• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI INFEKSI CACING NEMATODA PADA ULAR PYTHON RETICULATUS YANG DIPELIHARA PECINTA ULAR DI DENPASAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PREVALENSI INFEKSI CACING NEMATODA PADA ULAR PYTHON RETICULATUS YANG DIPELIHARA PECINTA ULAR DI DENPASAR."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI INFEKSI CACING NEMATODA PADA ULAR PYTHON

RETICULATUS YANG DIPELIHARA PECINTA ULAR DI DENPASAR

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi persyaratan dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh :

Febriyani R R Telnoni 0809005021

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

PREVALENSI INFEKSI CACING NEMATODA PADA ULAR PYTHON

RETICULATUSYANG DIPELIHARA PECINTA ULAR DI DENPASAR

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi persyaratan dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh :

Febriyani R R Telnoni 0809005021

Menyetujui/Mengesahkan

Pembimbing 1 Pembimbing II

Drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes Drh. Sri Kayati Widyastuti, M.Si NIP. 19601231 198903 1 014 NIP. 19620809 199003 2002

DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

iii

Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh, kami berpendapat bawa tulisan ini baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Ditetapkan di………, tanggal………

Panitia Penguji Ketua

Drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes NIP. 19601231 198903 1 014

Sekretaris Anggota

Drh. Sri Kayati Widyastuti, M.Si Drh. I Made Dwinata,M.Kes NIP. 19620809 199003 2002 NIP. 19620606 198903 1 003

Anggota Anggota

(4)

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Febriyani R R Telnoni, dilahirkan di Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penulis merupakan anak pertama dari ayah yang bernama Jonker H.A.Telnoni, SKM dan ibu yang bernama Merita Robu Suatu. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SD Inpres Waingapu 4 pada tahun 2002, SLTP N 2 Waingapu pada tahun 2005 dan SMA Negeri 2 Waingapu pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis diterima menjadi mahasiswi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar Bali, melalui jalur Penelusuran Minat Dan Kemampuan (PMDK).

(5)

v RINGKASAN

Ular yang dipelihara tidak terlepas dari berbagai ancaman kesehatan yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, jamur, kekurangan nutrisi, dan gangguan fisiologis. Masalah kesehatan ular disebabkan oleh parasit, salah satunya yaitu masalah kecacingan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar prevalensi infeksi dan jenis cacing apa saja yang yang menginfeksi ular Python reticulatus asal Bali. Penelitian dilakukan terhadap sampel feses dari 30 ular Python reticulatus yang dipelihara pecinta ular di Denpasar melalui pemeriksaan koproskopi. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disampaikan secara sistematis dalam narasi tertulis.

(6)

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang senantiasa memberikan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “ PREVALENSI INFEKSI CACING NEMATODA PADA ULAR PYTHON RETICULATUS YANG DIPELIHARA PECINTA ULAR DI DENPASAR “ dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedoktern Hewan Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya dorongan semangat dari berbagai pihak dan atas ijin Tuhan Yesus Kristus. Pada kesempatan ini penulis ingin menucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Drh. I Made Damriyasa, MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

2. Drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes selaku Dosen Pembimbing I, atas segala kesabaran membimbing, memotivasi dan memberikan penulis arahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Drh. Sri Kayati Widyastuti, Msi selaku Dosen Pembimbing II atas segala kesabaran membimbing, memotivasi dan memberikan penulis arahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Prof. Dr. Drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas motivasi dan bimbingannya selama perkuliahan.

5. Drh. I Made Dwinata, M.Kes selaku dosen pembahas I dalam skripsi penulis. Terimakasih atas masukan-masukan yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini.

(7)

vii

7. Dr.drh. Ida Ayu Pasti Apsari, MP selaku dosen pembahas III dalam skripsi penulis. Terimakasih atas masukan-masukan yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini.

8. Semua dosen dan staf Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

9. Kedua orang tua Bapak Jonker H.A.Telnoni, SKM dan Ibu Merita Robu Suatu; Adik tercinta Tini Telnoni, Samuel Telnoni dan Juardi Telnoni; serta keluarga Besar Telnoni-Raisy Suruk yang telah memberikan motivasi, doa dan kasih sayang.

10.Drh. Andita Septiandini, Puveanthan, Gilang, Gustaf, Krisna, Adhy, Ayu Sismami, Hery, Sasa, Waya, Tyan dan semua teman-teman Minpro Satwa Liar Rothschildi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah memberikan motivasi sehingga segala hambatan dalam penelitian ini bisa teratasi.

11.Sahabat-sahabat tersayang kakak Drh. Eva Siahaan, Agung Bili Bora, SKH, Shinta Manuama, SKH, Sartika Sonda, dan Ayu Malelak atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini dengan baik.

12.Keluarga besar FKH Udayana angkatan 2008.

13.Selain itu rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas sumbangsi yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini.

Menyadari akan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, penulis mengharapkan segala kritik dan saran guna kesempurnaan skripsi ini sehingga bisa bermanfaat untuk bidang ilmu Kedokteran Hewan dan bagi kalangan lainnya yang membutuhkan.

Denpasar, September 2013

(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ……….. BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2RumusanMasalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 4

1.5Kerangka Konsep Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1Taksonomi ular Pyhton reticulatus ... 6

2.2Infeksi cacing pada ular ... 12

2.3Jenis Cacing Nematoda Yang Menginfeksi Ular ... 12

2.3.1 Genus Rhabdias sp ... 12

2.3.2 Genus Strongyloides sp ... 13

2.3.3 Genus Capillaria sp ... 14

2.3.4 Genus Kalicephalus sp ... 15

2.3.5 Genus Oxyuris sp ... 16

2.3.6 Genus Ophidascaris sp ... 17

BAB III MATERI DAN METODE ... 19

3.1Materi Penelitian ... 19

3.1.1 Sampel Penelitian ... 19

3.1.2 Bahan Penelitian ... 19

3.1.3 Alat Penelitian ... 19

3.2 Metode Penelitian ... 19

3.2.1 Teknik Pengambilan Sampel ... 19

3.2.2 Metode Pemeriksaan ... 20

3.2.3 Analisa Data ... 20

3.2.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1 Hasil Penelitian ... 22

4.1.1 Prevalensi ... 22

4.1.2 Jenis-jenis cacing yang menginfeksi ular Python reticulatus ... 22

(9)

ix

BAB V KESIMPULAN ... 28

5.1 Simpulan ... 28

5.2 Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1 Ular Python reticulatus asal Sumatera ... 10

2 Ular Python reticulatus asal Jawa ... 10

3 Ular Python reticulatus asal Sulawesi ... 10

4 Ular Python reticulatus asal Maluku ... 10

5 Ular Python reticulatus asal NTB ... 10

6 Ular Python reticulatus asal NTT... 10

7 Ular Python reticulatus asal Bali ... 10

8 Telur cacing Rhabdias sp ... 12

9 Telur cacing Strongyloides sp ... 12

10 Telur cacing Capilaria sp ... 13

11 Telur cacing Kalicephalus sp ... 14

12 Telur cacing Oxyuris sp ... 14

(11)

xi

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Total prevalensi Infeksi Cacing Nematoda pada 30 ular

Python reticulatus ... 22 2. Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda pada 30 Ular

(12)
(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna. Fauna Indonesia terkenal sangat eksotik dan tentu saja endemik. Dapat dikatakan disetiap wilayah Indonesia memiliki satwa endemik yang sangat khas (Astirin, 2000). Indonesia menempati peringkat ketiga tertinggi di dunia sebagai negara yang memiliki kekayaan jenis reptil, karena memiliki lebih dari 600 jenis (Bappenas, 1993). Jenis reptil yang dimiliki berasal dari ordo Testudinata, Squamata, dan Crocodylia (Halliday dan Adler, 2000). Keberadaan reptil pada suatu ekosistem memberikan peranan dalam suatu mata rantai untuk menjaga

keseimbangan ekosistem, karena reptil merupakan karnivora pada rantai makanan (Tajalli, et al. 2012).

Seiring dengan perkembangan zaman, keanekaragaman hewan yang ada di alam Indonesia mulai terganggu dengan adanya kerusakan hutan, danau dan perburuan yang menekan populasi hewan tersebut (Astirin, 2000). Saat ini reptil mengalami penurunan dalam skala global, disebabkan enam macam yang signifikan dalam mempengaruhi kepunahan reptil yaitu kehilangan habitat, degradasi, introduksi, polusi lingkungan, penyakit, penggunaan yang tidak terduga dan perubahan iklim global (Tajalli, et al. 2012). Salah satu reptil yang terancam punah adalah ular. Ular adalah satu dari beberapa jenis reptil yang keberadaannya dilindungi oleh pemerintah, karena sebagian besar dari beberapa spesies ular ini telah terancam hidupnya. Ular termasuk satwa eksotis yang belakangan ini banyak diburu untuk diperjual-belikan maupun sekedar untuk dijadikan hewan peliharaan. Ular juga merupakan hewan penting dalam menjaga stabilitas biota (Wikipedia, 2013).

Ular digolongkan menjadi dua jenis, yaitu venomous (memiliki racun) dan nonvenomous (tidak memiliki racun). Salah satu ular yang tidak memiliki racun yaitu ular Python reticulatus. Ular Python reticulatus mendiami hutan hujan tropis lembab (Mattison 1999). Ular ini sangat bergantung pada air dan dapat ditemukan di areal sungai kecil atau kolam. Ular membutuhkan lingkungan tropis dengan suhu berkisar < 37,8oC. Makanan utama dari ular Python reticulatus

(14)

masih kecil bisa memangsa mencit (tikus putih), kodok dan kadal, sedangkan yang berukuran besar sering memangsa ayam, anjing, monyet, babi hutan, rusa, dan bahkan manusia yang berada dekat dengan ular tersebut (Murphy dan Henderson, 1997; Mattison, 1999; Shine, et al. 1999). Menurut Rahardjo (2006), dewasa ini pemanfaatan ular tidak hanya terbatas sebagai hewan pertunjukan, pengobatan, makanan dan bahan baku pabrik tetapi juga sebagai hewan kesayangan (pet animal). Dalam pemeliharaan inilah terkadang muncul beberapa kendala seperti masalah kesehatan, perilaku, pakan, reproduksi dan obat-obatan.

Menurut Klingenberg (2007), cacing yang menginfeksi ular berasal dari filum nematelminthes kelas nematoda, genus: Rhabdias sp, Strongyloides sp, Capillaria sp, Kalicephalus sp, Oxyuris sp dan Ophidascaris sp. Hasil penelitian Sismami (2012), dari 15 ekor

ular Naja sputatrix yang diteliti semuanya (100%) terinfeksi cacing, antara lain Rhabdias 60,03%, Oxyuris 53,36%, Strongyloides 60,03 %, Capilaria 6,67 %, Kalicephalus 20,01%.

Sedangkan Davis, et al. (2012), meneliti 34 ular yang terdiri dari 6 spesies yang berasal dari

taman kota “Old-growth” Memphis (USA), didapatkan 64,7% terinfeksi oleh salah satu ektoparasit (tungau), hemoparasit (Hepatozoon spp) dan parasit saluran cerna (Entamoeba spp, Trichomonas spp, Strongyloides spp dan cacing yang tidak dapat diidentifikasi).

Bali memiliki ular Python reticulatus yang khas, dapat dilihat dari segi pola warna sepanjang tubuhnya dan juga ciri khas warna kuning pada kepala yang tidak dimiliki oleh ular Python reticulatus yang berasal dari daerah lain. Dari segi tingkah laku, ular Python reticulatus asal Bali yang ditangkap dari habitat asli (alam liar) memiliki perangai yang tidak terlalu agresif dibandingkan dengan ular lainnya. Ular Python reticulatus asal Bali termasuk spesies ular yang kini keberadaannya mulai diperhitungkan. Selain berbagai ancaman dari luar yang dapat menurunkan populasinya, masalah kecacingan juga sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan ular. Lingkungan sekitar tempat tinggal ular perlu dijaga kebersihannya karena dapat menjadi sumber penularan dari penyakit parasit. Cacing yang menginfeksi ular memiliki dua cara penularan yaitu melalui telur infektif dan larva infektif. Penularan melalui telur infektif telur menetas (diluar tubuh hospes) menghasilkan L1, kemudian melewati dua kali ekdisis (ganti selubung) menjadi L2 dan L3. Stadium L3 disebut stadium infektif, kalau termakan oleh hospes akan berkembang menjadi cacing dewasa. Larva L3 menular dengan cara menembus kulit dan masuk kedalam tubuh hospes atau secara tidak langsung melalui hospes yang terinfeksi larva

(15)

Di Denpasar terdapat pecinta ular Python reticulatus. Pada umumnya ular Python reticulatus dipelihara sebagai hewan kesayangan, karena memiliki pola warna yang menarik, tidak beracun, serta memiliki kemampuan adaptasi yang baik sehinggacara pemeliharaannya mudah. Selain sebagai hewan kesayangan, ular Python reticulatus dipelihara dengan tujuan melestarikannya. Makanan yang diberikan pada ular Python reticulatus ini sangat bervariasi tergantung dari bobot badan ular tersebut, diantara yaitu pemberian mencit (tikus putih), kadal, kodok dan ayam. Ada beberapa kendala yang sering dihadapi oleh para pecinta ular Python reticulatus dalam pemeliharannya, salah satu masalah yang dihadapi yaitu masalah kecacingan

yang menyebabkan menurunnya nafsu makan sehingga lambat laun ular dapat mengalami kematian.

1.2Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas,dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Berapa besar prevalensi infeksi cacing nematoda pada ular Python reticulatus yang dipelihara pecinta ular di Denpasar?

2. Jenis-jenis cacing nematoda apa saja yang menginfeksi ular Python reticulatus yang dipelihara pecinta ular di Denpasar?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Besarnya prevalensi infeksi cacing nematoda pada ular Python reticulatus yang

dipelihara pecinta ular di Denpasar.

2. Jenis cacing nematoda apa saja yang menginfeksi ular Python reticulatus yang dipelihara pecinta ular di Denpasar.

1.4Manfaat Penelitian

(16)

untuk meningkatkan status kesehatan ular khususnya terhadap infeksi yang disebabkan oleh cacing sehingga berguna dalam pengobatan dan pengendaliannya.

1.5Kerangka Konsep Penelitian

Ular Python reticulatus yang hidup di alam liar sering diburu untuk diambil kulitnya dan dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat, sehingga populasi dari ular tersebut semakin berkurang. Untuk mengatasi hal tersebut, para pecinta ular melakukan suatu upaya pelestarian ular dengan cara dipelihara (Info Konservasi Alam. 2012). Ular yang dipelihara didapatkan dengan melakukan penangkapan di alam liar atau juga dapat diperoleh disekitar wilayah pemukiman warga, penangkapan dilakukan dengan menggunakan beberapa alat diantaranya hook dan karung. Cara penangkapan dilakukan dengan mengikuti jejak ular, setelah ditemukan maka ular tersebut ditangkap dengan menggunakan hook dan diusahakan

hook tersebut menekan daerah sekitar kepala selanjutnya dimasukkan ke dalam karung yang sudah disiapkan. Ular yang berasal dari alam liar dapat diinfeksi oleh cacing nematoda jenis Rhabdias sp, Strongyloides sp, Capilaria sp, Kalicephalus sp, Oxyuris sp dan Ophidascaris

sp yang secara umum menular dengan telur infektif dan larva infektif (Klingenberg, 2007).

Mengingat ular Python reticulatus pada habitat aslinya (lingkungan luar) sudah semakin menyempit, memungkinkan prevalensi infeksi cacing akan semakin tinggi. Jika ular tersebut tertangkap dan dipelihara, didukung oleh cara pemeliharaan yang ditempatkan di dalam kandang soliter memungkinkan infeksi akan terus terjadi (Info Konservasi Alam, 2012).

(17)
(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi ular Python reticulatus

Ular Python reticulatus merupakan jenis ular tidak berbisa / non venomous yang memiliki penyebaran cukup luas. Berikut merupakan taksonomi dari ular Python reticulatus menurut (http:retix/python.html, 2013) :

Kingdom : Animalia Filum : Kordata Sub-Filum : Vertebrata Kelas : Reptilia

Ordo : Squamata Subordo : Serpentes Family : Boidae Genus : Python

Spesies :Python reticulatus, Python sebae, Python regius, Python anchiate, Python breitensteini, Python brongersmai, Python morulus,

Python timorensis, Python curtus, Python natalensis.

Menurut (http:retix/python.html, 2013) ular Python reticulatus merupakan jenis Python yang ditemukan di Asia Tenggara. Jenis Python mempunyai 10 spesies yang penyebarannya di berbagai wilayah antara lain :

Python sebae yang mempunyai daerah sebaran pada wilayah sekitar Burundia, Benin,

Angola, Chad, Central African Republik, Gambia, Ghana, Guinea, Niger, Nogeria, Rwanda, Senegal, Sierra Leone, Sudan, Tanzania, Togo, Ethiopia, Gabon dan Eritrea.

Python regius yang mempunyai daerah sebaran pada wilayah Guinea, Benin, Burkina Faso,

Liberia, Mali, Ghana, Guinea, Guinea-Bissau, Senegal, Gabon, Gambia, Uganda, Togo, Niger, Nigeria, dan Sierra Leone.

Python reticulatus yang memilikidaerah sebaran disekitar Banglades, Kamboja, India,

(19)

Python anchiate yang mempunyai daerah sebaran di sekitar Angola dan Namibia.

Python breitensteinimemilik daerah sebaran di sekitar Indonesia, Malaysia dan Singapura.

Python brongersmaidengan daerah penyebaran di sekitar Indonesia dan Thailand.

Python curtus dengan daerah distribusi di sekitar Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand,

dan Vietnam.

Python morulusyang tersebar di sekitar Bangladesh, Camboja, Cina, India, Indonesia, Laos,

Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam.

Python natalensis dengan daerah penyebaran di sekitar Angola, Botswana, Burundi, Kongo,

Kenya, Namibia, Afrika Selatan, Tanzania, dan Zambia.

Python timorensismerupakan satwa endemik Indonesia hanya terdapat di Papua.

Ular Python reticulatus berbentuk langsing dengan lingkar tubuh yang berotot yang

cenderung tetap membulat dari pada memipih seperti ular pembelit lainnya. Ular Python reticulatus ini sangat bervariasi, dengan motif jaringan atau rantai dengan warna dasar perak (abu-abu) atau perak coklat. Motif punggungnya merupakan ciri khas warna dasar dari ular ini dan bergaris tepi warna hitam dan kuning, orange atau coklat. Bintik-bintik di samping badannya berwarna terang. Seluruh tubuhnya memantulkan warna “hologram” (Murphy and Henderson, 1997).

Ular Python reticulatus asal Bali memiliki pola lingkaran besar berbentuk jala (reticula), tersusun dari warna-warna hitam, kecoklatan, kuning dan putih disepanjang sisi dorsal tubuh. Satu garis hitam tipis berjalan di atas kepala dari moncong hingga tengkuk, menyerupai garis tengah yang membagi dua kanan kiri kepala secara simetris. Masing-masing satu garis hitam lain yang lebih tebal berada ditiap sisi kepala , melewati mata kebelakang. Sisik-sisik dorsal (punggung) tersusun dalam 70-80 deret, sisik-sisik ventral (perut) sebanyak 297-332 buah dari bawah leher hingga ke anus, sisik subkaudal (sisi bawah ekor) 75-102 pasang. Perisai rostral (sisik diujung moncong) dan empat perisai supralabial (sisik-sisik di bibir atas) terdepan memiliki lekuk heat sensor pits atau sensor yang peka terhadap suhu (Tweedie, 1983). Ular Python reticulatus dapat mencapai panjang 8 m hingga 15 m dengan berat 75-150 kg bahkan

lebih (Utah’s Hogle Zoo, 2004).

(20)

kolam dan rawa. Ular ini membutuhkan lingkungan dengan suhu kisaran <37,80C (Murphy dan Henderso, 1997; Mattison, 1999; Shine, et al. 1999).

Ular Python reticulatus jantan maupun betina akan berpuasa pada musim kawin, sehingga ukuran tubuh menjadi hal yang penting di sini. Betina bahkan akan melanjutkan puasa hingga bertelur, dan sangat mungkin juga hingga telur menetas. Ular Python reticulatus bertelur antara 10 hingga sekitar 100 butir. Telur-telur ini dierami pada suhu 88-90 °F (31-32 °C) selama 80-90 hari, bahkan bisa lebih dari 100 hari. Ular betina akan melingkari telur-telur ini sambil berkontraksi. Gerakan otot ini menimbulkan panas yang akan meningkatkan suhu telur beberapa derajat di atas suhu lingkungan. Ular betina akan menjaga telur-telur ini dari pemangsa hingga menetas. Namun hanya sampai itu saja, begitu menetas ular itu ditinggalkan dan nasibnya diserahkan ke alam (McCurley, 1999).

Ular Python reticulatus bukan jenis ular yang agresif, ular ini cenderung menunggu

mangsanya hingga berada pada jarak serangan. Mangsa dilumpuhkan dengan melilitnya kuat-kuat (constricting) hingga mati kehabisan napas. Beberapa tulang di lingkar dada dan panggul mungkin patah karenanya. Setelah makan, terutama setelah menelan mangsa yang besar, ular ini akan berpuasa beberapa hari hingga beberapa bulan sampai lapar kembali (Murphy and Henderson, 1997). Menurut data yang ada bahwa ternyata ular Python reticulatus dapat hidup selama 23 tahun di alam liar, sedangkan di penangkaran ular Python reticulatus dapat bertahan hidup 25 hingga 28 tahun. Di alam liar sangat jarang seekor ular Python reticulatus mati kerena umur yang sudah uzur, tapi lebih kepada intervensi manusia seperti perburuan, perusakan hutan dan lain sebagainya. Sehingga setelah dilakukan penelitian bahwa hanya beberapa persen saja ular Python reticulatus muda yang dapat mencapai usia dewasa (Ballard dan Cheek, 2003).

Contoh gambar ular Python reticulatus Indonesia :

(21)

Gb 3. Python reticulatus Sulawesi Gb 4.Python reticulatus Maluku

Gb 5. Python reticulatus NTB Gb 6.Python reticulatus NTT

Gb 7. Python reticulatus Bali

1.2Infeksi cacing pada ular

(22)

Ular sebagai hospes definitif menyediakan habitat yang sesuai dan makanan untuk parasit,yang secara fisiologis sangat mendukung kelangsungan hidupnya. Parasit selain menghisap makanan, juga dapat menimbulkan kerusakan secara pelan-pelan terhadap hospesnya (Olsen, 1974). Beberapa parasit akan menghisap darah, parasit ini masuk kedalam pembuluh darah melalui kulit dan ketika berada pada usus parasit ini akan menghisap darah inang sehingga dapat menimbulkan anemia pada ular (Klingenberg, 2007).

Menurut penelitian Bursey dan Brooks (2011), melaporkan dari 78 ekor ular berbagai

spesies yang berasal dari areal konservasi “Guanacaste” Costa Rika, terinfeksi oleh 16 spesies cacing nematoda : Aplectana incerta, Aplectana itszocanensis, Cosmocercoides variabilis, Cruzia rudolphi, Hastospiculum onchocercum, Hexametra boddaertii, Kalicephalus costatum,

Kalicephalus inermis, sublatus Kalicephalus, Macdonaldius oscheri, Ophidascaris arndti,

Ophidascaris sicky, Physaloptera retusa, Skrjabinelazia intermedia, Terranova caballeroi,

Travassosascaris araujoi, Abbreviata costaricae, dan larva dari spesies Porrocaecum. Hasil

penelitian lain Oldberg dan Bursey (2002), dari 17 spesies ular yang diteliti di Costa Rika, ditemukan terinfeksi oleh cacing pita (Mesocestoide sp, Ophiotaenia flava dan O. Mesocestoides), cacing nematoda (Hastospiculum onchocercum, Hexametra boddaertii,

Terranova caballeroi, dan larva Contracaecum sp, Ophidascaris sp, Porrocaecum sp, serta

Pentastomida, nimfa dari Sebekia sp, dan larva Porrocaecum sp. Jones (2003), melaporkan dari

hasil pembedahan 102 ular berbagai jenis yang berasal dari Tasmania dan kepulauan selat Bass (Australia), hanya ular yang berasal dari Tasmania yang terinfeksi oleh 13 jenis cacing diantaranya Pentastomida Waddycephalus superbus dan Waddycephalus? Sp, serta nematoda Maxvachonia brygool, M. Chabaudi, Strongyluris paronai, Moaciria sp, Paraheterotyphlum

austral, Ophidascaris pyrrhus, Krisiella sp, Abbreviata antartica, trematoda Dolichoperoides

(23)

metode langsung (natif) dan konsentrasi apung. Didapatkan 57,4% terinfeksi parasit saluran cerna dengan infeksi tunggal dan campuran, cacing Oxyuris 16%, Koksidia 12,3%, Flagela 9,3%, dan strongyl 6,8%.

1.3Jenis cacing Nematoda yang menginfeksi ular

Menurut Klingenberg (2007), cacing yang menginfeksi ular berasal dari filum nematelminthes kelas nematoda, genus: Rhabdias sp, Strongyloides sp, Capillaria sp, Kalicephalus sp, Oxyuris sp, dan Ophidascaris sp.

1.3.1 Genus Rhabdias sp

Rhabdias sp termasuk kedalam kingdom Animalia, Phylum Nematoda, Class Secernentea, Ordo Rhabditida, Family Rhabdiasidae, Genus Rhabdias (Wikipedia, 2013).

Rhabdias sp memiliki siklus hidup langsung dan merupakan parasit yang umum

pada ular, katak, kodok dan bunglon. Larva yang menetas dari telur bisa masuk ke hospes melalui penetrasi perkutan dan melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi stadium infektif (Klingenberg, 2007).

Cacing dewasa Rhabdias sp mempunyai ukurannya sangat bervariasi tergantung pada stadiumnya. Misalnya, stadium dewasanya cacing Rhabdias agkistrodonis berukuran 4,1-6,4 mm, sedangkan stadium saprophytic berukuran <1,5 mm. Variabilitas ukuran panjang dapat terjadi diantara spesies dan genusnya (Frye, 1991; Klingenberg, 2007; Rataj, et al. 2011). Cacing Rhabdias sp mengeluarkan telur atau larva di dalam paru-paru, stadium larva pertama (L1) akan bermigrasi keluar dari paru-paru melalui trakea dan menuju ke dalam rongga mulut, selanjutnya bisa keluar langsung dari rongga mulut atau tertelan kedalam saluran cerna dan akhirnya keluar bersama feses. Larva terus berkembang, berkembang mencapai stadium ketiga (L3) yang bersifat infektif. Infeksi per-os atau dengan menembus kulit (integument) (Klingenberg, 2007).

(24)

Gambar 8.Morfologi telur cacing Rhabdias sp dengan pembesaran 100x

1.3.2 Genus Strongyloides sp

Strongyloides sp termasuk kedalam kingdom Animalia, Phylum Nematoda,

Class Secernentea, Ordo Rhabditida, Family Strongyloididae, Genus Strongyloides (Wikipedia, 2013).

Strongyloides sp mirip dengan Rhabdias sp, namun pada genus Strongyloides sp

ini gejala klinisnya lebih banyak berpredileksi pada saluran pencernaan. Strongyloides sp juga memiliki siklus hidup langsung dan ukurannya sangat bervariasi tergantung pada stadiumnya (Klingenberg, 2007). Cacing Strongyloides sp mengeluarkan telur atau larva di dalam paru-paru, stadium larva pertama (L1) akan bermigrasi keluar dari paru-paru

melalui trakea dan menuju ke dalam rongga mulut, selanjutnya bisa keluar langsung dari rongga mulut atau tertelan kedalam saluran cerna dan akhirnya keluar bersama feses. Larva terus berkembang, berkembang mencapai stadium ketiga (L3) yang bersifat infektif. Infeksi dengan menembus kulit (integument) (Klingenberg, 2007).

Menurut Bezjian, et al.(2008), telur Strongyloides sp berukuran panjang dengan rerata 61,5 µ dan lebar 37,2 µ. Morfologi telur Strongyloides sp selengkapnya seperti gambar 9 :

Gambar 9. Morfologi telur cacing Stongyloides sp dengan pembesaran 100x

(25)

Capillaria sp termasuk kedalam kingdom Animalia, Phylum Nematoda, Class

Adenophorea, Subclass Enoplia, Ordo Trichurida, Family Capillariidae, Genus

Capillaria (Wikipedia, 2013).

Capillaria sp memiliki siklus hidup langsung, dimana dapat terinfeksi melalui

makanan atau air yang terkontaminasi. Capillaria sp menginfeksi saluran pencernaan bagian bawah terutama colon, tetapi juga dapat menginfeksi organ lain seperti hati dan organ reproduksi (Klingenberg, 2007).

Capillaria sp tubuhnya kapiler dan memiliki mulut sederhana. Anus cacing

jantan terletak terminal atau subterminal. Kadang-kadang cacing ini memiliki sebuah spikulum. Vulva cacing betina dekat dengan ujung esofagus. Telurnya khas dengan dua kutub polar operculum seperti colokan, umumnya tidak berembrio saat dikeluarkan (Baker, 1979; Frye, 1991; Klingenberg, 2007).

Menurut Rivera, et al (2012), telur cacing Capilaria sp berukuran sebagai berikut : panjang 48 µ dan lebar 66 µ. Morfologi telur cacing Capilaria sp selengkapnya dapat dilihat pada gambar 10 :

Gambar 10. Morfologi telur cacing Capilaria sp dengan pembesaran 400x

1.3.4 Genus Kalicephalus sp

Kalicephalus sp termasuk kedalam kingdom Animalia, Phylum Nematoda, Class

Secernentea, Ordo Strongylida, Family Diaphanocephalidae, Genus Kalicephalus

(26)

Kalicephalus sp merupakan cacing nematoda lainnya dari superfamilia

Strongyloidea. Merupakan cacing kait yang berpredeleksi di dalam saluran pencernaan

ular dan jarang menginfeksi kadal. Cacing dewasa berukuran panjang 7-9 mm, siklus hidup langsung (Frye, 1991). Siklus hidup Kalicephalus sp, larva infektif (L3) yang aktif akan menembus kulit atau mukosa rongga mulut, selanjutnya bersama aliran darah mencapai jantung dan selanjutnya masuk ke paru-paru. Di dalam paru-paru sebagian besar larva 3 akan tertahan kapiler paru-paru, selanjutnya menembus kapiler dan masuk ke dalam alveoli. Setelah berada di alveoli larva 3 menyilih menjadi larva 4, selanjutnya bermigrasi ke bronchiolus, bronchus, trachea, pharing dan akhirnya karena batuk larva 4 tertelan dan sampai di usus halus. Di dalam usus halus mengalami ekdisis menjadi cacing muda (Klingenberg, 2007).

Menurut Klingenberg (2007), cacing ini dapat ditemukan dimana saja mulai dari

esofagus sampai ke rectum pada ular dan dapat terinfeksi oleh makanan atau air yang terkontaminasi atau menetasnya larva cacing dan kemudian menginfeksi ular dengan cara menembus kulit ular. Menurut Rivera, et al (2012), telur cacing Kalicephalus sp berukuran sebagai berikut : panjang 65 µ dan lebar 42 µ.

Gambar 11. Morfologi telur cacing Kalicephalus sp dengan pembesaran 100x

1.3.5 Genus Oxyuris sp

Oxyuris sp termasuk kedalam kingdom Animalia, Phylum Nematoda, Class Secernenta, Subclass Spiruria, Ordo Oxyurida, Family Oxyuridae, Genus Oxyuris

(27)

Oxyuris sp sangat umum menginfeksi reptil terutama pada kadal dan kura-kura.

Oxyurissp memiliki siklus hidup langsung dan dapat menginfeksi reptil dari makanan

atau air yang terkontaminasi kotoran. Pada infeksi eksternal cacing ini ditemukan pada beberapa jenis ular salah satunya yaitu Ball Python (Klingenberg, 2007). Ukuran telur dengan panjang 100 µ dan lebar 30 µ (Riverra, et al. 2012)

`

Gambar 12.Morfologi telur cacing Oxyuris sp dengan pembesaran 100x

1.3.6 Genus Ophidascaris sp

Ophidascaris sp termasuk kedalam kingdom Animalia, Phylum Nematoda, Class

Secernenta, Subclass Spiruria, Ordo Ascaridida, Family Ascarididae, Genus

Ophidascaris (Wikipedia, 2013).

Ophiascaris sp merupakan nematoda yang sangat umum pada reptil dan

mempunyai siklus hidup langsung. Ophidascaris sp berpredeleksi pada saluran pencernan dan larvanya dapat bermigrasi ke beberapa organ yang dapat menyebabkan peradangan atau lesi pada paru-paru, trakea dan daerah lainnya (Klingenberg, 2007). Telur cacing Ophidascaris sp mempunyai panjang 45 µ dan lebar 75 µ (Rivera, et al. 2012).

(28)

Gambar

Gambar                                    Teks                                                 Halaman
Gambar 9. Morfologi telur cacing Stongyloides sp dengan pembesaran 100x
Gambar 11. Morfologi telur cacing Kalicephalus sp dengan pembesaran 100x
Gambar 12.Morfologi telur cacing Oxyuris sp dengan pembesaran 100x

Referensi

Dokumen terkait

GEOLOGICAL MAPPING OF CRATER LALANDE Our geological map contains eight geological units organized by crater floor units: hummocky floor, central peak and low- relief

ICCTF telah menyeleksi 18 program yang akan didanai untuk periode 2016 hingga 2018 yang diklasifikasikan dalam 3 fokus area penanganan perubahan iklim yaitu program Mitigasi

Jumlah nilai produksi pendapatan dari usaha rumah tangga (B5RBJUMLAH) File: M2_B123_TW2 Gambaran Tipe: Kontinyu Format: numeric Desimal: 0 Range: 0-750000000. Pertanyaan

dan kurang pengalaman untuk bersaing dengan laki-laki, atau terlibat secara substantif; (iii) Proses perencanaan proyek cenderung merupakan suatu proses yang terpisah dari

dagingnya saja ternyata yang bisa diolah menjadi aneka makanan, tetapi tulang ikan lele juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi. Tulang ikan lele

Hasil penelitian ini adalah: Konjektur pelabelan latis menggunakan metode dilworth yaitu graf latis faktor dimana adalah bilangan bulat positif non prima yang habis dibagi oleh

Tak ketinggalan fitur keselamatan terlengkap di kelasnya juga disematkan pada model ini seperti Combi Brake System yang menambah kepakeman pengereman, standar samping otomatis

Kalau belum cukup untuk biaya hidup di Jakarta, tidak usah mengirim uang lagi.. Insya Allah, Bapak masih bisa membiayai Nani