• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karang Sintas di Batuan Pemecah Gelombang Pantai Melis Tuban Badung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Karang Sintas di Batuan Pemecah Gelombang Pantai Melis Tuban Badung"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

i

KARYA TULIS ILMIAH

KARANG SINTAS DI BATUAN PEMECAH GELOMBANG PANTAI MELISAN TUBAN

BADUNG BALI

OLEH:

DRS. JOB NICO SUBAGIO, MSI NIP.195711201986021001

JURUSANBIOLOGI

FAKULTASMATEMATIKILMUPENGETAHUANALAM UNIVERSITASUDAYANA

DENPASAR 2019

(2)

ii DAFTARISI

HALAMAN

DAFTARISI ... i

RINGKASAN ... ii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Permasalahan ... ……… 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Proyek Pengamanan Pantai Bali ... 3

2.2. Penanganan Pantai di Kuta ... 3

2.3. Kondisi Umum Terumbu Karang Perairan Kuta ...…... 6

2.4. Transpalantasi Karang dari BWN-2 ke Substrat Batuan sebagai Submerge-breakwater ... 9

BAB III. METODE PENELITIAN ... 13

BABIV.HASILDANPEMBAHASAN ... 14

KESIMPULANDANSARAN ... 29

DAFTARPUSTAKA ... 30

(3)

1 BAB I

Pendahuluan

Laut Indonesia yang berada di khatuistiwa merupakan tempat hidup yang ideal bagi hewan karang. Hewan karang ini, terutama karang keras secara perlahan membentuk terumbu karang (Goreau, 1963) yang menjadi habitat sementara atau tetap bagi dan tempat berlindung bagi organisme laut lainnya (Veron, 1986). Selain itu terumbu karang juga sebagai, tempat mencari makan, tempat terjadinya pemijahan, daerah pembesaran dan tempat perburuan.

Terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik secara global yang mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi (Suharsono, 1991).

Terumbu karang terbentuk karena proses biogeochemical yakni pada pengendapan kalsium karbonat (Sunarto, 2008). Secara geologis terumbu karang yang tersusun dari bahan kalsium karbonat sangat berarti sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan juga sumber utama bahan-bahan kontruksi (Burke and Maidens, 2004).

Terumbu karang dibeberapa daerah di perairan Indonesia, ironisnya, mengalami kerusakan . Hadi dkk, (2018) melaporkan hasil pengamatan dari 1076 site pengamatan yang tersebar di Indonesia. Kondisi karang yang termasuk kedalam kategori sangat baik hanya dijumpai pada 70 site atau sebesar 6,56 %. Selanjutnya yang berkategori baik hanya 22,96%, berkondisi cukup 34,3 % dan kondisi jelek justru menempati proporsi terbesar dari empat kriteria kondisi terumbu karang, yaitu sebesar 36,18 %.

Hilangnya terumbu karang mempengaruhi ketahanan pantai terhadap pengikisan oleh gelombang dan arus laut, sehingga terjadi abrasi pantai (Fajar, 2012). Abrasi pantai di Indonesia cukup memprihatinkan, dilaporkan 40 % pantai di Indonesia rusak dan mengalami abrasi (Alam Endah, 2009).

Abrasi pantai juga dialami oleh pulau Bali, sebagaimana terjadi di beberapa pantai di Indonesia. Kepala Dinas Pekerjaaan Umum Provinsi Bali menyatakan berpijak pada pantauan satelit tahun 2009, pantai di terjadi abrasi pantai di Bali sepanjang 181,7 km.

Sepanjang 93,35 km sudah di atasi dengan dibangunnya tanggul pemecah gelombang (National Geographic Indonesia, 2014) tetapi hingga saat ini 93,35 kilometer telah berhasil ditanggulangi dengan membangun tanggul pemecah gelombang.

(4)

2 Daerah selatan Pulau Bali juga mengalami abrasi pantai yang sangat berarti terutama di pantai-pantai karang sejak tahun 1970-an. Hal ini disebabkan perkembangan pariwisata di sepanjang wilayah pantai. Beberapa hal yang menjadi penyebab abrasi pantai antara lain, adanya penambangan karang di wilayah terumbu dibeberapa tempat sejak 1970an oleh penduduk setempat untuk bahan bangunan (Syamsudin 1993). Juga adanya kontruksi besar besar di paparan terumbu karang dan pengerukan untuk bahan reklamasi seperti yang terjadi Pulau Serangan (Seino et al. 2006), Disamping itu konstruksi yang dibangun pemilik Hotel maupun restoran dan aktivitas lain yang tidak terkendali, seperti tembok laut, tanggul dan groin tanpa pertimbangan, sebagaimanayang dikatakan Kepala Dinas Lingkungan Hidup

Provinsi Bali Gede Suarjana (Antaranews, 2017).

Penanganan abrasi pantai diberapa tempat di Bali telah dilakukan, antara lain melalui Proyek Pengamanan Pantai Bali fase I Paket IV untuk Pantai Kuta. Dalam Proyet tersebut juga dilakukan Restorasi Terumbu Karang. Restorasi terumbu dilakukan dengan metode transplantasi karang diatas batu batuan limestone.

Permasalahan

Bagaimana kedaan terumbu buatan tersebut setelah berjalan lebih dari 12 tahun dan jenis karang apa yang masih dapat dijumpai

(5)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proyek Pengamanan Pantai Bali

Terwujudnya pekerjaan penanganan abrasi pantai di beberapa pantai di Pulau Bali melewati proses yang cukup lama. Perencanaanya dimulai pada tahun 1989 melalu kajian kelayakan.

Dari hasil studi kelayakan ditetapkan 4 pantai yang harus segera diatasi yaitu, Pantai Sanur, Pantai Tanah Lot , Pantai Nusa Dua dan Pantai Kuta (Handoko, 2007).

Pantai Tanah Lot berbeda tipe pantainya dengan Sanur , Nusa Dua dan Kuta sehingga pengamanan nya berbeda pula. Pantai di Tanah Lot curam dngan ombak yang keras sehingga diatasi dengan menempatkan terumbu buatan (submerge brakwater) untuk mengatasi gelombang dan arus yang kuat dan dikombinasi dengan penempatan batu batu berupa panel buatan untuk melindungi tebing pantai yang curam dari erosi.(Onaka, et.al.2013)

Penanganan pantai Sanur, Nusa Dua dan Kuta karena tipe pantainya landai dilakukan dengan penambahan pasir. Penuangan pasir dilakukan sebanyak 300.000 m3 sepanjang 6,9 km di Pantai Sanur. Di Pantai Nusa Dua sebanyak 340.000 m3 sepanjang 6,5 km. Sedangkan di Pantai Kuta sepanjang 4,2 km yaitu sebanayk 520.000 m3. (Onaka, et.al.2013).

Pada ketiga pantai ini untuk mengurangi gelombang juga di tempatkna Groins dan Headlands, sebanyak 13 buah di Pantai Sanur, 14 buah di Pantai Nusa Dua dan 3 pemecah gelombang lepas pantai.

2.2 Penanganan Pantai Kuta

Masyarakat di sekitar pantai Kuta berbeda dalam menanggapi rencana pengamanan pantai.

Pantai Kuta terkenal sejak dahulu sebagai tempat berselancar. Hal ini disebabkan karena pantainya landai, ombaknya tidak terlalu besar dan tidak banyak terdapat karang pada area laguna tidak terlalu dalam sehingga tidak berbahaya terutama bagi peselancar semula.

Masyarakat yang tergantung pada adanya wisata selancar ini menginginkan keadaan pantai yang ramah lingkungan, alami, tidak ada bangunan di pantai, seperti groins dan sebagainya.

(6)

4 Lembaga swadaya masyarakat seperti GUS (Gerakan Udara Segar) yang di sponsori oleh pengusaha pakaian surfing sangat vokal dalam penolakkan ini (Handoko, 2007).

Masyarakat menganggap abrasi terjadi sejak di bangunnya landasan pacu sehingga menjadi penyebab terjadinya erosi pantai. Halini di sanggah oleh pihak Bandara dan Pemerintah (PU) yang menyatakan landasan pacu bukanlah satu satunya penyebab, masih ada hal lain yaitu penambangan karang oleh masyarakat untuk bahan bangunan (Handoko, 2007).

Berdasarka kajian oleh Lennart Burg, dkk (2004) , landasan pacu menghalangi dinamika sedimen sehingga pasir terus tergerus. Selain itu juga arus kuat diantara sela sela karang menerpa area pantai. Lennart Burg dkk (2004) berkesimpulan abrasi di Pantai Kuta telah mengakibatkan hilangnya pantai rata-rata sekitar 30 meter. Pada jarak 250 meter sampai sampai 1250 meter dari landasan pacu pantai mengalami abrasi sejauh 50 meter. Adanya bangunan pelindung pantai oleh masing masing hotel secara mandiri, memperparah kerusakn pantai. Terjadi penggerusan pantai di daerah sebelahnya. (Lennart Burg dkk,2004).

Pengalaman ini membuat masyarakat dan penggiat sekitar pantai Kuta menyadari perlunya pengamanan pantai secara umum terintegrasi. Akhirnya melalui diskusi yang terus menerus dicapai kesepakan pembangunan revetment, landscape pesisir , pengisian pasir, penahan pasir berbentu pemecah gelombang l tiga buah untuk mencegah terbawanya sedimen pasir oleh arus sejajar pantai, 2 buah off shore break water dan(Handoko, 2007). Lokasi Proyek Pengamanan Pantai Bali fase IV di Pantai Kuta terlihat seperti pada Gambar 1.

Pada pembicaraan selanjutnya terjadi penambahan pemecah gelombang lepas pantai, Penambahan ini menyebabkan pergeseran lokasi untuk pemecah gelombang lepas pantai nomor 2 (BWN-2) . Pergeseran ini menyebabkan terpakainya area yang berupa terumbu karang dengan kondisi 31,65% yang tersusun oleh 37 jenis karang. Walaupun kondisi ini termasuk sedang, tetap saja akan adanya kerusakan karang harus dilaporkan.

Berdasarkan pertemuan dengan Kepala Bapedalda Provinsi Bali pada tangga 23 Pebruari 2006 yang tertuang dalam berita acara, maka kemudian di intruksikan untuk memindahkan karang hidup dengan Surat Bapedalda Provinsi Bali no 660.1/66/Bid.1_Bapedalda. Penanganan pantai Kuta menjadi berbeda dengan penanganan pantai Sanur dan Nusa Dua karena adanya pekerjaan transplantasi karang (Anonim, 2006, unpublished)

(7)

5 Gambar 2. 1a. Lokasi Proyek Pengamanan Pantai di ambil dari Google Earth Image terbaru (2020)

Gambar 2.1.b. Susunan Batuan Submerge Break Water untuk Transplantasi Karang pada saat Proyek Pengamanan Pantai Kuta hampir selesai (2008) (Disunting dari Arisandi Putra, https://www.youtube.com/watch?v=sCkpml4M86Y)

(8)

6 2.3. Kondisi Umum Terumbu Karang Perairan Kuta

Dibandingkan pantai Sanur dan Nusa Dua perairan Kuta sedikit lebih keruh dan lereng terumbu lebih sempit dan terjal. Tinggi gelombang rata rata tahunan 0,5 meter. Laguna dengan kedalaman rata rata 1 meter sejauh 1 Km. Laguna di dominasi patahan karang (Coral Rubble) dan juga pasir. Pada lereng luar terumbu di dominasi 10%-15% karang keras terutama Acropora dan karang masip dan encrusting Favid ,dan sekitar 5% karang lunak (Van Woesik, dalam Tomascik et.al, 1997). Di terumbu karang dapat ditemukan 97 spesies dari 30 genera yang tergolong dalam 13 familia (Subagio, 2015, unpublised perpustakaan UNUD) seperti yang tercantum pada Tabel 1.

Pengamatan terhadap tinggi dan kecepatan ombak dilakukan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008. Tinggi ombak diluar tubir terumbu berkisar 1 m dengan periode 11,5 detik. Didalam laguna tinggi ombak berkurang menjadi sekitar 0,3 m dengan perioda 7,5 detik. Kecepatan arus karena pergantian pasang surut, sekitar 0,1 m/detik dan maksimum 0,4 m/detik . Fluktuasi suhu dapat dilihat pada Gambar 4. Suhu maksimum terjadi pada bulan Pebruari – Maret, sedang suhu terendah pada bulan Juli sampai September (Onaka et.al.,2013).

Gambar 2.4. Fluktuasi suhu bulanan, dari tahun 2005 s/d 2008 (Onaka et.al., 2013)

(9)

7 Tabel 2.1 . Jenis Karang yang dijumpai di Perairan Pantai Kuta (Subagio, 2015).

No Familia Genus Spesies Keterangan

1 Acroporidae 1 Acopora 1 A.aspera

2 A.cerealis

3 A.formosa

4 A.latistella

5 A.nane

6 A.nasuta

7 A.nobilis

8 A.pulchira

9 A.sarmentosa

10 A.secale

11 A.subulata

12 A.tenunis

13 A.yongei

2 Montipora 1 M.capricornis

2 M.digitata

3 M.foliose

4 M.informis

5 M.mollis

6 M.turgenscens

7 M.turttlensis

8 M.venosa

2 Pocilloporidae 1 Pocillopora 1 P.damicornis

2 P.verucosa

3 Favidae 2 Favia 1 F. mathaii

2 F.palida

3 F.rotundata

4 F.speciosa

3 Favites 1 acuticolis

2 F.abdita

3 F.chinensis

4 F.complanata

5 F.flexuosa

6 F.halicora

7 F.pentagona

4 Goniastrea 1 G.edwrdsi

2 G.flafulus

3 G.retiformis

(10)

8

5 Platygyra 1 P.lamellina

2 P.sinensis

3 P.pini

4 P.daedale

5 P.verweyi

6 Leptoria 1 L.phrygia

Montastrea 1 M.curia

2 M.valenciennesi

7 Caulastrea 1 C.tumida

8 Plesiastrea 1 P.versipora

9 Leptastrea 1 L.transversa

10 Cyhastrea 1 C.chalcidium

2 C.mayeri

3 C.microphthalma

4 C.serailia

4 Portidae 1 Porites 1 P.cylindrica

2 P.annbae

3 P.latistella

4 P.lichen

5 P.lobata

6 P.lutea

7 P.monticulosa

8 P.nigrescen

9 P.rus

10 P.steohensoni

2 Goniopora 1 G.cetalai

2 g.columna

3 G.pandoraensis

4 G.spongiosi

5 G.stokesi

6 G.tenuides

3 Alveora 1 A.cetalai

2 A.spongiosi

5 Siderastreide 1 Psammocora 1 P.contigua

2 P.digitata

3 P.obtusangula

4 P.profundacella

5 P.superficialis

6 Agariidae 2 Coeloseris 1 C.mayeri

3 Pavona 1 P.vennosa

7 Fungiidae 1 Cycloseris 1 C.pateliliformis

8 Merulinidae 1 Merulina 1 M.sabricula

2 Hydnophora 1 H.exesa

2 H.rigida

(11)

9

9 Mussidae 1 Symphyllia 1 S.agaricia

2 Lobophyllia 1 L.corymbosa

L.hemphricii

10 Oculinidae 1 Galaxea 1 G.astreata

2 G.fascicularis

3 G.paucisepta

11 Caryophyllidae 1 Euphyllia 1 E.glabrescens

12 Pectiniidae 1 Echnophyllia 1 E.echinata

2 Mycedium 2 M.elephantotus

3 M.robokaki

3 Oxypora 1 O.lacera

13 Dendrophyllidae 1 Turbinaria 1 T.fronduns

2 T.mesenterina 3 T.patula 4 T.peltata 5 T.reniformis 6 T.stellulata

13 Familiae 30 Genera 97 Spesies

2.4. Transpalantasi Karang dari BWN-2 ke Substrat Batuan sebagai Submerge-break water

Tujuan dari pekerjaan ini adalah untuk menyelamatkan koloni yang ada dilokasi terumbu yang akan dipakai sebagai lokasi pembangunan Pemecah Gelombang (Break Water dengan nomor BWN-2.

Tahapan dari pekerjaan ini adalah, mempersiapkan batu batu sebagai substrat, pemotongan koloni karang dari lokasi BWN-2, fragmentasi koloni dan transplantasi fragmen pada batu substrat dan pemantauan (Anonim, 2007).

2.4.1. Persiapan substrat

Bahan dasar sebagai substart adalah batu limestone yang berasal dari Taliwang NTB

Setiap batu sebelum ditempatkan kedalam perairan di lobangi berpasang pasangan sebanyak 9 pasang disetiap permukaan atas batu. Jarak diantara paku dalam pasangan adalah 5-8 cm.

Lubang itu berfungsi untuk memakukan sepasang paku, yang arahnya menukik kedalam.

(12)

10 Diantara paku nantinya akan diletakkan fragmen karang yang kemudian akan di jepit dengan mengalungkan kabel ties, lalu mengencangkan kabel ties sehingga menekan kebawah.

Dengan demikian maka fragmen akan terkunci dengan erat , lihat detail pada Gambar 5.

Batu batu disusun rapat di lokasi transplantasi menyusun blok seluas 25m x 25m. Ditetapkan 16 blok, sehingga tersedia luasan 16x25mx25m = 10.000 m2. (Anonim, 2007)

2.4.2. Pemotongan koloni di lokasi BWN-2

Koloni dipotong dengan hati hati dengan tang, kemudian dibawa ke meja aklimatisasi. Koloni dibawa dalam keadaan terendam air laut, sejauh kira kira 1 km dan dibiarkan selama satu hari untuk penyesuaian. Banyak nya koloni yang dipindahkan serta Genusnya tertera pada Tabel 2 berikut ini.(Anonim, 2008).

Tabel 2.2. Genus Karang dan banyaknya koloni yang di pindah dari lokasi BWN-2

(Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Wilayah Sungai Bali-Penida , 2008).

No Genus Jumlah

Koloni

1 Acropora 4.070

2 Pocillopora 132

3 Turbinaria 514

4 Montipora 390

5 Psammocora 14

6 Pavona 2

7 Porites 60

8 Favia 11

9 Favites 177

10 Goniastrea 9

11 Montastrea 11

12 Platygyra 53

13 Lobophyllia 1

14 Galaxea 19

15 Hydnophora 14

TOTAL 5.477

(13)

11 2.4.3. Fragmentasi dan tranplantasi

Fragmentasi dilakukan setelah karang tidak dalam keadaan stress ditandai dengan tidak adanya lagi lendir yang keluar. Aklimasi dilanjutkan sampai dua atau tiga hari bila terlihat karang masih dalam keadaan stress. Fragmentasi atau pemotongan koloni menjadi lebih kecil, sepanjang 5-8 Cm apa bila yang berbentuk cabang, atau diameter 8 Cm untuk yang berbentuk masip (padat, membulat), atau folious (seperti daun). Pemotongan semua dilakukan dalam air laut. (Anonim, 2007).

Pada waktu transplantasi dilakukan tiga tahap pekerjaan. Membersihkan permukaan batu disekitar lubang paku, menancakan paku di lubang dan mengikat fragmen. Penemplean pada badu haus cepat untuk menghindari karang stress. Oleh karena itu setiap orang bukannya melakukan tiga tahap pekerjaan namun bergantian. Ketika fragmen akan dilekatkan, batu sudah bersih dan paku sudah terpasang. Orang ketiga segera dapat melakukan penempelan. Penempelan atau transplantasi di pakai dua cara, yaitu mengikat dengan kabel tis (Gambar 6) dan menggunakan lem bawah air. Lem digunakan bagi framen yang membulat atau melebar (Onaka et.,al., 2013)

Gambar 2.6. Transplantasi dengan cara penempelan kemudian diikat dengan kabel tis.

(Onaka. Et.al., 2013). Paku ditancapkan miring kedalam saling berlawanan sehingga ketika kabel tis ditarik sekaligus akan menekan kebawah

(14)

12 2.4.4. Pemantauan

Untuk pemantauan dipilih 196 secara acak dari setiap blok Kemudian ke 196 fragmen tersebut ditetapkan sebagai objek pemantauan untuk diukur tinggi dan lebar koloni dan di foto secara seri.

Setelah 1,5 tahun transplantasi pengamatan koloni pantauan ke sintasan karang cukup tinggi.

Bahkan karang bertipe daun, Montipora dan Turbinaria mencapai 100%. Karang masip mencapai 96% kecuali Goniopora yang hanya 28% yang dapat bertahan hidup.Setelah satu setengah tahu 95% karang cabang dapat bertahan hidup (Onaka et.al., 2013). Pertumbuhan setelah 1,5 tahun dapat dilihat pada foto berikut ini, pada Gambar 7.

Gambar 2.7 a. Pertumbuhan Acropora nobilis (Onaka, et.al. 2013)

Gambar 7.b. Pertumbuhan Turbinaria sp dan Montipora sp (Onaka, et.al., 2013)

Gambar 2.7c. Pertumbuhan koloni secara umum, dalam waktu 16 bulan.(Onaka et.al., 2013)

(15)

13 BAB III

METODE PENELITIAN

Dari Tinjauan Pustaka pada Bab 2 diketahui bahwa koloni yang di transplantasi ke substrat yang berupa batu kapur mempunyai ke sintasan yang cukup tinggi dan pertumbuhan yang relatip cepat. Namun setelah itu belum ada laporan pemantaun setelah masa pemantauan proyek berakhir. Penulis tertarik untuk mengidentifikasi jenis apa saja yang masih dapat bertahan setelah 12 tahun di atas batuan kapur di Pantai Melisan Tuban Kabupaten Badung

Pengamatan dilakukan dengan metoda jelajah. Seluruh area batuan substrat yang dikitari dan diambil foto untuk identifikasi. Identifikasi dengan menggunakan buku Coral Finder Indo Pacific oleh Russel Kelley 2016.

(16)

14 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengamatan dapat dkatakan bahwa semua koloni yang ditransplantasi diatas permukaan batuan kapur sudah tidak ada. Bahkan karang mati pun sudah terlepas dari paku penyangga kabel ties. Bekas paku masih tertancap dan ditumbuhi turf algae coklat atau lumut lainnya. Menurut nelayan setempat pernah terjadi kematian masal bertahap.

Namun masih dapat dijumpai yang ditemukan di sisi batuan atau bila di permukaan dijumpai pada batuan yang rendah. Kebanyakan karang dijumpai adalah karang pertumbuhan awalnya menjalar, encrusting, seperti Turbinaria dan Montipora..

Beberapa jenis lain yang masih dapat dijumpai adalah seperti yang diuraikan dibawah ini.

Gambar 4.1. Montipora sp. Karang jenis ini umumnya bebentuk mendauan. Di awali dengan pertumbuhan merayap lalu berputar sehing menyerrupai Tanaman sawi. Pada waktu

(17)

15 transplantasi, fragmen yang berupa potongan lembaran di ikat dengan kabel tis yang dililitkan ke dua paku yangg terpancang miring kedalam. Namun pada koloni tidak dijumpai bekas paku pada bagian dasar. Hal ini menunjukkan bahwa koloni ini tumbuh dari planula.

Gambar 4.2. Acropora sp, dari penampakan koloni jelas terlihat merupakan koloni muda.

Dari ukurannya maupun skesimetri an koloni dapat diduga koloni adalah hasil pertumbuhan alami, bukan transplantasi.

(18)

16 Gambar 4.3. Leptoceris sp. Koloni tumbuh secara encrusting (merayap). Kedudukan koloni semacam ini tahan nterhadap arus keras dan gelombang

Gambar 4.4. Platygyra sp Koloni karang jenis ini tumbuh menjadi masiv, dan padat sehingga tahan terhadap gelombang dan arus keras

(19)

17 Gambar 4.5. Porites spp Porites umumnya tumbuh menjadi masiv dan padat. Pertumbuhannya relatip lebih lama dari pada karang cabang seperti Acropora sp

Gambar 4.6. Goniopora sp ditandai dengan polips yang terjulur pada waktu siang dengan tentakel tentakel yang dapat dilihat. Berbeda dengan kebanyakan karang yang terjulur polipnya

(20)

18 pada waktu malam. Bentuk koloni masip diawali dengan pertumbuhan awal merayap

(encrusting)

Gambar 4.7. Goniastrea sp yang berukuran kecil, yang dapat dikatakan sebagai ankan koloni yang relatip masih muda.

Gambar 4.8.Favites sp

(21)

19 Gambar 4.9. Favites sp. Dua koloni Favites diatas berbentuk semi masiv merayap

Gambar 4.10. Turbinaria sp

(22)

20 Gambar 4.11. Stylophora sp

Gambar 4.12. Turbinaria sp. Koloni turbinaria biasanya bertumbuh membentuk mendauan. Pada waktu transplantasi dilakukan denga n metoda menjepit dengan kabel tis diantara duua paku.

Karena pertumbuhan koloni diawali dengan pertumbuhan merayap koloni dapat bertahan

(23)

21 karena menempel disubstrat denagan permukaan lebar. Dari bentuk koloni yang seimetris dan tidak adanya bekas paku disekitarnya, dapat dikatakan koloni adalh hasil pertumbuhan polip awal hasil penempelan planula (zygote).

Gambar 4.13. Acropora sp. Ini adalah rekruit koloni dari jenis Acropora yang masih muda. Dari bentuk koloninya dan ukurannya dapat dikatakan ini adalah hasil pertumbuhan dari

pembelahan polip awal, bukan berupa transplantasi fragmen karang Koloni tumbuha diatas patahan karang mati (coral ruble).

Gambar 4.14. Euphylia sp

(24)

22 Gambar 4. 15 Goniopora sp

Setelah 1,5 tahun koloni hasil transplantasi masih bertahan hidup dan terus bertumbuh.

Namun setelah itu tidak ada laporan hasil pemantauan terutama setelah proyek selesai.

Menurut penuturan nelayan secara perlahan koloni mati secara masal. Tidak diketahui penyebabnya. Beberapa nelayan mengatakan terjadi penimbunan pasir sejalan adanya pekerjaan perluasan landasan pacu.(Gambar 4.15) ..

(25)

23 Gambar 4.15. Pengerjaan Landasan Pacu bandara Ngurah Rai

Hampir separuh dari ke delapan blok tertutup pasir. Dinamika pasir di substrat batuan kapur akan mengganggu keberlangsungan hidup karang .

Namun hasil pengamatan penulis pada blok batuan ditemukan banyak pasir yang didominasi cangkang foraminifera (Gambar 4.16). Foraminifera adalah hewan bersel satu.

Yang bersifat planktonik. Hewan ini adalah pembentuk pasir pantai alami (Tomascik et.al., 1997). Hal ini menunjukkan bahwa pasir bukan berasal dari bahan bangunan di bandara.

Van Woesik ( dalam Tomascik et al. 1997) dalam laporan hasil pengamatan tahun 1992 mengatakan bahwa di pantai Kuta tidak banyak dijumpai adanya foraminifera. No foraminifera were record ed here, p 692. Berbeda dengan Sanur yang pasirnya dikenal dengan pasil merica, bulat dan berwarna putih kekuningan.

(26)

24 Gambar 4.16 Pasir yang didominasi cangkang foraminifera, terperangkap diantara bebatuan kapur.

Hipotesa Pencemaran minyak

Banyak penyebab yang dapat menyebabkan matinya koloni karang hasil transplantasi.

Fenomena pemutihan karang (bleaching). Merupakan salah satu kemungkinan penyebab terjadinya kematian masal. Salah satu kemungkinan penyebab kenaikkan suhu yang menyebabkan terjadinya pemutihan karang secara masal. Dari bulan maret sampai Juli 2010 dilaporkan oleh peselancar, penyelam , nelayan, pemantu wisata bahari dan beberapa ilmuwan adanya fenomena pemutihan karang dibeberapa perairan Indonesia termasuk Pulau Bali. Di pulau pulau Sumatera dan Sulawesi dilaporan pemutihan sampai mencapai 75%. Di Bali tidak separah itu.(https://www.icriforum.org/news/2010/08/indonesia-global-mass- bleaching-coral-reefs-2010)

Kematian masal dapat juga terjadi karena adanya pencemar yang meracuni kehidupan koloni karang. Salah satu yang memungkinkan adalah pencemaran minyak. Hal ini dapat dijelaskan dengan hipotesa seperti yang dilihat pada Gambar 4.17 dan Gambar 4.18

(27)

25 Gambar 4.17 a.

(28)

26 Gambar 4.17b

Gambar 4.17. Foto yang menunjukkan pemutihan koloni karang pada bagian atas yang terjadi pada koloni karang diatas substrat batuan (Gambar 4.17a) maupun karang yang tumbuh secara alamiah (Gambar 4.17b)

(29)

i

Gambar 4.18. Animasi terjadinya pemutihan karena adanya cairan yang mengapung dipermukaan air laut dan mengalir keseluruh koloni karang

(30)

29 Pada gambar 17.a ,b, terlihat hasil foto yang diambil pada tanggal 7 Juni 2008. Tampak bahwa bagian koloni karang disekitar area, baik itu diatas substrat batuan kapur atau secara alami, mengalami pemutihan diatas permukaan air. Sedang bagian koloni yang berada dibawah permukaan air masih sehat, berwarna. Digambarkan secara dua dimensi tampak seperti pada Gambar 4.14.. Padahal pada hari hari sebelumnya tidak terjadi pemutihan. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat surut terendah, terjadi aliran pencemar yang berat jenisnya lebih rendah dari air laut, dan tidak tercampur dengan air (minyak), yang mengalir melewati terumbu karang.

Dalam pemantauan lingkungan oleh pengerja proyek, memang tidak terditeksi adanya minyak di perairan kuta. Pemantauan kondisi fisik dan kimia biasanya dilakukan pada saat air pasang. Dugaan berdasarkan foto, minyak terbuang pada saat air surut dan sebagian karang terdedah diluar permukaan air laut. Hal ini kemungkinan terjadinya pemutihan karena koloni karang diliputi bahan pencemar yang ringan, kental sehingga dapat membungkus koloni karang. Terjadinya pembuangan atau terbuangnya minyak hanya sesaat ketika air surut rendah.

Adanya lapisan minyak pada koloni karang dapat membunuh polyp karang, karena proses respirasi, ataupun fotosintesa algae yang bersimbiose dengan karang terhambat. Algae yang bersimbiose dengan karang menyumbang hasil fotosintesanya sebagai sumber energi karang pada siang hari.

Kesimpulan dan Saran

Pekerjaan transplantasi fragmen karang berjalan sesuai dengan rencana. Sampai koloni berumur satu setengah tahun ke sintasan rata rata mencapai 95% . Setelah berlangsung selama dua belas tahun hanya 15 genera yang masih sintas.

Salah satu hipotesa terjadinya kematian masal adanya pencemaran yang terbuang ketika air surut dan karang terdedah diatas permukaan air. Hal ini yang diduga penyebab kematian karang.

Sebagai saran kalaupun harus terjadi pembuangan, diupayakan permbuangan tidak pada saat koloni koloni karang masih dibawah permukaan air. Lapisan minya yang mengali

diatas permukaan air, tidak mematikan koloni karang dibawah permukaan.

(31)

29

(32)

30 Daftar Pustaka

Anonim, 2007a. Proposal Reef Flat Restoration. Taisei-Rinkey-PP Joint Operation (unpublish)

Anonim.2007. Term of Reference of Invironmental Impact Mitigation by Coral

Transplantation at Kuta. Departemen Pekerjaan Umun Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Wilayah Sungai Bali. Bali Beach Conservation Project Shore Protection For Kuta Beach. 2007. (unpublish)

Anonim.2008. Implementation Report. Coral Transplantation at Kuta Beach For

Environmental Impact Mitigation. Departemen Pekerjaan Umun Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Wilayah Sungai Bali. Bali Beach Conservation Project Shore Protection For Kuta Beach. 2008. (unpublish)

Burke, L. and J. Maidens. 2004. Research report: Reefs at Risk in the Caribbean. World Resources Institute, Washington, DC.

Endah, Alam. 2009. Abrasi Rusak 40 Prosen Pantai Indonesia, alamendah.org. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

https://bali.antaranews.com/berita/107025/187-km-garis-pantai-bali-terindikasi- abrasi#

Fajar. 2011. Mencegah dan Mengatasi Abrasi di Indonesia, pedemunegeri.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013

Goreau, N.I. 1959. The physiology of skeleton formation in corals. II. Calcium depositio n by hermatypic corals under various conditions in the reef. Biological Bulletin 117, 239–

250.

Goreau, T.F. 1963. Calcium carbonate deposition by coralline algae and corals in relation to their roles as reefbuilders. Annals of the New York Academy of Sciences 109, 127–

167.

Hadi. T.A, Giyanto, Bayu Prayudha, Muhammad Hafizt, Agus Budiyanto Suharsono. 2018.

Status Terumbu Karang Indonesia.Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2018

Lennart, Burg. Dkk, 2004. Integrated Coastal Conservation: Study for Kuta Bali.

Unpublished

Onaka. S , S. Endo2 and T. Uda Bali Beach Conservation Project And Issues Related To Beach Maintenance After Completion Of Project Proceedings of the 7th International Conference on Asian and Pacific Coasts (APAC 2013) Bali, Indonesia, September 24- 26, 2013

Onaka S., R. Prasetyo., S Endo and I Yoshii Large-scale coral transplantation in artificial substrates at a shallow lagoon in Kuta Beach, Bali, Indonesia. Galaxea, Journal of Coral Reef Studies (Special Issue): 336-342(2013)

Russel Kelley, 2016. Coral Finder Indo Pacific. Boyguides Townsville Australia

(33)

30 Seino, S., Uda, T., Onaka, S., Serizawa, M. and Sannami, T. (2006). Large-scale excavation and land reclamation on reef flat and coral mining on Turtle Island in Bali, Indonesia, Proc. 10th International Coral Reef Symposium, pp. 876-881.

Subagio, J.N. 2015. Jenis Karang yang Di Jumpai Di Pantai Kuta Bali Menggunakan Piranti Lunak Coral ID Australian Institute of Marine Science

Suharsono, 1991.Jenis Jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia.LIPI Pusat Penelitioan dan Pengembangan Oseanologi Proyek Penelitian dan Pengembangan Pantai. Jakarta

Syamsudin, A. R. (1993). Beach Erosion in Coral reef Beaches and Its Control, Dr.

Eng. Thesis, Kyoto University, 225 p.

Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji & M. K. Moosa (1997). Chapter Seven: Scleractinia: The Reef-Builders. In The Ecology of the Indonesia Seas, Part I (pp. 233-323). Singapore:

Periplus Editions (HK) Ltd.

Veron, J.E.N, 1986. Corals of Australia and Indo-Pacific, Augus Robertson Pub, 644 pp .

.

(34)

30

(35)

30

(36)

30

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjabaran beberapa proses alternatif baik pada proses oksidasi maupun proses pemurnian maleic anhydride, kami memilih fixed bed process untuk

Suhardjono dalam Asrori (2008:5) mendefenisikan” peneletian tindakan kelas adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan di kelas dengan tujuan

(pemulihan) dan semua kegiatan sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat lalu mengenai tingkat kemajuan pembangunan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Karangayu

Berusaha memberikan ruang kosong dalam hati dengan cara melepaskan diri dari segala hiruk pikuk aktivitas duniawi. Secara sederhana dikatakan bahwa dengan

Dalam tahun yang sama telah berhasil dilakukan penawaran umum terbatas saham (Right issue) yang pertama dan hasilnya digunakan untuk pengalihan 100% saham milik

Namun, karena waktu paruh merkuri dalam tubuh kira-kira 1,5 – 2 bulan, sampel rambut dekat kulit kepala merefleksikan pemaparan merkuri yang baru terjadi yang juga terkait pada

Pada kegiatan pendampingan PTT Kedelai ini diterapkan teknologi budidaya spesifik lokasi yang telah direkomendasikan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, seperti:

 Petrosea  (PTRO)  Tebar  Dividen  US$4,50  Juta.  Emiten  jasa  tambang  PT  Petrosea  Tbk.  (PTRO)