• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Struktur Rangka Beton Bertulang dengan Perkuatan Breising Konsentrik V-Terbalik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemodelan Struktur Rangka Beton Bertulang dengan Perkuatan Breising Konsentrik V-Terbalik."

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN STRUKTUR RANGKA BETON

BERTULANG DENGAN PERKUATAN BREISING

KONSENTRIK V-TERBALIK

TUGAS AKHIR

Oleh:

Ida Bagus Prastha Bhisama NIM: 1204105029

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA

(2)
(3)
(4)

iii ABSTRAK

Penelitian tentang pemodelan struktur rangka beton bertulang dengan breising konsentrik V-terbalik dilakukan dengan membuat model gedung 3, 4, dan 5 tingkat. Perilaku struktur kemudian dibandingkan dengan menggunakan analisis konvensional, dan kinerja struktur dengan analisis statik nonlinier pushover. Pada tahap awal, model OF didesain sesuai SNI-1726-2002 untuk memperoleh kebutuhan tulangan, yang kemudian disebut tulangan terpasang. Model tersebut kemudian didesain sesuai SNI-1726-2012 dan kebutuhan tulangan pada beberapa komponen struktur meningkat. Model BF dibuat untuk mengatasi situasi tersebut dengan menambahkan elemen breising konsentrik V-terbalik pada portal bagian tengah untuk setiap tingkat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan breising sebagai perkuatan struktur mampu mengurangi kebutuhan tulangan dengan persentase penurunan sebesar 4% - 41% pada balok dan 20% - 75% pada kolom. Gaya-gaya dalam komponen struktur pada model BF mengalami penurunan sebesar 4% - 62%. Simpangan yang terjadi juga mengalami penurunan sebesar 75% - 85%. Ketiga perbandingan tersebut menunjukkan bahwa penambahan breising konsentrik V-terbalik pada gedung rangka terbuka dapat memperkuat struktur secara signifikan, baik dalam menurunkan gaya-gaya dalam, luas tulangan, simpangan maupun kebutuhan tulangan. Hasil analisis pushover menunjukkan Model BF mampu menahan gaya geser dasar yang jauh lebih besar dibandingkan model OF pada kondisi elastis 355% - 381% dan pada kondisi batas 15% - 180%. Model BFA mampu menahan gaya geser dasar yang jauh lebih besar dibandingkan Model BF, dimana pada kondisi elastis 23% - 77% dan pada kondisi batas 77% - 147%. Kinerja dari model BFA juga lebih baik karena leleh pertama terjadi di balok, tidak seperti BF yang mengalami leleh pertama di breising.

(5)

iv UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Pemodelan Struktur Rangka Beton Bertulang dengan Perkuatan Breising Konsentrik V-Terbalik.”

Selesainya tugas ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, saran, dan

motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada Bapak Ir. Made Sukrawa, MSCE., Ph.D. dan Bapak Ida Bagus

Rai Widiarsa, ST., MASc., Ph.D.selaku Dosen Pembimbing, kedua orang tua atas

semangat dan doa yang diberikan dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan

namanya satu persatu.

Bukit Jimbaran, 7 April 2016

(6)

DAFTAR ISI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Umum ... 4

2.2 Beban Gempa Menurut SNI-1726-2002 ... 4

2.3 Beban Gempa Menurut SNI-1726-2012 ... 5

2.4 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012 ... 6

2.5 Perkuatan Struktur ... 8

2.6 Breising ... 9

2.6.1 Sistem Rangka Breising Konsentrik ... 10

2.6.2 Sistem Rangka Breising Konsentrik Biasa (SRBKB) ... 11

2.6.3 Sistem Rangka Breising Konsentrik Khusus (SRBKK) ... 11

2.7 Penelitian Terkait Penggunaan Breising Sebagai Perkuatan Struktur Rangka Beton Bertulang ... 12

2.7.1 Ismail et al (2015) ... 13

2.7.2 Massumi dan Absalan (2013)... 15

2.7.3 Viswanath et.al (2010) ... 17

2.7.4 Massumi dan Tasnimi (2008)... 19

2.7.5 Ghaffarzedeh dan Maheri (2009) ... 20

2.7.6 Youssef et al. (2007) ... 22

2.8 Analisis Kinerja Struktur... 24

2.9 Analisis Pushover Statik Nonlinier pada SAP2000 ... 26

2.9.1 Kurva Kapasitas ... 26

2.9.2 Sasaran Kinerja Analisis Statik Pushover ... 28

2.9.3 Sendi Plastis ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

3.1 Model Struktur ... 30

3.2 Data Struktur ... 31

3.2.1 Data Material ... 31

3.2.2 Data Geometri Struktur ... 31

3.2.3 Data Pembebanan ... 34

(7)

vi

3.4 Pemodelan Breising ... 40

3.5 Analisis Struktur... 41

3.5.1 Analisis Linier ... 41

3.5.2 Analisis Nonlinier ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 55

4.1 Dimensi Komponen Struktur ... 55

4.2 Perbandingan Gaya-gaya Dalam dan Kebutuhan Tulangan ... 56

4.2.1 Gaya-gaya Dalam ... 56

4.2.2 Perbandingan Kebutuhan Tulangan ... 59

4.3 Perbandingan Simpangan dan Drift Ratio... 68

4.4 Hasil Analisis Nonlinier Statik Pushover ... 69

4.4.1 Evaluasi Kinerja Struktur ... 69

4.4.2 Kurva Kapasitas Analisis Pushover ... 78

BAB V PENUTUP ... 82

5.1 Simpulan ... 82

5.2 Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(8)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bentuk tipikal spektrum respons gempa rencana ... 7

Gambar 2.2 Spektrum respons desain ... 7

Gambar 2.3 Keefektifan dinding dan breising ... 9

Gambar 2.4 Tipe breising ... 10

Gambar 2.5 Lokasi Penempatan Steel Bracing ... 13

Gambar 2.6 Perbandingan simpangan antar lantai struktur ... 14

Gambar 2.7 Hasil Pemasangan Breising V-terbalik ... 15

Gambar 2.8 Detail Model Uji pada Penelitian ... 16

Gambar 2.9 Pola Retak dari Pengujian ... 16

Gambar 2.10 Hubungan Antara Lateral Load dan Lateral Displacement ... 17

Gambar 2.11 Skema tes dan pembebanan... 19

Gambar 2.12 Detail dari Rangka Momen dan Rangka Breising ... 23

Gambar 2.13 Hubungan beban dan rasio simpangan ... 24

Gambar 2.14 Ilustrasi perancangan gempa berbasis kinerja ... 25

Gambar 2.15 Kurva kapasitas analisis pushover... 27

Gambar 3.1 Denah Struktur ... 32

Gambar 3.2 Potongan A-A Model OF3 ... 32

Gambar 3.3 Potongan A-A Model BF3 ... 33

Gambar 3.4 Potongan A-A Model OF4 ... 33

Gambar 3.5 Potongan A-A Model BF4 ... 33

Gambar 3.6 Potongan A-A Model OF5 ... 34

Gambar 3.7 Potongan A-A Model BF5 ... 34

Gambar 3.8 Pengaturan UBC 97 sesuai dengan SNI-1726-2002 ... 36

Gambar 3.9 Pengaturan IBC 2009 sesuai dengan SNI-1726-2012 ... 36

Gambar 3.11 Metode Menggambar Breising Cepat (Quick Draw Braces) ... 40

Gambar 3.12 Portal yang akan Diperkuat dengan Breising ... 40

Gambar 3.13 Hasil Pemodelan Breising ... 41

Gambar 3.14 Pendefisian Properti Sendi Plastis pada Rangka ... 42

Gambar 3.15 Definisi sendi plastis Balok M3 ... 43

Gambar 3.16 Properti Sendi Plastis pada Balok untuk Momen M3 ... 43

Gambar 3.17 Definisi sendi plastis Balok V2 ... 44

Gambar 3.18 Properti Sendi Plastis pada Balok untuk Gaya Geser V2... 44

Gambar 3.19 Definisi Sendi Plastis Kolom ... 45

Gambar 3.20 Properti Sendi Plastis pada Kolom - Interaksi P-M2-M3 ... 45

(9)

viii

Gambar 3.22 Penentuan Posisi Sendi Plastis pada Kolom ... 46

Gambar 3.23 Pendefinisian Kasus Beban ... 47

Gambar 3.24 Data Kasus Beban Gravity ... 48

Gambar 3.25 Kontrol Penggunaan Beban pada Kasus Beban Gravity ... 49

Gambar 3.26 Pengaturan Penyimpanan Hasil untuk Kasus Beban Gravity ... 49

Gambar 3.27 Parameter Nonlinier pada Kasus Beban Gravity... 50

Gambar 3.28 Data Kasus Beban Push ... 51

Gambar 3.29 Parameter Nonlinier pada Kasus Beban Push ... 52

Gambar 3.30 Kasus Beban yang Telah Terdefinisi ... 53

Gambar 3.31 Pemilihan Kasus Beban yang akan dijalankan pada Model ... 54

Gambar 4.1 Luas tulangan terpasang (mm2) Model OF3 - SNI Gempa 2002 ... 59

Gambar 4.2 Luas tulangan terpasang (mm2) Model OF4 - SNI Gempa 2002 ... 60

Gambar 4.3 Luas tulangan terpasang (mm2) Model OF5 - SNI Gempa 2002 ... 60

Gambar 4.4 Tulangan perlu (mm2) Model OF3 - SNI Gempa 2012 ... 61

Gambar 4.5 Tulangan perlu (mm2) Model OF4 - SNI Gempa 2012 ... 61

Gambar 4.6 Tulangan perlu (mm2) Model OF5 - SNI Gempa 2012 ... 62

Gambar 4.7 Kebutuhan Tulangan (mm2) Model BF3 ... 64

Gambar 4.8 Stress Ratio pada Breising Model BF3 ... 64

Gambar 4.9 Kebutuhan Tulangan (mm2) Model BF4 ... 65

Gambar 4.10 Stress Ratio pada Breising Model BF4 ... 65

Gambar 4.11 Kebutuhan Tulangan (mm2) Model BF5 ... 66

Gambar 4.12 Stress Ratio pada Breising Model BF5 ... 66

Gambar 4.13 Perbandingan simpangan antara OF dan BF Ketiga Model ... 68

Gambar 4.14 Sendi Plastis pada model OF3 ... 70

Gambar 4.15 Sendi Plastis pada model BF3 ... 71

Gambar 4.16 Sendi Plastis pada model OF4 ... 72

Gambar 4.17 Sendi Plastis pada model BF4 ... 73

Gambar 4.18 Sendi Plastis pada model OF5 ... 74

Gambar 4.19 Sendi Plastis pada model BF5 ... 75

Gambar 4.20 Sendi Plastis pada model BF3A ... 76

Gambar 4.21 Sendi Plastis pada Model BF4A ... 77

Gambar 4.22 Sendi Plastis pada Model BF5A ... 77

Gambar 4.23 Perbandingan kurva kapasitas model OF3, BF3, dan BF3A... 78

Gambar 4.24 Perbandingan kurva kapasitas model OF4, BF4, dan BF4A... 79

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012 ... 6

Tabel 2.2 Perbandingan Gaya Dalam pada Balok ... 14

Tabel 2.3 Data model setelah dari hasil pengujian ... 23

Tabel 4.1 Dimensi komponen struktur model 3 Tingkat ... 55

Tabel 4.2 Dimensi komponen struktur model 4 Tingkat ... 55

Tabel 4.3 Dimensi komponen struktur model 5 Tingkat ... 55

Tabel 4.4 Perbandingan momen maksimum antara OF3 dan BF3 ... 56

Tabel 4.5 Perbandingan momen maksimum antara OF4 dan BF4 ... 56

Tabel 4.6 Perbandingan momen maksimum antara OF5 dan BF5 ... 57

Tabel 4.7 Perbandingan gaya geser maksimum antara OF3 dan BF3 ... 57

Tabel 4.8 Perbandingan gaya geser maksimum antara OF4 dan BF4 ... 57

Tabel 4.9 Perbandingan gaya geser maksimum antara OF5 dan BF5 ... 58

Tabel 4.10 Perbandingan gaya aksial maksimum antara OF3 dan BF3 ... 58

Tabel 4.11 Perbandingan gaya aksial maksimum antara OF4 dan BF4 ... 58

Tabel 4.12 Perbandingan gaya aksial maksimum antara OF5 dan BF5 ... 59

Tabel 4.13 Perbandingan Luas Tulangan pada model OF3 ... 62

Tabel 4.14 Perbandingan Luas Tulangan pada model OF4 ... 63

Tabel 4.15 Perbandingan Luas Tulangan pada model OF3 ... 63

Tabel 4.16 Perbandingan Luas Tulangan pada Model OF3 dengan Model BF3 .. 67

Tabel 4.17 Perbandingan Luas Tulangan pada Model OF4 dengan Model BF4 .. 67

Tabel 4.18 Perbandingan Luas Tulangan pada Model OF5 dengan Model BF5 .. 67

Tabel 4.19 Drift ratio (Dr) Model OF dan BF ... 69

Tabel 4.20 Tabel mekanisme terjadinya sendi plastis OF3... 70

Tabel 4.21 Tabel mekanisme terjadinya sendi plastis BF3 ... 71

Tabel 4.22 Tabel mekanisme terjadinya sendi plastis OF4... 72

Tabel 4.23 Tabel mekanisme terjadinya sendi plastis BF4 ... 73

Tabel 4.24 Tabel mekanisme terjadinya sendi plastis OF5... 74

Tabel 4.25 Tabel mekanisme terjadinya sendi plastis BF5 ... 75

Tabel 4.26 Tabel mekanisme terjadinya sendi plastis BF3A ... 76

Tabel 4.27 Tabel mekanisme terjadinya sendi plastis BF4A ... 76

(11)

x

DAFTAR NOTASI

Ao : Percepatan puncak muka tanah I : Faktor keutamaan gedung

Tc : Waktu getar alami

C : Faktor respon gempa

Ar : Pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C

Am : Percepatan respons maksimum

Tc : Waktu getar alami struktur gedung (detik)

ζ : Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung n : Jumlah tingkat

Cv : Nilai faktor respon gempa vertikal (Cv)

ψ : Koefisien yang disesuaikan dengan wilayah gempa tempat struktur gedung berada

Sa : Akselerasi respons spektrum yang berkesesuaian dengan waktu getar alami efektif pada arah yang ditinjau

SDS : Parameter percepatan spektrum respons desain dalam rentang perioda pendek seperti ditentukan pada SNI 1726-2012 pasal 6.3 atau 6.9

SD1 : Parameter percepatan spektrum respons desain pada perioda sebesar 1,0 detik, seperti ditentukan pada SNI 1726-2012 pasal 6.10.4

S1 : Parameter percepatan spektrum respons maksimum yang dipetakan yang ditentukan sesuai dengan SNI 1726-2012 pasal 6.10.4

R : Faktor koefisien modifikasi respon

Cd : Pembesaran defleksi

Ωo : Faktor kuat lebih sistem

Ry : Rasio dari tegangan leleh yang diinginkan,

Fy : Tegangan leleh minimum dari baja yang digunakan

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangunan yang telah dibangun di Indonesia pada umumnya merupakan

struktur rangka beton bertulang dan dalam proses konstruksinya direncanakan

menggunakan SNI-1726-2002 (SNI Gempa lama). Ditetapkannya SNI-1726-2012

(SNI Gempa baru) tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur

bangunan dan non-bangunan, sebagai revisi terhadap SNI Gempa lama,

menyebabkan beberapa wilayah di Indonesia mengalami peningkatan risiko yang

dinyatakan dengan kategori disain seismik (KDS). Peningkatan kategori desain

seismik berakibat pada peningkatan beban gempa rencana dan peningkatan syarat

pendetailan struktur. Oleh karenanya, pada umumnya struktur bangunan yang

dirancang menggunakan SNI Gempa lama akan mengalami tegangan berlebih jika

menerima beban gempa rencana menurut SNI Gempa baru.

Tegangan berlebih ini menyebabkan kegagalan struktur ringan sampai berat

yang tidak hanya menyebabkan kerugian materi, tetapi juga bisa menimbulkan

korban jiwa. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, bangunan yang telah berdiri

dan direncanakan dengan menggunakan SNI Gempa lama perlu dianalisis kembali

sesuai ketentuan SNI Gempa baru. Apabila struktur bangunan tersebut mengalami

tegangan berlebih, maka perlu dilakukan perkuatan.

Perkuatan struktur merupakan proses modifikasi atau penambahan sistem

pada bangunan yang sudah berdiri (existing). Terdapat berbagai metode perkuatan

tergantung bagian konstruksi yang ingin diperkuat. Metode yang sering digunakan

untuk perkuatan struktur antara lain penambahan komponen struktur (kolom,

dinding), peningkatan kekuatan komponen struktur (pembesaran dimensi atau

penambahan lapisan berupa pelat baja), pengurangan berat komponen non struktur

dan metode lainnya.

Metode perkuatan yang mudah dilakukan pada struktur yang sudah berdiri

(13)

2 digunakan sebagai perkuatan struktur adalah breising konsentrik V-terbalik.

Breising konsentrik merupakan sistem struktur yang komponen breising

diagonalnya bertemu pada satu titik. Pemilihan breising tipe V-terbalik ini lebih

menguntungkan dibandingkan tipe breising lainnya, karena memiliki bukaan

(space) yang lebih luas, yang dapat digunakan untuk penempatan pintu dan jendela.

Berbagai studi dan pengujian di laboratorium menunjukkan bahwa struktur yang

ditambah breising lebih kuat daripada rangka beton bertulang (Youssef et.al, 2006;

Massumi and Absalan, 2013). Oleh karena itu, penambahan breising pada struktur

yang sudah berdiri akan memperkuat struktur dalam menahan beban lateral akibat

gempa. Metode perkuatan ini membuat bangunan masih bisa digunakan seperti

biasa tanpa menggangu aktivitas di dalammnya.

Penggunaan breising telah diterima secara luas oleh ahli struktur karena

sederhana, murah dan efisien untuk perkuatan struktur beton bertulang. Metode

perkuatan dengan breising juga meningkatkan fleksibilitas dari disain arsitektur,

mengurangi berat dari struktur, mempermudah dan mempercepat konstruksi dan

kemampuan untuk memilih sistem daktilitas. Hal tersebut bisa dianggap sebagai

keuntungan utama dari breising baja jika dibandingkan dengan metode perkuatan

lainnya, seperti penggunaan dinding geser beton bertulang (Maheri, 2009).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah:

1. Bagaimana pemodelan struktur rangka beton bertulang yang diperkuat

dengan breising konsentrik V-terbalik pada software SAP 2000?

2. Bagaimana perilaku dan kinerja dari struktur rangka beton bertulang yang

diperkuat dengan breising konsentrik V-terbalik dibandingkan dengan

(14)

3

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pemodelan struktur rangka beton bertulang yang diperkuat

dengan breising konsentrik V-terbalik pada software SAP 2000.

2. Mengetahui perilaku dan kinerja dari struktur rangka beton bertulang yang

diperkuat dengan breising konsentrik V-terbalik dibandingkan dengan

struktur rangka beton bertulang tanpa perkuatan.

1.4 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh metode perkuatan struktur yang efektif dan mampu

menahan beban gempa SNI Gempa baru.

2. Untuk memperoleh data mengenai perilaku dan kinerja dari struktur rangka

beton bertulang dengan perkuatan breising konsentrik V-terbalik.

1.5 Batasan Masalah

Agar ruang lingkup permasalahan tidak terlalu luas, maka diambil beberapa

batasan masalah sebagai berikut:

1. Perilaku struktur yang ditinjau adalah gaya-gaya dalam dan simpangan,

2. Analisis yang dilakukan merupakan analisis konvensional,

3. Interaksi antara struktur dengan tanah (soil structure interaction) tidak

diperhitungkan,

(15)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Peningkatan aktivitas kegempaan di tanah air bersamaan dengan perubahan

peta gempa nasional dan juga perubahan peraturan perencanaan bangunan tahan

gempa merupakan salah satu langkah dalam upaya menanggulangi dampak yang

timbul akibat gempa yang terjadi. Banyak metode yang bisa digunakan guna

memimalisir dampak gempa tersebut. Penelitian tentang metode perkuatan terhadap

gempa telah banyak dilakukan oleh peneliti di seluruh dunia. Salah satu metode

yang dapat digunakan adalah breising. Breising merupakan metode perkuatan yang

sangat efesien dan ekonomis untuk menahan gaya horisontal pada struktur rangka.

Breising menjadi efisien karena bekerja diagonal pada tegangan aksial dan karena

itu kebutuhan untuk ukuran batang breising kecil, dalam memberikan kekakuan dan

kekuatan terhadap gaya geser horisontal (Smith and Coull, 1991).

2.2 Beban Gempa Menurut SNI-1726-2002

Pada peraturan perencanaan beban gempa SNI-1726-2002 digunakan

faktor-faktor yang disesuaikan dengan perencanaan suatu struktur yang terdiri dari

wilayah gempa, percepatan puncak muka tanah (Ao), faktor keutamaan gedung (I),

faktor reduksi gempa (R), dan waktu getar alami (Tc). Faktor-faktor tersebut

digunakan untuk menghitung faktor respon gempa (C) dengan rumus:

�� =�� (2.1)

dengan

�� = ��× �� (2.2)

��= � × � (2.3)

(16)

5 dimana:

Ar = Pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C

Am = Percepatan respons maksimum

�� = Waktu getar alami struktur gedung (detik)

ζ = Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung

n = Jumlah tingkat

Gempa arah vertikal juga diperhitungkan dengan mencari nilai faktor respon

gempa vertikal (Cv) dengan rumus:

�� = Ψ × �0× � (2.5)

dengan ψ adalah koefisien yang disesuaikan dengan wilayah gempa tempat

struktur gedung berada.

2.3 Beban Gempa Menurut SNI-1726-2012

Peraturan perencanaan beban gempa pada gedung-gedung di Indonesia yang

berlaku saat ini diatur dalam SNI Gempa-1726-2012. Pada peraturan ini dijelaskan

tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perhitungan untuk analisis beban

gempa sebagai berikut:

1. Geografis

Perencanaan beban gempa pada sebuah gedung tergantung dari lokasi

gedung tersebut dibangun. Hal ini disebabkan karena wilayah yang berbeda

memiliki percepatan batuan dasar yang berbeda pula.

2. Faktor keutamaan gedung

Faktor ini ditentukan berdasarkan jenis pemanfaatan gedung. Gedung

dengan kategori risiko I dan II memiliki faktor keutamaan gedung 1, untuk

kategori resiko III memiliki faktor 1.25, dan kategori resiko IV memiliki

(17)

6 3. Kategori Desain Seismik

Pembagian kategori desain seismik dari rendah ke tinggi yaitu A, B, C, D,

E, dan F. Penentuan kategori ini dapat dilihat pada lampiran A Tabel A4.

4. Sistem penahan gaya seismik

Struktur dengan sistem penahan gaya seismik memiliki faktor reduksi

gempa atau koefisien modifikasi respon (R), faktor kuat lebih sistem (Ω0), dan faktor pembesaran defleksi (Cd) yang berbeda-beda sesuai dengan Tabel

A5 pada lampiran A.

2.4 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012

SNI-1726-2012 mengenai Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk

Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung merupakan peraturan gempa terbaru

yang menggantikan SNI-1726-2002. Perubahan yang terdapat pada revisi tersebut

salah satunya terkait kategori desain seismik (KDS). Sebagai contoh daerah Bali

selatan yang sebelumnya berada pada wilayah gempa V dengan resiko gempa

sedang menjadi KDS D. Tabel 2.1 menunjukkan perbandingan dari kedua SNI

tersebut.

Tabel 2.1 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012

No SNI-1726-2002 SNI-1726-2012

1 Nilai faktor keutamaan diatur pada

Tabel A.1 SNI-1726-2002. Pada

SNI ini nilai I ditentukan

berdasarkan perkalian nilai I1 dan I2

pada Tabel A.1.

Dalam menentukan kategori risiko

bangunan dan faktor keutamaan

bangunan bergantung dari fungsi/jenis

pemanfaatan bangunan tersebut. Nilai

faktor keutamaan diatur pada Tabel

A.2 SNI-1726-2012.

2 Jenis tanah pada SNI-1726-2002

Pasal 4.6.3 ditetapkan dalam tiga

kategori, yakni tanah keras, tanah

sedang dan tanah lunak.

Berdasarkan sifat-sifat tanah pada

situs, maka situs harus diklasifikasi

sebagai kelas situs SA, SB, SC, SD,

(18)

7

3 Penentuan wilayah gempa

disesuaikan dengan lokasi/daerah

pada Peta Wilayah Gempa

Indonesia pada Pasal 4.7.1

SNI-1726-2002. Indonesia ditetapkan

terbagi dalam 6 wilayah gempa,

wilayah gempa 1 adalah wilayah

dengan kegempaan paling rendah

dan wilayah 6 dengan kegempaan

paling tinggi.

Parameter spektrum respons

percepatan pada periode pendek (SDS)

dan periode 1 detik (SD1) yang sesuai

dengan pengaruh klasifikasi situs,

harus ditentukan dengan perumusan

berikut.

4 Untuk menentukan pengaruh

gempa rencana pada struktur

gedung, maka untuk

masing-masing wilayah gempa ditetapkan

Spektrum Respons Gempa Rencana

Bila spektrum respons desain

diperlukan oleh tata cara ini dan

prosedur gerak tanah dari spesifik-situs

tidak digunakan, maka kurva spektrum

respons desain harus dikembangkan

dengan mengacu pada Gambar 2.2

sesuai SNI-1726-2012.

Gambar 2.2 Spektrum respons desain

Sumber: SNI-1726-2012

5 Nilai faktor reduksi gempa

ditentukan berdasarkan tingkat

daktilitas struktur dan jenis sistem

struktur yang digunakan. Nilai

Faktor koefisien modifikasi respon (R),

pembesaran defleksi (Cd), dan faktor

(19)

8 maksimum faktor tersebut (Rm)

untuk beberapa sistem struktur

diatur pada Tabel 3

SNI-1726-2002.

Faktor-faktor tersebut ditentukan

berdasarkan sistem penahan gaya

seismik struktur bangunan.

Sumber: SNI-1726-2002 dan SNI-1726-2012

2.5 Perkuatan Struktur

Perkuatan atau retrofitting adalah suatu proses untuk memperkuat atau

memperbaiki struktur yang sudah ada. Bukan hanya untuk memperkuat, metode ini

juga digunakan dalam renovasi struktur. Dengan harapan struktur yang mengalami

retrofitting akan menjadi lebih kuat dan dalam segi biaya juga lebih hemat

dibandingkan dengan membangun kembali struktur yang baru.

Tidak semua struktur yang pernah mengalami kerusakan dapat diperkuat.

Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum memulai proses retrofitting,

diantaranya:

1. Peninjauan struktur ke lapangan, memungkinkan kita menganalisis sebab

kerusakan yang terjadi.

2. Pemilihan jenis material dan pemeriksaan mutu bahan yang akan

digunakan.

3. Melakukan analisis terhadap bangunan yang akan diperkuat, apakah masih

mampu menahan beban atau tidak.

4. Setelah bangunan dianalisis dan dianggap masih mampu menahan beban,

maka tidak perlu dilakukan retrofitting, namun jika struktur bangunan

dianggap tidak mampu, maka perlu dilakukan perkuatan. Perkuatan struktur

tersebut dapat berupa penambahan material lain seperti pemakaian

wrap/fiber, penambahan struktur baja, pemasangan external prestress, dan

lain sebagainya.

5. Setelah proses retrofitting selesai dilakukan dilapangan, maka struktur harus

(20)

9 Terdapat berbagai macam metode perkuatan yang umum digunakan pada

struktur beton bertulang, antara lain penambahan dinding geser, breising, column

jacketing dan beam jacketing merupakan metode-metode perkuatan yang umumnya

diterapkan. Keefektifan dari beberapa metode perkuatan struktur dapat dilihat pada

Gambar 2.3

Gambar 2.3 Keefektifan dinding dan breising

Sumber: Sugano (1989); CEB (1997)

2.6 Breising

Penambahan breising baja diagonal pada struktur rangka momen eksisting

merupakan salah satu metode untuk meningkatkan kekuatan dan kekakuan sistem

struktur. Breising baja dapat ditambahkan tanpa meningkatkan berat struktur secara

signifikan. Breising yang umum digunakan adalah tipe breising konsentrik, karena

breising eksentrik mahal dan sulit dalam pelaksanaannya karena menggunakan

(21)

10 Gambar 2.4 Tipe breising

Sumber: FEMA 547 (2006)

Pemasangan breising baja dapat dilakukan pada bagian dalam maupun

bagian luar gedung. Pemasangan pada eksterior gedung umumnya memungkinkan

untuk akses yang lebih mudah pada gedung dan biaya yang lebih sedikit (FEMA

547, 2006). Penambahan breising pada gedung akan selalu berdampak pada

arsitektur dan fungsi bangunan, sehingga pemilihan lokasi pemasangan breising

harus dipertimbangkan, mengingat adanya tata ruang, lokasi koridor, pintu, jendela,

MEP, pertimbangan structural atau konstruksi.

2.6.1 Sistem Rangka Breising Konsentrik

Sistem rangka breising konsentrik (SRBK) merupakan sistem struktur untuk

menahan beban lateral dengan kekakuan struktur yang tinggi, karena adanya

breising diagonal yang berfungsi untuk menahan beban lateral pada struktur.

Komponen breising pada sistem SRBK berfungsi untuk menahan kekakuan

(22)

11 diharapkan mampu berdeformasi inelastik yang besar tanpa terjadi kehilangan yang

signifikan pada kekuatan dan kekakuan struktur.

Pada sistem struktur SRBK, kategori struktur dibagi menjadi dua yaitu

sistem rangka breising konsentrik biasa (SRBKB), dan sistem rangka breising

konsentrik khusus (SRBKK). Perbedaan dari kedua sistem tersebut terletak pada

deformasi yang diharapkan. Pada SRBKB, diharapkan dapat mengalami deformasi

inelastik secara terbatas apabila dibebani oleh gaya-gaya yang berasal dari beban

gempa rencana. Sedangkan pada SRBKK struktur diharapkan dapat berdeformasi

inelastik cukup besar akibat gaya gempa rencana. SRBKK memiliki daktilitas yang

lebih tinggi dibandingkan SRBKB dan penurunan kekuatan lebih kecil pada saat

terjadi tekuk pada breising tekan (SNI-1726-2002).

2.6.2 Sistem Rangka Breising Konsentrik Biasa (SRBKB)

Berdasarkan AISC (2010) rangka breising konsentrik biasa bisa

diaplikasikan untuk rangka breising yang terhubung secara konsentrik. Rangka

breising konsentrik biasa didesain dengan ketentuan yang diharapkan untuk

memberikan kapasitas deformasi inelastik yang terbatas pada bagian dan

koneksinya. Pada perencanaan SRBKB tidak memerlukan analisis tambahan. Rasio

kelangsingan breising adalah KL/r ≤ 4√ / �.

2.6.3 Sistem Rangka Breising Konsentrik Khusus (SRBKK)

Kebutuhan kekuatan dari kolom, balok, dan hubungan dalam rangka

breising konsentrik khusus didasarkan pada kombinasi beban dalam peraturan

bangunan yang dapat diterapkan, yang telah termasuk pembesaran beban gempa.

Dalam menentukan pembesaran beban gempa, pengaruh dari gaya horizontal

termasuk kekuatan berlebih, Emh, harus di ambil gaya yang lebih besar yang

ditentukan dari 2 analisis berikut:

1. Sebuah analisis dimana semua breising diasumsikan menahan kekuatan

(23)

12 2. Sebuah analisis dimana semua breising tarik di asumsikan untuk menahan

gaya yang sesuai dengan kekuatan yang diharapkan dan semua breising

tekan diasumsikan untuk menahan kekuatan pasca tekuk.

Breising harus ditentukan untuk berada di tekan atau tarik mengabaikan

efek dari beban gravitasi. Analisis harus mempertimbangkan kedua arah dari

pembebanan rangka (AISC, 2010). Penjabaran dari kekuatan tarik breising

dirumuskan dengan Ry x Fy x Ag, sedangkan untuk kekuatan tekan breising yang

diijinkan adalah lebih kecil dari Ry x Fy x Ag dan 1.14 x Fcre dimana Ry adalah ratio

dari tegangan leleh yang diinginkan, Fy adalah tegangan leleh minimum dari baja

yang digunakan (MPa), dan Ag adalah luas kotor breising (mm2). Panjang breising

yang digunakan dalam mendefinisikan Fcre tidak boleh melebihin jarak dari ujung

breising ke ujung breising lainnya. Penjabaran kekuatan pasca tekuk breising harus

diambil maksimum 0.3 x dari kekuatan breising yang diinginkan pada tekan.

 Rangka Breising V dan Breising V-terbalik

Balok yang berpotongan dengan breising jauh dari hubungan antar

balok-kolom harus memenuhi persyaratan berikut:

1. Balok harus dipasang menerus diantara kolom-kolom

2. Balok harus dipasang breising untuk memenuhi persyaratan komponen

daktail sedang.

Untuk persyaratan minimum, satu pasang breising lateral dibutuhkan pada

titik perpotongan dari rangka breising tipe V (atau tipe V-terbalik), kecuali jika

balok memiliki kekuatan dan kekakuan yang cukup dalam memastikan stabilitas

diantara titik breising yang berdekatan.

2.7 Penelitian Terkait Penggunaan Breising Sebagai Perkuatan Struktur Rangka Beton Bertulang

Penggunaan breising sebagai perkuatan suatu struktur bukanlah hal yang

baru dalam bidang konstruksi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk

(24)

13 2.7.1 Ismail et al (2015)

Ismail et al (2015) telah melakukan penelitian tentang perkuatan gedung

dengan menggunakan breising baja pada Gedung STKIP ADZKIA Padang, dimana

kondisi gedung tersebut telah rusak (banyak balok melendut, dll). Akibat dari

kondisi yang tidak memadai serta ketidakmampuan gedung eksisting menahan

beban sendiri, maka harus dilakukan perkuatan struktur untuk memperkuat gedung

tersebut.

Salah satu metode perkuatan yang umum dilakukan adalah perkuatan

global. Perkuatan global adalah metode perkuatan dan pengaku struktur dengan

cara menambahkan elem penahan beban lateral pada struktur bangunan seperti

dinding geser dan breising. Dalam penelitian ini, metode perkuatan struktur yang

direkomendasikan dan dianalisis adalah pemasangan breising baja V-terbalik.

Sebelum dilakukan pemasangan breising, terlebih dahulu dilakukan perbaikan pada

balok yang rusak dengan cara melakukan injeksi dengan air semen untuk

retak-retak kecil pada balok (lebar celah kurang dari 0.6 cm). Selanjutnya dilakukan

pemasangan breising baja pada balok bentang panjang. Untuk mengetahui

pengaruh dari perkuatan dengan menggunakaan breising baja tersebut, maka

gedung STKIP ADZKIA dimodel dan dianalisis dengan bantuan software analisis

struktur ETABS 9.7.1.

Gambar 2.5 Lokasi Penempatan Steel Bracing

(25)

14 Setelah pemodelan, selanjutnya dilakukan analisis struktur gedung yang

telah diperkuat dengan breising baja.

Tabel 2.2 Perbandingan Gaya Dalam pada Balok

Hasil analisis menunjukkan bahwa pemasangan breising baja pada struktur

lantai menyebabkan penurunan gaya dalam yang cukup signifikan dalam balok,

yaitu mencapai ±70% dibandingkan kondisi eksisting.

Gambar 2.6 Perbandingan simpangan antar lantai struktur

(a) arah-x, (b) arah-y

(26)

15 Simpangan maksimum yang terjadi pada struktur pun ikut berubah, dimana

simpangan maksimum gedung untuk arah x menurun sekitar 60% dan untuk arah y

sekitar 65%.

Gambar 2.7 Hasil Pemasangan Breising V-terbalik

Sumber: Ismail, et al. (2015)

2.7.2 Massumi dan Absalan (2013)

Penelitian tentang interaksi antara sistem breising dan rangka pemikul

momen pada rangka beton bertulang dengan breising baja telah dilakukan oleh

Massumi dan Absalan (2013) dengan menguji dan memodel 2 buah rangka beton

bertulang yang dirancang dengan peraturan lama. Satu rangka diperkuat dengan

breising baja BF1 sedangkan yang lain tidak diperkuat breising baja (UBF1).

Interaksi antara rangka momen dengan rangka dengan breising dianalisis dengan

membuat model tambahan mengunakan software ANSYS dimana breising pada

BF1 dihilangkan tetapi pelat baja sambungannya tetap (UBF2).

Struktur yang akan diuji merupakan hasil skala 1/2.5 dari struktur asli,

dimana panjang hasil skala 1,92 m, tinggi 1,26 m dengan ukuran pondasi panjang

0.8 m, lebar 0.3 m dan tinggi 0.3 m. Balok dan kolom yang diuji berdimensi 120 x

120 mm, breising 20 x 20 x 2 dengan kuat leleh sekitar 240 MPa dan kuat tekan

(27)

16

Gambar 2.8 Detail Model Uji pada Penelitian

Sumber : Massumi dan Absalan (2013)

Pengujian kedua model tersebut dilakukan dengan membebani dengan

beban vertikal berupa beban gravitasi lantai yang dibantu dengan turnbuckle yang

tertancap ke bawah dan beban lateral.

Gambar 2.9 Pola Retak dari Pengujian

Sumber : Massumi dan Absalan (2013)

Hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan breising pada rangka

beton bertulang meningkatkan kekuatan, kekakuan, dan kapasitas absorpsi energi

(28)

17 menyebabkan keretakan yang terjadi pada model uji tidak berada tepat di hubungan

tersebut. Interaksi antara rangka beton bertulang dan sistem breising memiliki

dampak positif terhadap perilaku struktur yang dimana meningkatkan kekuatan

ultimit struktur.

Hasil pengujian software ANSYS juga menghasilkan peningkat kekuatan

yang signifikan untuk rangka dengan penambahan breising. Dan ternyata plat buhul

juga memberi kekuatan pada kepada rangka momen. Hasil interaksi keselurahan

komponen tersebut menghasilkan perkuatan yang ditinjau dari penambahan masing

masing komponen sampai 100%.

Peningkatan yang signifikan bisa dilihat gambar 2.6 untuk beban lateral

yang mampu diterima oleh rangka breising BF1 mencapai 60 kN dan rangka

momen hanya mampu menahan 13 kN. Sedangkan untuk rangka dengan plat buhul

mampu menahan sekitar 24 kN yang membuktikan adanya perkuatan yang

dihasilkan plat buhul.

Gambar 2.10 Hubungan Antara Lateral Load dan Lateral Displacement

(a) Rangka tanpa breising UBF1 dan Rangka Breising BF1

(b) rangka tanpa breising UBF1 dan rangka dengan plat buhul UBF2

Sumber: Massumi dan Absalan (2013)

2.7.3 Viswanath et.al (2010)

Penelitian tentang tipe bresing terbaik sebagai perkuatan rangka beton

dalam menahan beban gempa telah dilakukan oleh Viswanath et.al (2010). Bresing

(29)

18 beban gempa pada gedung tingkat tinggi. Bresing baja lebih ekonomis, mudah

dikerjakan dan fleksibel dalam desain kekuatan dan kekakuan. Ada banyak tipe

bresing yang bisa digunakan sebagai perkuatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian tentang tipe bresing yang paling efektif untuk digunakan.

Dalam pemodelan struktur gedung digunakan software STAAD Pro V8i

untuk membuat model 3D. Beban lateral yang diaplikasikan pada gedung

berdasarkan Indian Standards. Gedung diasumsikan berada pada zona gempa IV

sesuai dengan IS 1893:2002. Perletakan struktur tersebut diasumsikan sebagai jepit

dan interaksi antara struktur dengan tanah diabaikan.

Terdapat empat tipe bresing yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

bresing diagonal, bresing X berpotongan, bresing K dan bresing X. Selain keempat

tipe bresing tersebut, analisis juga dilakukan terhadap struktur yang tidak diperkuat

dengan menggunakan bresing. Jadi dibuat lima model struktur bangunan bertingkat

4. Untuk bangunan bertingkat 8, 12 dan 16 dianalisis dalam zona gempa IV dan

diperkuat dengan bresing tipe X.

Hasil analisis gedung bertingkat 4 tersebut dibagi dalam 2 parameter yaitu

perpindahan lateral dan gaya-gaya maksimum dan momen pada kolom. Dari segi

gaya-gaya dalam maksimum dan momen pada kolom, didapatkan kesimpulan

bahwa terjadi peningkatan gaya aksial yang dapat diterima pada struktur yang

diperkuat dengan bresing dibandingkan dengan struktur yang tidak diperkuat

bresing, dan menyebabkan penurunan momen dan gaya geser pada kolom yang

terhubungan dengan bresing. Dari kedua parameter tersebut, bresing tipe X terbukti

lebih efektif dalam memperkuat struktur gedung bertingkat 4.

Berdasarkan hasil analisis gedung bertingkat 4, pada analisis gedung

bertingkat 8, 12 dan 16 digunakan bresing tipe X sebagai perkuatan struktur gedung

tersebut. Setelah dilakukan analisis, didapatkan hasil bahwa pada gedung yang

diperkuat bresing terjadi reduksi perpindahan maksimum sebesar 62-74 % jika

dibandingkan dengan gedung tanpa perkuatan bresing. Jadi, tipe bresing X

(30)

19 2.7.4 Massumi dan Tasnimi (2008)

Penelitian tentang pengaruh perbedaan detail koneksi bresing X paada

struktur beton bertulang yang diperkuat dengan sistem bresing telah dilakukan oleh

Massumi dan Tasnimi (2008). Penelitian dilakukan untuk menemukan keefektifan

detail koneksi bresing pada rangka beton dengan membuat 8 benda uji untuk

koneksi bresing yang berbeda yang telah diskala 1:2:5.

Dalam penelitian ini dibuat dua rangka tanpa bresing dengan kode UBF11

dan UBF12 sebagai control specimen dan lima pendetailan koneksi antara rangka

dan bresing yang berbeda dengan kode BF11, BF12, BF21, BF22, BF23, dan BF31.

Untuk BF11 dan BF12 menggunakan baut dan nuts sebagai koneksi bresing pada

rangka batang. Pada BF11 koneksi baut tertancap pada kolom dan balok, sedangkan

pada BF21 hanya tertancap pada kolom. Pada BF21, BF22 dan BF23 koneksi

bresing pada rangka batang menggunakan jaket baja. Pada BF21 tidak ada

hubungan antara jaket baja dengan permukaan beton, sedangkan pada BF22 dan

BF23 digunakan perekat epoxy untuk menyatukan jaket baja kepermukaan kolom

beton dan bagian dari balok. Pada BF31 bresing telah ditetapkan pada pojok kolom

dan balok dengan pengelasan sebelum pengecoran.

Pada penelitian ini, kolom dibangun kaku di atas pondasi beton bertulang

dengan dimensi 800 x 300 mm. Skema tes seperti gambar di bawah.

Gambar 2.11 Skema tes dan pembebanan

Sumber: Massumi dan Tasnimi (2008)

Sampel diuji di bawah beban lateral yang berulang dan beban vertical

(31)

20 terhubung dengan balok dan kolom (BF11) mampu meningkatkan kekakuan

rangka, sehingga dapat digunakan untuk bangunan rendah sampai sedang. Koneksi

baut hanya pada kolom (BF12) tidak cukup kuat dan mengalami kerusakan yang

sangat signifikan, meskipun dapat digunakan untuk langkah awal. BF21 tidak

direkomendasikan untuk diterapkan akrena detail dengan bentuk jaket baja tanpa

perekat epoxy menyebabkan slip pada sistem bresing. Untuk tipe BF22 dan BF23

yang direkatkan dengan perekat epoxy serta BF31 yang diletakkan pada beton

memiliki performance yang lebih baik dari rangka batang lainnya.

Beban siklik menyebabkan kekuatan dan kekakuan berkurang dan

perpindahan meningkat pada perilaku inelastik. Sebagai faktanya, tarik pada

bresing X pada beton bertulang dengan bresing mendukung sebagian besar gaya

lateral, tetapi keruntuhan rangka disebabkan oleh leleh dari tarik bresing dan terjadi

kegagalan tekuk dari tekanan bresing.

2.7.5 Ghaffarzedeh dan Maheri (2009)

Penelitian tentang bresing baja internal pada rangka beton bertulang telah

dilakukan oleh Ghaffarzedeh dan Maheri (2009). Penelitian dilakukan pada

beberapa parameter respon seismik seperti uji pushover, uji siklik dan faktor

perilaku seismik, kemudian ditambah koneksi kuat lebih dan alat pelepas tekan.

Pada pengujian uji pushover dibuat 4 model yang diskala 1:3,2 yaitu 2

model tanpa bresing dan 2 model dengan bresing dengan semua unit rangka daktail.

Hasil dari pengujian pushover menunjukkan bahwa terjadi 3,5 kali peningkatan

untuk kapasitas beban lateral. Peningkatan juga terjadi pada kekakuan sampai

bresing tersebut mengalami kegagalan atau tekuk. Kekakuan juga ditunjukkan pada

kurva perpindahan. Penggunaan bresing mengakibatkan 5 kali peningkatan

kekakuan yang mengindikasi penyerapan energi yang besar. Untuk daktilitas, kuat

lebih dan faktor kinerja menunjukkan bahwa bresing lebih cocok untuk desain

berdasarkan kekuatan daripada desain daktail.

Penelitian tentang uji siklik dilakukan dengan memodel rangka momen

beton bertulang dengan rangka bresing X beton bertulang yang diskala 2/5. Rangka

(32)

21 gempa. Detail penulangan untuk rangka momen yaitu 4M10 untuk balok dan 4M15

untuk kolom dengan sengkang 35 mm. Sedangkan bresing balok dan kolom

menggunakan 4M10 dengan sengkang 70 mm. Bresing dihubungkan ketulangan

dengan pelat gusset dengan ukuran 150x150x8 mm yang dihubungkan dengan baut.

Pada sistem bresing dibuat 2 jenis tipe bresing yaitu FX1 penampang sudut ganda

2L 25x25x32 mm dan FX2 penampang kanal C 3x35 mm.

Uji siklik dilakukan dengan memberi beban gravitasi menggunakan

hydraulik. Dari hasil tes menunjukkan bahwa rangka bresing FX1 memiliki

kekakuan 2 kali lipat dari kekakuan lateral rangka pemikul momen. Tetapi

kekakuan akan sama seperti rangka pemikul momen setelah terjadi tekuk. Hal itu

juga berlaku pada rangka bresing FX2 walaupun memiliki kekakuan lateral lebih

baik dari rangka bresing FX1. Untuk hasil analisis dari ketiga model tersebut,

rangka bresing memiliki kinerja yang lebih baik dari rangka momen pada kapasitas

kekakuan dan kelenturan. Penambahan bresing menyebabkan penurunan daktilitas

dari rangka daktail, tetapi penurunan daktilitas tersebut tidak mempengaruhi

kapasitas kehilangan energi dari rangka.

Faktor perilaku gempa atau R merupakan faktor reduksi gaya yang

digunakan untuk mengurangi respon spektra elastis linier ke respon spektra

inelastik. Ini diberikan untuk keperluan daktilitas yang berbeda yang merupakan

kisaran yang berlaku umum untuk respon daktilitas. Beberapa parameter yang

memengaruhi nilai dari faktor R yaitu tinggi rangka, pembagian sistem bresing,

beban yang bekerja dan tipe dari sistem bresing. Efek signifikan terhadap faktor R

didapat dari jumlah tingkat pada rangka bresing X beton bertulang, yang berarti

batang bresing yang lebih pendek menghasilkan daktilitas yang lebar dari rangka

yang tinggi.

Koneksi bresing langsung pada interaksi diantara kapasitas kekuatan dari

rangka beton bertulang dan sistem bresing merupakan pertimbangan yang penting.

Penelitian ini dilakukan dengan membuat 3 model benda uji yang diskala 1:3,5

dengn 1 rangka momen dan 2 rangka bresing yang dites dengan beban siklik.

Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan sistem bresing ke rangka beton

(33)

22 kapasitas dari sistem bresing. Kemudian untuk mengetahui evaluasi dari kuat lebih

dibaut skala penih dari bresing X pada rangka beton bertulang. Model dianalisis

dengan The Open SEES (Open System for Earthquake Engginering Simulation)

dengan model validasi yang diambil dari tes siklik rangka momen dan rangka

bresing. Hasil analisis menunjukkan bahwa koneksi mengurangi panjang efektif

dari balok dan kolom rangka beton bertulang dan kekakuan dari rangka berkurang.

Untuk meningkatkan daktilitas dan mempertahankan kekuatan dan

kapasitas kekakuan dari rangka bresing, penambahan bresing pada setiap sudut dan

alat pelepas tekan direkomendasikan berdasarkan hasil tes. Breisng sudut

digunakan pada konstruksi baja untuk meningkatkan daktilitas dan untuk

meningkatkan ketahanan gempa pada rangka. Analisis dilakukan dengan membuat

4 model rangka untuk dites pushover yaitu 2 rangka tanpa bresing dan 2 rangka

dengan sudut bresing. Dari tes tersebut didapatkan bahwa kapasitas ultimit dari

bresing sudut lebih besar 2,5 kali dari rangka tanpa bresing. Bresing sudut

memungkinkan rangka untuk memiliki kapasitas dan kekakuan yang cukup dengan

kapasitas yang baik untuk menyerap energi. Kurva pushover juga menunjukkan

peningkatan daktilitas rangka dengan bresing sudut dibandingkan bresing X.

Alat pelepas tekan dipasang pada batang bresing untuk melepas gaya tekan.

Batang dibagi 2 bagain dan dilas diujung dengan pelat baja dari alat pelepas tekan.

Dibuat 2 benda uji dengan alat tersebut kemudian dibandingkan dengan 2 benda uji

tanpa bresing dan 2 benda uji dengan bresing X. Pengujian dilakukan dengan beban

yang sama dan berulang-ulang. Parameter gempa dievaluasi dari hasil tes termasuk

degradasi kekakuan, kapasitas kehilangan energi dan daktilitas.

2.7.6 Youssef et al. (2007)

Penelitian tentang kinerja seismik rangka beton bertulang yang di perkuat

dengan breising baja konsentrik telah dilakukan oleh Youssef et al. (2007) dengan

membuat dan membebani 2 model struktur dengan skala yang diperkecil sebesar

(2/5) dari aslinya. Model 1 merupakan rangka momen yang dirancang sesuai

dengan persyaratan SRPMM, sedangkan model 2 merupakan rangka momen

(34)

23 Gambar 2.12 Detail dari Rangka Momen dan Rangka Breising

Sumber: Youssef et al. (2007)

Kedua model dibebani siklik sampai runtuh dan hubungan antara beban

dengan deformasi serta pola retak dicatat. Data pengujian disajikan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Data model setelah dari hasil pengujian

Balok Kolom Beban retak Beban leleh Beban Maks.

Model 1 140x160mm 140x160mm

30 kN 37,5 kN 55 kN

Tulangan

memanjang

2M10 4M15

Sengkang ∅6-35 ∅6-35

Model 2 140x160mm 140x160mm

90 kN 105 kN 140 kN

Tulangan

memanjang

2M10 4M10

Sengkang ∅6-70 ∅6-70

breising L25x25x3,2

Hasil pengujian menunjukan hubungan beban dan rasio simpangan seperti

pada gambar 2.11, dimana kurva menunjukan dari rangka mulai retak hingga

keadaan ultimit. Rangka breising mampu menahan hingga 140 kN dan rangka

momen hanya mampu menahan 55 kN. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa:

1. Rangka breising jauh lebih kuat dan kaku dibandingkan dengan rangka

(35)

24 2. Rangka breising yang dirancang dengan faktor reduksi beban yang sama

dengan faktor reduksi untuk SRPMM,

3. Perencanaan rangka breising baja pada rangka breising bisa dilakukan

dengan cara konvensional tanpa pendetailan khusus.

Gambar 2.13 Hubungan beban dan rasio simpangan

Sumber: Youssef et al (2007)

2.8 Analisis Kinerja Struktur

Perencanaan tahan gempa berbasis kinerja (performance-based seismic

design) merupakan proses yang dapat digunakan untuk perencanaan bangunan baru

maupun perkuatan bangunan yang sudah ada, dengan pemahaman yang realistik

terhadap risiko keselamatan jiwa (life safety), kesiapan untuk dihuni setelah

kejadian gempa (occupancy) dan kerugian harta benda (economic loss) yang

mungkin terjadi akibat gempa. Proses perencanaan tahan gempa berbasis kinerja

dimulai dengan membuat model rencana bangunan kemudian melakukan simulasi

kinerjanya terhadap berbagai kejadian gempa. Setiap simulasi memberikan

informasi tingkat kerusakan (level of damage), ketahanan struktur, sehingga dapat

memperkirakan berapa besar risikonya terhadap keselamatan jiwa, kesiapan dihuni

dan kerugian harta benda.

FEMA 273 (1997) sebagai acuan klasik dalam perencanaan berbasis kinerja,

membuat model level kinerja struktur pasca gempa berikut: Operational (O), yaitu

tidak ada kerusakan berarti pada struktur dan non-struktrur (bangunan tetap

berfungsi); Immediate Occupancy (IO), yaitu tidak ada kerusakan yang berarti pada

(36)

25 sebelum gempa; Life-Safety (LS), yaitu terjadi kerusakan komponen struktur,

kekakuan berkurang, tetapi masih mempunyai ambang yang cukup terhadap

keruntuhan dan tidak menimbulkan korban jiwa. Komponen non-struktur masih ada

tetapi tidak berfungsi lagi dan baru dapat dipakai lagi jika sudah dilakukan

perbaikan; Collapse Prevention (CP), yaitu kerusakan yang berarti pada komponen

struktur dan non-struktur. Kekuatan struktur dan kekakuannya berkurang.

Kecelakaan akibat kejatuhan material bangunan yang rusak sangat mungkin terjadi.

Hal penting dari perencanaan berbasis kinerja adalah sasaran kinerja

bangunan terhadap gempa dinyatakan secara jelas, sehingga pemilik, penyewa,

asuransi, pemerintahan atau penyandang dana mempunyai kesempatan untuk

menetapkan kondisi apa yang dipilih, selanjutnya ketetapan tersebut digunakan

insinyur perencana sebagai pedomannya. Gambar 2.14 menjelaskan secara

kualitatif level kinerja (performance levels) yang digambarkan bersama dengan

suatu kurva hubungan gaya-perpindahan yang menunjukkan perilaku struktur

secara menyeluruh (global) terhadap pembebanan lateral. Kurva hasil analisis statik

non-linier khusus yang dikenal sebagai analisis pushover, disebut kurva pushover.

Sedangkan titik kinerja (performance point) merupakan besarnya perpindahan titik

pada atap saat mengalami gempa rencana. Selanjutnya di atas kurva pushover

digambarkan secara kualitatif kondisi kerusakan yang terjadi pada level kinerja

yang ditetapkan. Selain itu juga dikorelasikan dengan persentase biaya dan waktu

yang diperlukan untuk kegiatan perbaikan.

Gambar 2.14 Ilustrasi perancangan gempa berbasis kinerja

(37)

26 2.9 Analisis Pushover Statik Nonlinier pada SAP2000

Analisis statik nonlinier merupakan prosedur analisis untuk mengetahui

perilaku keruntuhan suatu bangunan terhadap gempa, dikenal pula sebagai analisis

pushover atau analisis beban dorong statik. Kecuali untuk suatu struktur yang

sederhana, maka analisis ini memerlukan komputer program untuk dapat

merealisasikannya pada bangunan nyata. Beberapa program komputer komersil

yang tersedia adalah SAP2000, ETABS, GTStrudl, Adina.

Analisis dilakukan dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada

struktur, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali sampai

satu target perpindahan lateral dari suatu titik acuan tercapai. Biasanya titik tersebut

adalah titik pada atap, atau lebih tepat lagi adalah pusat massa atap.

Analisis pushover menghasilkan kurva pushover, kurva yang

menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (V) dengan perpindahan titik

acuan pada atap (D) . Pada proses pushover, struktur didorong sampai mengalami

leleh disatu atau lebih lokasi di struktur tersebut. Kurva kapasitas akan

memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan

selanjutnya berperilaku non-linier.

Tujuan analisis pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan

deformasi yang terjadi serta untuk memperoleh informasi bagian mana saja yang

kritis. Selanjutnya dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian

khusus untuk pendetailan atau stabilitasnya. Cukup banyak studi menunjukkan

bahwa analisis statik pushover dapat memberikan hasil mencukupi (ketika

dibandingkan dengan hasil analisis dinamik nonlinier) untuk bangunan regular dan

tidak tinggi (Dewobroto, 2005).

2.9.1 Kurva Kapasitas

Hasil dari analisis pushover berupa kurva kapasitas yang menggambarkan

hubungan antara gaya geser dasar (Base Shear) terhadap perpindahan titik acuan

atau kontrol pada atap ditunjukan pada Gambar 2.15. Kurva berbentuk nonlinier

(38)

27 pushover tidak selalu mencapai kondisi plastik bergantung pada target tahan yang

ingin dicapai.

Gambar 2.15 Kurva kapasitas analisis pushover

Sumber: FEMA 273

Dokumen ATC 40 dan FEMA 273 telah membuat prosedur dan kriteria

yang bisa diterima untuk analisis pushover. Dokumen ini mendefinisikan kriteria

deformasi yang digunakan dalam analisis pushover. Menurut FEMA 273 (1997)

kinerja struktur (primary, P dan secondary, S) dapat dijelaskan dengan Gambar

2.15. Lima titik yang diberi nama A, B, C, D dan E digunakan untuk mendefinisikan

perilaku deformasi selama pembebanan. Antara titik A dan B, struktur berdeformasi

elastis selama pembebanan. Pada titik B, sendi plastis pertama mulai terbentuk

begitu pula pada titik C dan D. Antara titik B dan C, struktur melewati batas elastis

dan mulai berdeformasi inelastis. Selama deformasi inelastis ini, ATC 40 dan

FEMA 273 mendefinisikan 3 kondisi struktur yakni I0 = Immediate Occupancy

(segera dapat dipakai), LS = Life Safety (keselamatan penghuni dapat terjamin), dan

CP = Collapse Prevention (terhindar dari keruntuhan total). Setelah berdeformasi

inelastis, struktur akan memasuki kondisi plastis (C-E) hingga mencapai

keruntuhan, yang selanjutnya digunakan dalam mengevaluasi kinerja

(39)

28 2.9.2 Sasaran Kinerja Analisis Statik Pushover

Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan, dan

taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance level) dari bangunan

terhadap kejadian gempa tersebut. Mengacu pada FEMA-356 perencanaan berbasis

kinerja maka kategori level kinerja bengunan sebagai berikut.

a. Operational Level

Tidak terjadi kerusakan komponen baik struktural maupun non struktural.

Kemungkinan terjadi sedikit kerusakan utilitas dan beberapa sistem yang

tidak terlalu penting tidak berfungsi. Bangunan tidak menimbulkan risiko

terhadap keselamatan jiwa.

b. Immediate Occupancy

Pada level ini tidak terjadi kerusakan struktur dan dapat segera untuk

digunakan kembali sesuai fungsinya. Meskipun ada beberapa sistem non

struktural yang tidak berfungsi, walaupun dapat langsung digunakan

kembali tetapi akan memerlukan beberapa perbaikan utilitas sebelum

bangunan berfungsi dengan normal.

c. Life Safety

Pada level ini bangunan mengalami kerusakan yang ekstensif pada

komponen struktural maupun nonstruktural. Diperlukannya perbaikan

sebelum dapat digunakan kembali. Keselamatan penghuni gedung terjamin.

d. Collapse Prevention

Pada level ini bangunan menimbulkan bahaya yang signifikan terhadap

keselamatan jiwa akibat kegagalan komponen nonstruktural, namun karena

bangunannya masih tetap berdiri, sehingga kematian yang sia-sia harus

dihindari. Banyak bangunan pada level ini akan mengalami kerugian

ekonomi. Sedangkan titik kinerja (performance point) merupakan besarnya

(40)

29 2.9.3 Sendi Plastis

Sendi plastis merupakan suatu bentuk ketidakmampuan struktur dalam

menahan gaya dalam. Pemodelan sendi plastis digunakan untuk mendefinisikan

perilaku nonlinier force-displacement atau momen-rotasi yang dapat ditempatkan

pada beberapa tempat berbeda disepanjang balok atau kolom. Pemodelan sendi

plastis adalah rigid dan tidak memiliki efek pada perilaku linier pada member.

Dalam hal ini, komponen kolom menggunakan tipe sendi Interacting P-M2-M3,

dengan pertimbangan bahwa komponen kolom terdapat hubungan gaya aksial

dengan momen (diagram interaksi P-M). Sedangkan untuk balok menggunakan tipe

sendi default-M3 dan default-V2, dengan pertimbangan bahwa balok efektif

menahan momen dalam arah sumbu kuat (sumbu 3) dan efektif menahan gaya geser

pada sumbu 2. Sementara pada breising, perilaku nonlinier komponennya dapat

dimodel dengan mengasumsikan sendi platis terletak ditengah-tengah bentang.

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012
Gambar 2.1.
Gambar 2.3
Gambar 2.4 Tipe breising
+7

Referensi

Dokumen terkait

Buah beberapa kultivar pamelo tidak berbiji memiliki rasa manis sampai manis sedikit getir, dengan kandungan ATT lebih rendah, pH, PTT, nisbah PTT/ATT, kandungan vitamin C

Menimbang, bahwa sehubungan dengan permohonan banding tersebut, Pembanding semula Penggugat melalui kuasanya, telah mengajukan memori banding tertanggal 27 Nopember

Pengembangan budaya di dalam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang selalu didasarkan pada apa yang selama ini telah diyakini dan dikembangkan oleh UIN Maulana Malik

[r]

Bapak Kepala Desa Ketapang dan Bapak Kepala Desa Tawang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang yang banyak membantu penulis memberikan informasi dalam proses

Tujuan penelitian adalah diperlukan suatu sistem monitoring yang real time, mudah digunakan dan mudah dianalisa sehingga dapat dipergunakan untuk memperbaiki sistem

Allah Bapa di Surga, Yesus Kristus dan Bunda Maria juru slamatku.. Ibu dan Bapakku yang telah mendukungku, memberiku

Berdasarkan hasil analisis data tersebut, dapat dikatakan bahwa etnis Jawa memberikan stereotip etnis Tionghoa mencakup atribut-atribut sebagai orang-orang yang merasa lebih unggul