• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Golongan Samurai terhadap Pemberontakan Satsuma 1877 Pemberontakan Satsuma ini merupakan salah satu bentuk

ketidaksetujuan golongan samurai terhadap perintah dari Kaisar yang sebenarnya merupakan kewajiban mereka. Pasca penolakan pemerintah

terhadap pengiriman armada ke Korea, perpecahan nampak di kalangan birokrat dalam tubuh pemerintahan Meiji yang terdiri dari samurai-samurai tingkat tinggi. Para samurai yang mengundurkan diri dari pemerintahan kemudian menggabungkan kekuatannya untuk melakukan gerakan-gerakan menentang samurai yang masih berkuasa di pemerintahan.

Perpecahan di kalangan pemimpin dalam pemerintahan Meiji ini justru menyebabkan para samurai-samurai yang masih bertahan dalam pemerintahan memperkuat posisinya dan sikap mereka berdampak terhadap pelaksanaan dan perkembangan pemerintah selanjutnya. Pemerintah semakin berkembang tanpa memperdulikan opini dan keinginan rakyat lagi, tetapi justru semakin memupuk kekuasaannya, terutama setelah terjadi perdebatan mengenai pengiriman armada ekspansi ke Korea. Protes-protes terhadap pemerintah pun diajukan, bahkan para bekas samurai-samurai yang semula menduduki pemerintahan yaitu Itagaki Taisuke, Goto Shojiro, Eto Shimpei dan sejumlah petani kaya membentuk suatu organisasi politik yang diberi nama Aikokukoto (Partai Umum Pecinta Tanah Air) pada awal tahun 1874 (Ahdianti, 2003:58).

Akibat kekalahan kelompok Saigo Takamori dalam perdebatan tentang rencana penyerangan ke Korea dan semakin meningkatnya dominasi kelompok oligarki dalam pemerintahan, terjadi banyak pemberontakan dalam negeri yang dipelopori oleh para samurai yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu pemberontakan yang cukup besar terjadi di prefektur Saga pada tahun 1874. Pemberontakan yang dipimpin oleh Eto Shimpei ini dikenal sebagai Pemberontakan Saga. Herbert Norman

(1945:71) menyebutkan bahwa pemberontakan ini terjadi pada awal Februari 1874, ketika pasukan Eto Shinpei menyerang pasukan pemerintah yang ditempatkan di Saga. Namun Okubo Toshimichi mengambil tindakan cepat dengan mengirimkan pasukan bantuan ke Saga. Eto Shinpei terdesak dan mencoba meminta bantuan kepada Saigo Takamori di Kagoshima karena dia menganggap Takamori sebagai orang yang sehaluan dengannya. Sayangnya, sebelum dia sempat tiba di Kagoshima, Eto Shinpei tertangkap di Kochi dan dibawa kembali ke kota Saga, kemudian pada April 1874 dia dihukum mati.

Pemberontakan Saga ini ternyata memicu pemberontakan-pemberontakan kecil lainnya yang dapat dengan mudah dipadamkan oleh pemerintah. Ahdianti (2003:66) menyebutkan bahwa pada saat itu, seakan terdapat dua alternatif utama bagi para samurai-samurai yang tidak puas dengan keadaan sosial, politik dan ekonomi masa Meiji. Pertama, menggunakan metode tradisional yaitu dengan mengangkat senjata. Kedua, menggunakan cara aksi politik tanpa kekerasan seperti mengadakan pidato-pidato, menyebarkan pamflet-pamflet, dan mengajukan petisi. Alternatif pertama inilah yang kemudian dilakukan oleh Saigo Takamori untuk menunjukkan ketidakpuasannya terhadap pemerintah karena dengan statusnya sebagai seorang pemimpin militer para samurai, pemberontakan secara fisik dapat dengan lebih mudah dilakukan.

Selepas pengunduran dirinya dari pemerintahan Meiji, Saigo Takamori kembali ke daerah asalnya di Kagoshima yang juga merupakan wilayah kekuasaan klan Satsuma sehingga bisa lebih mudah untuk

menyusun strategi dan kekuatan. Disana, dia bersama para samurai pengikutnya kemudian mendirikan sebuah sekolah khusus para samurai (privat school) atau dikenal juga dengan nama shi-gakko. John Rickman

menyebutkan dalam situs

(http://www.historynet.com/wars_conflicts/19_century/3028391.html : 25 Januari 2007) bahwa shi-gakko ini merupakan implementasi keinginan sosial dan politik Takamori terhadap para shizoku (golongan militer) dan goshi (samurai pedesaan). Dikatakan implementasi sosial dan politik karena samurai-samurai muda dilatih berbagai macam ilmu dan strategi militer, bahkan bahasa Inggris pun dipelajari disana. Selain itu, ditanamkan juga pandangan-pandangan mengenai keadaan sosial politik Jepang saat itu serta propaganda masalah ekspansi terhadap Korea. Di bawah pengawasannya, Takamori membuka sekitar 132 shi-gakko yang tersebar hampir di seluruh wilayah Satsuma.

Kepulangan Takamori ke Kagoshima, diikuti oleh samurai-samurai terkemuka lainnya. Salah satunya adalah Kirino Toshiaki, yang merupakan pengikut terbaik Saigo Takamori pada waktu itu. Dia juga membuat semacam risalah pendek atas nama Saigo Takamori yang digunakan sebagai stimulator bagi samurai-samurai yang masih berambisi melakukan penaklukan terhadap Korea. Salah satu ucapan Kirino Toshiaki kepada para samurai dikutip oleh Herbert Norman dalam bukunya yaitu :

” One must wish for developing of the island of Japan but to stop with this is not enough. Rather we must fight abroad and not simply stand on guard defensively on our island. ….. ….. Japan must take the offensive on lands across the sea which we will then be able to defend. Saigo Takamori and the rank and file of his army hoped for a campaign overseas last year and there was a strong desire on

their part of large-scale attack upon Korea. … … our state is comprised of the Emperor and his people. It must not consist simply of the Imperial Court or simply of the people; this has been its form for ages past and no one can dispute it. The people of Japan necessity must now support the Court and given up all thoughts of further reform. …. … the logical outcome of all of this is that we cannot sit aidly by, we must go forward bravely facing the trends of the time; with the support of the whole country we still revive the spirit of loyalty, and the duty of the citizens. We will rise up and spring forward in our united strength and thus we will fulfill our duty.” (Norman, 1945:74)

(Semua berharap untuk kemajuan Jepang, tetapi jika kita berhenti hanya dengan hal ini itu tidak akan cukup. Kita harus pergi ke luar negeri dan tidak hanya duduk saja mempertahankan Jepang. ... Jepang harus melakukan penyerangan ke luar pulau yang pada nantinya juga harus kita pertahankan. Dengan reputasinya, Saigo Takamori dan pasukannya berharap dapat memperluas kekuasaan keluar pulau, seperti keinginan kuat untuk menyerang Korea tahun lalu.... negara kita sekarang diatur oleh Kaisar dan pengikutnya, yang pastinya bukan terdiri dari orang-orang biasa dan telah terbentuk sekian lama, dan tidak ada seorangpun yang dapat memungkirinya. Akan tetapi, apa yang rakyat Jepang inginkan sekarang adalah mendukung pemerintah dan menyingkirkan pikiran-pikiran yang menginginkan perubahan lebih lanjut. ... hal yang paling masuk akal sekarang adalah bahwa kita tidak dapat duduk dengan tenang, kita harus maju dengan berani menghadapi perkembangan zaman. Dengan dukungan dari seluruh negara, kita masih bisa menghidupkan kembali semangat samurai dan kewajiban masyarakat. Kita akan bangkit dan tumbuh dalam kekuatan kita dan dengan itu kita akan dapat memenuhi segala kewajiban kita.)

Secara tidak langsung Kirino Toshiaki telah menstimulan para samurai yang ada di Kagoshima untuk melihat keadaan Jepang dari sudut pandang seorang samurai yang hak istimewanya telah terabaikan oleh pemerintah. Sedangkan saat itu pemerintah tidak berpihak terhadap keinginan-keinginan mereka karena melakukan modernisasi dan pendekatan terhadap negara-negara di luar Jepang. Ungkapan Toshiaki juga menyiratkan bahwa mereka harus mempertahankan semangat samurai demi menyongsong kemajuan Jepang, serta membuktikan kepada masyarakat

Jepang bahwa mereka bisa melakukan kewajiban tanpa harus berpangku tangan.

Keistimewaan dari shi-gakko yang didirikan Saigo Takamori pada akhirnya menjadi semacam contoh bagi organisasi-organisasi nasionalis yang pada nantinya bermunculan di Jepang, yaitu menghimpun massa untuk mencapai tujuan organisasi. Walaupun dinamakan shi-gakko (privat school), tetapi secara tidak langsung sekolah itu sekaligus juga merupakan wujud dari sebuah organisasi politik tak nyata.

Samurai yang dilatih di dalam sekolah militer milik Saigo Takamori atau shi-gakko ini mencapai 13.000 orang ditambah dengan samurai-samurai pedesaan klan Satsuma. Sehingga total kekuatan yang berhasil dihimpun oleh Saigo sampai tahun 1877 mencapai 30.000 orang yang sebagian besar berasal dari shi-gakko miliknya. Separuh yang lainnya sekitar 10.000 orang berasal dari wajib militer lokal wilayah Satsuma, 2.200 orang petugas-petugas yang telah kehilangan jabatan, dan sisanya sekitar 7.800 orang berasal dari samurai klan lainnya (Norman, 1945:75).

Melihat besarnya kekuatan yang dimiliki oleh Saigo Takamori, tentunya timbul pertanyaan, apakah pemerintah tidak merasa gamang dengan besarnya kekuatan yang dihimpun oleh Takamori, sedangkan sudah sangat jelas jika dia menentang kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan penghapusan hak-hak para samurai. Norman (1945:75) menyebutkan bahwa sebenarnya pemerintah pun tidak berdiam diri dalam melihat perkembangan shi-gakko milik Saigo Takamori. Pemerintah telah mengambil tindakan dengan mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki

setiap tindakan mereka yang mengarah kepada pemberontakan. Selain itu, pemerintah mempersiapkan diri dengan memperkuat pasukan wajib militer Jepang melalui pelatihan penggunaan senjata militer modern terhadap prajurit-prajurit wajib militer yang dimiliki pemerintah. Salah satu alasan utama pemerintah tidak melakukan tindakan preventif langsung adalah karena kuatnya kekuasaan yang dimiliki oleh daimyo Satsuma, Shimazu Nariakira yang juga merupakan kepala klan Satsuma, salah satu klan terkuat di Jepang dalam bidang militer.

Dengan sistem pendidikan di shi-gakko dan motivasi-motivasi membuktikan eksistensi samurai akibat propaganda penaklukan Korea, para samurai muda banyak yang tidak dapat menahan keinginan mereka untuk melakukan pemberontakan. Dalam keadaan seperti itu, dan atas desakan para samurai-samurai muda yang memang sejak semula merasa tidak puas dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Meiji, sedikit demi sedikit mulai disusun rencana pemberontakan samurai klan Satsuma.

Menurut John Rickman

(http://www.historynet.com/wars_conflicts/19_century/3028391.html?&c=y : 25 Januari 2007), sejak semula Takamori menghindari adanya peperangan atau bentrokan fisik dengan pihak pemerintah. Hal ini terbukti dengan tindakan yang dilakukannya pada awal tahun 1877, yaitu mengunjungi Tokyo yang saat itu menjadi ibu kota Jepang. Di bawah keberatan para samurai bawahannya, Takamori berangkat dengan misi damai ke ibukota bersama sebagian pengikutnya bersama pasukannya dengan tidak membawa persenjataan perang, sebagai bukti bahwa mereka tidak bermaksud

bermusuhan dengan pemerintah., sedangkan yang menentang tetap berada di Kagoshima. Sayangnya, kedatangan Saigo Takamori bersama anak buahnya ke Tokyo untuk berunding dengan pemerintah malah mengundang tindakan keras pemerintah yang mencurigai kegiatan-kegiatan mereka di shi-gakko. Bahkan perlakuan terhadap para samurai-samurai muda yang menjadi pengiring Takamori dianggap sangat merendahkan harga diri seorang samurai. Mereka diperintahkan menanggalkan dua bilah pedang dan gelung rambut yang merupakan lambang kehormatan seorang samurai ketika memasuki kota, sehingga para samurai geram dan meminta persetujuan Takamori untuk melakukan tindakan balasan terhadap pemerintah. Perlakukan-perlakuan tersebut membuat Saigo Takamori berpikir bahwa hanya ada satu jalan ketika perundingan dengan pemerintah tidak berhasil, yaitu melawan pemerintah demi membela harga diri samurai. Walaupun nyawa menjadi taruhannya dan kematian sebagai resikonya. Tetapi, kematian terhornat seperti itulah yang paling dicita-citakan oleh seorang samurai.

Melihat gelagat dari Saigo Takamori yang terlihat mulai menyusun strateginya, pemerintah mencoba mengantisipasi tindakan serangan dari pasukan Takamori yaitu dengan mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Taketa Tani, seorang komandan dari daerah Kumamoto, daerah yang akan dilalui oleh pasukan Saigo Takamori dalam perjalanan pulang. Selepas dari ibukota, pasukan Saigo Takamori memasuki daerah Kumamoto. Beberapa hari sebelum pasukan Saigo Takamori tiba dan bertemu dengan pasukannya, Taketa Tani menerima sebuah surat dari Saigo Takamori yang menyatakan

bahwa dia beserta pasukannya akan melewati daerah Kumamoto. Bahasa dalam surat itu mengindikasikan tantangan perang dari Takamori, bahwa setiap saat mereka bisa menyerang tanpa melakukan pemberitahuan sebelumnya. Taketa meragukan kebenaran dari surat itu, karena jika mereka akan menyerang tentu mereka tidak akan memberitahukan kepada pasukan pemerintah yang ada di Kumamoto terlebih dahulu. Terlebih lagi, diyakini bahwa surat itu bukanlah surat langsung yang ditulis oleh Saigo Takamori. Selanjutnya, surat kedua datang dan merupakan surat asli yang dikirim langsung oleh Takamori. Dalam suratnya, Takamori menyampaikan bahwa dia dan sebagian kecil pasukannya dalam waktu dekat akan melewati daerah Kumamoto dengan membawa misi perdamaian. Tindakan pemberitahuan ini diambil untuk menghindari kekhawatiran yang nanti timbul di masyarakat. Taketa Tani menduga, bahwa surat yang pertama dikirimkan oleh salah satu samurai shi-gakko yang mencoba memprovokatori agar terjadi bentrokan

diantara kedua belah pihak (Rickman,

http://www.historynet.com/wars_conflicts/19_century/3028391.html). Apapun yang menjadi tujuan Saigo Takamori dalam suratnya, Taketa Tani tidak ingin berjibaku dan membiarkan pasukan militer yang oleh pemerintah dianggap sebagai ancaman ini lewat dengan mudah. Langkah terbaik yang seharusnya mereka lakukan adalah menghadang kedatangan pasukan Saigo Takamori. Tetapi, karena para pasukan Kumamoto ini mayoritas berasal dari Kyushu, yaitu pulau tempat dimana klan Satsuma mempunyai kekuasaan kuat dan banyak petugas juga yang merupakan penduduk asli Kagoshima, daerah asal Saigo Takamori sehingga

kesetiaan mereka perlu diragukan. Oleh karena itu, untuk menghindari dan menekan kecilnya resiko, Taketa Tani memutuskan untuk bersiap dan menunggu datangnya pasukan Takamori saja di dalam benteng Kumamoto. Bentrokan mulai pecah pada tanggal 21 Februari 1877, ketika para samurai Satsuma menyerang pasukan Taketa Tani. Walaupun pasukan Kumamoto ini berada dalam benteng Kumamoto yang merupakan salah satu benteng terkuat di Jepang, Saigo Takamori yakin bahwa pasukannya memiliki kemampuan yang lebih baik daripada pasukan lawan (Norman, 1945:77). Rickman bahkan menyatakan bahwa pasukan Saigo Takamori mengepung banteng Kumamoto dan mencoba menerobos ke dalamnya, bahkan berjibaku dengan nyawanya sekalipun. Perlawanan pasukan Saigo Takamori ini dibalas dengan tidak kalah sengit oleh pasukan yang berada di dalam benteng Kumamoto. Pasukan Saigo Takamori bahkan berusaha menggali lubang di sekitar benteng untuk dapat menyusup ke dalamnya. Pertempuran pertama itu terjadi sekitar 2 hari tanpa membuahkan hasil.

Untuk sementara waktu Takamori menarik mundur pasukannya dari Kumamoto dan kembali ke Kagoshima untuk mengkonsolidasikan kembali kekuatan bersama samurai-samurai yang tertinggal disana. Tidak ada kesempatan untuk berbaik hati lagi ketika pertempuran fisik telah terjadi. Satu hal yang cukup menarik, yaitu pasukan Saigo Takamori menggunakan persenjataan perang campuran antara tradisional dan senjata modern ketika berhadapan dengan lawan yang juga menggunakan persenjataan modern, padahal mereka melakukan pemberontakan untuk menjunjung tradisionalisme kaum samurai.

Setelah pertempuran yang pertama kali meletus pada sekitar bulan Februari 1877, pada bulan Maret 1877 kembali terjadi bentrokan hebat antara kedua belah pasukan di daerah Tabaruzuka, Barat daya Selat Ariake. Pemimpin resmi pasukan pemerintah kali ini adalah Pangeran Taruhito Arisugawa, tetapi pemegang komando langsung di lapangan adalah Yamagata Aritomo, seorang samurai Chosu yang pernah dikirim ke Eropa untuk mempelajari sistem militer Barat. Yamagata Aritomo juga salah satu sahabat lama Saigo Takamori ketika masih menjabat di Kementrian Militer Jepang. Akan tetapi, sekarang mereka saling berhadapan satu sama lain dengan tujuan yang berbeda. Perlawanan demi perlawanan dilakukan oleh pasukan Takamori. Walaupun demikian, tetap saja kekuatan mereka tidak berimbang dibandingkan dengan jumlah pasukan pemerintah yang terus menerus berganti ditambah persenjataan mereka yang sudah modern. Mau tidak mau semangat mereka mulai memudar. Melihat hal itu, Takamori mengeluarkan perintah bahwa siapapun yang mencoba berkhianat atau melarikan diri harus melakukan seppuku atau harakiri.

Ketika perang mencapai puncaknya, Saigo Takamori mengirimkan surat yang ditujukan kepada Pangeran Taruhito Arisugawa untuk mengemukakan kembali alasannya dahulu datang ke Tokyo. Isi surat tersebut tetap mengindikasikan bahwa Takamori memang tidak bermaksud melakukan pemberontakan dan mencari penyelesaian yang damai. Walaupun demikian, pemerintah tetap menolak tawaran bernegosiasi dari Takamori karena pemerintah saat itu menghindari sekecil apapun bentuk pemberontakan. Menyadari respon dari pemerintah tidak sesuai dengan

yang diharapkan, akhirnya Saigo Takamori mengumpulkan pasukan tambahan sekitar 2.000 orang dari samurai-samurai yang sekolah di shi-gakko miliknya.

Pada bulan Agustus 1877, kekuatan Takamori mulai melemah karena jumlah pasukan yang semakin tidak seimbang dan persenjataan mereka yang semakin berkurang. Jumlah mereka pun berkurang tersisa menjadi sekitar 3.000 samurai saja, sedangkan pasukan lawan yang dihadapi masih banyak, dengan perbandingan 1 berbanding 7 orang. Mereka bertempur dengan cara berlindung di pegunungan-pegungungan yang mengitari daerah peperangan sambil melanjutkan pertempuran. Memasuki bulan September 1877 pasukan Takamori berhasil menduduki bukit Shiroyama dan berlindung disana serta melakukan penyergapan-penyergapan terhadap pasukan pemerintah yang berjaga. Pemerintah kembali tak tinggal diam dan memberikan tambahan tentara kepada pasukan Yamagata Aritomo, sehingga kekuatan pihak Takamori yang saat itu hanya tersisa 500 orang, harus berhadapan dengan 30.000 orang pasukan lawan. Seorang pasukan Takamori berhadapan dengan 60 pasukan pemerintah. Suatu jumlah yang sangat sulit untuk bisa ditandingi oleh pasukan Takamori.

(Rickman,http://www.historynet.com/wars_conflicts/19_century/3028391.ht ml)

Sebagai pemimpin pasukan pemerintah, Yamagata Aritomo mencoba membendung kekuatan pasukan Takamori dengan cara menyebarkan pasukannya ke berbagai penjuru pegunungan Shiroyama.

Dengan 30.000 prajuritnya, sudah sangat jelas bahwa kekuatan Yamagata melebihi para samurai pemberontak dari Satsuma. Di bawah pengepungan pasukan dan stategi perang Yamagata, pasukan Takamori semakin terjepit. Mereka semakin kehilangan daerah untuk bisa bergerak dengan cepat dan bebas, terlebih lagi saat itu persenjataan modern yang mereka miliki telah habis sehingga hanya senjata tradisional saja yang tersisa. Satu-satunya yang bisa menjadi tempat mereka berlindung adalah gua-gua yang berada di sekitar perbukitan Shiroyama, satu-satunya wilayah yang berhasil diduduki oleh pasukan Takamori. Ketika persenjataan dan persediaan makanan semakin menipis, ditambah keadaan anak buahnya banyak yang cedera, Saigo Takamori menyadari bahwa dirinya akan segera mengalami kekalahan.

Pengepungan yang dilakukan oleh Yamagata semakin menyusutkan jumlah pasukan Takamori. Mengetahui hal itu, Yamagata mengirimkan pesan kepada pihak lawan yang menyatakan bahwa sudah terlalu banyak korban akibat pertempuran ini dan dia meminta agar Takamori segera menyerah dan menghentikan serangannya, karena bagaimanapun upaya yang mereka lakukan, hal itu akan sia-sia saja. Tetapi, tekad Saigo Takamori tidak tergoyahkan oleh surat yang dikirimkan oleh Yamagata Aritomo. Rickman kembali menyebutkan bahwa peperangan ini telah menimbulkan kerugian diantara kedua belah pihak. Di pihak pemerintah sekitar 6.000 orang terbunuh dan 10.000 orang terluka. Sedangkan dari pihak samurai Satsuma yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pasukan pemerintah sekurang-kurangnya telah 7.000 orang meninggal dan 11.000 lainnya

luka-luka. Hal ini tidak menyurutkan tekad Takamori untuk tetap maju dan mempertahankan harga diri sebagai samurai. Walaupun telah banyak darah yang ditumpahkan, tetapi mempertahankan kehormatan dan harga diri bagi seorang samurai adalah segalanya. Banyaknya jumlah samurai yang telah tewas meninggalkan tanda untuk terus bertempur sampai titik darah penghabisan.

Akhirnya, pertempuran mencapai titik akhir. Pada tanggal 24 September 1877 dini hari, serangan pasukan pemerintah seolah mengguncangkan puncak Shiroyama. Pada pagi harinya, kekuatan para samurai Satsuma yang masih hidup hanya tersisa sekitar 40 orang. Mereka pun hidup dengan kondisi yang terluka, Saigo bahkan terluka di perut dan pahanya. Menyadari bahwa dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Takamori memutuskan untuk menemui kematian yang paling terhormat bagi para samurai, yaitu dengan melakukan seppuku atau harakiri. Jalan kematian dianggap paling pantas untuk menjaga kehormatan para samurai yang dilindunginya. Takamori kemudian meminta Shinsuke Beppu, salah seorang pengikutnya yang paling setia ke atas bukit Shiroyama. Disana Takamori mengakhiri hidupnya dengan melakukan harakiri atau merobek perutnya sendiri, dan sebagaimana tradisi seppuku, kepalanya dipenggal lalu disembunyikan oleh Beppu. Perbuatan Takamori ini seolah memberikan isyarat bagi para samurai-samurai bawahannya, bahwa harakiri adalah tindakan yang harus mereka lakukan saat itu. Setelah menyembunyikan kepala Takamori, samurai-samurai yang tersisa kemudian berbaris dan melakukan harakiri secara bersamaan (Rickman dan Norman, 1945:77).

Dengan demikian, ancaman pemberontakan terbesar pada masa pemerintahan Meiji yang dilakukan oleh salah satu golongan masyarakat terpenting di Jepang berakhir sudah.

Sungguh suatu hal yang ironi, karena peperangan tentara pemerintah ini dilakukan oleh untuk mengalahkan satu golongan masyarakat yang telah lama dan sangat berjasa bagi perubahan dan perkembangan negara Jepang, walaupun sebenarnya tindakan yang dilakukan oleh para samurai itu bukan suatu hal yang dilarang dalam undang-undang maupun kode etik samurai. Para samurai yang memberontak dan menerima perintah di bawah pemimpin yang konservatif harus berperang melawan tentara pemerintah yang telah menggunakan persenjataan modern. Sedangkan para samurai Satsuma pada akhirnya tetap bertahan berperang dengan persenjataan dan strategi militer tradisional seorang samurai melawan para tentara wajib militer yang kebanyakan berasal dari kelas-kelas lebih rendah dari mereka (petani dan pedagang). Pemerintah tidak dapat menyalahkan tindakan mereka, karena apa yang mereka lakukan telah sesuai dengan aturan atau kode samurai. Orang-orang yang mempertahankan hidup dan berjuang demi aturan samurai adalah orang-orang yang terhormat.