• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

6

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori 1. Status Gizi

Definisi dari status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri (Hermawan, 2006). Status gizi merupakan akibat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut / keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluruh tubuh (Supariasa, 2002).

Ada beberapa pendekatan untuk mengkaji status gizi, antara lain : antropometri, biokimiawi, pemeriksaan klinis, dan pengkajian makanan (Gybney, 2008). Antropometri adalah pengukuran besar dan komposisi tubuh.

Pengukuran ini paling sering digunakan untuk menilai status gizi secara langsung. Ada beberapa macam pengukuran antropometri, antara lain : massa tubuh, pengukuran panjang, komposisi tubuh ((Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2013).

Indeks antropometri merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur. Beberapa indeks antropometri adalah sebagai berikut : BB/U (berat badan terhadap umur), TB/U (tinggi badan terhadap umur), BB/TB (berat badan terhadap tinggi badan), LILA/U (lingkar lengan atas terhadap umur) (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2013). Klasifikasi status gizi mengacu pada nilai z score BB/U, yaitu sebagai berikut :

a. Status gizi lebih, dengan kriteria z score lebih dari 2 SD

b. Status gizi baik, dengan kriteria z score antara 2 SD hingga 2 SD c. Status gizi kurang, dengan kriteria z score antara 3 SD hingga 2 SD d. Status gizi buruk, dengan kriteria z score kurang dari 3 SD (World Health

Organization, 2006).

(2)

commit to user

Sedangkan untuk indikator TB/U adalah sebagai berikut : a. Sangat pendek, dengan kriteria z score < - 3SD

b. Pendek, dengan kriteria z score antara -3SD hingga < -2SD

c. -2SD

Tinggi badan per umur digunakan untuk mengetahui indeks status gizi pada keadaan yang telah lalu (Alamsyah dan Muliawati, 2013).

Uji biokimiawi mengukur jenis protein viseral dan somatik. Dengan parameter masing-masing adalah serum albumin, prealbumin, transferin, hitung jumlah limfosit, dan uji antigen pada kulit. Parameter protein somatik bisa juga dilihat dengan mengukur lingkar pertengahan lengan atas.

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik secara menyeluruh termasuk riwayat kesehatan. Bagian tubuh yang di harus diperhatikan antara lain kulit, rambut, gusi, bibir, lidah, mata, dan alat kelamin.

Pengkajian makanan bisa dilakukan dengan 24-hour food recall/record, food frequency questionnaire, food history.

Menurut Soekiman dalam materi Aksi Pangan dan Gizi Nasional (Depkes RI, 2000), faktor faktor yang mempengaruhi status gizi anak antara lain adalah penyakit infeksi, pola pemberian makan, praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan, serta perawatan anak sakit.

2. Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis dan bisa terjadi antara individu, antara kelompok dan antara individu-kelompok (Fitriyah, 2014).

Bentuk interaksi sosial bisa dibedakan menjadi dua. Berdasarkan jumlah pelakunya : individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok. Menurut proses terjadinya, interaksi sosial dibagi menjadi 4 antara lain :

a. Imitasi dengan meniru cara orang lain. Salah satu proses belajar yang mengikuti perilaku orang lain. Imitasi dibedakan menjadi 2, yaitu imitasi negatif dimana bentuk imitasi yang mendorong seseorang meniru perilaku menyimpang dan imitasi positif yang mendorong seseorang berperilaku sesuai norma yang berlaku (Sunaryo, 2004).

(3)

commit to user

b. Identifikasi dengan menirukan menjadi sama dengan orang yang disukai.

Identifikasi merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain (Soekanto, 2000).

c. Sugesti merupakan proses interaksi yang memberikan pengaruh kepada orang lain agar mengikuti tanpa berpikir panjang (Sunaryo, 2004).

d. Simpati merupakan adanya perasaan tertarik kepada orang lain secara sadar karena keseluruhan cara berperilaku dari orang tersebut (Gerungan, 2004).

Faktor pendorong terjadinya interaksi sosial antara lain adanya kontak sosial yang bisa terjadi antar perorangan, antar kelompok atau antar perorangan dan kelompok (Sudarma, 2008). Kontak sosial berlangsung dalam tiga bentuk yaitu antarindividu, antarindividu dengan kelompok, dan antarkelompok dengan kelompok lainnya. Kontak sosial bisa terjadi dalam bentuk positif yang mengarah kerjasama sedangkan bentuk negatif mengarah pada konflik (Tim Mitra Guru, 2007).

Faktor yang kedua adalah komunikasi sosial, dimana dimaksudkan berhubungan atau bergaul dengan orang lain. Tidak selamanya kontak sosial akan menghasilkan interaksi sosial yang baik apabila proses komunikasinya tidak berlangsung secara komunikatif (Fitriyah, 2014). Komunikasi merupakan tafsiran yang diberikan seseorang terhadap perilaku orang lain serta perasaan yang ingin disampaikan kepada orang tersebut (Soekanto, 2000).

Bentuk interaksi sosial ada tiga, antara lain : kerjasama, akomodasi dan asimilasi. Kerjasama adalah bentuk usaha antar orang perorangan terhadap kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama dapat berkembang apabila orang orang didalamnya dapat digerakkan untuk mencapai tujuan bersama atas kesadaran dan iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerjanya (Soekanto, 2000). Bentuk kedua yaitu akomodasi, merupakan usaha usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan dalam rangka mencapai kestabilan. Asimilasi adalah usaha saling menghargai untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang ada (Soekanto, 2000).

3. Pola Asuh

Pola asuh merupakan interaksi antara orangtua dengan anak yang meliputi ekspresi sikap, nilai, perhatian dalam membimbing, mengurus dan melatih anak.

(4)

commit to user

Pola asuh juga bisa diartikan dengan semua aktivitas orang tua yang berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan otak (Musaheri, 2007).

Praktik pengasuhan mempunyai pengaruh penting teradap kesejahteraan anak, harga diri yang positif, kesehatan mental, kepuasan hidup, kebahagiaan dan perkembangan moral (Lestari, 2012). Praktik pengasuhan mempunyai beberapa aspek antara lain : Kontrol dan pemantauan; kontrol merupakan penekanan terhadap batasan-batasan yang diberikan orangtua kepada anaknya, dengan adanya batasan anak perlu mendapat pemantauan sebagai pengembangan kontrol terhadap anak. Dukungan dan keterlibatan; mencerminkan adanya ketanggapan orangtua atas kebutuhan anak, keterlibatan orangtua sangat diperlukan ketika orangtua berpartisipasi aktif dalam pengasuhan anak dengan bermain, mengisi waktu luang bahkan kontribusi substantif dalam perawatan dan supervisi (Williams dan Kelly, 2005). Komunikasi; komunikasi yang baik antara orangtua dan anak dapat mempengaruhi psikososial positif anak.

Kedekatan; cenderung adanya kehangatan dalam pengasuhan. Kedisiplinan;

upaya orangtua untuk melakukan kontrol terhadap anaknya.

Gaya pengasuhan menurut Baumrind dalam Santrock, 2011 dibagi menjadi empat, antara lain :

a. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting)

Gaya asuh yang bersifat membatasi dan menghukum. Orangtua dengan pola asuh otoriter memerintahkan anaknya untuk mengikuti petunjuk mereka dan menghormati mereka dengan membatasi anak serta tidak mengijinkan anak untuk banyak bicara.

b. Pola asuh otoritatif (authoritative parenting)

Gaya asuh yang mendorong anaknya untuk menjadi independen tetapi masih membatasi dan mengontrol tindakan anaknya. Adanya tukar pendapat antara orangtua dan anak dengan sikap orangtua yang membimbing dan mendukung anaknya.

c. Pola asuh yang mengabaikan (neglectful parenting)

Gaya pengasuhan dimana orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Anak-anak dari orangtua yang mengabaikan, mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain dari kehidupan orang tua mereka adalah

(5)

commit to user

lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak dari orang tua yang mengabaikan memiliki pengendalian yang buruk, tidak memiliki kemandirian yang baik, dan tidak termotivasi untuk berprestasi.

d. Pola asuh yang memanjakan (indulgent parenting)

Gaya asuh dimana orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anaknya tapi tidak banyak memberi batasan pada perilaku anaknya. Orangtua percaya bahwa kombinasi dukungan pengasuhan dan sedikit pembatasan akan menciptakan anak yang kreatif dan percaya diri. Hasilnya adalah anak-anak ini biasanya tidak belajar untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri.

Orang tua dengan pola asuh yang memanjakan tidak mempertimbangkan perkembangan diri anak secara menyeluruh (Santrock, 2011).

Pendapat lain mengatakan, ada tiga pembagian pola asuh yaitu pola asuh otoriter, permisif dan otoritatif / demokratis (Djiwandono, 2006).

a. Otoriter

Adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orangtua seperti ini mempunyai sikap penerimaan rendah namun kontrolnya yang tinggi (Yusuf, 2010).

b. Permisif

Orangtua memberikan kebebasan sebanyak mungkin kepada anak mereka dan menempatkan harapan-harapan kepada anak mereka. Orangtua mempunyai sikap penerimaan yang tinggi namun kontrolnya rendah, serta memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan keinginannya (Yusuf, 2010).

c. Otoritatif / demokratis

Pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anaknya tetapi bersikap responsif. Pengasuhan otoritatif diasosiasikan dengan rasa harga diri yang tinggi, bermoral standar, kematangan pikososial, kemandirian, sukses dalam belajar dan bertanggung jawab secara sosial.

(6)

commit to user

Tabel 2.1 Matriks Kombinasi Dua Dimensi dalam Pengasuhan

Penerimaan / Ketanggapan

Tinggi Rendah

Kontrol/Tuntutan

Tinggi

(Otoritatif) Tuntutan yang masuk akal, penguatan yang konsisten, disertai kepekaan dan penerimaan pada anak.

(Otoriter) Banyak aturan dan tuntutan, sedikit

penjelasan, dan kurang peka terhadap

kebutuhan dan pemahaman anak

Rendah

(Permisif) Sedikit aturan

dan tuntutan, anak terlalu dibiarkan bebas

menuruti kemauannya.

(Tak Peduli) Sedikit aturan dan tuntutan, orangtua tidak peduli dan peka pada kebutuhan

anak.

Sumber : Shaffter, 2002

4. Pendidikan

Pengertian pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut UU Nomor 20 Tahun 2004, jenjang pendidikan formal dibagi menjadi 3, yaitu : pendidikan dasar yang terdiri atas SD/MI dan SMP/MTs, pendidikan menengah yang terdiri atas SMA/MA dan SMK/MAK, serta pendidikan tinggi yang terdiri atas akademi, institut, sekolah tinggi dan universitas (Hasbullah, 2006).

(7)

commit to user

5. Perkembangan

Dalam perkembangan manusia terdapat tugas tugas perkembangan sesuai dengan fase perkembangannya. Menurut Buhler tahun 1930, fase perkembangan antara lain :

a. Fase pertama (0-1 tahun)

Fase dimana difokuskan pada melatih fungsi motorik dan mengamati berbagai objek di luar dirinya.

b. Fase kedua (2-4 tahun)

Pada fase ini, anak mulai mengenal benda-benda di luar dirinya disertai dengan pemahaman subyektif yang seolah-olah benda tersebut bisa merasakan keadaan si anak. Sebagai contoh, anak suka melakukan perbincangan dengan boneka atau hewan.

c. Fase ketiga (5-8 tahun)

Anak mulai mengenal lingkungan luar dan bersosialisasi dengan masyarakat karena anak mulai memasuki dunia sekolah. Dalam proses sosialisasi ini, sangat dibutuhkan adanya interaksi sosial.

d. Fase keempat (9-11 tahun)

Masa dimana adanya sudut pandang obyektivitas tertinggi. Anak mulai bisa mengeksplor dan lebih memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga anak cenderung untuk menemukan pribadinya sendiri.

e. Fase kelima (14-19 tahun)

Akhir dari perkembangan anak, lebih bisa bersikap secara subyektif atas kesadaran dan mampu mengarahkan pada permasalahan yang lebih konkret (Sobur, 2003).

6. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, perkembangan atau kemampuan kognitif adalah hasil dari hubungan perkembangan otak dan sistem nervous dan pengalaman-pengalaman yang membantu individu untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Proses kognitif adalah perubahan dalam pemikiran, kecerdasan dan bahasa anak (Santrock, 2010).

Menurut Piaget kognitif mengalami beberapa proses yaitu skema dimana sebuah konsep atau kerangka yang eksis di dalam pikiran seseorang yang

(8)

commit to user

dipakai untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi. Proses yang kedua adalah asimilasi, suatu proses mental yang terjadi ketika seorang anak memasukkan pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada.

Akomodasi merupakan suatu proses mental yang terjadi ketika anak menyesuaikan diri dengan informasi baru. Dan ekuilibrasi adalah mekanisme untuk menjelaskan bagaimana anak bergerak dari satu tahap pemikiran ke tahap pemikiran selanjutnya. Pergeseran ini terjadi ketika anak mengalami konflik kognitif dalam usahanya memahami dunia (Santrock, 2010).

Teori Piaget terdiri dari empat tahap, yaitu: sensorimotor, pra operasional, operasional konkret dan operasional formal. Tahap Sensorimotor berlangsung sejak kelahiran sampai usia 2 tahun. Dalam tahap ini, bayi menyusun pemahaman dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman indra mereka dengan gerakan motor mereka.

Tahap pra operasional adalah tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Operasi disini dimaksudkan adalah kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik (Yusuf, 2014). Tahap ini bersifat egosentris dan intuitif ketimbang logis. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu : subtahap fungsi simbolis, terjadi kira-kira antara usia dua sampai empat tahun. Dalam subtahap ini, anak kecil mulai bisa mempresentasikan objek yang tak hadir. Penggunaan bahasa yang mulai berkembang dan kemunculan sikap bermain. Tahap yang kedua adalah subtahap pemikiran intuitif, dimulai sekitar umur empat sampai tujuh tahun. Pada subtahap ini, anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan.

Tahap operasional konkret merupakan tahap ketiga, dimulai umur tujuh tahun sampai sebelas tahun. Pemikiran operasional konkret mencakup penggunaan operasi. Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya dalam situasi konkret. Kemampuan untuk menggolong-golongkan sudah ada tetapi belum bisa memecahkan problem-problem abstrak. Operasi konkret adalah tindakan mental yang bisa dibalikkan berkaitan dengan objek konkret nyata.

Tahap operasional formal, tahap ini muncul pada usia sebelas tahun hingga masa dewasa nanti. Individu sudah mulai memikirkan pengalaman di luar

(9)

commit to user

pengalaman konkret, dan memikirkannya secara lebih abstrak, idealis dan logis (Santrock, 2010).

Untuk menilai perkembangan kognitif anak, digunakan instrumen tes kertas dan pensil yang diadopsi dan dikembangkan oleh Bakken berdasarkan teori Piaget. Dalam instrumen tersebut dijelaskan beberapa tugas sesuai tahapan perkembangan kognitif anak. Tugas yang berhubungan dengan tahap sensorimotor menilai reaksi sirkuler sekunder, eksplorasi sistematis, dan transisi dari tahap sensorimotor atau tahap pra operasional (Crain, 2005). Pemikiran pra konseptual, penerimaan perspektif dan permanen konsep adalah tugas-tugas yang sebaiknya diberikan kepada anak yang berada pada tahap pra operasional awal. Tugas konservasi jumlah, kuantitas berkelanjutan, masa, berat dan volume sebaiknya digunakan untuk menilai anak dalam tahap operasional konkret.

Untuk anak pada tahap operasional formal seharusnya diberikan dengan menilai tugas konservasi volume, sistem kombinasi operasi dan kemampuan menggunakan alasan deduktif (Dugan, 2003).

Menurut Piaget pertumbuhan mental terdiri dari dua unsur yaitu perkembangan dan belajar. Perkembangan merupakan perubahan struktur, beda halnya dengan belajar terjadi perubahan isi didalamnya. Proses perkembangan dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu heriditas, pengalaman, transmisi sosial dan ekuilibrasi.

Heriditas diyakini Piaget berkaitan dengan faktor kematangan internal yang akan berkembang dari tahun ke tahun.

Kematangan mempunyai peranan penting dalam perkembangan intelektual, akan tetapi faktor ini saja tidak mampu menjelaskan segala sesuatu tentang perkembangan intelektual. Pengalaman dengan heriditas fisik merupakan dasar perkembangan struktur kognitif.

Transmisi sosial digunakan untuk mempresentasikan pengaruh budaya

terhadap pola berfikir anak. Penjelasan dari guru, penjelasan orang tua,

informasi dari buku, meniru, merupakan bentuk-bentuk transmisi

sosial. Kebudayaan dapat memberikan pengaruh bagi perkembangan

kognitif, seperti dalam berhitung atau membaca. Anak dapat menerima

transmisi sosial apabila dalam keadaan mampu menerima informasi

(10)

commit to user

dengan catatan anak harus memiliki struktur kognitif yang memungkinkan terlebih dahulu. Faktor keempat adalah ekuilibrasi, merupakan keadaan dimana setiap individu akan ada proses ekuilibrasi yang mengintegrasikan faktor heriditas, pengalaman dan transmisi sosial. Adanya ekuilibrasi karena anak secara aktif berinteraksi dengan lingkungan. Hasil dari interaksi itu anak akan berproses apabila dihadapkan pada situasi yang mungkin tidak dapat menanggapi stimulus. Kontradiksi ini menimbulkan keadaan menjadi tidak seimbang dan secara aktif anak akan mengubah pola penalarannya untuk dapat mengasimilasikan dan mengakomodasikan stimulus baru yang disebut ekuilibrasi (Syaodih, 2015).

Tabel 2.2 Tingkat Pencapaian Perkembangan Kognitif

No. Usia Perkembangan Kognitif

1. 0 - 3 bulan a. Mampu membedakan apa yang diinginkan (ASI, susu dari botol, atau kempong/pacifier).

b. Berhenti menangis setelah digendong atau diberi susu.

2. 3 6 bulan a. Memperhatikan dan memilih permainan yang diinginkan.

b. Mengulurkan kedua tangan untuk digendong.

3. 6 9 bulan a. Mengamati benda-benda yang bergerak.

b. Berpaling ke arah sumber suara.

c. Mengamati benda-benda yang kemudian dipegang dan dijatuhkan.

4. 9 12 bulan a. Memahami perintah sederhana.

b. Menunjukkan reaksi saat namanya dipanggil.

c. Mencoba mencari benda yang disembunyikan.

d. Mencoba membuka atau melepas benda yang tertutup.

5. 12 18 bulan a. Menyebutkan beberapa nama benda.

b. Menanyakan nama benda yang belum dikenal.

c. Membedakan ukuran benda (besar-kecil).

d. Mengenal beberapa warna primer (merah, biru, kuning)

e. Menyebut nama sendiri dan orang orang yang dikenalnya.

6. 18 24 bulan a. Mempergunakan alat permainan dengan cara semaunya.

b. Meniru gambar wajah orang.

(11)

commit to user

c. Memahami konsep angka dan hitungan sederhana.

d. Memahami prinsip milik orang lain.

7. 2 3 tahun a. Menyebut bagian-bagian suatu gambar (wajah orang, mobil, binatang dan lainnya)

b. Memahami prinsip ukuran (besar-kecil, panjang- pendek).

c. Mengenal kembali bagian-bagian tubuh (lima bagian)

d. Mengenal tiga macam bentuk geometri, seperti lingkaran, segitiga dan persegi empat.

8. 3 4 tahun a. Menempatkan benda dalam urutan berdasarkan ukuran (paling kecil-paling besar).

b. Menemukan / mengenali bagian yang hilang dari suatu pola gambar (wajah orang, mobil dan lainnya) c. Mengekspresikan diri.

d. Memahami perbedaan antara dua hal dari jenis yang sama (misalnya perbedaan antara buah rambutan dan pisang, perbedaan antara ayam dan kucing).

9. 4 5 tahun a. Mengklasifikasikan benda berdasarkan bentuk, warna, atau ukuran.

b. Menyebutkan beberapa angka dan huruf.

c. Menggunakan benda-benda sebagai permainan simbolik (misalnya kursi sebagai mobil).

d. Mengenal sebab-akibat tentang alam sekitar.

10. 5 6 tahun a. Mengklasifikasikan benda berdasarkan fungsinya (misalnya pensil untuk menulis).

b. Menunjukkan kegiatan yang bersifat eksploratif dan menyelidik.

c. Mencari alternatif dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam suatu aktivitas.

d. Menyusun perencanaan kegiatan yang akan dilakukan bersama teman-teman.

e. Menunjukkan inisiatif dan kreativitas dalam memilih tema permainan.

Sumber : Ali Nugraha, dkk (2011) dalam Wiyani (2014)

Faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif antara lain : sosial ekonomi keluarga, pendidikan orangtua, pola interaksi ibu. Faktor sosial ekonomi merupakan masalah yang sering ditemukan, kemiskinan berhubungan dengan masalah kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Wong menyatakan bahwa keluarga dengan pendapatan rendah tidak menguntungkan bagi perkembangan anak. Pendidikan orangtua merupakan faktor prediktor yang kuat terhadap skor tes akademik dan kognitif anak (Klebanov and Gunn, 2006). Pola interaksi ibu digambarkan juga berkontribusi banyak dengan perkembangan

(12)

commit to user

kognitif anak. Anak yang mendapatkan lebih banyak kasih sayang ibu selama masa kehamilan akan mempunyai kemampuan intelegensi yang lebih baik (Bulut, 2013).

Menurut Wiyani (2014) mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak, baik faktor internal maupun faktor eksternal.

a. Faktor Internal 1) Faktor hereditas

Manusia yang lahir sudah dibekali potensi yang tidak bisa dipengaruhi oleh lingkungan. Faktor bawaan yang akan menentukan perkembangannya kelak.

2) Faktor kematangan

Organ manusia sudah mencapai tahap mampu menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik.

3) Faktor minat dan bakat

Seseorang yang memiliki bakat tertentu akan semakin mudah dan cepat mempelajarinya. Bakat merupakan sesuatu yang inherent dalam diri seseorang dan lebih ke arah potensial daripada kemampuan / kapasitas (Anastasi, 1999).

b. Faktor Eksternal 1) Faktor lingkungan

Taraf intelegensi manusia dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan yang didapat dari lingkungan sekitar.

2) Faktor pembentukan

Segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi kognitifnya.

Terdapat dua faktor pembentukan yaitu pembentukan sengaja (sekolah formal) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar) (Susanto, 2011).

3) Faktor kebebasan

Keleluasaan manusia untuk berpikir tanpa ada tekanan dan paksaan. Ini berarti anak sebaiknya dapat memilih cara tertentu untuk menyelesaikan dan memilih masalah sesuai kebutuhannya.

(13)

commit to user

7. Anak Usia Prasekolah

Anak usia prasekolah mempunyai rentang umur 60 - 72 bulan. Pada masa prasekolah, terjadi perkembangan dengan aktivitas jasmani yang bertambah dan meningkatnya ketrampilan dan proses berpikir (Depkes, 2005). Masa prasekolah merupakan periode penting ketika kognitif anak mulai terlihat adanya perkembangan dan waktu yang tepat untuk anak mempersiapkan diri memasuki sekolah (Hidayat, 2005). Dalam fase ini anak mulai memiliki kesadaran mengenai jenis kelamin, belajar buang air, dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (Yusuf, 2014).

Anak usia pra sekolah lebih dikenal dengan anak usia dini. Dalam perkembangan anak usia dini berhubungan dengan perubahan psikis dan bersifat kualitatif. Lima aspek perkembangan anak usia dini antara lain kognitif, emosi, sosial, bahasa, moral dan agama (Wiyani, 2014).

Anak mulai dikenalkan lingkungan diluar rumah dan mulai menghabiskan waktu diluar rumah bersama temannya. Selain itu pada masa ini, anak dipersiapkan untuk sekolah. Panca indera dan sistem reseptor penerima rangsangan serta proses memori harus sudah siap sehingga anak mampu belajar dengan baik.

Orangtua dan keluarga diharapkan dapat memantau pertumbuhan dan perkembangan anaknya, agar dapat dilakukan intervensi dini bila anak mengalami kelainan atau gangguan (Depkes, 2005).

8. Hubungan Antar Variabel

Perkembangan anak bisa dipengaruhi oleh asupan nutrisi yang diperoleh anak. Masalah kurang gizi berhubungan dengan perubahan struktur dan fungsi otak yang kemudian dapat menyebabkan gangguan pada fungsi kognitif (Levitsky & Strupp, 1995). Kurang gizi di masyarakat tidak hanya mempengaruhi perkembangan anak secara normal tetapi juga akan berdampak terhadap kesehatan ibu. Kondisi gizi yang buruk dapat mempengaruhi perkembangan otak anak sebelum dan sesudah kelahiran (Chowdhury & Gosh, 2009). Dalam penelitian yang dilakukan Tarleton tahun 2006 di Bangladesh menyatakan bahwa stunting dan gizi kurang secara signifikan berhubungan dengan skor RCPM serta perkembangan kognitif pada anak.

(14)

commit to user

Peran interaksi sosial dalam perkembangan anak telah memberikan catatan penting dalam perkembangan psikologi sebagai proses sosial (Psaltis & Duvven, 2006). Perkembangan kemampuan sosial anak dimulai sejak periode usia pra sekolah hingga akhir sekolah yang ditandai dengan meluasnya pergaulan dan lingkungan sosial anak yang mulai melepaskan diri dengan keluarga (Monks dkk, 2003).

Ibu merupakan orang terdekat bagi anak-anaknya. Peran ibu dalam memberikan pengaruh terhadap tumbuh kembang anak sangatlah besar. Ibu bertanggung jawab penuh untuk mengasuh anak, pengaruh hubungan antara ibu dan anak perlu mendapatkan perhatian dalam pengawasan terhadap perkembangan anak (Tirtarahardja & Sula, 2000). Pola asuh mempunyai kontribusi terhadap perkembangan anak. Perbedaan pola asuh juga mempunyai hasil perkembangan yang berbeda pada tiap-tiap anak. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dwi Anita tahun 2009, adanya perbedaan perkembangan pada anak usia 48-60 bulan antara kelompok yang diasuh dengan pola asuh otoriter, demokrasi dan liberal. Pola asuh yang dinilai baik adalah pola asuh demokrasi. Gaya pengasuhan anak perlu diterapkan secara fleksibel disesuaikan dengan tahap perkembangan anak, karakter anak dan situasi yang sedang dihadapi (Lestari, 2012).

Pendidikan ibu sangat berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh ibu (Khomsan, 2002). Ibu yang berpendidikan lebih tinggi berupaya untuk mencari informasi guna meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki, terutama dalam pengasuhan anak (Hastuti, dkk, 2010). Orangtua dengan pendidikan tinggi cenderung mudah untuk menangkap informasi serta mengaplikasikannya ke dalam perubahan perilaku. Tingkat pendidikan orangtua yang rendah merupakan faktor resiko terjadinya keterlambatan perkembangan pada anak. Pendidikan yang rendah diduga berhubungan linier dengan kurangnya pengetahuan dan ketrampilan ibu dalam memberikan stimulasi kepada anak (Ariani dan Yosoprawoto, 2012).

(15)

commit to user

B. Penelitian Relevan

Penelitian ini mempunyai beberapa kesamaan dengan penelitian lainnya, hanya berbeda dalam hal waktu penelitian, tempat, jenis penelitian, metode dan responden. Berikut beberapa judul penelitian yang hampir sama dengan judul penelitian ini antara lain :

1. Perignon, et al (2014), melakukan penelitian yang berjudul Stunting, Poor Iron Status and Parasite Infection Are Significant Risk Factors for Lower Cognitive Performance in Cambodian School-Aged Children Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai status antropometri dan gizi mikro pada anak anak sekolah di Kamboja dan hubungannya dengan tingkat kognitif anak. Desain penelitian menggunakan randomized controlled trial, stratificaty sampling, sampel adalah anak sekolah umur 6-16 tahun berjumlah 2443. Hasil penelitian ini adalah tingkat kognitif anak anak sekolah di Kamboja sangat multifaktorial, berhubungan signifikan dengan status gizi dan infeksi parasit.

2. Hastuti

Psikososial, dan Perkembangan Kognitif Anak Usia 2-5 Tahun pada Keluarga

adalah untuk menganalisis hubungan nilai anak dengan stimulasi psikososial pada keluarga rawan pangan, menganalisis hubungan stimulasi psikososial dengan perkembangan kognitif anak pada keluarga rawan pangan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak pada keluarga rawan pangan. Metode penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif , pemilihan sampel dengan purposive sampling . Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang nyata dan positif antara nilai anak dengan stimulasi psikososial anak. Selain itu terdapat hubungan nyata dan positif antara stimulasi psikososial dan perkembangan kognitif anak. Terdapat pengaruh yang signifikan antara lama pendidikan ibu, lama pendidikan prasekolah anak, pengeluaran per kapita per bulan dan stimulasi anak.

3.

Status Gizi dan Kemampuan Kognitif Anak Usia Sekolah di Lingkungan Pesantren dan Keluarga Serta Faktor-

penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pengasuhan anak di lingkungan

(16)

commit to user

pesantran dan keluarga, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengasuhan anak di lingkungan pesantren dan keluarga, mengetahui faktor- faktor yang berpengaruh terhadap status gizi dan kemampuan kognitif anak usia sekolah di lingkungan pesantren dan keluarga. Penelitian ini adalah kuantitatif dengan rancangan analitik observasional, pemilihan sampel dengan cara purposive sampling sejumlah 62 anak berumur 10-11 tahun. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pola pengasuhan keluarga lebih baik daripada pola pengasuhan di pesantren, faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah lingkungan pengasuhan, faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemampuan kognitif adalah interaksi pengasuh anak.

4. Park, et al (2011), melakukan penelitian yang berjudul

Nutritional Status and Longitudinal Recovery of Motor and Cognitive

Mi . Penelitian ini menunjukkan

bahwa baik malnutrisi akut maupun kronis secara signifikan mempengaruhi status perkembangan serta tingkat perbaikan skor perkembangan kognitif dan psikomotor.

5. Khomsan, et al (2013), melakukan penelitian yang berjudul

Development and Psychosocial Stimulation of Preschool Children in Poor Farmer and Non- . Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak pra sekolah. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keluarga petani, 28,6% anak gizi kurang, 12,1%

anak kurus, dan 30,7% anak pendek, sedangkan pada keluarga non petani 31,3%

anak gizi kurang, 15,3% anak kurus dan 35,5% anak pendek. Prosentase anak yang mencapai perkembangan kognitif pada kategori tinggi pada keluarga petani sebesar 8% dan pada keluarga non petani sebesar 17,4%. Meskipun demikian, lebih dari setengah anak di kedua kelompok mempunyai skor perkembangan kognitif yang rendan (<60%). Tes korelasi menunjukkan bahwa lamanya pendidikan ibu, stimulasi psikososial, partisipasi dalam pendidikan usia dini dan status gizi mempunyai hubungan yang signifikan dan positif terhadap perkembangan kognitif anak. Ini menunjukkan bahwa pendidikan ibu, stimulasi

(17)

commit to user

psikososial dan partisipasi dalam pendidikan usia dini serta status gizi yang lebih baik akan meningkatkan perkembangan kognitif anak.

6. Marques L, et al Determinant of

Early Cognitive Development : Hierarchical Analysis of A Longitudinal Study.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan antara status antropometri, kondisi sosial ekonomi, dan kualitas lingkungan rumah terhadap perkembangan kognitif anak usia 20 sampai 42 bulan. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa perkembangan kognitif awal ditentukan banyak faktor dan dipengaruhi oleh lingkungan sosial anak, baik faktor terdekat maupun terjauh. Diantara aspek dalam faktor terdekat adalah keberadaan materi permainan (disesuaikan umur anak) dan adanya pendidikan usia dini adalah prediktor paling penting dalam perkembangan kognitif anak.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain terletak pada variable bebas yaitu status gizi dengan indikator yang digunakan adalah BB/U pada kategori gizi baik dan gizi buruk, serta adanya penambahan variabel interaksi sosial dan pola asuh ibu. Penelitian ini menggunakan sampel yang berbeda dari penelitian lain yaitu anak usia pra sekolah 60-72 bulan.

(18)

commit to user

C. Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Hubungan Status Gizi, Interaksi Sosial, Pola Asuh Anak, dan Pendidikan Ibu Dengan Perkembangan Kognitif Pada Anak

D. Hipotesis

Ha : Ada hubungan antara status gizi, interaksi sosial, pola asuh anak, dan pendidikan ibu dengan perkembangan kognitif pada anak.

Ho : Tidak ada hubungan antara status gizi, interaksi sosial, pola asuh anak, dan pendidikan ibu dengan perkembangan kognitif pada anak.

Status Gizi Interaksi Sosial

Pola Asuh Anak

Pendidikan Ibu

Perkembangan Kognitif

Anak

Faktor Internal Kognitif : a. Hereditas

b. Kematangan organ c. Minat dan bakat

Faktor Eksternal Kognitif : a. Lingkungan

b. Pembentukan diri c. Kebebasan

Gambar

Tabel 2.1    Matriks Kombinasi Dua Dimensi dalam Pengasuhan
Tabel 2.2 Tingkat Pencapaian Perkembangan Kognitif
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Karena nilai p&lt;0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima dengan hasil koefesien korelasi 0,514, sehingga dapat diambil kesimpulan terdapat hubungan stres lansia

Data yang diperoleh sebagai hasil penelitian adalah data kualitas melalui test sebelum dan sesudah perlakuan latihan Sirkuit (Circuit Training) Terhadap Daya Tahan Pada

Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang- undangan dan

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa kesadaran merek, sikap dan nilai yang dirasa mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap niat pembe- lian ulang produk mie instan

Ketika komponen-komponen dalam variabel budaya organisasi berdiri sendiri- sendiri dalam rangka untuk mencari hu- bungan dengan variabel kepuasan kerja, serta untuk

Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu (1) masih terdapat ketimpangan kontribusi ekonomi dan distribusi penduduk di KBI dan KTI, (2)

– Hanya bagian dari program yang dibutuhkan saja yang harus ada dalam memory untuk dieksekusi. – Logical address space dapat lebih besar daripada physical