• Tidak ada hasil yang ditemukan

P R O S I D I N G KOTA SADAR BENCANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "P R O S I D I N G KOTA SADAR BENCANA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

P R O S I D I N G

KOTA SADAR BENCANA

(3)

Judul Asli:

KOTA SADAR BENCANA

Hak Cipta 2017 dalam bahasa Indonesia

Editor:

Husnus Sawab Azrul Sidiq

Desain Sampul:

Fakhry Perdana

Buku ini diset oleh

Lab. Perencanaan dan Perancangan Kota dan Lab. Desain dan Model Struktur

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Unsyiah Dengan Microsoft Office 2010 – Arial 11 pt 228 halaman

Cetakan Pertama, April 2017

Diterbitkan Oleh

Lab. Perencanaan dan Perancangan Kota Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Unsyiah

Dilarang mengutip sebagian ataupun seluruh buku ini serta menjual belikannya tanpa izin tertulis dari Lab.

Perencanaan dan Perancangan Kota Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Unsyiah

@ Hak cipta dilindungi Undang-Undang

ISBN: 978–602–74128–1-1

(4)

Prosiding

Seminar Nasional Kota Sadar Bencana

11 April 2017 Banda Aceh, Indonesia

Steering Committe:

Ir. Azhar A Arif, MT Ir. Mirza Irwansyah, MBA. MLA. PhD Ir. Izziah, MSc. PhD Dr. Ashfa, ST. MT

Direview oleh:

Dr. Abdul Munir, ST. MT Dr. Mirza Fuady, ST. MT Dr. Cut Dewi, ST. M.Sc

Disunting oleh:

Husnus Sawab, ST. MT Asrul Sidiq, ST. MSc Desain Sampul oleh:

Fakhry Perdana

Diterbitkan Oleh:

LABORATORIUM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KOTA Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh 23111 HP: +62811684801 Email: azhar_aarif@yahoo.com

(5)

iii DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar i

Kata Sambutan ii

Daftar Isi iii

ANALISIS PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH 2 009-2029 PADA KAWASAN BENCANA TSUNAMI KOTA BANDA ACEH

1 - 9 Fenny1), Mirza Irwansyah2), Nizamuddin3)

1) Magister Ilmu Kebencanaan Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

2) Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala 3) Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala

ANALISIS KONSISTENSI PROSES LELANG JASA KONSTRUKSI PADA PROYEK PENANGGULANGAN BENCANA ALAM DI SULAWESI TENGAH

10 – 23 Tutang Muhtar

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu - Sulawesi Tengah

PERAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERENCANAAN

TATA RUANG KOTA SADAR BENCANA DI INDONESIA 24 – 30 Elysa Wulandari, Muhammad Haiqal

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Unsyiah ALTERNATIF HUTAN BAKAU UNTUK

PERLINDUNGAN DAERAH PESISIR

31 – 36 Cut Azmah Fithri

Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh – Lhokseumawe

PENGARUH BENTUK MASJID SATU LANTAI TERHADAP TINGKAT

KERUSAKAN AKIBAT GEMPA DI PIDIE JAYA 37 – 44

Burhan Nasution, Sofyan

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Uns yiah TSUNAMIFRONT CITY

(Sebuah Gagasan Kota Sadar Tsunami) 45 – 51

Halis Agussaini

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Unsyiah SUSTAINABILITY IN POST-DISASTER RECONSTRUCTION

52 – 58 Laina Hilma Sari, Siti Zulfa Yuzni

Architecture and Planning Department, Syiah Kuala university KAJIAN PERBAIKAN KERUSAKAN STRUKTUR GEDUNG PALANG

MERAH INDONESIA CABANG ACEH BARAT AKIBAT GEMPA BUMI 59 – 68 Sofyan, Burhan Nasution

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Unsyiah

KONSEP PENGEMBANGAN KOTA SADAR BENCANA DI INDONESIA

69 – 75 Bustari dan Elysa Wulandari

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Unsyiah

(6)

iv

EVALUASI KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BANDA ACEH PASCA BENCANA

Mirza Fuady

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Unsyiah

76 - 86

TIPOLOGI RUMAH DI KELURAHAN TOGAFO KOTA TERNATE YANG BERADA PADA KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG API

GAMALAMA

Firdawaty Marasabessy1, Edward Rizky Ahadian2, M. Adil Husen1

1Program Studi Arsitektur, Universitas Khairun

2Program Studi Teknik Sipil, Universitas Khairun

87 – 95

IDENTIFIKASI KARAKTER ELEMEN FAÇADE BANGUNAN KUNO DIKAWASAN HERITAGE PEUNAYONG DAN RESPON MASYARAKAT TERHADAP UPAYA SOSIALISASI OLEH PEMERINTAH

Ardian Ariatsyah

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala

96 – 102

UPAYA KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN KAWASAN WAT ARUN SEBAGAI LANDMARK KOTA BANGKOK

Nasrullah Ridwan

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Unsyiah - Banda Aceh 103 – 111 KONSEP RUANG TERBUKA BERBASIS MITIGASI BENCANA DI

KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH Azhar Abdullah Arif1), Donny Arief Sumarto2)

1)Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, FT Universitas Syiah Kuala

2)Program Studi Arsitektur, Universitas Ubudiyah Indonesia

112 – 120

PERMODELAN JALUR RUPTURE DAN TSUNAMI DALAM UPAYA MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI (STUDI KASUS GEMPA JEPANG 11 MARET 2011 PUKUL 05.46 UTC)

Deassy Siska, Nova Purnama Lisa

Universitas malikussaleh 121 – 130

TSUNAMI ESCAPE BUILDING SEBAGAI PERWUJUDAN PENERAPAN FUNGSI MENURUT GEOFFREY BROADBENT Armelia Dafrina

Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh 131 – 138 PENGARUH INTRUSI AIR LAUT AKIBAT TSUNAMI TERHADAP

PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DI DAERAH IRIGASI (D.I) KRUENG GEUPU, KECAMATAN LEUPUNG, KABUPATEN ACEH BESAR Susi Chairani

Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Unsyiah 139 – 148 KINERJA RELAWAN BENCANA ACEH YANG BERAFILIASI

PADA ORGANISASI NON PROFIT Elida Syahriati

Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala 149 – 155 PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN BERSEJARAH PASCA-

BENCANA: SEBUAH TELAAH KRITIS Cut Dewi

Staff Pengajar di Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Peneliti di Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Unsyiah

156 – 165

(7)

v

ANALYZING HAZARD RISK AREA USING GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS) TOOLS:

A Planning Scheme Project in Noosa Council Queensland Australia Related to Bushfire Hazard

Evalina Z., ST, MURP.

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Universitas Syiah Kuala

166 - 170

PENDEKATAN NORMA DI DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT PADA PENCEGAHAN DAN MITIGASI BENCANA TSUNAMI

Era Nopera Rauzi

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Unsyiah

171 – 181

PENILAIAN KENYAMANAN RUANG KULIAH UMUM UNSYIAH Muslimsyah

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Unsyiah 182 – 189 EVALUASI KINERJA TERMAL HUNIAN PADA RUMAH BANTUAN

TSUNAMI PADA BULAN-BULAN PANAS Husnus Sawab, Teuku Ivan

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Unsyiah

190 – 195

THE HERITAGE AREA REVITALIZATION EFFORTS PEUNAYONG BANDA ACEH

Muftiadi

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Unsyiah

196 – 206

FAKTOR LAYAK HUNI DAN KESIAPAN PENGHUNI TERHADAP BENCANA DI RUMAH SUSUN KEUDAH, BANDA ACEH

Zahriah, Siti Zulfa Yuzni, Husnus Sawab Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Unsyiah

207 – 215

KAJIAN ELEMEN PEMBENTUK CITRA KAWASAN WISATA TSUNAMI ULEE LHEUE Zainuddin, Mirza Mahmud, Irzaidi

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Unsyiah

216 – 228

(8)

Cut Dewi: PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN …

156 Seminar Nasional : Kota Sadar Bencana - April 2017

PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN BERSEJARAH PASCA-BENCANA: SEBUAH TELAAH KRITIS

Cut Dewi

Staff Pengajar di Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Peneliti di Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Universitas Syiah Kuala Email: cutdewi@unsyiah.ac.id

ABSTRAK

Artikel ini mendiskusikan peran bangunan cagar budaya dalam pembangunan Kota pasca-bencana dengan pendekatan teori kebangkitan tradisi lama pasca- kehancuran. Bagunan cagar budaya dikarenakan bentuknya dan sejarahnya yang ikonik menjadikannya populer dan mudah diingat. Sehingga, bangunan cagar budaya berperan dalam membantu masyarakat mengenali tempat yang hancur dan bahkan bagunan yang telah rusak sekalipun dapat menjadi penanda tempat dan pengingat masa lalu bagi masyakat. Bahkan bangunan cagar budaya seperti masjid dan meunasah telah menjadi tempat dimana keputusan penting dimasa tanggap darurat. Namun pembangunan kota pasca-bencana sering sekali mengabaikan bangunan cagar budaya dan juga bangunan ini lebih dianggap sebagai beban dalam rehabilitasi dan rekonstruksi kota. Kehancuran banguna cagar budaya karena bencana juga sering dianggap dengan hilangnya memori.

Hal ini dipengaruhi oleh ethos konservasi yang di gagas oleh dunia barat setelah abad 19 yang menganggap “heritage” termasuk di dalamnya bangunan cagar budaya adalah benda atau bangunan yang asli, tua, dan memiliki nilai estetika yang tinggi. Dan sering sekali dianggap pasca-bencana menjadi momentum untuk membangun kembali sebuah kota menjadi lebih baik “building back better” yang menjadi slogan pendekatan tabula rasa. Padahal tidak sepenuhnya apa yang dibangun kembali setelah kerusakan besar adalah suatu hal yang “baru” dan lebih “baik”. Padahal, masa lalu tidak selamanya hilang, bahkan dalam studi-studi rekonstruksi, pasca-kehancuran menjadi titik balik kebangkitan masa lalu.

Kata Kunci: Kota, Pasca-bencana, Rekonstruksi, Bangunan Pusaka

LATAR BELAKANG

Dalam bukunya, Architectural Conservation, Orbasli (2008, p.5) mendefinisikan ‘heritage’ sebagai puing-puing bangunan dan situs arkeologis, monumen, kerajaan, kastil, bangunan vernakular, sekelompok bangunan, permukiman dan kota, cagar alam, dan juga saujana atau landskap. Definisi ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran awal abad 19 di Eropa di masa revolusi industri (Byrne, 1991; Harvey, 2001; Smith, 2006). Cara berpikir yang melandasi pengertian heritage atau pusaka dan pendekataan konservasi (global) modern ini sangat terkait dengan pemikiran bangsa Eropa awal abad 19 ini dan pusaka selalu dikaitkan dengan bentuk yang nyata (tangible) yang memiliki wujud ragawi yang bisa di petakan, di atur manajemennya dan dirawat wujudnya (Smith, 2006, 2007).

Pemikiran ini muncul dipengaruhi oleh setidaknya tiga hal utama. Pertama, kehancuran bangunan dari era sebelumnya (Jokilehto, 1999), terutama dikarenakan perang dunia kedua di Eropa (Rodwell, 2012). Kehilangan bangunan penting karena perang telah membangkitkan rasa romantisme masa lalu (Smith, 2007). Kedua, lahirnya nasionalisme dan identitas berdasarkan negara (nation states) (Billig, 1995; Graham, Ashworth, & Tunbridge, 2000).

Nasionalisme ini membangkitkan keinginan untuk memiliki heritage bersama

(9)

Cut Dewi: PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN …

Seminar Nasional : Kota Sadar Bencana - April 2017 157 (shared heritage), dan setiap negara akan bertindak sebagai penjaga pusakanya (Smith, 2006, p.18). Ketiga, the Enlightenment, kebangkitan pola berpikir berdasarkan “kebenaran”; berdasarkan kebenaran objektif dan cara berpikir ini menjadi landasan konservasi modern yang menempatkan kebendaan sebagai unsur utama dalam pelestarian pusaka (Smith, 2006; Wash, 1992). Era ini juga ditandai dengan pemisahan antara tradisi lama dengan menciptakan sesuatu yang baru (Widodo, 2007) dan terjadinya reformasi protestan (Byrne, 2011).

Adanya perubahan cara berpikir di Eropa yang ditandai dengan hilangnya ruang- ruang spiritual dan munculnya ruang-ruang logika (logical space) (Relph, 1976).

Bangunan arsitektur di bangun dan dipahami berdasarkan pendekatan ilmiah dan nilai-nilai objektivitas yang menjadi justifikasi pelestarian bangunan (Smith, 2006). Bagunan yang tua secara fisik akan dihargai lebih dari lainnya dan seolah- olah memiliki hak selayaknya mahkluk hidup (Littlefield et.al , 2007; Insall, 2008). Bangunan elit yang memiliki seni yang tinggi menjadi sangat berharga ditengah munculnya banguna-bangunan standar modern (Thorpe, 1999). Setidaknya ada tiga tokoh penting yang berperan dalam pembentukan pemikiran ini dengan menjunjung dua pendekatan konservasi yang berbeda.

Menurut Viollet le-Duc konservasi bangunan harus mempertahankan keaslian bentuknya sehingga nilai seninya terpelihara dengan baik. Dan bangunan harus di konservasi menjadi lebih baik sesuai dengan masa bangunan itu dibangun. Bagian-bagian bangunan yang rusak harus di perbaiki atau diubah sesuai dengan bentuk aslinya dan sesuai dengan aliran arsitektur (school of thought) bangunan tersebut dan pada zamannya (Viollet-le-Duc, 2007, p.79-81).

M. Viet pertama sekali mempraktekan pelestarian dengan cara ini di Perancis abad 19 (Viollet-le-Duc, 2007, 77).

Selain le-Duc, John Ruskin dan William Morris juga memiliki peranan penting dalam meletakkan dasar prinsip-prinsip konservasi modern. Namun tidak seperti le-Duc, Ruskin and Morris menolak intervensi masa kini pada bangunan masa lampau. Bagi mereka, konservasi adalah menjaga bangunan sebagaimana

“ditemukan” (as found) (Morris, [1877] 2007). Bagunan tua harus diperlakukan seperti monumen dari masa lalu karena keunggulan nilai artistik, sejarah, dan antiknya (Morris, [1877] 2007). Bagi John Ruskin yang mengakui romantisme masa lalu dan rasa nostalgia yang dibangkitkan oleh keberadaan puing-puing dan situs-situs, bangunan cagar budaya sangat ditentukan oleh keaslian bentuk, bukan intervensi masa kini (modern) (Ruskin, 1855). Menurut Ruskin bangunan tua tidak sepenuhnya milik masa kini, oleh karena itu kita tidak punya hak untuk melakukan perubahan dan modifikasi terhadap bangunan lama. Pengalaman dan latar belakang mereka sebagai kaum elit Eropa yang berpendidikan seni dan arsitektur telah banyak mempengarui pola piker mereka. Oleh karena itu, arsitektur bersama dengan arkeologi memiliki peran penting dalam pembentukan landasan pendekataan konservasi modern (global) (Jokilehto, 1999; Smith, 2006) Pendekataan konservasi pusaka ala ketiga tokoh ini telah diadopsi dalam konvensi-konvensi UNESCO, dan pendekataan ini menempatkan pemerintah dan ahli-ahli sebagai penjaga pusaka untuk memastikan agar pusaka-pusaka ini tidak diubah-ubah bentuknya sehingga dapat diwariskan kembali kepada generasi kedepan (Byrne, 1991; Smith, 2006; Smith & Akagawa, 2009).

Manifesto nya Morris dan prinsip-prinsip konservasi yang dicetuskan oleh le-Duc, telah mempengaruhi konservasi pusaka tidak hanya di Eropa namun juga di seluruh dunia (Orbasli, 2008; Smith, 2006). Menurut Smith (2006), pengaruh ini sangat tampak dilihat dalam the World Heritage Convention, 1972, the Athens Charter for the Restoration of Historic Monuments of 1931 and the Venice Charter (The international Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites) of 1964. Ketiga konvensi ini telah menjadi landasan atau

(10)

Cut Dewi: PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN …

158 Seminar Nasional : Kota Sadar Bencana - April 2017

pondasi pelestarian pusaka internasional yang mempromosikan nilai-nilai universal untuk konservasi arsitektur.

Oleh karena itu penilian dan penetapan sesuatu menjadi “heritage” sangat dipengaruhi oleh ketertarikan bangsa barat terhadap aspek material dan cara- cara mereka memahami masa lalu (Byrne, 1991). “The world best practice” yang menjadi contoh-contoh penerapan nilai-nilai universal yang dibangun oleh bangsa barat juga telah mempengaruhi konservasi di negara-negara lainnya (Taylor, 2004). Bangsa Barat berpikir mereka berasal dari kebudayaan yang tinggi (Lowenthal, 1985; Smith, 2006, p.17). Oleh karena itu, dominasi Barat dalam penetapan cagar budaya dunia telah banyak dikritik (lihat misalnya Lowenthal 1996; Cleere 2001; Meskell 2002; dan Labadi 2007).

Sebagai reaksi dari kritik-kritik ini, terutama terhadap dominasi aspek teraba (tangible), lahirlah cultural landscape atau pusaka saujana yang mengintegrasikan antara budaya, alam, dan makna (Taylor, 2004, 2011).

Konservasi kota telah menjadi bagian dari pusaka saujana dan menjadi pendekataan konservasi yang banyak dipakai sejak era 1960an dan 1970an (Bandarin, 2011, pp. 1-2). Tahun 2005 UNESCO memperkenalkan konsep

“Historic Urban Landscape” (HUL) yang memandang kota memiliki berbagai aspek penting seperti identitas, nila-nilai, dan integrasi dari aspek teraba dan budaya kota (Taylor, 2011, p. 4-5). Hal ini menyiratkan heritage tidak hanya bangunan bersejarah akan tetapi seluruh aspek kota menjadi bagian dari heritage.

BANGUNAN CAGAR BUDAYA DI PASCA-BENCANA

Terlalu mengagungkan aspek fisik dari heritage atau pusaka memiliki setidaknya dua konsekuensi yang saling berkaitan dalam pembangunan kota pasca-bencana. Pertama, pusaka menjadi hal yang mewah untuk diraih oleh kota-kota yang terkena bencana terutama di negara-negara berkembang.

Kegiatan rekonstruksi bangunan pusaka dan menjaga keasliannya menjadi hal yang mahal karena membutuhkan dana yang besar, teknologi yang canggih, tenaga ahli yang langka, dan waktu yang lama. Pusaka sering juga dikaitkan sebagai perwujudan dari identitas, sehingga kehilangan bangunan bersejarah dapat dianggap kehilangan identitas (ICCROM, 2005). Oleh karena itu sering sekali pendekataan yang diambil adalah membangun kembali bangunan pusaka dengan bentuk aslinya (sebagai contoh jembatan di Mostar, pembagunan kembali Kota Warsaw, Ypres and Dresden setelah kehancuran). Untuk menjaga dan mempertahankan status kepusakaannya, pembangunan kembali bangunan pusaka harus mengikuti panduan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga internasional yang telah diadopsi oleh lembaga-lembaga nasional dan lokal.

Sementara itu dengan meningkatnya jumlah bencana yang mengancam kota tidak hanya oleh bencana besar seperti tsunami, gempa, badai, dan lainnya, efek pemanasan global telah menjadi ancaman besar juga terhadap kota.

Pendekatan yang mengutamakan konservasi fisik telah terbukti mahal dan tidak terjangkau bagi negara-negara berkambang tidak hanya saat bencanda melanda, namun juga dikeadaan normal sekalipun. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Al-Nammari (2009) dengan melihat rekonstruksi bangunan pusaka setelah Gempa Loma Prieta tahun 1989 di San Fransisco, Amerika, memperlihatkan bahwa rekonsktruksi bangunan pusaka membutuhkan waktu yang lama dikarenakan perdebatan tentang tingkat kerusakan, biaya perbaikan, dan detail perbaikannya.

Kedua, dengan rusak dan hilangnya aspek teraba (tangible) maka suatu tempat dianggap hilang daya tarik dan status pusakanya, sehingga

(11)

Cut Dewi: PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN …

Seminar Nasional : Kota Sadar Bencana - April 2017 159 menjadikannya tempat biasa dan tidak memiliki nilai apa-apa lagi. Dengan kata lain, dengan hilangnya aspek teraba, sebuah tempat dianggap kosong dan bukan lagi heritage, dan tempat-tempat tersebut dapat dibangun sesuai keinginan masa kini ataupun ditinggalkan jika dianggap sudah tidak aman lagi dan mendukung untuk kehidupan manusia. Hal ini terjadi di Banda Aceh pasca- Tsunami tahun 2004 lalu. Seperti yang di kemukan oleh Mahdi (2012) dan Samuels (2010) relokasi korban dari daerah rawan bencana yang dianggap tidak aman adalah merupakan bagian langkah awal yang diambil dalam masa darurat.

Keterkaitan manusia dengan masalalunya di anggap hilang dengan hilangnya aspek terasa seperti bangunan. Namun, banyak juga korban tsunami yang menolak dipindahkan (Samuels, 2010). Hal ini juga terjadi di New Orleans setelah Badai Katrina (Flaherty, 2008). Alasan untuk kembali ke daerah bencana diantaranya kenangan dari orang-orang yang hilang dan sense of place (Read, 1996; Samuels, 2010; Spelman, 2008). Kembali ke tempat yang kosong atau yang rusak karena bencana bukan lah kembali ke tempat yang benar-benar kosong, seperti yang dikemukan oleh Read’ (1996) kembali kedaerah yang hancur bukan kembali ke tempat yang kosong akan tetapi kembali ke tempat yang penuh kenangan dalam benak para korban (Samuels, 2010). Dengan kata lain, manusia masih tetap bisa mengingat masa lalu dan memiliki identitas dan tempat masih juga memiliki makna walaupun aspek teraba atau bangunannya sudah rusak (Spelman, 2008). Sebuah tempat masih menyandang predikat pusaka walaupun aspek terabanya sudah rusak. Sebagai contoh lainnya, Gampong Pande di Banda Aceh masih memiliki nilai pusaka walaupun tidak memiliki bukti fisik kejayaannya di masa lalu selain batu-batu nisan yang sudah berserakan pasca-tsunami 2004. Cerita kejayaan masa lalunya amsih tersimpan dalam ingatan kolektif masyarat.

PENDEKATAN REKONSTRUKSI PASCA-BENCANA: TABULA RASA ATAU FACSIMILE?

Dengan anggapan bahwa status heritage suatu tempat dan tingkat kerusakannya sangat bergantung pada aspek terabanya, langkah rekonstruksi apa yang akan diambil baik tabula rasa, membangun kembali dengan lebih baik atau facsimile, membangun kembali dengan referensi masa sebelum (lalu) nya.

Dikarenakan suatu tempat dianggap tidak memiliki heritage atau heritagenya telah hilang atau rusak karena bencana, maka tidak heran pembangunan pasca bencana juga banyak menerapkan pendekatan tabula rasa dengan slogan terkenalnya “building back better”. Sebuah tempat atau kota dianggap tidak memiliki aspek masa lalu yang perlu dipertahankan sehingga dapat dibangun menjadi lebih baik. Dengan pendekatan yang sangat menekankan pada pentingnya aspek teraba, maka kerusakan atau kehilangan suatu benda heritage dianggap kehilangan nilai-nilai, memori, dan identitas karena benda heritage ini dianggap sebagai bukti kemajuan suatu kebudayaan atau masyarakat (Bevan, 2006). Sehingga membersihkan puing-puing dan membangun kembali diatas puing-puing juga dianggap sebagau usaha untuk menghapus memori dan mengisi kekosongan dalam ruang ingatan manusia (Huyssen, 2003). Adrian Forty (1999, p. 10) mengatakan bahwa proses seperti ini disebut juga “remaking something in order to forget what its absence signified” (membangun sesuatu yang baru dengan tujuan melupakan yang telah hilang). Namun sebenarnya, menurut Connerton (1989) memori tidak hanya dapat dikaitkan dengan benda- benda heritage, namun juga dengan ritual dan upacara adat lainnya. Menurut Smith (2006) bahkan memori ini juga ada dalam setiap aktivitas dan proses- proses budaya yang dilakukan di tempat-tempat yang di sebut heritage. Dan

(12)

Cut Dewi: PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN …

160 Seminar Nasional : Kota Sadar Bencana - April 2017

mengapa kita sangat khawatir kehilangan memori dengan hilangnya benda- benda heritage karena kita hidup di era hilangnya kolektif (oral) memori, kita kehilangan tradisi mengingat masa lalu,milieux de memoire(Nora, 1989).

Oleh karena itu, tidak ada sebuah awal yang benar-benar baru dan semuanya sudah hilang setelah bencana. Tabula rasa masih membawa atau menyimpan masa lalu dan facsimile juga tidak sepenuhnya mempertahankan masa lalu karena apa yang dibangun kembali dan dipreservasi sudah mengalami proses interpretasi dimasa kini. Sebagai contoh Kota Rotterdam dibangun dengan pendekatan tabula rasa dengan membangun kota yang benar-benar baru yang akan menjadi contoh untuk pembangunan kembali kota-kota lainnya (Charlesworth, 2006, pp. 27-28). Namun demikian, kota yang baru dibangun kembali ini masih mempunyai kemampuan untuk mengingatkan masa lalu dan memori walaupun bentuknya sudah baru. Karena sebuah bangunan juga mampu mengingatkan akan memori yang tidak terkait dengannya. Sebagai contoh yang diambil dari dua kota yang berbeda dengan tentu saja arsitektur dan tata kota yang berbeda. Max Ferber, seorang tokoh dalam Winfried Georg Sebald’s, The Emigrants. Dalam kisah ini Ferber pindah ke Manchester, Inggris, dan memulai hidup baru terlepas dari kesedihan masa lalunya di kota baru yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan masa lalunya. Akan tetapi, urban landscape dan budaya yahudi dari Manchester mengingatkan Feber akan masa lalunya yang penuh trauma yang berusaha dia lupakan. Dengan latar belakang yahudi Jerman, dia tidak pernah membayangkan Manchester, yang memiliki masa lalu sebagai kota industri dan disisipi oleh budaya yahudi, akan mengingatkan dia akan masa lalunya yang pahit (Gilloch and Kilby, (2005).

Toufic (2009) and Connerton (1989) berpendapat bahwa sebuah awal baru dibangun diatas kebangkitan kembali (resurrection) masa lalu. Menurut Connerton (1989, p.6) pengumpulan kembali aspek masa lalu mengawali awal yang baru. Bagi dia, sebuah pengalaman baru dibangun diatas pengalaman sebelumnya yang berlangsung secara terlihat atau tidak terlihat. Pendapat Connerton (1989) didukung oleh Toufic (2009, p.25-6):

Setiap bangunan yang hancur karena bencana besar, aspek terabanya hilang; akan hilang secara material dari sebuah budaya atau masyarakat dan kemudian beruntung di temukan kembali dan dibangkitkan atau di bangun kembali oleh seniman atau orang masa kini. Bangunan yang seperti ini disebut monumen. Oleh karena itu bangunan yang terlihat seperti monumen namun tanpa melalui proses ini bukanlah monmen yang sesungguhnya.

(Any building that was not razed to the ground during the surpassing disaster, materially subsisting in some manner; but was immaterially withdrawn by the surpassing disaster; and then had the fortune of being resurrected by artists, writers, and thinkers is a monument.

Therefore, while many buildings that were considered monuments of the culture in question are revealed by their availability, without resurrection, past the surpassing disaster as not monuments at all of that culture, other buildings, generally viewed as indifferent, are revealed by their withdrawal to be monuments of that culture.)

(13)

Cut Dewi: PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN …

Seminar Nasional : Kota Sadar Bencana - April 2017 161 Poin penting yang ingin ditekan disini adalah sebuah tempat atau bangunan dapat hancur oleh bencana, namun sense of place tidak dapat dihancurkan begitu saja. Oleh karena itu tidak ada yang namanya tabula rasa atau facsimile sepenuhnya dalam rekonstruksi pasca-bencana. Bencana tidak menghancurkan seleruh masa lalu dan apa yang dibangunkembali tidak sepenuhnya baru (masa kini). Bencana hanya menghancurkan aspek fisik (teraba) yang hanya berperan sebagai media untuk mengingat dan representasi dari tindakan mengingat masa lalu yang disebut Smith (2006) sebagai tindakan atau aktifitas heritage. Mengikuti teori Tuan (2003), tempat adalah sebuah ruang yang terlingkup. Ruang ini menurut Relph (1976) memiliki tiga komponen penting yaitu aspek fisik (teraba), kegitan yang terlihat, dan simbol dan makna. Oleh karena itu kerusakan suatu tempat atau bangunan hanya merusak aspek fisiknya saja, sementara aspek lainnya tidak. Seperti yang disebutkan oleh Hayden (1997, p. 9) urban landscape adalah tempat atau gudang penyimpanan memori sosial karena benda-benda netral seperti pelabuhan, jalan, bangunan, bentuk permukiman membingkai hidup banyak orang yang tersimpan selamanya. Peter Read (1996), berpendapat bahwa mengunjungi sebuah tempat yang telah hancur aspek fisiknya masih memiliki kemampuan untuk mengingatkan kita akan masa lalu atau memori tertentu. Bahkan perasaan yang emosional dan memori tersebut masih sangat jelas dalam ingatan orang-orang yang kembali. Oleh karena itu, kembali ke tempat yang telah rusak juga akan terus terjadi melalui cerita-cerita yang kita sampaikan kepada orang lain tanpa secara fisik kita benar- benar kembali ke tempat tersebut (Davidson, 2009, p. 340). Tentu saja kerusakan fisik atau material sangat menyakitkan bagi korban bencana, dan mereka bisa saja megalami kesedihan, terutama kerusakan bangunan-bangunan yang penting atau ikonik; kehancurannya menciptakan kekosongan dalam jaringan memori suatu kelompok (Guggenheim, 2009). Namun demikian, ketiadaan lagi bangunan tersebut tidak akan menghapus memori yang terkait dengannya (Bevan, 2006).

KESIMPULAN

Dengan penjelasan diatas sangat jelas bahwa pembangunan pasca- bencana masih mengabaikan pentingnya aspek tak teraba atau intangible. Hal ini berarti telah mengabaikan salah satu komponen penting dari sebuah kebudayaan dimana kebudayaan di Asia pada umumnya sangat terkait dengan unsur tak teraba (Taylor, 2012 and Fong et al, 2012). Artikel ini tidak bermaksud bahwa aspek sosial dan budaya sama sekali tidak ada, namun aspek budaya dipisahkan dari rekonstruksi fisiknya. Tidak juga bermaksud mengatakan bahwa isu heritage lebih penting daripada makanan, tempat tinggal, dan kesehatan dalam kondisi pasca-bencana, namun aspek budaya perlu dipertimbangkan sejak awal terkait pembangunan kembali aspek fisik dan akan membuat pembangunan kembali dapat berjalan dengan lebih baik (Ascherson, 2007).

Heritage atau bangunan pusaka juga dapat berperan untuk memberikan kekuatan dalam pembangunan kembali. Sebagaimana dikemukan oleh Rico (2014, p. 4), heritage dengan kemampuannya untuk menjaga pengetahuan tradisional akan menjadi sumber kekuatan dalam proses pembangunan kembali dan heritage bukanlah korban pasif yang tidak berdaya seperti banyak diasumsikan dalam pasca-bencana umumnya. Sebagai contoh banguan keagamaan seperti masjid bisa berfungsi sebagai tempat bernaung sementara, tempat pertemuan, dan lain-lain dalam keadaan darurat (Sugimoto & Sagayaraj, 2011). Di Aceh, meunasah berperan sebagai tempat dimana keputusan untuk pembangunan kembali diambil (Daly & Rahmayati, 2012). Sehingga

(14)

Cut Dewi: PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN …

162 Seminar Nasional : Kota Sadar Bencana - April 2017

pembangunan kembali daerah yang rusak pasca-bencana juga perlu memperhatikan kolektif memori masyarakat dan aspek fisik tidak selalu dijadikan tolak ukur kepentingan dan status heritage suatu tempat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Nammari, F. M. (2009). Earthquake Recovery of Historic Buildings: Exploring Cost and Time Needs. Disasters, 33(3), 457-481.

Ascherson, N. 2007. “Cultural Destruction by War, and Its Impact on Group Identities.” In Cultural Heritage in Postwar Recovery. 6 vols., edited by Nicholas Stanley-Price, 17–25. Rome: ICCROM Conservation Studies.

Bevan, R. (2006). The Destruction of Memory : Architecture at War. London:

Reaktion Books Ltd.

Billig, M. (1995). Banal Nationalism. London: Sage Publication Inc

Byrne, D. (1991). Western Hegemony in Archaeological Heritage Management.

History and Anthropology, 5, 269-276.

Byrne, D. (2011). Thinking about popular Religion and heritage. In J. N. Miksic, G. Y. Goh & S. O’Connor (Eds.), Rethinking Cultural Resource Management in Southeast Asia: Preservation, Development, and Neglect.

London, UK: Anthem Press.

Charlesworth, E. (2006). Architects Without Frontiers. USA: Architectural Press.

Cleere, H. (2001). Uneasy Bedfellows: Universality and Cultural Heritage. In R.

Layton, P. G. Stone & J. Thomas (Eds.), Destruction and Conservation of Cultural Property. London: Routledge.

Connerton, P. (1989). How Societies Remember. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Daly, P., & Rahmayati, Y. (2012). Cultural Heritage and Community Recovery in Post-Tsunami Aceh. In P. Daly, R. M. Feener & A. Reid (Eds.), From the Ground Up: Perspective on Post-Tsunami and Post-Conflict Aceh.

Singapore: ISEAS Publishing

Davidson, T. (2009). The Role of Domestic Architecture in Structuring of Memory.

Space and Culture, 12(3), 332-342. doi:

10.1177/1206331209337078Fong, K. L., Winter, T., Rii, H. U.,

Khanjanusthiti, P., & Tandon, A. (2012). "Same same but Different?": a Round Table Discussion on the Philosophies, Methodologies, and Particularlities

(15)

Cut Dewi: PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN …

Seminar Nasional : Kota Sadar Bencana - April 2017 163 of Conserving Cultural Heritage in Asia. In P. Daly & T. Winter (Eds.), Routledge Handbook of Heritage in Asia. London and New York:

Routledge

Flaherty, J. (2008). New Orleans’ Culture of Resistance. In P. Steinberg & R.

Shields (Eds.), What Is A City?: Rethinking The Urban After Hurricane Katrina. Athens and London: The University of Georgia Press.

Forty, A., & Küchler, S. (1999). The Art of Forgetting. Oxford: Berg Publishers.

Jokilehto, J. (1999). A History of Architectural Conservation. Oxford: Butterworth Heinemann.

Graham, B. (2002). Heritage as Knowledge: Capital or Culture? Urban Studies, 39(5-6), 1003-1017.

Gilloch, G., & Kilby, J. (2005). Trauma and Memory in the City: from Asuter to Austerlitz. In M. Crinson (Ed.), Urban Memory: History and Amnesia in the Modern City. London and New York: Routledge.

Guggenheim, M. (2009). Building Memory: Architecture, Networks and Users.

Memory Studies, 2 (1), 39-53.

Harvey, D. (2001). Heritage Pasts and Heritage Presents: Temporality, Meaning and the Scope of Heritage Studies. International Journal of Heritage Studies, 7(4)

Huyssen, A. (2003). Present Pasts: Urban Palimpsets and the Politics of Memory. Stanford, California: Stanford University Press.

ICCROM. (2005). Cultural Heritage in Postwar Recovery. Paper presented at the the ICCROM Forum, Rome, Italy.

Insall, D. (2008). Living Buildings: Architectural Conservation, Philosophy, Principles and Practice [Mulgrave, Victoria, Australia: Images Publishing.

Jha, A. K., & Barenstein, J. D. (2010). Safer Homes, Stronger Communities : a Handbook for Reconstructing after Natural Disasters. Washington, DC:

World Bank.

Labadi, S. (2007). Representations of the Nation and Cultural Diversity in Discourses on World Heritage. Journal of Social Archaeology 7(2), 147- 170.

Littlefield, D., Lewis, S., & Botton, A. d. (2007). Architectural Voices: Listening to Old Buildings. Great Britain: Wiley Academy

(16)

Cut Dewi: PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN …

164 Seminar Nasional : Kota Sadar Bencana - April 2017

Lowenthal, D. (1985). The Past is a Foreign Country. Cambridge: Cambridge University Press.

Mahdi, S. (2012). Factors Determining the Movements of Internally Displaced Persons (IDPs) in Aceh. In P. Daly, R. M. Feener & A. Reid (Eds.), From the Ground Up: Perspective on Post-Tsunami and Post-Conflict.

Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Meskell, L. (2002). The Intersections of Identity and Politics in Archaeology Annual Review of Anthropology 31, 279-301.

Morris, W. ([1877] 2007). Manifesto of the Society for the Protection of Ancient Buildings (SPAB). In L. Smith (Ed.), Cultural Heritage : Critical Concepts in Media and cultural Studies (pp. 111-113). New York: Routledge

Nora, P. (1989). Between Memory and History : Les Lieux de Memorie.

Representations, Spring(26), 7-24.

Orbasli, A. (2008). Architectural Conservation. UK, USA and Australia: Blackwell Publishing.

Read, P. (1996). Returning to Nothing: the Meaning of Lost Places. Cambridge:

Cambridge University Press.

Relph, E. (1976). Place and Placelessness. London: Pion Limited.

Rico, T. (2014). The Limits of a Heritage at Risk Framework: the Construction of Post-disaster Cultural heritage in Banda Aceh, Indonesia. Journal of Social Archaeology, 14(2 [June]), 157-176.

Rodwell, D. (2012). The UNESCO World Heritage Convention, 1972-2012. The Historic Environment, 3(1), 64-85.

Samuels, A. (2010). Remaking Neighbourhoods in Banda Aceh: Post-tsunami Reconstruction of Everyday Life In M. Clarke, I. Fanany & S. Kenny (Eds.), Post-Disaster Reconstruction: Lessons Learn from Aceh. London:

Earthscan, Ltd.

Smith, L. (2006). Uses of Heritage New York: Routledge.

Smith, L. ( 2007). Cultural Heritage : Critical Concepts in Media and cultural Studies (Vol. Volume I). New York: Routledge

Smith, L., & Akagawa, N. (Eds.). (2009). Intangible Heritage. London and New York: Routledge.

(17)

Cut Dewi: PEMBANGUNAN KOTA DAN BANGUNAN …

Seminar Nasional : Kota Sadar Bencana - April 2017 165 Spelman, E. V. (2008). Repair and the Scaffold of Memory. In P. Steinberg & R.

Shields (Eds.), What is a City?: Rethinking the Urban after Hurricane Katrina. Georgia, USA: University of Georgia Press.

Taylor, K. (2004). Cultural Heritage Management: A Possible Role for Charters and Principles in Asia. International Journal of Heritage Studies, 10(5), 417-433.

Taylor, K. (2011). Some Thoughts on the Historic Urban Landscape Paradigm as an Approach to Urban Conservation. Paper presented at the Urbanology Forum: Protection of Urban Cultural Landscape Heritage, Hangzhou China.

Taylor, K. (2012). Heritage Challenges in Asia Urban Cultural Landscape Settings. In P. Daly & T. Winter (Eds.), The Routledge Handbook of Heritage in Asia. London and New York: Routledge.

Thorpe, A. (1999). DEJ[Agrave] VU: Memory in Architecture. Architectural Theory Review, 4(1), 64-73.

Toufic, J. (2009). The Withdrawal of Tradition Past a Surpassing Disaster.

Tuan, Y.-F. (2003). Space and Place: The Perspective of Experience.

Minneapolis: University of Minnesota Press.

Wash, K. (1992). The Representation of the Past: Museums and Heritage in the Postmodern World. London: Routledge.

Widodo, J. (2007). Modern Indonesian Architecture: Transplantation, Adaptation, Accommodation and Hybridization. In P. J. M. Nas (Ed.), The Past in the Present Architecture in Indonesia. Leiden: KITLV Press.

Viollet-le-Duc, E. E. (2007). Defining the Nature of Restoration. In L. Smith (Ed.), Cultural Heritage : Critical Concepts in Media and cultural Studies (pp. 76- 93). New York: Routledge

(18)

Scanned by CamScanner

(19)

Scanned by CamScanner

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menyebabkan sampel ZnO tanpa aditif tidak bersifat seperti varistor, yaitu: tidak menunjukkan pola yang non linier (non ohmik) dari hubungan arus I dan tegangan listrik

Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran Kopi Amstirdam di Kabupaten Malang meliputi petani sebagai produsen, tengkulak/pengepul, pengolah, toko/pabrik dan

2) Penelitian ini akan ditekankan pada struktur teks kidung Rahayu; klasifikasi dan deskripsi kidung Rahayu; konsep hidup rahayu yang tercermin dari kidung

Pada kasus infeksi, mikroorganisme ditemukan pada area dan sebagai penyebab peradangan, mikroorganisme ini dapat diidentifikasi dan penyembuhan yang tepat dapat mengurangi

Menurut Ritonga (2015), daya saing dapat diukur menggunakan pendekatan keunggulan keunggulan komparatif. Kenyataannya, menuju komoditas yang berdaya saing masih

Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat kerusakan bangunan di Pidie Jaya selain akibat dari pemakaian kwalitas bahan yang rendah, pemakaian bentuk atap masjid

Penyebaran informasi tersebut melalui pertemuan kelompok dan diteruskan melalui pengurus kelompok. Terdapat sanksi yang diberlalukan terhadap siapapun yang melanggar aturan

Informasi titik kritikal salinitas berdasarkan daya berkecambah kultivar Eiffel dan Tidore adalah NaCl 0,6 % dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan invigorasi benih dengan