• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. TB paru adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. TB paru adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis,"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Konsep TB Paru

2.1.1 Pengertian TB Paru

TB paru adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis, kuman yang berukuran satu sampai lima mikrometer dimana penyebarannya lewat udara melalui droplet dari pasien TB paru yang menyebar ketika penderita batuk, bersin,dan berbicara (Utomo dkk, 2013).

TB paru menurut Sudoyo dkk (2007) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkin paru yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis dimana penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).

TB paru merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberkolosis (Price dan Wilson, 2005). TB paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh oleh mycobacterium tubercolosis dimana penularannya melalui tranmisi udara atau airbone desease (Siegel et al, 2007).

Berdasarkan beberapa definisi mengenai TB paru diatas, maka dapat dirumuskan bahwa tuberculosis atau TB paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis yang menyerang parenkim paru

(2)

dimana penyebarannya lewat udara melalui droplet dan airbone desease dari pasien TB paru yang menyebar ketika penderita batuk, bersin dan berbicara.

2.1.2 Penularan TB Paru

TB paru ditularkan dari orang ke orang oleh tranmisi melalui udara. Individu terinfeksi, melalui berbicara, batuk, bersin, tertawa dan bernyanyi yang melepaskan droplet besar (lebih besar dari 100 mikro ) dan kecil (satu-lima mikro). Droplet yang besar menetap, sementara droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang rentan (Sudoyo dkk, 2007). Sekali pasien TB Paru batuk dapat menghasilkkan sampai 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Daya penularan seseorang ditentukan oleh jumlah kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan dahak, makin tinggi derajat penularannya. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama satu sampai jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam keadaan lembab kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Sudoyo dkk, 2007).

2.1.3 Pencegahan Penularan Infeksi Udara Melalui Penggunaan Masker Salah satu upaya untuk mencengah penularan infeksi udara yaitu dengan menggunkan masker. Masker harus dikenakan bila diperkirakan ada percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh ke wajah. Selain itu masker menghindarkan perawat menghirup mikroorganisme dari saluran pernapasan pasien dan mencengah penularan patogen dari saluran pernapasan perawat ke pasien. Masker bedah

(3)

melindungi pemakai dari menghirup partikel besar aerosol yang melintas dalam jarak yang lebih pendek (tiga kaki) dan partikel kecil, droplet yang lebih jauh. Sekaligus pasien yang rentan terhadap infeksi menggunakan masker untuk mencengah inhalasi patogen. Pasien yang manjalani kewaspadaan droplet dan bakteri yang menyebar melalui udara yang dipindahkan keluar dari kamar mereka, harus menggunakan masker untuk melindungi pasien dan pekerja yang lain (Siegel et al, 2007).

Masker yang dipakai dengan tepat terpasang tepat, nyaman diatas mulut dan hidung sehingga patogen dan cairan tubuh tidak dapat memasuki atau keluar dari sela-selanya. Jika individu menggunakan kaca, batas atas masker berada tepat dibawah kacamata sehingga tidak akan mengembun pada kacamata, bila individu tersebut menghebuskan napas. Masker yang telah menjadi lembab tidak dapat berfungsi sebagai barier atau pelindung terhadap mikroorganisme dan demikian bisa terinfeksi. Masker tersebut harus dibuang, dan tidak seharusnya digunakan kembali. Pasien dan anggota keluarga harus diperingati bahwa masker yang mengakibatkan sensasi tercekik karena pemakaian masker yang terlalu lama. Peralatan perlindungan khusus pernapasan atau masker diwajibkan bila merawat pasien dengan tuberculosis atau dicurigai tuberculosis (Siegel et al, 2007).

Penggunaan masker pada pasien suspek TB paru atau pasien TB paru BTA positif yaitu memberikan masker pada pasien yang tersangka TB paru dan pasien BTA positif dimana tujuannya yaitu mencengah penularan pada pasien lainnya, mencengah penularan silang, mencengah penularan pada penunggu pasien. Prosedurnya yaitu bila ada pasien yang datang diperiksa atau kontrol dengan keluhan batuk-batuk lebih dari

(4)

dua minggu wajib diberikan masker, setiap pasien yang kontrol selama pengobatan harus memakai masker bedah, petugas memakai masker N 95 (SPO RSUP Sanglah Denpasar, 2011).

2.2 Kepatuhan Penggunaan Masker Pasien TB Paru 2.2.1 Pengertian Kepatuhan

Pengertian kepatuhan adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban (Prijadarminto, 2003).

Kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan Green dalam Notoatmodjo (2003). Kepatuhan dalam terapi adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter (Stanley, 2007).

Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepatuhan memiliki arti kesesuaian antara peraturan dengan pelaksanaan suatu prosedur/suatu tindakan sesuai dengan petunjuk/kesepakatan yang telah ditetapkan bersama.

Pengertian dari tingkat kepatuhan dalam penggunaan masker pada pasien TB Paru adalah kesesuain antara peraturan dengan pelaksanaan penggunaan masker pasien TB paru untuk menggunakan masker dalam pencengahan penularan penyakit TB paru sesuai dengan aturan yang berlaku (Potter dan Perry, 2009).

(5)

Gambar 2.1 Penggunaan Masker Bedah Yang Benar (WHO,2007) 2.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Niven (2008) beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan, diantaranya: a. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan klien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

(6)

b. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian klien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mandiri harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan.

c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman–teman sangat penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu memahami kepatuhan terhadap program pengobatan.

d. Perubahan model terapi

Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.

e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan

Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada klien setelah memperoleh infomasi tentang diagnosis. Suatu penjelasan penyebab penyakit dan bagaimana pengobatan, pencengahan dapat meningkatkan kepatuhan. Semakin baik pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan, semakin teratur pasien melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya.

f. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada

(7)

perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Notoadmodjo (2003) pengetahuan merupakan domain yang sangan penting dalam membentuk tindakan seseorang.

g. Usia

Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur melakukan pemeriksaan kesehatan yang dibutuhkan.

h. Dukungan keluarga

Keluarga adalah unit terkecil masyarakat yang terdiri atas dua orang atau lebih, adanya ikatan persaudaraan atau pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga berinteraksi satu sama lain, mempertahankan satu kebudayaan. Motivasi pasien dalam pelaksanaan pemeriksaan kesehatan ke pelayanan kesehatan akan semakin teratur jika mendapat dukungan besar dari keluarga karena keluarga merupakan orang yang terdekat yang dapat memberikan motivasi .

(8)

2.2.3 Kriteria Kepatuhan

Menurut Yayasan Spiritia (2006) kriteria kepatuhan dalam melaksanakan tindakan kesehatan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

a. Patuh adalah kesesuaian antara peraturan dengan tindakan, baik terhadap perintah ataupun aturan, dan perintah tersebut telah dilaksanakan dan semuanya benar, patuh : 50-100%.

b. Tidak patuh adalah suatu tindakan yang mengabaikan atau tidak melaksanakan perintah atau aturan sama sekali, tidak patuh: <50%.

Siegel et al (2007) ; Departemen Kesehatan Replubik Indonesia (Depkes RI) tahun 2007 menyatakan adapun kriteria kepatuhan dalam penggunaan masker pada pasien Tuberkulosis Paru yaitu:

a. Pasien suspek TB paru atau TB paru sudah menggunakan masker dengan benar (masker menutupi hidung dan mulut).

b. Pasien suspek TB paru atau TB paru menggunakan masker saat kontak dengan dokter, perawat, petugas laboratorium, pasien lain, keluarga atau pengunjung. c. Pasien suspek TB paru atau TB paru menggunakan masker saat bersin.

d. Pasien suspek TB paru atau TB paru menggunakan masker saat batuk.

e. Pasien suspek TB paru atau TB paru menggunakan masker saat keluar ruang perawatan.

(9)

2.3 Perilaku Caring Perawat 2.3.1 Pengertian Caring Perawat

Caring merupakan fenomena universal yang mempengaruhi cara manusia berpikir, merasa dan mempunyai hubungan dengan sesama. Caring menfasilitasi kemampuan perawat untuk mengenali pasien, membuat perawat mengetahui masalah pasien dan mencari serta melaksanakan solusinya (Potter dan Perry, 2009).

Caring menurut Watson (1988) dalam Muhlisin dan Ichsan (2008) mendefinisikan caring sebagai esensi dari keperawatan yang berarti juga pertanggungjawaban hubungan perawat dan pasien, dimana perawat membantu partisipasi pasien, membantu memperoleh pengetahuan dan meningkatkan kesehatan.

Caring menurut Swanson dalam Potter dan Perry (2009) mendefinisikan caring sebagai suatu cara pemeliharaan berhubungan dengan menghargai orang lain, disertai perasaan memiliki dan bertanggung jawab. Caring menurut Watson (1979) dalam Potter dan Perry (2009) mendifinisikan caring adalah model holistik keperawatan yang bertujuan untuk mendukung proses penyembuhan secara total.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan caring perawat merupakan hal-hal yang dirasakan pasien terhadap perilaku perawat dalam pelayanan keperawatan yang mempengaruhi bagaimana berperilaku dengan pasien untuk mendukung penyembuhan pasien secara total.

Pengertian perilaku caring perawat merupakan hal-hal yang dirasakan pasien terhadap perilaku perawat dalam asuhan keperawatan yang mempengaruhi bagaimana

(10)

berperilaku dengan pasien untuk mendukung penyembuhan pasien secara total (Potter dan Perry, 2009).

2.3.2 Aspek Perilaku Caring Perawat

Menurut Watson (1979) dalam Putra (2012) caring yang diharapkan dalam keperawatan adalah sebuah perilaku perawatan yang didasari dari berbagai aspek faktor karatif (mencoba menghargai dimensi manusia dalam perawatan dan pengalaman-pengalaman subjektif dari orang yang kita rawat) yaitu :

a. Nilai-nilai kemanusiaan dan Altruistik (Humanistic-altruistic system value) 1) Mengenal nama pasien.

2) Memanggil nama pasien dengan panggilan yang disenangi pasien. 3) Mendahulukan kepentingan pasien dari kepentingan pribadi. 4) Memberikan waktu kepada pasien walaupun sedang sibuk.

5) Memperhatikan dan mendengarkan apa yang menjadi keluhan dan kebutuhan pasien.

6) Menghargai dan menghormati pendapat atau keputusan pasien terkait dengan perawatannya.

7) Memberikan dukungan sosial untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan status kesehatan.

b. Keyakinan dan harapan (Faith and hope)

1) Selalu memberikan harapan yang realistik terhadap prognosis baik maupun buruk. 2) Memotivasi pasien untuk mengahadapi penyakitnya walaupun penyakitnya

(11)

3) Mendorong pasien untuk menerima pengobatanan perawatan yang dilakukan kepadanya.

4) Memotivasi dan mendorong pasien mencari alternatif terapi yang rasional. 5) Memberi penjelasan bahwa takdir berbeda pada setiap orang.

6) Memberi keyakinan bahwa kehidupan dan kematian sudah ditentukan sesuai takdir.

c. Peka pada diri sendiri dan kepada orang lain (Sensitivity to self and others) 1) Bersikap empati dan mampu menempatkan diri pada posisi pasien.

2) Mengendalikan perasaan ketika pasien bersikap kasar terhadap diri (perawat). 3) Dapat meluluskan keinginan pasien terhadap sesuatu yang dibutuhkan.

d. Membantu menumbuhkan kepercayaan, membuat hubungan dalam perawatan secara manusiawi

1) Memperkenalkan diri kepada pasien saat awal kontak serta membuat kontrak hubungan dan waktu.

2) Meyakinkan pasien tentang kehadiran perawat sebagai orang yang akan menolong setiap saat ia membutuhkan.

3) Berusaha mengenali keluarga pasien. 4) Bersikap hangat dan bersahabat.

5) Menyediakan waktu untuk pasien untuk mengekspresikan perasaan dan pengalamannya melalui komunikasi yang efektif.

6) Menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan kepada pasien. e. Pengekspresian perasaan positif dan negatif

(12)

1) Menjadi pendengar yang aktif dengan mendengarkan keluhan pasien tentang keinginan untuk sembuh dan apa yang akan dilakukan jika sembuh.

2) Mendengarkan ekspresi pasien tentang keinginannya untuk sembuh dan apa yang dilakukan jika sembuh.

3) Memotivasi pasien untuk mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif sebagai bagian dari kekuatan yang dimilikinya.

f. Proses pemecahan masalah perawatan secara kreatif (creative problem-solving caring process)

1) Selalu mengkaji, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi proses keperawatan sesuai dengan masalah pasien.

2) Mempertimbangkan untuk mengabulkan permintaan pasien dalam memperoleh sesuatu yang akan membuat pasien cemas bila tidak dikabulkan.

3) Memenuhi keinginan pasien bermacam-macam secara sabar.

4) Selalu menanyakan keinginan pasien yang spesifik dan cara pemenuhannya. g. Pembelajaran secara transpersonal (transpersonal teaching learning)

1) Menjelaskan setiap keluhan pasien secara rasional dan ilmiah sesuai dengan tingkat pemahaman pasien dan cara mengatasinya.

2) Selalu menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan.

3) Menunjukan situasi yang bermanfaat agar pasien memahami proses penyakitnya. 4) Mengajarkan cara pemenuhan kebutuhan sesuai dengan masalah yang dihadapi

(13)

5) Menanyakan kepada pasien tentang kebutuhan pengetahuan yang ingin diketahui mengenai terkait dengan penyakitnya.

6) Meyakinkan pasien tentang kesediaan perawat untuk menjelaskan apa yang ingin diketahui.

h. Dukungan, perlindungan, perbaikan fisik, mental, sosial dan spiritual 1) Menyetujui keinginan pasien untuk bertemu dengan ulama agama. 2) Mengahadiri pertemuan pasien dengan ulama.

3) Menfasilitasi atau menyediakan keperluan pasien ketika akan berdoa atau beribadah sesuai dengan agamanya.

4) Bersedia mencari alamat dan melindungi keluarga yang sangan diharapkan mengunjungi pasien.

5) Bersedia menghubungi temen pasien atas permintaan pasien. i. Bantuan kepada kebutuhan manusia (human needs assistance) 1) Bersedia memenuhi kebutuhan dasar dengan iklas.

2) Mampu menghargai pasien dan privasi pasien ketika memenuhi kebutuhannya. 3) Mampu menunjukkan kepada pasien bahwa pasien adalah orang yang pantas

dihormati dan dihargai.

j. Eksistensi fenomena kekuatan spiritual

1) Memberi kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk melakukan hal-hal yang bersikap ritual demi proses penyembuhannya.

2) Mampu menfasilitasi kebutuhan pasien dan keluarga terhadap keinginan melakukan terapi alternatif sesuai dengan pilihannya secara rasional.

(14)

3) Mampu memotivasi pasien dan keluarga untuk berserah kepada Tuhan.

4) Mampu menyiapkan klien dan keluarga ketika mengahadapi fase berduka (proses kematian).

2.3.3 Asumsi Dasar Caring Perawat

Watson (1979) dalam Muslisin dan Ichsan (2008) mengidentifikasi banyak asumsi dan prinsip dasar dari caring. Watson meyakini bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Watson menyatakan tujuh asumsi tentang caring. Asumsi tersebut yaitu :

a. Caring dapat didemonstrasikan dan dipraktekkan dengan efektif hanya secara interpersonal.

b. Caring terdiri dari karatif faktor yang menghasilkan kepuasan terhadap kebutuhan manusia.

c. Caring efektif meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan individu dan keluarga. d. Caring merupakan respon yang dapat diterima oleh seseorang tidak hanya saat itu

saja namun juga mempengaruhi akan seperti apa seseorang tersebut nantinya. e. Lingkungan yang penuh caring sangat potensial untuk perkembangan seseorang

dan mempengaruhi seseorang dalam memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya sendiri.

f. Caring lebih kompleks daripada curing, praktek caring memadukan antara pengetahuan biofisik dengan pengetahuan mengenai perilaku manusia yang berguna dalam peningkatan derajat kesehatan dan membantu pasien yang sakit. g. Caring merupakan inti dari keperawatan.

(15)

2.3.4 Perilaku Caring Dalam Praktek Keperawatan

Sikap keperawatan yang berhubungan dengan bentuk dari perilaku caring adalah kehadiran, sentuhan kasih sayang, dan selalu mendengarkan. Perawat melakukan perilaku caring dengan menggunakan pendekatan pelayanan dalam setiap pertemuan dengan pasien (Potter dan Perry, 2009).

Menurut Potter dan Perry (2009) dalam memberikan asuhan keperawatan, perilaku caring dapat terdiri dari beberapa bentuk diantaranya :

a. Kehadiran

Kehadiran merupakan suatu pertemuan orang dengan orang yang merupakan sarana untuk lebih mendekatkan dan menyampaikan manfaat caring. Kehadiran perawat membantu menenangkan rasa cemas dan takut karena situasi tertekan. Memberikan penentraman hati dan penjelasan yang seksama tentang prosedur tersebut, semuanya menunjukkan bahwa kehadiran sangat berarti untuk kesehatan pasien.

b. Sentuhan

Sentuhan merupakan salah satu pendekatan yang menenangkan dimana perawat dapat mendekatkan diri dengan pasien untuk memberikan perhatian dan dukungan. Sentuhan caring adalah suatu bentuk komunikasi non verbal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan keamanan klien, meningkatkan harga diri dan memperbaiki tentang kenyataan menurut Boyek dan Watson (1994) dalam Potter dan Perry (2009).

(16)

c. Mendengarkan

Caring melibatkan interaksi interpersonal dan bukan sekedar percakapan resiprokal antara dua orang. Mendengarkan merupakan kunci karena hal itu menunjukkan perhatian penuh dan ketertarikan perawat. Mendengarkan termasuk mengerti apa yang klien katakan, dengan memahami dan mengerti maksud pasien serta memberikan respon balik terhadap lawan bicarannya menurut Kemper (1992) dalam Potter dan Perry (2009).

2.3.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Caring

Menurut Leininger (1981) dalam Putra (2012) secara teori caring dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

a. Individu

Faktor individu adalah kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan demografi. Untuk pendekatan individu melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan caring. b. Psikologi

Faktor psikologis adalah persepsi, sikap kepribadian, belajar dan motivasi. c. Organisasi

Faktor organisasi adalah kepemimpinan, sumber daya, imbalan, dan desain pekerjaan. Untuk pendekatan organisasi dapat dilakukan melalui perencanaan, pengembangan, imbalan yang terkait dengan kepuasan kerja, iklim kerja yang kondusif dan perencanaan jenjang karier.

(17)

2.3.6 Klasifikasi Perilaku Caring Perawat

Asuhan kategori yang akan membedakan prilaku caring yaitu dari The Measuring of nursing Caring Behavior (MNBC) kemudian dikategorikan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Syarifudin (2009) yaitu:

a. Prilaku caring perawat tinggi : jika skor lebih dari 145,83 dari 50 item pertanyaan mengenai perilaku caring perawat

b. Perilaku caring perawat sedang : jika skor lebih dari 104,17 serta kurang dan sama dengan 145,83 dari 50 item pertanyaan mengenai perilaku caring perawat

c. Perilaku caring perawat rendah : jika skor kurang dan sama dengan 104,17 dari 50 item pertanyaan mengenai perilaku caring perawat

2.4 Hubungan Perilaku Caring Perawat Terhadap Tingkat Kepatuhan Dalam Penggunaan Masker Pasien Tb Paru

Caring merupakan fokus utama dalam keperawatan dan merupakan esensi dari keperawatan Watson (1979) dalam Potter dan Perry (2009) menekankan dalam sikap caring ini harus tercemin dalam sepuluh faktor karatif yang berasal dari perpaduan nilai-nilai humanistik dengan ilmu pengetahuan dasar. Faktor karatif ini membantu perawat untuk menghargai manusia dari dimensi pekerjaan perawat, kehidupan dan pengalaman nyata berinteraksi dengan orang lain sehingga tercapai kepuasaan dalam melayani dan membantu pasien.

Caring merupakan respon yang dapat diterima oleh seseorang tidak hanya saat itu saja, namun juga mempengaruhi akan seperti apa seseorang tersebut nantinya yaitu

(18)

kepatuhan pasien dalam mengikuti terapi pengobatan menurut teori Watson (1979) dalam Potter dan Perry (2009).

Salah satu faktor yang mendukung tingkat kepatuhan seseorang (Niven, 2008) adalah meningkatkan interaksi profesional kesehatan. Dimana salah satu implikasi dari dukungan profesional ini dengan menerapkan perilaku caring perawat agar dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan masker pada pasien TB paru untuk mencegah terjadinya penularan penyakit.

Hubungan antara perilaku caring perawat dengan kepatuhan penggunaan masker pasien tuberculosis didukung oleh penelitian Perdana (2008) yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Di Puskesmas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur” dengan jumlah sampel yang digunakan sebanyak 96 orang. Dalam penelitian ini didapatkan hasil dengan nilai P value <0,05, bahwa pelayanan perawat puskesmas memiliki hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat di Puskesmas Kecamatan Ciracas. Diharapkan dengan meningkatkan kualitas pelayanan petugas kesehatan, salah satunya prilaku caring perawat dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan masker pada pasien TB paru. Pasien juga akan mengembangkan sikap yang lebih positif dan dapat mencapai hasil terapi yang lebih baik jika tenaga kesehatan yang melakukan terapi membuat suatu usaha yang sistematis untuk meningkatkan manfaat terapinya. Kewenangan profesional tenaga kesehatan juga dapat turut berperan untuk meningkatkan perilaku positif dari pasien atau kepatuhan pasien. Pendekatan yang digunakan akan ditentukan oleh kondisi pasien yang dihadapi (perlu untuk mengidentifikasi sebab

(19)

perilaku untuk dapat menyusun strategi yang tepat). Pendekatan yang biasa digunakan antara lain pendekatan autocratic dan participatory. Autocratic atau disebut juga provider centered berarti tenaga kesehatan memiliki peran yang dominan atau peran yang mengontrol dan memberikan arahan atau perintah pada pasien tanpa memberi kesempatan pasien untuk berpendapat. Sementara pendekatan participatory berarti tenaga kesehatan dan pasien memiliki posisi yang seimbang, dimana keduanya sama-sama berusaha mewujudkan rencana terapi yang paling sesuai, tenaga kesehatan memberikan bimbingan tanpa mengesampingkan masukkan pasien dan meminta pasien untuk patuh dengan memberikan rencana terapi menurut Genaro (2000) dalam Apriani (2010).

Gambar

Gambar 2.1 Penggunaan Masker Bedah Yang Benar ( WHO,2007 )  2.2.2  Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Risiko adalah perangkat manajemen untuk lembaga pemerintah untuk menetapkan tingkat perlindungan yang tepat (appropriate level of public perlindungan yang tepat

(3) Bagi peneliti lain, karena hasil penelitian dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan pelaksanaan pembelajaran dan

Faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap adopsi teknologi padi sawah adalah pendidikan formal, pengalaman berusahatani, luas lahan garapan, jumlah tenaga

Dalam perkembanganya, Pembangunan di Kabupaten Gorontalo utara mengalami peninggkatan hal ini di dorong oleh usaha dari pemerintah kabupaten untuk meningkatkan

The features of digital library software include: support for different document types and formats, metadata support, online/batch content updating, indexing and storage, search

Mempelajari Kadar Mineral dan Logam Berat pada Komoditi Sayuran Segar di beberapa Pasar di Bogor.. Fakultas Teknologi

Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan -0,28 3,96 5,08 Berdasarkan tabel 2, laju inflasi DKI Jakarta bulan Oktober 2017 tertinggi terjadi pada kelompok pengeluaran makanan