• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GOLONGAN SAMURAI SATSUMA DALAM PEMBERONTAKAN Bab empat ini merupakan pembahasan dari permasalahan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GOLONGAN SAMURAI SATSUMA DALAM PEMBERONTAKAN Bab empat ini merupakan pembahasan dari permasalahan yang"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

45 BAB IV

GOLONGAN SAMURAI SATSUMA DALAM PEMBERONTAKAN 1877

Bab empat ini merupakan pembahasan dari permasalahan yang tertuang dalam rumusan masalah skripsi penulis yang berjudul “Peranan Golongan Samurai Dalam Pemberontakan Satsuma 1877”. Adapun hasil penelitian yang akan dijelaskan dalam bab ini, didasarkan pada pokok-pokok permasalahan yang disesuaikan dengan rumusan masalah yang terdapat pada bab I. Untuk itu, penelitian terbagi ke dalam enam sub pokok bahasan. Sub pokok bahasan pertama membahas tentang latar belakang terbentuknya golongan samurai. Sub pokok bahasan selanjutnya mengenai kedudukan dan fungsi samurai dalam struktur masyarakat Jepang pada awal restorasi Meiji, latar belakang para samurai melakukan pemberontakan Satsuma 1877, motivasi utama para samurai melakukan pemberontakan Satsuma 1877 serta sikap golongan samurai terhadap Pemberontakan Satsuma 1877. Sub pokok pokok bahasan keenam atau terakhir membahas tentang dampak Pemberontakan Satsuma terhadap golongan samurai.

4.1 Latar Belakang Terbentuknya Golongan Samurai

Golongan samurai (bushi) adalah sebuah golongan istimewa dalam hierarki masyarakat Jepang. Kemunculan golongan ini terjadi beratus tahun lalu, jauh sebelum Jepang mengalami masa modernisasi. Para tentara, pemanah, maupun prajurit pejalan kaki pada masa itu disebut sebagai proto-samurai atau proto-samurai kuno. Golongan proto-samurai muncul pada abad ke 8 atau

(2)

masa awal Heian (794-1185). Masyarakat Heian merupakan masyarakat feodal agraris. Lahan pertanian yang dikenal dengan nama shoen dibuka dan dimiliki oleh kelompok tuan tanah bangsawan atau disebut juga sebagai daimyo. Mereka kemudian mempekerjakan para petani dan sekaligus menjadikannya sebagai “budak”. Bangsawan-bangsawan tersebut hidup dalam kemewahan dan kekuasaan yang melimpah. Kekuasaan dan kehidupan mewah para bangsawan di Istana Heian melahirkan ketidakpuasan dari para petani. Akibatnya, terjadi gejolak dan pemberontakan di daerah-daerah. Penjarahan yang terjadi terhadap tuan tanah baik di kota maupun di desa oleh para petani bersenjata mengakibatkan para pemilik shoen atau tuan tanah mempersenjatai keluarga serta para petani miliknya. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan kelas prajurit bersenjata, yang dikenal dengan nama bushi (samurai).

Eksistensi kaum samurai semakin menguat pada akhir zaman Heian. Pada masa ini, muncul dua kekuatan militer yang terbentuk dari dua klan besar, yaitu Taira dan Minamoto. Seperti yang diungkapkan oleh I Ketut Surajaya dalam kata pengantar buku W.G Beasley (2003:xiv-xv), kedua klan itu saling berselisih memperebutkan hegemoni di Jepang, terutama dalam melakukan pendekatan terhadap pemerintah pusat yang dipegang oleh keluarga Fujiwara. Keluarga Fujiwara merupakan satu klan (keluarga besar) pemegang kekuasaan dalam istana kekaisaran, sehingga klan yang mempunyai hubungan politik ataupun memiliki ikatan perkawinan dengan keluarga Fujiwara akan mendapatkan kedudukan dalam istana. Akan tetapi, muncul pula golongan yang kontra terhadap istana dari kaisar-kaisar

(3)

terdahulu yang anti terhadap keluarga Fujiwara. Golongan anti Fujiwara ini membentuk suatu kekuatan militer dengan kuil sebagai basis atau markas politik sekaligus pusat keagamaan. Kaum kontra tersebut dipimpin oleh Shirakawa seorang pendeta yang juga mantan kaisar. Golongan ini kemudian memanfaatkan perselisihan antara klan Minamoto dan Taira dengan melakukan pendekatan terhadap klan Minamoto. Perselisihan antara klan Minamoto dan Taira memuncak, sehingga meletuslah pertempuran diantara kedua klan itu dengan kemenangan berpihak kepada klan Taira.

Kekuasaan Taira tidak berlangsung lama (1160-1185). Klan Minamoto, semenjak dikalahkan oleh klan Taira pada tahun 1160 ternyata melakukan konsolidasi di Kamakura (satu kota pantai dekat dengan Tokyo sekarang). Pada tahun 1185 di bawah pimpinan Yoritomo, klan Minamoto berhasil membalas kekalahan mereka atas klan Taira. Setelah mengalahkan Taira dan merebut kekuasaan, Yoritomo tidak menempatkan pusat kekuatan di Kyoto, melainkan tetap bermarkas di Kamakura (Suryohadiprojo, 1987:15). Masa inilah yang mengawali masa pemerintahan feodalisme militer Jepang yang lebih dikenal dengan bakufu Kamakura. Masa Kamakura juga menjadi masa keemasan bagi para samurai yang memang bekerja sesuai fungsi mereka sebagai prajurit militer Jepang. Selama masa peperangan (sengoku jidai) sepanjang pemerintahan bakufu Kamakura, samurai memegang peranan yang sangat penting bagi perputaran pemerintahan Jepang.

(4)

4.2 Kedudukan dan Fungsi Samurai dalam struktur masyarakat Jepang pada awal Restorasi Meiji

Sistem politik feodal Jepang pada zaman Edo atau keshogunan Tokugawa disebut Bakuhan Taisei. Baku dalam "bakuhan" berarti "tenda" yang merupakan singkatan dari bakufu (pemerintah militer atau keshogunan). Dalam sistem Bakuhan Taisei, daimyo atau bangsawan tuan tanah menguasai daerah-daerah yang disebut han dan membagi-bagikan tanah kepada pengikutnya. Sebagai imbalannya, pengikut daimyo berjanji untuk setia dan mendukung Kekuasaan pemerintah pusat berada di tangan shogun di Edo dan daimyo ditunjuk sebagai kepala pemerintahan di daerah. Daimyo memimpin provinsi sebagai wilayah berdaulat dan berhak menentukan sendiri sistem pemerintahan, sistem perpajakan, dan kebijakan dalam wilayahnya. Sebagai imbalannya, daimyo wajib setia kepada shogun yang memegang kendali hubungan internasional dan keamanan dalam negeri

(http://id.wikipedia.org/wiki/Keshogunan_Tokugawa#Pemerintahan:12 Juli 2006)

Struktur atau hierarki masyarakat Jepang semasa pemerintahan Tokugawa terdiri dari beberapa golongan. Setiap golongan itu menggambarkan tinggi rendahnya kedudukan mereka di masyarakat. Struktur masyarakat Jepang sebagaimana digambarkan oleh Ruth Benedict (1979:68) adalah Kaisar sebagai pemegang kedudukan tertinggi, diikuti oleh para bangsawan (daimyo). Selanjutnya adalah empat kasta rakyat yang

(5)

urutannya terdiri dari para samurai, para petani, para tukang dan para pedagang. Di bawah keempat kasta ini masih terdapat orang-orang buangan yang kedudukannya paling rendah dan disebut sebagai golongan Eta.

Dari penggolongan diatas, kelas samurai dan petani dianggap sebagai kasta yang paling cocok untuk mendukung sistem feodal semasa rezim Tokugawa. Para pedagang ditempatkan di urutan paling bawah karena bagi masyarakat feodal, kelas pedagang dapat merusak tatanan masyarakat, karena ketika kaum pedagang menjadi kaya dan disegani, feodalisme menuju kehancuran (Benedict, 1979:68). Sedangkan bagi kaum samurai, tempat mereka bekerja dan menggantungkan kehidupan adalah melalui tangan daimyo majikannya. Kemana para samurai mencari dukungan atau bantuan bukan masalah lagi, karena ia sepenuhnya mempunyai ikatan yang kuat dengan tuannya. Ikatan-ikatan kuat antara daimyo dan samurai itu biasanya tertempa dalam peperangan antar wilayah, sehingga para samurai mendapatkan perlakuan khusus dari majikannya dibandingkan kelas yang lain. Sebagaimana hak istimewa yang mereka dapatkan dari daimyo-nya, ciri khas yang membedakan seorang samurai dengan kasta yang lain adalah pedang yang mereka sandang. Pedang itu bukan sekedar perhiasan belaka, mereka berhak menggunakannya terhadap rakyat biasa atau yang mempunyai status lebih rendah dibandingkan mereka.

Semasa pemerintahan Tokugawa, shogun Ieyasu mencoba menyempurnakan pemerintahan feodalnya dengan membagi para daimyo ke dalam beberapa kelompok. Daimyo Shinpan, yaitu daimyo yang berasal dari keturunan keluarga Tokugawa, Daimyo Fudai, daimyo bawahan yang setia

(6)

kepada keluarga Tokugawa dan Daimyo Tozama yaitu daimyo bekas bawahan Toyotomi Hideyoshi yang kemudian menjadi bawahan Tokugawa. (Nurhayati, 1987:38 )

Yeti Nurhayati kembali menegaskan dalam bukunya, walaupun Tokugawa Ieyasu telah berusaha untuk mengatur sistem feodalnya sebaik mungkin, namun terdapat kelemahan dalam pelaksanaan pengaturan kedudukan golongan daimyo-daimyo tersebut. Kesulitan shogun untuk melakukan pengawasan terhadap para daimyo menjadi kelemahan utama. Kebijakan-kebijakan shogun Tokugawa saat itu diarahkan kepada upaya mempertahankan dan melestarikan kekuasaannya. Untuk kepentingan tersebut, bakufu menetapkan aturan menempatkan daimyo yang setia di antara daimyo yang diragukan kesetiaannya, dengan kata lain sebagai ”pengawas” agar segala tindakan mereka dapat dikendalikan. Selain itu, shogun mempunyai cara agar para daimyo tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak diinginkan dengan mengatur waktu tugas para daimyo. Setengah tahun pertama, daimyo-daimyo itu ditempatkan di ibukota Edo dan setengah tahun lagi bertugas di daerahnya. Ketika daimyo bertugas di daerahnya masing-masing, mereka harus menyerahkan keluarganya untuk tinggal di ibukota sebagai tawanan politik shogun. Akibatnya, mau tidak mau daimyo itu harus tunduk di bawah kekuasaan shogun.

Di antara seluruh daimyo, 63 persen termasuk golongan daimyo Shinpan dan Fudai sedangkan Tozama hanya 37 persen saja. Meskipun begitu, wilayah yang dikuasai golongan Tozama lebih besar daripada wilayah Shinpan ataupun Fudai. Selain itu, letak wilayah kekuasaan daimyo

(7)

Shinpan dan Fudai lebih strategis bagi pemerintah, yaitu sekitar Edo atau pusat pemerintahan Tokugawa. Sedangkan kedudukan daimyo Tozama jauh dari Edo yakni di bagian barat dan utara serta sepanjang pesisir Laut Jepang (Suryohadiprojo, 1987:18). Akibatnya, daimyo Tozama yang berada di sebelah Barat Jepang kurang mendapatkan pengawasan ketat karena letak geografis yang cukup jauh dari ibu kota. Hal ini menyebabkan para daimyo atau penguasa wilayah daerah itu mempunyai kesempatan untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah, karena semakin mengendurnya pengawasan dan penekanan yang dilakukan oleh pemerintah akibat instabilitas politik yang mulai terjadi. Sedangkan daimyo Tozama sendiri adalah gabungan klan daimyo-daimyo bawahan Toyotomi Hideyoshi yang dahulu dikalahkan di medan perang Sekigahara ketika melawan pasukan Tokugawa. Jadi, motivasi mereka untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Tokugawa sangat kuat.

Klan-klan atau keluarga-keluarga daimyo yang tergabung dalam golongan daimyo Tozama terdiri dari para samurai-samurai ternama dalam bidang militer karena memiliki kepiawaian dalam strategi dan teknik berperang, diantaranya adalah klan Satsuma dan Chosu. Klan-klan tersebut kemudian berkoalisi menyusun rencana dan mengadakan perundingan secara rahasia. Perundingan tersebut dilakukan secara diam-diam mengingat kewaspadaan shogun terhadap upaya-upaya yang bisa menjatuhkan pemerintahan Tokugawa. Pada awalnya, klan Satsuma dan Chosu ini berselisih, terutama ketika klan Chosu mencoba melakukan penyerangan

(8)

terhadap keshogunan, namun tidak berhasil karena dikalahkan oleh pasukan shogun dengan bantuan samurai-samurai Satsuma.

Pasca penyerangan klan Chosu terhadap keshogunan, bakufu melakukan tindakan yang secara tidak langsung merupakan satu kesalahan besar, karena hal itu membuka jalan bagi dua klan terkuat di Jepang itu untuk berkoalisi. Setelah dikalahkan pasukan shogun dan Satsuma, pimpinan Chosu akhirnya menyerah. Syarat-syarat perdamaian telah dibentuk dengan kesepakatan bersama Saigo Takamori, seorang samurai ternama dari kalangan Satsuma. Saigo Takamori terpilih mewakili pihak Satsuma karena saat itu dia berstatus sebagai pemimpin militer samurai Satsuma. Tetapi, bakufu mengeluarkan keputusan sepihak untuk memusnahkan klan Chosu dan syarat-syarat damai yang diajukan bakufu juga sangat menyulitkan pihak Chosu. Demi mempertahankan harga diri dan keberadaan klan mereka, maka pihak Chosu mengambil keputusan untuk bertempur hingga akhir ( Lan, 1962:135).

Klan Satsuma pun ternyata tidak menyetujui keputusan bakufu. Oleh karena itu, ketika Klan Chosu akhirnya meminta bantuan kepada klan Satsuma, terjadi kedekatan antara kedua klan. Mereka juga menyadari bahwa kaisar saat itu tidak mempunyai kewenangan sebagaimana kedudukannya dalam pemerintahan, sehingga sudah saatnya kaisar dikembalikan kepada kedudukan yang seharusnya yaitu turut serta dalam pemerintahan Jepang. Pihak Satsuma menyetujui untuk memberikan bantuan kepada Chosu dan kedua klan itupun melakukan perundingan dengan diwakili oleh pimpinan samurai-samurai dari kedua klan tersebut.

(9)

Hasil dari perundingan itu, klan Satsuma menyatakan dengan terang-terangan menentang bakufu dan menolak mengirimkan tentaranya dalam ekspedisi penghukuman terhadap klan Chosu (Nurhayati, 1987:46).

Kondisi Jepang saat itu bisa dikatakan mengalami tekanan dari dalam maupun luar Jepang. Tekanan dari luar adalah akibat pembukaan Jepang pasca kedatangan Komodor Perry yang dilakukan tanpa melalui persetujuan kaisar, sedangkan dari dalam Jepang sendiri saat itu sudah mulai muncul intrik-intrik untuk menjatuhkan kekuasaan shogun. Situasi tersebut semakin menyulitkan pemerintah Tokugawa yang sedang berkuasa. Dengan adanya tekanan-tekanan baik dari dalam maupun luar Jepang membuat Shogun yang memerintah saat itu, Yoshinobu Tokugawa menyadari tidak mungkin mempertahankan pemerintahan bakufu sekarang. Di tengah kerapuhan pemerintahan Tokugawa, klan-klan penentang bakufu sekaligus pendukung Kaisar tumbuh semakin kuat dan terjadilah pertempuran antara tentara klan-klan yang bersekutu melawan keshogunan Tokugawa. Selain menginginkan perubahan atas sistem pemerintahan militer sekarang, klan-klan pemberontak itu juga meruntuhkan kekuasaan atas nama Kaisar yang selama ini seolah hanya menjadi simbol pemersatu Jepang semata. Adanya serangan dari pasukan samurai yang berasal dari klan-klan dengan kekuatan militer terkuat di Jepang, membuat tentara bakufu tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti. Dengan demikian kemenangan berpihak kepada tentara dari klan-klan yang memihak Kaisar. Pada tahun 1868, runtuhlah keshogunan Tokugawa yang berlangsung selama lebih dari dua setengah abad dan berganti dengan pemerintahan baru di tangan Kaisar.

(10)

Meskipun kekuasaan politik telah dikembalikan kepada kaisar, namun pengaruh dari pemerintahan feodal masih terasa pada tahun-tahun pertama periode Meiji terutama dalam masalah ekonomi dan sistem sosial. Karena itu, pemerintah berusaha untuk menghilangkan sisa-sisa feodal sebelum modernisasi dilaksanakan. Untuk kepentingan tersebut, pemerintah segera mengadakan perubahan dengan mencontoh dunia Barat, dengan tujuan membangun Jepang agar setaraf dengan Barat dan mencapai posisi serta mendapat tempat dalam hukum internasional. Dalam hal ini, golongan samurai memegang peranan yang sangat penting. Karena masa-masa awal restorasi Meiji, dilakukan perubahan yang secara langsung berkaitan dengan keberadaan dan peranan para samurai dalam pemerintahan. Perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang yaitu dengan cara pembentukan sistem pemerintahan yang baru.

Peranan penting samurai yang pertama adalah dominasi mereka dalam jabatan-jabatan penting di pemerintahan. Hal ini bisa terlihat pada susunan pemerintahan awal restorasi Meiji dimana samurai-samurai yang menempati posisi dalam pemerintahan kebanyakan adalah para samurai yang memprakarsai meletusnya restorasi. Yeti Nurhayati (1987:51) menyatakan bahwa upaya pembentukan pemerintahan yang baru ini sebenarnya telah dilakukan beberapa tahun sebelum terjadi restorasi Meiji, tepatnya pada tahun 1863, tetapi perubahan tersebut menjadi semakin jelas tatkala terjadi restorasi. Pemerintah mengadakan perubahan dengan membentuk sistem pengganti pemerintahan bakufu. Pemerintahan yang baru dikepalai oleh Tenno (Kaisar) dan dibantu oleh tiga badan penasihat. Lebih

(11)

lanjut Nurhayati memaparkan bahwa tiga badan yang dimaksud adalah sebagai berikut ini :

Pertama adalah Sosai atau Majelis Tinggi, yang dikepalai oleh seorang pangeran.

Kedua, yakni Gijo atau Dewan Penasihat kelas satu yang terdiri dari anggota-anggota yang diambil dari kalangan bangsawan (Kuge) dan samurai terkemuka.

Ketiga adalah Sanyo atau Dewan Penasihat kelas dua yang anggotanya terdiri dari lima orang golongan Kuge dan 15 orang dari golongan samurai. (Nurhayati,1987:51)

Akan tetapi, pada tahun yang sama pemerintah mengubah kembali susunan di atas dan ketiga badan Penasihat yang ada dilebur ke dalam susunan lebih sederhana yaitu Dai-Jo-Kan (Majelis Musyawarah).

Kedudukan kaum samurai semakin kuat ketika struktur pemerintahan yang telah ada diubah kembali pada September 1871 dengan dominasi penuh para samurai. Dai-Jo-Kan yang berisi dua dewan, berada di bawah kuasa Perdana Menteri (Dajo-daijin) Pangeran Sanjo Sanetomi dan Pangeran Iwakura Tomomi sebagai Menteri Luar Negeri. Adapun setiap kebijakan politik yang dikeluarkan, berasal dari Badan Penasihat Negara yang merupakan gabungan klan-klan samurai anti Tokugawa. Tokoh-tokoh yang memegang peranan paling dominan berasal dari klan Satsuma dan Chosu, sedangkan dua klan penting lainnya yaitu Tossa dan Hizen mendapat kedudukan lebih sederhana. Para pemegang posisi penting dalam Badan Penasihat Negara ini adalah Saigo Takamori dari Satsuma, Kido Takayoshi dari Chosu, Itagaki Taisuke dari Tosa, dan klan Hizen diwakili oleh Okuma Shigenobu. Tokoh lainnya yang turut serta dalam keanggotaan Badan Penasihat ini adalah Yamagata Aritomo (Chosu), Eto Shimpei, Soejima

(12)

Taneomi, dan Oki Takato (Hizen), Terashima Munonori dan Kuroda Kiyotaka (Satsuma), serta Goto Shojiro dan Sasaki Takayuki (Tosa). Okubo Toshimichi, seorang samurai klan Satsuma mendapatkan kedudukan tertinggi di Badan Penasihat sebagai pimpinan para samurai-samurai tadi. ( Norman, 1945:57).

Pada tahun 1869, pemerintah mengubah nama Edo menjadi Tokyo (ibukota di timur) sebagai ibukota negara Jepang (Beasley, 2003:277). Tahun berikutnya, pemerintah mengambil tindakan untuk mengubur sistem feodal dan menghapus kekuasaan dan hak-hak istimewa para daimyo. Tindakan ini dipelopori oleh kelompok samurai yang berasal dari gabungan klan Satsuma, Chosu, Hizen dan Tossa. Kaisar selanjutnya memerintahkan agar semua daimyo menyerahkan daerah kekuasannya masing-masing ke tangan pemerintah untuk kemudian diatur langsung oleh pemerintah termasuk penunjukkan gubernur sebagai pengganti daimyo. Perubahan istilah juga terjadi dalam sistem sosial masyarakat Jepang. Para bangsawan tuan tanah (daimyo) berubah menjadi bangsawan dengan sebutan baru yaitu kazoku, kaum samurai (bushi) berganti menjadi shizoku, dan kelas-kelas dibawah mereka yaitu petani, tukang dan pedagang disebut dengan heimin atau rakyat biasa. (Yasuoka, 1978:12)

Peran utama kaum samurai pada masa-masa awal restorasi Meiji selain sebagai motor penggerak keruntuhan sistem pemerintahan militer atau bakufu yang telah beratus tahun memerintah, samurai-samurai yang berpikiran moderat ternyata telah berhasil membuka mata masyarakat Jepang akan pentingnya hubungan dengan dunia luar, terutama masalah

(13)

ilmu pengetahuan. Jika melihat susunan pemerintahan Jepang yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa kedudukan kaum samurai tidak hanya berfungsi sebagai pasukan militer atau tentara yang melindungi Jepang secara fisik saja, tetapi mereka juga berperan penting dalam pemerintahan dan pengambil kebijakan masa restorasi Meiji. Kebijakan-kebijakan yang mereka ambil itu mengacu kepada keinginan untuk memajukan Jepang agar setara dengan negara-negara Barat. Oleh karena itu, pemerintah mengirimkan samurai-samurai muda dan berpikiran moderat untuk mempelajari ilmu di negara Barat, dengan tujuan dapat membawa perubahan bagi negaranya. ketika mereka kembali ke Jepang (Beasley, 2003: 270-271).

Ketika samurai-samurai muda yang dikirimkan ke luar Jepang kembali ke Jepang, samurai-samurai itu datang dengan membawa pemikiran baru tentang kemajuan Jepang yang semuanya berpusat pada satu titik yaitu tradisionalitas yang mengungkung Jepang harus dihapuskan, karena dianggap dapat menghambat kemajuan Jepang. Untuk memudahkan dedikasi mereka dalam proses reformasi yang saat itu sedang berlangsung di Jepang, mereka kemudian menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan dan memiliki pengaruh penting dalam setiap pengambilan kebijakan yang membawa perubahan-perubahan fundamental Jepang.

Salah seorang tokoh keturunan samurai yang menjadi inspirasi bagi kemajuan Jepang, Fukuzawa Yukichi menyatakan dalam bukunya Gakumon no Susume bahwa yang dibutuhkan oleh Jepang adalah keterbukaan terhadap nilai-nilai Barat yang bisa memajukan Jepang. Dengan mengadopsi

(14)

budaya Barat, diharapkan Jepang dapat membuka alam pikirannya dan terlepas dari tradisionalitas yang sebenarnya merugikan Jepang sendiri. Pendapat Fukuzawa mengenai pentingnya pendidikan bagi seseorang dinyatakan dibawah ini:

”... seseorang yang tidak menuntut ilmu dia akan tetap dalam kegelapan, dan seseorang yang berada dalam kegelapan adalah orang bodoh. Oleh sebab itu, ada perbedaan antara pandai dan bodoh, yang pada hakikatnya ditetapkan oleh pendidikan.” ( Yukichi, 1985:23-24)

Salah satu pemikiran inilah yang membuka mata bangsa Jepang, bahwa seharusnya mereka telah memiliki kehidupan dan kemajuan yang setara dengan bangsa-bangsa lainnya yang telah terlebih dahulu maju. Sehingga pasca restorasi Meiji, pemerintah Jepang lebih mengutamakan perubahan-perubahan yang lebih berorientasi dan berlandaskan kepada ilmu pengetahuan demi mengejar ketertinggalan dengan negara-negara Barat.

Kedudukan dan fungsi samurai pada masa awal restorasi Meiji hampir tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan Tokugawa, dimana golongan tersebut mendapat tempat dan perlakukan yang istimewa dari pemerintah. Tugas mereka tidak hanya sebagai prajurit militer saja, tetapi juga merambah ke dunia pemerintahan dan pendidikan. Hal ini terjadi karena para samurai tidak hanya dibekali ilmu-ilmu militer, mereka juga menguasai ilmu pendidikan, tata negara bahkan sastra dan seni. Kedudukan mereka pada masa itu ada yang menjadi pengajar ilmu-ilmu tersebut, dan tidak sedikit pula diantara mereka yang menduduki jabatan penting di pemerintahan. Walaupun demikian, fungsi samurai sebagai golongan militer mulai bergeser seiring perkembangan yang dilakukan pemerintah Meiji.

(15)

4.3 Latar belakang para samurai melakukan Pemberontakan Satsuma 1877

Keruntuhan rezim Tokugawa yang terjadi pada tahun 1868 membawa perubahan besar-besaran dalam sistem pemerintahan Jepang. Sistem pemerintahan yang semula berupa sistem feodalisme berganti menjadi sistem yang meniru negara-negara Barat. Dengan berbekal semboyan sonno joi yang artinya ”hormati Kaisar dan usir kaum barbar”, semakin menguatkan upaya perubahan Jepang bagi para pendukung kaisar atau Tenno. Meskipun semboyan itu dikumandangkan ke seluruh rakyat Jepang, namun para samurai yang pernah mengunjungi Eropa dan Amerika menyadari bahwa pengusiran bangsa asingpun harus dengan cara yang tepat. Jika tidak, maka kehidupan bangsa Jepang yang akan terancam (Suryohadiprojo, 1987:25). Karenanya, jika dapat menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan seperti yang dimiliki oleh bangsa Barat, kehidupan bangsa Jepang akan terjamin dari ancaman dunia Barat. Perubahan ini tidak terlepas dari tangan-tangan para samurai yang memang sejak semula menyusun kekuatan untuk menggulingkan pemerintahan militer Tokugawa, terutama klan-klan pendukung Tenno dan penentang keshogunan Tokugawa.

Ketidakstabilan kondisi pemerintahan Tokugawa membawa keuntungan bagi klan-klan tersebut. Ketika kekuasaan Tokugawa berhasil digulingkan, Restorasi Meiji pun dimulai dengan tatanan dan kebijakan pemerintahan yang baru. Langkah paling utama yang dilakukan oleh pemerintah Jepang saat itu adalah, rakyat Jepang dididik untuk mengarah ke

(16)

Barat. Di dalam modernisasi ini, Jepang tanpa ragu-ragu melakukan westernisasi. Sebab mereka berpendapat bahwa, hanya melalui westernisasi kelangsungan hidup Jepang dan kemajuan akan dapat dilakukan dengan lebih baik.

Para pemimpin di sekeliling kaisar Meiji di bawah pimpinan Okubo Toshimichi, mengambil langkah-langkah besar yang bersifat fundamental untuk merealisasikan semboyan fukoku kyohei (negara sejahtera, tentara kuat). Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tersebut dipaparkan oleh Sayidiman Suryohadiprojo (1987 : 26-31) yaitu sebagai berikut :

1. Penghapusan golongan samurai dan tembok pemisah yang semula memisahkan antara golongan petani, tukang serta pedagang.

2. Diadakannya pendidikan wajib dan bebas bagi seluruh rakyat selama empat tahun dan dibukanya berbagai macam tingkat sekolah. Sehingga masyarakat Jepang bisa mempunyai kesempatan berkembang sesuai dengan tambahan pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian, timbul perasaan dan keyakinan bahwa siapapun sekarang dapat memperoleh kemajuan asalkan dia menunjukkan kemampuan belajar. Sistem pendidikan yang digunakan disesuaikan dengan sistem pendidikan Barat, agar bisa dijadikan landasan untuk mengejar ketertinggalan Jepang dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Kebijakan orientasi sikap Jepang yang lebih berpihak kepada kekuatan sendiri daripada berdasarkan pada bantuan luar negeri, dengan alasan menghindari adanya dominasi dari pihak-pihak asing.

(17)

4. Diadakannya wajib militer bagi masyarakat yang usianya memenuhi syarat, karena setelah dihapuskannya golongan samurai, fungsi pertahanan tidak lagi menjadi kewajiban satu golongan saja melainkan menjadi tanggung jawab seluruh rakyat. Dengan tujuan meningkatkan pertahanan negara dan menumbuhkan pengertian dan kesadaran akan pentingnya membela dan keamanan negara. Untuk melaksanakan negara yang modern, organisasi militer yang efisien merupakan kebutuhan yang mutlak. Suatu dinas militer yang hanya dimonopoli oleh kelas samurai bukan saja mencerminkan sistem feodal, tetapi juga menjadi hambatan yang serius terhadap usaha penghapusan sistem kelas feodal.

5. Perubahan sistem perpajakan dari masa pemerintahan Tokugawa yang pembayarannya menggunakan beras, diganti menjadi uang tunai sehingga tidak lagi tergantung kepada hasil panen. Hal ini berpengaruh langsung terhadap kemajuan bidang pertanian serta pemerintah dapat mengumpulkan biaya untuk kestabilan pembangunan industri dan kekuatan militer.

Kebijakan-kebijakan di atas yang paling besar pengaruhnya bagi golongan samurai adalah kebijakan pertama mengenai penghapusan strata samurai dari hierarki masyarakat Jepang. Perubahan yang dilakukan diantaranya terhadap para daimyo yang dahulu menguasai daerah-daerah di Jepang dan memperoleh penghasilan dengan menarik pajak dari rakyat yang tinggal di daerah kekuasaannya. Kemudian, para samurai yang menjadi

(18)

bawahan daimyo itu juga dibiayai dari pajak yang ditarik dari rakyat tersebut. Ketika masa restorasi Meiji, keadaan berubah. Okubo dan kawan-kawannya meniadakan kekuasaan para daimyo dan samurai-samurai atas daerah yang semula dimilikinya. Wilayah Jepang dibagi ke dalam propinsi-propinsi, pada awalnya propinsi-propinsi itu masih tetap dipimpin oleh daimyo dari daerah asal, setelah dua tahun kemudian pemerintah pusat mengangkat sendiri gubernur-gubernur sebagai pemimpin propinsi (Suryohadiprojo, 1987:26). Perubahan kekuasaan yang terjadi pada para daimyo memang tidak terlalu signifikan, tetapi berbeda lagi dengan nasib kaum samurai. Para samurai sekarang tidak berhak lagi mengambil gajinya dari pajak hasil daerah tempat dia berada, melainkan digaji oleh pemerintah pusat sehingga tidak ada kewajiban mutlak dari daimyo suatu daerah untuk membiayai samurai-samurai miliknya.

Alasan dikeluarkannya kebijakan penghapusan golongan samurai dari hierarki masyarakat Jepang karena para samurai moderat atau shizoku yang duduk di pemerintahan rupanya menyadari bahwa untuk melaksanakan semboyan sonno joi dan fukoku kyohei secara baik, tidak mungkin mempertahankan struktur dan sistem masyarakat yang lama. Oleh karena itu, mereka mengambil keputusan yang cukup beresiko. Walau mereka yang duduk di pemerintahan juga adalah kaum samurai, kenyataan itu tidak membuat mereka ragu dalam mengambil keputusan. Dengan kata lain, bisa diibaratkan bahwa golongan samurai ini melikuidasikan diri sendiri karena para pengambil kebijakan itu adalah kaum samurai.

(19)

Akibat dari kebijakan tersebut, hampir dua juta samurai kehilangan mata pencaharian utama mereka dan banyak diantara mereka harus mencari lapangan pekerjaan yang baru. Lapangan pekerjaan yang paling banyak menjadi pilihan mereka tentu saja adalah bidang-bidang yang sesuai dengan sifat golongan samurai, yaitu sebagai anggota pemerintah sipil dan angkatan perang. Tetapi, jumlah kaum samurai dari masa Tokugawa kurang lebih sebanyak tujuh persen dari seluruh penduduk Jepang. Jumlah yang terlalu besar untuk bisa ditampung seluruhnya dalam pemerintahan sipil maupun militer. Keadaan ini diperkuat oleh keputusan pemerintah Jepang untuk mengadakan sistem wajib militer bagi seluruh rakyat sejak tahun 1872 (Suryohadiprojo, 1987:27).

Kaum samurai yang tidak tertampung dalam pemerintahan sipil dan angkatan perang terpaksa harus mencari lapangan pekerjaan sendiri. Pemerintah memang memberikan semacam pesangon berupa surat obligasi untuk dapat membantu keuangan bagi para samurai. Tetapi, sejak tahun 1876 bantuan pemerintah menjadi sangat berkurang. Karena itu, kaum samurai kemudian mencari kehidupan baru di bidang pertanian, pertukangan atau perindustrian dan perdagangan. Dari sana, mulai terjadilah pembauran dari golongan samurai dengan golongan-golongan lain yang semula dianggap lebih rendah daripada golongan mereka. Selain itu, pemerintah juga menetapkan bahwa atribut fisik kaum samurai yaitu pedang mereka tidak boleh dipakai lagi (Suryohadiprojo, 1987:27). Hal ini tentu saja dianggap sangat merendahkan kaum samurai, karena letak kehormatan seorang samurai terletak pada pedangnya.

(20)

Menurut peraturan awal setelah dikeluarkannya kebijakan penghapusan golongan samurai, kepada kaum samurai diberikan separuh dari pendapatan mereka. Bagi para daimyo, hal ini tidak menjadi masalah malah menguntungkan mereka. Karena, walaupun saat itu mereka hanya diberikan sepersepuluh dari nominal pendapatan mereka, penghasilan itu lebih besar daripada pendapatan mereka yang sebenarnya. Karena jika sebelumnya, pendapatan nominal mereka harus digunakan untuk membiayai samurai-samurai yang bekerja pada mereka. (Lan, 162:141)

Nio Joe Lan (1962:142) kembali menambahkan bahwa lain halnya dengan apa yang diterima oleh kaum samurai. Pendapatan nominal dan pendapatan sebenarnya itu tidak jauh berbeda. Malah pendapatan itu tidak terlalu besar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Maka, ketika pendapatan kaum samurai diubah menjadi setengahnya, mereka berada dalam kesulitan ekonomi. Kehidupan damai pada masa Tokugawa menjadikan kaum samurai terbiasa mengerjakan hal-hal yang tidak sesuai dengan tugas mereka yang seharusnya.

Akibat banyaknya jumlah tanggungan tunjangan yang harus dibayarkan oleh pemerintah, persoalan ini dirasa memberatkan keuangan negara sehingga pemerintah mengambil keputusan untuk mengubah peraturan pensiun. Pemerintah mengganti pembayaran pensiun kepada para bekas daimyo dengan obligasi atas dasar sukarela. Hal ini dilakukan karena kas negara menjadi kosong sejak emas banyak mengalir ke luar negeri untuk kepentingan modernisasi. Kemudian pada tahun 1876 golongan samurai dilarang memakai gelung rambut dan dua bilah pedang yang merupakan

(21)

lambang status mereka. Gaji mereka juga dikurangi dengan cara pembayaran uang berjumlah sedikit, ditambah lagi adanya obligasi dari pemerintah. Akibatnya, mereka terpaksa mulai mencari kehidupan baru di bidang pertanian, perindustrian dan perdagangan. Dengan demikian, golongan samurai tidak lagi mempunyai hak-hak istimewa dan status mereka juga turun menjadi rakyat biasa. Dengan lenyapnya sistem pemerintahan daerah (Han), para samurai kehilangan kedudukannya sebagai kelas militer. Hal ini juga berarti bahwa golongan samurai yang semula mempunyai hak-hak istimewa telah lenyap (Nurhayati, 1987:54-55)

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Meiji ini menimbulkan pro dan kontra. Ketika pemerintah mengeluarkan keputusan untuk meniadakan golongan samurai dari strata masyarakat Jepang, terjadi pertentangan dalam diri kelompok elit samurai antara yang menginginkan tradisionalitas Jepang tetap dipertahankan dengan para samurai pengusung modernisasi. Golongan samurai kemudian seolah terbagi menjadi dua haluan, masing-masing haluan dipimpin oleh pemimpin samurai-samurai pada masa penggulingan kekuasaan Tokugawa. Golongan pengusung tradisionalisme dan pembela hak-hak para samurai dipimpin oleh samurai ternama asal klan Satsuma, Saigo Takamori. Sedangkan samurai pendukung modernisasi dibawah Okubo Toshimichi yang merupakan kawan seperjuangan Takamori dan sama-sama berasal dari klan Satsuma.

Saigo Takamori sendiri mempunyai peranan penting dalam keruntuhan rezim Tokugawa dan merupakan salah satu pejabat utama dalam pemerintahan Meiji yaitu sebagai menteri Bidang Militer (Minister of War)

(22)

(Norman, 1945:63). Walaupun berada dalam jajaran pemerintahan yang sama, ternyata Takamori dan Okubo Toshimichi tidak sehaluan Takamori dapat dikatakan sebagai salah seorang yang terpenting dalam barisan samurai konservatif, sedangkan Toshimichi lebih dijadikan figur politik

dalam jajaran birokrasi. (De Barry,

http://www.chss.iup.edu/baumler/SAIGO_TAKAMORI.html : 14 Maret 2007). Takamori sepenuhnya tidak menentang modernisasi dan kemajuan Jepang, tetapi ketika dia melihat bahwa pemerintah Meiji banyak mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan hati nurani dan hak-hak kaum samurai, muncul dilema dalam hati Saigo Takamori. Antara loyalitas terhadap pemerintah dan kesetiaan terhadap tradisi samurai. Pertentangan batin dan kesetiaan dirinya terhadap aturan samurai membuat dia mau tidak mau dia memutuskan untuk menentang kebijakan penghapusan golongan samurai serta penghilangan hak-hak istimewa mereka. Takamori juga menginginkan adanya kemajuan dalam bidang militer, tidak hanya kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Ketika fungsi kaum samurai seolah tersingkirkan, Saigo Takamori mencoba kembali mengangkat kedudukan dan kekuatan golongan militer Jepang itu dengan mengajukan wacana penaklukan wilayah Korea.

Pemerintah oligarki pernah mengirimkan armadanya dalam permasalahan Korea ini dengan meniru cara-cara yang dilakukan oleh Perry terhadap pembukaan Jepang tahun 1853. Namun pemerintah Korea menolak dengan tegas upaya pembukaan yang dilakukan oleh Jepang. Di balik pembukaan dengan maksud berdagang dengan Korea, tujuan pokok

(23)

pengiriman armada ini adalah untuk menjadikan Korea sebagai daerah ekspansi atau negara jajahan Jepang, mengingat letaknya yang sangat strategis dan berdekatan dengan Jepang. Selain itu, Korea akan dijadikan sebagai negara penyuplai beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Jepang (Ahdianti, 2003:55).

Ketika Korea menolak armada Jepang ini, maka perlakuan Korea terhadap Jepang dianggap kurang hormat dan patut dibalas dengan mengirimkan armada yang lebih besar. Pemerintah dalam hal ini yaitu Kaisar menunjuk Saigo Takamori yang juga merupakan Minister of War atau Menteri Bagian Militer Jepang untuk membawa pasukannya ke Korea. Akan tetapi, keputusan ini ditolak oleh jajaran pejabat yang ada di pemerintahan, terutama oleh samurai-samurai yang baru datang dari luar negeri dan menyaksikan langsung kehidupan negara luar. Samurai-samurai yang berpikiran moderat itu diantaranya adalah Okubo Toshimichi, Ito Hirobumi, Iwakura Tomomi, dan Kido Koin (Ahdianti, 2003:55). Para samurai-samurai penentang keputusan ini berpendapat bahwa hal-hal penting dan mendesak saat itu adalah membangun suatu pemerintahan yang kuat dan membangkitkan perekonomian nasional. Biaya yang sekiranya digunakan untuk membiayai peperangan lebih baik untuk disalurkan kepada bidang-bidang lain karena situasi dan kondisi Jepang yang masih belum stabil.

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Okubo dan kawan-kawannya semata demi kemajuan Jepang. Penolakan rencana penyerangan terhadap Korea karena hal tersebut dianggap suatu tindakan yang terburu-buru dan

(24)

gegabah. Alasan penolakan Okubo Toshimichi terhadap keinginan Saigo Takamori dikemukakan oleh De Barry dalam surat yang dikirimkan

langsung kepada Takamori,

(http://www.chss.iup.edu/baumler/SAIGO_TAKAMORI.html:14 Maret 2007). inti dari surat itu menjelaskan bahwa:

1. Pemerintahan negara yang baru memulai perubahan besar-besaran masih belum stabil. Di dalam negeri pun masih tidak terhitung pertumpahan darah. Jika tindakan penyerangan terhadap Korea dilakukan, semakin menambah banyaknya jumlah pertumpahan darah itu sendiri.

2. Anggaran dana pemerintah telah naik sangat tinggi karena restorasi Meiji dan terdapat kesulitan untuk menyeimbangkan anggaran yang didapat dengan pendapatan yang harus dikeluarkan. Penyerangan terhadap Korea tentu melibatkan ribuan pasukan yang akan memakan biaya sangat besar, sedangkan tidak mungkin menambah jumlah pajak kepada rakyat, sedangkan pinjaman ke luar negeri pun sudah besar.

3. Pemerintah yang sekarang bekerja keras untuk kemajuan Jepang. Baik itu dalam bidang Militer, Pendidikan, Politik dan Ekonomi. Semuanya itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar, dan upaya pengiriman pasukan ini merupakan hal yang sia-sia saja karena akan memecahkan perhatian pemerintah dan juga biaya yang seharusnya lebih utama ditujukan untuk kepentingan Jepang.

(25)

4. Kondisi ekonomi dalam negeri Jepang yang sedang tidak menentu akibat jatuhnya harga emas menjadikan Jepang harus bekerja keras dan membutuhkan tenaga-tenaga muda yang difokuskan untuk kemajuan Jepang. Bukan untuk mengisi barisan pasukan perang yang justru dianggap sebagai suatu hal yang sia-sia.

5. Adanya orientasi politik luar negeri Jepang, baik itu dengan negara-negara Barat maupun dengan negara-negara-negara-negara tetangga. Sehingga masa sekarang dianggap bukanlah saat yang tepat untuk melakukan peperangan demi tercapainya orientasi politik luar negeri Jepang.

Alasan-alasan di atas merupakan jawaban sekaligus penolakan terhadap surat yang dikirimkan Saigo Takamori terhadap pemerintah. Akibatnya, kekecewaan Takamori semakin menumpuk. Saat itu dia mengalami hal yang cukup dilematis, yaitu antara loyalitas terhadap negara dan mempertahankan tradisionalisme golongan samurai sedangkan saat itu hak-hak samurai semakin tersisihkan. Takamori berpendapat, dengan pengiriman pasukan ke Korea ini akan bisa mengangkat kembali citra dan hak samurai yang terabaikan.

Akibat dari kekecewaan-kekecewaan itulah Takamori beserta kawan-kawan yang sehaluan dengannya yaitu Itagaki Taisuke, Goto Shojiro, dan Eto Shinpei akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Saigo Takamori meletakkan jabatannya sebagai Menteri Bidang Militer Jepang pada tahun 1874 dan kembali ke daerah asalnya, Kagoshima. Pengunduran diri Takamori ini juga karena dorongan yang dilakukan oleh

(26)

para samurai-samurai yang juga kecewa karena menginginkan adanya ekspansi terhadap Korea. Saigo Takamori kembali ke Kagoshima diiringi oleh samurai-samurai pengikutnya. Di Kagoshima itu dia kemudian mendirikan sebuah sekolah khusus para samurai yang disebut juga dengan shi-gakko. Sekolah pribadi (shi-gakko) yang didirikan oleh Takamori merupakan bentuk dari implementasi sosial politik Saigo Takamori. Karena selain diajarkan ilmu-ilmu umum lainnya, para samurai muda juga diberikan pelajaran mengenai taktik atau strategi-strategi militer. Tetapi yang lebih penting lagi, ditanamkan pandangan-pandangan mengenai keadaan sosial politik Jepang saat itu serta propaganda masalah ekspansi terhadap Korea (Norman, 1945:73-74). Dalam keadaan seperti itu, dan atas desakan para samurai-samurai muda yang memang sejak semula merasa tidak puas dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Meiji, disusunlah rencana pemberontakan yang dikenal oleh orang Jepang dengan sebutan Seinan Senso atau Pemberontakan samurai klan Satsuma.

4.4 Motivasi Utama Para Samurai Melakukan Pemberontakan Satsuma 1877

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Meiji tenyata tidak selalu menguntungkan dan berpihak bagi semua golongan. Ada pihak-pihak yang ternyata terdegradasi dan tersisihkan dengan keputusan yang dibuat pemerintah. Pihak yang paling tercabut hak-haknya akibat perubahan yang terjadi pasca Restorasi Meiji adalah golongan samurai. Jika pada pemerintahan keshogunan mereka mempunyai hak-hak istimewa dan

(27)

kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan strata-strata petani, pedagang, buruh dan lainnya. Maka, pada masa Meiji kedudukan mereka dihapuskan. Dengan kata lain, golongan samurai itu mempunyai kedudukan yang setara dengan strata-strata yang sebelumnya dianggap lebih rendah bahkan hina oleh mereka.

Bagi samurai yang mempunyai pendidikan tinggi dan mendapat kedudukan di pemerintahan, hal itu tidak menjadi masalah karena mereka sendiri yang membuat kebijakan dan kehidupan mereka tetap terjamin. Tetapi, hal ini berdampak luar biasa bagi para samurai yang kehidupannya hanya mengandalkan pedang dan perintah daimyo mereka. Mereka secara otomatis kehilangan pekerjaannya, karena berbarengan dengan kebijakan itu pula dikeluarkan perintah pelucutan senjata bagi para samurai. Muncullah lapisan masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan atau penganggur yaitu para samurai. Jumlah mereka yang tidak sedikit yaitu sekitar 2 juta orang, menjadikan pemerintah cukup kesulitan memberikan langkah yang terbaik bagi para samurai-samurai itu (Norman, 1945:51). Para samurai yang telah kehilangan pekerjaannya, kemudian memasuki dan mencari pekerjaan di masyarakat. Di antaranya ada yang menjadi petani, pedagang dan bidang-bidang yang umum lainnya di masyarakat.

Tindakan pemerintah yang menolak pengiriman pasukan ke Korea menyebabkan Saigo Takamori dan kawan-kawannya meletakkan jabatan dari pemerintahan dan kembali ke daerah asalnya di Kagoshima. Tidak hanya itu saja, alasan penting lainnya adalah penghapusan hak-hak istimewa kaum samurai dari hierarki masyarakat Jepang membuat Takamori dan

(28)

kawan-kawan merasa kecewa. Sebagai golongan yang sangat menjunjung tinggi semangat feodal atau kesetiaan terhadap junjungan atau atasannya, tindakan itu terasa menurunkan harga diri golongan samurai. Kelas samurai dipandang sebagai perwujudan dan penjaga moralitas, karena aturan-aturan yang dipegang oleh para samurai erat kaitannya dengan tatanan sistem sosial masyarakat Jepang. Dalam bukunya, Bellah mengatakan bahwa Tokugawa Mitsukuni (1628-1700), pangeran ketiga yang berasal dari dari Mito, menulis dalam perintah untuk para pengikutnya yaitu :

“Jadi, apa kegunaan dari shi, atau kelas samurai? Satu-satunya tugasnya adalah menjaga atau mempertahankan giri. Orang-orang dari kelas-kelas yang lain berurusan dengan hal-hal nyata, sedangkan samurai berurusan dengan yang tidak terlihat, tidak berwarna, tidak wadag. Jika tidak ada samurai, kebenaran (giri) akan musnah dari masyarakat manusia, rasa malu akan hilang, dan kesalahan serta ketidakadilan aka merajalela.” (Bellah, 1992 : 121)

Melihat makna dari kutipan diatas, bisa diasumsikan bahwa keistimewaan seorang samurai terletak pada sifat-sifat yang harus disandang oleh mereka. Bellah (1992:126-127) kembali menambahkan, hal yang paling utama dan menduduki peringkat teratas tentu saja adalah kesetiaan, dan terkait erat dengan kesetiaan itu adalah kepatuhan terhadap orang tua. Semenjak kanak-kanak seorang samurai telah dididik mengenai kepatuhan terhadap orang tua. Perintah untuk bersikap lurus dan memenuhi kewajiban, ditambah lagi dengan ketaatan mutlak yang seringkali di tekankan. Sikap ini terus menerus terbentuk, sehingga ketika dewasa dia akan memegang erat kesetiaan kepada majikannya.

Runtuhnya bakufu Tokugawa selain karena peranan penting para samurai, juga sangat kuat dipengaruhi oleh ”semangat samurai”.

(29)

Keberhasilan mereka menjaga kesetiaan dan ketaatan seluruh bangsa Jepang selama ini tanpa adanya perlawanan yang berarti menunjukkan bahwa mereka telah berhasil menerapkan nilai-nilai ideal yang dimiliki oleh seorang samurai tidak hanya bagi golongannya tetapi juga bagi seluruh rakyat Jepang. Selain itu, samurai atau militer Jepang berpandangan bahwa tujuan dari semua pengabdiannya adalah untuk berbakti tanpa pamrih kepada kepentingan kolektivitas dan pimpinan bahkan kalau perlu sampai mengorbankan nyawa (Bellah, 1992:133). Oleh karena itu, ”tugas dengan pengabdian total” adalah inti dari kehidupan seorang samurai. Karena arti simboliknya yang sangat penting bagi sistem nilai sentral masyarakat Jepang, maka sangat wajar jika golongan samurai mendapatkan tempat dan perlakuan yang istimewa dibandingkan rakyat biasa. Walaupun pada masa Tokugawa, militansi kaum samurai memudar akibat masa perdamaian yang sangat panjang.

Ketika pemerintah pasca restorasi Meiji mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada perubahan struktur masyarakat Jepang dan menghapuskan sekat yang memisahkan antara golongan samurai dengan lapisan masyarakat yang lebih rendah, terjadi pertentangan dalam nurani para samurai. Karena kebanyakan diantara mereka harus terjun mencari mata pencaharian lain seperti rakyat pada umumnya. Tetapi bagi samurai-samurai konservatif yang menduduki jabatan penting di pemerintahan keadaan ini menimbulkan suatu dilema tersendiri bagi mereka, antara ketaatan terhadap pemimpin dan upaya mempertahankan harga diri serta tradisionalisme samurai. Wahyu Prasetyawan mengungkapkan dengan

(30)

gamblang (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1045: 22 Januari 2007) bahwa para samurai tersebut sesunguhnya bukan tidak menyadari keadaan Jepang saat itu, mereka sadar bahwa pilihan untuk maju memang tidak banyak. Ketika itu, Eropa atau negara-negara Barat sudah sangat maju dan Jepang hanya mempunyai dua pilihan, maju atau bertahan dalam kemunduran. Hal inilah yang sebenarnya disadari oleh mereka, karena ditengah ancaman negara-negara kuat lainnya, benteng yang kuat untuk melindungi diri adalah dengan memperkuat negara Jepang dalam bidang militer maupun ilmu pengetahuan.

Tindakan yang dilakukan oleh para samurai konservatif mengusulkan penaklukan ke daerah Korea mempunyai alasan tersendiri bagi mereka. Alasan dibalik usulan itu adalah untuk membuktikan bahwa kekuatan militer Jepang saat itu masih bisa diandalkan, terutama para samurainya. Tetapi, penolakan pemerintah membuat Saigo Takamori dan kawan-kawannya merasa kecewa. Ditambah lagi dengan perlakuan pemerintah terhadap golongan samurai yang dianggap merugikan baik dari segi ekonomi maupun sosial. Akibatnya, mereka memutuskan untuk mengundurkan diri dari pemerintahan. Niat ingin membuktikan eksistensi golongan samurai terhalang oleh kewajiban mematuhi perintah dari Kaisar yang merupakan atasan tertinggi bagi samurai. Sesuai dengan aturan seorang samurai, tidak ada jalan lain untuk membuktikan kehormatan seorang samurai dan menunjukkan bahwa golongan samurai masih harus diakui keberadaannya yaitu dengan menyusun rencana pemberontakan. Dengan melakukan pemberontakan itu, kaum samurai mendefinisikan arti

(31)

harga diri mereka dan juga membayar giri atau kewajiban mereka terhadap penguasa. Giri terhadap penguasa ini menuntut kesetiaan ekstrim kepada pengikutnya sampai penguasa itu melakukan penghinaan atau hal yang merendahkan harga diri samurainya. Setelah itu, walaupun pengikutnya melakukan pengkhianatan dalam bentuk apapun akan dianggap pantas (Benedict, 1979:171). Maka, tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh mereka dianggap wajar, karena hal ini dilakukan untuk mempertahankan harga diri sebagai samurai.

Pertentangan-pertentangan yang digambarkan diatas adalah antara kewajiban dan kewajiban. Kewajiban memberikan kesetiaan yang terbaik terhadap penguasanya dan kewajiban mematuhi aturan-aturan mempertahankan harga diri sebagai seorang samurai. Keduanya “baik”, karena dalam memilih keduanya itu tidak akan peraturan yang mempersalahkan ketika seorang samurai memilih jalannnya sendiri dan menentang pemerintah. Motivasi mempertahankan harga diri dan feodalisme inilah yang membuat Saigo Takamori dan kawan-kawannya mengangkat pedang untuk memerangi pasukan Kaisar. Kematian bagi mereka merupakan hal yang lebih terhormat di bandingkan harus hidup dengan menentang aturan samurai.

4.5 Sikap Golongan Samurai terhadap Pemberontakan Satsuma 1877 Pemberontakan Satsuma ini merupakan salah satu bentuk ketidaksetujuan golongan samurai terhadap perintah dari Kaisar yang sebenarnya merupakan kewajiban mereka. Pasca penolakan pemerintah

(32)

terhadap pengiriman armada ke Korea, perpecahan nampak di kalangan birokrat dalam tubuh pemerintahan Meiji yang terdiri dari samurai-samurai tingkat tinggi. Para samurai yang mengundurkan diri dari pemerintahan kemudian menggabungkan kekuatannya untuk melakukan gerakan-gerakan menentang samurai yang masih berkuasa di pemerintahan.

Perpecahan di kalangan pemimpin dalam pemerintahan Meiji ini justru menyebabkan para samurai-samurai yang masih bertahan dalam pemerintahan memperkuat posisinya dan sikap mereka berdampak terhadap pelaksanaan dan perkembangan pemerintah selanjutnya. Pemerintah semakin berkembang tanpa memperdulikan opini dan keinginan rakyat lagi, tetapi justru semakin memupuk kekuasaannya, terutama setelah terjadi perdebatan mengenai pengiriman armada ekspansi ke Korea. Protes-protes terhadap pemerintah pun diajukan, bahkan para bekas samurai-samurai yang semula menduduki pemerintahan yaitu Itagaki Taisuke, Goto Shojiro, Eto Shimpei dan sejumlah petani kaya membentuk suatu organisasi politik yang diberi nama Aikokukoto (Partai Umum Pecinta Tanah Air) pada awal tahun 1874 (Ahdianti, 2003:58).

Akibat kekalahan kelompok Saigo Takamori dalam perdebatan tentang rencana penyerangan ke Korea dan semakin meningkatnya dominasi kelompok oligarki dalam pemerintahan, terjadi banyak pemberontakan dalam negeri yang dipelopori oleh para samurai yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu pemberontakan yang cukup besar terjadi di prefektur Saga pada tahun 1874. Pemberontakan yang dipimpin oleh Eto Shimpei ini dikenal sebagai Pemberontakan Saga. Herbert Norman

(33)

(1945:71) menyebutkan bahwa pemberontakan ini terjadi pada awal Februari 1874, ketika pasukan Eto Shinpei menyerang pasukan pemerintah yang ditempatkan di Saga. Namun Okubo Toshimichi mengambil tindakan cepat dengan mengirimkan pasukan bantuan ke Saga. Eto Shinpei terdesak dan mencoba meminta bantuan kepada Saigo Takamori di Kagoshima karena dia menganggap Takamori sebagai orang yang sehaluan dengannya. Sayangnya, sebelum dia sempat tiba di Kagoshima, Eto Shinpei tertangkap di Kochi dan dibawa kembali ke kota Saga, kemudian pada April 1874 dia dihukum mati.

Pemberontakan Saga ini ternyata memicu pemberontakan-pemberontakan kecil lainnya yang dapat dengan mudah dipadamkan oleh pemerintah. Ahdianti (2003:66) menyebutkan bahwa pada saat itu, seakan terdapat dua alternatif utama bagi para samurai-samurai yang tidak puas dengan keadaan sosial, politik dan ekonomi masa Meiji. Pertama, menggunakan metode tradisional yaitu dengan mengangkat senjata. Kedua, menggunakan cara aksi politik tanpa kekerasan seperti mengadakan pidato-pidato, menyebarkan pamflet-pamflet, dan mengajukan petisi. Alternatif pertama inilah yang kemudian dilakukan oleh Saigo Takamori untuk menunjukkan ketidakpuasannya terhadap pemerintah karena dengan statusnya sebagai seorang pemimpin militer para samurai, pemberontakan secara fisik dapat dengan lebih mudah dilakukan.

Selepas pengunduran dirinya dari pemerintahan Meiji, Saigo Takamori kembali ke daerah asalnya di Kagoshima yang juga merupakan wilayah kekuasaan klan Satsuma sehingga bisa lebih mudah untuk

(34)

menyusun strategi dan kekuatan. Disana, dia bersama para samurai pengikutnya kemudian mendirikan sebuah sekolah khusus para samurai (privat school) atau dikenal juga dengan nama shi-gakko. John Rickman

menyebutkan dalam situs

(http://www.historynet.com/wars_conflicts/19_century/3028391.html : 25 Januari 2007) bahwa shi-gakko ini merupakan implementasi keinginan sosial dan politik Takamori terhadap para shizoku (golongan militer) dan goshi (samurai pedesaan). Dikatakan implementasi sosial dan politik karena samurai-samurai muda dilatih berbagai macam ilmu dan strategi militer, bahkan bahasa Inggris pun dipelajari disana. Selain itu, ditanamkan juga pandangan-pandangan mengenai keadaan sosial politik Jepang saat itu serta propaganda masalah ekspansi terhadap Korea. Di bawah pengawasannya, Takamori membuka sekitar 132 shi-gakko yang tersebar hampir di seluruh wilayah Satsuma.

Kepulangan Takamori ke Kagoshima, diikuti oleh samurai-samurai terkemuka lainnya. Salah satunya adalah Kirino Toshiaki, yang merupakan pengikut terbaik Saigo Takamori pada waktu itu. Dia juga membuat semacam risalah pendek atas nama Saigo Takamori yang digunakan sebagai stimulator bagi samurai-samurai yang masih berambisi melakukan penaklukan terhadap Korea. Salah satu ucapan Kirino Toshiaki kepada para samurai dikutip oleh Herbert Norman dalam bukunya yaitu :

” One must wish for developing of the island of Japan but to stop with this is not enough. Rather we must fight abroad and not simply stand on guard defensively on our island. ….. ….. Japan must take the offensive on lands across the sea which we will then be able to defend. Saigo Takamori and the rank and file of his army hoped for a campaign overseas last year and there was a strong desire on

(35)

their part of large-scale attack upon Korea. … … our state is comprised of the Emperor and his people. It must not consist simply of the Imperial Court or simply of the people; this has been its form for ages past and no one can dispute it. The people of Japan necessity must now support the Court and given up all thoughts of further reform. …. … the logical outcome of all of this is that we cannot sit aidly by, we must go forward bravely facing the trends of the time; with the support of the whole country we still revive the spirit of loyalty, and the duty of the citizens. We will rise up and spring forward in our united strength and thus we will fulfill our duty.” (Norman, 1945:74)

(Semua berharap untuk kemajuan Jepang, tetapi jika kita berhenti hanya dengan hal ini itu tidak akan cukup. Kita harus pergi ke luar negeri dan tidak hanya duduk saja mempertahankan Jepang. ... Jepang harus melakukan penyerangan ke luar pulau yang pada nantinya juga harus kita pertahankan. Dengan reputasinya, Saigo Takamori dan pasukannya berharap dapat memperluas kekuasaan keluar pulau, seperti keinginan kuat untuk menyerang Korea tahun lalu.... negara kita sekarang diatur oleh Kaisar dan pengikutnya, yang pastinya bukan terdiri dari orang-orang biasa dan telah terbentuk sekian lama, dan tidak ada seorangpun yang dapat memungkirinya. Akan tetapi, apa yang rakyat Jepang inginkan sekarang adalah mendukung pemerintah dan menyingkirkan pikiran-pikiran yang menginginkan perubahan lebih lanjut. ... hal yang paling masuk akal sekarang adalah bahwa kita tidak dapat duduk dengan tenang, kita harus maju dengan berani menghadapi perkembangan zaman. Dengan dukungan dari seluruh negara, kita masih bisa menghidupkan kembali semangat samurai dan kewajiban masyarakat. Kita akan bangkit dan tumbuh dalam kekuatan kita dan dengan itu kita akan dapat memenuhi segala kewajiban kita.)

Secara tidak langsung Kirino Toshiaki telah menstimulan para samurai yang ada di Kagoshima untuk melihat keadaan Jepang dari sudut pandang seorang samurai yang hak istimewanya telah terabaikan oleh pemerintah. Sedangkan saat itu pemerintah tidak berpihak terhadap keinginan-keinginan mereka karena melakukan modernisasi dan pendekatan terhadap negara-negara di luar Jepang. Ungkapan Toshiaki juga menyiratkan bahwa mereka harus mempertahankan semangat samurai demi menyongsong kemajuan Jepang, serta membuktikan kepada masyarakat

(36)

Jepang bahwa mereka bisa melakukan kewajiban tanpa harus berpangku tangan.

Keistimewaan dari shi-gakko yang didirikan Saigo Takamori pada akhirnya menjadi semacam contoh bagi organisasi-organisasi nasionalis yang pada nantinya bermunculan di Jepang, yaitu menghimpun massa untuk mencapai tujuan organisasi. Walaupun dinamakan shi-gakko (privat school), tetapi secara tidak langsung sekolah itu sekaligus juga merupakan wujud dari sebuah organisasi politik tak nyata.

Samurai yang dilatih di dalam sekolah militer milik Saigo Takamori atau shi-gakko ini mencapai 13.000 orang ditambah dengan samurai-samurai pedesaan klan Satsuma. Sehingga total kekuatan yang berhasil dihimpun oleh Saigo sampai tahun 1877 mencapai 30.000 orang yang sebagian besar berasal dari shi-gakko miliknya. Separuh yang lainnya sekitar 10.000 orang berasal dari wajib militer lokal wilayah Satsuma, 2.200 orang petugas-petugas yang telah kehilangan jabatan, dan sisanya sekitar 7.800 orang berasal dari samurai klan lainnya (Norman, 1945:75).

Melihat besarnya kekuatan yang dimiliki oleh Saigo Takamori, tentunya timbul pertanyaan, apakah pemerintah tidak merasa gamang dengan besarnya kekuatan yang dihimpun oleh Takamori, sedangkan sudah sangat jelas jika dia menentang kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan penghapusan hak-hak para samurai. Norman (1945:75) menyebutkan bahwa sebenarnya pemerintah pun tidak berdiam diri dalam melihat perkembangan shi-gakko milik Saigo Takamori. Pemerintah telah mengambil tindakan dengan mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki

(37)

setiap tindakan mereka yang mengarah kepada pemberontakan. Selain itu, pemerintah mempersiapkan diri dengan memperkuat pasukan wajib militer Jepang melalui pelatihan penggunaan senjata militer modern terhadap prajurit-prajurit wajib militer yang dimiliki pemerintah. Salah satu alasan utama pemerintah tidak melakukan tindakan preventif langsung adalah karena kuatnya kekuasaan yang dimiliki oleh daimyo Satsuma, Shimazu Nariakira yang juga merupakan kepala klan Satsuma, salah satu klan terkuat di Jepang dalam bidang militer.

Dengan sistem pendidikan di shi-gakko dan motivasi-motivasi membuktikan eksistensi samurai akibat propaganda penaklukan Korea, para samurai muda banyak yang tidak dapat menahan keinginan mereka untuk melakukan pemberontakan. Dalam keadaan seperti itu, dan atas desakan para samurai-samurai muda yang memang sejak semula merasa tidak puas dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Meiji, sedikit demi sedikit mulai disusun rencana pemberontakan samurai klan Satsuma.

Menurut John Rickman

(http://www.historynet.com/wars_conflicts/19_century/3028391.html?&c=y : 25 Januari 2007), sejak semula Takamori menghindari adanya peperangan atau bentrokan fisik dengan pihak pemerintah. Hal ini terbukti dengan tindakan yang dilakukannya pada awal tahun 1877, yaitu mengunjungi Tokyo yang saat itu menjadi ibu kota Jepang. Di bawah keberatan para samurai bawahannya, Takamori berangkat dengan misi damai ke ibukota bersama sebagian pengikutnya bersama pasukannya dengan tidak membawa persenjataan perang, sebagai bukti bahwa mereka tidak bermaksud

(38)

bermusuhan dengan pemerintah., sedangkan yang menentang tetap berada di Kagoshima. Sayangnya, kedatangan Saigo Takamori bersama anak buahnya ke Tokyo untuk berunding dengan pemerintah malah mengundang tindakan keras pemerintah yang mencurigai kegiatan-kegiatan mereka di shi-gakko. Bahkan perlakuan terhadap para samurai-samurai muda yang menjadi pengiring Takamori dianggap sangat merendahkan harga diri seorang samurai. Mereka diperintahkan menanggalkan dua bilah pedang dan gelung rambut yang merupakan lambang kehormatan seorang samurai ketika memasuki kota, sehingga para samurai geram dan meminta persetujuan Takamori untuk melakukan tindakan balasan terhadap pemerintah. Perlakukan-perlakuan tersebut membuat Saigo Takamori berpikir bahwa hanya ada satu jalan ketika perundingan dengan pemerintah tidak berhasil, yaitu melawan pemerintah demi membela harga diri samurai. Walaupun nyawa menjadi taruhannya dan kematian sebagai resikonya. Tetapi, kematian terhornat seperti itulah yang paling dicita-citakan oleh seorang samurai.

Melihat gelagat dari Saigo Takamori yang terlihat mulai menyusun strateginya, pemerintah mencoba mengantisipasi tindakan serangan dari pasukan Takamori yaitu dengan mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Taketa Tani, seorang komandan dari daerah Kumamoto, daerah yang akan dilalui oleh pasukan Saigo Takamori dalam perjalanan pulang. Selepas dari ibukota, pasukan Saigo Takamori memasuki daerah Kumamoto. Beberapa hari sebelum pasukan Saigo Takamori tiba dan bertemu dengan pasukannya, Taketa Tani menerima sebuah surat dari Saigo Takamori yang menyatakan

(39)

bahwa dia beserta pasukannya akan melewati daerah Kumamoto. Bahasa dalam surat itu mengindikasikan tantangan perang dari Takamori, bahwa setiap saat mereka bisa menyerang tanpa melakukan pemberitahuan sebelumnya. Taketa meragukan kebenaran dari surat itu, karena jika mereka akan menyerang tentu mereka tidak akan memberitahukan kepada pasukan pemerintah yang ada di Kumamoto terlebih dahulu. Terlebih lagi, diyakini bahwa surat itu bukanlah surat langsung yang ditulis oleh Saigo Takamori. Selanjutnya, surat kedua datang dan merupakan surat asli yang dikirim langsung oleh Takamori. Dalam suratnya, Takamori menyampaikan bahwa dia dan sebagian kecil pasukannya dalam waktu dekat akan melewati daerah Kumamoto dengan membawa misi perdamaian. Tindakan pemberitahuan ini diambil untuk menghindari kekhawatiran yang nanti timbul di masyarakat. Taketa Tani menduga, bahwa surat yang pertama dikirimkan oleh salah satu samurai shi-gakko yang mencoba memprovokatori agar terjadi bentrokan

diantara kedua belah pihak (Rickman,

http://www.historynet.com/wars_conflicts/19_century/3028391.html). Apapun yang menjadi tujuan Saigo Takamori dalam suratnya, Taketa Tani tidak ingin berjibaku dan membiarkan pasukan militer yang oleh pemerintah dianggap sebagai ancaman ini lewat dengan mudah. Langkah terbaik yang seharusnya mereka lakukan adalah menghadang kedatangan pasukan Saigo Takamori. Tetapi, karena para pasukan Kumamoto ini mayoritas berasal dari Kyushu, yaitu pulau tempat dimana klan Satsuma mempunyai kekuasaan kuat dan banyak petugas juga yang merupakan penduduk asli Kagoshima, daerah asal Saigo Takamori sehingga

(40)

kesetiaan mereka perlu diragukan. Oleh karena itu, untuk menghindari dan menekan kecilnya resiko, Taketa Tani memutuskan untuk bersiap dan menunggu datangnya pasukan Takamori saja di dalam benteng Kumamoto. Bentrokan mulai pecah pada tanggal 21 Februari 1877, ketika para samurai Satsuma menyerang pasukan Taketa Tani. Walaupun pasukan Kumamoto ini berada dalam benteng Kumamoto yang merupakan salah satu benteng terkuat di Jepang, Saigo Takamori yakin bahwa pasukannya memiliki kemampuan yang lebih baik daripada pasukan lawan (Norman, 1945:77). Rickman bahkan menyatakan bahwa pasukan Saigo Takamori mengepung banteng Kumamoto dan mencoba menerobos ke dalamnya, bahkan berjibaku dengan nyawanya sekalipun. Perlawanan pasukan Saigo Takamori ini dibalas dengan tidak kalah sengit oleh pasukan yang berada di dalam benteng Kumamoto. Pasukan Saigo Takamori bahkan berusaha menggali lubang di sekitar benteng untuk dapat menyusup ke dalamnya. Pertempuran pertama itu terjadi sekitar 2 hari tanpa membuahkan hasil.

Untuk sementara waktu Takamori menarik mundur pasukannya dari Kumamoto dan kembali ke Kagoshima untuk mengkonsolidasikan kembali kekuatan bersama samurai-samurai yang tertinggal disana. Tidak ada kesempatan untuk berbaik hati lagi ketika pertempuran fisik telah terjadi. Satu hal yang cukup menarik, yaitu pasukan Saigo Takamori menggunakan persenjataan perang campuran antara tradisional dan senjata modern ketika berhadapan dengan lawan yang juga menggunakan persenjataan modern, padahal mereka melakukan pemberontakan untuk menjunjung tradisionalisme kaum samurai.

(41)

Setelah pertempuran yang pertama kali meletus pada sekitar bulan Februari 1877, pada bulan Maret 1877 kembali terjadi bentrokan hebat antara kedua belah pasukan di daerah Tabaruzuka, Barat daya Selat Ariake. Pemimpin resmi pasukan pemerintah kali ini adalah Pangeran Taruhito Arisugawa, tetapi pemegang komando langsung di lapangan adalah Yamagata Aritomo, seorang samurai Chosu yang pernah dikirim ke Eropa untuk mempelajari sistem militer Barat. Yamagata Aritomo juga salah satu sahabat lama Saigo Takamori ketika masih menjabat di Kementrian Militer Jepang. Akan tetapi, sekarang mereka saling berhadapan satu sama lain dengan tujuan yang berbeda. Perlawanan demi perlawanan dilakukan oleh pasukan Takamori. Walaupun demikian, tetap saja kekuatan mereka tidak berimbang dibandingkan dengan jumlah pasukan pemerintah yang terus menerus berganti ditambah persenjataan mereka yang sudah modern. Mau tidak mau semangat mereka mulai memudar. Melihat hal itu, Takamori mengeluarkan perintah bahwa siapapun yang mencoba berkhianat atau melarikan diri harus melakukan seppuku atau harakiri.

Ketika perang mencapai puncaknya, Saigo Takamori mengirimkan surat yang ditujukan kepada Pangeran Taruhito Arisugawa untuk mengemukakan kembali alasannya dahulu datang ke Tokyo. Isi surat tersebut tetap mengindikasikan bahwa Takamori memang tidak bermaksud melakukan pemberontakan dan mencari penyelesaian yang damai. Walaupun demikian, pemerintah tetap menolak tawaran bernegosiasi dari Takamori karena pemerintah saat itu menghindari sekecil apapun bentuk pemberontakan. Menyadari respon dari pemerintah tidak sesuai dengan

(42)

yang diharapkan, akhirnya Saigo Takamori mengumpulkan pasukan tambahan sekitar 2.000 orang dari samurai-samurai yang sekolah di shi-gakko miliknya.

Pada bulan Agustus 1877, kekuatan Takamori mulai melemah karena jumlah pasukan yang semakin tidak seimbang dan persenjataan mereka yang semakin berkurang. Jumlah mereka pun berkurang tersisa menjadi sekitar 3.000 samurai saja, sedangkan pasukan lawan yang dihadapi masih banyak, dengan perbandingan 1 berbanding 7 orang. Mereka bertempur dengan cara berlindung di pegunungan-pegungungan yang mengitari daerah peperangan sambil melanjutkan pertempuran. Memasuki bulan September 1877 pasukan Takamori berhasil menduduki bukit Shiroyama dan berlindung disana serta melakukan penyergapan-penyergapan terhadap pasukan pemerintah yang berjaga. Pemerintah kembali tak tinggal diam dan memberikan tambahan tentara kepada pasukan Yamagata Aritomo, sehingga kekuatan pihak Takamori yang saat itu hanya tersisa 500 orang, harus berhadapan dengan 30.000 orang pasukan lawan. Seorang pasukan Takamori berhadapan dengan 60 pasukan pemerintah. Suatu jumlah yang sangat sulit untuk bisa ditandingi oleh pasukan Takamori.

(Rickman,http://www.historynet.com/wars_conflicts/19_century/3028391.ht ml)

Sebagai pemimpin pasukan pemerintah, Yamagata Aritomo mencoba membendung kekuatan pasukan Takamori dengan cara menyebarkan pasukannya ke berbagai penjuru pegunungan Shiroyama.

Referensi

Dokumen terkait