• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB I"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENGANTAR

Forgiveness menjadi topik hangat bagi para peneliti dalam beberapa tahun terakhir ini. Para psikolog telah memberikan perhatian yang berkesinambungan di dalam melaksanakan forgiveness. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang penulis ingin melakukan penelitian mengenai forgiveness dan mengapa hal tersebut penting untuk diteliti.

1.1. LATAR BELAKANG

Lebih dari lima belas tahun terakhir ini, dunia psikologi memberikan perhatian pada perkembangan dalam kemampuan pemeliharaan hubungan interpersonal dan intrapersonal dengan adanya pelanggaran (transgression) (Exline & Zell, 2009). Dengan perkembangan yang menarik dalam psikologi positif, banyak penelitian yang terus dikembangkan berkenaan dengan mempertahankan kualitas hubungan dekat yang retak yang juga akan berdampak pada kesehatan mental dan kesehatan fisik. Forgiveness merupakan salah satu topik dalam psikologi positif yang meneliti dan melihat bagaimana komunitas hidup dapat mencapai kualitas yang lebih baik, bahagia, dapat terhubung kembali, dan menyenangkan.

(2)

perasaan kasih, kepedulian, tidak anarkis, berpikir baik sehingga dapat mencapai tujuan hidup bersama.

Hubungan dekat dengan orang lain seringkali merupakan suatu sumber penting bagi kebahagiaan dan kepuasan serta mendukung kesejahteraan (Karremans & van Lange, 2008). Hubungan dekat dapat juga menunjukkan situasi yang tidak terelakkan dimana setiap saat dan seterusnya setiap individu dapat merasa terluka dan tersinggung yang disebabkan pelanggaran (transgression). Bagaimana merespon transgression dan dapat memakluminya? Transgression (selanjutnya memakai kata transgresi) menyebabkan beberapa dampak, baik fisik maupun psikologis (McCullough, Root & Cohen, 2006). Individu cenderung menjadi depresif (Brown, 2003 dalam McCullough, Root & Cohen 2006), fobia, dan mengalami panic disorder (Kendler dkk., 2003, dalam McCullough, Root & Cohen, 2006), serta dapat mengganggu sistem saraf simpatis dan kardiovaskuler tubuh (Witvliet, Ludwig & Vander Laan, 2001). Setiap individu dalam menghadapi transgresi seharusnya meningkatkan kesehatan fisik dan psikologisnya.

(3)

subyektif meyakini bahwa hidupnya akan menjadi lebih baik, menyenangkan, hubungan komunikasi yang dipulihkan, dan kesehatan mental dan kesehatan fisik yang membaik serta memiliki kesejahteraan psikologi.

Semua agama besar di dunia mempertimbangkan forgiveness (selanjutnya memakai kata pemaafan) sebagai kualitas positif dalam mempertahankan keharmonisan tiga sudut antara diri sendiri, orang lain dan Tuhan sebagai yang diyakini individu (Enright dan Fitzgibbons, dalam Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006). Pemaafan juga dijelaskan sebagai proses psikologis yang rumit (Worthington, 2008) dan relasional tetapi penting dan berguna. Pemaafan, pada khususnya, dapat dimanfaatkan sebagai cara menguasai stress yang dapat mempunyai efek menguntungkan bagi kesehatan (Lawler-Row, Younger, Piferi & Jones, 2006).

(4)

Individu dengan level pemaafan yang rendah memiliki resiko yang besar dalam mengembangkan masalah-masalah psikologi seperti depresi, juga kesehatan terganggu. Sebaliknya, mereka yang memiliki level pemaafan tinggi, akan mampu menjalin hubungan yang baik dengan individu lain. Hill, Hasty dan Moore (2011) menyatakan bahwa setiap individu menghadapi kebutuhan dimaafkan dan memaafkan. Pemaafan dapat menjadi alat penting untuk pemeliharaan hubungan interpersonal dan intrapersonal (Exline & Zell, 2009).

Pemaafan menjadi inti pengembangan manusia yang sehat dan mungkin salah satu hal yang paling penting dalam proses pemulihan hubungan interpersonal setelah konflik (Hill dalam Toussaint & Webb, 2005). Selama satu dekade (McCullough, Root & Cohen, 2006 serta McCullough, Worthington & Rachal, 1997) telah mengkonseptualisasikan pemaafan sebagai proses mengurangi motivasi yang negatif yakni menghindar (avoidance) dan balas dendam (revenge) menuju motivasi positif. Dalam beberapa hasil penelitian, para ahli menyatakan bahwa pemaafan dapat memulihkan hubungan interpersonal, dapat meningkatkan ketahanan hubungan pada pasangan suami istri, hubungan antar anggota keluarga, pasangan kencan / berpacaran, persahabatan, dan yang paling signifikan dapat untuk memperbaiki dan membentuk kembali hubungan yang efektif dengan anggota keluarga dan dengan teman sekerja (Harvey & Brenner, 1997, dalam Jose & Alvon, 2007).

(5)

pendidikan bagi calon pendeta yang datang dari berbagai pulau di Indonesia di antaranya Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Indonesia Timur yaitu kepulauan Maluku dan kepulauan Nusa Tenggara Timur, Bali dan kepulauan lainnya atau dapat dikatakan dari Sabang sampai Merauke.

Mahasiswa di Indonesia rata-rata berada pada rentang usia 18 sampai 24 tahun. STTS yang bernaung pada organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri dalam mengikuti pendidikan menjadi pendeta. Batas usia tidak menjadi syarat dalam belajar dan untuk mewujudkan tugas dan panggilan dalam misioner. Tugas akademik ini mewujudkan para calon pendeta yang terpanggil bukan berada pada batasan usia tertentu tetapi untuk belajar sepanjang hayat (long life learning). Sesuai dengan data pendaftaran mahasiswa STTS umumnya berada pada usia 16 sampai 60 tahun. Bagi yang telah mempunyai gereja lokal dan berkeluarga, intensitas kehadiran mengikuti kegiatan belajar per-tahun akademik tidak berada pada kewajiban menyelesaikan pendidikan seperti selayaknya STT lain atau sekolah sekuler lainnya. Ini merupakan pilihan utama dalam tugas dan tanggung jawab dalam sidang jemaat sebagai gereja lokal.

(6)

mencoba menanamkan nilai-nilai yang sesuai dan yang dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya yang juga berbeda dengan budaya daerahnya. Sebagai generasi yang masih berkembang, merupakan suatu hal yang tepat apabila dilakukan penelitian mengenai bagaimana kemampuan individu dalam pemaafan. Sesuai penelusuran peneliti, kemungkinan penelitian sejenis ini terhadap mahasiswa teologi masih minim.

STT Salatiga tidak menjadikan pemaafan sebagai kompetensi yang harus dicapai untuk dinyatakan lulus dari pendidikan tersebut. Pemaafan pada lembaga pendidikan ini dari waktu ke waktu tetap berlangsung seiring dengan berlangsungnya sistem belajar mengajar serta hubungan komunikasi. Terlibatnya siswa dalam segala aspek kegiatan formal maupun non formal dapat memungkinkan terbukanya kondisi konflik. Situasi keterlibatan kebersamaan antar mahasiswa dari waktu ke waktu dapat memunculkan perasaan enak ataupun tidak, yang bisa juga menjadi pemicu konflik (Taylor, 2009). Pada saat interaksi lebih sering terjadi dan mencakup lebih banyak aktivitas dan isu, maka ada lebih banyak peluang terjadinya perbedaan pendapat.

(7)

Pentingnya memperbaiki kerenggangan hubungan diantara individu dapat terwujud dalam proses psikologis dan relasional. Hargrave dan Sells (1997, dalam Hill, 2010) serta McCullough, Pargament, dan Thoresen (2000, dalam Hill, 2010) menemukan bukti keterkaitan antara pemaafan dengan rasa marah, gelisah, depresi, pelecehan, masalah keluarga, gangguan kepribadian, rasa bersalah, tekanan seksual, penyalahgunaan narkoba, hubungan pernikahan yang retak, dan kesehatan mental. Penulis mengadakan penelusuran bahwa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diantaranya kepada sukarelawan partisipan (Wade & Worthington, Jr., 2003), mahasiswa psikologi (Rangganadhan & Todorov, 2010), psikolog dan ilmuwan agama (Frise & McMinn, 2010), mahasiswa (Konstam, Holmes & Levine, 2003; Lawler, Younger, Piferi, Billington, Jobe, Edmondson & Jones, 2003), pasangan dan keluarga (Hill, 2010), dan pasien rawat jalan (Toussaint & Friedman, 2008). Semua penelitian-penelitian ini dilakukan dengan asumsi bahwa orang dewasa atau orang dengan kondisi tertentu memiliki alasan bisa melakukan pemaafan. Jika individu memiliki level pemaafan yang tinggi, maka mereka dapat memproduksi efek yang menguntungkan secara langsung dan secara tidak langsung serta mengembalikan kedekatan hubungan.

(8)

Konstam, Holmes & Levine, 2003; McCullough, Worthington & Rachal, 1997), religiusitas (Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006; McCullough & Worthington 1999; Jose & Alfons, 2007; Fox & Thomas, 2008), peran gaya kasih sayang (Lawler-Row, Younger, Piferi & Jones, 2006). Dari faktor-faktor tersebut, penulis memilih empati dan religiusitas sebagai dua variabel yang akan menjadi prediktor bagi pemaafan mahasiswa teologi, karena sejauh penelusuran penulis, empati dan religiusitas merupakan dua variabel yang masih sedikit diteliti dalam konteks pemaafan mahasiswa teologi Indonesia, dan mahasiswa teologi Salatiga khususnya.

(9)

kepentingan lain (Goleman dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (misalnya, McCullough, Worthington & Rachal, 1997; Macaskill, Maltby & Day, 2002; Toussaint & Webb 2005), empati menjadi salah satu variabel yang terbukti meningkatkan kemungkinan melakukan pemaafan. Penelitian lain menyatakan bahwa empati memfasilitasi proses pengampunan (Enright & Human Development Study Group, 1996, dalam Konstam, Holmes & Levine, 2003; McCullough, Worthington & Rachal, 1997), empati biasanya menjadi topik dalam konseling yang didisain untuk meningkatkan pemaafan (Lawler-Row, Younger, Piferi & Jones, 2006). Namun dari beberapa penelitian yang dilakukan mengenai empati, sangat sedikit studi yang menggambarkan mahasiswa teologi, sehingga penelitian yang dilakukan sebelumnya belum tentu bisa digeneralisasi kepada mahasiswa teologi Salatiga.

(10)

dan asrama berada dalam satu area. Mahasiswa mempergunakan waktu belajar dan banyak berlatih mempraktekkan nilai-nilai agama secara individual maupun berkelompok termasuk dalam kelompok kerja. Kegiatan pada lima hari belajar dipenuhi dengan jadwal kegiatan seperti: kegiatan dari pagi subuh diwajibkan mengikuti doa pagi bersama di gedung aula. Sementara itu, jam belajar dari jam 07.00-12.40, bila perlu ditambah dengan kegiatan belajar sore. Setelah makan siang bersama, kegiatan doa bersama dilaksanakan sampai jam 14.00. Malam hari, jam 20.00-21.00 doa bersama, sementara disisa jam lainnya mahasiswa bebas mempergunakan waktu untuk belajar pribadi atau persiapan tugas kelompok untuk diutus ke gereja-gereja. Ini menunjukkan sekelumit kegiatan mahasiswa yang dipadati dengan jadual yang didalamnya juga mereka berusaha memunculkan sikap kerohanian yang baik (religiusitas).

(11)

Santos, dan Al-Mabuk (dalam Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006), menyatakan bahwa orang yang religius ditemukan lebih berkemungkinan dapat melakukan pemaafan. Hasil penelitian Worthington, Hunter, Sharp, Hook, van Tongeren, Davis, Miller, Gingrich, Sandage, Lao, Bubod & Monforte-Milton, (2010) kepada mahasiswa yang berjuang untuk melakukan pemaafan di Filipina, dilaporkan bahwa pemaafan dapat diberikan kepada transgresor. Disamping itu, ditemukan hubungan sedikit positif (lemah) antara religiusitas dan kebahagiaan pada tiga kelompok umur: remaja, dewasa muda, dan dewasa (Bergan & McConatha, 2000 dalam Holdcroft, 2006).

(12)

yang membuat penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya di mana subjek dalam penelitian-penelitian sebelumnya pada umumnya adalah siswa/mahasiswa yang bersekolah di sekolah umum (seperti SD, SMP, SMA, Universitas) yang tidak tinggal dalam lingkungan asrama. Dalam hal ini, lembaga pendidikan diharapkan untuk lebih menyiapkan anak didik dapat menyelesaikan konflik dengan tepat dan benar dengan pemaafan guna menghadapi tugas di gereja lokal, juga dikalangan organisasi gereja dan masyarakat. Hasil penelitian Worthington, dkk., (2010) menyatakan bahwa pemaafan dapat diajarkan dengan lebih efektif kepada orang dewasa dibandingkan kepada remaja. Dengan dasar inilah maka masih dibutuhkan penelitian pada pengembangan forgiveness (pemaafan).

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Adakah empati dan religiusitas secara simultan merupakan prediktor terhadap pemaafan pada mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga ?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat masing-masing variabel dan bagaimana empati dan religiusitas berfungsi sebagai prediktor bagi pemaafan pada mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

(13)

1. Manfaat bagi disiplin psikologi.

Memberikan tambahan wacana dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pemaafan, sehingga dapat dijadikan konsep teoritis dalam menelaah permasalahan yang berkaitan dengan empati dan religiusitas sebagai prediktor pemaafan. Dan bagi penelitian yang berikutnya dapat memberikan wacana untuk penelitian sejenis.

2. Manfaat Praktis.

a. Bagi lembaga pendidikan sejenis: memberikan kontribusi positif bagi lembaga-lembaga pendidikan teologi di manapun, secara khusus lembaga pendidikan STT Salatiga, terkait para mahasiswa mengenai empati dan religiusitas terhadap pemaafan baik sekarang maupun yang akan datang.

b. Bagi STTS: memberikan kontribusi mengenai pengaruh empati dan religiusitas terhadap pemaafan mahasiswa. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi berguna untuk pemulihan hubungan retak berkonflik.

c. Kepada para mahasiswa: memberikan informasi bahwa dalam pribadi mahasiswa terdapat pengaruh empati dan religiusitas terhadap pemaafan, sehingga dapat dipergunakan dalam melaksanakan tugas kependetaan sebagai misioner.

d. Bagi gereja dalam mewujudkan upaya pastoral care yang memberdayakan mahasiswa teologi dalam membentuk relasi di dalam dan di luar umat juga dengan masyarakat.

e. Bagi peneliti: menambah wawasan mengenai ilmu psikologi mahasiswa STTS dan faktor yang dapat dijadikan prediktor pemaafan mahasiswa sehingga dapat menambah pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan pemaafan.

(14)

tingkat religiusitas yang tinggi akan memberikan dukungan terhadap pemaafan. Kesadaran memiliki empati dan religiusitas mahasiswa akan mengarahkan individu pada pemaafan.

Referensi

Dokumen terkait

Perhitungan indeks antimikrobial metode Kirby Bauer pada edible film dengan penambahan tepung tapioka, kitosan, gliserin dengan variasi aquadest dan ekstrak kulit

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Berdasarkan angka 1 s.d 7 diatas, Pokja Jasa Konsultansi dan Jasa Lainnya pada ULP Kabupaten Bengkulu Utara mengumumkan pemenang seleksi umum paket pekerjaan

− Prototipe sistem SDR skala lab dengan frekuensi maksimal RF 50 MHz dengan daya RF kurang dari 1 mW menggunakan daughterboard Basic Tx-Rx dapat dikembangkan untuk sebuah

PENINGKATAN KEMAMPUAN CREATIVE PROBLEM SOLVING D AN D ISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP D ENGAN PEND EKATAN CHALLENGE BASED LEARNING. Universitas Pendidikan Indonesia |

PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA PADA PEMBELAJARAN IPA POKOK BAHASAN GAYA. Universitas Pendidikan Indonesia |

Pendugaan produksi garam dihitung dari data curah hujan, nino 34, dipole mode dan produksi garam, untuk data training dapat dilihat dalam Tabel 2, Metode ANFIS membutuhkan