• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pemberontakan Satsuma 1877 bagi Golongan Samurai Dengan berakhirnya pemberontakan Satsuma atau pemberontakan

samurai terbesar yang pernah terjadi selama masa pemerintahan Meiji, maka berakhir pula pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para samurai lainnya (Norman, 1945:77). Secara tidak langsung

pertempuran yang terjadi diantara kedua belah pihak tersebut membuktikan bahwa tentara pemerintah yang kebanyakan berasal dari rakyat biasa namun menggunakan persenjataan modern lebih unggul dibandingkan para samurai terlatih dengan persenjataan tradisional. Hal inilah semakin memicu semangat pemerintah untuk memperkuat pertahanan militer Jepang, dengan mengimpor senjata-senjata dari luar negeri untuk memperkuat pasukan militer Jepang.

Pemberontakan Satsuma ini berdampak cukup signifikan bagi kehidupan pemerintah Meiji selanjutnya, yaitu tidak ada lagi pemberontakan-pemberontakan serupa yang dilakukan oleh samurai. Meskipun golongan samurai pada awal restorasi Meiji telah dihapuskan, tetapi pemerintah memberikan penghargaan atas keberanian mereka dalam mempertahankan kehormatan sebagai seorang samurai kepada samurai-samurai Satsuma tersebut. Masyarakat Jepang yang mengerti arti dan kewajiban seorang samurai akan sangat memahami apa yang telah mereka lakukan. Sehingga walaupun telah menemui kematian, nama Saigo Takamori tetap termasyhur. Berdasarkan pendapat dari Norman, dibandingkan dengan pemberontakan yang dahulu dilakukan oleh Eto dan Maebara, pemerintah lebih menghargai upaya perdamaian yang tetap dipertahankan Saigo Takamori ketika dia bertempur. Takamori adalah salah seorang samurai hebat yang pernah dimiliki oleh Jepang yang juga sebenarnya sangat ingin memajukan Jepang, tetapi dengan cara yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah.

Sejak saat itu, perhatian pemerintah kembali terkonsentrasi kembali kepada upaya modernisasi Jepang melalui pengadopsian budaya-budaya Barat. Salah satu tindakan utama yang mereka lakukan sekaligus dampak terpenting pasca pemberontakan Satsuma 1877 adalah dengan menbentuk tentara yang efektif dan hebat. Yamagata Aritomo, sebagai seorang yang pernah belajar militer langsung di luar Perancis dan Prusia memegang peranan penting. Sekembalinya ke Jepang, ia membentuk tentara Jepang yang terdiri dari para ”mantan” samurai yang tersisa dan rakyat umum. Pada tahun 1878, Yamagata mengorganisasikan Angkatan Perang menurut model Prusia dan pada tahun 1883 dibangun sebuah Akademi Militer, sehingga para perwira militer Jepang tidak perlu lagi dikirim ke luar negeri untuk mempelajari ilmu militer negara lain. Angkatan Laut pun diperkuat, dengan pembuatan badan-badan kapal oleh Jepang sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk kepentingan pengawalan sepanjang pantai Jepang (Nurhayati, 1987:54)

Meski sejak peristiwa Pemberontakan Satsuma 1877 hampir tidak ada perlawanan yang berarti lagi kepada pemerintah. Tidak sampai satu tahun berselang setelah Pemberontakan Satsuma berakhir, terjadi satu peristiwa yang cukup mengejutkan, yaitu terbunuhnya Okubo Toshimichi oleh seorang ronin (samurai tak bertuan) yang masih setia terhadap Saigo Takamori karena beranggapan bahwa Okubo-lah orang yang paling bertanggung jawab di balik kematian Saigo Takamori dan pengikutnya (Mattulada, 1979:138). Walaupun demikian, hal itu tidak terlalu menyulitkan dan menyita perhatian pemerintah. Karena setelah

pemberontakan berakhir, kekuatan golongan samurai telah hilang sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi oleh mereka. Bahkan masyarakat Jepang berpendapat tentang pemberontakan terakhir samurai-samurai tersebut, bahwa apa yang tidak bisa dicapai Saigo Takamori saat itu – keinginan mempertahankan tradisionalisme militer- tidak akan ada seorangpun yang mencoba untuk meniru dan melakukannya kembali (Norman, 1945:77). Dengan kata lain, tidak ada yang berani mencoba untuk kembali melakukan pertempuran secara fisik melawan pemerintah

Para mantan samurai yang semula kehilangan pekerjan mereka, lambat laun mulai menemukan kembali kehidupan mereka. Mereka menyadari, jika hanya dengan mengandalkan pedang mereka tidak akan mungkin dapat bertahan melawan kemajuan Jepang, sehingga yang harus mereka lakukan adalah bagaimana caranya bisa bertahan di tengan perputaran politik Jepang yang masih belum menentu.

Selanjutnya, reaksi-reaksi terhadap pemerintah mengalami perubahan bentuk. Politikus-politikus yang sehaluan dengan Saigo Takamori mengubah cara bertindak mereka. Dalam pandangan mereka, pengalaman dan kematian yang menimpa Saigo Takamori membuat mereka lebih berhati-hati dalam mengambil langkah. Mereka tidak ingin membuat kesalahan yang fatal dalam mencapai tujuan mereka (Norman, 1945:78). Walaupun apa yang dilakukan Saigo Takamori sebenarnya adalah suatu perjuangan dan tindakan heroik bagi golongan samurai.

Herbert Norman (1945:78-79) menyatakan bahwa perjuangan para samurai-samurai selama masa awal restorasi Meiji dalam kurun waktu

1868-1878 dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk atau golongan. Pertama, golongan samurai ekstrimis yang terdiri dari samurai-samurai ”frustasi” akibat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah restorasi Meiji. Mereka menolak perubahan pemerintahan selain sistem feodal. Mereka membenci adanya pemerintahan baru yang dianggap terlalu sukar untuk diterima, karena kebanyakan dari mereka adalah samurai-samurai yang berpikiran sangat kolot dalam menerima perubahan, terutama perubahan dari luar yang dianggap berasal dari orang asing atau barbar. Gerakan yang bersifal sangat ke-klan-an dan eksentrik ini dibawa oleh oleh Kumoi dan Atago tetapi yang paling khusus lagi oleh Shimpuren dari Kumamoto. Yang mereka pikirkan hanyalah mempertahankan kejayaan pada masa lalu dan tidak memikirkan perubahan yang harus dilakukan untuk masa depan. Setelah gerakan ini melancarkan aksinya dan mengalami kegagalan, akhirnya keberadaan samurai-samurai ini pun perlahan-lahan menghilang seiring perkembangan politik Jepang.

Kategori kedua adalah mereka yang melakukan pergerakan dengan menempuh sistem demokrasi liberal atau jalur politik yang terbentuk dalam Tosa Risshisa. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini adalah para penentang pemerintah yang ada di Tokyo. Akan tetapi, dalam propagandanya mereka tidak melakukan tindakan-tindakan anarki seperti terorisme atau kekerasan. Kritik-kritik yang disampaikan kepada kebijakan pemerintah pun lebih bisa diterima dibandingkan kelompok penentang yang lainnya, karena yang tergabung di dalam kelompok ini adalah para samurai-samurai penting yang berpikiran luas. Kelompok-kelompok yang

bermunculan pada sekitar 1881-1884 menjadi suatu pergerakan nasional dan membentuk Jiyuto (Liberal Party). Partai inilah yang menjadi sarana aspirasi dari rakyat Jepang terutama yang menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah Meiji. Hanya, akibat ketidakmatangan politik para pemimpinnya, serta strategi memecah belah yang digunakan oleh pemerintah menjadikan para politikus yang terpengaruh berpaling ke arah pemerintah. Berpalingnya tokoh-tokoh utama ke pemerintahan membuat partai politik ini seolah kehilangan sebelah sayapnya, sehingga mereka harus bekerja keras untuk menyeimbangkannya kembali. Tetapi, hal itu hanya bisa bertahan sampai tahun 1890-an. Gerakan ini dinamakan kelompok oposisi liberal yang muncul dengan cepat bersama kekuatannya yang hebat juga, tetapi dengan cepat pula runtuh akibat intrik yang terdapat di dalam badannya sendiri.

Kategori golongan ketiga adalah kelompok samurai yang dibawa oleh Saigo Takamori. Mereka pada awalnya tidak menentang kebijakan pemerintah, hanya mengalami kekecewaan karena kebijakan yang dibuat pemerintah Meiji. Akibatnya, kekecewaan ini terbentuk dalam shigakko-shigakko yang secara tidak langsung merupakan sebuah wadah politik yang berwujud sosial. Walaupun Saigo Takamori kalah dalam mewujudkan keinginannya, tetapi keberhasilannya dalam melakukan propaganda di shi-gakko memunculkan samurai-samurai yang berjiwa nasionalis dan berpengaruh untuk sistem pemerintahan Jepang selanjutnya karena samurai-samurai tersebut kemudian berkembang membentuk organisasi-organisasi politik untuk memperjuangkan aspirasi dan keinginan rakyat. Sistem yang

ada di shi-gakko ini selain bersifat sosial, militer, juga bersifat politik. Sehingga, walaupun relatif kecil pengaruhnya, tapi melekat kuat pada para pengikutnya.

Para samurai-samurai Jepang akhirnya menyadari bahwa saat itu memang tidak ada jalan lain selain melangkah maju menyongsong kemajuan negara, ditengah kepungan negara-negara lain yang lebih besar dan kuat dari mereka. Sehingga, seharusnya tradisi janganlah dijadikan sebagai hambatan tetapi harus dijadikan fasilitator bagi mereka untuk mencapai kemajuan. Dengan kata lain, bisa diibaratkan bahwa dengan menunggangi tradisi, mereka akan mencapai modernisasi. Spirit samurai yang digunakan dalam menyerap budaya-budaya dari luar, tetapi tidak menghilangkan tradisi yang selama ini dipegang teguh oleh mereka. Karena yang dimaksud mempertahankan tradisi disini adalah spirit untuk memadukan antara kehendak untuk maju dan sekaligus juga mempertahankan budaya mereka.