i Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Kontribusi Jenis Dukungan Orang Tua terhadap Derajat Stress pada Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta. Jumlah seluruh responden yaitu sebanyak 27 orang. Penelitian ini bersifat kuantitatif, data diperoleh dari kuesioner dan wawancara pada siswa penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.
Alat ukur yang digunakan adalah alat ukur dukungan orang tua disusun berdasarkan teori House (1981 dalam Vaux, 1988) dan alat ukur derajat stress berdasarkan teori Lazarus (1984). Alat ukur dukungan orang tua terdiri dari 32 item berdasarkan 4 jenis dukungan orang tua yaitu dukungan informasi, emosional, instrumental dan penghargaan sedangkan alat ukur derajat stress terdiri dari 30 item berdasarkan 3 aspek gangguan yaitu gangguan kesehatan, gangguan fisik dan gangguan tingkah laku.
Validitas item-item dengan menggunakan kriteria dari Lisa Friedenberg yaitu dukungan orang tua berkisar 0,319 - 0,824 dan derajat stress berkisar 0,329 - 0,868. Realibilitas item - item diukur dengan Alpha Cronbach memperoleh hasil yaitu untuk dukungan orang tua 0,739 dan derajat stress 0,592. Kemudian data dukungan orang tua yang diperoleh dikontribusikan terhadap derajat stress. Teknis analisis data dilakukan dengan metode regresi berganda (multiple regression) dengan hasil regresi yang diperoleh masing-masing dukungan yaitu informasi 0,165, emosional 0,110, penghargaan 0,095 dan instrumental 0,01. Signifikansi untuk masing – masing dukungan adalah informasi 0,370, emosional 0,546, penghargaan 0,603 dan instrumental 0,996.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan orang tua tidak berkontribusi secara siginifikan terhadap derajat stress pada siswa penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta. Terdapat faktor lain yang mempengaruhi derajat stress siswa penerbang yaitu faktor perilaku dan psikologis.
Level of Air Force Student, generation of 2009 at TNI-AU in Yogyakarta. The total of respondents are 27 persons. This is a quantitative research, data obtained from questionnaires and interview to air force students, generation of 2009 at TNI-AU in Yogyakarta.
The instrument used are parental support’s which was made based on House theory (1981 in Vaux, 1988) and appraisal of stress level based on Lazarus theory (1984). The instrument consises of 32 items based on 4 types of parent’s support that are information support , emotional support, instrumental support and award support. The appraisal stress level consists of 30 items based on 3 aspect of disorder, health, physical, and behavior.
The validity of the items used criteria from Lisa Friedenberg that is the parent’s support ranged from 0.319 – 0.824 and the level of stress ranged from 0.329 – 0.868. Reliability of items appraisal tool used Alpha Cronbach obtained a result parent’s support is 0.739 and the level of stress is 0.592. The data obtained from parent’s support was contributed with the level of stress. Technical data analysis performed with mulitple regression. The regression results obtained by each support are information 0,165, emotional 0,110, awards 0,095 and instrumental 0,01. The significances for each support are information 0,370, emotional 0,546, awards 0,603 and instrumental 0,996.
The result of this research indicate that the parent’s support does not contribute significantly to the stress level of air force student, generation of 2009 at TNI-AU in Yogyakarta. There are other factors that influence the stress level air force student, that are behavioral and psychological factors.
vii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK...i
ABSTRACT...ii
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI...vii
DAFTAR TABEL...xi
DAFTAR SKEMA...xii
DAFTAR LAMPIRAN...xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Identifikasi Masalah...10
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...10
1.3.1 Maksud Penelitian...10
1.3.2 Tujuan Penelitian...10
1.4 Kegunaan Penelitian...10
1.4.1 Kegunaan Teoritis...10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...25
2.1 Stress...25
2.1.1 Pengertian Stress...25
2.1.2 Teori Stress dari Lazarus...26
2.1.3 Penilaian Kognitif...29
2.1.4 Proses Penilaian Kognitif...31
2.1.5 Sumber Stress...39
2.1.6 Dampak Stress...41
2.2 Dukungan Orang Tua...42
2.2.1 Pengertian Dukungan Orang Tua...42
2.2.2 Sumber-sumber Dukungan...44
2.2.3 Jenis-jenis Dukungan Orang Tua...45
2.2.4 Hubungan Dukungan Sosial dan Stress...46
BAB II METODOLOGI PENELITIAN...48
3.1 Rancangan Penelitian...48
3.2 Skema Prosedur Penelitan...49
3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...50
ix Universitas Kristen Maranatha
3.3.2 Definisi Operasional...50
3.3.2.1 Dukungan Orang Tua...50
3.3.2.2 Stress...51
3.4 Alat Ukur 3.4.1 Kuesioner Dukungan Orang Tua...52
3.4.1.1 Prosedur Pengisian Kuesioner Dukungan Orang Tua...52
3.4.1.2 Sistem Penilaian Kuesioner Dukungan Orang Tua...54
3.4.2 Kuesioner Stress...56
3.4.2.1 Prosedur Pengisian Kuesioner Stress...56
3.4.2.2 Sistem Penilaian Kuesioner Stress...57
3.5 Populasi...61
3.5.1 Populasi Sasaran...61
3.5.2 Karakteristik Populasi...61
3.6 Teknik Analisis Data...62
3.7 Hipotesa Statistik...65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran umum subjek Penelitian...67
4.1.1 Gambaran subjek berdasarkan usia...67
4.2 Gambaran Hasil Penelitian...68
4.2.1 Uji Hipotesis...68
4.2.2 Kontribusi Jenis Dukungan Orang Tua terhadap Stress...70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan...86
5.2 Saran...86
5.2.1 Saran Teoritis...86
5.2.2 Saran Praktis...87
DAFTAR PUSTAKA...xiv
xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 kisi-kisi alat ukur Dukungan Orang Tua...52
Tabel 3.2 skor item Dukungan Orang Tua...54
Tabel 3.3 kisi-kisi alat ukur Stress...56
Tabel 3.4 skor item Stress...57
Tabel 4.1 Gambaran usia...68
Tabel 4.2 Gambaran Stress...72
Tabel 4.3 Tabulasi silang antara Stress dengan Dukungan Informasi...73
Tabel 4.4 Tabulasi silang antara Stress dengan Dukungan Emosional...73
Tabel 4.5 Tabulasi silang antara Stress dengan Dukungan Penghargaan...74
Skema 3.1 Skema Prosedur Penelitian...49
xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Profil Angkatan Udara
Lampiran II : Kuesioner Dukungan Orang Tua
Lampiran III : Kuesioner Stress
Lampiran IV : Lembar wawancara
Lampiran V : Lembar Persetujuan
Lampiran VI : Validitas Alat Ukur Dukungan Orang Tua
Lampiran VII : Validitas Alat Ukur Stress
Lampiran VIII : Realibilitas Alat Ukur Dukungan Orang Tua dan Stress
Lampiran IX : Korelasi Dukungan Orang Tua terhadap Stress
Lampiran X : Hasil Regresi jenis Dukungan Orang Tua terhadap Stress
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Manusia pada hakekatnya berhak mendapat pengajaran pendidikan sejak
mereka dilahirkan. Pendidikan salah satunya dapat berupa pendidikan formal yang
merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan
terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu
(http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan, 31 Agustus 2010).Salah satu pendidikan
formal di Indonesia yaitu pendidikan militer, dibagi menjadi tiga angkatan yaitu
Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara. Masing-masing angkatan
memiliki ciri khas tertentu dalam alutsista (alat utama sistem senjata) yang
digunakan, contohnya Angkatan Udara yang bergerak di bidang pertahanan udara
dengan berbagai jenis pesawatnya baik pesawat angkut maupun tempur. Angkatan
Udara memiliki beberapa korps atau jurusan, yaitu administrasi, pembekalan,
kesehatan, navigator, elektro, polisi militer (POM), paskhas (pasukan khas),
inteligent, teknik, dan penerbang. Korps atau jurusan yang secara langsung dapat
mengendalikan alutsita (alat utama sistem senjata) yang dimiliki Angkatan Udara
yaitu penerbang.
Pesawat buatan manusia, maka semua persyaratan terbang yang sudah
ditetapkan oleh pembuat pesawat haruslah ditaati dengan ketat. Kesalahan sekecil
2
Universitas Kristen Maranatha
akan mengalami kecelakaan. Menjadi seorang penerbang khususnya penerbang
militer itu tidak mudah karena harus mengikuti pendidikan terlebih dahulu,
dimana pendidikan tersebut hanya ada di Yogyakarta. Siswa penerbang harus
mengikuti beberapa prosedur terlebih dahulu. Mereka harus mengikuti pendidikan
sebagai Taruna TNI-AU kurang lebih selama 4 tahun, kemudian mengikuti
program Kursus Intensif Bahasa Inggris selama 3 bulan setelah lulus siswa akan
ditempatkan pada korps atau jurusan mereka masing-masing. Bagi siswa yang
lulus sebagai Taruna Udara dengan IPK minimal 2,75, tidak melanggar aturan
selama mengikuti pendidikan, dan sehat jasmani diwajibkan mengikuti
pendidikan sebagai siswa penerbang selama kurang lebih 14 bulan di Sekolah
Penerbang TNI-AU.
Selama mengikuti pendidikan penerbangan ini terdapat 3 kriteria untuk
menentukan hasil akhir pendidikan yang telah dijalani, yaitu akademis,
kepribadian, dan jasmani. Sebelum melakukan kegiatan terbang siswa wajib
mengikuti silabus pendidikan yang terdiri atas dua fase yaitu fase bina kelas dan
bina terbang, kedua silabus ini untuk melihat aspek akademis siswa. Fase bina
kelas, ketika siswa penerbang menerima pelajaran teori di dalam kelas selama
kurang lebih dua bulan. Fase bina terbang yaitu ketika siswa penerbang harus
mempraktikkan apa yang didapatkan saat di kelas dengan menerbangkan pesawat.
Ketika melakukan penerbangan terdapat beberapa pelatihan dasar mulai dari
pattern, manuver dasar, aerobatic, formasi, instrument, dan navigasi. Pada setiap
selesai pelatihan dasar akan ada ujian untuk melaksanakan terbang sendiri/solo
pesawat Charlie 120 jam terbang. Total jam terbang yang harus dipenuhi selama
mengikuti pendidikan yaitu 180 jam.
Dalam mengikuti pendidikan ini siswa dituntut untuk mengubah
kebiasaannya, salah satunya yaitu belajar mengenai cara berpikir dan bertingkah
laku yang baru. Dalam cara berpikir dituntut untuk lebih waspada serta memiliki
kemampuan mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Hal ini sangat penting
karena kemampuan penerbang dalam membuat pertimbangan dan mengambil
keputusan sangat menentukan keselamatan terbang. Dapat dikatakan bahwa
pengambilan keputusan merupakan salah satu hal terpenting dalam tindakan
penerbang terutama dalam menghadapi situasi darurat. Hasil analisis FAA
(Federal Aviation Administration) seperti dilaporkan Jensen dan Bennel (Orasanu,
1992) menunjukan bahwa kesalahan penerbang dalam membuat pertimbangan
(judgement) menyumbang lebih dari 50% terjadinya kecelakaan fatal pada tahun
1970–1974. Sedangkan penelitian NTSB (National Transportation Safety Board)
sebelumnya melaporkan bahwa tidak kurang dari 47% kecelakaan penerbangan
antara tahun 1983–1987 disebabkan kesalahan penerbang dalam judgement dan
pengambilan keputusan. (Widura I.M. Emosi dalam Pengambilan Keputusan
Penerbang. (http://wi-psibangan.blogspot.com/), 9 Januari 2009).
Siswa penerbang dituntut untuk dapat menguasai materi dan teknik
terbang dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh instansi yaitu selama 14
bulan sesuai dengan standar kelulusan terbang. Dalam jangka waktu tersebut para
siswa penerbang harus dapat menguasai tentang penerbangan sesuai dengan
4
Universitas Kristen Maranatha
memenuhi standar terbang yang telah ditentukan maka siswa dikeluarkan dari
sekolah penerbangan dan kembali pada korps awal mereka (grounded). Pada lima
siswa penerbang dari 7 siswa yang diwawancara peneliti mengatakan bahwa
grounded menjadi beban bagi mereka secara mental karena mereka sebelumnya
telah dikenal oleh lingkungan sebagai calon penerbang namun pada akhirnya
mereka tidak dapat mewujudkannya. Kemudian mereka merasa bahwa dirinya
tidak memiliki kemampuan dibandingkan dengan teman-teman lainnya serta
pembelajaran yang mereka dapatkan tentang penerbangan selama 14 bulan
tersebut tidak dapat dipraktikkan. Mereka juga dianggap tidak dapat menjalankan
salah satu satu tugas negara.
Dalam hal tuntutan untuk bertingkah laku siswa penerbang harus terbiasa
melakukan tiga atau lebih kegiatan dalam satu waktu. Contohnya ketika siswa
penerbang berada dalam pesawat, mereka harus melihat ke arah luar kemudian
mendengarkan informasi yang diberikan dari tower serta harus tetap
mengendalikan kemudi pesawat agar tetap stabil. Kegiatan ini tidak dapat dengan
mudah dilakukan oleh setiap orang yang tidak mendapatkan latihan terlebih
dahulu maka siswa penerbang harus sering dihadapkan pada situasi tersebut agar
terbiasa. Melakukan tiga atau lebih kegiatan dalam satu waktu ini, dilatih dengan
cara para siswa penerbang tersebut setiap hari diminta untuk melakukan kegiatan
dua atau lebih tugas dari senior dan instruktur siswa penerbang dalam waktu yang
bersamaan. Para siswa penerbang merasa kesulitan untuk mengikuti tuntutan
Dibandingkan dengan teknik terbang pada pesawat komersial, teknik
terbang pada pesawat tempur Angkatan Udara jauh lebih rumit. Prayitno Ramelan
(mantan penasehat Menhan Bid.Intelijen) mengatakan bahwa “Peran tempur
memerlukan pengorganisasian khusus, berkaitan dengan kesiapan pesawat,
kemampuan penerbang dalam bermanufer, menembak, dog fight dan melawan
“G” (grafitasi) (http://www.infopenerbangan.com, 5 Juni 2009). Tugas-tugas ini
menjadikan tuntutan siswa penerbang TNI-AU menjadi lebih besar daripada pilot
penerbangan sipil.
Masalah lain yang dihadapi para siswa penerbang ini selain prosedur
penerbangan yaitu mengenai kehidupan asrama. Dalam kehidupan ber-asrama ini
lekat dengan istilah senioritas. Para siswa penerbang ini sebelumnya sudah pernah
mengikuti kehidupan asrama saat mereka mengikuti pendidikan sebagai taruna.
Saat menjadi taruna tingkat akhir mereka tinggal bersama junior-juniornya
sebagai senior namun ketika masuk asrama sebagai siswa penerbang, mereka
harus kembali menjadi junior
Berada di asrama berarti para siswa penerbang berada di lingkungan yang
terbatas, baik senior maupun junior akan lebih sering melakukan interaksi antara
satu dengan yang lainnya di lingkungan yang sama untuk waktu yang cukup lama.
Sebagai junior sekaligus siswa penerbang diwajibkan untuk mengikuti segala
perintah dan tidak diperkenankan melakukan kesalahan baik ketika berinteraksi
dengan senior maupun intruktur agar terbiasa untuk tidak melakukan kesalahan
dalam melakukan prosedur penerbangan. Kewajiban mengikuti segala perintah
6
Universitas Kristen Maranatha
kepribadian siswa penerbang, mereka juga bukan seorang Taruna lagi melainkan
seorang Perwira yang dipercaya sudah dapat mentaati segala aturan kemiliteran
dengan disiplin yang tinggi. Kewajiban mengikuti segala perintah dan tidak
diperkenankan melakukan kesalahan yang menjadikan beban bagi para siswa
penerbang tersebut. Penilaian jasmani mereka akan dilihat dari tes fisik
(SMAPTA) yang mereka lakukan selama mengikuti pendidikan penerbangan ini.
Tes fisik ini dilakukan sebanyak 3x selama mereka mengikuti pendidikan
penerbangan, yaitu ketika awal masuk pendidikan, pertengahan, dan akhir
pendidikan sebelum kelulusan.
Kegiatan siswa penerbang selama di asrama bermacam-macam, dimulai
dari olahraga, apel pagi, pemberian materi baik secara teori maupun praktik oleh
para instruktur hingga sore hari. Malam hari dilanjutkan dengan mengulang
pelajaran yang didapatkan pada hari itu dan mempersiapkan kegiatan yang akan
dilakukan keesokan harinya. Kegiatan tersebut terus berlangsung dari hari Senin
hingga Jumat. Ketika berada di dalam asrama, para siswa akan mengalami suatu
situasi untuk jarang bertemu dengan orang-orang yang sering berada di dalam
kehidupan sehari-hari mereka seperti orang tua, keluarga, dan teman-teman. Pada
akhir pekan mereka mendapatkan waktu bebas untuk keluar dari asrama yang
dinamakan “pesiar”. Pesiar merupakan salah satu tradisi untuk memupuk jiwa
sosialisasi dan jiwa integrasi antara taruna dengan masyarakat.
Para siswa penerbang menghadapi tuntutan materi pendidikan yang berat
dan sebelumnya tidak ditemui, situasi pendidikan praktik yang berbahaya karena
yang padat dalam kehidupan asrama, serta tuntutan jam terbang sebanyak 180 jam
selama pendidikan yang dirasa masih kurang oleh para siswa dapat dihayati
sebagai stress bagi diri siswa penerbang.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada tujuh siswa
penerbang, keseluruhan siswa menyatakan bahwa ketika melakukan praktik
terbang biasanya mengalami beberapa gangguan kesehatan, psikis dan tingkah
laku. Gangguan kesehatan yang timbul yaitu mengalami penyakit spesifik tertentu
antara lain sakit perut, tekanan darah naik, dan keringat dingin. Gangguan psikis
yaitu siswa penerbang merasa tegang ketika bertemu dengan senior, cemas, takut,
dan lupa atau ragu-ragu untuk melakukan prosedur penerbangan itu sendiri.
Gangguan tingkah lakunya yaitu tidak ingin berbicara pada rekan-rekannya sesaat
sebelum melakukan penerbangan, sulit tidur, dan tidak nafsu makan. Gangguan
fisik, psikis, maupun tingkah laku yang dirasakan oleh siswa penerbang tersebut
menurut Lazarus (1984) menunjukkan suatu kondisi yang disebut stress.
Menurut Lazarus (1984), stress merupakan suatu bentuk interaksi antara
individu dan lingkungannya yang dinilai sebagai sesuatu yang membebani atau
melampaui kemampuan yang dimiliki, serta mengancam kesejahteraan diri.
Kondisi stress yang dialami para siswa tersebut dapat menimbulkan dampak
tersendiri bagi keselamatan mereka saat melakukan penerbangan sehingga kondisi
tersebut harus diatasi. Kondisi tersebut mungkin dapat diatasi dengan adanya
dukungan.
Menurut House (1981) dukungan dapat diberikan dalam beberapa bentuk
8
Universitas Kristen Maranatha
emosional yaitu dukungan dalam bentuk kasih sayang, dukungan penghargaan
yaitu dukungan dalam bentuk pengekspresian imbalan positif, dukungan
instrumental yaitu dukungan dalam bentuk materi maupun tenaga, dan terakhir
yaitu dukungan informatif yaitu dukungan dalam bentuk pemberian informasi
yang dibutuhkan oleh orang yang menerima dukungan sosial.
Orang lain yang terlibat dalam interaksi tersebut merupakan orang-orang
yang dirasa dekat oleh para calon penerbang tersebut. Hasil wawancara pada tujuh
orang penerbang mendapatkan, sebanyak 42,85% (3 orang) siswa penerbang
merasa dekat dengan keluarga khususnya orang tua, 28,57% (2 orang) siswa
merasa dekat dengan teman sependidikan, 14,29% (1 orang) siswa merasa dekat
dengan instruktur, dan 14,29% (1 orang) siswa merasa dekat dengan rekanita
(rekan wanita). Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa orang tua merupakan
orang yang signifikan bagi siswa penerbang untuk memberi dukungan saat
menjalani pendidikan terutama sebagai cara untuk menurunkan derajat stress yang
dirasakan.
Orang tua mereka memberikan dukungan dengan cara yang
bermacam-macam yaitu: mendengarkan keluhan atau cerita, perhatian dari orang tua
(dukungan emosional), mendapat uang, waktu, dan tenaga dari orang tua
(instrumental), mendapat pujian, rasa bangga, dan kepercayaan dari orang tua
(dukungan penghargaan), dan mendapat nasihat, petunjuk, dan pendapat dari
orang tua (dukungan informasi).
Sebanyak 42,85% (3 orang) siswa penerbang merasakan bahwa setelah
informasi mereka menjadi mudah untuk berkonsentrasi dalam belajar. Sebanyak
28,57% (2 orang) siswa penerbang merasakan bahwa dukungan emosi dan
informasi yang mereka dapatkan membantu mereka menjadi lebih tenang dalam
mengambil keputusan. Sebanyak 14,29% (1 orang) siswa penerbang merasakan
bahwa dukungan emosi, penghargaan, dan informasi yang didapatkan membantu
menjadi lebih percaya diri sehingga memiliki keyakinan untuk dapat mengikuti
segala tuntutan pendidikan. Sebanyak 14,29% (1 orang) siswa penerbang
merasakan bahwa dukungan emosi yang didapatkan membantu menjadi lebih
semangat karena merasa tidak sendiri melainkan ada orang tua yang selalu ada
ketika dibutuhkan.
Dukungan dari orang tua sangat penting bagi para siswa penerbang karena
mereka dapat merasakan banyak manfaat dari dukungan tersebut terutama untuk
menghadapi stress yang mereka rasakan. Dampak dari dukungan tersebut dihayati
sebagai sesuatu yang bersifat positif, sehingga dapat mengurangi gejala-gejala
stress yang dirasakan para siswa penerbang.
Setelah menelaah hasil survei yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa
dukungan orang tua lebih signifikan bagi siswa penerbang untuk menurunkan
stress mereka. Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk
mengetahui bagaimana kontribusi dukungan orang tua terhadap stress yang
10
Universitas Kristen Maranatha
1.2Identifikasi Masalah
Masalah yang diteliti yaitu sejauhmana kontribusi dukungan orang tua
terhadap stress yang dialami oleh Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di
Yogyakarta.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Untuk memperoleh gambaran mengenai kontribusi dukungan orang tua
terhadap stress pada Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kontribusi jenis dukungan orang tua pada Siswa
Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta terhadap stress pada Siswa
Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Memberi tambahan informasi bagi disiplin ilmu Psikologi khususnya
kaitannya dengan Kontribusi Dukungan Orang Tua pada Siswa Penerbang
Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.
Memberikan bahan masukan bagi penelitian selanjutnya mengenai
kontribusi dukungan orang tua terhadap stress pada Siswa Penerbang
Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Memberi informasi kepada dinas psikologi TNI-AU mengenai
kontribusi dukungan orang tua terhadap stress pada Siswa Penerbang
Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta agar menjadi bahan
pertimbangan dalam usaha memfasilitasi dukungan orang tua sehingga
Siswa Penerbang lebih adaptif menghadapi stress di lingkungannya.
Memberi informasi mengenai kontribusi dukungan orang tua kepada
Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta sehingga para
siswa dapat melibatkan orang tua untuk mendapatkan dukungan sosial
agar dapat lebih adaptif menghadapi stressnya selama mengikuti
pendidikan.
Memberi informasi tentang kontribusi dukungan orang tua kepada
orang tua Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta
sehingga orang tua dapat memberikan dukungan terutama selama anak
12
Universitas Kristen Maranatha
1.5 Kerangka Pemikiran
Setiap pekerjaan memiliki risiko tersendiri. Salah satu pekerjaan yang
memiliki risiko berbahaya yaitu penerbang, oleh karena itu sebelum menjadi
penerbang mereka menempuh pendidikan penerbangan. Sebagai siswa penerbang
ada saatnya dihadapkan pada segala bentuk tuntutan selama mengikuti
pendidikan. Hal ini dapat menyebabkan siswa penerbang merasa terancam karena
tuntutan yang harus dijalani melebihi kemampuannya, menurut Lazarus kondisi
tersebut dinamakan sebagai stress. Stress merupakan bentuk interaksi antara
individu dengan lingkungannya, dan dinilai individu sebagai sesuatu yang
membebani atau melampaui kemampuan yang dimilikinya, serta mengancam
kesejahteraan dirinya Lazarus (1976).
Menurut Lazarus (1976), tuntutan atau tekanan lingkungan yang
mengganggu dan membebani serta melampaui batas kemampuan penyesuaian diri
individu sehingga menyebabkan stress disebut sebagai stressor. Dalam hal ini
stressor yang dihadapi para siswa penerbang yaitu adanya senioritas,
aturan-aturan di asrama, materi pendidikan yang berat, grounded (sebagai konsekuensi
siswa penerbang gagal mencapai standar nilai) dan risiko penerbangan yang dapat
membahayakan diri para siswa penerbang. Situasi yang penuh dengan
permasalahan ini dialami oleh siswa penerbang selama mengikuti pendidikan
relatif sama, namun penghayatan tiap siswa penerbang terhadap situasi tersebut
berbeda-beda. Perbedaan interpretasi serta reaksi terhadap situasi yang
kelompok memiliki kepekaan dan daya tahan yang berbeda terhadap situasi
tersebut (Lazarus & Folkman, 1984).
Perbedaan penghayatan siswa penerbang terhadap situasi yang bergantung
pada penilaian subjektif yang dilakukan oleh siswa penerbang terhadap stressor.
Lazarus (1984) menyebutkan bahwa stress bersifat individual karena setiap
individu memiliki penilaian kognitif yang berbeda-beda. Penilaian tersebut oleh
Lazarus (1984) disebut sebagai penilaian kognitif (cognitive appraisal). Penilaian
kognitif adalah suatu proses evaluatif yang menentukan mengapa suatu interaksi
antara manusia dan lingkungannya bisa menimbulkan stress. Mekanisme
pengolahan kognitif yang berkaitan dengan proses terjadinya stress yang
menentukan tindak lanjut siswa penerbang terhadap situasi stress, terdiri dari
beberapa tahapan, yaitu Primary Appraisal dan Secondary Appraisal.
Penilaian primer (primary appraisal) adalah proses mental yang
berhubungan dengan aktifitas evaluasi terhadap situasi yang dihadapi. Stress yang
dialami para siswa penerbang memiliki derajat yang bervariasi, semua itu
tergantung dari bagaimana para siswa penerbang memaknakan situasi atau
tuntutan-tuntutan yang dihadapinya. Hasil dari penilaian primer dapat berupa
irrelevant, benign-positive, atau stressfull appraisal.
Penilaian primer dikatakan menghasilkan sesuatu yang disebut Irrelevant,
jika individu menghayati situasi yang dihadapinya sebagai hal yang tidak
berpengaruh dan tidak mengancam kesejahteraan dirinya. Penilaian primer juga
menghasilkan benign-positive, apabila individu menghayati situasi yang
14
Universitas Kristen Maranatha
kesejahteraan individu ke depannya. Penilaian primer menghasilkan stressfull
appraisal jika individu menghayati situasi yang dihadapi sebagai sesuatu yang
mengancam atau bahkan menimbulkan gangguan.
Jika dilihat dari situasi pendidikan yang dialami siswa penerbang, yaitu
selama 14 bulan mereka harus menghadapi stressor berupa senioritas,
aturan-aturan di asrama, materi pendidikan yang berat, grounded (sebagai konsekuensi
siswa penerbang gagal mencapai standar nilai) dan risiko penerbangan yang dapat
membahayakan diri para siswa penerbang, maka primary appraisal yang
dihasilkan adalah stressfull. Lazarus (1984) mengatakan bahwa apabila pada
penilaian primer individu menganggap situasi yang dihadapinya mengancam dan
melebihi kemampuan yang dimilikinya maka individu akan mengalami stress
yang ditunjukkan dengan gejala-gejala seperti pusing, lelah, takut, sulit
konsentrasi, mudah jenuh, selanjutnya individu akan melakukan penilaian
sekunder.
Derajat stress yang terjadi dalam diri siswa penerbang dapat ditentukan
dari seberapa sering gangguan muncul dalam kehidupan siswa selama menempuh
pendidikan, menurut Lazarus (1984) gangguan-gangguan yang muncul pada
stress dapat terlihat dari gangguan kesehatan, gangguan psikologis maupun
gangguan tingkah laku. Gangguan kesehatan adalah reaksi fisik yang ditunjukkan
oleh munculnya berbagai penyakit dan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Pada
siswa penerbang ditunjukkan oleh merasa sakit perut, tekanan darah naik, dan
Gangguan psikologis adalah reaksi kognitif dan subjektif pada individu
yang membuat individu menjadi tidak efektif dalam mengerjakan sesuatu. Pada
siswa penerbang, gangguan psikologis ditunjukkan berupa kecemasan, takut saat
di dalam pesawat, tegang ketika bertemu senior, sulit konsentrasi, dan lupa atau
ragu-ragu saat melakukan prosedur penerbangan. Gangguan terakhir adalah
gangguan tingkah laku, yaitu reaksi yang ditunjukkan dapat dilihat dan
disebabkan oleh stress yang dialami. Gangguan tingkah laku pada siswa
penerbang dapat terlihat dari siswa penerbang yang tidak ingin berbicara dengan
teman-temannya sesaat sebelum melakukan penerbangan, sulit tidur, dan tidak
nafsu makan.
Ketika berada dalam kondisi stress, para siswa penerbang tersebut akan
masuk dalam tahap kedua yaitu proses penilaian sekunder (secondary appraisal).
Penilaian sekunder yaitu proses yang dapat digunakan untuk menentukan apa
yang dapat atau harus dilakukan untuk meredakan keadaan stress. Pada tahap
inilah para siswa penerbang akan memilih cara apa yang baik dan bisa dilakukan
untuk meredakan stress yang dialami.
Menurut Lazarus (1984) pada penilaian sekunder individu akan
mengevaluasi seberapa besar sumber daya dirinya, apakah cukup memiliki
kemampuan untuk menghadapi tuntutan yang di alami. Pada tahap ini individu
mencoba lebih memahami potensi-potensi yang ada dalam dirinya baik fisik,
psikis, sosial dan material. Apabila dalam tahap penilaian sekunder ini, individu
merasa bahwa mereka tidak memiliki sumber daya dalam diri yang cukup maka
16
Universitas Kristen Maranatha
Para siswa penerbang memiliki cara yang berbeda untuk mengatasi situasi
stress tersebut yang disebut sebagai strategi penanggulangan stress atau coping
stress. Strategi penanggulangan stress atau coping stress dikemukakan oleh
Lazarus (1984) sebagai perubahan kognitif dan tingkah laku yang berlangsung
secara terus-menerus, untuk mengatasi tuntutan yang dinilai sebagai beban atau
melampaui sumber daya individu atau membahayakan keberadaannya atau
kesejahteraannya (Lazarus & Folkman, 1984:141).
Coping stress dipandang sebagai faktor penyeimbang yang membantu
siswa penerbang untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan yang dialami. Pada
dasarnya coping stress ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan stress
yang ditimbulkan oleh masalah yang ada. Hal ini dsapat dikatakan bahwa setiap
kali siswa penerbang mengalami stress, maka akan berupaya untuk mengatasi
stress tersebut. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) terdapat 2 bentuk coping
stress yaitu coping stress dapat berpusat pada masalah (problem focused form of
coping) dan berpusat pada emosi (emotion focused form of coping).
Coping stress yang berpusat pada masalah (Problem Focused forms of
Coping) diarahkan pada usaha aktif untuk memecahkan masalah yang ada,
mencari berbagai alternatif yang digunakan sebagai cara untuk mengatasi atau
menghadapi stress. Coping stress yang berpusat pada masalah di bagi menjadi dua
bentuk. Pertama, confrontatif coping yaitu siswa penerbang aktif mencari cara
untuk mengatasi keadaan yang menekan dirinya. Usaha yang dilakukan siswa
penerbang adalah dengan cara bertanya pada instruktur atau senior apabila ada
mengenai dunia penerbangan, dan menyempatkan belajar diluar jam pelajaran.
Kedua, planful problem solving yaitu siswa penerbang memikirkan akibat dari
keadaan yang menekan tersebut dan merencanakan sesuatu untuk mengatasi
keadaan. Usaha yang dilakukan siswa penerbang adalah mempersiapkan diri
sebaik mungkin sebelum melakukan praktik terbang baik saat latihan maupun
ketika ujian dan lebih waspada dalam menjalankan prosedur penerbangan agar
tidak mengalami kecelakaan.
Kedua yaitu coping stress yang berpusat pada emosi (Emotional focused
form of coping) maka strategi penanggulangan stress para siswa penerbang lebih
mengarah pada perubahan cara pemaknaan suatu kejadian tanpa mengubah situasi
obyektif. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), terdapat strategi penanggulangan
yang berpusat pada emosi (Emotional focused form of coping) salah satunya yaitu
seeking social support. Pada strategi ini siswa penerbang mencari informasi dan
nasihat dari seseorang untuk mendapatkan dukungan atau sekedar simpati orang
lain. Strategi ini juga menentukan bagaimana penilaian siswa penerbang terhadap
stressor yang dihadapi, jika dukungan dianggap dapat mengurangi stress yang
mereka rasakan maka para siswa penerbang akan memanfaatkan dukungan
tersebut. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Kanungo, 1979 ; Kaplan, 1980
(dalam Lazarus 1984) bahwa dengan adanya dukungan sosial dapat membantu
individu dalam mencegah terjadinya stress dari peristiwa yang mengancam /
membahayakan atau dapat juga berguna untuk membentuk sumber daya dalam
18
Universitas Kristen Maranatha
Para siswa penerbang lebih merasakan pengaruh dukungan sosial yang
diberikan oleh keluarga terutama orang tua mereka. Menurut House dalam Vaux
(1988), dukungan orang tua merupakan hubungan interpersonal antara orang tua
dan anaknya yang melibatkan satu atau lebih hal-hal berikut: dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan
informatif.
Dukungan emosional, berupa tingkah laku yang berhubungan dengan rasa
senang, rasa memiliki, kasih sayang dari orang tua terhadap anaknya. Misalnya
pengungkapan empati, memelihara, penuh perhatian, dan mendengarkan. Pada
siswa penerbang dukungan emosional ini dapat dirasakan jika orang tua bersedia
mendengarkan keluhan mereka saat mereka menghadapi tuntutan-tuntutan
pendidikan di sekolah penerbangan. Dukungan ini memberikan siswa penerbang
merasa dicintai dan diperhatikan oleh kedua orang tua, dengan adanya dukungan
ini diharapkan stress siswa penerbang menjadi berkurang karena secara emosi
perasaan tertekan mereka dapat dikurangi dengan membicarakannya dengan orang
tua.
Dukungan penghargaan yaitu tingkah laku orang tua yang berhubungan
dengan penghargaan terhadap perbuatan siswa penerbang, misalnya
pengekspresian imbalan positif terhadap perbuatan siswa penerbang, kepercayaan,
persetujuan terhadap gagasan siswa penerbang, perbandingan positif antar siswa
penerbang yang bertujuan meningkatkan penghargaan diri siswa penerbang
orang tua menceritakan pada orang lain bahwa mereka memiliki anak yang
menjadi seorang penerbang sehingga para siswa merasa bangga karena dapat
mengangkat status sosial keluarga mereka di lingkungan. Dukungan ini
memberikan siswa penerbang merasa dihargai oleh orang tua atas apa yang telah
dicapai oleh siswa penerbang, dengan adanya dukungan ini diharapkan intensitas
stress siswa penerbang menjadi rendah karena mereka mendapat imbalan positif
yang secara tidak langsung memberikan motivasi tersendiri bagi mereka untuk
menyelesaikan pendidikan.
Dukungan instrumental merupakan tingkah laku orang tua yang
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan anak yang sifatnya materi maupun
non materi, misalnya uang, makanan, pakaian dan tenaga. Pada siswa penerbang
dukungan ini dapat dirasakan jika orang tua bersedia menjenguk para siswa
penerbang di waktu-waktu tertentu terutama ketika mereka jatuh sakit, mereka
mengharapkan kehadiran orang tua mereka untuk berada di dekat mereka.
Kemudian uang juga dapat mereka rasakan sebagai suatu dukungan terutama bila
mereka gunakan untuk membeli pulsa telepon sehingga mereka dapat
menghubungi orang-orang terdekat saat pesiar terutama menghubungi orang tua
mereka masing-masing. Dukungan ini memberikan siswa penerbang merasa
bahwa kebutuhan mereka baik secara materi maupun non materi yang kurang
dapat mereka penuhi dapat dipenuhi oleh bantuan dari orang tua mereka, dengan
adanya dukungan ini diharapkan stress siswa penerbang menjadi rendah karena
mereka mendapat pertolongan dari orang tua mereka saat mengalami hambatan
20
Universitas Kristen Maranatha
Selanjutnya dukungan informatif yaitu tingkah laku orang tua yang
berhubungan dengan pemberian informasi dan nasehat, misalnya pemberian
nasihat, sugesti atau umpan balik mengenai apa yang dilakukan oleh orang tua
yang dapat membantu para siswa penerbang dalam menghadapi stressor dalam
dunia pendidikan penerbangan. Pada siswa penerbang dukungan informatif ini
dapat dirasakan jika orang tua bersedia memberikan nasihat bahwa para siswa
penerbang harus lebih rajin lagi dalam belajar baik dengan cara sering bertanya
maupun latihan sendiri karena pesawat merupakan salah satu alat canggih dimana
untuk mengoperasikan alat tersebut harus disertai keahlian khusus. Dengan
beberapa cara tersebut para siswa penerbang akan semakin mahir dan hafal dalam
melakukan prosedur penerbangan dan diingatkan oleh orang tua agar selalu
berhati-hati serta terus berdoa untuk meminta keselamatan pada Tuhan Yang
Maha Esa.
Dukungan informatif memberikan siswa penerbang merasa bahwa orang
tua mereka memberikan bantuan agar para siswa penerbang lebih waspada dalam
mengikuti segala bentuk kegiatan pendidikan, dengan adanya dukungan ini
diharapkan stress siswa penerbang menjadi rendah karena mereka diingatkan oleh
orang tua mereka agar tidak melakukan kesalahan dalam mengikuti pendidikan.
Penghayatan berbagai jenis dukungan orang tua oleh siswa penerbang,
nantinya akan mempengaruhi stress yang mereka rasakan selama mengikuti
pendidikan. Stress tersebut dapat diketahui dari munculnya gangguan-gangguan
yang dialami siswa penerbang. Semakin sering terjadinya gangguan-gangguan
maka menunjukkan intensitas stress yang dialami oleh siswa penerbang semakin
tinggi. Siswa penerbang yang memiliki intensitas stress yang moderat, cukup
sering memunculkan tingkah laku dan emosi yang negatif, mereka akan lebih
adaptif dengan keadaan stress yang dihadapi dibandingkan dengan siswa
penerbang yang memiliki intensitas stress tinggi. Kemudian siswa penerbang
yang memiliki intensitas stress rendah, akan lebih jarang atau bahkan tidak pernah
menampilkan tingkah laku dan emosi yang negatif dibanding dengan siswa
penerbang yang memiliki intensitas stress moderat dan tinggi serta lebih mudah
22
Universitas Kristen Maranatha
Stressor :
- Senioritas
- Aturan-aturan di asrama - Materi penerbangan yang berat - Risiko penerbangan
- Grounded (sebagai konsekuensi siswa penerbang gagal mencapai standar nilai)
Siswa Penerbang Angk 09 TNI-AU di Yogyakarta
- Primary appraisal
- Secondary appraisal
Gangguan:
- Psikologis
- Fisiologis
- Tingkah Laku
Skema 1.1 Kerangka Pikir D. Emosional
D.Penghargaan
D.Instrumental
D.Informatif
1.6 Asumsi
Siswa penerbang mengalami stressor berupa senioritas, lingkungan yang
terisolisir, materi pendidikan yang berat, grounded (sebagai konsekuensi siswa
penerbang gagal mencapai standar nilai) dan resiko dari penerbangan itu
sendiri yang dapat membahayakan diri para siswa penerbang sehingga mereka
mengalami kondisi stress.
Siswa penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta melakukan cognitif
appraisal untuk menilai stressor dan jenis dukungan orang tua yang didapatkan
siswa penerbang selama mengikuti pendidikan penerbangan.
Dukungan orang tua merupakan unsur penting yang digunakan siswa
penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta untuk menghadapi tekanan
dan tuntutan yang berat dari lingkungan pendidikan sekolah penerbangan.
Siswa Penerbang Angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta mendapatkan
dukungan orang tua dalam berbagai jenis yaitu dukungan informasi,
instrumental, emosional, dan penghargaan.
Jenis dukungan orang tua yang diperoleh Siswa Penerbang Angkatan 2009
24
Universitas Kristen Maranatha
1.7 Hipotesis
Dukungan orang tua memberikan kontribusi terhadap stress pada Siswa
Penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.
Dukungan emosional dari orang tua memberikan kontribusi terhadap stress
pada Siswa Penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.
Dukungan informasi dari orang tua memberikan kontribusi terhadap stress
pada Siswa Penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.
Dukungan penghargaan dari orang tua memberikan kontribusi terhadap stress
pada Siswa Penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta.
Dukungan instrumental dari orang tua memberikan kontribusi terhadap stress
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kontribusi dukungan orang tua
terhadap stress pada siswa penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta,
dapat disimpulkan sebagai berikut :
Keempat dukungan yaitu informasi, emosional, penghargaan, dan instrumental
tidak signifikan terhadap stress, sehingga tidak berkontribusi secara signifikan
terhadap stress.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kontribusi dukungan orang tua
terhadap stress pada siswa penerbang angkatan 2009 TNI-AU di Yogyakarta,
maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut :
5.2.1 Saran Teoritis
a. Dapat diteliti lebih jauh berkaitan dengan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi stress pada penerbang TNI-AU di Yogyakarta.
b. Disarankan untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam pada
87
Universitas Kristen Maranatha
meneliti dukungan orang tua tetapi dukungan pada orang-orang
signifikan lainnya bagi siswa penerbang seperti teman seangkatan,
instruktur, dan rekanita.
c. Disarankan kepada penelitian berikutnya agar tidak terlalu lama antara
jangka waktu survey awal dengan pengambilan data agar hasil yang
didapatkan tidak terlalu berbeda dengan kondisi saat survey awal.
5.2.2 Saran Praktis
a. Peneliti menyarankan sekolah penerbang TNI-AU untuk memberikan
orientasi terlebih dahulu di awal pendidikan mengenai tujuan kurikulum,
gambaran pendidikan, tugas serta tanggung jawab sebagai seorang siswa
penerbang untuk membantu proses adaptasi mereka.
b. Peneliti menyarankan siswa penerbang untuk lebih mengenali
sumber-sumber daya yang ada baik dalam diri maupun di lingkungan untuk
dapat menurunkan stress.
c. Peneliti menyarankan siswa penerbang untuk lebih cepat dalam
melakukan proses adaptasi agar mereka tidak merasakan kondisi stress
yang berkepanjangan sehingga dapat segera mengikuti pendidikan
Lazarus, Richard S. & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company.
Sarafino, Edward P. 1990. Health Psychology: Biopsychosocial interactions. Canada : Library of Congress Cataloging in Publication Data.
Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Edisi ke-6 Bandung : Tarsito.
xv Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR RUJUKAN
Darmaji, Maya Lestaria Putri. 1995. Hubungan Dukungan Sosial dan Optimisme pada siswa sekolah Penerbang TNI-AU terhadap Stress yang Dirasakan
Selama Menjalani Masa Pendidikan. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Heryanto, L. 1993. Prestasi Siswa Sekolah Penerbang TNI-AU Ditinjau dari
Komunikasi Interpersonal Siswa-Instruktur. Skripsi (tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Widura I.M. Emosi dalam Pengambilan Keputusan Penerbang. (http://wi-psibangan.blogspot.com/, diakses 9 Januari 2009).
(http://wangmuba.com/tag/dukungan-sosial/, diakses 2008)
(http://peoplechangecircumstanceschange.wordpress.com/dukungan-sosial/
diakses, 12 Maret 2009)
(http://www.tni-au.mil.id/content/tugas-tni-angkatan-udara, diakses 2010)