68
MORFOLOGI BAHASA SAMAWA-MATEMEGA (MORPHOLOGHY OF SAMAWA-MATEMEGA)
Lalu Erwan Husnan
Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat
Jalan dr. Sujono, Kelurahan Jempong Baru, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram Pos-el: [email protected]
Diterima: 30 Januari 2014; Direvisi: 13 Oktober 2014; Disetujui: 24 Oktober 2014 Abstract
A language is medium for a community to communicate with their own community or others as their neighbors. Three (3) subvillages called Matemega which are located on the high area of Alas district, Sumbawa Besar are included into remote areas. The speakers use Samawa. Linguistically, they have little contact with other communities who use Samawa. Method used is descriptive. Date collected through interview helped by note-taken and recording. Instrument used covered simple and compound sentences containing morphological aspect. Data analyzed using padan method. It is concluded that morphological variants of Samawa- Matemega are not as complex as morphology of Samawa used at Sumbawa Besar or Jereweh dialect.
Key words: language, morphology, variant
Abstrak
Bahasa merupakan sebuah medium bagi suatu komunitas untuk berkomunikasi dengan kelompoknya atau dengan kelompok pada komunitas lain sebagai mitra kontaknya. Tiga (dusun) Matemega yang berada pada daerah ketinggian kecamatan Alas, Sumbawa Besar adalah salah satu contoh daerah terpencil yang menggunakan bahasa Samawa sebagi alat komunikasi dalam kelompoknya. Secara kebahasaan, ketiga dusun tersebut tergolong terpencil karena intensitas kontaknya dengan penutur bahasa Samawa lainnya terbilang jarang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Data-data kebahasaan yang dibutuhkan dikumpulkaan menggunakan memtode wawancara. Teknik lanjutan yang digunakan adalah rekam dan catat. Instrumen yang diigunakan berupa kalimat sederhana dan majemuk yang didalamnya terdapat aspek morfologi. Analisis data menggunakan metode padan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa variasi morfologis bahasa Samawa-Matemega tidak sekomplek morfolgi bahasa Samawa dialek Sumbawa Besar atau Jereweh.
Kata kunci: bahasa, morfologi, variasi
1. Pendahuluan
Sumbawa dan Sumbawa Barat merupakan dua kabupaten di Pulau Sumbawa bagian barat yang menggunakan bahasa Samawa sebagai bahasa ibunya. Di antara dua kabupaten tersebut, terbentang
perbatasan dari ujung utara sampai selatan.
Daerah perbatasan dua kabupaten tersebut cenderung memiliki akses kontak bahasa dengan penutur lain bahasa yang sulit. Hal ini disebabkan oleh faktor geografis yang
69 sulit sehingga intensitas komunikasi dengan penutur lain juga sedikit.
Salah satu daerah yang sulit dijangkau dan tergolong terpencil secara kebahasaan adalah daerah Matemega.
Berdasarkan Peraturan Bupati Sumbawa Nomor 15 Tahun 2010, daerah tersebut terdiri atas dua dusun, yaitu Matemega dan Lamede. Namun demikian, ketika berada di sana, daerah tersebut sudah dimekarkan menjadi tiga dusun. Dusun yang ketiga adalah Mandiri. Masyarakat setempat menyebut dusun Matemega sebagai induk.
Dusun-dusun tersebut masuk dalam administrasi desa Marente, Kecamatan Alas. Namun begitu, pusat desa Marente merupakan titik awal pendakian menuju Matemega yang jaraknya jauh sekali dan harus ditempuh dengan jalan kaki. Dusun- dusun lain atau yang berada di bawah gunung tergolong lebih maju karena berada pada daerah yang lebih datar dengan mobilisasi yang baik. Bahasa yang terdapat di dusun-dusun ini juga tidak jauh berbeda dengan penutur Samawa yang ada di kecamatan Alas. Sebaliknya, dusun- dusun lainnya yang berada di pegunungan daerah Matemega memiliki bahasa dan sastra yang lebih berbeda dengan penduduk Samawa di kecamatan Alas.
Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Itulah alasan penelitian daerah terpencil ini fokus pada dusun-dusun yang
disebutkan berada di daerah pegunungan Matemega.
Dusun-dusun yang berada di daerah pegunungan terpencil merupakan daerah penghasil kopi. Namun begitu, satu- satunya akses jalan dari desa ke ketiga dusun tersebut tidak baik sehingga sulit sekali dilalui oleh kendaran roda empat ataupun roda dua. Hanya kendaran tertentu dengan spesifikasi khusus yang dapat melalui jalan ke kedua dusun tersebut.
Untuk mencapai daerah tersebut, jalan kaki selama lebih dari dua belas (12) jam adalah suatu keharusan. Jalur yang dilalui berupa jalan tanah yang menanjak, licin, dan jurang yang menghantui. Ada juga dua akses jalan lainnya dari daerah Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat dan Tepal, Kabupaten Sumbawa, tetapi dengan kondisi yang tidak lebih baik dan jarak tempuh yang semakin lama, dua (2) jam lebih lama.
Gambar 1. Lokasi Matemega Akibat dari kondisi geografis ketiga dusun tersebut adalah terbatasnya akses
Gunung Batulanteh
Gunung Bersamak
Dataran Tinggi Matemega
Dialek Sumbawa Besar
Dialek Taliwang
Dialek Jereweh
Dialek Tongo Alas
70 masyarakat di pusat desa dan kecamatan atau akses masyarakat ketiga dusun tersebut untuk keluar. Kondisi ini membuat mereka terisolasi dan jarang melakukan kontak dengan penduduk lainnya. Selain mengandalkan hasil kopi, masyarakat Matemega juga mengandalkan hasil sektor pertanian, padi, dan buah-buahan. Kondisi masyarakat ketiga dusun tersebut membuat komunikasi mereka ke luar terbatas.
Komunikasi lebih banyak antarpenduduk ketiga dusun yang notabene tidak jauh berbeda. Kurangnya intensitas komunikasi dan kontak dengan masyarakat lain menyebabkan bahasa dan sastra yang mereka gunakan memiliki perbedaan dengan penutur bahasa Samawa lainnya, seperti Alas. Dengan demikian, fakta-fakta akses geografis dan kontak bahasa yang terbatas memberikan mahnet tersendiri untuk dilakukannnya penelusuran dampak geografis dan kontak bahasa yang terbatas terhadap peta dan struktur bahasa mereka.
Untuk itu, penelitian bahasa di wilayah terpencil lebih fokus pada pemetaan dan struktur bahasa yang digunakan. Pemetaan bahasa berusaha menentukan dialek-dialek ataupun subdialek-subdialek bahasa Samawa- Matemega. Adapun penelitian struktur berusaha mendeskripsikan fonologi, morfologi dan sintaksi bahasa Samawa- Matemega. Dalam tulisan ini, struktur morfologis bahasa Samawa yang
digunakan di Matemega yang akan disampaikan secara ringkas.
2. Kerangka Teori
Morfologi merupakan salah satu cabang linguistik yang mengidentifikasi masalah satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatika (Verhaar, 2004:97). Kajian morfologi didasarkan pada pemikiran bahwa morfem adalah unit terkecil yang memiliki makna. Ramlan (1985:2) mengatakan bahwa morfologi merupakan proses pembentukan kata.
Proses pembentukan kata ini ada yang berwujud pembubuhan afiks, pengulangan dan pemajemukan. Tarigan (1995:3) menjelaskan bahwa morfologi berkaitan dengan masalah satuan gramatika kata dan morfem. Parera (2007:14) juga menerangkan bahwa kajian morfologi harus berawal dari morfem.
Berkaitan dengan kajian morfologi, Chaer (2007:56) menerangkan bahwa kajian morfologi dilakukan untuk menemukan morfem-morfem dalam bahasa yang diteliti termasuk proses pembentukan kata dari morfem tersebut.
Proses tersebut ada yang menyebabkan perubahan kelas kata. Proses morfologi tersebut juga menyebabkan perubahan fonem (morfofonemik) sebagai akibat afiksasi. Perubahan yang dimaksud dapat berupa perubahan fonem, penambahan fonem atau penghilangan fonem.
71 3. Metode Penelitian
Secara umum, metode yang digunakan adalah struktur bahasa.
Pengumpulan data dilakukan meng- gunakan metode wawancara dan metode simak. Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan metode analisis struktur bahasa. Untuk itu, metode yang tepat untuk mengetahui kaidah struktur bahasa termasuk struktur morfologinya adalah metode padan (Mahsun, 2005).
Masing-masing akan disampaikan satu persatu.
Metode wawancara berguna untuk mengumpulkan data kebahasaan berupa variasi morfologi bahasa Samawa- Matemega melalui percakapan. Percakapan dilakukan antara peneliti dengan informan (Mahsun, 2005) menggunakan lembar pertanyaan (instrumen pemetaan bahasa).
Adapun teknik yang digunakan adalah teknik cakap semuka. Dengan teknik ini peneliti mendatangi daerah pengamatan dan melakukan percakapan dengan informan. Teknik lanjutan yang digunakan adalah catat dan rekam.
Dua teknik lanjutan tersebut merupkan teknik yang harus hadir dalam pelaksanaan wawancara karena untuk mengetahui realisasi fonem tidak cukup hanya mendengarkan bunyi-bunyi yang dihasilkan informan. Keduanya harus hadir bersama. Data yang diproleh melalui teknik catat diverifikasi kembali dengan
mengandalkan data rekaman yang dihasilkan (Mahsun, 2005).
Metode padan intralingual digunakan untuk menentukan kaidah morfologi. Penerapannya adalah dengan menggunakan teknik hubung banding menyamakan dan hubung banding membedakan. Sebagai contoh, untuk mengetahui kedudukan satuan lingual ba, seseorang harus membandingkan data-data yang dimiliki. Jika satuan lingual tersebut dapat berdistribusi pada berbagai bentuk dasar, dapat disimpulkan bahwa satuan lingual tersebut berkedudukan sebagai awalan. Begitu juga ketika seseorang ingin mengetahui kedudukan bentuk ko dalam kalimat. Orang tersebut juga harus membandingkan berbagai kalimat yang menggunakan bentuk ko sehingga pada akhirnya dia sampai pada simpulan bahwa satuan lingual tersebut berada setelah kata kerja sebelum nomina pada posisi objek (Mahsun 2005:112—113).
4. Pembahasan
4.1 Morfologi Bahasa Samawa Matemega
Pembahasan pada bagian ini didasarkan pada analisis struktur bahasa Samawa-Matemega yang dilakukan oleh penulis dalam kerangka penelitian bahasa di wilayah terpencil bersama timnya.
Khusus untuk keperluan tulisan ini, akan
72 disampaikan masalah morfologinya saja, khususnya masalah afiksasi.
Berpijak pada data-data yang telah dikumpulkan dan dianalisis, bahasa Samawa-Matemega hanya memiliki sistem afiksasi saja, tidak ada infiks ataupun sufiks seperti bahasa daerah lainnya di NTB. Pada bagian ini, akan disampaikan dua belas (12) morf yang dijadikan dasar penentuan afiks bahasa Samawa- Matemega. Morf-morf yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Morf /ba-/, /bǝ-/, /bel-/, dan /ber-/
Berdasarkan pada identifikasi di atas diperoleh morf /ba-/ dan /bǝ-/ pada data (1) dan (2). Selain dua jenis morf tersebut, ada juga morf /bǝl-/ dan /bǝr-/
yang ditunjukkan pada data (3) dn (4). Dua morf pertama yang disebutkan sangat identik dan harus dipilih salah satunya sebagai morf dasar. Distribusinya berdasarkan data yang diperoleh untuk penelitian ini merata untuk kedua morf tersebut. Jika menilik pada bentuk standar bahasa Samawa yang digunakan di Sumbawa Besar, bentuk pertama yang akan dipilih. Namun demikian, daerah penelitian di mana data diperoleh tergolong jauh dari pusat pemerintahan dan memiliki intensitas komunikasi yang sedikit dengan penutur dialek standar.
Alasan berikutnya adalah jika morf ini nantinya menjadi bentuk dasar, harus dipilih bentuk yang secara logis dapat
dijelaskan perubahannya ke alomorf berikutnya. Jika morf /ba-/ yang dipilih sebagai bentuk dasar, akan terjadi kesulitan menjelaskan bagaimana perubahannya menjadi /bel-/ dan /ber-/. Jika demikian, kedua bentuk yang dilekatkan pada dua morf terakhir harus diterapkan secara konsisten menjadi *balajar dan *baripi.
Kedua gloss tersebut tidak ditemukan dalam data penelitian ini. Alasan berikutnya untuk tidak memilih morf /ba-/
sebagai bentuk dasar adalah bentuk ini merupakan milik dialek standar tetapi diketahui oleh penutur dialek lain. Lebih jauh lagi, penutur bahasa Samawa- Matemega lebih dekat secara geografis dengan penutur bahasa Samawa dialek Taliwang yang menggunakan morf /bǝ-/.
Dengan demikian morf /bǝ-/ dapat dipilih sebagai morf dasar.
Dua morf berikutnya diasumsikan sebagai alomorf dari morf /bǝ-/. Morf /bǝl- / akan muncul jika huruf awal kata tempatnya dilekatkan memiliki vokal rendah. Di lain pihak, morf /bǝr-/ muncul jika huruf awal kata tempatnya dilekatkan merupakan vocal tinggi.
(1) /bakarante/ ‘berkata’ --- fonem awal /k/
(2) /bǝkǝrante/ ‘berkata’ --- fonem awal /k/
(3) /bǝlajar/ ‘belajar’ --- fonem awal /a/
73 (4) /bǝripi/ ‘bermimpi’ ---
fonem awal /i/
b) Morf /m-/, /ŋ/, /n-/, dan /ñ/; /mǝ/, /mǝŋ- /,dan /man-/
Dua kelompok morf ini sengaja disampaikan secara bersamaan mengingat keduanya memiliki korespondensi yang bersifat formal. Untuk melihat prihal korespondensi tersebut dapat dilihat pada data berikut.
(5) /maniŋ/ ‘memandikan’ ---- fonem awal /p/
(6) /ŋǝntin/ ‘bersimpuh’ --- fonem awal /ǝ/
(7) /nusu/ ‘menyusui’ --- fonem awal /s/
(8) /ñusu/ ‘menyusui’ --- fonem awal /s/
(9) /mǝrau/ ‘berladang’ --- fonem awal /r/
(10) /mǝrenam/ ‘berendam’ --- fonem awal /r/
(11) /mǝŋkuaŋ/ ‘berkubang’ --- fonem awal /k/
(12) /mandidik/ ‘mendidik’ --- fonem awal /d/
Pada data (5), (6), (7), dan (8) terdapat morf /m-/, /ŋ/, /n-/, dan /ñ/. Dari ketiga bentuk morf tersebut harus ditentukan salah satu yang berkedudukan sebagai morf dasar. Untuk itu, morf /m-/
dapat diasumsikan sebagai bentuk dasar.
Bentuk ini menurunkan alomorf /ŋ/, /n-/, dan /ñ/. Morf /m-/ muncul jika huruf awal
kata tempatnya dilekatkan adalah konsonan labial hambat. Konsonan tersebut luluh sebagai akibat dari proses morfofonemik. Adapun morf /ŋ-/ akan muncul jika huruf awal kata tempatnya dilekatkan adalah vokal tengah. Morf /n-/
akan muncul jika huruf awal kata tempatnya dilekatkan merupakan konsonan laminal. Hal yang serupa juga terjadi pada morf terakhir /ñ/. Yang membedakan antara morf /n-/ dan /ñ/ hanyalah bentuk konfiksa dari morf-morf dalam bahasa Samawa-Matemega. Morf /n-/ dapat digabungkan dengan morf lain guna membentuk konfiks seperti pada contoh berikut.
(13) /basanusu/ ‘menyusui’
(14) */basañusu/ ‘menyusui’
Dengan demikian, morf /M-/
merupakan morf dasar yang menurunkan alomorf /ŋ/, /n-/, dan /ñ/. Morf /m-/
menyebabkan terjadinya pelesapan pada huruf awal kata dasar tempatnya dilekatkan. Morf kedua muncul pada kata dasar dengan huruf awal berupa bunyi tengah. Sedangkan dua morf terakhir muncul pada kata dengan huruf awal konsonan laminal.
Perlakuan yang sama juga diberikan pada kelompok kedua (9), (10), (11), dan (12). Bentuk dasar kelompok ini adalah morf /mǝ-/. Morf dasar muncul pada kata dengan huruf awal konsonan apikal.
Bentuk turunannya masing-maisng muncul
74 ketika huruf awal kata dasar yang dilekatinya adalah konsonan velar dan apikal bersuara. Namun demikian, morf terakhir hanya ditemukan pada satu contoh saja.
c) Morf /ya-/ dan /ka/
Dua morf berbeda ini tergolong produktif berdasarkan data penelitian bahasa Samawa-Matemega. Morf /ya-/
merupakan pemarkah bentuk pasif yang dilekatkan pada kata dasar kata kerja. Morf kedua merupakan afiks karena posisinya mendahului dan dilekatkan pada kata dasar. Morf ini juga mengubah bentuk kata menjadi kata kerja transitif. Dengan demikian, kedua morf tersebut merupakan morf dasar. Yang pertama merupakan pemarkah bentuk pasif, di lain pihak yang kedua merupakan morf afiks kata kerja transitif.
Menurut Mahsun (2006:45), morf /ka- /, dalam kajiannya terhadap morfologi bahasa Samawwa dialek Jereweh juga berfungsi sebagai pemarkah bentuk perfektif, yaitu didahului oleh kata berkatagori verba. Lebih jauh, Mahsun menerangkan tiga perbedaan penggunaan morf /ka-/. Sebagai prefik morf tersebut memiliki kemampuan melekat pada kata dasar dan kata dasar yang diikutinya diakhiri oleh glottal. Jika berfungsi sebagai aspek perfektif, kata dasar tempatnya melekat tidak diakhiri oleh glotal. Sebagai adverbial, /ka-/ melekat pada kata dasar
yang tidak diakhiri oleh glotal. Dengan demikian morf /ka-/ pada contoh di bawah merupakan afiks.
(15) /yakǝrante/ ‘dibicarakan’
(16) /kapinaq/ ‘membuat’
d) Morf /ter-/ dan /sǝ/
Berikut ini adalah dua morf yang berbeda. Morf pertama /ter-/ sengaja ditampilkan menggunakan dua contoh (17) dan (18). Contoh pertama hanya menampilkan morf tersebut yang dilekatkan pada kata, sedangkan contoh kedua merupakan gabungan dengan morf yang lain. Contoh pertama menempatkan morf /ter-/ menjadi pembentuk kata kerja aktif dan contoh kedua menempatkan morf /ter-/ bergabung dengan morf /bǝ-/.
Gabungan ini menjadikan kata tersebut menjadi benefaktif.
Morf kedua /sǝ-/ harus diperlakukan sama dengan morf pertama.
Keduanya merupakan morf pemarkah kata kerja aktif. Yang membedakan keduanya adalah huruf awal setiap kata tempatnya dilekatkan. Morf pertama pada vokal dan morf kedua (19) pada konsonan.
(17) /teranaq/ ‘mengasuh’ --- fonem /a/
(18) /bǝteranaq/ ‘mengasuh’ --- fonem /a/
(19) /sǝbunaq/ ‘melotot’ --- fonem /b/
e) Morf /ra-/ dan /pa-/
75 Kedua morf berikut menggunakan kata dasar yang sama /boat/ ‘pekerjaan’.
Morf pertama /ra-/ menunjukkan aktifitas pekerjaan membajak sawah (20). Morf kedua menunjukkan alat yang digunakan untuk membajak sawah (21).
(20) /raboat/ ‘membajak sawah’
--- fonem /b/
(21) /paboat/ ‘alat membajak sawah’ --- fonem /b/
f) Morf /ia-/ dan /gam-/
Berdasarkan data untuk penelitian ini, morf pertama /ia-/ tergolong produktif.
Morf ini merupakan pemarkah bentuk pasif. Morf ini selalu berada di depan dan dilekatkan pada kata dasar. Morf ini biasanya diikuti oleh pelaku suatu aktifitas (22). Morf kedua /ham-/ tergolong kurang produktif. Data untuk penelitian ini menunjukkan morf ini muncul hanya sekali (23). Namun begitu, morf ini harus tetap didata. Dengan demikian, dua morf ini merupakan morf yang berbeda mengingat keduanya telah memenuhi syarat menjadi morf afiks.
(22) /iapinaq/ ‘dibuat’
(23) /gampanas/ ‘kepanasan’
5. Penutup
Berdasarkan analisis morfologis terhadap morf-morf yang diduga menjadi afiks, dapat diketahui bahwa jumlah afiks bahasa Samawa-Matemega adalah sebelas (11). Afiks-afiks yang dimaksud adalah
{bǝ-}, {M-}, {MǝN-}, {ya}, {ka-}, {ter}, {sǝ-}, {ra-}, {pa-}, {ia}, dan {gam}.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 200. Kajian Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian, dan Pemelajaran. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa:
Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Rajagrafindo Peresada.
---. 2006. Kajian Morfologi Bahasa Sumbawa Dialek Jereweh.
Yogyakarta: Gama Media
Parera, Jos Daniel. Morfologi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Peraturan Bupati Sumbawa Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pembentukan Dusun Lamede, Desa Marente, Kecamatan Alas.
Ramlan. 1985. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.
Tarigan, Henry Guntur. 1995. Pengajaran Morfologi. Bandung: Penerbit Angkasa.
J. W. M. Verhaar. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta:
Madjah mada University Press.