i
DAFTAR ISI
ABSTRAK
i
ABSTRACT
ii
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR BAGAN
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1
A.
Latar Belakang Masalah
1
B.
Rumusan Masalah
13
C.
Tujuan Penelitian
15
D.
Manfaat Penelitian
16
E.
Paradigma Penelitian dan Diagram Alir Penelitian
17
F.
Metode Penelitian
21
G.
Lokasi Penelitian dan Informan
25
BAB II TEORI PENGEMBANGAN MODEL
PEMBELAJARAN MULTIMEDIA
MELALUI ”VALUING PROCESS”
MENUJU MASYARAKAT MELEK MEDIA
26
A.
Penelitian Multimedia Terdahulu
26
B.
Definisi Operasional
46
a.
Pengembangan Model
46
b.
Pembelajaran Multimedia
47
Media Massa dan Media Baru
49
(1) Media Massa
51
(2) Media Baru dan Internet
58
c.
”Valuing Process”
73
d.
Masyarakat Melek Media
75
C.
Multimedia, Studi tentang Ilmu Komunikasi
76
D.
Valuing Process, Lima Pintu Menuju Berinternet yang Bernilai
82
1.
Pintu Dimensi Pikir
86
2.
Pintu Dimensi Rasa
90
3.
Pintu Dimensi Memilih
94
4.
Pintu Dimensi Komunikasi
98
5.
Pintu Dimensi Berbuat
105
E.
Kaitan Antara Studi Pendidikan Nilai dan Internet
111
1.
Nilai Internet
112
2.
Internet yang Bernilai
121
3.
Internet yang Tidak Bernilai
127
a.
Pornografi
128
b.
Kecanduan Game
133
c.
Berjudi Secara Online
138
F.
Literasi Media, Solusi Menuju Media yang Bernilai
146
a.
Literasi Media dan Yang Bukan Literasi Media
149
b.
Mengapa Literasi Media Begitu Penting?
152
c.
“Inquiry”, Jantungnya Literasi Media
154
d.
Pertanyaan Esensial bagi Guru
157
e.
Lima Pertanyaan Kunci Literasi Media
157
f.
Lima Dogma dalam Literasi Media
158
g.
Proses “Inquiry”
159
h.
Lima ”dogma” Media Literasi dan Lima Pertanyaan Kunci
158
i.
Kemampuan Proses = Sukses Dalam Hidup
171
j.
Melakukan "Analisis Mendalam" pada Teks Media
174
k.
Tips Mengajar Literasi Media
177
G.
Mengintegrasikan Literasi Media dengan Pembelajaran Nilai
179
1.
Klarifikasi Nilai = ”Bebas Nilai” = ”Nilai Relatif”
181
2.
Menghadapi Nilai Mutlak
182
3.
Dasar Teoretis Klarifikasi Nilai
181
a.
Teknik Klarifikasi Nilai
186
b.
Integrasi Media Literasi dan dan Klarifikasi Nilai
189
BAB III METODE PENELITIAN
195
A.
Metode Etnografi
195
1.
Etnografi Baru
201
2.
Budaya Menurut Etnografi Baru
202
3.
Untuk Apa Etnografi?
206
B.
Informan
212
C.
Prinsip Etika dalam Etnografi
215
D.
Alur Penelitian Maju Bertahap
217
-
Langkah Pertama: Menetapkan Informan
218
-
Langkah Kedua: Mewawancarai Informan
221
-
Langkah Ketiga: Membuat Catatan Etnografis
224
-
Langkah Keempat: Mengajukan Pertanyaan Deskriptif
228
-
Langkah Kelima: Melakukan Analisis Wawancara Etnografis
230
-
Langkah Keenam: Membuat Analisis Domain
233
-
Langkah Ketujuh: Mengajukan Pertanyaan Struktural
235
-
Langkah Kedelapan: Membuat Analisis Taksonomik
239
-
Langkah Kesembilan: Mengajukan Pertanyaan Kontras
241
-
Langkah Kesepuluh: Membuat Analisis Komponen
241
-
Langkah Kesebelas: Menemukan Tema Budaya
242
-
Langkah Kedua Belas: Menuliskan Etnografi
243
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
245
A.
Hasil Penelitian
245
1.
Gambaran Umum tentang Pikiran Rakyat
245
2.
Pikiran Rakyat Era Multimedia
251
3.
Budaya Multimedia di HU Pikiran Rakyat
258
B.
Analisis Etnografis
311
1.
Analisis Secara Umum
312
iii
(b)
Budaya Penggunaan Internet Secara Kontraproduktif
336
2.
Analisis Perspektif ”Valuing Process”
343
(a)
Analisi Domain Dimensi Berpikir
343
(b)
Analisis Domain Dimensi Rasa
353
(c)
Analisis Domain Dimensi Memilih
365
(d)
Analisis Domain Dimensi Berkomunikasi
371
(e)
Analisis Domain Dimensi Berbuat
377
3.
Temuan Tambahan
384
(a)
Tingkatan Melek Media
384
(b)
Pencapaian Melek Media
387
C.
Pengembangan Model Pembelajaran Multimedia
391
1.
Model Pembelajaran Multimedia di HU Pikiran Rakyat
391
2.
Pengembangan Model Pembelajaran Multimedia
394
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
398
A.
Kesimpulan
398
B.
Rekomendasi
404
DAFTAR PUSTAKA
410
LAMPIRAN:
414
Lampiran 1: Daftar Pertanyaan untuk Informan
414
Lampiran 2: Cara Pengajaran Literasi Media yang Dilakukan Islaminur Pempasa 451
Lampiran 3: Cara Pelatihan Internet Berbasis Nilai
468
VALIDASI
474
DAFTAR TABEL
TABEL 1.1
BEDA PENGAJARAN ABAD IXX-XX DENGAN ABAD XXI
21
TABEL 2.1
v
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1.1 Paradigma Penelitian
20
Diagram 1.2 Diagram Alir Penelitian
21
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Metode Penelitian
24
Gambar 3.1
Kertas Kerja Analisis Domain
233
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masyarakat saat ini berada dalam zona mabuk teknologi (Naisbitt,
2001:9), yaitu zona yang ditunjukkan oleh adanya hubungan yang rumit dan
seringkali bertentangan antara teknologi dan pencarian makna. Gejala zona
mabuk teknologi ditandai dengan, (1) Masyarakat lebih menyukai
penye-lesaian masalah secara kilat dari masalah agama sampai masalah gizi. (2)
Masyarakat takut sekaligus memuja teknologi. (3) Masyarakat mengaburkan
perbedaan antara yang nyata dengan yang semu. (4) Masyarakat menerima
kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. (5) Masyarakat mencintai teknologi
dalam wujud mainan. (6) Masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak
dan terenggut (Naisbitt, 2001:13). Amerika, kata dia merupakan negara
yang secara teknologi paling maju di dunia, dari bidang militer hingga
me-dia.
televisi, berbagai peristiwa yang diberitakan media, dan aneka humor
inter-net, seolah-olah semuanya itu kisah hidup mereka sendiri. Ketakutan
atau-pun kecintaan akan teknologi kerap menjadi landasan kisah film yang
mere-ka tonton, buku yang meremere-ka baca, cerita di majalah, berita utama surat mere-
ka-bar, dan menjadi pemicu bagi perbincangan yang terjadi kemudian.
(Nais-bitt, 2001:10).
Di Indonesia, belum ada penelitian yang mengukur seberapa besar
pe-ngaruh teknologi informasi, baik berupa media elektronik maupun media
cetak, terhadap kepribadian dan struktur nilai moral pada diri anak bangsa.
Ini menjadi tantangan bagi para ilmuwan di bidang pendidikan umum,
khu-susnya bidang nilai. Kalau penelitian itu dilakukan, diperkirakan, media
me-miliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap pembentukan tingkah laku,
kepribadian, gaya hidup, selera makan, bahkan dapat dikatakan pengaruhnya
sangat besar terhadap kehidupan umat manusia di Indonesia.
Dilihat dari kacamata pendidikan, bisa jadi, pengaruh media elektronik
dan media cetak, lebih besar daripada pengaruh pendidikan tradisional yang
selama ini dikenal seperti pendidikan dalam keluarga (informal), pendidikan
di sekolah (formal), dan pendidikan dalam lembaga masyarakat (nonformal).
Pengaruh (pendidikan) yang berasal dari TV, internet, alat portabel, PDA,
radio, barang cetakan seperti koran, buku, komik, majalah, tabloid, dan
lain-nya, mungkin bisa dimasukkan sebagai pendidikan nonformal, akan tetapi
dalam hal ini sementara dipisahkan dari berbagai istilah pendidikan yang
la-zim digunakan itu, yaitu pendidikan informal, formal, dan nonformal. Sebut
saja pendidikan media. Media terdiri atas media massa seperti televisi, radio,
koran, majalah dll., dan media personal seperti internet, CD, DVD, video
game, blog, telefon genggam, PDA, dll.
atau masjid kepada para santrinya. Arus informasi masuk ke seluruh pelosok
tanah air dengan sangat deras. Seorang ibu rumah tangga yang memiliki
anak kecil seringkali “menitipkan” anaknya kepada TV selagi ia
menyelesai-kan pekerjaan rumah tangganya atau pergi arisan, berbelanja, dll. Pembantu
rumah tangga tidak mustahil menghabiskan waktuya di depan TV daripada
membantu keluarga membereskan rumah, mencuci atau menyelesaikan
pe-kerjaan rumah lainnya. Tidak sedikit pelajar yang menghabiskan harinya di
warung internet (warnet) sekadar untuk chatting atau main game elektronik.
Tidak jarang pula masyarakat yang memanfaatkan radio sebagai
pemben-tukan komunitas pengajian, meski sebagian besar radio hanya digunakan
un-tuk cekakak-cekikik membicarakan gosip selebritis, memesan lagu, dan
sebagainya.
Selera makan anak juga menjadi semakin aneh. Jajanan tradisional
se-perti peuyeum, getuk, awug, bajigur, leupeut, lupis, dan sebagainya semakin
tidak dikenal lagi dalam khazanah jajanan anak. Makanan yang diiklankan
TV lah yang menjadi referensi keluarga berkonsumsi. Dapat disaksikan
bah-wa pizza semakin akrab dalam keluarga kelas menengah ke atas, apalagi
ayam goreng gaya Amerika, sosis, snack, minuman ringan, mie instan dan
sebagainya. Apa yang dikonsumsi para selebritis di iklan TV diburu
masya-rakat. Kafe yang menyajikan makanan yang ada di TV diserbu. Tayangan
wisata kuliner semakin menjamur dan digemari masyarakat.
Cara masyarakat bersikap pun semakin berubah. Dalam percakapan
se-hari-hari, remaja yang bertengkar tidak sungkan mengucapkan kata
“Mam-pus lho...! Bego lho...” sebagaimana mereka saksikan di sinetron. Saat
me-reka dimarahi orang tuanya karena bolos belajar atau nilai rapornya melorot,
misalnya, reaksinya sama. Mereka lari ke kamar, pintu dikunci, dan
kemu-dian menangis di atas bantal, persis seperti yang mereka saksikan di
teleno-vela dan sinetron remaja. Belum lagi soal pakaian. Apa pun baju yang
dike-nakan para selebritis pujaan, itulah yang dikedike-nakan remaja masa kini.
Berbaju dengan pusar kelihatan atau pantat terbuka menjadi semakin
”lazim” di kalangan remaja. Demikian pula remaja putra, mengenakan
an-ting atau kalung menjadi semakin akrab.
Maka di internet, dapat disaksikan ratusan, bahkan ribuan adegan porno,
baik berupa foto maupun film pendek yang berisi adegan persenggamaan
yang dilakukan pelajar, mahasiswa Indonesia dari berbagai sekolah dan
per-guruan tinggi, baik tingkat SMP, SMA, mahasiswa maupun pemuda lainnya.
Jika di tahun 2001 dapat disaksikan sedemikian hebohnya reaksi masyarakat
terhadap kasus VCD porno mahasiswa Itenas Bandung, saat ini film seperti
itu sudah menjadi ”lazim”. Rupanya, kasus Itenas hanyalah fenomena
gu-nung es di tengah lautan, di mana ia hanyalah permukaan, sedangkan di
ting-kat bawah sedemikian menggurita.
Dalam waktu lima tahun setelah kasus beredarnya VCD berisi hubungan
persenggamaan mahasiswa Itenas dan mahasiswi Unpad berjudul ”Bandung
Lautan Asmara”, ternyata kemudian beredar lebih dari 500 buah film porno
amatiran (Set, 2007:9-10). Jumlah tersebut semakin bertambah setelah
dite-mukannya bukti bahwa setiap hari, minimal dua film porno lokal baru
di-upload ke internet. Sebagian besar dibuat menggunakan handphone
berka-mera berisi cuplikan hubungan seks dalam durasi yang singkat (kurang dari
10 menit). Cuplikan video porno tersebut dikonversi menjadi file berukuran
kecil, yang tersebar di handphone dan pemutar film mini (MP4 player) yang
harganya semakin murah. Kini, dapat dengan mudah disaksikan sekumpulan
anak muda menikmati berbagai jenis film porno di mana saja. Pemutar film
portable digunakan untuk menikmatinya di mana saja; di mal, di pinggir
Hampir di setiap sudut kota, film tersebut dapat dinikmati, tanpa harus
merasa takut dan malu lagi.
Set (2007:10), mengungkapkan, 90% pelaku dan pembuat film video
porno amatiran tersebut adalah pelajar dan mahasiswa. Sebagian besar berisi
hubungan seksual sepasang kekasih yang dilakukan dengan ”sukarela” dan
”riang gembira”. Hubungan seks telah menjadi hal yang tidak serius. Mereka
membuka rahasia ke ruang publik atas nama cinta dan keisengan belaka, dan
akhirnya terperosok dalam jebakan industri pornografi. Korban terbesar
ada-lah remaja putri. Kebanyakan dari mereka tidak sadar teada-lah dijebak dan
di-eksploitasi. Direkam ketelanjangan tubuhnya atas nama cinta dan kasih
sa-yang dan ditipu habis-habisan dengan ancaman ”diputus” oleh kekasih
be-ngalnya. Sayangnya, kata cinta kerap dijadikan senjata untuk membutakan
logika. Selanjutnya, dimulailah fenomena penyimpangan dunia hiburan
paling dahsyat dengan korban yang kebanyakan adalah anak muda di negeri
ini. Penyimpangan atas nama cinta, kasih sayang, dan seks tersebut
dibung-kus dengan teknologi telekomunikasi multimedia terkini.
Menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE), pemerintah pun bermaksud memblokir situs porno di internet.
Pem-blokiran dilakukan di tingkat masyarakat, tingkat institusi/perkantoran, dan
tingkat internet service providers (ISP). Metode menggunakan piranti lunak
software filter.
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
Sementara Bab XI tentang Ketentuan Pidana Pasal Pasal 45 ayat (1)
me-nyebutkan:
(1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Meski demikian, Sodikin (2008) berpendapat bahwa langkah pemerintah
melakukan sensor seperti itu sebagai sesuatu yang tidak mungkin
(impos-sible). Memang, gertakan pemerintah ini membuat beberapa situs porno
yang dibangun orang Indonesia sementara ”tutup warung”. Situs yang tutup
biasanya karena pemilik situs itu alamatnya sudah diketahui banyak orang.
Warung internet juga khawatir dengan wacana pemblokiran yang dimulai
April-Mei 2008 ini. Dari sisi perekonomian, warung internet dan
penyeleng-gara ISP-lah yang terkena dampak langsung secara permanen (jika memang
sungguh-sungguh dilakukan filterisasi pornografi).
Pemilik situs porno Indonesia juga terkena dampak, tetapi hanya dalam
waktu dekat. Dalam jangka panjang, mereka mengganti alamat kontak di
data whois kepemilikan domain dari nama dia ke nama orang lain atau
seka-lian diubah ke mode privacy protect yang disediakan di kontrol domain.
Do-main adalah nama alamat website seperti www.google.com. Dengan privacy
Dari sisi hosting (kapasitas server untuk meletakkan data atau file
web-site) mereka dengan singkat (hanya hitungan menit) juga bisa memindahkan
ke hosting luar negeri (terutama Amerika Serikat) yang lebih aman. Di
Ame-rika SeAme-rikat tersedia banyak layanan hosting yang secara legal membolehkan
adult content. Dari sisi inilah, pemerintah mustahil memburu para pemilik
situs porno asal Indonesia. Lalu, apakah perangkat lunak yang akan
mem-filter isi website itu akan bisa berjalan mulus?
Maka Sodikin (2008) berkesimpulan, dari sisi teknologi, mustahil 100
persen bisa menjalankan skenario internet nyaman menggunakan perangkat
lunak semacam itu. Para pelanggan ISP, baik rumahan atau warung internet,
akan mengeluh sulitnya mengakses situs yang diinginkan. Situs yang
sebe-narnya tidak dalam ketegori porno bisa saja tersaring tak dimunculkan jika
di dalam isinya memuat kata tertentu yang kebetulan sama dengan kata yang
difilter.
Purbo (2003) juga mengemukakan, UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
ini masih berasumsi bahwa pemerintah Indonesia superpower dan serbabisa.
Ada kecenderungan, pemerintah mengambil alih tanggung jawab yang
be-sar. Sialnya, yang terjadi di lapangan, pemerintah lebih sering bermain
power (bedil dan kekuasaan) daripada memberdayakan rakyat serta
mem-fasilitasi pembangunan untuk kemajuan rakyat. Ini yang terjadi di dunia
internet.
para nabi yang mengajak menyembah Allah, sehingga pada gilirannya
ma-syarakat menyembah selera dan nafsu. Mama-syarakat akan berubah secara
drastis menjadi masyarakat yang hedonistis, ingin senantiasa
bersenang-senang, pendek akal, sangat mencintai dunia dan takut mati (wahn).
Mul-timedia tidak dapat dibendung lagi. Arus informasi sedemikian deras
bagai-kan air laut yang menerjang daratan seperti tsunami. Negara maju terus
mengganti satelit lama dengan yang baru, sehingga tidak ada lagi sudut
du-nia yang tidak terjangkau informasi. Bangsa Indonesia yang sempat
mem-buat regulasi seperti penerbitan surat izin untuk penerbitan pers (SIUPP),
membuat sensor TV, radio, dan sensor bagi surat kabar dan lain-lain tidak
populer lagi. Kebijakan open sky tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Persoalannya, bagaimana bangsa Indonesia bisa selamat agar tidak
teng-gelam dalam arus informasi yang kontraproduktif, sebaliknya informasi
yang melimpah tersebut justru menjadikan bangsa ini semakin bernilai dan
bahkan memberikan nilai tambah (value added)? Sebab, tidak mustahil, arus
informasi memang didesain oleh negara maju sebagai alat penjajahan baru
(neokolonialisme). Dengan membanjiri berbagai informasi, selera bangsa
Indonesia dapat dikendalikan, sehingga ujungnya, bangsa ini menjadi bangsa
yang konsumtif. Sementara negara Barat yang kreatif mampu menciptakan
berbagai macam produk yang senantiasa terjamin pemasarannya.
semakin melek media. Dengan asumsi bahwa, membendung arus informasi
sudah tidak mungkin lagi. Membuat regulasi yang bermaksud menyensor
pengaruh buruk media juga tidak efektif, sebab multimedia sudah
sedemi-kian beragam, sehingga dibendung sebagian akan bocor di bagian lain.
Regulasi yang disusun pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) mengarah untuk memberikan kebebasan yang luas bagi masyarakat
untuk mendapatkan informasi. Simak Rancangan Undang-Undang tentang
Kebebasan Memperoleh Informasi (KMI), dalam menimbang yang
menye-butkan:
(a) bahwa kebebasan memperoleh informasi merupakan hak asasi
manusia dan merupakan salah satu ciri terpenting dalam negara hukum
yang demokratis untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka. (b)
bahwa hak anggota masyarakat untuk memperoleh informasi publik
me-rupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas keterlibatan
masya-rakat dalam proses pengambilan keputusan publik. (c) Bahwa hak
ang-gota masyarakat untuk memperoleh informasi merupakan faktor penting
dalam meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses
peng-ambilan keputusan publik (public policy making process). (d) Bahwa
pe-libatan masyarakat (public involvement) tidak akan banyak berarti
apabi-la tanpa jaminan kebebasan memperoleh informasi.
RUU KMIP dalam Bab I, Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan, informasi
adalah segala sesuatu yang dapat dikomunikasikan, fakta, data atau segala
sesuatu yang dapat memperoleh suatu hal dengan sendirinya atau melalui
segala sesuatu yang telah diatur melalui bentuk dokumen dalam format apa
pun atau pejabat publik yang berwenang.
tersebut, namun pada kenyataannya, informasi itu akan masuk bersama
in-formasi yang lain. Maka, satu-satunya cara adalah membuat masyarakat agar
menjadi melek media (media literate). Orang yang melek media akan imun
terhadap informasi multimedia. Artinya, bangsa Indonesia (generasi muda)
butuh pengetahuan dan keterampilan menggunakan kemajuan teknologi
multimedia, sehingga mereka mampu memfilter diri terhadap beragam
informasi yang masuk. Saringan yang dipasang dalam individu bangsa
Indonesia adalah berupa saringan nilai agama dan nilai luhur bangsa.
De-ngan memiliki imunitas terhadap arus informasi yang masuk, maka
infor-masi apa pun yang diperoleh bangsa Indonesia, mereka akan mampu
menya-ringnya, sehingga bangsa ini dapat memilih informasi yang bermanfaat bagi
diri, keluarganya, dan lingkungannya serta membuang informasi yang tidak
berguna.
menjadi alternatif dari media yang dinilai tidak sehat dan kontraproduktif
serta menjadi alternatif sebagai media yang sehat, edukatif, dan menjunjung
nilai dan martabat bangsa Indonesia.
Sergiovanni (1992) menyebutnya sebagai kepemimpinan moral (moral
leadership). Artinya, di dalam diri manusia terdapat berbagai macam
do-rongan. Orang yang bernilai adalah orang yang dipimpin oleh moralnya
untuk menjadi orang yang berkeadaban. Orang yang melek media berarti
orang yang menggunakan moralnya saat mengakses, mengunduh, maupun
mengunggah informasi dari dan ke dalam internet.
Model pembelajaran multimedia ini bisa dilakukan melalui lima pintu,
yaitu pintu berpikir, pintu berasa, pintu kemampuan memilih, pintu
berko-munikasi, dan pintu berbuat. Kirschenbaum (1977) menyebut kelima pintu
itu dengan valuing process, yaitu proses seseorang menjadi bernilai.
Pene-litian ini menggunakan perspektif yang ditawarkan Kirschenbaum ini. Oleh
karena itu, rumusan masalah pun disusun berdasarkan urut-urutan pengertian
valuing process dalam perspektif Kirschenbaum tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Sebagai panduan berikut dikemukakan rumusan masalah dalam daftar
pertanyaan berikut ini:
2.
Bagaimana perasaan lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat
Ban-dung saat akan, sedang, dan sesudah menggunakan multimedia, sehingga
mendorong mereka mengakses informasi yang bernilai dari internet.
Pera-saan seperti apakah yang mampu mendorong mereka mengakses informasi
yang bernilai tersebut, dan perasaan seperti apa yang mampu menghalangi
mereka mengakses informasi yang kontraproduktif?
3.
Bagaimana proses lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat Bandung
dalam memilih informasi yang bernilai. Apakah mereka menetapkan
tu-juan dan mengumpulkan data terlebih dahulu saat mengakses informasi.
Apakah mereka mempertimbangkan konsekuensinya. Apakah mereka
me-milih informasi secara bebas. Adakah orang yang mendorong mereka
da-lam memilih informasi tersebut?
4.
Bagaimana lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat Bandung
ber-komunikasi dengan orang lain berkaitan dengan penggunaan internet,
se-hingga mengakses informasi yang bernilai. Apakah mereka mengirimkan
pesan atau memperluas pengetahuan dengan melakukan sharing dengan
orang lain?
5.
Bagaimana perbuatan lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat
Ban-dung dalam meyakinkan diri agar mampu mengakses informasi di internet
yang bernilai dan menghindari informasi yang kontraproduktif?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pemikiran lima pengguna internet di HU Pikiran
Rak-yat Bandung agar mereka semakin bernilai dalam menggunakan
multime-dia. Penelitian juga untuk mengetahui alasan mereka mengakses informasi
yang bernilai dan menghindari informasi yang kontraproduktif.
2.
Untuk mengetahui perasaan lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat
Bandung saat akan, sedang, dan sesudah menggunakan multimedia,
se-hingga mereka mengakses informasi yang bernilai. Penelitian ini juga
dimaksudkan untuk mengetahui perasaan yang mampu mendorong mereka
mengakses informasi yang bernilai dan menghalangi mereka mengakses
informasi yang kontraproduktif.
3.
Untuk mengetahui proses lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat
Bandung dalam memilih informasi yang bernilai, apakah mereka
menetap-kan tujuan dan mengumpulmenetap-kan data terlebih dahulu saat mengakses
infor-masi. Apakah mereka mempertimbangkan konsekuensinya. Apakah
ka memilih informasi secara bebas. Adakah orang yang mendorong
mere-ka dalam memilih informasi tersebut.
5.
Untuk mengetahui perbuatan lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat
Bandung dalam meyakinkan dirinya bahwa informasi yang diperoleh di
internet benar-benar bernilai sehingga mendorongnya untuk mengakses
in-formasi yang produktif. Penelitian ini juga untuk mengetahui bagaimana
mereka meyakinkan dirinya bahwa informasi yang akan diperolehnya
kon-traproduktif, sehingga mendorongnya menghindar mengaksesnya.
6.
Untuk mengembangkan model pembelajaran multimedia yang dapat
men-jadikan pengguna internet mampu mengakses informasi yang bernilai dan
menghindari informasi yang kontraproduktif.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoretis
mau-pun praktis.
1.
Manfaat Teoretis. Penelitian ini diharapkan mampu melahirkan konsep
baru tentang kiat memperoleh nilai tertinggi dan menghindari nilai yang
kontraproduktif yang dihadirkan multimedia. Konsep tersebut diperoleh
dari hasil analisis terhadap informasi yang diperoleh dari para informan
yang telah berhasil mengalami melek media (media literacy.) Kiat dan
konsep tersebut kemudian disusun menjadi konsep model pembelajaran
untuk mengembangkan model pembelajaran yang selama ini ada, sehingga
dapat menjadi panduan bagi generasi berikutnya agar mereka tidak lagi
terjebak ke dalam akses informasi yang kontraproduktif.
pengguna multimedia yang lain untuk tidak terjebak ke dalam arus
infor-masi yang tidak bermanfaat, sehingga pengguna multimedia dapat
meng-akses informasi secara lebih efektif tanpa harus melewati fase trial and
error sebagaimana para pendahulunya.
Bagi HU Pikiran Rakyat, penemuan penelitian ini dapat menjadi
ma-sukan bagi pengembangan perusahaan media, khususnya dalam
pengem-bangan media konvergensi yang memadukan antara media cetak dengan
media digital.
Di samping itu, kiat yang disusun dari hasil pengalaman para informan
dapat disusun menjadi model pembelajaran multimedia. Model ini
kemu-dian dapat disusun menjadi model pembelajaran dalam bentuk kursus
mul-timedia, workshop, atau bahkan dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum
sekolah.
E.
Paradigma Penelitian dan Diagram Alir Penelitian
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan Thomas Kuhn (1962) dan
kemudian dipopulerkan Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma
adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi mode of thought atau
mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang
spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan
yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok
per-soalan yang semestinya dipelajari (Siregar, 2008).
A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking
down the complexity of the real world. As such, paradigms are deeply
embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigms
tell them what is important, legitimate, and rasionable. Paradigms are
also normative, telling the practitioner what to do without the necessity of
long existential or epistemological consideration. But it is this aspect of
paradigms that constitutes both their strength and their weakness –their
strength in that it makes action possible, their weakness in that the very
reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the
para-digm. (Patton, 1978:203)
Bagi Patton, paradigma merupakan pandangan tentang dunia, perspektif
umum, cara memecahkan kompleksitas persoalan dunia yang sebenarnya.
De-ngan demikian, paradigma tertanam secara mendalam dalam sosialisasi para
pengikut dan praktisi. Paradigma menyatakan apa yang penting, boleh, dan
beralasan. Paradigma bersifat normatif, memberi tahu praktisi apa yang harus
dilakukan tanpa harus mempertimbangkan epistemologi ektensial. Namun
ini-lah yang merupakan kekuatan dan kelemahan paradigma. Kekuatannya,
me-mungkinkan suatu kegiatan terlaksana, kelemahannya adalah bahwa alasan
kegiatan itu tersembunyi di balik asumsi yang tidak perlu dipertanyakan
kebe-narannya.
Mengutip Lincoln dan Guba, Alwasilah (2003:78-79) mengungkapkan 14
poin paradigma penelitian kualitatif. Yaitu, (1) natural settings (latar tempat
dan waktu penelitian yang alamiah, (2) humans as primary data-gathering
instruments (manusia atau peneliti sendiri sebagai instrumen pengumpul data
primer), (3) use of tacit knowledge (penggunaan pengetahuan yang tidak
eksplisit), (4) qualitative methods (metode kualitatif), (5) purposive sampling
(pemilihan sampel penelitian secara purposif), (6) inductive data analysis
(analisis data secara induktif atau buttom up), (7) grounded theory (teori
dari-dasar yang dilandaskan pada data secara terus menerus), (8) emergent design
(cetak biru penelitian yang mencuat dengan sendirinya), (9) negotiated
out-comes (hasil penelitian yang disepakati oleh peneliti dan responden), (10)
case-study reporting modes (cara pelaporan penelitian gaya studi kasus), (11)
idiographic interpretation (tafsir idiografik atau kontekstual), (12) tentative
aplication of findings (penerapan tentatif dari hasil penelitian), (13)
focus-determined boundaries (batas dan cakupan penelitian ditentukan oleh fokus
PENELITIAN ETNOGRAFI
VALUING PROCESS
TEORI MODEL
PEMBELAJARAN /TREATMEN
PENDUDUK ASLI
Paradigma penelitian ini dapat dijelaskan dalam diagram berikut:
Sedangkan diagram alir penelitian digambarkan sebagai berikut:
DIAGRAM 1.2
Diagram Alir Penelitian
F.
Metode Penelitian
pan-dangan mengenai dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan
aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat,
mende-ngar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Tidak
hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari
masyarakat.
Informan yang menjadi penelitian etnografi ini adalah lima orang yang
sudah melek media (media literate) yang mampu menghindari mengakses,
mengunduh, dan mengunggah informasi yang tidak bermoral, seperti
porno-grafi dan informasi yang kontraproduktif lainnya yang bekerja di HU
Pikiran Rakyat Bandung, Jawa Barat. Dengan penelitian etnografi, peneliti
berupaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa
orang yang ingin peneliti pahami. Sebagaimana dikemukakan Spradley
(1979:5), beberapa makna ini terekspresikan secara langsung dalam bahasa;
dan banyak yang diterima dan disampaikan hanya secara tidak langsung
melalui kata dan perbuatan. Tetapi dalam setiap masyarakat, orang tetap
menggunakan sistem makna yang kompleks untuk mengatur tingkah laku
mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan untuk memahami orang
lain, serta untuk memahami dunia di mana mereka hidup. Sistem makna
merupakan kebudayaan mereka, apalagi etnografi selalu mengimplikasikan
teori kebudayaan.
masyarakat. Menurut Spradley (1979:5), pola tingkah laku, adat, pandangan
hidup masyarakat, semua dapat didefinisikan, diinterpretasikan dan
dides-kripsikan dari berbagai perspektif. Karena tujuan dalam etnografi adalah
”memahami sudut pandang penduduk asli”, maka perlu didefinisikan konsep
kebudayaan dengan cara yang merefleksikan tujuan itu.
Spradley (1979:5) pun mendefinisikan kebudayaan ini merujuk pada
pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk
menginterpretasi-kan pengalaman dan melahirmenginterpretasi-kan tingkah laku sosial.
Penelitian terhadap para pengguna internet yang sudah melek media ini
menggunakan alur penelitian maju bertahap (developmental research
pro-cess). Sebagaimana dikemukakan Spradley (1979:45-216), terdapat 12
Berikut digambarkan metodologi penelitian etnografis tersebut:
[image:30.595.117.539.169.599.2]Sumber: Spradley, 1979 (Diadaptasi)
GAMBAR 1.1
Metode Penelitian
tu-lisan. Alasan lain untuk menulis sejak awal adalah untuk menyederhanakan
tugas. Kebanyakan orang merenungkan tugas menulis sebuah laporan yang
terdiri atas tiga puluh halaman sebagai hal yang berat; menulis laporan yang
terdiri atas tiga halaman tampaknya jauh lebih mudah.
G.
Lokasi Penelitian dan Informan
1.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terhadap penduduk asli yang sudah melek media
dilak-sanakan di lingkungan karyawan HU Pikiran Rakyat Bandung.
Pemilih-an terhadap lokasi ini didasarkPemilih-an pada pertimbPemilih-angPemilih-an:
(a)
HU Pikiran Rakyat Bandung merupakan perusahaan yang bergerak
di bidang media dan terus mengembangkan geraknya di bidang
mul-timedia.
(b)
HU Pikiran Rakyat Bandung menyediakan perangkat multimedia,
khususnya internet yang dapat diakses selama 24 jam.
2.
Informan
Penelitian ini dilakukan terhadap lima orang informan yang sudah melek
media di lingkungan karyawan HU Pikiran Rakyat. Mereka adalah:
a.
Lina Nursanty (Wartawan)
b.
Samuel Lantu (Redaktur)
c.
Muzakir (Senior Administrator Network Produksi dan Editorial HU
Pikiran Rakyat)
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Metode Etnografi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode etnografi. Studi
etno-grafi merupakan salah satu dari lima tradisi kualitatif (Creswell, 1998:65), yaitu bioetno-grafi,
fe-nomenologi, grounded theory, etnografi, dan studi kasus. Penelitian ini disebut juga dengan
penelitian alamiah (naturalistic) (Moleong:1995), naturalistic inquiry (Lincoln dan Guba:
1985), atau qualitative inquiry (Creswell :1998).
Contoh penelitian menggunakan metode etnografi pernah dilakukan Wolcott (1994,
da-lam Creswell, 1998:34-35). Penelitian yang dilakukannya bertujuan menguji proses
wawan-cara dalam pemilihan kepala sekolah baru. Wolcott menggunakan pendekatan etnografi. Dia
mengumpulkan data yang terdiri atas dokumen, hasil pengamatan terhadap partisipan, dan
hasil wawancara. Penelitian ini dimulai dengan perincian mengenai keberadaan komite
pemi-lihan kepala sekolah (principal selection committee) dan petunjuk mengenai konteks formal
penelitian tersebut.
profesio-196
nal dihubungkan dengan peranannya, penghargaan terhadap perasaan pribadi, dan
kecende-rungan terhadap tingkah laku ”kekurangberagaman”. Tema terakhir memiliki arti khusus,
sebagaimana Wolcott mendiskusikan manfaatnya bagi ”perubahan” di sekolah.
Dalam hal ini, aspek etnografi yang dilakukan Wolcott adalah menulis secara jelas dan
meyakinkan, sehingga membawa pembaca ke perjalanan yang menarik. Keseluruhan
mak-sudnya adalah untuk melihat budaya sekolah pada saat dilaksanakan pemilihan komite
pemi-lihan kepala sekolah. Secara kreatif ia menyusun cerita naratif mulai dari kandidat terakhir
(orang ketujuh), sehingga pemenang yang terpilih pada proses tersebut. Kemudian ia
menam-bahkan penangguhan pada bagian akhir cerita.
Menurut Creswell (1998:35), penelitian yang dilakukan Wolcott memiliki banyak elemen
penting etnografi, yaitu:
Penulis menggunakan deskripsi dan detail tingkat tinggi.
Penulis menyampaikan ceritanya secara informal, sebagaimana seorang ”pendongeng”.
Penulis menjelajahi tema kultural dari peranan dan tingkah laku komite.
Penulis mendeskripsikan ”kehidupan sehari-hari tiap orang”.
Keseluruhan formatnya adalah deskriptif (pendeskripsian fakta dari tiap kandidat),
anali-tis (tiga ”dimensi”, dan interpretasi (”catatan dari refleksi”).
Hasil penelitian Wolcott menyimpulkan bahwa kepala sekolah bukanlah agen perubahan,
tetapi mereka lebih seperti ”pembela tindak pemaksaan” (Wolcott, 1994a:146).
peneliti-an, biasanya ditemukan dalam bentuk buku. Sebagai suatu proses, etnografi melibatkan
ob-servasi panjang terhadap kelompok tertentu, biasanya melalui "obob-servasi peserta", di mana
peneliti melebur dalam kehidupan sehari-hari orang dalam kelompok atau melalui
wawanca-ra owawanca-rang perowawanca-rang dari anggota kelompok. Peneliti mempelajari arti dari perilaku, bahasa, dan
interaksi budaya kelompok.
Etnografi memiliki asalnya sendiri dalam antropologi kebudayaan melalui para
antropo-log abad ke-20, seperti Boas, Malinowski, Radcliffe-Brown, dan Mead, serta studi mereka
tentang kebudayaan perbandingan. Meskipun mengambil ilmu alam sebagai model
peneliti-an, mereka membedakannya dengan pendekatan keilmuan tradisional, melalui data dari
orang pertama yang budayanya masih "primitif" (Atkinson & Hammersley, 1994 dalam
Creswell, 1998:59).
198
Sementara pendekatan yang dilakukan Hammersley dan Atkinson (1995, dalam Creswell,
1998:58) bergantung pada prosedur yang selama ini digunakan dalam pendekatan sosiologis
serta mendekati antropologi pendidikan Wolcott (1994b) dan Fetterman.
Para etnografer belajar dengan mengamati orang dengan cara berinteraksi dalam keadaan
wajar dan dengan berusaha menilai pola penyebaran, seperti perputaran hidup, peristiwa, dan
topik kebudayaan (Wolcott, personal communication, 10 Oktober 1996 dalam Creswell,
1998:59). Sebab, kata Wolcott, kebudayaan adalah istilah yang berubah-ubah, bukan sesuatu
mati, tetapi lebih kepada sesuatu di mana peneliti menghubungkan satu kelompok
sebagai-mana dia mencari pola kehidupan sehari-hari. Hal itu ditunjukkan dengan ucapan dan
tin-dakan anggota kelompok dan ditentukan bagi kelompok itu oleh peneliti. Terdiri atas,
men-cari tahu apa yang orang lakukan (perilaku), apa yang mereka katakan (bahasa), dan
bebera-pa kesenjangan antara abebera-pa yang mereka lakukan dan abebera-pa yang seharusnya dilakukan
sebagai-mana mereka membuat dan menggunakan (artefak) (Spradley,1980 dalam Creswell,
(1998:-59).
Dengan demikian, para etnografer mengumpulkan artefak dan bukti fisik; mencari cerita,
ritual, dan mitos; dan/atau membuka tabir topik budaya. Beberapa topik tertentu
berbeda-be-da, sebagaimana yang diilustrasikan Winthrop (1991 dalam Creswell, 1998:59) dalam
Dictio-nary of Concepts In Cultural Anthropology. Fetterman (1989 dalam Creswell, 1998:59),
Untuk menentukan pola ini, etnografer melakukan kerja tambahan dalam wilayahnya,
di-sebut kerja lapangan, yaitu mengumpulkan informasi melalui observasi, wawancara, dan
ba-han yang berguna untuk mengembangkan gambaran dan menentukan "aturan budaya" dari
kelompok budaya. Seperti komentar Wolcott (1996 dalam Creswell, 1998:60), “They
(re-searcher) establish with a stranger would have to know in order to understand what is going
on here or, more challenging still, what a stranger would have to know in order to be able to
participate in a meaningful way.” Para penelitilah yang menentukan apa yang orang asing
harus tahu agar memahami apa yang terjadi atau, yang lebih menantang, apa yang seorang
asing harus tahu agar mampu berpartisipasi dengan cara yang benar.
Sebab, etnografer adalah orang yang sensitif terhadap masalah kerja lapangan
(Hammer-sley & Atkinson, 1995 dalam Creswell, 1998:60), seperti memperoleh akses ke kelompok
melalui para penjaga pintu masuk, yaitu orang yang bisa memberikan izin menuju situs
pe-nelitian. Seorang etnografer mencari informan kunci, yaitu individu yang mampu
memberi-kan pandangan yang berguna tentang kelompok dan dapat mengarahmemberi-kan si peneliti menuju
informasi dan hubungan. Peneliti lapangan pun harus peduli tentang pertukaran antara
penye-lidik dan subjek yang sedang dipelajarinya, di mana ada timbal baliknya bagi orang yang
di-pelajari sebagai ganti atas informasi. Reaktivitas, yaitu dampak dari peneliti terhadap situs
dan orang yang dipelajarinya. Menurut standar etika, keberadaan etnografer perlu diketahui
sehingga kebohongan, tujuan, atau maksud dari studinya dilakukan.
genera-200
lisasi tentang kehidupan sosial manusia (Wolcott, 1994b dalam Creswell, 1998:60). Produk
akhir dari usaha ini adalah gambaran budaya secara holistik mengenai kelompok sosial yang
mempersatukan, baik pandangan para aktor dalam kelompok (emic) maupun interpretasi
peneliti atas pandangan tentang kehidupan sosial manusia dalam perspektif ilmu sosial (etic).
Secara holistik, seorang etnografer berusaha menjelaskan sebanyak mungkin tentang sistem
budaya atau kelompok sosial, meliputi sejarah kelompok, agama, politik, ekonomi, dan
ling-kungan (Fetterman,1989 dalam Creswell, 1998:60).
Berdasarkan gambaran budaya, Creswell (1998:61) merujuk pada satu pandangan dari
seluruh peristiwa budaya dengan mengumpulkan semua aspek yang telah dipelajari mengenai
kelompok dan menunjukkan kerumitannya. Ia menyimpulkan bahwa etnografer akan
meng-gunakan beberapa alasan sebagai berikut:
▪
Peneliti harus memiliki pengetahuan dasar tentang antropologi kebudayaan dan arti dari
sistem sosial-budaya sesuai dengan konsep yang telah diteliti para etnografer.
▪
Waktu yang digunakan untuk mengumpulkan data diperluas, dengan memperpanjang waktu
di lapangan.
▪
Dalam banyak etnografi, cerita sering ditulis dalam bentuk sastra, hampir mendekati
pende-katan mendongeng, yaitu pendepende-katan yang membatasi audiens atas hasil kinerja dan
mung-kin mengharuskan para penulis untuk menyesuaikannya dengan pendekatan tradisional
da-lam menulis penelitian sosial dan ilmu kemanusiaan.
et-nografer yang berani mengambil risiko dengan masuk ke kelompok budaya atau sistem
yang tidak dikenal.
1.
Etnografi Baru
Menurut Marzali (dalam Spradley, 1997:xv), etnografi ditinjau secara harfiah, berarti
tulisan atau laporan tentang suatu suku-bangsa, yang ditulis seorang antropolog atas hasil
penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan, atau sekian tuhun. Penelitian
antro-pologis untuk menghasilkan laporan tersebut begitu khas, sehingga kemudian istilah
et-nografi juga digunakan untuk mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan
la-poran tersebut. Buku karangan Spradley ini khusus membicarakan etnografi sebagai
sua-tu jenis metode penelitian yang khas.
Namun etnografi baru, sebagaimana yang dianut Spradley, merupakan tipe yang khas,
yang mulai berkembang sekitar tahun 1960. Metode ini bersumber dari satu aliran baru
dalam ilmu antropologi, yang disebut cognitive anthropology, atau ethnoscience, atau
et-nografi baru. Penelitian ini juga merupakan upaya melakukan etet-nografi yang
dikemuka-kan Spradley.
Berbeda dari etnografi modern yang dipelopori Radcliffe-Brown dan Malinowski,
yang memusatkan perhatian pada organisasi internal suatu masyarakat yang
memban-dingkan sistem sosial, dalam rangka mendapatkan kaidah umum tentang masyarakat.
Et-nografi baru memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana berbagai masyarakat
mengorganisasikan budaya dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya
tersebut dalam kehidupan.
dides-202
kripsikan adalah stuktur sosial dan budaya masyarakat tersebut menurut interpretasi sang
peneliti. Sedangkan dalam etnografi baru, bentuk tersebut dianggap merupakan susunan
yang ada dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut. Tugas peneliti adalah
mengoreknya keluar dari dalam pikiran mereka. Cara mengorek dan mendeskripsikan
pola yang ada dalam pikiran manusia itu adalah khas, yaitu melalui metode folk
taxono-my, yaitu langkah ke-10 dalam etnografi yang dikemukakan Spradley.
2.
Budaya Menurut Etnografi Baru
Metode etnografi Spradley ini adalah khas aliran antropologi kognitif. Kata Marzali.
(dalam Spradley, 1997:xix), metode ini pada mulanya bertolak dari definisi budaya
me-nurut Ward Goodenough, salah seorang toko besar dalam teori antropologi. Meme-nurut dia,
”Budaya suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau
diperca-yai seseorang agar dia dapat berperilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh
masya-rakat. Budaya bukanlah suatu fenomena material, tidak terdiri atas benda, manusia,
peri-laku, atau emosi. Dia adalah sebuah pengorganisasian dari hal-hal tersebut. Dia adalah
satu bentuk hal-ihwal yang dipunyai manusia dalam pikiran (mind), model yang mereka
punya untuk mempersipkan, menghubungkan, dan seterusnya menginterpretasikan
hal-ihwal tersebut.” Dalam usaha menciptakan definisi ini, Goodenough banyak terpengaruh
oleh kajian linguistik.
Oleh karena itu, objek kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, tetapi
tentang cara fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind) manusia.
Sing-katnya, budaya itu ada dalam pikiran (mind) manusia, dan bentuknya adalah organisasi
pikiran tentang fenomena material. Tugas etnografi adalah menemukan dan
menggam-barkan organisasi pikiran tersebut.
Jalan yang paling mudah dan paling tepat untuk memperoleh budaya tersebut adalah
melalui bahasa, atau lebih khusus lagi, melalui daftar kata yang ada dalam satu bahasa.
Studi bahasa suatu masyarakat adalah titik masuk, sekaligus aspek utama dalam etnografi
aliran antropologi kognitif ini. Kata Spradley (1997:xx), ”Pendekatan apa pun yang
digu-nakan etnografer, pengumpulan riwayat hidup, atau satu strategi campuran, bahasa
mun-cul pada setiap fase dalam proses penelitian.”
Pengertian kebudayaan, dalam penelitian ini juga merujuk pada pengetahuan yang
di-peroleh, yang digunakan orang untuk menginterprestasikan pengalaman dan melahirkan
tingkah laku sosial. Budaya yang dimaksudkan adalah budaya multimedia di mana orang
yang sudah melek media (media literate) memiliki pemikiran (mind) yang kritis terhadap
setiap media yang mereka akses.
Definisi kebudayaan dalam terminologo etnografi baru ini semakin gamblang
dijelas-kan Spradley dengan menggunadijelas-kan gambaran dalam sebuah berita di Minneapolis
Tribu-ne (1973), dengan judul, Kerumunan Orang Salah.
Hartford, Connecticut, 23 November 1973. Tiga orang anggota polisi yang sedang
memberikan pertolongan pijatan jantung dan bantuan oksigen kepada seorang korban
serangan jantung, Jumat, diserang segerombolan orang yang terdiri atas 75 sampai 100
204
Sejumlah anggota polisi menghadang gerombolan yang kebanyakan berbahasa
Spa-nyol sampai sebuah ambulans datang. Para anggota polisi itu berusaha menjelaskan
ke-pada kerumunan orang tersebut mengenai apa yang mereka kerjakan. Tapi, kerumunan
tersebut menganggap bahwa anggota polisi memukuli wanita itu. Meskipun upaya keras
telah dilakukan para anggota polisi, namun korban serangan jantug itu, Evangelica
Echecvacria, 59 tahun, meninggal dunia.
Dengan membatasi definisi kebudayaan dengan pengetahuan yang dimiliki bersama,
etnografer tidak menghilangkan perhatian pada tingkah laku, adat, objek, atau emosi.
Et-nografer sekadar mengubah penekanan dari berbagai fenomena ini menjadi penekanan
pada makna berbagai fenomena itu. Etnografer mengamati tingkah laku, tetapi lebih dari
itu, dia menyelidiki makna tingkah laku itu. Etnografer melihat berbagai artefak dan
objek alam, tetapi lebih dari itu dia juga menyelidiki makna yang diberikan orang
terhadap berbagai objek itu. Etnografer mengamati dan mencatat berbagai kondisi
emo-sional, tetapi lebih dari itu dia juga menyelidiki makna rasa takut, cemas, marah, dan
berbagai perasaan lain.
Konsep kebudayaan ini (sebagai suatu sistem simbol yang mempunyai makna)
ba-nyak yang mempunyai persamaan dengan interaksionalisme simbolik, sebuah teori yang
berusaha menjelaskan tingkah laku maanusia dalam kaitannya dengan makna
interaksio-nisme simbolik berakar dari karya ahli sosiologi seperti Cooley, Mead, dan Thomas.
Blu-mer yang mengidentifikasikan tiga premis sebagai landasan teori ini (1969).
Premis pertama, ”Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan
oleh berbagai hal itu kepada mereka” (1969:2 dalam Spradley, 1997:7)”. Para anggota
polisi dan kerumunan orang itu berinteraksi atas dasar makna yang terkandung dalam
berbagai hal itu bagi mereka. Lokasi geografis, tipe orang, mobil polisi, gerakan polisi,
tingkah laku wanita yang sedang sakit, dan berbagai aktivitas para penonton, semua
me-rupakan simbol yang mempunyai makna khusus. Orang tidak bertindak terhadap berbagai
hal ini, tetapi terhadap makna yang dikandungnya.
Premis kedua, yang mendasari interaksionisme simbolik adalah bahwa ”Makna
206
(Blumer 1969:2, dalam Spradley, 1997:7). Kebudayaan, sebagai suatu sistem makna yang
dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefinisikan dalam konteks
orang yang berinteraksi. Kerumunan itu mempunyai definisi yang sama mengenai
ting-kah laku polisi melalui interaksi satu sama lain dan melalui hubungan dengan polisi pada
waktu yang lalu. Para anggota polisi memperoleh makna budaya yang mereka gunakan
melalui interaksi dengan sesama pejabat polisi lainnya dan dengan para anggota
komuni-tas itu. Budaya masing-masing kelompok, tak dapat disangkal lagi, terikat dengan
kehi-dupan sosial komunitas mereka yang khas.
Premis ketiga, dari interaksionisme simbolik adalah bahwa, ”Makna ditangani atau
dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yan digunakan oleh orang dalam kaitannya
dengan berbagai hal yang dia hadapi” (Blumer 1969:2, dalam Spradley, 1997:7). Baik
ke-rumunan orang itu maupun anggota polisi bukanlah robot yang dikendalikan oleh
kebu-dayaan mereka untuk bertindak sebagaimana yang mereka lakukan. Namun, mereka
menggunakan kebudayaan untuk menginterpretasikan situasi itu. Pada suatu saat, seorang
anggota kerumunan itu mungkin menginterpretasikan tingkah laku anggota polisi dengan
cara yang agak berbeda sehingga memunculkan reaksi yang berbeda pula.
3.
Untuk Apa Etnografi
Etnografi didasarkan pada asumsi berikut: Pengetahuan dari semua kebudayaan
sa-ngat tinggi nilainya. Asumsi ini membutuhkan pengujian yang cermat. Untuk tujuan apa
etnografer mengumpulkan informasi? Untuk alasan apakah seseorang berusahaa
mene-mukan apa yang harus diketahui orang untuk melintasi salju di kutub dengan kereta
lun-cur yang ditarik anjing, hidup di desa-desa di Melanesia yang jauh, atau bekerja di
ber-bagai pencakar langit di New York? Siapa saja yang harus melakukan etnografi?
Memahami Rumpun Manusia. Tujuan antropologi sosial, yaitu untuk
mendeskrip-sikan dan menerangkan keteraturan serta berbagai variasi tingkah laku sosial. Mungkin
gambaran yang paling menonjol dari manusia adalah diversitasnya. Mengapa satu
rum-pun ini menunjukkan variasi semacam itu, menciptakan pola perkawinan yang berbeda,
memegang nilai yang berbeda, mengonsumsi makanan yang berbeda, mengasuh anak
dengan cara yang berbeda, mempercayai tuhan yang berbeda, serta mengejar tujuan yang
berbeda pula? Jika etnografer memahami diversitas ini, maka ia harus mulai dengan
men-deskripsikannya secara hati-hati. Kebanyakan diversitas dalam rumpun manusia muncul,
karena diversitas yang diciptakan oleh masing-masing kebudayaan dan diteruskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Deskripsi kebudayaan, sebagai tugas utama dari
et-nografi, merupakan langkah pertama dalam memahami rumpan manusia.
diper-208
oleh. Perbandingan tidak hanya mengungkapkan perbedaan, tetapi juga kemiripan, yaitu
hal-hal yang sama di dalam semua kebudayaan di dunia. Oleh kerena itu dalam
penger-tian yang paling umum, etnografi memberikan sumbangan secara langsung dalam
des-kripsi dan penjelasan keteraturan serta evaluasi dalam tingkah laku sosial manusia.
Banyak ilmu sosial memiliki tujuan yang lebih terbatas. Dalam studi tingkah laku
mana pun etnografi mempunyai peranan yang penting. Beberapa sumbangannya yang
khas dapat diidentifikasi. (1) Menginformasikan teori ikatan-budaya. Setiap kebudayaan
memberikan cara untuk melihat dunia. Kebudayaan memberikan kategori, tanda, dan
ju-ga mendefinisikan dunia di mana orang itu hidup. Kebudayaan meliputi berbaju-gai asumsi
mengenai sifat dasar realitas dan juga informasi yang spesifik mengenai realitas itu.
Ke-budayaan mencakup nilai yang menspesifikasikan hal yang baik, benar dan bisa
diper-caya. Apabila orang mempelajari kebudayaan, maka sampai batas tertentu dia terpenjara
tanpa mengetahuinya. Para ahli antropologi mangatakan hal ini sebagai “ikatan-budaya”
(culture-bound), yaitu hidup dalam realitas tertentu yang dipandang sebagai “realitas”
yang benar.
Sebagai contoh, teori ketercerabutan badaya (culture deprivation). Ide ini muncul
dalam bentuk yang konkret pada tahun 1960-an untuk menerangkan kegagalan
pendidik-an ypendidik-ang dialami kebpendidik-anyakpendidik-an pendidik-anak. Dalam upaya menerpendidik-angkpendidik-an tidak adpendidik-anya prestasi pada
anak itu, maka dikemukakan bahwa mereka mengalami “ketercerabutan budaya”
(cultu-rally deprived). Studi mengenai ketercerabutan badaya dilaksanakan dengan
memfokus-kan pada kelompok budaya Indian, Chicano, kulit hitam dan berbagai kelompok budaya
lainnya. Teori ini dapat dikonfirmasikan dengan mempelajari anak dari budaya melalui
sekat pelindung teori ini. Bagaimanapun, penelitian etnografi terhadap budaya “anak”
yang mengalami “ketercerabutan budaya” mengungkapkan suatu kisah yang berbeda.
Mereka telah mengelaborasi kebudayaan yang canggih dan adaptif yang sama sekali
ber-beda dengan kebudayaan yang didukung oleh sistem pendidikan. Walaupun masih
didu-kung di beberapa tempat, teori ini merupakan cara untuk mengatakan bahwa orang
terce-rabut dari “kebudayaan saya”. Tentu saja tak seorang pun akan berpendapat bahwa anak
itu tidak berbicara dalam bahasa Spanyol atau bahasa Inggris dengan baik, bahwa mereka
tidak melakukan dengan baik hal-hal yang menurut kebudayaan mereka dipandang
berni-lai. Tetapi sifat dasar ikatan-budaya teori psikologi dan sosiologi jauh di luar gagasan
ke-tercerabutan budaya. Semua teori yang yang dikembangkan dalam ilmu perilaku Barat
didasarkan pada premis implisit kebudayaan Barat, yang biasanya merupakan versi
pa-ling khas profesional kelas menengah.
210
Anda menerapkan teori Anda pada orang yang Anda pelajari, temukanlah bagaimana
orang itu mendefinisikan dunia”. Etnografi dapat mendeskripsikan secara detail teori
penduduk asli yang telah diuji dalam situasi kehidupan aktual selama beberapa generasi.
Begitu kepribadian, masyarakat, individu dan lingkungan dipelajari dari perspektif yang
lain dari perspektif kebudayaan ilmiah profesional, maka etnografer sampai pada sikap
rendah hati epistemologis, mereka sadar akan sifat sementara dari teori dan hal ini akan
memungkinkan mereka untuk memperbaiki teori itu agar tidak terlalu etnosentris.
Menemukan teori grounded. Banyak penelitian ilmu sosial diarahkan pada tugas
menguji teori formal. Salah satu alternatif bagi teori formal, dan strategi untuk
menghi-langkan etnosentrisme adalah dengan mengembangkan teori yang didasarkan pada data
empiris deskripsi kebudayaan. Glaser dan Strauss (dalam Spradley, 1997:15) menyebut
teori ini dengan teori grounded. Etnografi menawarkan strategi yang baik sekali untuk
menemukan teori grounded. Sebagai contoh, etnografi mengenai anak dari lingkungan
kebudayaan minoritas di Amerika Serikat yang berhasil di sekolah, dapat
mengembang-kan teori grounded mengenai penyelenggaraan sekolah. Studi semacam itu
mengungkap-kan bahwa, anak itu bumengungkap-kanya mengalami ketercerabutan budaya, sebaliknya mereka
mengalami banjir budaya (culturally overwhelmed), di mana keberhasilan mereka dalam
sekolah disebabkan oleh kemampuan dua-kebudayaan (bicultural) sekaligus.
mula-mula menemukan berbagai aturan budaya untuk pengambilan keputusan dalam
kebuda-yaan tertentu. Daftar ini dapat menjadi sangat panjang karena hampir setiap bidang teori
ilmu sosial mempunyai padananannya dalam kebudayaan dunia.
Memahami masyarakat kompleks. Sampai sekarang ini, etnografi umumnya
ditu-runkan ke berbagai kebudayaan kecil, non-Barat. Nilai mempelajari masyarakat seperti
ini sudah dapat diterima bagaimanapun, etnografer tidak banyak tahu tentang mereka.
Pe-neliti tidak dapat melakukan survei untuk eksperimen, sehingga etnografi dalam
mema-hami kebudayaan sendiri (yang kompleks) sering diabaikan.
Kebudayaan modern telah memberi mitos tentang masyarakat yang kompleks-mitos
tentang tempat bercampur. Ilmuwan sosial telah berbicara tentang “kebudayaan
Ameri-ka“ seolah-olah kebudayaan itu mencakup serangkaian nilai yang dimiliki bersama oleh
setiap orang. Semakin jelas bahwa seseorang tidak mempunyai kebudayaan yang
homo-gen, bahwa orang yang hidup dalam masyarakat modern yang kompleks sebenarnya
hi-dup dengan berbagai macam aturan budaya yang berbeda. Hal ini tidak hanya benar
untuk kelompok etnik yang paling menonjol, tetapi masing-masing kelompok kerja
me-nunjukkan berbagai perbedaan budaya.
212
orang yang tidak cacat fisik, walaupun mereka tinggal dalam satu kota. Begitu orang
ber-pindah dari satu kondisi kebudayaan ke kondisi kebudayaan lain dalam masyarakat yang
kompleks, maka mereka menggunakan aturan budaya yang berbeda. Etnografi
menawar-kan salah satu cara terbaik untuk memahami gambaran kehidupan modern yang
kom-pleks ini. Etnogafi dapat menunjukkan berbagai perbedaan budaya dan bagaimana orang
dengan perspektif yang berbeda dengan berinteraksi.
Memahami perilaku manusia. Tingkah laku manusia berbeda dengan tingkah laku
binatang, memiliki beragam makna bagi pelakunya. Makna ini dapat ditemukan.
Etnogra-fer dapat menanyakan seseorang yang mengumpulkan kerang laut mengenai
pekerja-annya itu, apa yang dilakukpekerja-annya, mengapa dia melakukan hal itu. Penjelasan apa pun
mengenai tingkah laku yang mengabaikan apa yang diketehui oleh pelaku, masih
meru-pakan penjelasan yang parsial. Alat etnografi menawarkan satu cara untuk membahas
kenyatan makna ini. Oleh karena itu, salah satu tujuan etnografi adalah memahami
rum-pun manusia.
B.
Informan
Informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima orang yang sudah media
lite-rate atau melek media. Mereka adalah karyawan HU Pikiran Rakyat yang mampu bersikap
kritis terhadap media, bahkan mampu menciptakan media alternatif. Lima orang informan ini
menggunakan media secara produktif dan mampu menghindar dari penggunaan media secara
kontraproduktif.
terha-dap rekan sejawat tidak menyebabkan bias pada hasil penelitian ini? Menjawab persoalan ini,
Spradley (1997:46) tidak memasukkan persyaratan ”sejawat dan sekantor” sebagai
peng-halang menjadi informan yang baik.
Dia (Spradley, 1997:46) bahkan bercerita bahwa selama sepuluh tahun mendengarkan
ratusan mahasiswa yang melakukan penelitian etnografi mengeluh tentang hubungan peneliti
etnografi dengan informan. Kesulitan yang kebanyakan dialami adalah karena perbedaan
identitas, penghalang budaya, kepribadian yang tidak sesuai, dan kurangnya keterampilan
interpersonal. Tapi hakikatnya, persoalan yang paling menonjol muncul karena kegagalan
mereka dalam menemukan informan yang baik.
Yang dimaksudkan dengan informan yang baik adalah orang yang dapat membantu
etno-grafer pemula dalam mempelajari budaya informan yang pada waktu yang sama pemula itu
juga belajar mengenai keterampilan wawancara. Maka Spradley (1997:46) menyimpulkan
bahwa informan yang baik adalah orang yang memiliki lima persyaratan minimal, yaitu (1)
orang yang sudah terenkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang
ti-dak dikenal, (4) waktu yang cukup, dan (5) nonanalitis.
”By good informant, I meant someone who can assist the novice etnografer in learning
abaot that informant’s culture while at the same time learning the interviewing skills. Based
on the experience of undergraduate and graduate students, long discussion with professional
etnografers, and my own ethnographic interviewing, I have identified five minimal
require-ments for for selecting a good informant: (1) thorough enculturation, (2) current
involve-ment, (3) an unfamiliar cultural scence, (4) adequate time, and (5) nonanalitic.
214
dilakukan dengan cara yang sangat spesifik, agar tidak dikacaukan dengan konsep seperti
subjek penelitian, responden, kawan atau pelaku.
Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary (dalam Spradley, 1997:35), informan
ada-lah “Seorang pembicara asli yang berbicara dengan mengulang kata-kata, frasa, dan kalimat
dalam bahasa atau dialeknya sebagai model imitasi dan sumber informasi.” Walaupun
sifat-nya sangat linguistis, namun definisi ini dipakai sebagai titik awal pembahasan tentang
in-forman yang penting. Sebab, inin-forman merupakan pembicara asli (native speaker). Inin-forman
diminta oleh etnografer untuk “berbicara dalam bahasa atau dialeknya sendiri”. Informan
memberikan “model untuk dicontoh oleh etnografer”, etnografer ingin belajar menggunakan
bahasa asli dengan cara yang dilakukan oleh informan. Akhirnya, informan merupakan
sumber informasi. Secara harfiah, mereka menjadi “guru” bagi etnografer.
Dalam kehidupan sehari-hari, sesungguhnya banyak orang bertindak sebagai informan,
meskipun tanpa menyadarinya. Seseorang, misalnya, memberikan informasi kepada orang
lain dengan menjawab sejumlah pertanyaan mengenai kehidupannya sehari-hari. ”Dari
ke-luarga yang bagaimana Anda berasal?” “Apa yang Anda lakukan di sekolah?”
“Permasalah-an apa y“Permasalah-ang Anda hadapi sebagi seor“Permasalah-ang pelay“Permasalah-an w“Permasalah-anita di kedai minum“Permasalah-an?” “Anda
me-ngumpulkan buku komik? Tampaknya menarik. Buku apa saja?” Pertanyaan semacam itu
menempatkan orang yang ditanya dalam peran sebagai informan.
memperoleh pengetahuan yang tampak spesifik bagi orang lain. Seorang shaman mengetahui
bagaimana melakukan berbagai ritual magis; Seorang ibu rumah tangga dapat
mempersiap-kan mamempersiap-kanan untuk liburan; Seorang olah ragawan merupamempersiap-kan seorang yang ahli dalam
me-mancing ikan air tawar; dan sebagainya.
Dalam penelitian ini, informan yang diambil merupakan campuran antara yang pakar
ten-tang media dan orang awam. Disebut pakar, karena informan tersebut memiliki kemampuan
yang tinggi dalam mengoperasikan media, khususnya komputer yang digunakan untuk
inter-net, baik berkaitan dengan hardware maupun software. Bahkan, seorang dari lima informan
tersebut sehari-hari bertugas membuat program komputer dan mengoperasikannya di
ling-kungan HU Pikiran Rakyat Bandung. Sedangkan empat informan lainnya termasuk kategori
awam, dalam arti meskipun mereka sangat mahir menggunakan multimedia, khususnya
inter-net, namun mereka hanyalah user, bukan pembuat program.
C.
Prinsip Etika dalam Etnografi
216
informan adalah anak, bolehkah guru atau orang tua mempunyai hubungan dengan catatan
lapangan etnografer tersebut? Bolehkah peneliti membayar informan agar bersedia
diwa-wancara?
Manakala dihadapkan pada beberapa pilihan semacam itu, maka etnografer perlu
mem-pertimbangkan prinsip etika yang diadopsi The American Anthropological Assosiation
ten-tang Principles of Professional Responsibility (1971). Prinsip etika tersebut adalah:
(a)
Mempertimbangkan informan terlebih dahulu. Dalam penelitian, tanggung jawab
utama ahli antropologi adalah terhadap pihak yang dipelajarinya. Jika terjadi konflik
kepentingan, individu ini yang harus dikedepankan terlebih dahulu. Ahli antropologi
harus melakukan segala sesuatu dalam kekuasaannya untuk melindungi kesejahteraan
fisik, sosial dan psikologi mereka dan menghormati martabat serta privasi mereka.
(Principle of Professional Responsibility, 1971, par. 1)
(b)
Mengamankan hak, kepentingan, dan sensitivitas informan. Bila penelitian
meli-batkan perolehan bahan dan informasi yang disampaikan berdasarkan asumsi
keperca-yaan antarorang, maka sudah jelas sebenarnya bahwa hak, kepentingan, serta
sensitivi-tas pihak yang dipelajari harus dilindungi. (Principle of Professional Responsibility,
1971, par. 1.a)
(c)
Menyampaikan tujuan penelitian. Tujuan penelitian harus disampaikan sebaik
mung-kin kepada informan. (Principle of Professional Responsibility, 1971, par. 1b)
atau dalam pengamatan terlibat. Pihak yang diteliti harus memahami kapasitas alat ini.
Mereka bebas menolak peralatan itu jika mereka menghendaki.