• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Mengenai Kontribusi Jenis Dukungan Orang Tua Terhadap Stress Pada Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penelitian Mengenai Kontribusi Jenis Dukungan Orang Tua Terhadap Stress Pada Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

i Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Kontribusi Jenis Dukungan Orang Tua terhadap Derajat Stress pada Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta. Jumlah seluruh responden yaitu sebanyak 27 orang. Penelitian ini bersifat kuantitatif, data diperoleh dari kuesioner dan wawancara pada siswa penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.

Alat ukur yang digunakan adalah alat ukur dukungan orang tua disusun berdasarkan teori House (1981 dalam Vaux, 1988) dan alat ukur derajat stress berdasarkan teori Lazarus (1984). Alat ukur dukungan orang tua terdiri dari 32 item berdasarkan 4 jenis dukungan orang tua yaitu dukungan informasi, emosional, instrumental dan penghargaan sedangkan alat ukur derajat stress terdiri dari 30 item berdasarkan 3 aspek gangguan yaitu gangguan kesehatan, gangguan fisik dan gangguan tingkah laku.

Validitas item-item dengan menggunakan kriteria dari Lisa Friedenberg yaitu dukungan orang tua berkisar 0,319 - 0,824 dan derajat stress berkisar 0,329 - 0,868. Realibilitas item - item diukur dengan Alpha Cronbach memperoleh hasil yaitu untuk dukungan orang tua 0,739 dan derajat stress 0,592. Kemudian data dukungan orang tua yang diperoleh dikontribusikan terhadap derajat stress. Teknis analisis data dilakukan dengan metode regresi berganda (multiple regression) dengan hasil regresi yang diperoleh masing-masing dukungan yaitu informasi 0,165, emosional 0,110, penghargaan 0,095 dan instrumental 0,01. Signifikansi untuk masing – masing dukungan adalah informasi 0,370, emosional 0,546, penghargaan 0,603 dan instrumental 0,996.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan orang tua tidak berkontribusi secara siginifikan terhadap derajat stress pada siswa penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta. Terdapat faktor lain yang mempengaruhi derajat stress siswa penerbang yaitu faktor perilaku dan psikologis.

(2)

Level of Air Force Student, generation of 2009 at TNI-AU in Yogyakarta. The total of respondents are 27 persons. This is a quantitative research, data obtained from questionnaires and interview to air force students, generation of 2009 at TNI-AU in Yogyakarta.

The instrument used are parental support’s which was made based on House theory (1981 in Vaux, 1988) and appraisal of stress level based on Lazarus theory (1984). The instrument consises of 32 items based on 4 types of parent’s support that are information support , emotional support, instrumental support and award support. The appraisal stress level consists of 30 items based on 3 aspect of disorder, health, physical, and behavior.

The validity of the items used criteria from Lisa Friedenberg that is the parent’s support ranged from 0.319 – 0.824 and the level of stress ranged from 0.329 – 0.868. Reliability of items appraisal tool used Alpha Cronbach obtained a result parent’s support is 0.739 and the level of stress is 0.592. The data obtained from parent’s support was contributed with the level of stress. Technical data analysis performed with mulitple regression. The regression results obtained by each support are information 0,165, emotional 0,110, awards 0,095 and instrumental 0,01. The significances for each support are information 0,370, emotional 0,546, awards 0,603 and instrumental 0,996.

The result of this research indicate that the parent’s support does not contribute significantly to the stress level of air force student, generation of 2009 at TNI-AU in Yogyakarta. There are other factors that influence the stress level air force student, that are behavioral and psychological factors.

(3)

vii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK...i

ABSTRACT...ii

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...vii

DAFTAR TABEL...xi

DAFTAR SKEMA...xii

DAFTAR LAMPIRAN...xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi Masalah...10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...10

1.3.1 Maksud Penelitian...10

1.3.2 Tujuan Penelitian...10

1.4 Kegunaan Penelitian...10

1.4.1 Kegunaan Teoritis...10

(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...25

2.1 Stress...25

2.1.1 Pengertian Stress...25

2.1.2 Teori Stress dari Lazarus...26

2.1.3 Penilaian Kognitif...29

2.1.4 Proses Penilaian Kognitif...31

2.1.5 Sumber Stress...39

2.1.6 Dampak Stress...41

2.2 Dukungan Orang Tua...42

2.2.1 Pengertian Dukungan Orang Tua...42

2.2.2 Sumber-sumber Dukungan...44

2.2.3 Jenis-jenis Dukungan Orang Tua...45

2.2.4 Hubungan Dukungan Sosial dan Stress...46

BAB II METODOLOGI PENELITIAN...48

3.1 Rancangan Penelitian...48

3.2 Skema Prosedur Penelitan...49

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...50

(5)

ix Universitas Kristen Maranatha

3.3.2 Definisi Operasional...50

3.3.2.1 Dukungan Orang Tua...50

3.3.2.2 Stress...51

3.4 Alat Ukur 3.4.1 Kuesioner Dukungan Orang Tua...52

3.4.1.1 Prosedur Pengisian Kuesioner Dukungan Orang Tua...52

3.4.1.2 Sistem Penilaian Kuesioner Dukungan Orang Tua...54

3.4.2 Kuesioner Stress...56

3.4.2.1 Prosedur Pengisian Kuesioner Stress...56

3.4.2.2 Sistem Penilaian Kuesioner Stress...57

3.5 Populasi...61

3.5.1 Populasi Sasaran...61

3.5.2 Karakteristik Populasi...61

3.6 Teknik Analisis Data...62

3.7 Hipotesa Statistik...65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran umum subjek Penelitian...67

4.1.1 Gambaran subjek berdasarkan usia...67

4.2 Gambaran Hasil Penelitian...68

4.2.1 Uji Hipotesis...68

4.2.2 Kontribusi Jenis Dukungan Orang Tua terhadap Stress...70

(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan...86

5.2 Saran...86

5.2.1 Saran Teoritis...86

5.2.2 Saran Praktis...87

DAFTAR PUSTAKA...xiv

(7)

xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 kisi-kisi alat ukur Dukungan Orang Tua...52

Tabel 3.2 skor item Dukungan Orang Tua...54

Tabel 3.3 kisi-kisi alat ukur Stress...56

Tabel 3.4 skor item Stress...57

Tabel 4.1 Gambaran usia...68

Tabel 4.2 Gambaran Stress...72

Tabel 4.3 Tabulasi silang antara Stress dengan Dukungan Informasi...73

Tabel 4.4 Tabulasi silang antara Stress dengan Dukungan Emosional...73

Tabel 4.5 Tabulasi silang antara Stress dengan Dukungan Penghargaan...74

(8)

Skema 3.1 Skema Prosedur Penelitian...49

(9)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Profil Angkatan Udara

Lampiran II : Kuesioner Dukungan Orang Tua

Lampiran III : Kuesioner Stress

Lampiran IV : Lembar wawancara

Lampiran V : Lembar Persetujuan

Lampiran VI : Validitas Alat Ukur Dukungan Orang Tua

Lampiran VII : Validitas Alat Ukur Stress

Lampiran VIII : Realibilitas Alat Ukur Dukungan Orang Tua dan Stress

Lampiran IX : Korelasi Dukungan Orang Tua terhadap Stress

Lampiran X : Hasil Regresi jenis Dukungan Orang Tua terhadap Stress

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Manusia pada hakekatnya berhak mendapat pengajaran pendidikan sejak

mereka dilahirkan. Pendidikan salah satunya dapat berupa pendidikan formal yang

merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan

terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu

(http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan, 31 Agustus 2010).Salah satu pendidikan

formal di Indonesia yaitu pendidikan militer, dibagi menjadi tiga angkatan yaitu

Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara. Masing-masing angkatan

memiliki ciri khas tertentu dalam alutsista (alat utama sistem senjata) yang

digunakan, contohnya Angkatan Udara yang bergerak di bidang pertahanan udara

dengan berbagai jenis pesawatnya baik pesawat angkut maupun tempur. Angkatan

Udara memiliki beberapa korps atau jurusan, yaitu administrasi, pembekalan,

kesehatan, navigator, elektro, polisi militer (POM), paskhas (pasukan khas),

inteligent, teknik, dan penerbang. Korps atau jurusan yang secara langsung dapat

mengendalikan alutsita (alat utama sistem senjata) yang dimiliki Angkatan Udara

yaitu penerbang.

Pesawat buatan manusia, maka semua persyaratan terbang yang sudah

ditetapkan oleh pembuat pesawat haruslah ditaati dengan ketat. Kesalahan sekecil

(11)

2

Universitas Kristen Maranatha

akan mengalami kecelakaan. Menjadi seorang penerbang khususnya penerbang

militer itu tidak mudah karena harus mengikuti pendidikan terlebih dahulu,

dimana pendidikan tersebut hanya ada di Yogyakarta. Siswa penerbang harus

mengikuti beberapa prosedur terlebih dahulu. Mereka harus mengikuti pendidikan

sebagai Taruna TNI-AU kurang lebih selama 4 tahun, kemudian mengikuti

program Kursus Intensif Bahasa Inggris selama 3 bulan setelah lulus siswa akan

ditempatkan pada korps atau jurusan mereka masing-masing. Bagi siswa yang

lulus sebagai Taruna Udara dengan IPK minimal 2,75, tidak melanggar aturan

selama mengikuti pendidikan, dan sehat jasmani diwajibkan mengikuti

pendidikan sebagai siswa penerbang selama kurang lebih 14 bulan di Sekolah

Penerbang TNI-AU.

Selama mengikuti pendidikan penerbangan ini terdapat 3 kriteria untuk

menentukan hasil akhir pendidikan yang telah dijalani, yaitu akademis,

kepribadian, dan jasmani. Sebelum melakukan kegiatan terbang siswa wajib

mengikuti silabus pendidikan yang terdiri atas dua fase yaitu fase bina kelas dan

bina terbang, kedua silabus ini untuk melihat aspek akademis siswa. Fase bina

kelas, ketika siswa penerbang menerima pelajaran teori di dalam kelas selama

kurang lebih dua bulan. Fase bina terbang yaitu ketika siswa penerbang harus

mempraktikkan apa yang didapatkan saat di kelas dengan menerbangkan pesawat.

Ketika melakukan penerbangan terdapat beberapa pelatihan dasar mulai dari

pattern, manuver dasar, aerobatic, formasi, instrument, dan navigasi. Pada setiap

selesai pelatihan dasar akan ada ujian untuk melaksanakan terbang sendiri/solo

(12)

pesawat Charlie 120 jam terbang. Total jam terbang yang harus dipenuhi selama

mengikuti pendidikan yaitu 180 jam.

Dalam mengikuti pendidikan ini siswa dituntut untuk mengubah

kebiasaannya, salah satunya yaitu belajar mengenai cara berpikir dan bertingkah

laku yang baru. Dalam cara berpikir dituntut untuk lebih waspada serta memiliki

kemampuan mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Hal ini sangat penting

karena kemampuan penerbang dalam membuat pertimbangan dan mengambil

keputusan sangat menentukan keselamatan terbang. Dapat dikatakan bahwa

pengambilan keputusan merupakan salah satu hal terpenting dalam tindakan

penerbang terutama dalam menghadapi situasi darurat. Hasil analisis FAA

(Federal Aviation Administration) seperti dilaporkan Jensen dan Bennel (Orasanu,

1992) menunjukan bahwa kesalahan penerbang dalam membuat pertimbangan

(judgement) menyumbang lebih dari 50% terjadinya kecelakaan fatal pada tahun

1970–1974. Sedangkan penelitian NTSB (National Transportation Safety Board)

sebelumnya melaporkan bahwa tidak kurang dari 47% kecelakaan penerbangan

antara tahun 1983–1987 disebabkan kesalahan penerbang dalam judgement dan

pengambilan keputusan. (Widura I.M. Emosi dalam Pengambilan Keputusan

Penerbang. (http://wi-psibangan.blogspot.com/), 9 Januari 2009).

Siswa penerbang dituntut untuk dapat menguasai materi dan teknik

terbang dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh instansi yaitu selama 14

bulan sesuai dengan standar kelulusan terbang. Dalam jangka waktu tersebut para

siswa penerbang harus dapat menguasai tentang penerbangan sesuai dengan

(13)

4

Universitas Kristen Maranatha

memenuhi standar terbang yang telah ditentukan maka siswa dikeluarkan dari

sekolah penerbangan dan kembali pada korps awal mereka (grounded). Pada lima

siswa penerbang dari 7 siswa yang diwawancara peneliti mengatakan bahwa

grounded menjadi beban bagi mereka secara mental karena mereka sebelumnya

telah dikenal oleh lingkungan sebagai calon penerbang namun pada akhirnya

mereka tidak dapat mewujudkannya. Kemudian mereka merasa bahwa dirinya

tidak memiliki kemampuan dibandingkan dengan teman-teman lainnya serta

pembelajaran yang mereka dapatkan tentang penerbangan selama 14 bulan

tersebut tidak dapat dipraktikkan. Mereka juga dianggap tidak dapat menjalankan

salah satu satu tugas negara.

Dalam hal tuntutan untuk bertingkah laku siswa penerbang harus terbiasa

melakukan tiga atau lebih kegiatan dalam satu waktu. Contohnya ketika siswa

penerbang berada dalam pesawat, mereka harus melihat ke arah luar kemudian

mendengarkan informasi yang diberikan dari tower serta harus tetap

mengendalikan kemudi pesawat agar tetap stabil. Kegiatan ini tidak dapat dengan

mudah dilakukan oleh setiap orang yang tidak mendapatkan latihan terlebih

dahulu maka siswa penerbang harus sering dihadapkan pada situasi tersebut agar

terbiasa. Melakukan tiga atau lebih kegiatan dalam satu waktu ini, dilatih dengan

cara para siswa penerbang tersebut setiap hari diminta untuk melakukan kegiatan

dua atau lebih tugas dari senior dan instruktur siswa penerbang dalam waktu yang

bersamaan. Para siswa penerbang merasa kesulitan untuk mengikuti tuntutan

(14)

Dibandingkan dengan teknik terbang pada pesawat komersial, teknik

terbang pada pesawat tempur Angkatan Udara jauh lebih rumit. Prayitno Ramelan

(mantan penasehat Menhan Bid.Intelijen) mengatakan bahwa “Peran tempur

memerlukan pengorganisasian khusus, berkaitan dengan kesiapan pesawat,

kemampuan penerbang dalam bermanufer, menembak, dog fight dan melawan

“G” (grafitasi) (http://www.infopenerbangan.com, 5 Juni 2009). Tugas-tugas ini

menjadikan tuntutan siswa penerbang TNI-AU menjadi lebih besar daripada pilot

penerbangan sipil.

Masalah lain yang dihadapi para siswa penerbang ini selain prosedur

penerbangan yaitu mengenai kehidupan asrama. Dalam kehidupan ber-asrama ini

lekat dengan istilah senioritas. Para siswa penerbang ini sebelumnya sudah pernah

mengikuti kehidupan asrama saat mereka mengikuti pendidikan sebagai taruna.

Saat menjadi taruna tingkat akhir mereka tinggal bersama junior-juniornya

sebagai senior namun ketika masuk asrama sebagai siswa penerbang, mereka

harus kembali menjadi junior

Berada di asrama berarti para siswa penerbang berada di lingkungan yang

terbatas, baik senior maupun junior akan lebih sering melakukan interaksi antara

satu dengan yang lainnya di lingkungan yang sama untuk waktu yang cukup lama.

Sebagai junior sekaligus siswa penerbang diwajibkan untuk mengikuti segala

perintah dan tidak diperkenankan melakukan kesalahan baik ketika berinteraksi

dengan senior maupun intruktur agar terbiasa untuk tidak melakukan kesalahan

dalam melakukan prosedur penerbangan. Kewajiban mengikuti segala perintah

(15)

6

Universitas Kristen Maranatha

kepribadian siswa penerbang, mereka juga bukan seorang Taruna lagi melainkan

seorang Perwira yang dipercaya sudah dapat mentaati segala aturan kemiliteran

dengan disiplin yang tinggi. Kewajiban mengikuti segala perintah dan tidak

diperkenankan melakukan kesalahan yang menjadikan beban bagi para siswa

penerbang tersebut. Penilaian jasmani mereka akan dilihat dari tes fisik

(SMAPTA) yang mereka lakukan selama mengikuti pendidikan penerbangan ini.

Tes fisik ini dilakukan sebanyak 3x selama mereka mengikuti pendidikan

penerbangan, yaitu ketika awal masuk pendidikan, pertengahan, dan akhir

pendidikan sebelum kelulusan.

Kegiatan siswa penerbang selama di asrama bermacam-macam, dimulai

dari olahraga, apel pagi, pemberian materi baik secara teori maupun praktik oleh

para instruktur hingga sore hari. Malam hari dilanjutkan dengan mengulang

pelajaran yang didapatkan pada hari itu dan mempersiapkan kegiatan yang akan

dilakukan keesokan harinya. Kegiatan tersebut terus berlangsung dari hari Senin

hingga Jumat. Ketika berada di dalam asrama, para siswa akan mengalami suatu

situasi untuk jarang bertemu dengan orang-orang yang sering berada di dalam

kehidupan sehari-hari mereka seperti orang tua, keluarga, dan teman-teman. Pada

akhir pekan mereka mendapatkan waktu bebas untuk keluar dari asrama yang

dinamakan “pesiar”. Pesiar merupakan salah satu tradisi untuk memupuk jiwa

sosialisasi dan jiwa integrasi antara taruna dengan masyarakat.

Para siswa penerbang menghadapi tuntutan materi pendidikan yang berat

dan sebelumnya tidak ditemui, situasi pendidikan praktik yang berbahaya karena

(16)

yang padat dalam kehidupan asrama, serta tuntutan jam terbang sebanyak 180 jam

selama pendidikan yang dirasa masih kurang oleh para siswa dapat dihayati

sebagai stress bagi diri siswa penerbang.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada tujuh siswa

penerbang, keseluruhan siswa menyatakan bahwa ketika melakukan praktik

terbang biasanya mengalami beberapa gangguan kesehatan, psikis dan tingkah

laku. Gangguan kesehatan yang timbul yaitu mengalami penyakit spesifik tertentu

antara lain sakit perut, tekanan darah naik, dan keringat dingin. Gangguan psikis

yaitu siswa penerbang merasa tegang ketika bertemu dengan senior, cemas, takut,

dan lupa atau ragu-ragu untuk melakukan prosedur penerbangan itu sendiri.

Gangguan tingkah lakunya yaitu tidak ingin berbicara pada rekan-rekannya sesaat

sebelum melakukan penerbangan, sulit tidur, dan tidak nafsu makan. Gangguan

fisik, psikis, maupun tingkah laku yang dirasakan oleh siswa penerbang tersebut

menurut Lazarus (1984) menunjukkan suatu kondisi yang disebut stress.

Menurut Lazarus (1984), stress merupakan suatu bentuk interaksi antara

individu dan lingkungannya yang dinilai sebagai sesuatu yang membebani atau

melampaui kemampuan yang dimiliki, serta mengancam kesejahteraan diri.

Kondisi stress yang dialami para siswa tersebut dapat menimbulkan dampak

tersendiri bagi keselamatan mereka saat melakukan penerbangan sehingga kondisi

tersebut harus diatasi. Kondisi tersebut mungkin dapat diatasi dengan adanya

dukungan.

Menurut House (1981) dukungan dapat diberikan dalam beberapa bentuk

(17)

8

Universitas Kristen Maranatha

emosional yaitu dukungan dalam bentuk kasih sayang, dukungan penghargaan

yaitu dukungan dalam bentuk pengekspresian imbalan positif, dukungan

instrumental yaitu dukungan dalam bentuk materi maupun tenaga, dan terakhir

yaitu dukungan informatif yaitu dukungan dalam bentuk pemberian informasi

yang dibutuhkan oleh orang yang menerima dukungan sosial.

Orang lain yang terlibat dalam interaksi tersebut merupakan orang-orang

yang dirasa dekat oleh para calon penerbang tersebut. Hasil wawancara pada tujuh

orang penerbang mendapatkan, sebanyak 42,85% (3 orang) siswa penerbang

merasa dekat dengan keluarga khususnya orang tua, 28,57% (2 orang) siswa

merasa dekat dengan teman sependidikan, 14,29% (1 orang) siswa merasa dekat

dengan instruktur, dan 14,29% (1 orang) siswa merasa dekat dengan rekanita

(rekan wanita). Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa orang tua merupakan

orang yang signifikan bagi siswa penerbang untuk memberi dukungan saat

menjalani pendidikan terutama sebagai cara untuk menurunkan derajat stress yang

dirasakan.

Orang tua mereka memberikan dukungan dengan cara yang

bermacam-macam yaitu: mendengarkan keluhan atau cerita, perhatian dari orang tua

(dukungan emosional), mendapat uang, waktu, dan tenaga dari orang tua

(instrumental), mendapat pujian, rasa bangga, dan kepercayaan dari orang tua

(dukungan penghargaan), dan mendapat nasihat, petunjuk, dan pendapat dari

orang tua (dukungan informasi).

Sebanyak 42,85% (3 orang) siswa penerbang merasakan bahwa setelah

(18)

informasi mereka menjadi mudah untuk berkonsentrasi dalam belajar. Sebanyak

28,57% (2 orang) siswa penerbang merasakan bahwa dukungan emosi dan

informasi yang mereka dapatkan membantu mereka menjadi lebih tenang dalam

mengambil keputusan. Sebanyak 14,29% (1 orang) siswa penerbang merasakan

bahwa dukungan emosi, penghargaan, dan informasi yang didapatkan membantu

menjadi lebih percaya diri sehingga memiliki keyakinan untuk dapat mengikuti

segala tuntutan pendidikan. Sebanyak 14,29% (1 orang) siswa penerbang

merasakan bahwa dukungan emosi yang didapatkan membantu menjadi lebih

semangat karena merasa tidak sendiri melainkan ada orang tua yang selalu ada

ketika dibutuhkan.

Dukungan dari orang tua sangat penting bagi para siswa penerbang karena

mereka dapat merasakan banyak manfaat dari dukungan tersebut terutama untuk

menghadapi stress yang mereka rasakan. Dampak dari dukungan tersebut dihayati

sebagai sesuatu yang bersifat positif, sehingga dapat mengurangi gejala-gejala

stress yang dirasakan para siswa penerbang.

Setelah menelaah hasil survei yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa

dukungan orang tua lebih signifikan bagi siswa penerbang untuk menurunkan

stress mereka. Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk

mengetahui bagaimana kontribusi dukungan orang tua terhadap stress yang

(19)

10

Universitas Kristen Maranatha

1.2Identifikasi Masalah

Masalah yang diteliti yaitu sejauhmana kontribusi dukungan orang tua

terhadap stress yang dialami oleh Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di

Yogyakarta.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai kontribusi dukungan orang tua

terhadap stress pada Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kontribusi jenis dukungan orang tua pada Siswa

Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta terhadap stress pada Siswa

Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

 Memberi tambahan informasi bagi disiplin ilmu Psikologi khususnya

(20)

kaitannya dengan Kontribusi Dukungan Orang Tua pada Siswa Penerbang

Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.

 Memberikan bahan masukan bagi penelitian selanjutnya mengenai

kontribusi dukungan orang tua terhadap stress pada Siswa Penerbang

Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberi informasi kepada dinas psikologi TNI-AU mengenai

kontribusi dukungan orang tua terhadap stress pada Siswa Penerbang

Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta agar menjadi bahan

pertimbangan dalam usaha memfasilitasi dukungan orang tua sehingga

Siswa Penerbang lebih adaptif menghadapi stress di lingkungannya.

 Memberi informasi mengenai kontribusi dukungan orang tua kepada

Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta sehingga para

siswa dapat melibatkan orang tua untuk mendapatkan dukungan sosial

agar dapat lebih adaptif menghadapi stressnya selama mengikuti

pendidikan.

 Memberi informasi tentang kontribusi dukungan orang tua kepada

orang tua Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta

sehingga orang tua dapat memberikan dukungan terutama selama anak

(21)

12

Universitas Kristen Maranatha

1.5 Kerangka Pemikiran

Setiap pekerjaan memiliki risiko tersendiri. Salah satu pekerjaan yang

memiliki risiko berbahaya yaitu penerbang, oleh karena itu sebelum menjadi

penerbang mereka menempuh pendidikan penerbangan. Sebagai siswa penerbang

ada saatnya dihadapkan pada segala bentuk tuntutan selama mengikuti

pendidikan. Hal ini dapat menyebabkan siswa penerbang merasa terancam karena

tuntutan yang harus dijalani melebihi kemampuannya, menurut Lazarus kondisi

tersebut dinamakan sebagai stress. Stress merupakan bentuk interaksi antara

individu dengan lingkungannya, dan dinilai individu sebagai sesuatu yang

membebani atau melampaui kemampuan yang dimilikinya, serta mengancam

kesejahteraan dirinya Lazarus (1976).

Menurut Lazarus (1976), tuntutan atau tekanan lingkungan yang

mengganggu dan membebani serta melampaui batas kemampuan penyesuaian diri

individu sehingga menyebabkan stress disebut sebagai stressor. Dalam hal ini

stressor yang dihadapi para siswa penerbang yaitu adanya senioritas,

aturan-aturan di asrama, materi pendidikan yang berat, grounded (sebagai konsekuensi

siswa penerbang gagal mencapai standar nilai) dan risiko penerbangan yang dapat

membahayakan diri para siswa penerbang. Situasi yang penuh dengan

permasalahan ini dialami oleh siswa penerbang selama mengikuti pendidikan

relatif sama, namun penghayatan tiap siswa penerbang terhadap situasi tersebut

berbeda-beda. Perbedaan interpretasi serta reaksi terhadap situasi yang

(22)

kelompok memiliki kepekaan dan daya tahan yang berbeda terhadap situasi

tersebut (Lazarus & Folkman, 1984).

Perbedaan penghayatan siswa penerbang terhadap situasi yang bergantung

pada penilaian subjektif yang dilakukan oleh siswa penerbang terhadap stressor.

Lazarus (1984) menyebutkan bahwa stress bersifat individual karena setiap

individu memiliki penilaian kognitif yang berbeda-beda. Penilaian tersebut oleh

Lazarus (1984) disebut sebagai penilaian kognitif (cognitive appraisal). Penilaian

kognitif adalah suatu proses evaluatif yang menentukan mengapa suatu interaksi

antara manusia dan lingkungannya bisa menimbulkan stress. Mekanisme

pengolahan kognitif yang berkaitan dengan proses terjadinya stress yang

menentukan tindak lanjut siswa penerbang terhadap situasi stress, terdiri dari

beberapa tahapan, yaitu Primary Appraisal dan Secondary Appraisal.

Penilaian primer (primary appraisal) adalah proses mental yang

berhubungan dengan aktifitas evaluasi terhadap situasi yang dihadapi. Stress yang

dialami para siswa penerbang memiliki derajat yang bervariasi, semua itu

tergantung dari bagaimana para siswa penerbang memaknakan situasi atau

tuntutan-tuntutan yang dihadapinya. Hasil dari penilaian primer dapat berupa

irrelevant, benign-positive, atau stressfull appraisal.

Penilaian primer dikatakan menghasilkan sesuatu yang disebut Irrelevant,

jika individu menghayati situasi yang dihadapinya sebagai hal yang tidak

berpengaruh dan tidak mengancam kesejahteraan dirinya. Penilaian primer juga

menghasilkan benign-positive, apabila individu menghayati situasi yang

(23)

14

Universitas Kristen Maranatha

kesejahteraan individu ke depannya. Penilaian primer menghasilkan stressfull

appraisal jika individu menghayati situasi yang dihadapi sebagai sesuatu yang

mengancam atau bahkan menimbulkan gangguan.

Jika dilihat dari situasi pendidikan yang dialami siswa penerbang, yaitu

selama 14 bulan mereka harus menghadapi stressor berupa senioritas,

aturan-aturan di asrama, materi pendidikan yang berat, grounded (sebagai konsekuensi

siswa penerbang gagal mencapai standar nilai) dan risiko penerbangan yang dapat

membahayakan diri para siswa penerbang, maka primary appraisal yang

dihasilkan adalah stressfull. Lazarus (1984) mengatakan bahwa apabila pada

penilaian primer individu menganggap situasi yang dihadapinya mengancam dan

melebihi kemampuan yang dimilikinya maka individu akan mengalami stress

yang ditunjukkan dengan gejala-gejala seperti pusing, lelah, takut, sulit

konsentrasi, mudah jenuh, selanjutnya individu akan melakukan penilaian

sekunder.

Derajat stress yang terjadi dalam diri siswa penerbang dapat ditentukan

dari seberapa sering gangguan muncul dalam kehidupan siswa selama menempuh

pendidikan, menurut Lazarus (1984) gangguan-gangguan yang muncul pada

stress dapat terlihat dari gangguan kesehatan, gangguan psikologis maupun

gangguan tingkah laku. Gangguan kesehatan adalah reaksi fisik yang ditunjukkan

oleh munculnya berbagai penyakit dan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Pada

siswa penerbang ditunjukkan oleh merasa sakit perut, tekanan darah naik, dan

(24)

Gangguan psikologis adalah reaksi kognitif dan subjektif pada individu

yang membuat individu menjadi tidak efektif dalam mengerjakan sesuatu. Pada

siswa penerbang, gangguan psikologis ditunjukkan berupa kecemasan, takut saat

di dalam pesawat, tegang ketika bertemu senior, sulit konsentrasi, dan lupa atau

ragu-ragu saat melakukan prosedur penerbangan. Gangguan terakhir adalah

gangguan tingkah laku, yaitu reaksi yang ditunjukkan dapat dilihat dan

disebabkan oleh stress yang dialami. Gangguan tingkah laku pada siswa

penerbang dapat terlihat dari siswa penerbang yang tidak ingin berbicara dengan

teman-temannya sesaat sebelum melakukan penerbangan, sulit tidur, dan tidak

nafsu makan.

Ketika berada dalam kondisi stress, para siswa penerbang tersebut akan

masuk dalam tahap kedua yaitu proses penilaian sekunder (secondary appraisal).

Penilaian sekunder yaitu proses yang dapat digunakan untuk menentukan apa

yang dapat atau harus dilakukan untuk meredakan keadaan stress. Pada tahap

inilah para siswa penerbang akan memilih cara apa yang baik dan bisa dilakukan

untuk meredakan stress yang dialami.

Menurut Lazarus (1984) pada penilaian sekunder individu akan

mengevaluasi seberapa besar sumber daya dirinya, apakah cukup memiliki

kemampuan untuk menghadapi tuntutan yang di alami. Pada tahap ini individu

mencoba lebih memahami potensi-potensi yang ada dalam dirinya baik fisik,

psikis, sosial dan material. Apabila dalam tahap penilaian sekunder ini, individu

merasa bahwa mereka tidak memiliki sumber daya dalam diri yang cukup maka

(25)

16

Universitas Kristen Maranatha

Para siswa penerbang memiliki cara yang berbeda untuk mengatasi situasi

stress tersebut yang disebut sebagai strategi penanggulangan stress atau coping

stress. Strategi penanggulangan stress atau coping stress dikemukakan oleh

Lazarus (1984) sebagai perubahan kognitif dan tingkah laku yang berlangsung

secara terus-menerus, untuk mengatasi tuntutan yang dinilai sebagai beban atau

melampaui sumber daya individu atau membahayakan keberadaannya atau

kesejahteraannya (Lazarus & Folkman, 1984:141).

Coping stress dipandang sebagai faktor penyeimbang yang membantu

siswa penerbang untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan yang dialami. Pada

dasarnya coping stress ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan stress

yang ditimbulkan oleh masalah yang ada. Hal ini dsapat dikatakan bahwa setiap

kali siswa penerbang mengalami stress, maka akan berupaya untuk mengatasi

stress tersebut. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) terdapat 2 bentuk coping

stress yaitu coping stress dapat berpusat pada masalah (problem focused form of

coping) dan berpusat pada emosi (emotion focused form of coping).

Coping stress yang berpusat pada masalah (Problem Focused forms of

Coping) diarahkan pada usaha aktif untuk memecahkan masalah yang ada,

mencari berbagai alternatif yang digunakan sebagai cara untuk mengatasi atau

menghadapi stress. Coping stress yang berpusat pada masalah di bagi menjadi dua

bentuk. Pertama, confrontatif coping yaitu siswa penerbang aktif mencari cara

untuk mengatasi keadaan yang menekan dirinya. Usaha yang dilakukan siswa

penerbang adalah dengan cara bertanya pada instruktur atau senior apabila ada

(26)

mengenai dunia penerbangan, dan menyempatkan belajar diluar jam pelajaran.

Kedua, planful problem solving yaitu siswa penerbang memikirkan akibat dari

keadaan yang menekan tersebut dan merencanakan sesuatu untuk mengatasi

keadaan. Usaha yang dilakukan siswa penerbang adalah mempersiapkan diri

sebaik mungkin sebelum melakukan praktik terbang baik saat latihan maupun

ketika ujian dan lebih waspada dalam menjalankan prosedur penerbangan agar

tidak mengalami kecelakaan.

Kedua yaitu coping stress yang berpusat pada emosi (Emotional focused

form of coping) maka strategi penanggulangan stress para siswa penerbang lebih

mengarah pada perubahan cara pemaknaan suatu kejadian tanpa mengubah situasi

obyektif. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), terdapat strategi penanggulangan

yang berpusat pada emosi (Emotional focused form of coping) salah satunya yaitu

seeking social support. Pada strategi ini siswa penerbang mencari informasi dan

nasihat dari seseorang untuk mendapatkan dukungan atau sekedar simpati orang

lain. Strategi ini juga menentukan bagaimana penilaian siswa penerbang terhadap

stressor yang dihadapi, jika dukungan dianggap dapat mengurangi stress yang

mereka rasakan maka para siswa penerbang akan memanfaatkan dukungan

tersebut. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Kanungo, 1979 ; Kaplan, 1980

(dalam Lazarus 1984) bahwa dengan adanya dukungan sosial dapat membantu

individu dalam mencegah terjadinya stress dari peristiwa yang mengancam /

membahayakan atau dapat juga berguna untuk membentuk sumber daya dalam

(27)

18

Universitas Kristen Maranatha

Para siswa penerbang lebih merasakan pengaruh dukungan sosial yang

diberikan oleh keluarga terutama orang tua mereka. Menurut House dalam Vaux

(1988), dukungan orang tua merupakan hubungan interpersonal antara orang tua

dan anaknya yang melibatkan satu atau lebih hal-hal berikut: dukungan

emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan

informatif.

Dukungan emosional, berupa tingkah laku yang berhubungan dengan rasa

senang, rasa memiliki, kasih sayang dari orang tua terhadap anaknya. Misalnya

pengungkapan empati, memelihara, penuh perhatian, dan mendengarkan. Pada

siswa penerbang dukungan emosional ini dapat dirasakan jika orang tua bersedia

mendengarkan keluhan mereka saat mereka menghadapi tuntutan-tuntutan

pendidikan di sekolah penerbangan. Dukungan ini memberikan siswa penerbang

merasa dicintai dan diperhatikan oleh kedua orang tua, dengan adanya dukungan

ini diharapkan stress siswa penerbang menjadi berkurang karena secara emosi

perasaan tertekan mereka dapat dikurangi dengan membicarakannya dengan orang

tua.

Dukungan penghargaan yaitu tingkah laku orang tua yang berhubungan

dengan penghargaan terhadap perbuatan siswa penerbang, misalnya

pengekspresian imbalan positif terhadap perbuatan siswa penerbang, kepercayaan,

persetujuan terhadap gagasan siswa penerbang, perbandingan positif antar siswa

penerbang yang bertujuan meningkatkan penghargaan diri siswa penerbang

(28)

orang tua menceritakan pada orang lain bahwa mereka memiliki anak yang

menjadi seorang penerbang sehingga para siswa merasa bangga karena dapat

mengangkat status sosial keluarga mereka di lingkungan. Dukungan ini

memberikan siswa penerbang merasa dihargai oleh orang tua atas apa yang telah

dicapai oleh siswa penerbang, dengan adanya dukungan ini diharapkan intensitas

stress siswa penerbang menjadi rendah karena mereka mendapat imbalan positif

yang secara tidak langsung memberikan motivasi tersendiri bagi mereka untuk

menyelesaikan pendidikan.

Dukungan instrumental merupakan tingkah laku orang tua yang

berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan anak yang sifatnya materi maupun

non materi, misalnya uang, makanan, pakaian dan tenaga. Pada siswa penerbang

dukungan ini dapat dirasakan jika orang tua bersedia menjenguk para siswa

penerbang di waktu-waktu tertentu terutama ketika mereka jatuh sakit, mereka

mengharapkan kehadiran orang tua mereka untuk berada di dekat mereka.

Kemudian uang juga dapat mereka rasakan sebagai suatu dukungan terutama bila

mereka gunakan untuk membeli pulsa telepon sehingga mereka dapat

menghubungi orang-orang terdekat saat pesiar terutama menghubungi orang tua

mereka masing-masing. Dukungan ini memberikan siswa penerbang merasa

bahwa kebutuhan mereka baik secara materi maupun non materi yang kurang

dapat mereka penuhi dapat dipenuhi oleh bantuan dari orang tua mereka, dengan

adanya dukungan ini diharapkan stress siswa penerbang menjadi rendah karena

mereka mendapat pertolongan dari orang tua mereka saat mengalami hambatan

(29)

20

Universitas Kristen Maranatha

Selanjutnya dukungan informatif yaitu tingkah laku orang tua yang

berhubungan dengan pemberian informasi dan nasehat, misalnya pemberian

nasihat, sugesti atau umpan balik mengenai apa yang dilakukan oleh orang tua

yang dapat membantu para siswa penerbang dalam menghadapi stressor dalam

dunia pendidikan penerbangan. Pada siswa penerbang dukungan informatif ini

dapat dirasakan jika orang tua bersedia memberikan nasihat bahwa para siswa

penerbang harus lebih rajin lagi dalam belajar baik dengan cara sering bertanya

maupun latihan sendiri karena pesawat merupakan salah satu alat canggih dimana

untuk mengoperasikan alat tersebut harus disertai keahlian khusus. Dengan

beberapa cara tersebut para siswa penerbang akan semakin mahir dan hafal dalam

melakukan prosedur penerbangan dan diingatkan oleh orang tua agar selalu

berhati-hati serta terus berdoa untuk meminta keselamatan pada Tuhan Yang

Maha Esa.

Dukungan informatif memberikan siswa penerbang merasa bahwa orang

tua mereka memberikan bantuan agar para siswa penerbang lebih waspada dalam

mengikuti segala bentuk kegiatan pendidikan, dengan adanya dukungan ini

diharapkan stress siswa penerbang menjadi rendah karena mereka diingatkan oleh

orang tua mereka agar tidak melakukan kesalahan dalam mengikuti pendidikan.

Penghayatan berbagai jenis dukungan orang tua oleh siswa penerbang,

nantinya akan mempengaruhi stress yang mereka rasakan selama mengikuti

pendidikan. Stress tersebut dapat diketahui dari munculnya gangguan-gangguan

yang dialami siswa penerbang. Semakin sering terjadinya gangguan-gangguan

(30)

maka menunjukkan intensitas stress yang dialami oleh siswa penerbang semakin

tinggi. Siswa penerbang yang memiliki intensitas stress yang moderat, cukup

sering memunculkan tingkah laku dan emosi yang negatif, mereka akan lebih

adaptif dengan keadaan stress yang dihadapi dibandingkan dengan siswa

penerbang yang memiliki intensitas stress tinggi. Kemudian siswa penerbang

yang memiliki intensitas stress rendah, akan lebih jarang atau bahkan tidak pernah

menampilkan tingkah laku dan emosi yang negatif dibanding dengan siswa

penerbang yang memiliki intensitas stress moderat dan tinggi serta lebih mudah

(31)

22

Universitas Kristen Maranatha

Stressor :

- Senioritas

- Aturan-aturan di asrama - Materi penerbangan yang berat - Risiko penerbangan

- Grounded (sebagai konsekuensi siswa penerbang gagal mencapai standar nilai)

Siswa Penerbang Angk 09 TNI-AU di Yogyakarta

- Primary appraisal

- Secondary appraisal

Gangguan:

- Psikologis

- Fisiologis

- Tingkah Laku

Skema 1.1 Kerangka Pikir D. Emosional

D.Penghargaan

D.Instrumental

D.Informatif

(32)

1.6 Asumsi

 Siswa penerbang mengalami stressor berupa senioritas, lingkungan yang

terisolisir, materi pendidikan yang berat, grounded (sebagai konsekuensi siswa

penerbang gagal mencapai standar nilai) dan resiko dari penerbangan itu

sendiri yang dapat membahayakan diri para siswa penerbang sehingga mereka

mengalami kondisi stress.

 Siswa penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta melakukan cognitif

appraisal untuk menilai stressor dan jenis dukungan orang tua yang didapatkan

siswa penerbang selama mengikuti pendidikan penerbangan.

 Dukungan orang tua merupakan unsur penting yang digunakan siswa

penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta untuk menghadapi tekanan

dan tuntutan yang berat dari lingkungan pendidikan sekolah penerbangan.

 Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta mendapatkan

dukungan orang tua dalam berbagai jenis yaitu dukungan informasi,

instrumental, emosional, dan penghargaan.

 Jenis dukungan orang tua yang diperoleh Siswa Penerbang Angkatan 2009

(33)

24

Universitas Kristen Maranatha

1.7 Hipotesis

 Dukungan orang tua memberikan kontribusi terhadap stress pada Siswa

Penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.

 Dukungan emosional dari orang tua memberikan kontribusi terhadap stress

pada Siswa Penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.

 Dukungan informasi dari orang tua memberikan kontribusi terhadap stress

pada Siswa Penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.

 Dukungan penghargaan dari orang tua memberikan kontribusi terhadap stress

pada Siswa Penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.

 Dukungan instrumental dari orang tua memberikan kontribusi terhadap stress

(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai kontribusi dukungan orang tua

terhadap stress pada siswa penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta,

dapat disimpulkan sebagai berikut :

Keempat dukungan yaitu informasi, emosional, penghargaan, dan instrumental

tidak signifikan terhadap stress, sehingga tidak berkontribusi secara signifikan

terhadap stress.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian mengenai kontribusi dukungan orang tua

terhadap stress pada siswa penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta,

maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut :

5.2.1 Saran Teoritis

a. Dapat diteliti lebih jauh berkaitan dengan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi stress pada penerbang TNI-AU di Yogyakarta.

b. Disarankan untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam pada

(35)

87

Universitas Kristen Maranatha

meneliti dukungan orang tua tetapi dukungan pada orang-orang

signifikan lainnya bagi siswa penerbang seperti teman seangkatan,

instruktur, dan rekanita.

c. Disarankan kepada penelitian berikutnya agar tidak terlalu lama antara

jangka waktu survey awal dengan pengambilan data agar hasil yang

didapatkan tidak terlalu berbeda dengan kondisi saat survey awal.

5.2.2 Saran Praktis

a. Peneliti menyarankan sekolah penerbang TNI-AU untuk memberikan

orientasi terlebih dahulu di awal pendidikan mengenai tujuan kurikulum,

gambaran pendidikan, tugas serta tanggung jawab sebagai seorang siswa

penerbang untuk membantu proses adaptasi mereka.

b. Peneliti menyarankan siswa penerbang untuk lebih mengenali

sumber-sumber daya yang ada baik dalam diri maupun di lingkungan untuk

dapat menurunkan stress.

c. Peneliti menyarankan siswa penerbang untuk lebih cepat dalam

melakukan proses adaptasi agar mereka tidak merasakan kondisi stress

yang berkepanjangan sehingga dapat segera mengikuti pendidikan

(36)

Lazarus, Richard S. & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company.

Sarafino, Edward P. 1990. Health Psychology: Biopsychosocial interactions. Canada : Library of Congress Cataloging in Publication Data.

Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Edisi ke-6 Bandung : Tarsito.

(37)

xv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Darmaji, Maya Lestaria Putri. 1995. Hubungan Dukungan Sosial dan Optimisme pada siswa sekolah Penerbang TNI-AU terhadap Stress yang Dirasakan

Selama Menjalani Masa Pendidikan. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Heryanto, L. 1993. Prestasi Siswa Sekolah Penerbang TNI-AU Ditinjau dari

Komunikasi Interpersonal Siswa-Instruktur. Skripsi (tidak diterbitkan).

Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Widura I.M. Emosi dalam Pengambilan Keputusan Penerbang. (http://wi-psibangan.blogspot.com/, diakses 9 Januari 2009).

(http://wangmuba.com/tag/dukungan-sosial/, diakses 2008)

(http://peoplechangecircumstanceschange.wordpress.com/dukungan-sosial/

diakses, 12 Maret 2009)

(http://www.tni-au.mil.id/content/tugas-tni-angkatan-udara, diakses 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Adanya sistem pembayaran Midtrans pada iPanda, alur pembayaran dapat berjalan lebih mudah dan terdata dengan baik, sehingga meminimalisir permasalahan dalam

Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan bagaimana menciptakan sebuah alat dalam pembelajaran mata kuliah animasi

Berdasarkan uraian di atas dan juga hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki minat belajar yang tinggi akan dapat mengikuti proses

Secara keseluruhan dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa semua jenis tanaman obat tersebut memiliki INP jenis jauh di bawah 300 (nilai INP jenis tertinggi). Hal ini mengindikasikan

Judul Skripsi : Pengaruh Pemahaman Wajib Pajak dan Kemudahan Perhitungan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dengan Minat Perilaku Wajib Pajak sebagai Variabel

terkait dengan pengawasan yang lemah dari pemilik dan juga terkait dengan ketiadaan. ikatan terhadap