• Tidak ada hasil yang ditemukan

Working Paper Sajogyo Institute, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Working Paper Sajogyo Institute, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2021"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

i

Tentang Sajogyo Institute Sajogyo Institute adalah lembaga nirlaba independen yang bergerak dalam bidang penelitian, pendidikan dan latihan, dan advokasi kebijakan untuk mencapai cita-cita keadilan agraria, kemandirian desa-desa, dan kedaulatan warganegara perempuan dan laki-laki atas tanah air Indonesia. Sajogyo Institute merupakan bagian dari Yayasan Sajogyo Inti Utama yang didirikan pada tanggal 10 Maret 2005. Prof. Dr. Ir. Sajogyo, yang dikenal sebagai peletak dasar ilmu sosiologi pedesaan Indonesia, merupakan salah satu pendiri yayasan dan pemberi wakaf tanah yang berada di Jl. Malabar, No. 22, Kel. Babakan. Kec. Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat, 16151 beserta keseluruhan bangunan rumah beserta isinya.

Working Paper Sajogyo Institute, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2021 © 2021, Sajogyo Institute

Penyebarluasan dan penggandaan naskah ini diperkenankan sepanjang untuk tujuan pendidikan dan bukan untuk tujuan komersial.

Sumber Foto Sampul Depan: Dokumentasi Pribadi Sajogyo Institute, 2021

Usulan Pengutipan:

Kasmiati. 2021. “Studi Kebijakan Pendaftaran Tanah dan Kriteria TORA di Desa Balumpewa, Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah”. Working Paper Sajogyo Institute (Vol. 1, No. 4, Agustus 2021). Bogor: Sajogyo Institute.

Working Paper ini menggambarkan pandangan pribadi penulis, bukan pandangan dan kebijakan Sajogyo Institute. Para penulis bertanggung jawab terhadap keseluruhan isi Working Paper ini.

(4)
(5)

iii

Daftar Isi

Abstrak ... v

Bab I: Latar Belakang dan Pertanyaan Penelitian ... 1

Bab II: Profil Lokasi Penelitian ... 3

2.1.Profil Bentang Alam Desa Balumpewa ... 3

2.1.1. Dua Jalan yang Berbeda ... 3

2.1.2. Tanah, Air, dan Komoditas Desa Balumpewa ... 5

2.2.Profil Administratif Desa Balumpewa ... 11

2.2.1. Kondisi Sosial-Demografi di Desa Balumpewa ... 12

2.2.2. Gambaran Fasos dan Fasum di Desa Balumpewa ... 13

Bab III: Konteks Keruangan Agraria ... 15

3.1.Sejarah Munculnya Desa Balumpewa ... 15

3.1.1. Nama dan Penanda ... 16

3.1.2. Tanah: Tampa Mangelo Katuva ... 17

3.1.3. Siampale Mengolah Tanah ... 18

3.2.Dinamika Agraria Desa Balumpewa ... 19

3.3.Konflik Agraria di Desa Balumpewa ... 23

Bab IV: Program Reforma Agraria dari Atas (Above) ... 27

4.1.Perkembangannya di Kabupaten Sigi ... 27

4.2.Implementasi Program RA ... 27

4.3.Proses Pelaksanaan ... 29

4.4.Masalah-Masalah dalam Implementasi Program RA ... 34

Bab V: Dorongan Land Reform By Leverage ... 45

5.1.Sejarah Gerakan Land Reform by Leverage di Desa Balumpewa... 45

5.2.Usulan Objek Land Reform By Leverage ... 53

5.3.Proses Pelaksanaan ... 59

5.4.Masalah-Masalah dalam Agenda Land Reform By Leverage ... 59

Bab VI: Analisis Sandwich Strategy ... 61

6.1.Momentum Politik RA Negara dan Masyarakat: Titik Temu dan Titik Lepas ... 61 6.2.Hasil TORA Negara vs Usulan Masyarakat:

(6)

iv

Tahap Pendaftaran dan Penetapan TORA ... 67

6.3.Analisis Aktor Tahap Pendaftaran dan Penetapan TORA ... 69

6.4.Analisis Aktor Usulan TORA Masyarakat ... 70

Bab VII: Analisis Partisipatif ... 71

7.1.Partisipasi dari Tingkat Atas (Above): Tahap Pendaftaran dan Penetapan TORA ... 71

7.2.Partisipasi dari Tingkat Bawah (Below): Pengusulan TORA Usulan Masyarakat ... 72

Bab VIII: Penutup ... 77

Daftar Pustaka ... 79

Lampiran I: Daftar Pemilik dan Luas Tanah yang Dilegalisasi melalui Program TOL di Desa Balumpewa ... 81

(7)

v

Abstrak

Kebijakan Reforma Agraria (RA) yang ada saat ini telah memberi peluang pelaksanaan RA di sektor kehutanan. Telah terbit beberapa peraturan sebagai pijakan pelaksanaan RA kehutanan ini. Namun, peraturan tersebut belum cukup memadai untuk benar-benar melaksanakan RA kehutanan, terutama atas penguasaan tanah oleh rakyat di kawasan hutan lindung dan konservasi. Proses pelepasan kawasan hutan lindung harus melalui kriteria penapisan yang rumit. Sementara itu, untuk kasus hutan konservasi bahkan tidak tersedia jalan sama sekali untuk memproses usulan pelepasan lahan lebih lanjut karena solusi satu-satunya yang tersedia adalah resettlement. Padahal, kondisi eksisting dari sisi ekologis maupun sosial (konflik) yang belangsung di kawasan hutan konservasi perlu diperiksa pula dan dijadikan landasan penyelesaian. Tetapi, kebijakan yang ada saat ini tidak membuka ruang dan peluang sama sekali bagi warga untuk melakukan gugatan atas status lahan yang mereka kuasai dalam kawasan hutan konservasi.

Dengan bertolak dari kasus pengusulan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dari kawasan hutan di Kabupaten Sigi dan khususnya di Desa Balumpewa, Policy Paper ini mengusulkan revisi kebijakan terkait pelaksanaan kebijakan RA kehutanan, terutama dua regulasi berikut ini: (1) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 mengenai Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan; dan (2) Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pedoman Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Revisi ini mendesak dilakukan agar kriteria penapisan usulan TORA dari kawasan hutan dapat diperbincangkan kembali dan terdapat beragam opsi selain resettlement untuk hutan konservasi maupun hutan lindung yang digunakan untuk Fasos, Fasum dan Pemukiman. Dalam revisi ini, berbagai macam opsi yang lebih fleksibel perlu dirumuskan sebagai jawaban atas kondisi eksisting (sosio-ekologis dan tenurial) pada penguasaan tanah di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi yang sangat beragam di berbagai wilayah Nusantara. Selanjutnya, untuk kasus Desa Balumpewa di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, yang menjadi studi kasus dalam Policy Paper ini, direkomendasikan perlunya segera dilakukan.pertemuan para pihak untuk secara bersama-sama merumuskan kemungkinan yang dapat ditempuh agar warga tetap dapat mengakses tanah mereka, tanah leluhur orang Topo Inde, sekaligus meredam ketegangan agar tidak berujung menjadi konflik terbuka. Selain itu, untuk sementara, sembari mendorong percepatan revisi peraturan terkait penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan lindung dan konservasi, maka seluruh wilayah perkampungan, tanah garapan dan termasuk wilayah yang menjadi ruang jelajah Topo Inde di Desa Balumpewa harus diakui sebagai zona tradisional komunitas ini agar warga terbebas dari berbagai bentuk ancaman dan rasa takut dalam menjalankan aktivitas harian mereka. Pengakuan atas status penguasaan warga secara de facto ini harus dipastikan sampai kemudian agenda RA dapat benar-benar dijalankan atas seluruh usulan TORA yang diajukan warga desa ini.

(8)
(9)

1

BAB I

LATAR BELAKANG DAN PERTANYAAN PENELITIAN

Penanda awal pemerintahan Jokowi menganggap RA penting adalah memasukannya sebagai salah satu dari sembilan daftar harapan atau cita-cita (Nawacita) yang ingin diwujudkan selama periode kepemimpinanya1 dan secara rinci termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebagai sasaran dari peningkatan kesejahteraan rakyat marjinal melalui penyediaan sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan melakukan redistribusi tanah serta legalisasi aset. Kebijakan ini masih berlanjut hingga periode ke dua kepemimpinan Jokowi sebagaimana termuat dalam RPJMN 2020-2024 bahwa RA merupakan Kegiatan Prioritas (KP) yang terdiri dari tiga Proyek Prioritas (ProP), yaitu 1) Penataan penguasaan dan pemilikan TORA (termasuk pelepasan kawasan hutan), 2) Peningkatan kualitas data pertanahan dan legalisasi atas TORA, dan 3) Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan, dan produksi atas TORA.

Berdasarkan KP dan ProP yang termuat dalam RPJMN 2020-2024 maka TORA mempunyai peranan esensial dalam pelaksanaan RA ala Jokowi karena berkaitan langsung dengan objek maupun subjek RA. Salah satu regulasi pokok yang dikeluarkan pemerintah Jokowi berkenaan dengan RA ini adalah Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria. Perpres ini kemudian menjadi dasar pelaksanaan berbagai kegiatan yang salin terkait satu sama lain yaitu pembentukan tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), Pelaksanaan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) dan Redistribusi tanah. Namun pertanyaannya kemudian, cukupkah segala regulasi dan mekanisme yang telah ditetapkan ini untuk mencapai RA yang sesungguhnya atau justru yang dibutuhkan adalah deregulasi yang berkaitan dengan sektor lain dalam redistribusi TORA seperti, utamanya, sektor kehutanan.

Reforma agraria sektor kehutanan jauh lebih pelik mengingat pengaturan serta banyaknya jumlah lembaga, aktor dan tahapan yang perlu dilalui dalam usaha mengubah atau melepas kawasan hutan sebagai TORA yang dapat diakses secara formil untuk keberlangsungan penghidupan warga secara berkelanjutan, aman dan terbebas dari jerat hukum yang diskriminatif. Namun dalam percepatan Reforma Agraria Stranas 2016-2019 kemudian dikonsentrasikan pada program prioritas kelima, yaitu pengalokasian sumber daya hutan untuk dikelola rakyat. Skema ini sedang diujicobakan atas inisiatif Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah (Savitri, 2020 - 174)2.

1 Kepemimpinan Jokowi terdiri dari dua fase yakni periode 1 dengan wakil persiden Jusuf Kalla

selama tahun 2014-2019. Periode 2 wakil persiden Ma'ruf Amin selama tahun 2019-2024.

2 Savitri, L.A.2020. Reforma Agraria Kehutanan dan Perluasan Privatisasi Tanah di Merauke.

(10)

2

Di tingkat nasional, Kabupaten Sigi seringkali dianggap sebagai percontohan atau rujukan pelaksanaan reforma agraria mengingat geliat aktivisme dan progresivitas Pemkab Sigi dalam mendorong pelaksanaan RA kawasan hutan. Namun kenyataannya, hingga hari ini, usulan-usulan Pemkab Sigi untuk men-TORA-kan kawasan hutan masih mengalami benturan. Salah satu Desa di Kabupaten Sigi yang mengusulkan pelaksanan reforma agraria kawasan hutan adalah Desa Balumpewa yang terletak di Kecamatan Dolo Barat.

Sebagian besar wilayah Desa Balumpewa merupakan hutan lindung dan sebagian lainnya adalah hutan konservasi, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Wera. Meskipun Desa ini merupakan kawasan hutan jika ditilik dari sisi adminstrasi, namun sesungguhnya Balumpewa adalah kampung tua yang sejak lama telah dihuni oleh bangsa Kaili Inde (Topo Inde) atau Kaili pegunungan. Berdasarkan tuturan warga, wilayah Balumpewa telah berpenghuni sejak tahun 1900, jauh sebelum Indonesia ada. Selama ini, lembah dan punggung-punggung bukit menjadi ruang hidup warga Topo Inde tanpa perasaan takut dan was-was akan kehilangan tanahnya.

Tapi belakangan, ketika negara hadir, segala macam bentuk kepemilikan terutama terhadap tanah, harus mampu dibuktikan melalui prosedur hukum yang didasarkan pada bukti-bukti administratif. Ketika rezim kehutanan menguat, maka ruang jelajah warga kemudian menjadi terbatas berdasarkan patok-patok yang barangkali diletakkan secara sepihak. Dalam situasi demikian, warga mendapati kenyataan baru jika ruang hidup mereka tidak lagi sepenuhnya bebas dijelajah dan digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup harian. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika antusiasme warga mendorong dilaksanakannya RA di Desa cukup tinggi. Terlebih dengan dimasukkannya RA sebagai salah satu agenda Pemkab Sigi. Warga Desa Balumpewa telah melakukan berbagai upaya mulai dari berserikat atau membuat organisasi tani lokal, hingga melakukan pemetaan partisipatif yang menjadi dasar pengajuan subjek TORA dari warga. Namun, dari usaha-usaha yang telah dicurahkan, belum ada hasil yang berarti dalam rangka pelaksanaan RA kawasan hutan hingga kini.

Bahkan apa yang diajukan oleh warga Desa Balumpewa untuk redistribusi tanah-tanah mereka dan agar dilepas tanah-tanah-tanah-tanah warga Desa dari kawasan hutan sangat berbeda dengan hasil yang dikeluarkan oleh Tim Inver PPTKH. Hal ini menjadi salah satu landasan kami memilih Desa Balumpewa sebagai objek penelitian untuk memeriksa lebih lanjut spektrum apa sebenarnya yang sedang terbentuk dalam kaitannya dengan reforma agraria di kawasan hutan. Mengapa daerah yang menjadi rujukan secara nasional serta memperoleh dukungan dari Pemkab, gerakan masyarakat sipil baik dari NGO lokal maupun nasional dan telah melibatkan masyarakat setempat masih terbentang jarak yang panjang antara praktik dan ide RA kehutanan sejati.

(11)

3

BAB II

PROFIL LOKASI PENELITIAN

Sebelum melihat lebih jauh kompleksitas masalah keagrarian yang berlangsung di Kabupaten Sigi sebagai aras penelitian di tingkat regional dan Desa Balumpewa pada aras mikro, maka terlebih dahulu akan dipaparkan gambaran umum mengenai wilayah riset yang kami teliti. Mulai dari menerangkan letak geografis Balumpewa dan seperti apa lanskap ekologinya, termaksud kondisi sosio-demografinya.

2.1. Profil Bentang Alam Desa Balumpewa

2.1.1. Dua Jalan yang Berbeda

Terdapat tiga jalur menuju Kabupaten Sigi jika datang dari arah Kota Palu yakni jalur kiri, kanan dan tengah. Bila menuju Balumpewa dengan memilih jalur kanan, melewati daerah Palupi, menyusuri jalan raya dan terus berkendara sekitar 40 menit. Maka kita akan mendapati persawahan di tepi jalan dan bila mendongak terlihat tebing dan jejeran pegunungan yang membentang hijau. Di antara pohon-pohon yang menjulang, di kejauhan akan tampak satu dua rumah terselip. Itulah dusun jauh Balumpewa, Dusun IV, yang belum mungkin dilalui dengan kendaraan beroda empat, melainkan hanya bisa diakses dengan berjalan kaki atau sepeda motor bagi warga setempat yang sudah terlatih berkendara di jalan tanah setapak yang terus menanjak dan meliuk. Bila hari hujan, ban motor mudah selip, kampas rem rentan rusak, dan tanah akan lengket di ban atau di kaki-kaki pejalan.

Jalan menuju Dusun III dan Dusun IV tidak memungkinkan pengguna jalan, antara yang turun dari atas dan yang datang dari bawah bertemu (posisi saling berhadapan satu sama lain) di jalan tanpa satu pihak mengalah dengan cara menepi di sisi tebing. Sebab, jika tidak, antara kendaraan dengan kendaraan atau kendaraan dengan pejalan kaki kemungkinan akan bertabrakan. Sementara untuk mencapai pintu gerbang Desa Balumpewa, setelah berkendara setengah jam atau lebih dari Kota Palu kita harus belok kanan di jalan berbatu untuk tidak bilang aspal rusak menuju ke arah SMA Negeri 7 Kabupaten Sigi di Desa Rarampadende. Di ujung jalan Desa, berdiri gerbang sebagai penanda kita akan memasuki Desa Balumpewa bagian Dusun I dan Dusun II. Kendaraan beroda empat dapat digunakan di kedua dusun ini.

Sebelum akses di Desa Kaluku Tinggu (tetangga Desa Balumpewa di sebelah utara) dibuka, satu-satunya jalan menuju Air Terjun Wera harus melalui Desa Balumpewa, yakni Dusun I dan Dusun II. Air Terjun Wera merupakan satu tempat rekreasi alam yang cukup dikenal bagi Warga Palu maupun Sigi. Wera merupakan tempat di mana berpadu-padan-nya segala hal keajaiban alam yang tersedia, dan disukai para wisatawan: Bersatu-padannya sungai, suasana mendung, berkabut dan dikitari hutan lebat. Tepatlah kiranya jika asrama Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia (STTII) Palu beralamat di kaki Air

(12)

4

Terjun Wera. Inilah salah satu tempat terbaik membaca Alkitab dan buku-buku. Gemercik di sepanjang waktu sekaligus hening.

Selain karena segala daya pikatnya yang tadi, Wera merupakan area wisata murah dan sangat mudah diakses dari arah Kota Palu. Sehingga, Desa Balumpewa sesungguhnya sudah lama dikenal namun sekaligus tidak banyak yang menaruh simpati lebih dalam ke kampung-kampung warga yang terletak jauh ke hulu, di balik Air Terjun Wera. Kecuali beberapa tahun belakangan ini pasca tsunami dan gempa bumi berkekuatan 7,4 SR yang terjadi pada tahun 2018 di Sulawesi Tengah, maka banyak sekali program-program yang dilaksanakan di Kabupaten Sigi baik berupa program lanjutan pemulihan pasca bencana maupun program-program baru yang kemudian masuk pula hingga ke Desa Balumpewa dan berusaha menjangkau warga yang berada di Dusun III dan Dusun IV.

Meskipun terdapat beragam bantuan yang datang dari berbagai macam lembaga, dan anggaran dana Desa Balumpewa mencapai ratusan juta setiap tahun, namun nasib jalan antara Dusun I-Dusun II dan Dusun III-Dusun IV tetap saja berbeda. Jalan berbatu dan rabat yang dapat dilalui mobil berakhir di gerbang STTII atau pintu masuk menuju Kawasan Wisata Alam Wera. Sementara jalan menuju Dusun III dan Dusun IV adalah jalan setapak yang entah kapan akan diperbaiki selama persoalan keagrarian di Desa Balumpewa belum tuntas. Sebab dua jalan yang berbeda ini melekat pada perbedaan status tanah-tanah di wilayah Desa Balumpewa.

Mengingat status tanah di Indonesia secara umum dibedakan antara yang masuk kawasan hutan dan bukan kawasan hutan atau biasa disebut sebagai Area Penggunaan Lain (APL). Apabila masuk kawasan hutan nantinya akan dibeda-bedakan lagi berdasarkan fungsi misalnya Hutan Produksi, Hutan Lindung hingga Hutan Konservasi. Lembaga pemerintahan yang mengurusi soal tanah ini juga terbagi karena masalah wewenang seperti kewenangan yang diurusi Kementerian kehutanan dan kewenangan yang diurusi oleh Badan Pertanahan Nasional. Namun dalam kaitanya dengan reforma agraria, persoalan tanah tidak sesederhana dikotomi ini melainkan berspektrum. Tanah beserta statusnya menjadi arena bagi rupa-rupa idea dalam konteks pengaturan tanah dan hutan. Pada satu sisi terdapat konteks sosio-historis yang tidak dapat diabaikan, di lain sisi ada keharusan patuh pada peraturan hukum pertanahan dan kehutanan yang berlaku kaku. Dua jalan yang berbeda inilah yang akan dipercakapkan dalam naskah ini untuk memahami lebih lanjut spektrum yang telah ada dan mungkin terbentuk sebagai kotinuitas dari masa lampau dan situasi hari ini.

(13)

5

2.1.2. Tanah, Air3 dan Komoditas Desa Balumpewa

Di sepanjang dua jalan tersebut terbentang lanskap ekologi Desa Balumpewa yang dapat diamati langsung. Secara keseluruhan, Desa Balumpewa terbentang dataran tinggi dengan posisi sekitar 105 meter dari permukaan laut. Lima puluh persen (50%) wilayah Desa merupakan dataran tinggi dan lima puluh persen lainnya masuk dalam kategori wilayah pegunungan. Apabila didasarkan pada ordonya, maka tanah di Desa Balumpewa masuk dalam kategori ordo inceptisol dengan varian great group dystrupdets-hapludust dengan relief berbukit seluas 2.004,13 Ha atau 89 persen dari total luas Desa. Didominasi oleh great group dystrupdets dengan bahan induk batuan metamorfit yang berasal dari sedimen yang mengalami perubahan bentuk akibat dari perubahan suku dan tekanan yang sangat tinggi. Sublandform-nya memiliki relief pegunungan tektonik. Sisanya 11 persen atau setara dengan 246,03 Ha masuk ke dalam great group endoaquepts-dystrupdets ber-relief agak datar didominasi grup endoaquepts daripada dystrupdets dengan bahan induknya berasal dari endapan auvial dengan sub landfrom berupa jalur air sungai.

Di Balumpewa, terdapat sembilan titik sumber mata air hidup, yaitu Mapane, Uwentofo’o, Kabatuna, Bomba, Vaiojompi, Bumbumnegati, Nasinjula, Uwentovou dan Vera. Sumber mata air ini digunakan warga Desa Balumpewa maupun warga dari Desa Rarampadende dan Kaleke untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, utamanya dalam kebutuhan bertani. Selain itu, terdapat dua sungai yang ada di Desa Balumpewa, yaitu sungai Weranggoi dan Sungai Binangga Vera. Kedua sungai ini memiliki arti penting bagi warga karena digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Sungai Weranggoi yang hulunya berada di Gunung Talolo merupakan sumber air utama warga di Dusun IV. Air dari Sungai Weranggoi ini pula yang mengalir menuju sungai Binangga Vera yang bukan hanya dimanfaatkan oleh warga Balumpewa di Dusun I dan Dusun II, tetapi juga dimanfaatkan oleh warga di Desa Kaleke.

Air di Balumpewa sungguh berlimpah. Selain berasal dari sungai dan titik mata air yang banyak, sumber air juga terdapat dua buah air terjun yaitu air terjun Kanabukaso dan Batusidai atau yang dikenal oleh masyarakat umum sebagai Air Terjun Wera. Air terjun ini mempunyai debit air yang stabil di sepanjang musim baik kemarau maupun musim penghujan. Bahkan, air terjun ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan harian warga di sepuluh Desa di Kecamatan Dolo Barat, kecuali Desa Balamoa dan Mantikole. Selain itu, telah dibangun irigasi di Desa Balumpewa yang mengaliri lahan pertanian warga di Desa Kaleke, Rarampadende dan Pewunu. Artinya, sumber air yang berasal dari Desa Balumpewa memiliki peran vital dalam pemenuhan kebutuhan air, bukan hanya

3 Sumber utama data perihal tanah dan air ini berasal dari dokumen Perencanana Tata Guna Lahan

Berbasis Mitigasi Bencana Desa Balumpewa tahun 2020 yang disusun oleh TIM Desa Balumpewa dab SLPP Sulteng dan YMP Sulteng.

(14)

6

bagi warga Desa setempat melainkan juga Desa-Desa lain yang berada di Kecamatan Dolo Barat.

Sumber-sumber air, baik yang berasal dari sungai, air terjun maupun dari mata air dan irigasi, kualitasnya hanya mungkin terawat selama ekosistem di Desa Balumpewa terjaga. Sebab sebagai satu kesatuan bentang ekologis, soal air ini juga berkaitan dengan soal tanah dan hutan yang merupakan variabel penentu untuk memastikan air masih tetap melimpah dan mengalir jernih di kebun-kebun hingga ke dapur-dapur warga di masa mendatang.

Komoditas utama yang dihasilkan dari tanah garapan warga berupa kelapa, kakao, jagung, kacang merah, kacang tanah, kemiri dan jambu monyet (kacang mete). Berikut gambaran komoditas utama yang ditanam warga di setiap dusun di Desa Balumpewa. Angka dalam gambar di bawah ini menunjukkan dominasi komoditas yang dihasilkan dalam dusun tersebut.

Gambar 1. Komoditas utama di setiap dusun di Desa Balumpewa

Karakter komoditas yang dihasilkan di Dusun I dan Dusun II hampir sama. Komoditas andalannya berupa jagung, kemiri, kelapa dan kakao. Sementara di Dusun III dan Dusun IV ada kacang merah, kemiri dan kakao. Dusun I dan Dusun II terletak di bawah, sementara Dusun III dan Dusun IV berada di ketinggian. Sehingga kondisi kemiringan, tingkat kesuburan tanah, cuaca dan udara juga sangat berbeda dan berimplikasi pada jenis komoditas yang dibudidayakan warga Balumpewa yang hidup di Dusun I-Dusun II dan Dusun III-Dusun IV.

Di wilayah pegunungan masih ditemui pohon-pohon kopi yang sudah tidak terawat lagi. Mengingat pada masa awal ketika warga masih menanam padi ladang dan jagung, maka kopi merupakan komoditas global tahunan pertama yang dikenal dan ditanam oleh leluhur warga Balumpewa. Setelah kopi, warga kemudian beralih ke kakao sebagaimana cerita umum yang berlangsung di Sulawesi Tengah. Hal ini menandakan terjadinya pergantian atau pergeseran penanaman tanaman oleh warga dari komoditas global yang tidak produktif menjadi komoditas global yang lebih produktif. Kopi dan pertanian padi sawah

2 3 0 4 0 0 2 1 1 3 0 4 1 0 3 1 0 4 3 1 0 1 0 2 0 3 4 1 0 1 0 2

(15)

7

yang dulu tidak dianggap produktif, pada dekade 1980-1990-an, digantikan oleh kakao yang dianggap lebih produktif dan menjanjikan uang segar yang cepat (Yanuardi (2014): 20).

Namun, yang tidak banyak diketahui oleh warga pada awal menanam kakao adalah masa usia produktif pohon-pohon kakao yang terbatas dan hanya butuh sekitar dua dekade. Kemudian, kebun-kebun kakao di Sulawesi Tengah atau Provinsi di Sulawesi yang secara umum merupakan penghasil kakao terbesar di Indonesia mengalami serangan hama dan penyakit yang menyebabkan naiknya ongkos produksi. Belum lagi kakao sebagai komoditas global sudah tentu petani tidak memiliki kuasa mengintervensi harga. Pilihannya adalah patuh pada mekanisme pasar yang informasinya tidak pernah sempurna. Akibatnya, peetani kakao tidak bisa mengatur harga jual dan hanya bisa menerimanya saja harga pasar itu.

Konsekuensi lebih lanjut dari proses pengenalan tanaman kakao di punggung-punggung perbukitan Sulawesi Tengah adalah terjadinya percepatan ketimpangan penguasaan tanah sebagaimana yang menerpa orang-orang Lauje yang dikisahkan oleh antropolog Tania Li dalam Kisah dari Kebun Terakhir4. Ketika jalan tidak lagi berbeda dan status tanah semakin jelas maka apa yang terjadi terhadap orang Lauje sangat mungkin menerpa orang-orang Kaili Topo Inde yang mendiami wilayah hulu Desa Balumpewa, atau prediksi Yanuardi (2014) bahwa di tengah berbagai masalah yang dihadapi oleh komoditas kakao saat ini maka komoditas global yang mungkin menggantikan kakao ini adalah pohon-pohon sawit yang perluasannya terus diusahakan oleh pemerintah dan pihak swasta.

Berkenanan dengan dua kemungkinan tadi, maka situasi Desa Balumpewa perlu untuk didudukkan dan diperjelas. Pertama, cerita tentang adanya rencana pembukaan sawit di wilayah mereka sempat tersiar dan warga mengambil posisi menolak rencana-rencana tersebut. Seiring dengan interaksi dan masuknya berbagai macam lembaga dan program ke Desa, warga Balumpewa secara perlahan semakin memahami status tanah dan konsekuensi sosial-ekologis yang akan mereka hadapi berkenaan dengan perubahan yang mungkin terjadi. Kedua, meskipum tanaman kakao yang berada di Dusun III dan Dusun IV sedang di masa produktif, tidak semua rumah tangga mempunyai kebun kakao. Meskipun hasil kakao sangat menggiurkan tetapi sebagai tanaman tahunan, kakao butuh waktu tunggu yang cukup lama untuk memperoleh panen pertama. Sebelum terjadi peralihan penanaman komoditas secara besar-besaran dari menanam jagung ke kakao, warga Balumpewa yang tinggal di pegunungan menemukan komoditas alternatif yang dari sisi ekonomi lebih menguntungkan daripada menanam jagung dan tidak perlu menunggu terlalu lama untuk

4 Tania Murray Li. 2020. Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat. Marjin

(16)

8

memperoleh uang tunai yaitu dengan menanam kacang merah. Saat ini kacang merah tengah menjadi komoditas primadona bagi warga yang tinggal di pegunungan. Bukan hanya di Desa Balumpewa, tetapi Desa-Desa lain yang berada di ketinggian juga sedang beralih menanam kacang merah.

Gambar 2. Gotong royong memetik Kacang Merah

Meskipun tinggal jauh di pegunungan, warga di Dusun IV tidak menjual hasil panenan ke tengkulak. Lokasi mereka yang jauh dan terkait kondisi jalan yang sudah diungkapkan sebelumnya, tengkulak hanya menjelajah di seputar Dusun I dan Dusun II. Sedangkan petani-petani di pegunungan menjual langsung hasil panen ke Kota Palu. Bagi mereka yang tidak mempunyai kendaraan motor perlu mengeluarkan biaya ojek sebesar Rp 1.000/kg kacang merah. Begitu pula komoditas lain yang akan dijual, biaya transportasinya dihitung Rp 1.000/kg. Tukang ojek yang mengantar ke gudang adalah warga setempat juga.

Jika warga yang tinggal di pegunungan terbebas dari tengkulak dengan cara menjual langsung hasil panennya ke gudang besar di Kota Palu, maka sangat lain cerita dengan warga yang tinggal di Dusun I dan Dusun II. Kondisi jalan yang lebih baik memungkinkan pedagang-pedagang kecil leluasa ke dusun ini sehingga hasil panen jagung, kacang mete, atau kemiri biasanya dibeli oleh tengkulak. Di Dusun I dan Dusun II, warga sama sekali tidak menanam kacang merah karena iklim, tanaman jangka pendek yang ditanam warga di kedua dusun ini adalah jagung. Namun di Dusun III dan Dusun IV, mayoritas warga saat ini memilih menanam kacang merah karena jika dibandingkan dari sisi harga jauh lebih menguntungkan. Satu kilogram jagung hanya dijual sekitar Rp 3.000 hingga Rp 4.000. Sementara satu kilogram kacang merah harganya berkisar antara Rp 14.000 hingga Rp 15.000. Namun, secara umum terjadi perubahan

(17)

9

komoditas yang ditanam warga Balumpewa dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh berbagai macam hal. Mulai dari alih fungsi lahan, harga, pasar dan lain-lain. Kacang merah baru dikenal oleh warga Balumpewa selama tahun 2010 ke atas. Sebelumnya kacang merah sama sekali belum ditanam oleh warga Desa Balumpewa.

Meski kacang merah baru ditanam beberapa tahun terakhir, komoditas ini benar-benar disukai warga terutama di wilayah yang berada di ketinggian. Bahkan jauh lebih booming daripada kakao yang sudah mulai dikenal dan ditanam warga sejak lebih dari tiga dekade lalu. Di Balumpewa, kakao tidak pernah menjadi komoditas yang benar-benar diandalkan warga. Berbeda dengan kemiri yang meskipun tumbuh sejak lama namun semakin hari semakin digemari warga. Pohon-pohon kemiri dari waktu ke waktu semakin banyak ditanam warga baik di dusun bawah maupun di dusun yang berada di ketinggian.

Gambar 3: Perubahan Komoditas Pertanian di Desa Balumpewa Sumber: Diadaptasi dari Dokumen Perencanaan Tata Guna Lahan berbasis Mitigasi

bencana Desa Balumpewa5

Seiring dengan meluasnya penanaman pohon kemiri pada rentang tahun 2000-2010 dan terus meningkat hingga hari ini, disertai booming kacang merah, ternyata berdampak pada komoditas padi ladang yang semakin ditinggalkan oleh warga. Ditinggalkannya padi ladang disebabkan alihfungsi tanah padi ladang menjadi tempat menanam kemiri dan kacang merah. Sementara itu, komoditas yang stabil sejak tahun 1990 hingga saat ini adalah kelapa. Kelapa tidak mengalami perkembangan yang berarti karena kondisi pasar dan harga yang tidak pernah benar-benar menguntungkan warga dari sisi ekonomi dibandingkan komoditas-komoditas lain. Kelapa sejak dulu tidak pernah menjadi komoditas-komoditas utama warga di

5 Dalam dokumen asli Perubahan Komoditas Pertanian di Desa Balumpewa yang diamatai dari

tahun 1990 hingga tahun 2019. Namun dalam naskah ini ditambahkan hingga tahun 2021 karena berdasarkan pengamatan belum terjadi perubahan komoditas hingga naskah ini ditulis.

2 3 0 1 1 1 1 3 0 2 1 3 1 3 3 2 1 4 0 2 4 6 8 10 Padi ladang Jagung Kacang Merah Coklat Kelapa Kemiri 1990-2000 2000-2010 2010-2021

(18)

10

Balumpewa, namun berperan sebagai penopang yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.

Berkebalikan dengan jagung yang dari dulu hingga sekarang masih merupakan salah satu komoditas andalan di Desa Balumpewa, terutama di Dusun I dan Dusun II yang saat ini wilayahnya tidak ditanami kacang merah sebagaimana di Dusun III dan Dusun IV. Sehingga, jagung tetap menjadi komoditas penting di Desa ini. Pergeseran komoditas yang ditanam ini ada kaitannya dengan pola hidup harian warga di Balumpewa terutama dari sisi konsumsi. Komoditas jagung masih terus dipertahankan karena selain dijual jagung juga merupakan makanan pokok bagi warga Balumpewa. Oleh karena itu, sangat penting bagi rumah tangga sebagai sumber pangan. Walaupun nasi telah dikenal sejak lama, namun warga masih mengonsumsi jagung dengan cara mencampur ke beras yang akan dimasak (nasi jagung).

Sementara beras, meskipun semakin hari semakin sedikit yang membudidayakan padi ladang, tetapi semakin banyak warga yang mengonsumsi beras karena komoditas ini sangat mudah diperoleh di pasar. Beras pada awalnya bukan konsumsi pangan utama warga di Balumpewa. Bahkan, pada tahun 1990-an, warga yang mengonsumsi beras masih sangat sedikit namun kemudian mengalami lonjakan selama satu dekade terakhir. Begitu pula dengan makanan instan belakangan semakin banyak dikonsumsi oleh warga di Desa Balumpewa. Padahal, di tahun 1990-an, warga bahkan sama sekali belum mengonsumsi bahan-bahan atau makanan yang bersifat instan. Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan kasus beras tadi karena ketersediaan dan kemudahan akses. Bahkan di dusun-dusun yang jauh di pegunungan sekalipun terkadang mesti ditempuh dengan jalan kaki, juga telah tersedia warung-warung yang menyediakan berbagai macam makanan instan.

Gambar 4. Perubahan Pola Konsumsi Warga Desa Balumpewa Sumber: Diadaptasi dari Dokumen Perencanaan Tata Guna Lahan berbasis Mitigasi

bencana Desa Balumpewa6

6 Idem 2 5 5 3 5 3 2 5 5 2 4 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Nasi Jagng Ubi-ubian Makanan Instan 1990-2000 2000-2010 2010-2021

(19)

11

Bersamaan dengan meningkatnya konsumsi makanan instan dan nasi, maka umbian tampak semakin sedikit dikonsumsi. Padahal, pada dekade 1990-an, umbi-umbian mempunyai peran yang sama besarnya dengan jagung sebagai makanan pokok. Namun belakangan, secara umum umbi-umbian dianggap hanya sebagai makanan pendamping saja. Nasi kini mendominasi konsumsi pangan warga di Balumpewa. Meski demikian, konsumsi umbi-umbian belum sepenuhnya lenyap karena selain dijadikan sebagai makanan pokok dapat pula diolah sebagai sayur untuk lauk nasi. Selain itu, saya masih menemukan rumah tangga yang menjadikan umbian sebagai makanan pokok. Dari tuturan warga, tampak bahwa umbi-umbian, terutama talas, masih dikonsumsi sebagai makanan pokok sebagaimana yang kami alami dengan mengonsumsi bersama di jam makan siang ketika datang berkunjung ke rumah bapak M di Ngata Papu. Keluarga Bapak M menghidangkan talas sebagai makanan pokok sehari-hari keluarga.

2.2. Profil Administratif Desa Balumpewa

Posisi administratif Desa Balumpewa tidak terpisahkan dari sejarah wilayah Sigi yang meskipun pegunungan namun telah berpenghuni sejak lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Desa Balumpewa berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sigi-Dolo yang berdiri sendiri-sendiri. Namun, pada tahun 1904 Kerajaan Sigi-Dolo mengalami penaklukkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda setelah terjadi Perang Sigi-Dolo. Perang Sigi-Dolo berakhir dengan pengakuan atas kedaulatan Pemerintahan Hindia Belanda melalui penandatanganan perjanjian lange-verklaring lalu disusul korte-verklaring.

Sebagai bentuk pelaksanaan perjanjian, Pemerintah Belanda berusaha melakukan kontrol-melalui-pengaturan dengan menyebut wilayah-wilayah adminstratif sebagai distrik. Sementara penggabungan beberapa distrik disebut swapraja. Untuk mengatur pemerintahan dalam wilayah swapraja sebagai bentuk pelaksanaan korte-verklering, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Peraturan tentang Daerah-Daerah yang Berpemerintahan Sendiri yang berlaku sejak tahun 1927 dan diubah pada tahun 1938 dengan nama zelfbestusregelen. Situasi ini disebutkan Pradadimara (2017) bahwa sebagai masa mapannya negara kolonial di paruh abad ke-19 dan merupakan awal dari akhir ancient regime. Sejak tahun 1824, pemerintah kolonial Hindia Belanda secara perlahan merintis kehadirannya dengan penataan administratif disertai berbagai perang yang dilancarkannya untuk menerapkan tatanan baru ini. Dan pada tahun 1850-an, pilar-pilar bangunan kolonial mulai ditegakkan (Pradadimara (2017): 63)7.

Upaya kolonialisasi ini disertai perlawanan dalam berbagai bentuk dari berbagai titik termaksud di daerah Balumpewa. Perlawanan warga di Desa Balumpewa akan dikisahkan lebih lanjut nantinya pada Bab Tiga. Namun, sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945 dan akhir tahun 1948, Sulawesi Tengah

7Pradadimara D.2017. Dibentuknya Negara Kolonial di Sulawesi Bagian Selatan di Abad Ke-19. Lensa Budaya, Vol. 12, No. 2, Oktober 2017: Edisi Khusus Persembahan Untuk Edward L Poelinggomang

(20)

12

menjadi satu daerah otonom dengan Ibu Kota berada di Kota Poso. Dengan terbentuknya Sulawesi Tengah, maka lembaga-lembaga pemerintah seperti residen, asisten residen, gezag, hebar/kontreleur dihapuskan dan diubah menjadi Kepala Pemerintahan Negeri, sedang Landschap menjadi Swapraja. Selanjutnya pasca Indonesia merdeka, Sulawesi tengah menjadi Daerah Tingkat I atau Provinsi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 2 Tahun 1964. Provinsi Sulawesi Tengah terdiri dari empat kabupaten, yaitu Kabupaten Donggala, Poso, Banggai dan Buol Tolitoli.

Secara administratif, wilayah Sigi berada di Kabupaten Donggala. Kabupaten Donggala kemudian dimekarkan menjadi Kota Palu dan Kabupaten Parigi Moutong. Lalu mengalami kembali pemekaran pada tanggal 21 Juli 2008 melalui

Undang-Undang No. 27 Tahun 2008 dan terbentuklah daerah otonom baru tingkat II di Provinsi Sulawesi Tengah yang disebut sebagai Kabupaten Sigi. Saat ini, Kabupaten Sigi terdiri dari 15 kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Dolo Barat yang terdiri dari 12 Desa definitif. Salah satu Desa yang berada di Kecamatan ini adalah Desa Balumpewa.

Secara Geografis Desa Balumpewa terletak di antara 1o 2’ 3,22” -1o 4’ 47,66” Lintang Selatan dan 119o 46’ 37,82 – 119o 52’ 0,26’ Bujur Timur. Batas Desa Balumpewa, jika menggunakan batas-batas administrasi Desa, maka Desa-Desa tetangganya adalah Desa Kaluku Tinggu di sebelah Utara, Desa Balamoa di sebelah Selatan, lalu Desa Rarapadende di sebelah Timur dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tamodo yang berada di kecamatan Pinembani, Kabupaten Donggala. Apabila menggunakan pengetahuan lokal warga soal ruang, batas-batas Desa Balumpewa berbatasan dengan Kurayo di sebelah Utara, berbatasan Keke Ntina di sebelah Timur, berbatasan dengan Dayo Puje Lonju di sebelah Selatan dan di sebelah Barat berbatasan dengan Vabo Ntombi.

Desa Balumpewa terbagi ke dalam empat dusun yaitu Dusun I disebut Boya Ntongo, Dusun II disebut Tanapobunti, Dusun III disebut Wilao dan Dusun IV disebut Ngata Papu. Seluruh nama-nama dusun ini, bahkan nama Balumpewa itu sendiri beserta nama-nama sumber mata air, sungai dan air terjun yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, masing-masing memiliki konteks sejarah yang masih melekat dalam tubuh ingatan dan pengetahuan warga.

2.2.1. Kondisi Sosial-Demografi di Desa Balumpewa

Jumlah penduduk di Desa Balumpewa sebanyak 684 jiwa, terdiri dari 322 penduduk laki-laki dan 362 penduduk perempuan. Secara umum, warga bermukim ke dalam tiga wilayah yaitu di relief datar di Boya Ntongo dandi tanah Pabonti. Wilayah pemukiman terluas berada di kedua dusun ini. Bentuk pemukiman warga linier mengikuti arah jalan raya. Selain itu, terdapat pemukiman di Wilao dan pemukiman terjauh di Ngata Papu. Daerah pemukiman warga di Dusun III dan Dusun IV memiliki bentuk perkampungan yang sangat khas dengan wilayah ber-relief tinggi. Pemukiman tersebar dan pusat utama perkampungan berada di seputaran gereja sebagai pusat kehidupan agama dan sosial. Selain itu,

(21)

rumah-13

rumah juga tersebar di kebun-kebun warga. Kedekatan rumah-rumah di Wilao dan Ngata Papu yang bergerombol didasarkan pada hubungan keluarga.

Rumah-rumah yang saling berdekatan biasanya adalah rumah orang tua, rumah anak yang sudah membentuk keluarga baru dan letak paling jauh adalah sepupu. Secara umum, mereka yang hidup di Ngata Papu dan di Wilao masih saling berkerabat, semuanya merupakan etnis Kaili Inde. Jika ada yang datang dari luar Desa dan hidup di kedua kampung ini, biasanya mereka telah menikah dengan warga setempat. Etnisnya masih sama yaitu Kaili. Hanya saja, terkadang ada yang berbeda di sub-etnis, yaitu Kaili Daa. Namun secara umum mereka menganggapnya sama sebagai orang Kaili yang hidup di wilayah pegunungan dan tidak ada perbedaan yang berarti dalam soal kebudayaan. Mereka yang berasal dari luar Desa biasanya dari bukit sebelah yang sebenarnya masih satu bentangan alam dengan Balumpewa. Selain melalui proses kawin-mawin, jika ada orang yang datang dari luar relasi kekerabatan warga di Wilao dan Ngata Papu, biasanya adalah pemimpin keagamaan di gereja yang memiliki masa pelayanan dan bila masa itu telah habis akan diganti oleh opsir lain untuk memimpin pelayanan. Kehidupan di Ngata Papu dan Wilao masih homogen. Peneliti tidak menemukan ada etnis lain di luar etnis Kaili yang tinggal di Ngata Papu. Bahasa sehari-hari warga adalah bahasa Kaili dialek Inde. Agama yang dianut masyarakat adalah Kristen Bala Keselamatan. Lebih dari 50 persen warga di Desa Balumpewa hanya lulusan Sekolah Dasar. Bahkan ada sekitar 24 persen warga yang bahkan tidak menyelesaikan pendidikan tingkat Sekolah Dasar. Sementara yang berkesempatan memperoleh pendidikan hingga tingkat Diploma atau Sarjana sangat kecil, hanya berkisar 3 persen dan yang menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjut Tingkat Atas sebesar 6 persen. Sisanya sebanyak 11 persen warga Balumpewa memperoleh pendidikan hingga Sekolah Lanjut Tingkat Atas. Berdasarkan dokumen RKP Desa Balumpewa tahun 2020, tingkat kesejahteraan sosial mayoritas rumah tangga warga Desa masuk dalam kategori miskin dan prasejahtera. Pekerjaan utama warga bergantung pada sektor pertanian , entah bekerja sebagai petani, buruh tani, peternak atau berbagai aktivitas lain yang berkaitan dengan kerja pertanian.

2.2.2. Gambaran Fasos dan Fasum di Desa Balumpewa

Peneliti menilai penting untuk menjelaskan mengenai tingkat pendidikan warga mayoritas hanya tamatan Sekolah Dasar karena memang sekolah formal untuk memenuhi prasyarat belajar 12 tahun yang tersedia dalam Desa hanya Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak. Sekolah di Wilao dan Ngata Papu adalah sekolah SD dengan jarak yang jauh dan PAUD dengan staf pengajar yang sangat terbatas. Beruntung, belakangan ini terdapat beberapa para relawan yang datang dari Kota Palu mengajar setiap minggu sekali. Sementara untuk melanjutkan ke jenjang SLTP dan SMA perlu keluar dari Desa. Bagi warga yang tinggal di Dusun I dan Dusun II, hal ini tidak menjadi masalah karena jarak tempunya tidak terlalu jauh. Namun bagi anak-anak yang tinggal di Dusun III dan Dusun IV, jarak ke sekolah SLTP dan SMA sangat jauh sehingga memerlukan tempat tinggal di dusun bawah. Artinya, biaya yang perlu dikeluarkan untuk sekolah lebih lanjut menjadi lebih besar untuk memenuhi kebutuhan hidup selama hari-hari sekolah. Selain jarak tempuh, biaya

(22)

14

menjadi kendala bagi anak-anak dari pegunungan untuk melanjutkan sekolah. Meski tidak ada SLTP dan SMA di dalam Desa, namun terdapat kampus STTII yang sudah berdiri sejak tahun 1990 di Balumpewa. Selain itu, gereja juga memberikan pendidikan non-formal kepada anak-anak kecil melalui sekolah minggu.

Balumpewa merupakan Desa yang hampir seratus persen warganya menganut agama Kristen mengingat hanya ada satu anggota rumah tangga yang beragama non kristen yang kemudian menikah dengan warga di Desa Balumpewa. Oleh karenanya, rumah ibadah yang ada di Desa Balumpewa hanya ada Gereja. Tempat ibadah untuk warga Dusun I dan Dusun II di gereja yang sama. Bangunan gereja di dusun bawah ini permanen, berlantai tegel dan luas. Sementara gereja di Ngata Papu dan Wilao terbuat dari bangunan semi-permanen yang berlantai semen dengan dinding yang terbuat dari kayu.

Fasilitas lain yang ada di Desa ini adalah sebuah kantor Desa yang terbuat dari bangunan semi-permanen. Lalu, ada 3 buah pos kamling dan terdapat fasilitas kesehatan berupa Polides dan Puskesdes. Selain itu, terdapat aset hak milik atas nama Desa Balumpewa berupa satu hektar tanah dan lapangan olahraga seluas 30 m x 20 m. Sementara untuk layanan dasar lainnya berupa listrik belum semua rumah tangga yang ada di Sesa Balumpewa memperoleh akses. Sebagaimana jalan, aliran listrik yang difasilitasi oleh negara seperti PLN hanya sampai di Dusun I dan Dusun II. Sementara mereka yang tinggal Ngata Papu dan Wilao belum memperoleh layanan listrik dari PLN. Jika melakukan ibadah di gereja atau menggelar acara pesta, warga mengandalkan genset. Sehari-hari, warga menggunakan tenaga surya yang sangat terbatas kapasitasnya. Pada saat mendung atau hujan, tidak akan ada sama sekali aliran listrik.

(23)

15

BAB III

KONTEKS KERUANGAN AGRARIA

3.1. Sejarah Munculnya Desa Balumpewa

Secara keseluruhan Desa Balumpewa merupakan kampung tua. Bahkan, Gereja Kristen Bala Keselamatan telah ada di wilayah ini sejak tahun 1910. Artinya, daerah ini telah didiami jauh sebelum gereja dibangun. Balumpewa merupakan wilayah yang penuh dengan sejarah perlawanan. Pada mulanya, sekelompok komunitas etnis Kaili Inde atau biasa disebut Topo Inde bermukim di wilayah pegunungan yang disebut Vayolipe. Vayolipe merupakan kampung tua yang merupakan batas terjauh dari wilayah jelajah leluhur Topo Inde yang hidup di Desa Balumpewa saat ini.

Pada suatu periode, mereka yang bermukim di Vayolipe mendengar kabar jika di pegunungan sebelah barat terdapat area yang baik untuk bercocok tanam dan bisa digunakan untuk pemukiman. Orang-orang menyebut wilayah tersebut sebagai Bolontokue. Akhirnya, orang-orang Topo Inde berpindah dari Vayolipe ke Bolontokue. Kehidupan orang-orang Topo Inde di Bolontoke sangat bersahaja. Peralatan yang digunakan dalam mengelola tanah sangat terbatas. Akhirnya seorang tua yang bernama Peva melihat keadaan tersebut dan kemudian berinisiatif menanam balo (bambu) yang pada akhirnya rumpun tersebut tumbuh subur dan digunakan orang-orang Bolontokue dalam kehidupan sehari-hari.

Bambu yang ditanam oleh Peva sangat dirasakan manfaatnya. Orang Topo Inde terkadang menyebut wilayah tinggal mereka sebagai Balumpeva yang pada akhirnya daerah Bolontokue kemudian berganti menjadi Balumpeva yang dalam ejaan sekarang menjadi Balumpewa. Kini disebut sebagai Desa Balumpewa. Istilah Desa ini dikenal belakangan melalui proses sistematis dari Negara untuk menyeragamkan seluruh penyebutan nama wilayah di level paling bawah dalam struktur adminstrasi. Hingga akhirnya, seluruh satuan mukim yang ada di Indonesia kemudian disebut sebagai Desa.

Sebelumnya, Desa disebut kampung. Penggunaan kata kampung bermula ketika Belanda masih menguasai Indonesia dan terus berlanjut hingga tahun 1960-an. Periode sebelum Belanda datang dan mengintervensi soal adminstrasi orang-orang Topo Inde yang menyebut Desa sebagai ngata. Satuan mukim itu sendiri penyebutannya berbeda-beda tergantung dengan besarannya. Jumlah rumah saat itu masih sangat terbatas, bahkan ada yang hanya terdapat rumah beserta pekarangan atau kebun disebut dengan kinta. Namun, ketika jumlah rumah yang berdekat-dekatan semakin bertambah, wilayah tersebut kemudian menjadi boya dan ketika telah banyak rumah-rumah sebagaimana kampung pada umumnya, maka kemudian disebut ngata.

(24)

16

Gambar 5. Konsep Pemukiman Topo Inde

Selain terdapat konsep pemukiman seperti yang digambarkan di atas, orang Topo Inde mengenal istilah-istilah khusus terkait pengelolaan lahan yang menunjukkan peta pengetahuan tradisional warga

3.1.1. Nama dan Penanda

Kepada tetua kampung, peneliti mengajukan pertanyaan mengenai tiga hal yang sangat penting bagi mereka. Satu di antaranya adalah mengenai nama. Nama, bagi orang-orang Topo Inde, sangat berharga. Bahkan, orang-orang Topo Inde tidak akan menyebutkan nama-nama leluhur mereka secara sembarang, terutama yang kuburannya mendiami kampung-kampung tua yang dulu dihuni. Karena itu, dalam masyarakat Topo Inde, bagi orang yang sudah menikah dan telah memiliki anak, mereka akan dipanggil sebagai bapak atau ibu anak pertamanya.

Soal penamaan ini menjadi penting dalam peta pengetahuan warga Balumpewa. Keberadaan kuburan-kuburan tua leluhur Topo Inde, beserta nama-nama siapa yang dikuburkan di situ dan setiap wilayah yang mempunyai nama merupakan bukti sejarah bahwa wilayah ini telah berpenghuni sejak dahulu kala. Sebab itu saya memandang toponimi di wilayah Balumpewa sebagai sesuatu yang penting karena dalam khazanah pengetahuan mereka, nama adalah endapan pengetahuan yang menyimpan narasi sejarah perihal kosmologi ruang dan peristiwa yang meliputinya.

Di Desa Balumpewa tidak ada ruang yang tak bernama. Seluruh area merupakan wilayah jelajah leluhur mereka sejak dulu di mana seluruhnya memiliki nama dan menyimpan sejarah. Jikalau mengajukan pertanyaan kepada tetua kampung-kampung maka ia akan menceritakan dengan sangat baik nama-nama setiap wilayah yang didasarkan pada suatu kejadian di masa lalu maupun bentuk ekologi daerah yang diberi nama tersebut. Misalnya, dahulu wilayah tertentu penuh dengan pohon durian, berbatu, penuh ilalang atau bertanah subur. Kondisi wilayah pada waktu lampau semacam itu seringkali menjadi salah satu makna dari toponimi daerah-daerah yang ada dalam wilayah kelola orang-orang Topo Inde. Contohnya, kampung tertua leluhur Topo Inde adalah Balumpewa. Setelah Vayolipe, wilayah di seberang sudah tidak bernama karena Vayolipe adalah batas terjauh ruang jelajah mereka. Jadi area setelah Vayolipe tidak ada lagi toponimi

(25)

17

atau tidak lagi bernama dalam khazanah pengetahuan lokal warga melainkan mereka menyebutnya sebagai hutan (pangale, tepatnya rarampangale, hutan yang tidak pernah dijamah). Sejak dahulu kala hingga saat ini, wilayah di seberang kampung tua Vayolipe sama sekali tidak pernah dikelola. Inilah area konservasi dalam konteks pengetahuan lokal warga, hutan yang terlarang untuk dimasuki. Apa yang disebut wilayah vera atau wera dalam ejaan saat ini bukan terletak di daerah bawah. Lokasi yang saat ini menjadi daerah konservasi sebagai Taman Wisata Alam sesungguhnya masih masuk daerah jelajah warga. Meski demikian, sejak dulu, mereka sama sekali tidak membuka lahan di sekitar Air Terjun Wera, terutama terhadap wilayah yang mereka sebut area kanogo. Wilayah kanogo merupakan hutan yang berada di area yang secara topografi terjal dan berbatu. Bagi masyarakat Topo Inde, wilayah yang berkarasteristik seperti ini adalah sumber mata air. Wilayah ini terlarang bagi mereka untuk membuka lahan karena daerah ini sangat curam berupa tebing tinggi dan daerah berbatu. Kedua hal ini berkaitan dengan pengetahuan lokal terkait kebencanaan yang telah ada dalam peta pengetahuan leluhur Topo Inde. Hal yang mendorong terjadinya peristiwa migrasi yang mereka lakukan sejak dulu kala karena perang, wabah dan bencana. Pengetahuan ini sangat berguna untuk bertahan menjaga eksistensi orang-orang Topo Inde dari masa ke masa.

Penamaan bagi orang-orang Topo Inde berkenaan pula dengan pengetahuan tentang area mana yang boleh digarap (menjadi kebun ladang dengan tanaman tertentu seperti jagung, padi ladang, atau kacang merah dan mana area dengan kemiringan dan kondisi tanah tertentu di Desa Balumpewa yang secara adat boleh ditanami tegakan seperti kemiri, asam jawa, mangga, durian, langsat) dan tanah mana yang sama sekali tak boleh digarap atau harus dibiarkan menjadi hutan. Wilayah hutan terlarang untuk digarap menurut ketentuan adat.

3.1.2. Tanah: Tampa Mangelo Katuva

Tanah bagi warga Balumpewa adalah tampa mangelo katuvaa (tempat mencari hidup). Kehilangan tanah berarti hilangnya sumber hidup. Kehilangan tanah berarti menjalani hidup ‘di ujung kuku’. Gambaran hidup ‘di ujung kuku’ menunjukkan bagaimana warga Tapo Inde akan mengalami kerentanan jika mereka menjual atau kehilangan tanah. ‘Ujung kuku’ bisa merepresentasikan orang yang tidak memiliki tanah setiap saat bisa dipotong dan digunting seperti kuku. Makna lainnya, hidup ‘di ujung kuku’ adalah orang yang tidak bertanah bisa menjadi penggarap yang hidup di bawah perintah dan telunjuk orang lain dan hal semacam ini bertentangan dengan cara hidup Topi Inde yang egalitarian dan setiap orang berusaha menghidupi dirinya dan rumah tangganya dari bekerja secara mandiri.

Proses menggarap tanah melibatkan laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan yang berarti antara laki-laki dan perempuan dalam mengolah hasil bumi. Keduanya bekerja sama dalam menggarap tanah. Tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan perempuan. Meski terdapat kecenderungan-kecenderungan tertentu, tetapi secara prinsip, laki-laki dan perempuan dapat mengerjakan hal apapun baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

(26)

18 3.1.3. Siampale Mengolah Tanah

Namun ketika musim panen tiba, orang-orang Topo Inde mengolah hasil panen dengan cara bergotong royong atau saling membantu secara bergiliran untuk mengolah hasil panen. Tidak ada imbalan bagi mereka yang datang melakukan siampale, melainkan hanya memperoleh makan siang di tempat bekerja dan di hari lain akan dilakukan hal yang sama di kebun mereka yang datang membantu hari itu. Konsep ini sebenarnya menunjukkan bagaimana mereka saling menolong dalam mengolah tanah dan menghindari relasi perburuhan, serta menghidupkan watak kerjasama yang saling menunaikan harkat masing- masing.

Karena tanah memiliki arti sangat penting bagi Topo Inde, maka proses jual beli tanah di Balumpewa masih sangat terbatas. Tanah-tanah diperoleh dari proses hibah atau mewarisi dari leluhur atau orang tua. Apabila tidak memperoleh warisan maka yang dilakukan oleh orang Topo Inde adalah membuka lahan garapan di dalam kawasan hutan yang dibolehkan dan dianggap cukup baik untuk bertani. Di dalam Desa, seluruh warga masih saling berkerabat mengingat kampung ini adalah kampung tua yang penduduknya masih homogen. Orang-orang luar yang datang ke wilayah ini untuk membeli tanah juga tidak ada. Salah satu hal yang membatasi adalah karena Desa sepenuhnya dihuni oleh oleh Kaili Inde yang beragama Kristen dan masih sangat kental dalam menjalankan adat maupun aktivitas keagamaan sehingga menyulitkan warga lain untuk ekspansi membeli tanah ke wilayah ini (selain karena kondisi jalan belum baik dan berada di ketinggian). Jika ada yang orang membeli tanah dengan tujuan menggarap, maka tentu mereka harus bermukim di Desa, yang berarti mesti menyesuaikan diri dengan adat istiadat yang berlaku dalam kampung. Grafik di bawah ini menunjukkan bagaimana transaksi jual beli tanah di Desa Balumpewa yang masih cukup rendah.

Gambar 6. Transaksi Pembelian Tanah oleh Warga Desa Balumpewa 2010-2020 Selama 10 tahun terakhir, lebih dari 80 persen warga tidak pernah membeli tanah, baik itu tanah garapan maupun tanah milik. Begitu pula transaksi penjualan tanah yang dilakukan warga Desa Balumpewa selama 10 tahun terakhir bahkan jauh lebih

4 41 7 43 8 82 14 86 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak

apakah dalam 10 tahun terakhir pernah membeli tanah milik dari pihak lain

apakah dalam 10 tahun terakhir pernah membeli tanah garapan dari pihak lain

(27)

19

rendah lagi dibandingkan transaksi pembelian tanah. Untuk tanah garapan dalam kawasan hutan, transaksi penjulaan tanah sama sekali tidak ada. Sementara penjualan tanah milik di APL terjadi, tetapi masih terbilang rendah.

Gambar 7: Transaksi Penjualan Tanah oleh Warga Desa Balumpewa 2010-2020 Data transaksi jual-beli tanah selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa pasar tanah di Desa Balumpewa masih berada dalam situasi aman. Tetapi, bagamanapun, tampak ada kecenderungan untuk melakukan pembelian tanah hingga ke luar Desa dalam rangka memperluas tanah garapan. Sementara itu, terdapat trankasi penjualan tanah milik yang berada di luar kawasan hutan. Tentu, kedua hal ini, baik pelepasan maupun perluasan tanah, adalah situasi yang harus menjadi bahan perhatian ketika status tanah garapan dalam kawasan hutan berubah menjadi tanah milik agar transaksi jual beli tanah menjadi masif.

3.2. Dinamika Agraria Desa Balumpewa

Balumpewa merupakan salah satu Desa di antara 114 juga satu dari 157 Desa di Kabupaten Sigi yang berbatasan langsung dan berada di kawasan Hutan. Dari 520.166 hektar total luas wilayah Kabupaten Sigi, 76,16 persen (seluas ± 392.988 hektar) ditetapkan sebagai kawasan hutan dan hanya tersisa 19,22 persen yang diperuntukkan menjadi kawasan pertanian dan perkebunan masyarakat. Kondisi ini menjadi salah satu yang melatarbelakangi Pemkab Sigi mencanangkan pelaksanaan Reforma Agraria sebagai salah satu program khusus Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2021 yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sigi No. 3 Tahun 2016 dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2017, dan secara terpisah dikerjakan melalui suatu gugus tugas yang disebut Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dibentuk melalui Keputusan Bupati Sigi No. 590-001 Tahun 2017 pada tanggal 3 Januari 2017.

0 45 0 50 0 90 0 100 0 20 40 60 80 100 120 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak

apakah dalam 10 tahun terakhir pernah menjual tanah milik kepada pihak lain

apakah dalam 10 tahun terakhir pernah menjual tanah garapan kepada pihak lain

(28)

20

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 843/Kpts/Um/11/1980 tertanggal 25 November 1980, dibentuk Taman Wisata dengan luas kawasan sekitar 250 Ha. Kawasan Wisata ini diduga mencaplok ladang garapan Warga Desa. Pada tahun 2014, luas Kawasan Wisata tersebut diperbarui dengan adanya SK Kementerian Kehutanan dengan luas Kawasan 249,39 Ha dengan status Kawasan Konservasi. Seluruh kawasan konservasi ini masuk ke dalam wilayah Desa Balumpewa. Akibat SK tersebut, 462,4 Ha dari 464,75 luas total wilayah Desa Balumpewa masuk dalam kawasan hutan. Artinya, 99,49% wilayah Desa masuk dalam Kawasan hutan dan hanya tersisa 0,51 persen Area Penggunaan Lain (APL). Merujuk pada Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.869/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah, 91,06 persen (2050,53 Ha) wilayah Desa Balampewa ditetapkan sebagai kawasan Hutan Negara dengan fungsi lindung dan konservasi.

Desa Balumpewa merupakan bagian dari daerah penyangga kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Wera. Sebelumnya, Taman Wisata Ala mini mempunyai Kelompok Wisata Bernama Wera Nabelo yang dibentuk melalui dorongan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Sulawesi Tengah. Belakangan, ketika warga memahami logika konservasi yang ternyata terlarang bagi warga untuk mengakses hutan tersebut terlebih jika untuk menggarap tanah, maka warga memutuskan untuk menolak berbagai macam kegiatan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Bahkan, warga menolak keberadaan hutan konservasi dalam Desa mereka.

Penguasaan tanah dalam Desa Balumpewa memang sangat timpang jika membandingkan porsi antara APL dan hutan; antara yang digarap warga dan yang dikuasai negara. Ketimpangan tanah merupakan kesatuan dari sejarah panjang perihal kebijakan pertanahan. Hal ini terus berlanjut di mana proses penataannya seringkali melahirkan masalah-masalah baru, alih-alih menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Sumber utama permasalahan berdasarkan penguasaan kawasan hutan dan akusisi lahan berskala besar, disertai dengan persoalan tumpang tindih status kawasan8. Struktur penguasaan tanah di Desa Balumpewa didominasi oleh

penguasaan negara dalam bentuk kawasan hutan konservasi dan lindung. Struktur luasan tanah dalam Desa Balumpewa, jika berdasarkan pemanfaatan lahan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

8 Larastiti, Ciptaningrat, Syiqil Arofat dan Ahmad Jaetuloh. 2020. “Enclosure dan Kebijakan

Penguasaan Lahan”. Working Paper Sajogyo Institute No. 01/2020- WP SAINS. Bogor: Sajogyo Institute.

(29)

21

Tabel 1. Penggunaan dan Pemanfaatan Lahan Sumber

Sumber: Data Spasial JKPP, 2019

Berdasarkan RTRW Kabupaten Sigi, di wilayah Desa Balumpewa ditemukan 195,22 Ha yang tidak sesuai RTRW dengan kondisi existing dalam tataguna lahan Desa. Luas terbesar ketidaksesuaian berada pada area kawasan hutan dengan luasan 145,31 Ha yang kini sudah menjadi wilayah kelola rakyat dalam bentuk perkebunan lahan kering. Berikutnya, 1,72 Ha pemukiman warga dalam RTRW ditetapkan sebagai kawasan Hutan Konservasi, dan 9,93 Ha yang berupa kawasan hutan (secara existing) dalam RTRW direncanakan sebagai pemukiman.

Tabel 2. Penguasaan Lahan secara yuridis di Desa Balumpewa

Penguasaan Lahan Luas (Ha)

Masyarakat 201,53

Negara 2050,83

Total Luas (Ha) 2252,18

Sumber: Data Spasial JKPP, 2019S

Sekitar 2050,53 Ha atau 91,06 persen dari wilayah Desa Balampewa ditetapkan sebagai kawasan Hutan Negara dengan fungsi lindung dan konservasi. Bentuk penguasaan Negara yang berada di wilayah Desa Balumpewa berupa penetapan kawasan hutan dengan fungsi lindung dan konservasi berdasarkan ketetapan sebagai kawasan hutan pada tahun 2014 melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK. 869/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah. Selain itu, penguasaan tanah secara yuridis yang terdapat di Desa Balumpewa beralaskan hak atas tanah berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) dan alas hak atas tanah berupa sertifikat. Adapun sistem kepemilikan lahan yang berlaku di Desa Balumpewa umumnya seperti: (1) Kepemilikan Pribadi, merupakan lahan yang kepemilikanya berada di tangan perseorangan. Kepemilikan lahan pribadi biasanya berupa tanah yang digunakan untuk rumah, tanah pekarangan, lahan sawah dan lahan kebun; (2) Kepemilikan Keluarga, merupakan tanah yang dimilki oleh satu keluarga dan belum diwariskan secara individu pada setiap anggota keluarga; (3) Kepemilikan Desa, merupakan tanah yang menjadi aset Desa.

Negaraisasi tanah-tanah di Balumpewa menyebabkan penguasaan dan kontrol negara yang sangat luas. Kultivasi wilayah yang berada di dalam kawasan hutan dianggap sebagai hal yang biasa saja dan tidak memiliki konsekuensi apa-apa

Tataguna Lahan Luas (Ha)

Pemukiman 7,36

Hutan 1.908,87

Kebun 325,36

Sawah 10,6

(30)

22 29 1 0 25 0 0 17 0 1 7 0 0 6 0 0 3 0 0 44 0 0 31 0 0 20 0 0 9 0 0 58 2 0 50 0 0 34 0 2 14 0 0 12 0 0 6 0 0 88 0 0 62 0 0 40 0 0 18 0 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1. Di d e sa 3. Di lu ar k ec amat an 2. Di lua r d es a, ke cam ata n s am a 1. Di d e sa 3. Di lu ar k ec amat an 2. Di lu ar d es a, ke cam ata n sam a 1. Di d e sa 3. Di lu ar k ec amat an 2. Di lu ar d es a, ke cam ata n sam a 1. Di d e sa 3. Di lu ar k ec amat an 2. Di lu ar d es a, ke cam ata n sam a 1. Di d e sa 3. Di lu ar k ec amat an 2. Di lu ar d es a, ke cam ata n sam a TMN 1 TMN 2 TMN 3 TMN 4 TMN 5 TMN 6 KWH 1 KWH 2 KWH 3 KWH 4 Total Persentase

karena bagi warga tanah-tanah yang mereka olah adalah tanah milik yang telah digarap secara turun temurun maka tanha-tanah tersebut sah digarap. Meski dalam perspektif negara itu berarti mengolah kawasan hutan namun bagi warga tidak demikian. Warga menganggap jika mereka sedang menggarap tanah yang melekat hak milik di dalamnya meski tidak diakui oleh negara. Sebab itu, jika kita melihat data garapan tanah warga Balumpewa, maka mayoritas berada di dalam kawasan hutan seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Keterangan: - TMN menunjukkan lokasi Garapan warga pada Tanah Milik

- KWH menunjukkan Lokasi Tanah Garapan Watga dalam Kawasan Hutan

Gambar 8. Lokasi Tanah Garapan Warga di Desa Balumpewa

Warga menguasai tanah di Desa Balumpewa baik yang berada di APL maupun dalam kawasan hutan sudah sangat lama. Tanah yang dikuasai kurang dari 10 tahun merupakan tanah yang baru dibeli beerapa tahun terakhir ini dan berada di luar Desa. Lama penguasaan tanah ini dapat dilihat pada gambar berikut.

(31)

23

Gambar 9. Lama Penguasaan Tanah di Desa Balumpewa

Warga menguasai tanah telah berlangung selam puluhan tahun. Bahkan penguasaan tanah yang berada dalam kawasan hutan tidak ada yang kurang dari 10 tahun. Lama penguasan tanah pad akawasan hutan hany berkisar di antara 11 tahun ke atas hingga lebih dari 20 tahun. Begitupun pengusaana tanah milik kecuali persen yang merupakan tanah yang diebi warga di luar kampung.

3.3. Konflik Agraria di Desa Balumpewa

“Kami masyarakat Desa Balumpewa menolak tanah kami dijadikan kawasan konservasi. kami mempunyai hak untuk mengatur wilayah (tanah) kami. Jangan jadikan kami budak di negri kami sendiri”

Spanduk Aksi Warga Balumpewa

Perjuangan soal tanah di Desa Balumpewa bermula dari terbentuknya kesadaran kritis warga terhadap krisis ekologis yang mengancam ruang hidup mereka. Pohon-pohon pinus yang tumbuh sejak lama di wilayah Se’sebbe9 tiba-tiba disadap.

Beberapa warga diupah untuk menyadap getah pohon pinus tersebut. Di antaranya adalah Bapak Dom10 yang menyatakan bahwa dia dibayar untuk menyadap pohon-pohon pinus.

Efek penyadapan tersebut menyebabkan kerusakan hutan dan matinya pohon-pohon pinus. Warga khawatir pohon-pohon-pohon-pohon yang tersisa akan semakin kerdil dan turut mati jika proses penyadapan terus menerus dilakukan. Perluasan kerusakan

9 Se’sebbe penyebutan warga untuk daerah yang ditumbuhi hutan pinus tersebut. Daerah ini masuk

ke Dusun IV, Ngata Papu. Namun pohon-pohon pinus ini yang tumbuh berjejer dan daunnya sangat ikonik tersebut terlihat jelas jika kita berdiri di dusun bawah, di kaki air terjun Wera.

10 Bukan nama yang sebenarnya

2 20 10 0 25 13 4 40 20 0 50 26 0 10 20 30 40 50 60 1. <10 tahun yang lalu 2. 11-20 tahun yang lalu 3. > 20 tahun yang lalu 1. <10 tahun yang lalu 2. 11-20 tahun yang lalu 3. > 20 tahun yang lalu

Penguasan tanah milik Penguasan tanah pada kawasan

hutan

(32)

24

hutan pinus akan membahayakan kehidupan warga. Pertama, hutan pinus ini adalah jalur dari arah Dusun I-Dusun II menuju dusun IV. Jika pohon-pohon pinus itu mengering, pohon itu akan mati dan mudah tumbang, dan akan membahayakan keselamatan warga yang melalui area tersebut. Kedua, rusaknya hutan pinus dapat memicu terjadinya longsor karena hutan ini tumbuh di daerah kemiringan. Sebab, sejak dulu hutan pinus ini tidak pernah disadap getahnya untuk kepentingan warga. Pohon-pohon pinus tersebut dimanfaatkan warga sesekali saja, yakni penggunaan tangkai pinus di kala melakukan acara Natal kelompok yang hanya berlangsung sekali dalam setahun. Selebihnya, hutan pinus dibiarkan tumbuh menjulang. Keresahan warga ternyata tidak menjadi bahan perhatian BKSDA Sulawesi Tengah. Padahal BKSDA mempunyai Pos Jaga di Desa Balumpewa dan dapat mengamati langsung kondisi pohon-pohon pinus di Se’sebbe yang masuk dalam wilayah kerjanya. Pengabaian BKSDA atas rusaknya hutan pinus memicu kemarahan warga Desa Balumpewa. Karena fungsi dari keberadaan pengelola TWA, seharusnya, adalah memberikan perlindungan dan mencegah kerusakan ekologis. Ternyata, pengelola TWA dan BKSDA tidak mengindahkan kerusakan yang mengancam keselamatan ruang hidup warga tersebut.

Akhirnya, masyarakat Balumpewa menggelar aksi agar penyadapan hutan pinus dihentikan sekaligus menolak keberadaan TWA Wera, khususnya program-program BKSDA Sulawesi Tengah. Spanduk penolakan dibentangkan di Balumpewa.

Penolakan warga mendorong BKSDA Sulawesi Tengah menyampaikan masalah ini kepada Direktur Jenderal KSDAE di Jakarta. Salah satunya melalui surat No. S. 961/IV.K-22/2018 mengenai “Penolakan Masyarakat Desa Balumpewa Kec. Dolo Barat Kab. Sigi Provinsi Sulawesi Tengah Terhadap Kawasan TWA Wera”. Salah satu isi surat ini menerangkan jika berbagai upaya telah dilakukan pihak BKSDA agar tercipta kerharmonisan antara pihak Balai KSDA dengan warga. Di antaranya adalah dengan “melakukan koordinasi dan komunikasi door to door dengan pemerintah Desa dan tokoh-tokoh masyarakat Desa Balumpewa”. Namun, berdasarkan penuturan Kepala Desa Balumpewa, ketika pihak BKSDA berkunjung, mereka berlaku sangat tidak sopan. Bentuk ketidaksopanan itu seperti memberikan rasa tidak aman dan memicu kemarahan sebab kedatangannya disertai dengan membawa badik11. Beberapa bulan kemudian, setelah kejadian ini, pihak BKSDA

kembali menemui Kepala Desa dan membawa berita acara untuk penambahan luas TWA. Berikut tuturan Kepala Desa Balumpewa:

11 Berdasarkan percakapan antara peneliti, Kasmiati dan Kepala Desa Balumpewa pada tanggal 21

November 2020. Berikut tuturan Kepala Desa Balumpewa bahwa suatu sore sepulang dari kebun, kepala balai sudah menantinya di depan rumah yang kemudian menunjukkan baditnya. “Kita masih cape-cape dari kabun datang kasi lihat badi pa kita, “Pak kades saya bawa badit ini”. “Pak minta maaf ini.. Kepala balai bapak ini, kok beraninya bapak kasi keluar badik, saya kasi keluar badik juga e, dipondokku ini”, dia datang kasi tunjuk badiknya kita masih capek-capek baru pulang dari kebun”.

(33)

25

“.. datang lagi minta mau tanda tangan berita acara, tambah lagi luasnya. Jangan saya bodoh dikasih tambah bodoh. Tidak buta mata saya ini, itu, itu… tidak, tanda tangan saja, Pak. Pak, bukan anak-anak saya ini, saya pemerintah Desa di sini. Sudah, saya banting meja itu, saya cabut parang. Pak saya tanda tangani dengan parang saja ini. Kok mau ditambah lagi luasnya 150 hektar12...”

Alih-alih menggunakan pendekatan persuasif kepada pemerintah Desa untuk menyampaikan arti penting hutan konservasi, sebaliknya, malah menciptakan ketegangan yang lahir dari komunikasi yang buruk. Tepatnya, ada cara pandang yang menatap rendah kepada warga sehingga tindakan intimidatif itu melukai harkat kemanusiaan sebagaimana yang diterima oleh Kepala Desa Balumpewa. Siasat-siasat yang memanfaatkan Kepala Desa, kepala adat atau tokoh-tokoh kampung bukanlah narasi baru ketika membicarakann soal tanah, hutan, luasan kawasan, izin dan lain sebagainya.

Konflik dipandang sebagai hal yang wajar dalam pengelolaan wilayah konservasi. Pihak dari BKSDA Sulawesi Tengah, ketika kami temui, menuturkan tidak ada BKSDA di seluruh Indonesia yang tidak berkonflik. Kalau tidak konflik, BKSDA sudah bubar. Karena kawasannya tetap, lahannya tetap, manusia bertambah, kebutuhan akan lahan bertambah, hal ini saja sudah melahirkan konflik13. Alasan ini tentu sangat old school. Kawasan konservasi dapat dikelola jauh lebih manusiawi jikalau kebutuhan mendasar warga terpenuhi dengan memperoleh tempat dalam pengelolaan kawasan. BKSDA mestinya hadir bukan hanya sebagai yang berkonflik atau menangani konflik, melainkan untuk mencegah hal tersebut terjadi.

12 Tuturan Kepala Desa Balumpewa Kepala Desa Balumpewa pada tanggal 21 November 2020

13 Wawancara oleh Tim peneliti Kasmiati dan Ganis Oktaviana dengan staf bagian Perencanaan

(34)

Gambar

Gambar 1. Komoditas utama di setiap dusun di Desa Balumpewa
Gambar 2. Gotong royong memetik Kacang Merah
Gambar 3: Perubahan Komoditas Pertanian di Desa Balumpewa
Gambar 4. Perubahan Pola Konsumsi Warga Desa Balumpewa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kopi Liberika (roasted) masih terbatas, sehingga pada penelitian ini akan dikaji lebih lanjut mengenai uji aktivitas antioksidan Isolat yang diperoleh dari Fraksi Metanol Biji Kopi

Interdependence – Jurnal Hubungan Internasional Vol.1 No.1 Januari – April 2013 ISSN: 2337-859X Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Perusahaan perlu melakukan analisis secara mendalam terhadap lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhi performa usaha yang dijalankan sehingga dapat

Hal ini menjadi satu catatan penting sebagaimana dimunculkan Surraya (2020), ketika ideologi hukum pendaftaran tanah berubah dari instrumen reforma agraria menjadi

20 Kelak yang dikemudian hari, dua orang petani desa Bumirejo ini pun dipaksa untuk menyerahkan lahan garapan mereka pada tahun 1969 dengan disertai pemberian

Mengingat sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) terbesar berasal dari tanah di kawasan hutan, maka sinergitas peran dan program antara Kementerian ATR/BPN dan KLHK

Pasal 22 UU tersebut juga menjelaskan terkait tujuan wakaf, yaitu “sebagai sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan

Saat itu, hampir sebagian besar petani di Sukaluyu yang telah menjual lahannya, keluar dari kampung (pergi ke desa lain) untuk membuka usaha-usaha baru di