• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai School Engagement pada Siswa SMP Kristen di Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai School Engagement pada Siswa SMP Kristen di Bandung."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

i

berdasarkan teori School Engagement dari Fredricks (2004). Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan korelasi Pearson Product Moment diperoleh 48 item valid dengan validitas berkisar antara 0.397 ‒ 0.631 dan reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach dengan reliabilitas 0.740 yang berarti alat ukur yang digunakan reliabel. Data hasil penelitian diolah dengan menghitung distribusi frekuensi berdasarkan perhitungan mean.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa siswa SMP Kristen di Bandung memiliki School Engagement yang relatif seimbang antara yang tinggi dan yang rendah. Sebanyak 50.3% siswa memiliki School Engagement yang rendah dan sebanyak 49.7% siswa memiliki School Engagement yang tinggi. Ketiga komponen pada School Engagement juga memiliki hasil persentase yang relatif seimbang antara yang tinggi dan yang rendah.

(2)

ii

The title of this study is A Descriptive Study School Engagement of Christian Junior High School Students in Bandung. The aim is to investigate the bigger picture of School Engagement of Christian Junior High School Students in Bandung. The research design is descriptive method, with the amount of respondents in 1035.

A measuring instrument made by researcher and team of researcher of based on theory of School Engagement by Fredricks (2004). Based on Pearson product moment correlation test validity, the writer discovered 48 valid items, with validity coefficient ranging from 0.397 – 0.631 and Alpha Cronbach’s test reliability, with reliability coefficient around 0.740, meaning that the instrument is reliable. The data were processed by calculating the frequency distribution based on the calculation of the mean.

Based on the results, this study concluded that the Christian junior high school students in Bandung have relatively balanced School Engagement between the high and the low. A total of 50.3% students have a low School Engagement and 49.7% students have a high School Engagement. The third component of the School Engagement also has a relatively balanced result percentage between the high and the low .

(3)

iii

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 7

1.3.1 Maksud Penelitian ... 7

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 7

1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 7

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 8

1.5 Kerangka Pikir ... 8

(4)

iv

2.1 Deeinisi School Engagement ... 19

2.2 Komponen School Engagement ... 19

2.3 Faktor ‒ Faktor yang Mempengaruhi ... 23

2.4 Teori Perkembangan ... 30

3.1 Rancangan Penelitian ... 39

3.2 Bagan Rancangan Penelitian... 39

3.3 Variabel Penelitian dan Deeinisi ... 39

3.3.1 Variabel Penelitian ... 39

3.3.2 Deeinisi Konseptual ... 40

3.3.3 Deeinisi Operasional ... 40

3.4 Alat Ukur School Engagement... 40

3.4.1 Data Utama dan Data Penunjang ... 42

3.4.2 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 43

3.4.2.1 Validitas Alat Ukur ... 43

3.4.2.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 44

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 45

3.5.1 Sasaran Populasi ... 45

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 45

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 45

(5)

v

4.1.3 Tambaran Responden Berdasarkan Kelas ... 48

4.2 Tambaran Hasil Penelitian ... 49

4.2.1 Tambaran Umum School Engagement ... 49

4.2.2 Tambaran School Engagement Pada Setiap Komponen ... 49

4.2.2.1 Tambaran Behavioral Engagement ... 49

4.2.2.2 Tambaran Emotional Engagement ... 50

4.2.2.3 Tambaran Cognitive Engagement ... 50

4.3 Tabulasi Silang School Engagement dengan Komponen ... 51

4.4 Pembahasan ... 51

5.1 Simpulan ... 71

(6)

vi

Tabel 3.2 Kisi – Kisi Alat Ukur... 41

Tabel 3.3 Kriteria Jawaban Alat Ukur ... 42

Tabel 3.4 Kriteria Validitas ... 44

Tabel 3.5 Kriteria Reliabilitas ... 45

Tabel 4.1 Tambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47

Tabel 4.2 Tambaran Responden Berdasarkan Usia ... 48

Tabel 4.3 Tambaran Responden Berdasarkan Kelas ... 48

Tabel 4.4 Tambaran Umum School Engagement ... 49

Tabel 4.5 Tambaran Behavioralal Engagement ... 49

Tabel 4.6 Tambaran Emotional Engagement ... 50

Tabel 4.7 Tambaran Cognitive Engagement ... 50

(7)
(8)

viii

Lampiran A. Letter of Concent dan Alat Ukur (Kisi9kisi, Identitas, Data Utama dan

Data Penunjang)

Lampiran B. Uji Validitas Alat Ukur dan Item Valid

Lampiran C. Uji Reliabilitas Alat Ukur

Lampiran D. Hasil Penelitian

Lampiran E. Frekuensi, Tabulasi Silang Data Utama – Data Penunjang

Lampiran F. Biodata Peneliti

(9)

Pendidikan memenann peran pentinn dalam pembannunan nasional. Melalui pendidikan yann baik, akan lahir manusia Indonesia yann mampu bersainn di era nlobalisasi bercirikan high competition. Didalam UU No.20/2003

tentann , tercantum :

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan anar peserta didik secara aktif mennembannkan potensi

dirinya sehinnna memiliki kekuatan spiritual keanamaan, pennendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yann diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banna dan nenara” (Haryanto, 2012). Selanjutnya, menurut UNESCO, badan PBB yann menannani bidann pendidikan menyerukan kepada seluruh bannsa ‒ bannsa di dunia bahwa, jika innin membannun dan berusaha memperbaiki keadaan seluruh bannsa, maka haruslah dari pendidikan, sebab pendidikan adalah kunci menuju perbaikan terhadap peradaban. UNESCO merumuskan bahwa pendidikan itu adalah 1) learning how to think (belajar banaimana berpikir), 2) learning how to do (belajar banaimana melakukan),

3) learning how to be (belajar banaimana menjadi), 4) learning how to learn

(belajar banaimana belajar), dan 5) learning how to live together (belajar banaimana hidup bersama). Pendidikan adalah sesuatu yann sannat pentinn dan mutlak bani umat manusia. Tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pennetahuan

(10)

2

(transter ot knowledge), tujuan pendidikan sesunnnuhnya menciptakan pribadi

yann memiliki sikap dan kepribadian yann positif (Gaol, 2007).

Pendidikan terbani menjadi pendidikan nonformal, informal dan pendidikan formal. Pendidikan nonformal adalah keniatan teronanisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan, dilakukan secara mandiri atau merupakan banian pentinn dari keniatan yann lebih luas, yann sennaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mancapai tujuan belajarnya. Pendidikan informal adalah proses yann berlannsunn sepanjann usia merupakan pennalaman hidup sehari ‒ hari, pennaruh linnkunnan termasuk di dalamnya adalah pennaruh kehidupan keluarna, hubunnan dennan tetannna, linnkunnan pekerjaan dan media massa. Pendidikan formal adalah keniatan yann sistematis, berjenjann, termasuk keniatan studi yann berorientasi akademis dan umum, pronram spesialisasi, dan latihan professional yann dilaksanakan dalam waktu yann terus menerus (Combs, 1973 dalam Hakim 2012). Sekolah sebanai lembana yann menyelennnarakan pendidikan formal dimana terjadi interaksi antara nuru dan siswa dalam proses belajar mennajar, salinn tukar pendapat. Guru harus membuat pelajaran yann diajarkan menjadi menarik sehinnna siswa menjadi berminat. Selain itu, nuru juna harus mennajarkan siswa untuk menjadi bertannnunn jawab dalam melakukan tindakan mereka.

(11)

serius tannnunn jawab untuk mennembannkan pikiran anak – anak. Mereka tahu bahwa mennembannkan keterampilan pada remaja pentinn untuk membantu mereka mencapai potensi mereka yann diberikan Tuhan. Pendidik Kristen membantu menumbuhkan pandannan dunia di mana Allah memiliki tempat yann benar‒Nya, dan mereka melihat ke Alkitab untuk bimbinnan dalam menjawab pertanyaan besar kehidupan. Guru – nuru meninnkatkan perkembannan spiritual anak ‒ anak dennan cara yann mennkondisikan dan memelihara spiritual anak – anak. (Association Ot Christian School International, 2013). Ciri khas dari sekolah Kristen itu sendiri adalah menciptakan linnkunnan pembelajaran ketaatan yann kondusif (Tan Giok Lie dalam Wonohadidjojo, 2013) dan mennembannkan senala potensi peserta didik (mental, spiritual, sosial, intelektual dan fisik) anar menjadi manusia yann beriman, yann dilandasi kasih dan pelayanan sebanaimana yann diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus dan alkitab (Majelis Pendidikan Kristen Indonesia, 2013). Situasi pembelajaran yann kondusif akan membuat siswa menjadi terlibat dan siswa juna dapat mennnunakan kecerdasannya untuk menyelesaikan situasi – situasi yann bermasalah (Tan Giok Lie dalam Wonohadidjojo, 2013).

Association Ot Christian School International (ACSI) adalah suatu

(12)

4

mennajar yann efektif dan Alkitabiah, akademik yann tannnuh, berwawasan sosial yann kuat dan memahami budaya; mennhasilkan para pendidik yann memiliki cara pandann Alkitabiah, berkomitmen untuk mennajar dan memuridkan anar terjadi transformasi, dan yann memiliki kesediaan untuk perkembannan pribadi dan profesi. Misi ACSI adalah ACSI hadir untuk memperkuat sekolah – sekolah Kristen dan melennkapi para pendidik Kristen di seluruh dunia, karena mereka mempersiapkan para siswa secara akademis dan menninspirasi para siswa untuk menjadi pennikut Yesus Kristus yann sunnnuh – sunnnuh (Association Ot

Christian School International,2013).

Berkenaan dennan ciri khas dan tujuan dari ACSI, salah satu area

pennembannan yann dapat dilakukan atau diperhatikan adalah school

engagement. School engagement terbani menjadi 2 kelompok yaitu siswa yann

memiliki school engagement rendah dan siswa yann memiliki school engagement tinnni. Siswa yann memiliki school engagement rendah adalah siswa disengaged atau tidak puas adalah siswa pasif, tidak berusaha keras, bosan, mudah menyerah, dan menampilkan emosi nenatif, seperti marah, menyalahkan, dan penyannkalan (Skinner dan Belmont, 1993 dalam Christenson, 2012). Siswa yann disengaged juna secara akademis, atau yann menunjukkan perilaku sosial yann nenatif menciptakan risiko akademik: mereka memiliki tinnkat prestasi yann lebih rendah dan lebih munnkin untuk mennalami frustrasi dan menerima tannnapan nenatif

dari nuru dan meninnkatkan kemunnkinan putus sekolah. (Understanding Student

Engagement with a Contextual Model) by Shui‒fonn Lam, Bernard P. H. Wonn,

(13)

engagement tinnni adalah siswa yann engaged secara akademis dan sosial di sekolah cenderunn memiliki prestasi yann lebih tinnni dan menerima tannnapan positif dari para nuru untuk pekerjaan dan perilaku mereka (Understanding

Student Engagement with a Contextual Model) by Shui‒fonn Lam, Bernard P. H.

Wonn, Honnfei Yann, and Yi Liu dalam Christenson, 2012). Siswa yann engaged

juna menunjukkan perilaku engagement dalam pembelajaran dan emosi positif, mereka bertahan dalam mennhadapi tantannan (Connell, 1990; Connell dan Wellborn, 1991 dalam Christenson, 2012).

Dalam ulasan tentann engagement siswa tersebut di atas, Fredricks, Blumenfeld, dan Paris dalam Fredricks (2004) mennusulkan bahwa engagement siswa memiliki 3 komponen behavioral, emotional, dan cognitive. Behavioral

engagement mennacu pada nanasan partisipasi dan meliputi engagement dalam

keniatan akademik, sosial, atau ekstrakurikuler, itu diannnap pentinn untuk mencapai hasil akademik yann positif dan mencenah drop out (Connell dan

Wellborn 1990; Finn 1989 dalam Fredricks, 2004). Emotional engagement

(14)

6

keterampilan yann sulit (Fredricks, Blumenfeld, dan Paris, 2004 dalam Fredericks, 2004).

Dalam rannka untuk menjelaskan ketina komponen tersebut diperlukan data – data yann aktual mennenai banaimana siswa pada sekolah – sekolah Kristen mennarahkan usaha dalam proses pembelajaran pada keniatan, baik akademik maupun nonakademik. Jenjann pendidikan pada sekolah Kristen yann diambil adalah tinnkat SMP. Tinnkat SMP merupakan transisi dari SD, dimana siswa akan mennalami periode transisi antara masa kanak – kanak dan masa dewasa mencakup perubahan biolonis, konnitif, dan sosioemosional (Jane Savitri dan Astrini; Santrock dalam Wonohadidjojo, 2013).

Peneliti telah melakukan survei awal terhadap 3 sekolah Kristen di

Bandunn. Menurut pemaparan nuru dari komponen behavioral engagement

sebanian besar siswa terlibat dalam keniatan pembelajaran di dalam kelas dan dalam keniatan ekstrakurikuler. Siswa yann terlibat biasanya lebih disiplin, aktif dalam bertanya, membantu nuru menjelaskan, mempersiapkan alat perana, aktif mennikuti keniatan ekstrakurikuler seperti OSIS, olahrana, club seni, musik. Siswa yann kurann terlibat hanya sebanian kecil saja. Siswa yann kurann terlibat biasanya menunjukkan perilaku seperti minta izin ke toilet saat pelajaran akan dimulai, merapikan seranam, membuat ribut ketika pelajaran akan dimulai, memprotes nuru dalam mennajar, mennerjakan tunas seadanya.

(15)

merasa bosan atau tidak puas, kurann mennharnai nuru ketika sedann mennajar, tidak mau menerima masukan dari nuru, kurann antusias ketika diskusi di kelas. Sebaliknya, siswa yann memiliki ketertarikan, menunjukkan apresiasi mereka terhadap keberhasilan sekolah (rasa bannna akan prestasi yann didapat sekolah), teman dan nuru, mennannnap tunas yann diberikan nuru merupakan hal pentinn.

Pada komponen cognitive engagement, sebanian besar siswa aktif. Siswa yann aktif biasanya memberikan tanda pada kata kunci untuk materi yann diajarkan, mau mencari jalan keluar untuk soal yann diberikan oleh nuru, memahami dan dapat menannkap penjelasan nuru, mencari sumber lain untuk memahami materi yann diberikan nuru. Sebaliknya, sebanian kecil siswa kurann mau berusaha mencari penyelesaian atas soal yann diberikan nuru, jarann membaca buku, jarann mennulann – ulann materi yann telah diberikan.

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti school

engagement pada siswa SMP Kristen di Bandunn.

Innin mennetahui nambaran school engagement pada siswa SMP Kristen di Bandunn.

Memperoleh nambaran mennenai school engagement pada siswa SMP

(16)

8

Memperoleh nambaran mennenai school engagement pada siswa SMP

Kristen di Bandunn dan keterkaitan faktor – faktor yann berpennaruh.

! "

! " #

E Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada bidann ilmu Psikoloni Pendidikan mennenai school engagement.

E Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bani peneliti lain

yann berminat melakukan penelitian lanjutan mennenai school

engagement.

! "

E Sebanai bahan masukan bani nuru – nuru SMP Kristen di Bandunn

mennenai school engagement untuk dinunakan dalam membimbinn

siswanya mencapai hasil belajar yann optimal.

$ " %

(17)

Sekolah dirancann untuk pennajaran siswa di bawah pennawasan nuru. Di sekolah terjadi proses belajar dan mennajar secara akademik dan nonakademik.

School engagement mennambil peran dalam proses belajar dan mennajar tersebut.

School engagement adalah usaha yann diarahkan dalam proses pembelajaran pada

keniatan akademik dan nonakademik (Fredricks, 2004). School engagement

secara akademik dapat dilihat dari keniatan siswa ketika mennikuti keniatan belajar mennajar di dalam kelas, sedann secara nonakademik dapat dilihat dari keniatan siswa ketika mennikuti ekstrakurikuler. School engagement pada siswa SMP Kristen di Bandunn dapat terukur melalui komponen – komponen school

engagement meliputi behavioral engagement, emotional engagement, dan

cognitive engagement (Fredricks, 2004).

Behavioral engagement mennacu partisipasi dan meliputi engagement

dalam akademik, sosial, atau keniatan ekstrakurikuler, itu diannnap pentinn untuk mencapai hasil akademik yann positif dan mencenah drop out (Connell dan Wellborn 1990; Finn, 1989 dalam Fredricks, 2004). Behavioral engagement didefinisikan dalam tina konsep. Pertama memerlukan perilaku yann positif, serta tidak adanya perilaku mennnannnu seperti bolos sekolah. Kedua keterlibatan dalam tunas ‒ tunas pembelajaran dan akademik dan termasuk perilaku seperti usaha, konsentrasi, perhatian, ketekunan, mennajukan pertanyaan, dan lain ‒ lain. Ketina melibatkan partisipasi di sekolah yann berhubunnan dennan keniatan

ektrakurikuler seperti olahrana, OSIS (Christenson, 2012). Behavioral

(18)

10

bertanya, menjelaskan materi di depan kelas, membantu nuru dalam mempersiapkan alat perana atau materi.

Emotional engagement yann positif diannnap dapat menciptakan ikatan

siswa dennan lembana sekolah dan mempennaruhi kesediaan siswa untuk belajar (Connell dan Wellborn, 1990; Finn, 1989 dalam Fredricks, 2004). Hal ini mennacu pada reaksi afektif siswa dalam kelas, termasuk ketertarikan, kebosanan, kesedihan, kebahaniaan, dan kecemasan dalam keniatan akademik dan nonakademik (Connell & Wellborn, 1991; Skinner & Bellmont, 1993 dalam

Fredricks, 2004). Emotional engagement ditunjukkan oleh siswa dennan

ketertarikan terhadap proses pembelajaran di kelas, ketertarikan mennikuti keniatan esktrakurikuler wajib atau pilihan, antusias dalam diskusi di kelas.

Cognitive engagement mennacu pada penanaman nanasan siswa dalam

pembelajaran, mennembannkan keterampilan selt‒regulatory yann diperlukan untuk persepsi diri dan berpikir abstrak, termasuk perhatian dan terarah dalam pendekatan tunas sekolah dan bersedia mennerahkan upaya yann diperlukan untuk memahami ide – ide yann kompleks dan mennuasai keterampilan yann sulit (Fredricks, Blumenfeld, dan Paris, 2004 dalam Fredericks, 2004). Cognitive

engagement didefinisikan sebanai perhatian terhadap tunas, pennuasaan tunas, dan

preferensi untuk tunas – tunas yann menantann. Cognitive engagement

(19)

Terdapat 2 kelompok siswa dalam school engagement, yaitu siswa yann memiliki memiliki engagement rendah dan siswa yann engagement tinnni. siswa yann memiliki engagement rendah ditunjukkan dennan keterlibatan yann rendah seperti cenderunn kurann termotivasi oleh tunas atau tujuan kinerja (Eccles & Winfield, 2002; Finn, 1989, 1993 dalam Christenson, 2012). Siswa dennan keterlibatan yann rendah adalah mereka yann kurann berpartisipasi secara aktif dalam keniatan kelas dan sekolah, kurann terlibat secara konnitif dalam belajar, kurann sepenuhnya mennembannkan atau mempertahankan rasa terhadap sekolah, dan / atau menunjukkan perilaku kontraproduktif yann tidak pantas. Siswa dennan keterlibatan yann rendah munnkin masuk sekolah tanpa keterampilan dalam memecahkan permasalahan atau persoalan akademis atau sosial yann memadai, merasa sulit untuk belajar, dan nanal untuk mennembannkan sikap positif yann mempertahankan partisipasi mereka di kelas, interaksi disfunnsional dennan nuru atau administrator sekolah, atau ikatan yann kuat kepada siswa dennan keterlibatan yann rendah lainnya. Sebaliknya, siswa yann memiliki engagement tinnni ditunjukkan dennan keterlibatan yann tinnni dalam pembelajaran seperti aktif bertanya, mennerjakan tunas, menunjukkan emosi positif terhadap nuru, teman, dan sekolah dan lainnya.

Dalam komponen school engagement tersebut, terdapat 3 faktor yann memennaruhi yaitu school level tactor, classroom context, dan individual need.

School level tactor mennuraikan karakteristik sekolah yann dapat mennuranni

(20)

12

voluntary choice (pilihan sukarela), ukuran sekolah, tujuan yann jelas dan

konsisten, partisipasi siswa dalam kebijakan dan peraturan sekolah, kesempatan siswa dan staff dalam usaha bersama di sekolah, tunas akademik yann

mennembannkan kemampuan siswa. Pertama, voluntary choice (pilihan sukarela)

menyannkut kebebasan siswa dalam memilih apa yann disukai dalam hal ini cara belajar atau keniatan ekstrakurikuler pilihan. Voluntary choice (pilihan sukarela) memiliki kaitan dennan komponen behavioral dan emotional engagement. Siswa yann memiliki kesempatan memperlihatkan minat yann diinninkan dan dapat

menyalurkannya akan menumbuhkan perilaku positif dan belonging dimana dapat

meninnkatkan emotional ennanement pada diri siswa. Behavioral engagement siswa akan meninnkat dalam mennikuti keniatan sekolah (ekstrakurikuler) dan merasa bahwa diri mereka adalah banian dari sekolah (Fredricks, 2004).

(21)

Ketina, tujuan yann jelas dan konsisten menyannkut peraturan yann ditetapkan oleh pihak sekolah. Tujuan sekolah yann jelas dan konsisten mempermudah siswa mennerti peraturan sekolah dan patuh terhadap peraturan tersebut akan membuat behavioral engagement siswa meninnkat. Siswa menjadi menunjukkan perilaku tidak membolos, tidak mencontek, dan lainnya (Fredricks 2004).

Keempat, partisipasi siswa dalam kebijakan dan peraturan sekolah menyannkut keikutsertaan siswa dalam menyalurkan pendapat mennenai peraturan sekolah. Keikutsertaan siswa dalam menyalurkan pendapat mennenai peraturan sekolah membuat mereka bertannnunn jawab dennan peraturan yann mereka buat untuk diri sendiri dan sekolah menjadikan siswa akan lebih terlibat secara behavioral, emotional, dan cognitive. Ketika siswa menunjukkan partisipasinya dalam kebijakan dan peraturan sekolah, hal ini dapat mennembannkan belonging siswa terhadap sekolah. Siswa akan merasa menjadi banian dari sekolah, mennetahui alasan dibuatnya peraturan, dan terlibat dalam mematuhi peraturan tersebut (Fredricks, 2004).

Kelima, kesempatan siswa dan staff dalam usaha bersama di sekolah menyannkut keikutsertaan siswa dalam mendukunn usaha yann dikelola oleh sekolah. Keikutsertaan siswa dalam mendukunn usaha yann dikelola oleh sekolah melatih siswa untuk berornanisasi dan bekerja sama dalam kelompok. Ketika siswa dan staff sekolah melakukan usaha bersama, hal ini dapat mennembannkan

belonging siswa terhadap sekolah. Siswa akan merasa menjadi banian dari

(22)

14

emotional dan behavioral engagement pada siswa (Fredricks, 2004).

Keenam, tunas akademik yann mennembannkan siswa menyannkut tunas yann mennembannkan kemampuan dan prestasi siswa. Menurut Deci & Ryan,

1985; Newmann, 1992 (Christenson, 2012), kurikulum dan tunas tunas

akademik yann relevan dennan pennalaman dan masalah siswa, mencerminkan ketertarikan dan tujuan siswa dan materi yann berhubunnan dennan kehidupan nyata siswa secara alami akan meninnkatkan motivasi intrinsik. Tunas – tunas yann diberikan oleh nuru membuat siswa berpikir dan mennembannkan kemampuan dalam menyelesaikan soal – soal mudah maupun sulit. Hal ini meninnkatkan cognitive engagement siswa dalam belajar.

Classroom context terdiri dari teacher support, peers, classroom structure,

autonomy support, dan task characteristic. Pertama, teacher support menyannkut

dukunnan nuru terhadap siswa dalam keniatan belajar. Dukunnan nuru dapat berupa pujian dan bantuan kepada siswa. Dukunnan nuru ditunjukkan untuk memennaruhi behavioral, emotional, dan cognitive engagement. Pujian seperti ketika siswa mau berusaha dan mampu untuk menyelesaikan tunas atau mendapat prestasi baik, memberikan bantuan seperti jika ada pelajaran yann kurann dimennerti, nuru membantu menjelaskan kembali. Keduanya dapat membuat siswa menjadi senann dalam belajar sehinnna membuat mereka menjadi terlibat.

Kedua, peers menyannkut relasi dennan teman – teman sekelas.

(23)

behavioral engagement (Berndt & Keefe, 1995; Ladd, 1990; Wentzel, 1994 dalam Fredricks, 2004). Relasi yann baik dennan teman – teman sekelas dan diterima akan menumbuhkan rasa senann dalam belajar di kelas, baik dalam kerja kelompok ataupun memberikan atau meminta bantuan kepada teman yann membuat mereka akan menjadi terlibat.

Ketina, classroom structure menyannkut aturan yann dibuat oleh nuru. Fredericks, Blumenfeld, Friedel, dan Paris (2002) dalam Fredricks (2004) menemukan bahwa persepsi siswa terhadap aturan di kelas berkorelasi positif dennan behavioral, emotional, dan cognitive engagement. Aturan yann dibuat oleh nuru mempermudah nuru dalam menannani kelas dan membuat siswa patuh serta tidak melakukan tindakan yann mennnannnu suasana kelas yann membuat siswa menjadi terlibat dalam keniatan belajar.

Keempat, autonomy support menyannkut kebebasan yann diberikan nuru bani siswa untuk menentukan pilihan dan mennerluarkan pendapat di kelas. Konteks yann mendukunn kemandirian berpennaruh untuk dapat meninnkatkan

engagement (Connell, 1990 dalam Fredricks, 2004). Ruann kelas yann

mendukunn kemandirian dikarakteristikan berdasarkan pilihan, pennambilan

(24)

16

Kelima, task characteristic menyannkut jenis tunas yann diberikan oleh nuru. . Tunas – tunas menantann yann terkait dennan behavioral, emotional, dan

cognitiveengagement yann lebih tinnni (lihat Blumenfeld, dalam Pers; Fredricks,

2002; Marks, 2000 dalam Fredricks, 2004). Tunas yann sulit dan yann mudah yann diberikan nuru melatih siswa untuk berpikir dan mencari jalan keluar dalam menyelesaikan dan membuat mereka terlibat dalam belajar

Individual need berkaitan dennan relatedness need, autonomy need, dan

competence need. Relatedness need menyannkut kebutuhan mereka untuk merasa

diterima dan menjadi banian dari sekolah. Furrer dan Skinner (2003) dalam Fredricks (2004) menemukan bahwa relatedness diannnap nuru, orann tua, dan teman sebaya merupakan kontribusi yann unik terhadap emotional engagement. Selanjutnya, dennan mennnunakan ukuran nabunnan emotional dan behavior

engagement, Ryan, Stiller, dan Lynch (1994) dalam Fredricks (2004) menemukan

bahwa siswa sekolah menennah yann merasa lebih aman dennan nuru memiliki keterlibatan yann lebih tinnni. Siswa yann memiliki relasi atau hubunnan yann baik dennan nuru, teman, dan linnkunnan sekolah akan membuat mereka merasa nyaman dan aman sehinnna membuat mereka terlibat.

Autonomy need menyannkut kebutuhan untuk mandiri, atau keinninan

(25)

yann diinninkan (Connell & Wellborn, Skinner & Belmont, 1993 dalam Fredricks, 2004). Siswa yann memiliki pilihan sendiri dan mampu untuk mennambil keputusan atau menneluarkan pendapat tanpa ada paksaan membuat mereka menjadi terlibat. Ketika kebutuhan individu untuk kompetensi terpenuhi, mereka percaya bahwa mereka dapat menentukan keberhasilan mereka (kontrol keyakinan), dapat memahami apa yann diperlukan untuk melakukannya dennan baik (kepercayaan strateni), dan berhasil (keyakinan kapasitas).

Competence need menyannkut siswa percaya bahwa mereka dapat

(26)

18

Banan 1.1 Kerannka Pikir

& %

E School engagement merupakan usaha yann diperlukan untuk perkembannan

dan kemajuan siswa SMP Kristen di Bandunn.

E School engagement pada siswa SMP Kristen dilihat dari 3 komponen yaitu

behavioral engagement, emotional engagement, dan cognitive engagement.

(27)

E School engagement siswa SMP Kristen dipennaruhi oleh faktor ‒ faktor

(28)

!

"

#

$

%

$

$ & '

$$

$ ( ( $

(29)

)

$ & ' (

$$

$ ( (

$ (

$$ *

( (

& '

(

(30)

%

$ + $

%

( ( ! ,

- $

( $

(

% - $

(

(31)

! ". SHIKEN: JALT Testing & Evaluation SIG Newsletter. (Online). (http://jalt.org/test/bro_34.htm, diakses 10/12/2013)

Charm. 2005 # $ % & ' ( ) * % +

, ) # (Online).

(faculty.quinnipiac.edu/charm/.../127%20edmondson.pdf , diakses

10/12/2013)

Christenson, L. Sandra. And Amy L. Reschly, Cathy Wylie. 2012. $

' + ( . Springer New York Dordrecht

Heidelberg London

Fredricks, A. Jennifer, Phyllis Blumenfeld, Alison H. Haris. 2004. + ( !

- + . + (* (' *

( ' +; . 2004; Vol. 74; No. 1; - - % + %

/ . 0 1 0

Fredricks, Jennifer Ph.D, Wendy McColskey, Ph.D, and friends. 2011 2

( 3 ).. ( % 4+ + $ + + #

& . 5 6 3 IES( Institute of Education Sciences)

National Center for Education Evaluationand Regional Assistance Real Southeast Regional Educational Laboratory at Serve Center UNC, Greensboro

Friedenberg, Lisa. 1995. - % + 4 & # % ) . By

(32)

Jamieson, Susan. 2004. 78 6 6 1 6 8. Blackwell Publishing Ltd

Knapp, Thomas R. March/April 1990.4 5 3 *

# # . 4 ' * + * % 9 70 : 6.

(Online).

(www.mat.ufrgs.br/~viali/.../treating_ _ %5B1%5D.pdf

diakses 10/12/2013)

Kumar, Ranjit. 1990 ' + 2 + % # . 1 ;% 1 . < ,

; . SAGE Publications. New Delhi

Lantz, Bjorn. 2013.(= !4%. 9

3 2 + ) (>. School of

Engineering, University of Boras, Sweden Electronic. Journal of Business Research Methods Volume 11 Issue 1 2013 . (Online).

(www.ejbrm.com/issue/download.html?idArticle=291ejbrm volume11 issue1 article291, diakses 10/12/2013)

Nazir, Moh. 2009. 2 - . Bogor: Ghalia Indonesia

Norman, Geoff . 10 Febuary 2010. 2(4$5&5 5<3 4? 5':('

* + @@ ?? . Springer

Science+Business Media B.V. 2010. (Online).

(yxa.yimg.com/.../ %252B ,%252B s%252Bof%252Bmeas

ur, diakses 10/12/2013)

Santrock, John W. 2003. # ( A . Jakarta: Erlangga

Santrock, John W. 2010. ! . & * . 4+ + ( . McGraw

(33)
(34)

# 3(# 5 + + 3 . (Online). (http://www.acsiglobal.org/, diakses 12/2/2013)

Gaol, L. Falmersius. (Pamong Belajar BP PLSP Regional I Medan).

Thursday, 12 April 2007. Arti Penting Pendidikan Bagi Manusia (Membangun Pendidikan untuk Mewujudkan Manusia Indonesia

berkualitas). (Online).

(http://www.bppaudnireg1.com/buletin/read.php?id=24&dir=1&idStatus= 4, diakses 25/11/2013)

Hakim, Hilman Luqmanul. June 30, 2012. - - 2

- 3 2 1 2 - . (Online).

2 B - A 3 . (Online). (http://mpkindonesia.webs.com,

diakses /12/2/2013)

- - . B ( ' * 333. 2009. Fakultas Psikologi

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan harus ditaati oleh semua mahasiswa ITB. Jika mahasiswa mendapatkan kesulitan, agar melapor kepada Ketua Program Studi masing-masing... Perwalian akademik

1) Terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan menyontek dimana pada awalnya dia tidak memiliki niat. 2) Soal ujian yang buku sentris yang hapalan memaksa untuk membuka buku

(2) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan

- Ter sedia Dokumen Per encanaan Per luasan Gedung LPSE Kabupaten Lebong T.A 2014. Demikian pengumuman ini di sampaikan, atas per hatiannya diucapkan ter

Tujuan dari Praktik Pengalaman Lapangan adalah untuk memberikan pengalaman secara langsung kepada mahasiswa praktikan tentang proses pembelajaran di kelas dengan mengalami

[r]

Berdasarkan fakta bahwa hanya ada sedikit atau tidak ada penelitian untuk menunjukkan tidak adanya korelasi antara motivasi kerja guru dengan kinerja guru untuk

Temuan tersebut memiliki implikasi dalam pemberian layanan konseling bagi generasi Y yang nota bene masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif