• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI OLEH HAMIDAH AULIA MANALU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI OLEH HAMIDAH AULIA MANALU"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH BEBAN PAJAK, TUNNELING INCENTIVE, MEKANISME BONUS, DAN PROFITABILITAS TERHADAP KEPUTUSAN

TRANSFER PRICING PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR

DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2017 - 2019

OLEH

HAMIDAH AULIA MANALU 170503021

PROGRAM STUDI STRATA 1 AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

PENGARUH BEBAN PAJAK, TUNNELING INCENTIVE, MEKANISME BONUS, DAN PROFITABILITAS TERHADAP KEPUTUSAN

TRANSFER PRICING PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR

DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2017 – 2019

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh beban pajak, tunnelling incentive, mekanisme bonus dan profitabilitas terhadap keputusan transfer pricing pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017 – 2019. Beberapa penelitan terdahulu mengenai transfer pricing memperlihatkan hasil yang berbeda-beda, oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk menguji ulang teori mengenai transfer pricing.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari laporan keuangan dan laporan tahunan perusahaan manufaktur selama periode 2017, 2018, dan 2019. Teknik menentukan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling dimana dari 195 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia terdapat 21 perusahaan yang memenuhi kriteria dan menjadi sampel. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis regresi logistik.

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakn analisis regresi logistik dengan software SPSS 23, diketahui bahwa secara parsial beban pajak dan mekanisme bonus tidak memiliki pengaruh terhadap keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing. Sementara itu tunneling incentive berpengaruh negatif signifikan terhadap keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing tetapi profitabilitas terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing. Hasil penelitian ini secara simultan beban pajak, tunneling incentive, mekanisme bonus dan profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing.

Kata Kunci: Transfer Pricing, Beban Pajak, Tunneling Incentive, Mekanisme Bonus, Profitabilitas.

(7)

ABSTRACT

PENGARUH BEBAN PAJAK, TUNNELING INCENTIVE, MEKANISME BONUS, DAN PROFITABILITAS TERHADAP KEPUTUSAN

TRANSFER PRICING PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR

DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2017 – 2019

This study aims to determine and analyze the effect of the tax expense, tunneling incentive, bonus mecahnism and profitability on transfer pricing decisions in manufacturing companies listed on the Indonesia Stock Exchange in 2017 – 2019. Several previous studies regarding transfer pricing showed different results. Therefore, this research needs to be done to reexamine the theory of transfer pricing.

This is the type of research quantitative research with quantitative descriptive approach. The data used in this study are secondary data derived from financial reports and annual reports of manufacturing companies for the period 2017, 2018, and 2019. The technique for determining the sample in this study is purposive sampling where of the 195 companies listed on the Indonesia Stock Exchange there were 21 companies who meet the criteria and become the sample.

The data analysis technique used is descriptive statistical analysis and logistic regression analysis.

Based on the results of data processing using logistic regression analysis with SPSS 23 software, we known that partially tax expense and bonus mecahnism have no effecton the company's decision of transferpricing.

Furthermore, tunneling incentive has a significant negative effecton the company's decision of transfer pricing but profitability proved to be positive and has significant effect on the company's decision of transfer pricing. The results of this study simultaneously the tax expense, tunneling incentive, bonus mecahnism and profitability significantly influence the company's decision of transfer pricing.

Keywords: Transfer Pricing, Tax Expense, Tunneling Incentive, Bonus mecahnism, Profitability.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, berkat, dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Beban Pajak, Tunneling Incentive, Mekanisme Bonus, Dan Profitabilitas Terhadap Keputusan Transfer Pricing Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2017 -2019” dengan baik, guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari program Studi S1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan moril maupun materil dari banyak pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda Herman Tomsol Paiduk Manalu dan Ibunda tercinta Siti Habibah yang senantiasa memberikan dukungan, nasehat, perhatian, semangat, pengorbanan serta doa yang tak henti – hentinya kepada penulis. Penulis juga ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Fadli, SE, M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. Syafruddin Ginting Sugihen, MAFIS, Ak., CPA selaku Ketua Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

(9)
(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 14

1.4 Manfaat Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

2.1 Teori Keagenan ... 17

2.2 Teori Akuntansi Positif ... 19

2.3 Transfer Pricing ... 23

2.3.1 Definisi Transfer Pricing ... 23

2.3.2 Tujuan Transfer Pricing ... 24

2.3.3 Afiliasi atau hubungan istimewa ... 25

2.3.4 Kewajaran (Arm’s Length Principle) ... 26

2.3.5 Metode Transfer Pricing ... 29

2.4 Beban Pajak ... 30

2.4.1 Definisi Beban Pajak ... 30

2.4.2 Fungsi Pajak ... 30

2.4.3 Sistem Pemungutan Pajak ... 31

2.5 Tunneling Inentive ... 32

2.6 Mekanisme Bonus ... 34

2.7 Profitabilitas ... 35

2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 35

2.9 Kerangka Konseptual ... 40

2.10 Hipotesis ... 46

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Jenis Penelitian ... 47

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 47

3.3 Operasional Variabel ... 47

3.3.1 Variabel Dependen ... 48

3.3.1.1 Transfer Pricing ... 48

3.3.2 Variabel Independen ... 48

3.3.2.1 Beban Pajak ... 48

3.3.2.2 Tunneling Incentive ... 49

(11)

3.3.2.3 Mekanisme Bonus ... 50

3.3.2.4 Profitabilitas ... 50

3.4 Skala Pengukuran Variabel ... 51

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ... 52

3.5.1 Populasi Penelitian ... 52

3.5.2 Sampel Penelitian ... 52

3.6 Jenis Data ... 55

3.7 Metode Pengumpulan Data ... 55

3.8 Metode Analisis Data ... 55

3.8.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 55

3.8.2 Analisis Logistic Regression ... 56

3.8.2.1 Menilai Keseluruhan Model (Overal All Model Fit) ... 56

3.8.2.2 Menilai Kelayakan Model Regresi ... 57

3.8.2.3 Uji Koefisien Determinasi R-Square .. 57

3.8.2.4 Matriks Klasifikasi ... 58

3.9 Uji Hipotesis ... 58

3.9.1 Uji Omnibus ... 58

3.9.2 Uji Wald ... 59

3.10 Model Regresi Logistik yang Terbentuk ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60

4.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 60

4.2 Analisis Logistic Regression ... 63

4.2.1 Menilai Keseluruhan Model (Overal All Model Fit) ... 63

4.2.2 Menilai Kelayakan Model Regresi ... 65

4.2.3 Koefisien Determinasi R-Square ... 66

4.2.4 Matriks Klasifikasi ... 66

4.3 Uji Hipotesis ... 67

4.3.1 Uji Omnibus ... 67

4.3.2 Uji Wald ... 68

4.4 Model Regresi Logistik yang Terbentuk ... 70

4.5 Pembahasan Hasil Penelitian ... 72

4.5.1 Pengaruh Beban Pajak terhadap keputusan Transfer Pricing ... 72

4.5.2 Pengaruh Tunneling Incentive terhadap keputusan Transfer Pricing ... 73

4.5.3 Pengaruh Mekanisme Bonus terhadap keputusan Transfer Pricing ... 74

4.5.4 Pengaruh Profitabilitas terhadap keputusan Transfer Pricing ... 76

4.5.5 Pengaruh Beban Pajak, Tunneling Incentive, Mekanisme Bonus, dan Profitabilitas terhadap keputusan Transfer Pricing ... 77

(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Keterbatasan ... 79

5.3 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

LAMPIRAN ... 86

(13)

DAFTAR TABEL

No.Tabel Judul Halaman

1.1 Rata-Rata Kecederungan Terjadinya Transfer Pricing Pada

Perusahaan Manufaktur ... 6

1.2 Perbedaan Tarif Pajak Antar Negara ... 8

1.3 Research Gap Transfer Pricing ... 13

2.1 Penelitian Terdahulu ... 38

3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran ... 51

3.2 Kriteria Pemilihan Sampel ... 53

3.3 Data Sampel Penelitian Periode 2017-2019 ... 54

4.1 Tabel Statistik Frekuensi ... 60

4.2 Tabel Statistik Frekuensi Variabel Transfer Pricing ... 60

4.3 Tabel Statistik Deskriptif ... 61

4.4 Tabel Likelihood Block 0 ... 63

4.5 Tabel Likelihood Block 1 ... 64

4.6 Tabel Hosmer and Lemeshow Test ... 65

4.7 Tabel Negelkerke R Square ... 66

4.8 Tabel Classification Table ... 67

4.9 Tabel Uji Signifikansi Model secara Simultan ... 68

4.10 Tabel Variables in the Equation ... 69

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

1.1 Grafik Perkembangan Kasus Praktik Transfer Pricing

Tahun 2017-2019 ... 2 2.1 Kerangka Konseptual ... 40

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1 Data Variabel Transfer Pricing, Beban Pajak, Tunneling

Incentive, Mekanisme Bonus dan Profitabilitas ... 86 2 Output Hasil Pengujian Data dengan Software SPSS versi 23 ... 92

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Globalisasi yang semakin pesat dan diikuti dengan kemajuan teknologi dan transportasi membuat seluruh dunia dapat terhubung dengan mudah.

Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting dalam kehidupan termasuk salah satunya aspek perekonomian diberbagai negara di dunia. Sehingga bukan hanya pemerintah saja melainkan para pebisnis maupun perusahaan ikut serta dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian sehingga akan mampu bersaing dan bertahan didalam industrinya dan dapat memenangkan pangsa pasar. Hal ini mendorong tumbuhnya perusahaan-perusahaan untuk memiliki berbagai cabang yang bukan hanya berada di satu negara saja namun juga dinegara lain. Arus barang, jasa maupun modal pun akan masuk dan atau keluar dari suatu negara tanpa adanya halangan. Oleh karena itu, setiap perusahaan tidak akan lepas dari adanya transaksi yang dilakukan dengan pihak afiliasi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Transaksi yang dilakukan dapat berupa transaksi penjualan maupun transaksi pembelian berupa barang, jasa maupun saham. Penentuan harga atas berbagai transaksi tersebut disebut dengan transfer pricing.

Sejatinya transfer pricing merupakan kegiatan yang wajar dan memang ada dalam sebuah kegiatan industrial. Tujuan utama transfer pricing adalah mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan. Namun sekarang ini, istilah transfer pricing dikenal memiliki konotasi negatif karena dianggap sebagai celah dalam praktik penyelewengan pajak khususnya bagi perusahaan-perusahaan

(17)

yang ingin memiliki cabang dibanyak negara atau yang disebut dengan perusahaan multinasional. Dengan adanya perbedaan tarif pajak antar negara maka perusahaan multinasional menggunakan praktik transfer pricing untuk dapat meminimalkan jumlah beban pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antar divisi. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Mutual Agreement Procedure (MAP) Statistics merilis bahwa kasus transfer pricing setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Berikut ini merupakan data perkembangan kasus praktik transfer pricing dari tahun 2017 – 2019.

Sumber :Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), data diolah oleh peneliti (2021)

Gambar 1.1

Grafik perkembangan kasus praktik transfer pricing tahun 2017-2019

Berdasarkan fenomena diatas dapat diketahui bahwa kasus transfer pricing merupakan isu global yang semakin bertambah dan meningkat diseluruh dunia.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019

Kasus Transfer Pricing Tahun 2017 -2019

779

930

1156

(18)

Dari data tersebut terlihat bahwa kasus transfer pricing terus mengalami peningkatan dimana pada tahun 2017 sebanyak 779 kasus. Pada tahun 2018, kasus transfer pricing meningkat sebanyak 930 kasus dimana OECD juga mencatat jumah sengketa kasus transfer pricing baru naik 20% dan jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan sengketa kasus lainnya yang hanya pada kisaran 10%.

Selain itu, disertai dengan penyelesaian kasusnya yang juga kian melambat daripada kasus yang lainnya. Dan pada tahun 2019 kasus transfer pricing kembali meningkat sebanyak 1156 kasus.

Transfer pricing sudah bukan merupakan peristiwa yang asing didunia perpajakan diseluruh dunia termasuk di negara Indonesia. Berdasarkan informasi dari kontan.co.id, pengamat pajak dari Center For Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan bahwa kerugian negara atas transaksi yang dilakukan perusahaan terafiliasi di Indonesia mencapai Rp20 triliun – Rp25 triliun. Menurut Yustinus terdapat beberapa sektor yang ditengarai melakukan transfer pricing diantaranya sektor manufaktur, jasa dan perdagangan. Kasus transfer pricing perusahaan manufaktur yang terkenal di Indonesia salah satunya pernah terjadi pada PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Kasus ini diawali dengan Direktorat Jenderal Pajak mencurigai adanya praktik transfer pricing yang dilakukan oleh PT. Toyota setelah secara simultan dilakukan pemeriksaan terhadap surat pemberitahuan pajak tahunan PT. Toyota pada tahun 2005. Dimana dilakukan pula perhitungan dan penyampaian pajak tahun 2007 dan 2008 oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pemeriksaan ini dilakukan karena Toyota merasa bahwa pada tahun tersebut mereka kelebihan dalam membayar pajak,

(19)

sehingga meminta negara untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajaknya tersebut. Berdasarkan pemeriksaan pada SPT tahun 2005, ditemukan sejumlah kejanggalan, yakni turunnya laba bruto lebih dari 30 persen, dari sebelumnya Rp.1,5 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp.950 miliar pada tahun 2004. Selain itu, rasio gross margin atau perimbangan antara laba kotor dengan tingkat penjualan juga menurun dari 14,59 persen pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58 persen di tahun 2004. Pada pertengahan tahun 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya di Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang dengan alasan mempunyai utang jatuh tempo yang tidak bisa ditangguhkan lagi.

Sehingga saat ini, Toyota Motor Corporation Jepang menguasai 95 persen saham Toyota Astra Motor dan nama perusahaan berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek (ATPM) dengan nama lama, Toyota Astra Motor (TAM) dimana Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham. Setelah restrukturisasi pada tahun 2003 itulah, laba gabungan kedua perusahaan Toyota anjlok. Melorotnya keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada pemerintah juga berkurang dimana sebelumnya perusahaan ini bisa membayar pajak sampai setengah triliun rupiah. Pada 2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM) hanya membayar pajak Rp 168 miliar. Walaupun laba turun, omzet produksi dan penjualan singapura justri naik 40%. Hal inilah yang membuat Toyota diduga

(20)

melakukan permainan harga dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar melalui transfer pricing.

Fenomena kasus transfer pricing lainnya juga menimpa perusahaan manufaktur lain yaitu PT. Caterpillar Indonesia. Dimana berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1795/B/PK/PJK/2016 mengenai peninjauan kembali mengenai adanya transfer pricing dimana kasus ini diawali dengan berdasarkan tanggapan pemeriksa yang menyatakan bahwa pada tahun 2009 industri alat berat di Indonesia memang mengalami penurunan penualan sebagaimana terjadi pada tiga industri alat berat di Indonesia yaitu PT. Komatsu Indonesia, PT Caterpillar Indonesia dan PT Hitachi Cibstruction Machinery Indonesia. Sedangkan PT Caterpillar Indonesia banding rugi. Bahwa berdasarkan data laporan keuangan Tahun Pajak 2009, MTC PT Caterpillar Indonesia untuk tahun 2009 jauh dibawah data pembanding industri sejenis yaitu sebesar -27,01%.

Tim pemerika telah menganalisa bahwa kerugian PT Caterpillar Indonesia sebenarnya bukan disebabkan karena penurunan penjualan namun terdapat biaya- biaya yang mengerus laba PT Caterpillar Indonesia seperti pembayaran license fee sebesar 2-5% dari total penjualan, interest expense kepada perusahaan afiliasi sebesar 0,73-0,91% dan pembayaran sales commissions kepada perusahaan afiliasi sebesar 3% dari total penjualan. Berdasarkan data-data tersebut, transaksi afiliasi PT Caterpillar Indonesia sebagaimana dilaporkan dalam PT Tahunan PPh Badan tahun Pajak 2009 memang bermasalah dan tidak mencerminkan kewajaran dan kelaziman usaha.

(21)

Tabel 1.1

Rata-rata Kecederungan Terjadinya Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur

Tahun Rata-rata transfer pricing penjualan

Rata-rata transfer pricing pembelian 2017 437.193.882.278 86.893.870.989 2018 462.012.733.635 109.485.021.295 2019 423.614.548.241 127.997.678.631

Sumber : Laporan tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, data diolah oleh peneliti (2021)

Tabel diatas menjelaskan mengenai rata-rata peningkatan dan penurunan transfer pricing yang terjadi pada 195 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2017-2019. Pada tahun 2017 rata-rata transfer pricing penjualan pada perusahaan manufaktur adalah sebesar 437.193.882.278, kemudian meningkat pada tahun 2018 sebesar 462.012.733.635. Namun pada tahun 2019 mengalami penurunan menjadi 423.614.548.241. Sementara itu pada tahun 2017, rata-rata transfer pricing pembelian pada perusahaan manufaktur adalah sebesar 86.893.870.989, tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 109.485.021.295.

disusul tahun 2019 yang mengalami kenaikan menjadi 127.997.678.631.

Berdasarkan terjadinya kecenderungan fluktuasi transfer pricing di perusahaan manufaktur membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai transfer pricing. Hal ini dikarenakan transfer pricing merupakan salah satu skema yang sangat rawan untuk dijadikan jalan pintas oleh perusahaan baik untuk meminimalkan biaya-biaya, serta memperoleh laba yang besar. Oleh karena itu, untuk meminimalisasi hal tersebut, seharusnya diperlukan adanya regulasi

(22)

hukum yang kuat dalam mengatur pelaksanaan transfer pricing agar tidak merugikan negara.

Sementara itu, pemerintah Indonesia mulai memperhatikan praktik transfer pricing sejak tahun 1993, dan hanya diatur secara singkat melalui SE- 04/PJ.7/1993 yang kemudian disusul dengan KMK-650/KMK.04/1994 tentang daftar tax haven countries. Kemudian setelah itu baru pada tahun 2009, Indonesia lebih serius memperhatikan praktik transfer pricing melalui UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal 18 ayat (3) UU PPh menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan kembali besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (arm’s length principle) dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Dalam hubungan istimewa inilah sangat mungkin terjadi praktik transfer pricing. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain yang terjadi karena adanya keterkaitan antara satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa (Mangoting, 2000). Hubungan istimewa ini dapat menyebabkan adanya kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga pasar.

Transfer pricing sendiri kebanyakan digunakan oleh perusahaan multinasional untuk tujuan perencanaan pajak. Marfuah dan Azizah (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa :

(23)

Dari sisi pemerintahan, transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Sedangkan Di pihak lain dari sisi bisnis, dari pihak bisnis, perusahaan cenderung meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk di dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax).

Setiap negara memiliki berbagai keadaan perekonomian yang berbeda sehingga keadaan ini tentunya berpengaruh pada tarif pajak yang berbeda pula.

Tabel 1.2

Perbedaan Tarif Pajak Antar Negara

Negara Tarif pajak

Singapura 17%

Brunei 18%

Kamboja 20%

Thailand 20%

Vietnam 20%

Indonesia 24%

Malaysia 24%

China 25%

Myanmar 25%

Filipina 30%

India 30%

Sumber : www.pajak.go.id

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa tarif pajak yang semakin besar di masing-masing negara menjadi dorongan dan motivasi perusahaan untuk melakukan transfer pricing dengan harapan dapat meminimalkan beban pajaknya.

Transaksi transfer pricing tersebut dilakukan dengan cara mentransfer laba yang diperoleh perusahaan ke negara yang menerapkan tarif pajak lebih rendah untuk memperkecil harga jual antara perusahaan. Hal ini tentunya akan merugikan negara dikarenakan korporasi yang akhirnya membayar pajak lebih sedikit dari

(24)

beroperasi tentunya akan cukup berpengaruh terhadap besarnya total penerimaan pajak di negara tersebut.

Selain didasarkan pada penghindaran pembayaran beban pajak, praktik transfer pricing juga dapat dipengaruhi oleh alasan non pajak seperti tunneling incentive. Salah satu bentuk dari tunneling adalah peran pemegang saham mayoritas dalam memindahkan sumber daya perusahaan melalui transaksi hubungan istimewa. Transaksi tersebut mencakup kontrak penjualan seperti transfer pricing. Dalam penelitian Fauziah dan Saebadi (2018) jika praktek transfer pricing dalam tunneling ini dilakukan oleh perusahaan anak dengan cara menjual persedian kepada perusahaan induk dengan harga jauh dibawah harga pasar, maka secara otomatis akan berpengaruh pada pendapatan yang diperoleh perusahaan anak, yang mengakibatkan laba perusahaan akan semakin kecil dari yang seharusnya. Atau bahkan apabila perusahaan anak membeli persediaan kepada perusahaan induk dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga wajar maka pembebanan biaya bahan baku itu juga akan sangat berpengaruh terhadap laba yang akan diperoleh perusahaan anak, dan hal ini akan sangat menguntungkan bagi perusahaan induk yang tidak lain adalah pemegang saham mayoritas atas perusahaan anak tersebut. Oleh sebab itu, semakin besar kepemilikan pemegang saham maka akan semakin memicu terjadinya praktik transfer pricing.

Hal lain yang dapat mempengaruhi keputusan perusahaan dalam melakukan transfer pricing yaitu mekanisme bonus. Salah satu cara direksi untuk mendapatkan bonus yaitu dengan cara memaksimalkan laba. Sistem pemberian

(25)

kompensasi bonus ini akan memberikan pengaruh terhadap direksi dalam merekayasa laba. Direksi akan cenderung melakukan tindakan yang mengatur laba bersih untuk dapat memaksimalkan bonus yang akan mereka terima. Bonus dapat diartikan sebagai imbalan yang didapatkan jika berhasil dalam hal pencapaian tujuan-tujuan yang sudah ditargetkan oleh perusahaan. Oleh karena itulah direksi akan memilih untuk melakukan transfer pricing agar dapat memaksimalkan laba perusahaan. Dimana jika semakin tinggi laba perusahaan maka akan semakin besar bonus yang akan diterima oleh direksi.

Selanjutnya faktor lain yang dapat mempengaruhi keputusan perusahaan dalam melakukan transfer pricing adalah profitabilitas. Profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba selama periode tertentu.

Perusahaan tentunya menginginkan untuk mendapatkan laba yang besar namun cenderung untuk menghindari pembayaran pajak yang besar pula. Perusahaan yang memiliki keuntungan lebih cenderung untuk terlibat dalam transaksi atau skema untuk menghindari pajak perusahaan (Rego, 2003) Oleh karena itu, perusahaan cenderung akan mencari cara lain yaitu dengan melakukan transfer pricing.

Penelitian ini mengambil sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor manufaktur merupakan jenis usaha yang bergerak di sektor riil dan merupakan sektor yang banyak dipilih diminati oleh investor asing serta mempunyai kaitan intern yang erat dengan perusahaan induk maupun anak perusahaan di luar negeri. Dimana sektor manufaktur memiliki jumlah perusahaan yang paling banyak dibandingkan jenis

(26)

usaha lainnya dimana terdiri dari beberapa sektor industri yaitu sektor industri dasar dan kimia, sektor aneka industri, dan sektor industri barang konsumsi. Oleh karena itu, perusahaan manufaktur memiliki potensi yang tinggi dalam melakukan transfer pricing.

Penelitian terkait mengenai transfer pricing juga telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Dalam penelitian Anisyah (2018) menunjukkan bahwa variabel beban pajak berpengaruh positif terhadap transfer pricing pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sedangkan penelitian Khotimah (2018) menujukkan variabel beban pajak berpengaruh negatif terhadap transfer pricing. Hal tersebut dikarenakan perusahaan dengan beban pajak tinggi terbukti pajak yang dibayarkan juga tinggi. Namun perusahaan ini tidak terindikasi melakukan kegiatan transfer pricing. Dengan kata lain, perusahaan ikut membantu pemerintah dalam mengoptimalkan pendapatan negara melalui pembayaran pajak yang dapat digunakan dalam pembangunan nasional.

perusahaan yang cenderung stabil dan cukup baik juga dapat menjadi pertimbangan bagi investor untuk setiap keputusan investasinya.

Kemudian dalam penelitian Saifudin dan Putri (2018) yang menyimpulkan bahwa variabel tunneling incentive tidak berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing. Sedangkan dalam penelitian Saraswati dan Sujana (2017) tunneling incentive berpengaruh positif pada indikasi melakukan transfer pricing di perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, dimana entitas dengan kepemilikan yang hanya dikuasai oleh beberapa pihak dimana pihak yang menguasai entitas ini cenderung bertindak yang hanya menguntungkan bagi

(27)

dirinya sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan tunneling dengan melakukan transaksi transfer pricing untuk meningkatkan manfaat privat yang diperoleh pemegang saham pengendali tetapi pemegang saham minoritas juga ikut menanggung beban dari transaksi ini.

Dalam penelitian Purwanto dan Tumewu (2018) variabel mekanisme bonus tidak berpengaruh positif pada keputusan transfer pricing perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Tidak berpengaruhnya kompensasi terhadap keputusan transfer pricing dikarenakan peluang dewan direksi untuk melakukan keputusan transfer pricing juga dimotivasi oleh pengendalian internal perusahaan. Berbeda dengan penelitian Melmusi (2016) menunjukkan bahwa variabel mekanisme bonus berpengaruh positif dan signifikan terhadap transfer pricing.

Penelitian Cahyadi dan Noviari (2018) menunjukkan bahwa variabel profitabilitas berpengaruh positif pada keputusan perusahaan dalam melakukan transfer pricing pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Berbeda dengan penelitian Nurul (2019) menunjukkan bahwa variabel profitabilitas tidak memiiki pengaruh pada keputusan perusahaan dalam melakukan praktik transfer pricing pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas tinggi maupun perusahaan dengan tingkat profitabilitas rendah memiliki kemungkinan yang sama dalam melakukan praktik transfer pricing.

(28)

Tabel 1.3

Research Gap Transfer Pricing No Variabel

Dependen

Variabel Independen

Peneliti Hasil

1.

Transfer Pricing

Beban pajak Anisyah (2018) Berpengaruh positif Khotimah (2018) Berpengaruh

negative

2. Tunneling

Incentive

Saraswati & Sujana (2017)

Berpengaruh positif Saifudin &

Putri (2018)

Tidak berpengaruh

3. Mekanisme

Bonus

Melmusi (2016) Berpengaruh positif Purwanto &

Tumewu (2018)

Tidak berpengaruh

4. Profitabilitas Cahyadi &Noviari (2018)

Berpengaruh positif

Nurul (2019) Tidak berpengaruh Berdasarkan latar belakang, fenomena, dan penelitian terdahulu tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ‘’Pengaruh Beban Pajak, Tunneling Incentive, Mekanisme Bonus, Dan Profitabilitas Terhadap Keputusan Transfer Pricing Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2017-2019’’

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah Beban pajak berpengaruh terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan transfer pricing pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017-2019?

(29)

2. Apakah Tunneling Incentive berpengaruh terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan transfer pricing pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017-2019?

3. Apakah Mekanisme Bonus berpengaruh terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan transfer pricing pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017-2019?

4. Apakah Profitabilitas berpengaruh terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan transfer pricing pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017-2019?

5. Apakah Beban pajak, Tunneling Incentive, Mekanisme Bonus, dan Profitabilitas berpengaruh secara simultan terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017-2019?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Beban pajak terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017-2019.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Tunneling Incentive terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017-2019.

(30)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Mekanisme Bonus terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017-2019.

4. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Profitabilitas terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017-2019.

5. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Beban pajak, Tunneling Incentive, Mekanisme Bonus, dan Profitabilitas secara simultan terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2017-2019.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini tidak hanya bermanfaat bagi peneliti tetapi diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak, yaitu bagi perusahaan, pemerintah dan peneliti selanjutnya.

1. Bagi peneliti

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan, pengalaman, penelaahan dan pemahaman mengenai adanya keputusan Transfer Pricing.

2. Bagi Perusahaan

Guna sebagai bahan pertimbangan dan referensi bagi perusahaan sebelum memutuskan untuk melakukan Transfer Pricing agar kedepannya dapat selaras dengan tujuan perusahaan ke arah yang lebih baik.

(31)

3. Bagi Pemerintah

Guna sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki peraturan perundangan- undangan mengenai kegiatan Transfer Pricing terhadap perusahaan- perusahaan multinasional agar dapat mengurangi berbagai kecurangan yang terjadi.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dan pembanding studi/penelitian dalam melakukan penelitian mengenai Transfer Pricing yang dilakukan oleh suatu perusahaan.

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Keagenan

Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan (agency relationship) sebagai suatu kontrak satu orang atau lebih (prinsipal) yang memerintahkan orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal dan memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Dimana pihak yang berperan sebagai principal yaitu pemegang saham, sedangkan pihak yang bertindak sebagai agen adalah manajemen/manajer.

Dalam penelitian Saraswati dan Sujana (2017), mereka mengemukakan bahwa agency conflict timbul akibat adanya asimetri informasi antara pemilik, dan manajer perusahaan dimana tujuan individu cenderung selalu diprioritaskan oleh manajer daripada tujuan perusahaan. Menurut Colgan (2001) terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan munculnya masalah keagenan, yaitu:

1. Moral Hazard. Moral hazard adalah perilaku seseorang saat risiko akibat tindakannya akan ditanggung oleh pihak lain.

2. Penahanan Laba (Earnings Retention). Masalah ini terjadi karena kecenderungan untuk melakukan investasi yang berlebihan oleh pihak manajemen (agen) melalui peningkatan dan pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuatan, prestise, atau penghargaan atas dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan pemegang saham.

3. Horison Waktu (Time Horizon). Horison waktu terjadi sebagai akibat dari kondisi arus kas. Kelebihan arus kas cenderung diinvestasikan dalam hal-hal

(33)

yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan utama perusahaan di mana prinsipal lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum pasti dan memiliki risiko tinggi, sedangkan manajemen cenderung menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan yang mereka miliki dengan risiko yang lebih rendah.

4. Penghindaran Risiko Manajerial (Manajerial Risk Aversion). Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya, sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari keputusan investasi yang meningkatkan risikonya.

Dapat disimpulkan bahwa teori keagenan merupakan teori yang menjelaskan hubungan yang terjadi antara dua pihak terkait dimana mereka memiliki kesepakatan untuk memakai jasa. Hubungan teori agensi dengan transfer pricing adalah mengenai bagaimana pihak-pihak yang terlibat didalam perusahaan akan bertindak dimana setiap pihak diasumsikan selalu bertindak untuk kepentingan diriya sendiri. Manajemen selaku agen yang diberi wewenang oleh principal untuk mengelola aktiva perusahaan mempunyai tanggung jawab agar principal mendapatkan keuntungan yang besar sehinggamanajemen mempunyai dorongan untuk melakukan transfer pricing sebagai tujuan mengurangi pengeluaran beban pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan.

Pemegang saham sebagai pihak principal tentunya mengadakan kontrak untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Disisi lain, manajemen termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan

(34)

kebutuhan ekonomi dan psikologisnya dengan harapan mendapatkan gaji, bonus, serta tunjangan lain yang bersumber dari laba serta aktivitas operasi perusahaan.

Oleh karena itu, manajemen memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik untuk tujuan mendapatkan bonus dari principal yaitu dengan melakukan transfer pricing.

Adanya teori keagenan dalam penelitian ini juga menjelaskan konflik antar pemegang saham yang menyebabkan timbulnya peluang untuk mengeksploitasi hak dari pemegang saham minoritas melalui tunneling incentive. Pemegang saham mayoritas memindahkan asset dan laba dari perusahaan untuk kepentingan mereka sendiri, dimana transaksi tersebut dilakukan dengan transfer pricing. Teori ini memberikan justifikasi atas pengaruh faktor – faktor tersebut terhadap keputusan transfer pricing di perusahaan.

2.2 Teori Akuntansi Positif

Menurut Watts & Zimmerman (1986) menyebutkan bahwa teori Akuntansi Positif dapat menjelaskan mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan, dan untuk memprediksi kebijakan akuntansi yang hendak dipilih oleh perusahaan dalam kondisi tertentu. Teori akuntansi positif mengusulkan tiga hipotesis manajemen laba, yaitu: (1) hipotesis rencana bonus (the bonus plan hypotesis), (2) hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant hypotesis), dan (3) hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis). Hipotesis tersebut dijelaskan sebagai berikut:

(35)

1. Hipotesis Rencana Bonus (the bonus plan hypotesis)

Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, Hipotesis ini menjelaskan bahwa para manajer perusahaan dengan rencana bonus cenderung untuk memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini. Para manajer menginginkan imbalan yang tinggi dalam setiap periode. Jika imbalan mereka bergantung pada bonus yang dilaporkan pada pendapatan bersih, maka kemungkinan mereka bisa meningkatkan bonus mereka pada periode tersebut dengan melaporkan pendapatan bersih setinggi mungkin. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan memilih kebijakan akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode tersebut. Tentu saja, sesuai dengan karakter dari proses akrual, hal ini akan cenderung menyebabkan penurunan pada laba dan bonus-bonus yang dilaporkan pada masa yang akan datang, dengan taktor-faktor lain tetap sama. Namun nilai masa kini (present value) dari kegunaan manajer dari lini bonus masa depan yang dimilikinya akan meningkat dengan memberikan perubahan menuju masa kini.

2. Hipotesis Kontrak Hutang (the debt covenant hypotesis)

Hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini. Alasannya adalah laba yang dilaporkan yang makin meningkat akan

(36)

menurunkan kelalaian teknis. Sebagian besar dari perjanjian hutang berisi kesepakatan bahwa pemberi pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian.

Sebagai contoh, perusahaan yang mendapat pinjaman boleh sepakat memelihara level tertentu dari hutang terhadap harta, laporan bunga, modal kerja, dan harta pemilik saham. Jika kesepakatan semacam itu dikhianati, perjanjian hutang tersebut bisa memberikan/mengeluarkan penalti, seperti pembatasan dividen atau tambahan pinjaman. Prospek dari pelanggaran kesepakatan membatasi kegiatan perusahaan dalam operasional perusahaan itu sendiri. Untuk mencegah, atau paling tidak menunda, pelanggaran semacam itu, perusahaan bisa memilih kebijakan akuntansi tertentu yang bisa meningkatkan laba masa kini. Berdasarkan hipotesis kesepakatan hutang, ketika perusahaan mendekati kelalaian, atau memang sudah berada dalam lalai/cacat, lebih cenderung untuk melakukan hal ini.

3. Hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis)

Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin besar biaya politik yang mesti ditanggung oleh perusahaan, manajer cenderung lebih memilih prosedur akuntansi yang menyerah pada laba yang dilaporkan dari masa sekarang menuju masa depan. Hipotesis biaya politik memperkenalkan suatu dimensi politik pada pemilihan kebijakan akuntansi. Perusahaan- perusahaan yang ukurannya sangat besar mungkin dikenakan standar kinerja yang lebih tinggi, dengan penghargaan terhadap tanggung jawab lingkungan, hanya karena mereka merasa bahwa mereka besar dan berkuasa. Jika perusahaan besar juga memiliki kemampuan meraih profit yang tinggi, maka

(37)

biaya politik bisa diperbesar. Perusahaan-perusahaan juga mungkin akan menghadapi biaya politik pada poinpoin waktu tertentu. Persaingan luar negeri mungkin mengarah pada menurunnya profitabilitas kecuali perusahaan yang terkena dampaknya ini bisa mempengaruhi proses politik untuk bisa melindungi impor secara keseluruhan. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan mengadopsi kebijakan akuntansi income decreasing (pendapatan menurun) dalam rangka meyakinkan pemerintah bahwa profit sedang turun.

Dari penjelasan teori akuntansi positif tersebut, maka peneliti dapat melihat hubungan antara teori akuntansi positif dengan penelitian ini, serta adanya variabel mekanisme bonus yang bersangkutan dengan hipotesis rencana bonus (the bonus plan hypothesis). Hal tersebut dikaitkan jika manajer ingin memperoleh bonus apabila mencapai kinerja tertentu yang didasarkan pada laba perusahaan secara keseluruhan maka dengan sistem pemberian bonus ini akan memberikan pengaruh kepada manajer untuk dapat mengatur laba perusahaan setinggi mungkin. Hal ini mengakibatkan manajer melakukan perekayasaan atas data laporan keuangan agar terlihat bahwa laba telah tercapai sehingga manajer akan mendapatkan bonus yang maksimal. Oleh karena itu, tindakan yang dapat dilakukan manajer untuk dapat mengatur laba bersih perusahaan tersebut adalah dengan melakukan transfer pricing.

(38)

2.3 Transfer Pricing

2.3.1 Definisi Transfer Pricing

Dalam Peraturan Dirjen Pajak (PER-32/PJ/2011) Pasal 1 ayat 8, proses dalam menentukan harga transfer antar pihak istimewa disebut dengan transfer pricing. Transfer Pricing adalah suatu harga jual khusus yang digunakan dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division) (Cahyadi & Noviari, 2018).

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Purwanto dan Tumewu (2018) dimana Transfer pricing adalah harga yang terkandung pada setiap produk atau jasa dari satu divisi yang di transfer ke divisi yang lain dalam perusahaan yang sama atau antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Selanjutnya mereka mengemukakan bahwa transaksi transfer pricing dapat terjadi pada divisi divisi dalam satu perusahaan, antar perusahaan lokal, atau perusahaan lokal dengan perusahaan yang ada di luar negeri.

Menurut Rahayu (2010) dalam konteks praktik penghindaran pajak maka modus transfer pricing yakni dengan merekayasa pembebanan harga transaksi antara perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dalam rangka meminimalkan beban pajak yang terutang secara keseluruhan atas grup perusahaan.

Dari definisi yang telah dikemukakan dari para pendapat ahli, dapat diketahui bahwa transfer pricing adalah harga yang dibebankan atas transaksi penjualan barang atau jasa kepada perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa atau biasa disebut sebagai pihak afiliasi antar cabang perusahaan atau

(39)

induk perusahaan. Walaupun istilah transfer pricing tersebut sebenarnya merupakan istilah netral tetapi dalam praktiknya istilah transfer pricing sering kali diartikan sebagai upaya untuk memperkecil pajak dengan cara menggeser harga atau laba antar perusahaan dalam satu grup (Fauziah & Saebadi, 2018)

2.3.2 Tujuan Transfer Pricing

Menurut Darussalam, dkk (2013) transfer pricing dapat diaplikasikan untuk tiga tujuan yang berbeda diantaranya sebagai berikut :

1. Dari sisi hukum perseroan, tujuan transfer pricing dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan efesiensi dan sinergi antara perusahaan dengan pemegang sahamnya. Namun demikian, kebijakan transfer pricing suatu perusahaan juga harus melindungi kreditur dan pemegang saham minoritas dari perlakuan yang tidak fair.

2. Dari sisi akuntansi manajerial, transfer pricing dapat digunakan untuk memaksimumkan laba suatu perusahaan melalui penetuan harga barang atau jasa oleh suatu unit organisasi dari suatu perusahaan kepada unit organisasai lainya dalam perusahaan yang sama.

3. Dari perspektif perpajakan, transfer pricing adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Proses kebijakan tersebut menentukan pula besaran penghasilan dari setiap entitas yang terlibat. Perusahaan-perusahaan multinasional menggunakan harga transfer untuk melakukan penjualan dan pengalihan asset serta jasa dalam grup perusahaan.

(40)

2.3.3 Afiliasi (associated enterprises) atau hubungan istimewa (special relationship)

Pengertian mengenai hubungan istimewa menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No.7) adalah sebagai berikut (Harimurti, 2007) :

(a) Perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara (intermediaries), mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries dan fellow subsidiaries)

(b) Perusahaan asosiasi (associated company)

(c) Perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut (yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahaan pelapor)

(d) Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi dan manajer dari perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut

(e) Perusahaan di mana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang

(41)

diuraikan dalam (c) atau (d), atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut.

Sementara itu, berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 Tahun 2010, pihak- pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah apabila salah satu pihak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain, atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan.

Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah suatu pengalihan sumber daya, atau kewajiban antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, tanpa menghiraukan apakah suatu harga diperhitungkan.

2.3.4 Kewajaran (Arm’s Length Principle)

Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011, menyatakan bahwa :

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.

Dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka kondisi dari transaksi tersebut haruslah sama dengan transaksi antara pihak yang independen, sehingga ketidaksesuaian, dapat menyebabkan dilakukannya koreksi oleh pihak otoritas fiskal (Harimurti, 2007).

Dalam Peraturan Dirjen Pajak juga diatur metode apa yang dapat digunakan untuk menentukan harga transfer yang wajar yang dilakukan oleh perusahaan

(42)

a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP)

Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak- pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.

b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)

Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.

c. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)

Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh

(43)

perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.

d. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM)

Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit Method Based) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.

e. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin method/TNMM)

Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin method/TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan presentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.

(44)

2.3.5 Metode Transfer Pricing

Menurut Mangoting (2000), beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan perusahaan konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi yaitu :

1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)

Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer atas biaya variabel dan tetap yang bisa dalam 3 pemelihan bentuk yaitu : biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).

2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing) Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam mengunakan transfer pricing yang berdasarkan harga pasar.

3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)

Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada

(45)

akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.

2.4 Beban Pajak

2.4.1 Definisi Beban Pajak

Menurut PSAK 46 (2014) tentang beban pajak (penghasilan pajak) adalah jumlah gabungan pajak kini dan pajak tangguhan yang diperhitungkan dalam menentukan laba-rugi pada suatu periode kemudian dipadankan dengan dengan laba akuntansi. Beban pajak (penghasilan pajak) terdiri dari beban pajak kini (penghasilan pajak kini) dan beban pajak tangguhan (penghasilan pajak tangguhan). Dalam penelitian Khotimah (2018), Beban pajak merupakan pajak yang dibebankan kepada perorangan ataupun badan yang wajib dibayarkan kepada negara sebagai salah satu sector penerimaan pendapatan negara.

Dari definisi yang telah dikemukakan maka dapat diketahui bahwa beban pajak adalah adalah jumlah agregat pajak kini dan pajak tangguhan yang dapat diperhitungkan dalam penghitungan laba atau rugi pada satu periode akuntansi.

2.4.2 Fungsi Pajak

Perusahaan harus wajib ikut membantu pemerintah dalam mengoptimalkan pendapatan negara melalui pembayaran pajak yang dapat digunakan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat umum. Menurut Resmi (2008), terdapat dua fungsi pajak, yaitu:

a. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)

Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu

(46)

maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara.

b. Fungsi Regularend (Pengatur)

Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan.

2.4.3 Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Resmi (2008) dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan yaitu:

a. Official Assement System

Official Assement System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai denga peraturan perundang-undangan perpajakan yag berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada ditagan para aparatur perpajakan.

b. Self Assessment System

Self Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri julah pajak yag terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perunag-undangan perpajakan yang beralaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu mengitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang

(47)

sedang berlaku dan mempunyai kejujuran yang tinggi serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak.

c. With Holding System

With Holding System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukkan pihak ketiga ini dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan presiden dan peraturan lainnya untu memotong dan memungut pajak, menyetor, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia.

2.5 Tunneling Incentive

Menurut Zhang, tunneling merupakan perilaku manajemen atau pemegang saham mayoritas yang mentransfer aset dan profit perusahaan untuk kepentingan mereka sendiri, namun biaya dibebankan kepada pemegang saham minoritas (Mutamimah, 2009). Pendapat lain dikemukakan oleh Dwinanto yang mengemukakan bahwa tunneling dapat juga dilakukan dengan cara menjual produk perusahaan kepada perusahaan yang memiliki hubungan dengan manajer dengan harga yang lebih rendah dibandingkan mempertahankan posisi/jabatan pekerjaannya meskipun mereka sudah tidak kompeten atau berkualitas lagi dalam menjalankan usahanya atau menjual aset perusahaan kepada perusahaan yang memiliki hubungan dengan manajer (Saraswati dan Sujana, 2017). Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa contoh dari tunneling

(48)

lain dengan harga dibawah harga pasar, dan memilih anggota keluarga untuk menduduki posisi penting di perusahaan.

Struktur kepemilikan perusahaan mencerminkan jenis konflik keagenan yang terjadi dimana terdiri dari 2 macam yaitu struktur kepemilikan tersebar dan strutur kepemilikan terkonsentrasi (Pramana, 2014). Selanjutnya dikatakan bahwa struktur kepemilikan tersebar mempunyai ciri bahwa manajemen perusahaan dikontrol oleh manajer. Dalam struktur kepemilikan ini, pemegang saham secara umum tidak bersedia melakukan monitoring karena mereka harus menanggung seluruh biaya monitoring dan hanya menikmati keuntungan sesuai dengan proporsi kepemilikan saham mereka .Oleh karena itu, konflik keagenan yang terjadi pada struktur kepemilikan tersebar adalah konflik keagenan antara manajer dengan pemegang saham.

Sementara itu, struktur kepemilikan terkonsentrasi di negara maju dengan negara berkembang memiliki kondisi yang berbeda. Di negara-negara maju kepemilikan terkonsentrasi memeiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja perusahaan karena adanya kegiatan monitoring dan kontrol terhadap manajemen perusahaan. Namun, di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan negara Asia lainnya, struktur kepemilikan terkonsentrasi yang secara umum didominasi oleh keluarga pendiri serta lemahnya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas menimbulkan konflik keagenan antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas (Pramana 2014). Oleh karena itu, jika kepemilikan saham terkonsentrasi pada salah satu pihak atau satu kepentingan

(49)

saja maka akan menyebabkan pihak tersebut dapat mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan dibawah kendalinya untuk mendapatkan tujuan yang mereka inginkan.

2.6 Mekanisme Bonus

Mekanisme bonus biasanya digunakan perusahaan untuk meningkatkan kinerja para karyawannya, sehingga laba yang dihasilkan setiap tahunnya semakin tinggi. Ada juga perusahaan yang menginginkan bonus besar dengan mengubah laba yang dilaporkan (Saifudin & Putri, 2018). Menurut Suryatiningsih, dkk (2009) bahwa skema bonus direksi adalah komponen penghitungan besarnya jumlah bonus yang diberikan oleh pemilik perusahaan atau para pemegang saham melalui RUPS kepada anggota direksi yang dianggap mempunyai kinerja baik setiap tahun serta apabila perusahaan memperoleh laba. Selanjutnya Irpan (2010) juga menyatakan bahwa skema bonus direksi dapat diartikan sebagai pemberian imbalan diluar gaji kepada direksi perusahaan atas hasil kerja yang dilakukan dengan melihat prestasi kerja direksi itu sendiri.

Dari definisi yang telah dikemukakan dari para pendapat ahli, dapat diketahui bahwa mekanisme bonus merupakan kompensasi atau imbalan tambahan yang diberikan kepada direksi apabila dapat memenuhi target-target dari perusahaan. Menurut Fauziah dan Saebadi (2018) mekanisme bonus berdasarkan laba merupakan cara yang paling sering digunakan perusahaan dalam memberikan penghargaan kepada direksi atau manajer karena berdasarkan tingkat laba, direksi atau manajer dapat memanipulasi laba tersebut untuk dapat memaksimalkan penerimaan bonus.

(50)

2.7 Profitabilitas

Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan (laba). Menurut Sudarmadji dan Sularto (2007) profitabilitas merupakan indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan dengan laba yang dihasilkan. Sedangkan menurut Michelle dan Megawati (2005), profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang akan menjadi dasar pembagian dividen perusahaan. Laba yang diperoleh merupakan selisih antara harta yang masuk (pendapatan dan keuntungan) dan harta yang keluar (beban dan kerugian), dimana Laba perusahaan tersebut dapat ditahan (sebagai laba ditahan) dan dapat dibagi (sebagai dividen).

2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai transfer pricing telah banyak dilakukan. Penelitian oleh Saraswati dan Sujana (2017) dengan judul penelitian ‘’ Pengaruh Pajak, Mekanisme Bonus, Dan Tunneling Incentive Pada Indikasi Melakukan Transfer Pricing’’. Populasi penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2015. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 100 pengamatan. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian mereka adalah regresi logistik. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pajak dan tunneling incentive berpengaruh positif pada indikasi melakukan transfer pricing. Sedangkan mekanisme bonus tidak berpengaruh pada indikasi melakukan transfer pricing.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang dan fenomena yang telah dijelaskan, maka dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul :

Berdasarkan Latar belakang, Konsep, Fenomena, hasil penelitian terdahulu yang dinyatakan sebelumnya maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh

Keberhasilan Bank Syariah Mandiri dalam mengkonversi sistem perbankan dari konvensional ke sistem syariah inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengangkat judul tersebut dalam bentuk penelitian dan memaparkannya dalam bentuk skripsi dengan judul

Walaupun biometrik telinga ini cukup menjanjikan, masih diperlukan penelitian-penelitian terutama untuk menangani masalah seperti bagaimana caranya agar metode ini dapat

Tanaman yang dapat dipakai sebagai penyembuhan luka sayat dari studi litaratur adalah: bawang merah (Allium cepa), getah jarak pagar (Jatropha CurcasL), daun kenikir

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan memaparkannya dalam bentuk skripsi dengan judul “Perbedaan Efek Pemberian Latihan Tuck

dalam menentukan calon walikota-wakil walikota …………...………… 84 Tabel 26 : Frekuensi Tanggapan Responden Berdasarkan Kategori Tentang Variabel. Keputusan Memilih ………