusheel yang membutuhkan pengulangan manipulasi dan pengegipan (casting) atau membutuhkan tindakan pembedahan (Dobbs, 2007).

Ankle dorsoflexion : adalah gerakan ankle pada bidang

sagital ke anterior mendekati permukaan anterior tibia.

Valgus heel : diukur dari posterior, adalah gerakan

calcaneus ke arah lateral terhadap talus. - Alat ukur : goniometer

- Satuan : ya dan tidak. - Skala : nominal 3.8 Instrumen penelitian

3.8.1 Lembar instrumen Pengumpulan data

3.8.2 Alat dan bahan : rekam medis dan goniometer

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(45)

3.9 Cara pengumpulan data

3.9.1 Pasien di seleksi sesuai dengan kriteria inklusi, dilakukan informed

consent, dicatat dalam lembar pengumpulan data.

3.9.2 Data diambil dari catatan medis penderita yang berkunjung ke Klinik

Clubfoot RSO Prof.Dr.dr.R.Soeharso Surakarta.

3.9.3 Dilakukan analisa data. 3.10 Etika penelitian

Subyek penelitian akan diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian sebelum penelitian dilakukan. Semua informasi dan data yang didapatkan hanya digunakan untuk keperluan penelitian dan dijaga kerahasiaannnya. Sebagai bukti bahwa responden bersedia mengikuti penelitian maka sebelumnya diminta untuk menandatangani lembar persetujuan mengikuti penelitian (informed consent). Sebelum penelitian dilakukan, peneliti mengajukan permohonan ethical clearance ke komisi etik RSO Prof. Dr. dr. R. Soeharso Surakarta.

3.11 Analisa data

3.11.1 Data demografi dinyatakan dalam prosentase dan perbandingan

3.11.2 Uji regresi logistic ganda untuk mengetahui seberapa besar pengaruh masing-masing faktor resiko terhadap kejadian rekurensi dan dapat diketahui probabilitas terjadinya rekurensi (level significance : p<0.05).

(46)

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

Dari penelitian yang dilakukan di Klinik Clubfoot RSO Prof. Dr. dr. R. Soeharso Surakarta, antara tanggal 1 Januari 2013 sampai 31 Juli 2013 didapatkan hasil penelitian 100 pasien.

4.1.1 Distribusi Jenis kelamin

Distribusi jenis kelamin dapat dilihat pada grafik 1.

Grafik 1. Prosentase jenis kelamin

66% (laki-laki) 34%

(perempuan)

Distribusi Jenis Kelamin

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(47)

Distribusi sisi kaki dapat dilihat pada grafik 2.

Grafik 2. Prosentase Sisi Kaki

4.1.3 Distribusi Umur

Dari 100 pasien didapatkan rentang umur saat pertama kali dimulai terapi antara 1 minggu hingga 6 tahun. Frekuensi umur terbanyak saat mulai terapi adalah pada usia 0-3 bulan sebanyak 52 pasien (52%).

Grafik 3. Distribusi Umur

(48)

35

Pengaruh umur saat mulai terapi terhadap rekurensi menggunakan analisis regresi logistic berganda didapatkan hasil signifikansi 0,992 (p ≥ 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa umur pasien saat mulai terapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat rekurensi. Nilai konstanta Beta adalah -1,802. Tanda negatif menunjukkan bahwa semakin muda kelompok umur saat mulai terapinya maka tingkat rekurensinya akan semakin kecil. Besarnya pengaruh umur saat mulai terapi terhadap tingkat rekurensi sebesar 6,478.

4.1.4 Distribusi Tingkat Severity

Frekuensi tingkat severity saat mulai terapi terbanyak adalah kategori very severe

yaitu 52 pasien (52%).

Grafik 4. Distribusi Severity

Pengaruh severity terhadap tingkat rekurensi menggunakan analisis regresi logistic berganda didapatkan hasil signifikansi 0,940 (p ≥ 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat severity tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat rekurensi. Nilai konstanta Beta adalah -0,104. Tanda negatif menunjukkan bahwa semakin ringan derajat

(49)

tingkat rekurensi 0,901.

4.1.5 Distribusi Kepatuhan Dalam Periode Bracing

Dari 100 pasien didapatkan 5 orang (5%) tidak patuh dalam periode bracing.

Grafik 5. Distribusi Kepatuhan Dalam Periode Bracing

Pengaruh kepatuhan dalam periode bracing terhadap tingkat rekurensi menggunakan analisis regresi logistic berganda didapatkan hasil signifikansi 0,001 (p < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kepatuhan dalam periode bracing berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat rekurensi. Nilai konstanta Beta adalah 5,032. Tanda positif menunjukkan bahwa semakin patuh dalam periode bracing maka tingkat rekurensinya akan semakin kecil. Besarnya pengaruh kepatuhan dalam periode bracing terhadap tingkat rekurensi sebesar 153,311 yang berarti bahwa pasien yang orangtuanya tidak patuh dalam periode bracing

memiliki resiko rekuresi 153 kali lipat lebih banyak dibandingkan pasien yang orangtuanya patuh dalam periode bracing.

0 50 100

Patuh Tidak Patuh

95

5

Distribusi Kepatuhan Dalam

Periode Bracing

(50)

37

4.1.6 Distribusi Kemudahan Akses ke Rumah Sakit

Dari 100 pasien didapatkan 93 orang (93%) mudah aksesnya ke rumah sakit dan 7 orang (7%) tidak mudah aksesnya ke rumah sakit. Dimana jarak yang paling jauh antara rumah pasien dengan rumah sakit ada 2 orang dari luar pulau Jawa (Lampung dan Kalimantan Tengah).

Grafik 6. Distribusi Kemudahan Akses ke Rumah Sakit.

Pengaruh kemudahan akses ke rumah sakit terhadap tingkat rekurensi menggunakan analisis regresi logistic berganda didapatkan hasil signifikansi 0,304 (p ≥ 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kemudahan akses ke rumah sakit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat rekurensi. Nilai konstanta Beta adalah 2,597. Tanda positif menunjukkan bahwa semakin mudah akses ke rumah sakit maka tingkat rekurensi semakin kecil, meskipun tidak signifikan. Besarnya pengaruh kemudahan akses ke rumah sakit terhadap

(51)

tidak mudah memiliki resiko rekuresi 13 kali lipat lebih banyak dibandingkan pasien yang akses ke rumah sakit mudah.

4.1.7 Distribusi Tingkat Pendidikan Orangtua/Caregiver

Distribusi tingkat pendidikan orangtua/caregiver dapat dilihat pada grafik 7.

Grafik 7. Distribusi Tingkat Pendidikan Caregiver

Pengaruh tingkat pendidikan orangtua/caregiver terhadap tingkat rekurensi menggunakan analisis regresi logistic berganda didapatkan hasil signifikansi 0,431 (p ≥ 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan caregiver tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat rekurensi. Nilai konstanta Beta adalah -1,637. Tanda negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua/caregiver maka akan menurunkan tingkat rekurensinya, meskipun tidak signifikan.

0

(52)

39

4.1.8 Distribusi Tingkat Ekonomi Orangtua/Caregiver

Distribusi tingkat ekonomi orangtua/caregiver dapat dilihat pada grafik 8.

Grafik 8. Distribusi Tingkat Ekonomi Caregiver

(53)

Dari 100 pasien, didapatkan 5 pasien (5%) yang mengalami rekurensi.

Grafik 9. Distribusi Rekurensi

4.2 PEMBAHASAN

(54)

41

pada sepertiga kasus clubfoot. Kasser J (2006) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa bilateral terjadi pada 50% kasus.

4.2.1 Pengaruh Umur Saat Mulai Terapi Terhadap Tingkat Rekurensi

Dalam penelitian ini didapatkan bahwa pengaruh umur saat mulai terapi terhadap rekurensi tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Avilucea (2009) yang menyebutkan bahwa umur pasien saat dimulai terapi metode Ponseti tidak mempengaruhi tingkat rekurensi. Alves C (2009) dalam penelitiannya juga mengatakan tidak ada perbedaan antara kelompok 1 (pasien umur saat mulai terapi kurang dari 6 bln) dengan kelompok 2 (pasien umur saat mulai terapi lebih dari 6 bulan) baik dalam hal proses terapi maupun tingkat keberhasilannya. Dobbs MB (2007) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa umur pasien saat dimulai terapi metode Ponseti tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap resiko kekambuhan/rekurensi.

Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 5 pasien yang mengalami rekurensi, 3 pasien berasal dari kelompok umur saat mulai terapi lebih dari 12 bulan, dan 2 pasien dari kelompok umur saat mulai terapi kurang dari 6 bulan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena orangtua atau caregiver dari kelima pasien tersebut tidak patuh pada saat periode

bracing. Ketidakpatuhan tersebut biasanya terjadi karena anak sudah tidak nyaman dengan

brace karena ukurannya yang sudah tidak muat dengan kaki, sehingga orangtua sering

melepas bracing-nya. Kemungkinan lain karena akses ke Rumah Sakit tidak mudah. Dari total pasien yang mengalami rekurensi, terdapat 2 pasien dengan akses ke Rumah Sakit yang mudah, tetapi dengan tingkat ekonomi orangtua atau caregiver yang tidak mampu yang keberatan dengan biaya transportasi ke Rumah Sakit, akibatnya pasien tidak rutin kontrol sesuai perintah dokter.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(55)

Dalam penelitian ini didapatkan bahwa pengaruh severity saat mulai terapi terhadap rekurensi tidak berpengaruh secara signifikan Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Avilucea (2009) yang menyebutkan bahwa initial severity tidak berpengaruh terhadap tingkat rekurensi. Penelitian lain oleh Haft GF (2007) pada 51 pasien dengan 73 clubfeet

yang diterapi dengan metode Ponseti yang diamati selama 2 tahun menyebutkan bahwa derajat severity pada awal terapi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat rekurensi. Dobbs MB (2007) dalam penelitiannya terhadap 51 pasien dengan total 86

clubfeet juga mengatakan bahwa tingkat severity pada awal terapi tidak berhubungan dengan

kekambuhan clubfoot yang diterapi dengan metode Ponseti.

4.2.3 Pengaruh Kepatuhan dalam Periode Bracing Terhadap Tingkat Rekurensi

Kepatuhan dalam periode bracing didalam penelitian ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian rekurensi. Avilucea (2009) dalam penelitiannya mengatakan bahwa tingkat kepatuhan dalam periode bracing merupakan faktor utama yang menentukan tingkat kekambuhan metode Ponseti dengan nilai Odd Ratio 120. Disebutkan juga dalam penelitian oleh Dobbs MB (2007) bahwa terputusnya pemakaian brace setelah koreksi merupakan faktor yang paling berpengaruh timbulnya rekurensi dengan nilai Odds Ratio 183. Haft GF (2007) juga melaporkan kegagalan dalam periode bracing mempunyai resiko 5 kali lebih besar terjadinya kekambuhan.

Pada penelitian ini, dari 5 pasien yang tidak patuh dalam periode bracing semuanya mengalami kekambuhan dan memerlukan pengegipan ulang. Hal ini disebabkan karena seringnya para orangtua pasien atau caregiver melepas brace karena ukuran sepatu sudah tidak fit di kaki pasien yang menyebabkan pasien tidak nyaman dan sering menangis.

(56)

43

4.2.4 Pengaruh Kemudahan Akses ke Rumah Sakit Terhadap Tingkat Rekurensi

Kemudahan akses ke rumah sakit terhadap tingkat rekurensi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat rekurensi. Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Avilucea (2009) dan Haft (2007) menyebutkan bahwa mudahnya akses ke rumah sakit yang dalam penelitian tersebut ditentukan dengan banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk pulang-pergi dari rumah ke rumah sakit dan jarak dari rumah ke rumah sakit dengan batasan kurang dari 75 mil (97,5 km) dan lebih dari 75 mil (97,5 km), dimana faktor tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan metode Ponseti. Pasien dengan jarak rumah ke rumah sakit yang jauh dan membutuhkan waktu yang banyak untuk tranportasi ke rumah sakit menyebabkan tidak rutin kontrol sesuai anjuran dokter sehingga tingkat kepatuhan dalam periode bracing menurun dan akan meningkatkan kekambuhan.

Pada penelitian ini, faktor akses ke rumah sakit tidak berpengaruh terhadap tingkat rekurensi dengan metode Ponseti, mungkin dikarenakan bahwa penjelasan awal dari dokter ahli mengenai pentingnya kontrol rutin dan tingkat kepatuhan memakai bracing menentukan keberhasilan metode Ponseti dipahami dengan baik oleh para orangtua / caregiver pasien. Dari 5 pasien yang mengalami kekambuhan, terdapat 3 pasien yang memiliki akses dari rumah ke rumah sakit tidak mudah. Dua pasien dikarenakan sarana transportasi umum yang belum ada karena tempat tinggal pasien di pedesaan dan kondisi jalan juga belum memadai sehingga waktu tempuh ke rumah sakit menjadi lebih lama, sedangkan satu pasien lainnya dikarenakan jaraknya yang sangat jauh (dari luar Pulau Jawa), menyebabkan pasien tidak rutin kontrol sehingga menurunkan tingkat kepatuhan dalam periode bracing.

Pengaruh kemudahan akses ke rumah sakit terhadap kepatuhan periode bracing

menggunakan analisis regresi logistic berganda didapatkan hasil signifikansi 0,012 (p <

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(57)

signifikan terhadap kepatuhan periode bracing. Nilai konstanta Beta adalah 4,053. Tanda positif menunjukkan bahwa semakin mudah akses ke rumah sakit maka tingkat kepatuhan semakin tinggi. Besarnya pengaruh kemudahan akses ke rumah sakit terhadap kepatuhan periode bracing sebesar 57,573.

4.2.5 Pengaruh Tingkat Pendidikan Orangtua atau Caregiver terhadap Tingkat Rekurensi Dalam penelitian ini tingkat pendidikan orangtua atau caregiver tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian rekurensi. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Avilucea (2009) yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan orangtua/caregiver akan mempengaruhi tingkat rekurensi, dimana tingkat pendidikan orangtua/caregiver kurang dari atau sama dengan SMA berhubungan dengan tingkat kekambuhan. Dobbs MB (2007) juga mengatakan bahwa pasien dengan tingkat pendidikan orangtua/caregiver kurang dari atau sama dengan SMA akan meningkatkan resiko kekambuhan sepuluh kali lipat daripada pasien dengan tingkat pendidikan orangtua/caregiver lebih dari SMA.

Pada penelitian ini dari total 100 pasien didapatkan sebanyak 86 pasien dengan tingkat pendidikan orangtua/caregiver kurang dari atau sama dengan SMA dimana semua pasien yang mengalami kekambuhan berasal dari kelompok tersebut, kemungkinan karena setiap kali kontrol selalu diberikan penjelasan kepada orangtua/caregiver mengenai pentingnya kontrol rutin setiap minggu dan kepatuhan memakai bracing sebagaimana pada proses metode Ponseti yang menjadi faktor penting terhadap keberhasilan metode Ponseti. Para orangtua/caregiver juga mendapatkan informasi dari orangtua pasien lain yang telah berhasil diterapi dengan metode Ponseti di klinik clubfoot Rumah Sakit Orthopedi Surakarta.

(58)

45

Pengaruh tingkat pendidikan orangtua/caregiver terhadap kepatuhan periode bracing

menggunakan analisis regresi logistic berganda didapatkan hasil signifikansi 0,077 (p ≥ 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orangtua/caregiver tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan periode bracing. Besarnya pengaruh tingkat pendidikan orangtua/caregiver terhadap kepatuhan periode bracing sebesar 0,0108. 4.2.6 Pengaruh Tingkat Ekonomi Orangtua / Caregiver terhadap Tingkat Rekurensi

Sesuai dengan penelitian oleh Ramirez (2011) yang mengatakan bahwa keberhasilan metode Ponseti tidak berhubungan dengan tingkat pendapatan keluarga pasien. Sedangkan Avilucea (2009) menyebutkan bahwa tingkat pendapatan orangtua per tahun ≤ $ 20.000 merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kekambuhan. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa tingkat ekonomi orangtua/caregiver pasien tidak berhubungan dengan kekambuhan, kemungkinan karena pasien dengan tingkat ekonomi keluarga yang tidak mampu mendapatkan fasilitas Jamkesmas/BPJS dimana semua biaya pengobatan dan serial pemasangan gips ditanggung Jamkesmas/BPJS. Dari 5 pasien yang kambuh, 4 pasien dari kelompok dengan tingkat ekonomi yang tidak mampu. Dimana orangtua/caregiver pasien tersebut tidak patuh dalam periode bracing dikarenakan orangtua pasien atau caregiver tidak mampu membayar biaya transportasi pulang-pergi dari rumah ke rumah sakit meskipun memiliki kartu Jamkesmas/BPJS. Dalam penelitian ini faktor tingkat ekonomi orangtua/caregiver belum memperhitungkan mengenai kemampuan orangtua/caregiver

untuk membayar biaya-biaya transportasi pulang-pergi dari rumah ke rumah sakit (diluar tanggungan Jamkesmas/BPJS).

Pengaruh tingkat ekonomi orangtua/caregiver terhadap kepatuhan periode bracing

menggunakan analisis regresi logistic berganda didapatkan hasil signifikansi 0,055 (p ≥

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(59)

secara signifikan terhadap kepatuhan periode bracing .

Secara simultan (bersama-sama) pengaruh umur saat mulai terapi, severity saat mulai terapi, kepatuhan periode bracing, kemudahan akses ke rumah sakit, tingkat ekonomi orangtua/caregiver dan tingkat pendidikan orangtua/caregiver terhadap kejadian rekurensi menggunakan analisis regresi logistic berganda didapatkan hasil signifikansi 0,000 (p < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa keenam variabel tersebut diatas secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian rekurensi.

Secara simultan (bersama-sama) pengaruh akses ke rumah sakit, tingkat ekonomi orangtua/caregiver dan tingkat pendidikan orangtua/caregiver terhadap kepatuhan periode

bracing, menggunakan analisis regresi logistic berganda didapatkan hasil signifikansi 0,012

(p < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ketiga variabel tersebut diatas secara simultan (bersama-sama) berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan periode bracing.

Gambar

Gambar 3. Skoring clubfoot menurut Diméglio................................................
Grafik 1. Prosentase Jenis Kelamin ...........................................................
Gambar 2. Pemasangan gips sampai paha
Gambar 3. Skoring clubfoot menurut Diméglio
+7

Referensi

Dokumen terkait

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

Secara teoritis dapat dijadikan sumbangan informasi dan keilmuan yang yang berarti bagi lembaga yang berkompeten mengenai pentingnya kondisi fisik atlet, khususnya atlet

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat

Berdiskusi kegiatan apa saja yang sudah dimainkannya hari ini, mainan apa yang paling disukai2. Bercerita pendek yang berisi

Hal ini juga tidak sejalan dengan tujuan dari program pemberdayaan yang dilakukan oleh CV Cabai Merah, karena kurang menyadarkan, kurang bisa koordinasi, kurang

menurut beratnya, selain dilapisi dengan seng dengan metode paduan besi-seng, mengandung karbon kurang dari 0,04% menurut beratnya dan dengan ketebalan tidak melebihi 1 ,2 mm

Hasil pengujian kinerja dari Media Pembelajaran Sistem Kelistrikan Engine Suzuki New Shogun FD 110 meliputi : hasil dari pengujian fungsi komponen yang