xiii
DAFTAR ISI
Daftar Isi Halaman
COVER DALAM ... i
PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
ABSTRAK ... v
PENGANTAR ... vi
PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH ... ix
PERSEMBAHAN ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 10
C. Fokus Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 14
1. Fokus Penelitian ... 14
2. Pertanyaan Penelitian ... 16
D. Tujuan Penelitian ... 18
E. Keluaran dan Kegunaan Penelitian ... 18
F. Kerangka Pikir ... 19
G. Asumsi Penelitian ... 23
H. Definisi Operasional ... 24
BAB II MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF ... 27
A. Kebijakan Nasional Bidang Pendidikan ... 27
1. Pemerataan Akses Pendidikan ... 34
2. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing ... 36
xiv
B. Filosofi Pendidikan Inklusif ... 43
C. Manajemen Pendidikan Inklusif ... 43
1. Siswa (Kesiswaan) ... 46
2. Kurikulum... 47
3. Proses Pembelajaran ... 48
4. Proses Penilaian ... 50
5. Pendidik (Guru) dan Tenaga Kependidikan ... 50
6. Sarana dan Prasarana ... 51
7. Pembiayaan ... 52
8. Sumber Daya Masyarakat (Lingkungan) ... 53
D. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ... 54
F. Pendidikan Inklusif dan Perkembangannya di Indonesia ... 82
G. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan ... 90
1. Konsep Dasar Strategi ... 93
2. Perumusan Strategi... 98
H. Studi yang Relevan ... 99
1. Studi tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif . 100 2. Studi Tentang Peserta Didik Dalam Setting Inklusif ... 102
3. Studi Tentang Peran Orang Tua Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 103
xv
BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 123
A. Pemahaman Masyarakat Terhadap Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 124
1. Persepsi Masyarakat Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif... 126
2. Implikasi Sosial Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif . ... 132
B. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif .... 141
1. Kebijakan yang mendasari penyelenggaraan pendidikan inklusif ... 145
2. Implementasi pendidikan inklusif di tingkat pusat (makro) ... 161
3. Implementasi pendidikan inklusif di tingkat propinsi dan kabupaten kota (meso) ... 167
4. Implementasi pendidikan inklusif di tingkat satuan pendidikan (mikro) ... 173
5. Kendala-kendala yang menghambat implementasi pendidikan inklusif ... 182
6. Penyediaan, pembinaan, dan pemberdayaan pendidik di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ... 192
7. Ketersediaan sarana dan prasarana sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ... 208
8. Pembiayaan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ... 224
C. Proses Pembelajaran di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif ... 235
1. Desain kurikulum bagi ABK di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ... 236
2. Pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. 246
3. Ketercapaian kurikulum (standar isi) di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ... 261
4. Sistem penilaian dan pelaporan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ... 265
D. Sistem Dukungan Implementasi Pendidikan Inklusif... 277
1. Sistem dukungan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ... 278
2. Peran orang tua dan masyarakat dalam implementasi pendidikan inklusif ... 292
E. Pembahasan ... 313
1. Pemahaman Masyarakat Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 316
2. Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif ... 330
3. Pembelajaran di sekolah inklusif ... 356
4. Sistem dukungan dalam implementasi pendidikan inklusif ... 372
xvi
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ... 386
A. Kesimpulan ... 386
B. Implikasi ... 391
C. Rekomendasi ... 394
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Kenaikan biaya penyelenggaraan pendidikan inklusif di Inggris ... 53
2.2 Jenis kekhususan beserta deskripsinya ... 65
2.3 Pengelompokkan kebutuhan menurut DfES ... 66
2.4 Hasil studi tentang sistem penyelenggaraan pendidikan inklusif di berbagai negara ... 100
2.5 Hasil studi tentang peserta didik dalam setting inklusif ... 102
2.6 Hasil studi tentang persepsi orang tua terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif ... 104
2.7 Hasil studi tentang persepsi guru terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif ... 105
4.1 Jumlah dan jenjang SPPI di setiap propinsi tahun 2005 ... 162
4.2 Jenis-jenis kebutuhan khusus di sekolah inklusi ... 164
4.3 Ketersediaan guru SD secara nasional tahun 2007 ... 194
4.4 Bana BOS dan BKM tahun 2006 ... 228
4.5 Alokasi DAK tahun 2005 ... 231
4.6 Prinsip-prinsip umum pembelajaran di kelas inklusif ... 249
4.7 Prinsip-prinsip khusus pembelajaran di kelas inklusif ... 250
4. 8 Contoh perhitungan ketuntasan hasil belajar siswa pada satu kompetensi dasar ... 264
4.9 Contoh model pengembangan kurikulum bagi ABK di sekolah inklusif ... 266
4.10 Jenis kurikulum, sistim penilaian dan implikasi sistem kenaikan kelas di sekolah inklusif ... 271
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Kerangka fikir penelitian ... 21
2.1 Konsep dasar sistem pendidikan inklusif ... 45
2.2 Spektrum karakteristik anak ... 55
2.3 Perubahan paradigma pendidikan bagi ABK ... 70
2.4 Masalah sistem pendidikan terpadu ... 79
2.5 Masalah sistem pendidikan inklusif ... 80
2.6 Kerangka pendidikan inklusif ... 81
2.7 Ilustrasi konsep strategi ... 95
2.8 Kerangka strategi ... 96
4.1 Sistem penyelenggaraan pendidikan inklusif ... 128
4.2 Sumber-sumber pembiayaan sekolah ... 227
4.3 Alur pembiayaan pendidikan di sekolah ... 229
4.4 Peningkatan jumlah anggaran pada Direktorat Pembinaan SLB . 232 4.5 Sistem dukungan penyelenggaraan pendidikan inklusif ... 280
4.6 Sistem dukungan penyelenggaraan pendidikan inklusif ... 296
4.7 Sistem dukungan internal penyelenggaraan pendidikan inklusif .... 303
4.8 Sistem dukungan eksternal penyelenggaraan pendidikan inklusif .. 309
4.9 Sistem pembinaan sekolah inklusif ... 310
4.10 Sistem pembinaan sekolah inklusif mandiri ... 311
4.11 Peran SENCo di sekolah ... 350
4.12 Struktur isi bahan ajar (model Conway) ... 366
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Kisi-kisi penelitian ... 413
2. Kisi-kisi wawancara ... 424
3. Pedoman wawancara ... 433
4. Catatan hasil observasi ... 443
5. Catatan studi pustaka ... 450
6. Catatan hasil telaah dokumen ... 456
7. Pengolahan data hasil penelitian ... 459
8. SK Penetapan Tim Pembimbing ... 513
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal profesional dan berdaya saing tinggi. Pendidikan juga dipandang sebagai
investasi penting dalam pembangunan nilai-nilai dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.. Di samping itu, pendidikan juga diyakini merupakan cara yang paling efektif dalam proses nation and character building, yang sangat menentukan dalam perjalanan hidup berbangsa dan bernegara.
Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberikan
kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan suatu bangsa. Berdasarkan hal tersebut, pembangunan pendidikan mencakup berbagai dimensi yang luas dan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistematis dengan sistem terbuka dan multimakna.
Pendidikan merupakan pengalaman belajar seseorang sepanjang hidup orang tersebut yang dilakukan secara sadar untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan atau keterampilan tertentu. Artinya
2
Undang Dasar tahun 19945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (Pasal 31 ayat 1, UUD 1945). Hal ini sejalan dengan pernyataan Unesco tentang pendidikan untuk semua (education for
all) pada tahun 1990, mengisyaratkan bahwa setiap warga di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menunjukkan
perhatian yang besar terhadap pendidikan. Secara yuridis tercermin dalam Pasal 31 ayat (1), Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, artinya setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan.
Upaya untuk menjabarkan amanat Undang-Undang Dasar tahun 1945, Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, dan dalam rangka mencapai
sasaran pembangunan pendidikan nasional, Pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004 - 2009 RPJMN tersebut mencakup 3 (tiga) misi pembangunan, yaitu (1)
Mewujudkan negara Indonesia yang aman dan damai; (2) Mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan demokratis; dan (3) Mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera. Salah satu upaya untuk mendukung tercapainya misi pembangunan untuk mewujudkan bangsa indonesia yang sejahtera
adalah dengan membangun sektor pendidikan melalui peningkatan program-program pendidikan.
3
yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari program-program pendidikan yang terdapat pada RPJMN tersebut. Perencanaan pembangunan
pendidikan, selain diarahkan untuk mencapai sasaran dan target pembangunan nasional juga sudah mencakup sasaran dan target yang menjadi komitmen internasional dalam berbagai konvensi internasional dalam pemenuhan hak-hak anak tanpa diskriminasi.
Berdasarkan konvensi internasional tentang Pendidikan Untuk Semua menegaskan bahwa Pendidikan Dasar wajib diselenggarakan oleh Pemerintah. Oleh karena itu menjadi kewajiban setiap pemerintah di berbagai negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dengan tanpa
membebani warga negara dalam penyelenggaraannya. Meskipun disadari bahwa tidak atau belum semua negara dapat memenuhi konvesi tersebut.
Kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menyalurkan biaya operasional sekolah (BOS) kepada satuan pendidikan dasar satuan pendidikan menengah pertama adalah upaya untuk memenuhi sebagian dari amanat Undang-Undang Dasar tahun 1945, sekaligus pemenuhan atas konvensi
internasional di atas.
Seiring dengan pernyataan di atas, pada tahun 2000 di Dakar, masyarakat pendidikan yang mewakili masyarakat dunia menyerukan kepada seluruh pemerintah di seluruh dunia untuk lebih memperhatikan pendidikan
bagi seluruh warga negaranya. Seruan itu dikenal dengan Kerangka Kerja Aksi Dakar (The Dakar Framework for Action) berisi suatu pernyataan yang
4
pemerintah berbasis hak asasi untuk mencapai tujuan Pendidikan Untuk Semua (Education for All). Hal ini didukung juga oleh Unesco yang secara
aktif mendukung pandangan bahwa pendekatan berbasis hak asasi dalam pembangunan pendidikan merupakan prasyarat untuk mewujudkan Pendidikan Untuk Semua (PUS).
Sebagai salah satu negara penandatangan konvensi internasional
tentang PUS dan menyepakati deklarasi kerangka kerja aksi Dakar, Indonesia telah menyusun rencana aksi nasional pendidikan untuk semua (RAN-PUS), dalam rangka mencapai sasaran dan target PUS pada tahun 2015. Dalam RAN-PUS tersebut ditetapkan bahwa enam target yang harus
dicapai pada tahun 2015, yaitu (1) pendidikan anak usia dini, (2) pendidikan dasar, (3) pendidikan kecakapan hidup (life skills), (4) keaksaraan, (5)
kesetaraan gender, dan (6) peningkatan mutu pendidikan. Upaya pencapaian PUS melalui enam target tersebut sejalan dengan upaya untuk meningkatkan angka partisipasi murni pendidikan pada jenjang usia dini dan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs).
Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003 – 2009 menunjukkan adanya perbaikan Angka Partisipasi Murni (APM) jenjang SD/MI pada usia 7–12 pada tahun 2003 dari 92,55 menjadi 93,54 pada akhir tahun tahun 2006. Pencapaian APM SD/MI setiap tahun terus meningkat.
Pada tahun 2008 APM SD/MI mencapai 93,99 dan pada akhir tahun 2009 mencapai angka 94,37. Dari data tersebut tampak bahwa setiap tahun telah
5
sama terjadi pada APM SMP/MTs, pada tahun 2003 APM SMP/MTs menunjukkan angka 63,49 dan pada akhir tahun 2009 APM SMP/MTs
mencapai 67,43. Berdasarkan data-data tersebut nampaknya kita telah berhasil mencapai target pencapaian kinerja dalam bidang pendidikan.
Keberhasilan pencapaian kinerja dalam bidang pendidikan tidak terlepas dari upaya Pemerintah dalam mengurangi berbagai hambatan yang
dihadapi calon peserta didik dari keluarga miskin dan kurang beruntung, yaitu hambatan dalam pembiayaan pendidikan dan persekolahan. Upaya tersebut dilakukan dengan pemberian subsidi Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang dimulai pada tahun 2005. Melalui BOS diharapkan dapat membebaskan
sebagian besar biaya sekolah yang selama ini ditanggung oleh siswa. BOS dikembangkan terus sejalan dengan kemampuan pemerintah yang semakin besar dalam rangka mewujudkan free basic education.
Tujuan pembangunan milenium (Milenium Development Goal’s)
adalah menjamin bahwa sampai dengan 2015, semua anak, di mana pun, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar.
Berdasarkan laporan perkembangan pencapaian tujuan pembangunan milenium di Indonesia, lebih tinggi dari pada standar internasional untuk pendidikan dasar (www.targetmdgs.org). Tujuan itu sejalan dengan tujuan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, yaitumeningkatkan
partisipasi pendidikan dasar dengan indikator kinerja pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SLTP/MTs mencapai 90 persen persen
6
Berkenaan dengan peningkatan mutu pendidikan, penyelenggaraan pendidikan bermutu, juga merupakan harapan dari seluruh warga negara.
Penyelenggaraan pendidikan bermutu diyakini akan melahirkan bangsa dan generasi muda yang cerdas, terampil, disiplin, beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha kuasa. Pasal 5 ayat (1) dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional mengamanatkan bahwa “setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Dengan kata lain penyelenggaraan pendidikan bermutu juga diperuntukkan bagi warga negara yang memerlukan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Seiring dengan hal tersebut, penetapan wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun (yang ditetapkan melalui Inpres nomor 1 tahun
1994 dan Inpres nomor 5 tahun 2006) diberlakukan bagi seluruh anak pada usia 7–15 tahun, termasuk bagi anak-anak yang membutuhkan pendidikan khusus dan pendidikan layanan. Seperti diatur oleh pasal 5 ayat (2) dan (4) pasal 32 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, bahwa “warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Menurut penjelasan undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan pendidikan khusus adalah penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik
yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
7
Pasal 5 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut selanjutnya dielaborasi oleh pasal 41
ayat (1) peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu bahwa “setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik
dengan kebutuhan khusus”. Sejauh ini tidak semua satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif memiliki pendidik yang memiliki kompetensi pendidikan khusus yang sesuai dengan karakteristik anak berkebutuhan khusus.
Selama ini, layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah
Pendidikan Khusus (SLB), Sekolah umum yang memberikan layanan endidikan terpadu (Integrasi), dan Sekolah umum yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. SLB sebagai lembaga pedidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan sama, sehingga saat ini terdapat
SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. SDLB, SMPLB, dan SMALB merupakan sekolah yang menampung berbagai jenis anak berkelainan berdasarkan jenjang pendidikan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan atau tunaganda.
Di lain pihak, lokasi SLB pada umumnya berada di Ibu Kota
8
Akibatnya sebagian anak-anak kerkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan
karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian peserta didik lainnya diterima di SD terdekat, namun karena pelayanan bagi terbatas mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal
kelas dan akhirnya putus sekolah.
Di sisi lain perubahan paradigma pendidikan telah berubah seiring dengan meningkatnya kepedulian dan berubahnya pandangan masyarakat dunia untuk mewujudkan pendidikan untuk semua yang dapat dinikmati oleh
semua anak. Meningkatnya kesadaran bahwa pendidikan harus dapat dinikmati oleh semua dengan tanpa memandang kekurangan dan kelemahan
peserta didik. Menurut Budiyanto (2005) paradigma pendidikan inklusif sarat dengan muatan humanistik dan penegakan hak azasi manusia (HAM). Pendidikan inklusif memandang bahwa semua anak perlu diberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Deklarasi Salamanca (1994) menuntut
semua negara untuk mengadopsi prinsip pendidikan inklusif ke dalam perundang-undangan atau kebijakan pemerintah. Deklarasi ini menuntut untuk menerima semua anak di sekolah reguler kecuali bila ada alasan yang mendesak untuk melakukan sebaliknya.
Tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah adalah sekolah membuka seluas-luasnya kepada seluruh anak dengan tanpa
9
anak berkelainan dilayani untuk dididik secara bersama-sama dengan anak-anak lainnya di sekolah atau kelas reguler. Hal ini dilandasi oleh kenyataan
bahwa di dalam masyarakat terdapat berbagai karakter anak yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak yang memiliki kelainan atau kekhususan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di
sekolah (SD) terdekat. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam melayani pendidikan bagi anak berkelainan khusus selama ini. Karena untuk membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa memerlukan biaya yang sangat mahal dan waktu yang lama.
Namun demikian sampai sejauh ini penyelenggaraan pendidikan inklusif di negeri ini belum sesuai dengan harapan. Secara faktual sekolah
yang menyelenggarakan pendidikan inklusif secara nasional masih sangat sedikit. Padahal jumlah anak berkebutuhan khusus sangat besar. Berdasarkan susenas tahun 2003 terdapat 1.544.148 orang yang memiliki kekhususan dari seluruh penduduk Indonesia atau sekitar 0,7%. Dari jumlah
tersebut sebanyak 330.764 orang atau sekitar 21,42% merupakan anak usia sekolah yang berumur antara 5 – 18 tahun atau dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK). Dari seluruh ABK usia sekolah ternyata hanya sebagian kecil saja yang mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan
sebagaimana mestinya yaitu sebanyak 85.645 orang atau sekitar 25,9% saja. Sisanya sekitar 245.119 ABK masih belum bisa mengikuti pendidikan.
10
jarak antara rumah dan Sekolah Luar Biasa (SLB) cukup jauh, dan (3) sekolah umum (SD, SMP) tidak mau menerima anak-anak berkebutuhan
khusus belajar bersama-sama dengan anak-anak normal. Oleh karena itu perlu diupayakan model layanan pendidikan yang memungkinkan anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak normal di sekolah umum.
Pada tahun 2007 jumlah penduduk negeri ini mencapai 214 juta. Jika prosentase penyandang cacat yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik (BPS) tetap 0,7% dan prosentase penyandang cacat usia sekolah (ABK) 21,24%, maka jumlah penyandang cacat pada tahun 2007 mencapai 1,5 juta
orang dan jumlah penyandang cacat usia sekolah adalah 318.600 orang. Jumlah penyandang cacat usia sekolah yang terdaftar sebagai peserta didik
di SLB dan di sekolah inklusif pada tahun 2007 mencapai 78.689 orang atau hanya 24,7% saja. Artinya sampai tahun 2007 anak berkebutuhan khusus usia sekolah yang ditampung di sekolah, baik SLB maupun sekolah inklusif, kurang dari seperempat dari jumlah seluruhnya.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan data di atas, masih banyaknya peserta didik berkebutuhan khusus yang belum mendapatkan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan. Kondisi seperti ini disebabkan adanya berbagai hambatan termasuk di dalamnya kondisi sosial budaya masyarakat.
11
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif belum dapat menyelenggarakan pendidikan inklusif secara optimal. Sehingga penyelenggaraan pendidikan
inklusif ini sampai sekarang belum berkembang baik. Padahal menurut Foreman (2002) sekolah inklusif harus menyediakan semua kebutuhan siswa, apapun tingkat kebutuhan dan keadaan siswa tersebut.
Sebagian besar masyarakat merasa malu mempunyai anak cacat,
sehingga mereka berupaya menyembunyikan anaknya. Dengan demikian anak tersebut tidak dapat menerima pendidikan sebagaimana mestinya. Akibatnya, anak-anak tersebut tidak mendapatkan layanan pendidikan seperti anak lainnya. Padahal mereka memiliki hak yang sama seperti
anak-anak lainnya. Di lain pihak banyak orang tua yang tidak sadar bahwa anaknya yang mempunyai kekhususan yang juga memiliki hak yang sama
dengan anak lainnya. Karena itu, pemerintah meminta kesadaran orangtua untuk memberi akses kepada mereka. Hambatan lainnya berasal dari masyarakat dan atau anak-anak di sekolah umum yang belum dapat menerima kehadiran anak-anak cacat di tengah mereka. Hal-hal seperti inilah
yang mengakibatkan pendidikan inklusif di Indonesia kurang berkembang. Oleh karena itu dipandang perlu untuk meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak
berkelainan yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat
12
Berdasarkan data dari Direktorat Pembinaan SLB, jumlah sekolah inklusif di negeri ini pada tahun 2007 mancapai 796 sekolah dengan jumlah
ABK sebanyak 15.181 anak, mulai dari jenjang TK, SD, SMP, dan SMA. Sampai saat ini masih terdapat empat propinsi yang belum dapat menyelenggarakan pendidikan inklusif. Padahal semangat dan gaung pendidikan inklusif di seluruh dunia sangat besar, terlebih lebih jika dikaitkan
dengan hak azasi manusia.
Sejauh ini penetapan sekolah inklusif dilakukan melalui dua cara, yaitu pertama: sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus mengajukan proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, dan kedua: sekolah yang telah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus melaporkan penyelenggaraan pendidikan inklusif
kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan hasil monitoring dan evaluasi, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menetapkan sekolah yang bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif dengan menerbitkan surat penetapannya.
Pendidik atau guru yang bertugas di sekolah inklusif juga mestinya berbeda dengan guru yang bertugas di sekolah reguler. Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan SLB, pendidik di sekolah inklusif terdiri atas guru kelas, guru mata pelajaran tertentu
(Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, serta Pendidikan Kesenian), dan guru pendidikan khusus (GPK). GPK bertugas sebagai
13
Namun demikian peran GPK di sekolah inklusif belum optimal. Seperti dikemukakan oleh Kepala SD Negeri Gegerkalong Girang 2 Bandung
yang menyatakan bahwa “pada awalnya guru pembimbing khusus itu dapat membantu kita dalam proses pembelajaran di kelas, namun setelah datang dua atau tiga kali selanjutnya beliau tidak pernah datang lagi”. Lebih lanjut beliau mengatakan: “saat ini ada seorang helper yang yang membantu salah
satu siswa ABK di sekolah saya yang dibiayai oleh orang tuan ABK tersebut, untuk ABK yang lainnya dibimbing sebisanya oleh guru-guru saya”.
Pendidikan inklusif adalah suatu bentuk sistem pendidikan di mana peserta didik berkebutuhan khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari masyarakat dan oleh karena itu strategi pembelajarannya disesuaikan dengan kebutuhan dan karekteristik individu peserta didik. Pembelajaran di
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang kemampuan siswanya sangat heterogen, berbeda dengan pembelajaran di sekolah umum yang memiliki kemampuan homogen. Guru di sekolah reguler pada umumnya tidak dipersiapkan untuk mengajar siswa yang mengalami kelainan atau
berkebutuhan khusus, sehingga sering kali mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan anak berkebutuhan khusus.
Pembelajaran di kelas inklusif menjadi masalah ketika guru harus mengajar di kelas tanpa didampingi GPK. Guru harus menangani semua
siswa di kelas termasuk siswa ABK. Di lain pihak kompetensi guru-guru di sekolah tersebut tidak dipersiapkan untuk dapat mengajar di kelas yang
14
sarana dan prasarana, proses pembelajaran di kelas, serta pembiayaannya. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar untuk mengoptimalkan peran dan
fungsi sekolah inklusif sehingga dapat memberikan layanan yang optimal. Secara khusus mengupayakan perbaikan proses pembelajaran di kelas inklusif sehingga dapat berlangsung secara maksimal.
Upaya untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar serta
dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan dasar, khususnya pendidikan inklusif, diperlukan strategi yang yang dapat meningkatkan pengelolaan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan dasar, khususnya peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.
C. Fokus Masalah dan Pertanyaan Penelitian
1. Fokus Masalah
Di tengah-tengah situasi krisis multidimensional, pembangunan pendidikan terus diupayakan dibenahi dengan berbagai keterbatasan. Demikian pula harapan setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu belum terwujud sesuai harapan mereka. Kesulitan untuk mengakses sumber-sumber pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan menjadi kendala utama dalam pembangunan pendidikan.
15
warga negara. Selanjutnya Undang-undang Dasar tahun 1945 mengamatkan bahwa seluruh warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Dengan demikian diharapkan pendidikan inklusif dapat memperluas akses pendidikan bagi seluruh warga negara. Atas dasar pemikiran tersebut fokus permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat menjangkau semua warga negara dengan tanpa memperhatikan kelemahan dan kekurangan peserta didik.
Mengingat kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan pendidik-an inklusif maka masalah pada penelitipendidik-an ini difokuskpendidik-an pada:
a. Persepsi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di negeri ini. Fokus masalah ini menjadi sangat penting karena sistem pendidikan inklusif dianggap sistem pendidikan yang dianggap baru. b. Implementasi sistem pendidikan inklusif di tingkat pusat, propinsi,
kabupaten/kota, dan di satuan pendidikan.
c. Implementasi pendidikan inklusif di satuan pendidikan terutama pada pelaksanaan proses belajar mengajar yang melibatkan anak berkebutuhan khusus di kelas.
16 2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan fokus masalah di muka, maka untuk memecahkan masalah tersebut perlu disusun pertanyaan-pertanyaan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan penelitian ini disusun berdasarkan pengelompokan yang sesuai dengan fokus masalah yang diteliti. Selanjutnya setiap fokus masalah diuraikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang lebih rinci. Rincian pertanyaan penelitian merupakan panduan atau guide lines bagi peneliti pada saat melakukan pengambilan data di lapangan. Pada penelitian ini terdapat empat butir pertanyaan pokok yang diuraikan menjadi 16 butir pertanyaan. Di bawah ini adalah uraian dari pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dimaksud:
a. Bagaimana masyarakat memahami pendidikan inklusif sebagai suatu sistem penyelenggaraan pendidikan di negeri ini?
1) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif?
2) Bagaimana implikasi sosial yang terjadi di masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif?
b. Bagaimana implementasi sistem penyelenggaraan pendidikan inklusif? 1) Kebijakan apa yang mendasari penyelenggaraan pendidikan inklusif? 2) Bagaimana implementasi pendidikan inklusif dilaksanakan di tingkat
pusat (makro)?
3) Bagaimana implementasi pendidikan inklusif di dinas pendidikan (meso)?
17
5) Apa kendala-kendala yang menghambat pelaksanaan sistem penyelenggaraan pendidikan inklusif?
6) Bagaimana penyediaan, pembinaan, dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif? 7) Bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif?
8) Bagaimana pengelolaan pembiayaan yang dilakukan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif?
c. Bagaimana proses pembelajaran dilakukan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif?
1) Bagaimana sekolah inklusif mendesain kurikulum yang cocok digunakan bagi anak normal dan bagi anak-anak berkebutuhan khusus?
2) Bagaimana proses pembelajaran yang terjadi di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif?
3) Bagaimana ketercapaian kurikulum (standar isi) di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif?
4) Bagaimana sistem penilaian sistem pelaporan yang dilakukan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif?
d. Bagaimana sistem dukungan dalam implementasi pendidikan inklusif di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif?
1) Bagaimana peran sistem dukungan dalam implementasi pendidikan inklusif di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif?
18 D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini juga bertujuan untuk menggali, menghimpun, dan menganalisis berbagai informasi empirik serta faktor-faktor pendukung yang berpengaruh terhadap peningkatan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengungkap dan menganalisis kondisi faktual secara komprehensif implementasi sistem pendidikan inklusif.
2. Mengungkap dan menganalisis efektifitas implementasi sistem pendidikan inklusif.
3. Mengungkap dan menganalisis faktor-faktor yang mendukung dalam implementasi sistem pendidikan inklusif.
E. Keluaran dan Kegunaan Penelitian
Keluaran atau output penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan alternatif strategi pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Khususnya peningkatan layanan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam penyelenggaraan dan pengembangan sistem pendidikan inklusif, baik pada tataran konsep maupun pada tataran implementasi di lapangan.
19
efisien akan sangat bermanfaat terhadap percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Khususnya wajib belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Peningkatan layanan pendidikan inklusif kependidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus merupakan harapan dari segenap komponen bangsa.
F. Kerangka Fikir
Kerangka fikir dalam penelitian ini merupakan ruang lingkup asumsi-asumsi dan konsep-konsep, yang akan digunakan dalam upaya mencari alternatif solusi implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusif. Upaya peningkatan layanan pendidikan inklusif dapat diwujudkan dengan menentukan atau mencari alternatif strategi yang sesuai dengan kondisi lingkungan serta budaya bangsa.
21
Masalah penyelenggaraan pendidikan inklusif berawal dari adanya kesenjangan antara kajian teori dengan fenomena empirik yang terjadi di
lapangan. Fenomena empirik merupakan kejadian nyata yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di lapangan.
Tidak dipungkiri bahwa sebagian materi peraturan, perundangan, dan kebijakan yang disusun didasarkan pada nilai-nilai budaya dan
kesepakatan-kesepakatan global. Misalnya: Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, merupakan ratifikasi dari konvensi tentang hak-hak anak (Convention on The Right of the Child) yang antara lain menegaskan perlunya perlindungan dan perkembangan anak dalam mendapatkan layanan
pendidikan. Kebijakan penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif banyak dipengaruhi oleh kebijakan global yang diprakarsai oleh Unesco tentang
Pendidikan Untuk Semua. Juga kebijakan pemerintah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun disemangati oleh seruan internasional tentang EFA yang dikumandangkan Unesco sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Sinegal Tahun
2000, tentang penuntasan EFA diharapkan tercapai pada Tahun 2015. Bagian proses merupakan implementasi dari sistem pendidikan kebutuhan khusus. Secara umum terdapat dua faktor yang mempengaruhi secara langsung implementasi sistem pendidikan kebutuhan khusus, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari internal sekolah. Faktor internal ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana warga sekolah berusaha untuk selalu belajar (learning
22
(climate school), dan gaya kepemimpinan yang nampak dari manajer sekolah (leadership).
Selain faktor internal, implementasi sistem pendidikan kebutuhan khusus ini dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor ksternal merupakan faktor yang berasal dari luar sistem meliputi penerapan standar penyelenggaraan sekolah (schooling system) yang berasal dari Pemerintah, baik pemerintah
pusat, maupun pemerintah daerah. Faktor eksternal yang lain adalah berasal dari lengkungan masyarakat sekitar sekolah dan arus globalisasi. Sekolah yang menerapkan MBS sangat membutuhkan peran masyarakat, karena masyarakat diharapkan dapat menjadi supporting system penyelenggaraan
pendidikan di sekolah tersebut. Cepatnya arus informasi menandai efek globalisasi yang melanda sistem persekolahan kita. Hal ini tidak perlu dicegah, melainkan dibuat agar menjadi salah satu supply energi yang
dibutuhkan dalam upaya meningkatkaan mutu pendidikan di sekolah.
Seandainya faktor internal dan eksternal ini dapat berjalan dan menghasilkan keluaran yang positif maka hasil balajar dari semua warga
sekolah ini akan sangat mendukung terhadap pencapaian mutu pendidikan, antara lain meningkatkan layanan penyelenggaraan pendidikan. Output implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusif ini adalah peningkatan mutu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Pada akhirnya adalah
peningkatan mutu pendidikan nasional.
Upaya meningkatkan layanan pendidikan inklusif diperlukan strategi
23
kunci keberhasilan pendidikan inklusif. Di lain pihak manajemen sistem persekolahan pendidikan inklusif perlu pengkajian yang lebih mendalam.
Khususnya pada proses layanan kegiatan belajar mengajar di kelas. Sinergisitas komponen-komponen yang terkait dengan pengembangan layanan pendidikan inklusif perlu dioptimalkan dengan mengutamakan kepentingan peserta didik dengan tanpa mengubah sistem pendidikan secara
menyeluruh dan mengacu pada berbagai kesepakatan global.
G. Asumsi-asumsi Penelitian
Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa peningkatan mutu
pendidikan merupakan satu-satunya upaya yang perlu dilakukan untuk mengangkat bangsa ini dari keterpurukan. Kita diingatkan oleh Penguasa
Jepang pada saat setelah Jepang hancur dibom oleh sekutu. Ketika itu, pertanyaan pertama yang ditanyakan oleh penguasa Jepang tersebut adalah: “Berapa guru yang masih hidup?” Pertanyaan ini sangat sederhana. Namun, maknanya sangat dalam. Begitu besar perhatian penguasa Jepang saat itu
terhadap pendidikan. Tentu saja pendidikan dapat dilaksanakan dengan berbekal jumlah guru yang tersisa dan tersedia pada saat itu. Kita dapat melihat hasil pendidikan di Jepang pada saat ini. Dengan demikian diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah tentang penyelenggaraan pendidikan guna
menciptakan sistem pendidikan inklusif yang kondusif, efektif, dan efisien. Asumsi kedua bahwa pendidikan merupakan hak dari setiap warga
24
organisasi internasional. Oleh karena itu pendidikan yang bermutu juga perlu diterima oleh seluruh warga negara, termasuk anak-anak yang memiliki
keterbatasan atau ketunaan, baik keterbatasan fisik maupun psikis. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan mutu pendidikan di sekolah-sekolah inklusif dan membuka sekolah-sekolah umum untuk bersama-sama menyelenggarakan sekolah inklusif.
Asumsi ketiga, kenyataan menunjukkan banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak yang memiliki kesulitan dan memerlukan bantuan khusus sesuai dengan kesulitan yang dimilikinya. Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi yang tepat untuk membuka seluas-luasnya
sekolah-sekolah umum untuk menerima dengan terbuka dan membuka kesempatan yang sebesar-besarnya kepada siswa-siswa yang memiliki
keterbatasan dan memerlukan bantuan khusus.
Asumsi keempat, untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu dikembangkan suatu sistem manajemen yang dapat mendukung sepenuhnya terhadap peningkatan mutu pendidikan dengan memberdayakan semua
komponen manajemen pendidikan yang ada. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi strategi yang tepat guna meningkatkan mutu pendidikan, khususnya strategi peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu pendidikan inklusif.
H. Definisi Operasional
25
dengan anak sebayanya di sekolah reguler atau sekolah umum terdekat dengan tempat tinggalnya, sehingga potensi semua anak dapat
berkembang optimal.
2. Sekolah inklusif adalah sekolah umum (reguler) penyelenggara pendidikan inklusif (SPPI). Sekolah ini menyediakan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) supaya mereka bisa belajar
bersama dengan anak sebayanya di kelas yang sama dengan menyesuaikan terhadap kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. 3. Manajemen pendidikan inklusif merupakan proses pengaturan dan
pengelolaan sumber daya yang terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan inklusif meliputi yang proses perencanaan, pelaksanaan, menitoring dan evaluasi serta tindak lanjut hasil evaluasi pada sistem
pendidikan inklusif. Manajemen pendidikan inklusif merupakan proses yang terkait erat dengan tujuan dan efektifitas serta efisiensi penyelenggaraan suatu sistem penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anak dengan tanpa membedakan kekurangan dan keterbatasan mereka
dalam belajar.
4. SLB atau Sekolah Luar Biasa adalah satuan pendidikan khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak yang membutuhkan pelayanan khusus. SLB-SLB ini dibedakan berdasarkan kekhususannya, misalnya SLB A
(untuk anak tunanetra), SLB B (untuk anak tunarungu), SLB C (untuk anak tunagrahita), SLB D (untuk anak tunadaksa), SLB E (untuk anak
26
5. SDLB atau Sekolah Dasar Luar Biasa adalah satuan pendidikan dasar pada jenjang sekolah dasar. Siswa-siswa pada satuan pendidikan ini
merupakan siswa-siswa dengan berbagai kebutuhan khusus yang satuan sama lainnya disatukan dalam satu kelas. Pembagian kelas pada SDLB dikelompokkan berdasarkan usia anak yang bersangkutan. Jenjang yang lebih tinggi dari SDLB adalah SMPLB atau Sekolah Menengah Pertama
Luar Biasa, SMALB atau Sekolah Menengah Atas Luar biasa, dan SMKLB Sekolah Menengah Kejuruan Luar Biasa.
6. Anak Berkebutuhan Khusus (children with special needs) adalah anak yang dalam proses tumbuh kembangnya secara signifikan dan
meyakinkan mengalami penyimpangan, baik penyimpangan fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional. Seiring dengan meningkatnya
kesadaran tentang persamaan hak dan nilai-nilai humanisme istilah anak penyandang cacat (disable) saat ini lebih sering disebut sebagai anak
107
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif merupakan salah satu pendekatan penelitian ilmu-ilmu sosial termasuk dalam pemahaman mendalam dari tingkah laku manusia. Penelitian kualitatif ini didefinisikan sebagai sebuah proses inquiry untuk memahami
masalah kemanusiaan dan sosial didasarkan pada kerumitan yang kompleks, gambaran yang holistic, dibentuk melalui kata-kata, pandangan dari para informan dilaporkan secara detail, dan dilakukan secara alamiah (natural
setting). Pendekatan kualitatif dirancang tidak untuk menguji hipotesis, tetapi berupaya untuk mendeskripsikan data, fakta dan keadaan atau kecenderungan yang ada. Pendekatan kualitatif juga digunakan untuk melakukan analisis dan memprediksi apa yang seharusnya dilakukan untuk
memecahkan masalah dan atau untuk mencapai suatu keinginan di masa yang akan datang.
Pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Bogdan dan Taylor (1998) mengemukakan bahwa melalui pendekatan kualitatif peneliti dapat mengenal objek (orang) secara pribadi dan melihat mereka mengembangkan definisi
108
diharapkan dapat mengangkat aktualitas, realitas, dan persepsi sasaran penelitian tanpa tercemar oleh pengukuran formal.
Penelitian ini berusaha untuk memahami perilaku dan pandangan-pandangan objek penelitian melalui pengamatan, wawancara mendalam (deep interview), dan diskusi yang terarah, serta mempelajari dokumen-dokumen yang terkait dengan objek penelitian. Oleh karena itu metode yang
digunakan diharapkan dapat menjembatani tujuan peneliti dengan objek yang diteliti dengan pemahaman yang komprehensif berdasarkan kerangka berfikir fenomenologis. Pandangan fenomologis berusaha untuk memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi tertentu
(Moleong, 1995). Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Metode ini berusaha untuk untuk
memecahkan masalah yang aktual dengan cara mengumpulkan data, menyusun, mendeskripsikan, serta menganalisis data.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif fenomenologis. Dikatakan demikian karena jenis penelitian ini mempunyai ciri-ciri antara lain setting yang aktual, peneliti adalah instrumen kunci, data
bersifat deskriptif, menekankan kepada proses, analisis datanya bersifat induktif, dan meaning (pemaknaan) tiap even adalah merupakan perhatian yang esensial dalam penelitian kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1998).
Fenomenologis digunakan karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan peristiwa sosial (Dimyati, 1997), selain itu karena dapat
109
informasi-informasi yang bersifat deskriptif dan berusaha mempertahankan keutuhan obyek yang diteliti (Strauss dan Corbin, 1997). Melalui pendekatan
kualitatif fenomenologis diharapkan penelitian ini akan memberikan makna secara mendalam atas fakta dan data yang ada. Pada pandangan ini kajian ilmu tidak hanya berdasarkan pada fakta empirik semata, melainkan fenomena lain seperti persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan objek
akan sesuatu di luar objek, ada sesuatu yang transeden di samping yang eposteorik (Muhajir, 2000).
Pendekatan kualitatif yang dipergunakan beranjak dari bahwa hasil yang diperoleh dapat dilihat dari proses secara utuh, untuk memenuhi hasil
yang akurat maka pendekatan ini menempatkan peneliti adalah instrumen utama dalam penggalian dan pengolahan data-data kualitatif yang diperoleh.
Penelitian kualitatif atau sering disebut dengan metode naturalistik memiliki karakteristik sebagai berikut (1) data diambil langsung dari setting alami; (2) penentuan sampel secara purposif; (3) peneliti sebagai instrumen pokok; (4) lebih menekankan pada proses dari pada produk, sehingga bersifat deskriptif
analitik; (5) analisis data secara induktif atau interpretasi bersifat idiografik, dan; (6) menggunakan makna dibalik data (Nasution, 2003).
B. Lokasi dan Objek Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama proses pengumpulan data. Peneliti terjun secara langsung ke lapangan untuk
110
lokasi penelitian yang digunakan sebagai sumber data didasarkan pada asumsi bahwa dalam penelitian kualitatif, jumlah tidak terlalu berpengaruh
dari pada konteks. Penetapan lokasi penelitian juga ditetapkan berdasarkan rekomendasi dari pihak yang berhubungan langsung dengan lapangan, seperti dengan kualitas dan kondisi setempat. Selain didasarkan pada rekomendasi-rekomendasi dari pihak yang terkait juga melihat dari
keragaman masyarakat, keunikan lingkungan yang berada di sekitar lokasi penelitian dan berpotensi memiliki banyak informasi.
Penelitian ini dilaksanakan di enam propinsi, meliputi lima propinsi di Jawa dan satu propinsi di luar jawa, antara lain propinsi DKI Jaya, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Sumber data penelitian ini meliputi (1) Direktorat Pembinaan SLB di Jakarta,
(2) Dinas yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Pendidikan inklusif di tingkat propinsi dan kabupaten/kota; (3) Sekolah penyelanggara pendidikan inklusif.
Objek dalam penelitian ini meliputi (1) Staff dan unsur pimpinan di
Direktorat Pembinaan SLB di Jakarta, (2) Staff dan unsur pimpinan di Dinas
Pendidikan Propinsi dan Kabupaten Kota di enam propinsi tersebut di atas;
dan (3) kepala sekolah, guru, siswa, serta masyarakat di sekitar sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif. Sumber data lainnya berupa
dokumen-dokumen yang terkait dengan sumber-sumber data sebelumnya. Konsep
objek penelitian berhubungan dengan apa atau siapa yang diteliti. Dengan
kata lain objek penelitian dapat berfungsi untuk menjelaskan pertanyaan
111
Penggunaan objek penelitian digunakan karena pada pendekatan
kualitatif tidak dikenal istilah populasi dan atau sampel penelitian. Namun
demikian manfaat dan makna penelitian kualitatif tidak berbeda dengan hasil
penelitian dengan menggunakan pendekatan yang lain. Hasil penelitian
kualitatif dapat bermanfaat dan bermakna secara universal. Artinya hasil
penelitian ini dapat digeneralisasi bukan hanya pada substansi yang sama
saja, melainkan pada wilayah dan kajian yang lain.
Populasi dalam pengertian penelitian kualitatif adalah banyaknya
satuan objek penelitian yang diharapkan menjadi partisipan dan biasanya
memiliki karakteristik yang berbeda. Dengan kata lain populasi dalam
penelitian kualitatif lebih bersifat kontekstual yang merupakan kesatuan
(entity). Oleh karena itu, analisis yang dilakukan harus open ended, artinya
terbuka jika ada perubahan, perbaikan, dan penyempurnaan data-data yang
baru masuk (Nasution, 1996). Setiap objek penelitian memiliki karakteristik
sendiri-sendiri. Oleh karena itu penentuan jumlah atau objek penelitian
disesuaikan dengan keperluan (purposive sampling).
Purposive sampling digunakan dengan anggapan sampel yang
dipilih didasarkan atas kebutuhan atau pertimbangan tertentu dari peneliti.
Artinya objek penelitian dipilih berdasarkan tujuan tertentu dari peneliti.
Jumlah objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
snowball sampling. Penentuan jumlah objek penelitian (sampling) lebih
dimaksudkan atas kebutuhan peneliti untuk mendapatkan informasi yang
112
pertama belum dapat memberikan informasi yang cukup, sehingga diperlukan
informasi tambahan dari sampel berikutnya untuk melengkapi data yang
diperlukan. Upaya mendapatkan kelengkapan informasi ini dilakukan secara
terus menerus sampai tidak diperoleh lagi informasi yang berbeda. Peneliti
akan berhenti mengumpulkan data jika peneliti merasakan bahwa data yang
dihimpun sudah dianggap jenuh.
Dipilihnya teknik snowball sampling karena teknik ini dapat
disesuaikan dengan keperluan peneliti yang dikaitkan dengan aspek dan
peristiwa apa serta siapa yang menjadi fokus pada saat dan situasi tertentu.
Sampling ini dilakukan secara terus menerus sepanjang waktu penelitian. Hal
ini dilakukan untuk merinci kekhususan yang ada dalam konteks rumusan
yang unik. Sampling juga digunakan untuk menjaring sebanyak mungkin
informasi dari pelbagai macam sumber sehingga menjadi dasar dari
rancangan dan teori di kemudian hari.
Sumber informasi penelitian lainnya adalah dokumen. Dokumen
merupakan sumber informasi bukan manusia (non human resources)
merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen
dalam bentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life
histories), ceritera, biografi, peraturan kebijakan, dan lain-lain. Dokumen bisa
juga dalam bentuk catatan-catatan resmi yang dipublikasikan, seperti
113 C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data. Pada penelitian dengan pendekatan kualitatif instrumen
penelitian adalah penelitinya itu sendiri (Sugiyono, 2006). Oleh karena itu
peneliti dalam penelitian tersebut dikatakan sebagai human instrument.
Dengan demikian dapat disimpulkan pula bahwa instrumen yang baik dalam
penelitian kualitatif adalah peneliti yang memiliki pemahaman yang baik akan
metodologi penelitian, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti,
kesiapan untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun
logistiknya. Peneliti harus mampu menetapkan fokus penelitian, memilih
objek penelitian (informan atau partisipan) sebagai sumber data, melakukan
pengumpulan data, menilai kualitas data, menganalisis data, menafsirkan
data, dan membuat kesimpulan atas temuannya.
Sugiyono (2006) menyebutkan peran peneliti dalam penelitian
dengan pendekatan kualitatif sebagai instrumen kunci (the reseacher is the
key instrument). Peneliti sebagai instrumen merupakan sesuatu yang penting
menurut pandangan Nasution (2003), karena pada penelitian yang
menggunakan pendekatan kualitatif segala sesuatunya belum jelas.
Termasuk hasil yang akan diperoleh pada saat penelitian berakhir belum
pasti. Dalam keadaan yang serba belum pasti tersebut tidak ada instrumen
lain yang dapat digunakan kecuali peneliti itu sendiri.
Menurut Nasution (2003) dalam bukunya yang berjudul metode
114
ciri-ciri sebagai berikut: (1) peka terhadap segala stimulus lingkungan yang
diperkirakan akan bermakna bagi penelitiannya; (2) dapat menyesuaikan diri
dengan berbagai kondisi lingkungan sehingga dapat memperoleh data lebih
banyak; (3) mampu memaknai setiap sesuatu sebagai keseluruhan; (4)
mampu merasakan dan menyelami segala bentuk interaksi manusia,
sehingga peneliti tersebut dapat memahami masalah secara holistik dengan
tidak hanya mengetahui saja; (5) mampu segera menganalisis data yang
diperoleh, sehingga peneliti tersebut dapat dengan segera menafsirkan,
melahirkan hipotesis, atau menentukan arah penelitian untuk menguji
hipotesis yang muncu; (6) segera dapat menyusun kesimpulan sementara
berdasarkan data yang diperolehnya; dan (7) mampu merespon data yang
dianggap aneh (anomali), yang pada pendekatan kuantitatif data-data seperti
ini diabaikan atau bahkan dibuang, pada pendekatan kualitatif data-data
seperti ini malah direspon karena dapat mempertinggi tingkat kepercayaan
dan tingkat pemahaman terhadap yang diteliti.
Pendekatan kualitatif dengan peneliti sebagai instrumen kunci, juga
dapat dilengkapi dengan instrumen penelitian lainnya dalam bentuk yang
sederhana. Instrumen-instrumen tersebut diperlukan dalam upaya
melengkapi data dan mempermudah dalam pengumpulan data.
Instrumen-instrumen tersebut antara lain kisi-kisi penelitian, lembar observasi, pedoman
wawancara, dan atau lembaran untuk studi dokumentasi. Selain
instrumen-instrumen dalam bentuk printed instrument, pelaksanaan wawancara
115 D. Prosedur Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan bagian yang sangat strategis dalam penelitian. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data secara garis besar dilakukan dengan menggunakan tiga cara, yaitu observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.
a. Observasi
Pada penelitian ini diupayakan dilakukan dengan setting alamiah, dengan sumber data primer. Namun demikian tidak menutup kemungkinan akan diperoleh data sekunder yang diperoleh sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan, misalnya rekaman data, data yang diperoleh melalui orang lain, atau melalui dokumen tertentu. Untuk mendapatkan data primer dilakukan
dengan melakukan observasi langsung di lapangan dengan peneliti sebagai instrumen utama dalam pelaksanaan observasi ini.
Pelaksanaan observasi diupayakan sesuai kondisi yang natural dengan persefektif apa adanya (emic persfective). Hasil observasi dianalisis
berdasarkan kecenderungan-kecenderungan dari data yang diperoleh pada setiap komponan. Hasil analisis disimpulkan sebagai hasil akhir observasi pada setiap komponen.
b. Wawancara
Wawancara (interview) adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Maksud mengadakan wawancara, seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba
116
perasaan, motivasi. tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa
lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah dan memperluas
konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Susan Stainback (1988) mengemukakan bahwa: interviewing provide the researcher a means to gain a deeper understanding of how the
participant interpret a situation or phenomenon than can be gained through observation alone. Jadi dengan wawancara, peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan (objek penelitian) dalam
menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Oleh karenanya observasi harus dilengkapi dengan wawancara. Namun demikian penelitian kualitatif, sering kali menggabungkan teknik observasi partisipatif dengan wawancara mendalam (deeply interview).
Untuk memperkuat akurasi data wawancara pelaksanaan wawancara menggunakan pedoman wawancara dan alat perekam suara digital (digital voice recorder). Pedoman wawancara merupakan rincian
pertanyaan dari setiap indikator. Pedoman wawancara ini diperlukan untuk memandu peneliti dalam pelaksanaan wawancara berisi tentang identitas
117 c. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan usaha untuk memperoleh keterangan
melalui dokumen-dokumen. Untuk memperoleh dokumen apalagi yang sifatnya dokumen pribadi tentu tidaklah mudah. Oleh karena itu memerlukan teknik dan kepiawaian seorang peneliti sebagai human instrument. Demikian pula jika peneliti berusaha mengetahui dokumen yang sifatnya tertutup pada
suatu lembaga atau badan, inipun memerlukan kecermatan peneliti dalam memilih cara dan pendekatan yang digunakan.
Studi dokumentasi merupakan upaya untuk melengkapi data yang diperoleh dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam
penelitian kualitatif. Studi dokumentasi adalah teknik pengumpul data. Seacara harfiah dokumen dapat diartikan sebagai cacatan kejadian yang
sudah lampau, (Moleong, 2005), yang mencatat segala hal ihwal yang berkaitan dengan manusia pada kehidupannya sesuai dengan kebutuhan pada saat itu.
2. Proses Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan tahapan penting dalam prosedur
penelitian. Proses pengumpulan data diawali dengan tahapan persiapan. Pada tahap persiapan ini meliputi penyusunan rancangan (desain) penelitian, penentuan lokasi (lapangan), pengurusan perizinan, penjajagan dan penilaian keadaan, situasi dan kondisi lapangan, pemilihan dan penentuan objek
118
Tahap-tahapan penelitian selanjutnya dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.
a. Penjajagan (Kajian Awal)
Setelah kelengkapan administrasi diperoleh sebagai bekal penelitian, maka hal yang sangat perlu dilakukan adalah proses penjajagan lapangan dan sosialisasi diri dengan keadaan di lapangan. Ketika kita
menjajagi dan mensosialisasikan diri di lapangan, ada hal penting lainnya yang perlu kita lakukan yaitu menentukan patner kerja sebagai “informan” yang dapat memberikan informasi banyak tentang keadaan lapangan. Informan yang dipilih harus benar-benar orang yang independen dari orang
lain dan kita, juga independen secara kepentingan penelitian atau kepentingan karier.
b. Eksplorasi
Peneliti akan berhubungan dengan orang-orang, baik secara
perorangan maupun secara kelompok atau masyarakat, akan bergaul, hidup,
dan merasakan serta menghayati bersama tatacara dan tatahidup dalam
suatu latar penelitian. Persoalan etika akan muncul apabila peneliti tidak
menghormati, mematuhi dan mengindahkan nilai-nilai masyarakat dan pribadi
yang ada. Dalam menghadapi persoalan tersebut peneliti hendaknya
mempersiapkan diri baik secara fisik, psikologis maupun mental.
Pada tahap ini peneliti berusaha untuk mendapatkan pemahaman
yang komprehensif dari objek penelitian. Hal ini dapat dilakukan oleh peneliti
119
untuk bersatu dengan objek penelitian. Hal ini diperlukan agar peneliti dapat
menghayati fenomena yang terjadi di lapangan terkait dengan objek
penelitian.
c. Member Check
Member check diperlukan untuk menguji keabsahan data yang diperoleh. Pada tahapan ini data hasil analisis dikonfirmasikan kembali kepada sumber data (informan). Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kebenaran hasil analisis yang telah dilakukan. Melalui tahapan member
check ini semua data yang diperoleh dari hasil wawancara observasi, dan studi dokumentasi di konfirmasikan kembali kepada sumber data. Data yang
telah dianggap sahih diharapkan akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian.
3. Pengolahan dan Analisis Data
Pengelolaan data secara garis besar dilakukan melalui tiga tahapan,
yaitu tahapan reduksi data, display data, verifikasi dan validasi data, analisis data dan membuat kesimpulan.
a. Reduksi data
Data yang diperoleh ditulis dalam bentuk laporan atau data yang
120 b. Penyajian data (Display)
Data yang diperoleh dikelompokkan menurut pokok permasalahan
dan dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti untuk melihat pola-pola hubungan satu data dengan data lainnya. Contoh analisis data yang dipergunakan seperti model content analisis, yang mencakup kegiatan klarifikasi lambang-lambang yang dipakai dalam komunikasi,
menggunakan kriteria-kriteria dalam klarifikasi, dan menggunakan teknik analisis dalam memprediksikan.
c. Verifikasi dan Validasi Data
Langkah selanjutnya adalah menyimpulkan dan melakukan verifikasi
atas data-data yang sudah diproses atau ditransfer kedalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan pola pemecahan permasalahan yang dilakukan. Validasi
data dilakukan melalui tiga strategi, yaitu kredibilitas, transferabilitas, dan dependabilitas dan konfomabilitas.
1. Kredibilitas (Validasi Internal)
copy-121
an, dan lain-lain; (6) member check, pengecekan terhadap hasil-hasil yang diperoleh guna perbaikan dan tambahan dengan kemungkinan kekeliruan atau kesalahan dalam memberikan data yang dibutuhkan peneliti.
2. Transferabilitas
Transferabilitas dilakukan untuk menunjukkan bahwa hasil penelitian dapat diaplikasikan oleh pemakai penelitian, penelitian ini memperoleh tingkat keabsahan yang tinggi bila para pembaca laporan memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas tentang konteks dan fokus penelitian.
3. Dependabilitas dan Konformabilitas
Dependabilitas dan konformabilitas dilakukan dengan audit trail berupa komunikasi dengan pembimbing dan dengan pakar lain dalam bidangnya guna membicarakan permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dalam penelitian berkaitan dengan data yang harus dikumpulkan.
d. Menarasikan Hasil Analisis
Pembahasan dalam penelitian kualitatif menyajikan informasi dalam
bentuk teks tertulis atau bentuk-bentuk gambar mati atau hidup seperti foto dan video dan lain-lain. Dalam menarasikan data kualitatif ada beberap hal yang perlu diperhatikan yaitu; (1) menentukan bentuk (form) yang akan
digunakan dalam menarasikan data; (2) menghubungkan bagiamana hasil yang berbentuk narasi itu menunjukan tipe/bentuk keluaran yang sudah didesain sebelumnya; dan (3) menjelaskan bagimana keluaran yang berupa narasi itu mengkoparasikan antara teori dan literasi-literasi lainnya yang
122 E. Penyusunan Laporan
Penyusunan laporan merupakan kegiatan peneliti untuk mendeskripsikan hasil pengamatan, hasil wawancara, dan hasil studi dokumentasi. Penyusunan laporan dimulai ketika peneliti mulai memperoleh data. Artinya penyusunan laporan tidak disusun pada saat akhir penelitian, melainkan disusun sejak data pertama diperoleh sampai dengan proses pengumpilan data berakhir. Selanjutnya data-data tersebut dipetakan berdasarkan kelompok data, dideskripsikan, dianalisis, dan disimpulkan.
386
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelum ini, selanjutnya penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, pendidikan inklusif merupakan sistem pengelolaan
pendidikan berbasis hak asasi manusia yang melayani semua anak tanpa kecuali. Sistem pendidikan yang dimaksud adalah sistem pendidikan diarahkan untuk melayani semua anak dari berbagai latar belakang dan
berbagai kondisi, dengan tanpa memandang kekurangan, kelemahan, dan perbedaan dari setiap anak. Karakteristik sistem pendidikan yang dapat
melayani semua anak adalah sistem pendidikan inklusif. Namun demikian belum semua komponen masyarakat di negeri ini memahami secara seksama tentang implementasi sistem pendidikan inklusif, baik secara konsep maupun prakteknya di lapangan. Pemahaman guru dan semua warga sekolah terhadap sistem pendidikan inklusif hanya terbatas pada keberadaan
anak berkebutuhan khusus di sekolah umum. Pemahaman yang lebih komprehensif diberikan oleh para pengembang pendidikan inklusif di tingkat pusat dan para pengembang di perguruan tinggi. Pemahaman para
387
bagi semua anak tanpa kecuali. Berdasarkan pengamatan dan wawancara kepada berbagai subjek penelitian tidak ditemukan hambatan sosial yang
berarti berkenaan dengan keberadaan ABK di sekolah inklusif. Keberadaan ABK di sekolah inklusif malah memberikan nilai positif bagi semua peserta didik, antara lain mereka saling menghargai dan mengakui perbedaan di antara mereka. Tidak ada kecanggungan di antara peserta didik untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya yang berbeda.
Kedua, kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan kebijakan strategis dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan untuk semua. Penyelenggaraan pendidikan inklusif juga memperkuat kebijakan
strategis pendidikan lainnya, yaitu kebijakan penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Dalam kaitan ini Pemerintah
tampak mempunyai kepedulian besar terhadap perkembangan pendidikan inklusif. Meski dalam implementasinya belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini disebabkan belum sepenuhnya perangkat kebijakan di bidang pendidikan menggambarkan pendidikan yang inklusif. Terdapat peraturan
yang tidak sejalan dengan jiwa pendidikan inklusif, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 41 ayat (1) pada PP tersebut menyatakan bahwa “setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga
kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus”. Pasal ini jelas menunjukkan