• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Reforma Agraria dan Tingkat Kesejahteraan Petani

Berbagai permasalahan yang muncul dalam bidang agraria merupakan hambatan serius bagi proses pembangunan bangsa. Arah kebijakan politik yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat luas merupakan penyebab timbulnya berbagai permasalahan dalam bidang agraria. Upaya-upaya perbaikan yang dilakukan sepanjang sejarah pembangunan bangsa memiliki suatu muara, yaitu tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.

Reforma agraria merupakan agenda bangsa yang diharapakan dapat memberikan titik terang bagi terwujudnya keadilan sosial dan tercapainya kesejahteraan masyarakat. Reforma agraria dengan berbagai program pelengkapnya diharapkan dapat membantu masyarakat miskin (sebagian besar petani) untuk dapat beranjak dari keterpurukan ekonomi menuju kehidupan yang layak dan mandiri. Terdapat berbagai konsep yang menjelaskan makna dari kata agraria dan reforma agraria itu sendiri, hal ini perlu dipahami sebagi sebuah landasan teoritis dari penelitian ini.

2.1.1 Konsep Agraria (Objek dan Subjek Agraria Serta Hubungan Teknis dan Sosio-Agraria)

Istilah agraria berasal dari bahasa latin “aeger” yang artinya: a) lapangan; b) pedusunan (lawan dari perkotaan); c) wilayah: tanah negara (lihat Kamus Bahasa Latin-Indonesia karangan Prent, dkk., 1969; juga World Book Dictionary, 1982). Saudara

(2)

kembar dari istilah itu adalah “agger”, artinya: a) tanggul penahan/pelindung; b) pematang; c) tanggul sungai; d) jalan tambak; e) reruntuhan tanah; f) bukit.1

Berdasarkan konsep-konsep di atas, tampak bahwa yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekedar tanah atau pertanian saja. Kata-kata pedusunan, bukit, dan wilayah jelas menunjukkan arti yang lebih luas karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Wilayah pedusunan memiliki berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga tambang, perumahan, dan masyarakat manusia.2 Menurut Sitorus (2002) konsep agraria juga merujuk pada berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber graria.

Subjek agraria merujuk pada orang, sekelompok orang, atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam mengakses dan atau memanfaatkan sumber-sumber agraria. Secara kategoris subjek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector) (Sitorus, 2002). Ketiga subjek agraria tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Hubungan di antara subjek agraria akan menimbulkan kepentingan yang berbeda, hal ini berkaitan dengan perbedaan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebut. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosio-agraria yang berpangkal pada akses pemilikan dan pemanfaatan sumber agraria.

1

Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi ( 2001) dalam Sitorus (2002). 2

(3)

Hubungan Sosio Agraria

Hubungan atau interaksi yang terjadi di antara subjek-subjek agraria baik pemerintah, swasta, dan masyarakat telah membentuk suatu dinamika sosial. Dampak hubungan antar subjek agraria tersebut pada kenyataannya sering kali menimbulkan permasalahan sosial, hal ini dikarenakan satu pihak mendominasi dan pihak lain terdominasi yang berujung pada munculnya ketidakadilan bagi subjek yang terdominasi. Untuk memperbaiki hubungan-hubungan sosio-agraria tersebut maka dicuatkan suatu program reforma agraria sebagi sebuah agenda bangsa untuk keadilan dan kemakmuran rakyat.

2.1.2 Struktur Agraria

Struktur agraria yaitu3 suatu fakta yang menunjuk kepada fakta kehadiran minoritas golongan atau lapisan sosial yang menguasai lahan yang luas di satu pihak

3

Dikutip dari pengantar penerbit pada buku Sosiologi Agraria oleh Sediono M.P. Tjondronegoro, penyunting M.T. Felix Sitorus & Gunawan Wiradi, AKATIGA, Bandung 1999.

Komunitas

Swasta Pemerintah

Sumber agraria

Hubungan teknisAgraria

Gambar.1 Lingkup Hubungan-hubungan Agraria (Sumber : Sitorus 2002) Keterangan:

(4)

dan mayoritas golongan yang menguasai hanya sedikit atau bahkan tanpa tanah sama sekali di lain pihak.

Struktur agraria dapat mempengaruhi munculnya hubungan sosial agraris yang berbeda antara satu tipe struktur agraria dengan tipe struktur agraria lain. Ada tiga macam struktur agraria yaitu:

1. Tipe Kapitalis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (swasta/perusahaan)

2. Tipe Sosialis : sumber-sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok pekerja 3. Tipe Populis/Neo-Populis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumah

tangga penguna. (Wiradi 1998, dalam Sitorus 2002).

Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi. Semakin hari kebutuhan akan lahan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan akan lahan tidak pernah bertambah. Hal ini mengakibatkan banyak sekali terjadi benturan kepentingan antar pihak karena setiap pihak mempunyai kepentingannya masing-masing dalam pemanfaatan lahan.

Berbagai masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan kepentingan tersebut diantaranya adalah (Utomo, dkk. 1992) :

1. Tumpang tindih dalam peruntukan lahan;

2. Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali;

(5)

4. Penggunaan lahan yang tidak efisien atau tidak sesuai dengan fungsinya sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan tanah, kemerosotan produktivitas, tanah longsor, dan banjir.

2.1.3 Reforma Agraria

Menurut Badan Petanahan Nasional RI (2007) makna reforma agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apabila makna ini didekomposisikan, terdapat lima komponen mendasar di dalamnya, yaitu:

1. Restrukturisasi penguasaan aset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity);

2. Sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare);

3. Penggunaan atau pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency);

4. Keberlanjutan (sustainability); dan 5. Penyelesaian sengketa tanah (harmony).

Berdasarkan makna reforma agraria di atas, maka dapat dirumuskan tujuan reforma agraria sebagai berikut:

1. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil;

2. Mengurangi kemiskinan; 3. Menciptakan lapangan kerja;

(6)

5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan;

6. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan 7. Meningkatkan ketahanan pangan.

Sementara itu Soetarto dan Shohibuddin (2006) mengemukakan bahwa inti dari reforma agraria adalah upaya politik sistematis untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dan yang diikuti pula oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur sosial lainnya.

Pada tataran implementasi, istilah land reform sering dipandang sama dengan agrarian reform, sementara itu Mocodompis (2006) mengatakan bahwa land reform hanyalah bagian dari agrarian reform, jadi agrarian reform tidak sebatas redistribusi tanah, tetapi sesuatu yang lebih besar lagi namun tidak bisa dijalankan tanpa adanya land reform. Hal ini serupa dengan apa yang diutarakan oleh Cohen (1987) seperti dikutip Syahyuti (2004), bahwa reforma agraria memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup dua tujuan pokok, yaitu bagaimana mencapai produksi yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai keadilan.

Syahyuti (2004) mengutarakan bahwa dalam konteks reforma agraria, peningkatan produksi tidak akan mampu dicapai secara optimal apabila tidak didahului oleh land reform. Sementara, keadilan juga tidak mungkin dapat dicapai tanpa land reform. Jadi, land reform tetaplah menjadi langkah dasar yang menjadi basis pembangunan pertanian dan pedesaan. reforma agraria mencakup permasalahan redistribusi tanah, peningkatan produksi dan produktifitas, pengembangan kredit untuk pertanian, pajak lahan, hubungan penyakapan dan regulasi baru sistem pengupahan

(7)

buruh tani, dan konsolidasi tanah. Dengan kata lain, ada dua reforma yang harus dilakukan dalam reforma agraria, yaitu land tenure reform (hubungan pemilik dan penyakap) dan land operation reform (perubahan luas penguasaan, pola budidaya, hukum penguasaan, dan lain-lain). Adapun tujuan dari land reform menurut Michael Lipton dalam Mocodompis (2006) adalah:

1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah di antara para pemilik tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil sebagai usaha memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.

2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan lahan, dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian tersebut. Hal ini secara langsung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani.

Apabila dicermati tujuan reforma agraria di atas bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai permasalahan agraria.

2.1.4 Objek Reforma Agraria4

Tanah merupakan komponen dasar dalam reforma agraria, karenanya kegiatan penyediaan tanah merupakan langkah strategis bagi keberhasilan reforma agraria. Oleh karena itu tanah harus disediakan dalam luasan yang memadai dan kualitas yang baik, serta harus disesuaikan dengan sebaran masyarakat yang akan dipilih sebagai subjek program .

4

(8)

Berkenaan dengan penetapan objek reforma agraria, maka pada dasarnya tanah yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek reforma agraria. Sesuai dengan tahapan perencanaan luas tanah yang dibutuhkan untuk menunjang reforma agraria, maka luas kebutuhan tanah objek reforma agraria di Indonesia dalam kurun waktu 2007-2014 adalah seluas 9,25 juta hektar.

2.1.5 Sasaran/Subjek Reforma Agraria

Sesuai dengan tujuan reforma agraria yang telah ditetapkan, maka subjek reforma agraria pada dasarnya adalah penduduk miskin di pedesaan baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain (pedesaan dan perkotaan).5

Mekanisme penentuan subjek reforma agraria harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, hal ini untuk memastikan bahwa subjek reforma agraria memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Penentuan subjek didasarkan hasil identifikasi subjek secara teliti, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi kriteria yang ditetapkan.

Proses penentuan subjek reforma agraria ini perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagai berikut (BPN, 2007):

a. Berazaskan keadilan

5

(9)

b. Tidak bersifat diskriminatif baik berdasarkan gender, suku, ras, agama, golongan, dan lain-lain.

c. Penentuannya melibatkan partisipasi civil society.

d. Diselenggarakan mekanisme musyawarah/kesepakatan masyarakat. e. Diidentifikasi atau diusulkan oleh unit administrasi terkecil/terdekat.

f. Memperhatikan aspek ketepatan dan efektivitas sasaran, sebagai contoh adalah efektivitas faktor usia, jenis usaha, jenis pekerjaan, dan sebagainya.

2.1.6 Pengembangan Kapasitas Subjek Reforma Agraria

Pengembangan kapasitas masyarakat (capacity building) merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berbasis kepada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia sehingga menjadi suatu local capacity (Maskun seperti dikutip oleh Aly, 2005).

Eade dalam Aly (2005) mengemukakan bahwa pengembangan kapasitas merupakan suatu pendekatan pembangunan dimana semua orang memiliki hak yang sama terhadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah merupakan suatu program yang terdiri dari kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas subjek reforma agraria (masyarakat miskin). Pengembangan kapasitas dapat dilakukan dalam bentuk pemberian akses terhadap sumber-sumber agraria, pembinaan kelembagaan ekonomi (produksi dan distribusi), maupun pengembangan sumber daya manusia (pelatihan dan penyuluhan).

Pengembangan kapasitas petani miskin merupakan suatu proses penguatan petani agar mereka dapat mengenali masalah-masalah yang dihadapinya dan secara

(10)

mandiri dapat meneyelesaikan masalahnya sendiri. Ismawan dalam Aly (2005) menyatakan kemandirian adalah suatu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi mencapai suatu tujuan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan kerja sama yang saling menguntungkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, pengembangan kapasitas dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka, sehinga memperoleh hak yang sama tehadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Melalui pengembangan kapasitas, masyarakat akan lebih berdaya dan mandiri dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

2.2 Tingkat Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain.

Suharto (2006) mengartikan kesejahteraan sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya merujuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Midgley, et al (2000: xi) seperti dikutip oleh Suharto (2006) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,

(11)

kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.

Menurut Sadiwak seperti dikutip oleh Munir (2008) kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsipun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya.

Menurut Agusniar (2006) masyarakat yang sejahtera mengandung arti bahwa setiap angota masyarakat dapat memperoleh kebahagiaan, tetapi kesejahteraan salah satu individu belum menjamin adanya kesejahteraan seluruh masyarakat. Usaha mensejahterakan masyarakat berarti usaha untuk menjadikan semua anggota masyarakat dapat hidup bahagia (Su’ud dalam Agusniar, 2006). Menurut Su’ud seperti dikutip Agusniar (2006) terdapat dua hal penting mengenai kesejahteraan, yaitu: (1) Kesejahteraan menuntut adanya kekayaan yang meningkat yaitu mengukur kesejahteraan dengan keluaran fisik dan (2) Kesejahteraan tercapai bila ada distribusi pendapatan yang dirasa adil oleh masyarakat.

Menetapkan kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ni disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan perbidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan pengetahuan di berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan penelitian atau melalui

(12)

pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik (Badan Pusat Statistik tahun 1995 dalam Munir, 2008).

Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar populasi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu.

Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS tahun 1995 seperti dikutip oleh Munir (2008), antara lain :

1. Kependudukan

Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selain itu itu, program perencanaan pembangunan sosial disegala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.

2. Kesehatan dan gizi

Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu, aspek penting lainnya yang

(13)

turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi.

3. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera.

4. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak hanya untuk mencapai kepuasan tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat.

5. Taraf dan pola konsumsi

Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapakan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.

(14)

Rumah tangga dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan bagi pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumah tangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas buang air besar rumah tangga, dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban).

7. Sosial dan budaya

Secara umum semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar.

BPS tahun 1995 seperti dikutip oleh Munir (2008) kemudian memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumah tangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan mengukur pola konsumsi rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut.

Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Semakin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, semakin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan

(15)

terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Sehingga dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase untuk non makanan.

2.3 Kerangka Pemikiran Konseptual

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual

Permasalahan agraria di Indonesia merupakan hambatan yang serius bagi proses pembangunan yang sedang berlangsung. Berbagai komponen bangsa sesuai dengan status dan perannya telah berupaya melakukan perbaikan dalam bidang agraria, baik penataan konstitusi maupun upaya perbaikan dalam bentuk program nyata.

Sejak tahun 2007 pemerintahan SBY-JK telah mengimplementasikan program reforma agraria di beberapa daerah di Indonesia. Program utama dari reforma agraria ini adalah dengan mendistribusikan tanah kepada rakyat termiskin untuk dikelola guna

Implementasi Kegiatan Reforma Agraria:

Sertifikasi Lahan eks-HGU

Subjek yang Memenuhi Kriteria

Hambatan: Resistensi eks pemilik

HGU dan SDM yang rendah Perubahan Struktur Kepemilikan Lahan Kapasitas Subjek Meningkat (memiliki lahan) Kapasitas Subjek Tidak Mengalami Peningkatan yang Signifikan (penjualan lahan) Kesejahteraan Petani Meningkat

(16)

memenuhi kebutuhan hidup. Selain pendistribusian tanah, ada juga program-program lainya yang bersifat pendukung yang disebut dengan pemberian access reform, kegiatan ini antara lain dengan pemberian kredit lunak, pelatihan kelompok tani, bantuan teknologi pertanian, pupuk, bibit tanaman, dan lain sebagainya.

Program reforma agraria diharapkan dapat membentuk struktur kepemilikan lahan yang lebih merata dan adil, sehingga ketimpangan dalam kepemilikan lahan dapan teratasi. Begitu juga dengan permasalahan-permasalahan sosial penyerta lainnya, seperti konflik ataupun sengketa lahan.

Program reforma agraria ini diperuntukan bagi masyarakat miskin, terutama petani dengan berbagai kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bantuan yang diberikan melalui program reforma agraria diharapkan dapat meningkatkan kapasitas sasaran program, di antaranya berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan atau penyuluhan, memiliki akses terhadap sumber agraria berupa tanah garapan, mampu memiliki modal produksi, memiliki dan memahami penggunaan teknologi pertanian, dan sebagainya.

Meningkatnya kapasitas petani sebagai komponen penting dalam produksi pertanian berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya alam secara optimal. Kondisi ini akan mendorong peningkatan hasil produksi. Selanjutnya, keterampilan yang diperoleh dari pelatihan maupun penyuluhan akan dimanfaatkan untuk membuat suatu produk olahan yang lebih bernilai. Jika sasaran program dapat mendistribusikan (memasarkan) hasil produksi olahan tersebut dengan baik, maka ini akan berdampak pada kondisi perekonomian rumah tangganya.

Akan tetapi, dalam pelaksanaannya program reforma agraria sudah pasti memiliki hambatan baik secara internal maupun eksternal. Hambatan-hambatan internal

(17)

berasal dari dalam diri individu masyarakat yang menjadi subjek program, sedangkan hambatan eksternal berasal dari luar diri individu subjek, mislanya dari pemerintah, resistensi pihak swasta, faktor alam, dan lain sebagainya. Sehingga setelah mendapatkan bantuan-bantuan dari pemerintah kondisi perekonomian petani tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

2.4 Hipotesis Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa hipotesis pengarah yang terdiri dari hipotesis umum dan beberapa hipotesis khusus sebagai berikut:

a. Hipotesis Umum

Implementasi/pelaksanaan program reforma agraria dapat mendorong peningkatan kesejahteraan subjek/sasaran (petani miskin).

b. Hipotesis Khusus

1) Jika reforma agraria dapat diimplementasikan secara tepat, maka kapasitas subjek reforma agraria (petani) akan meningkat.

2) Jika kapasitas subjek reforma agraria mengalami peningkatan yang signifikan, maka mereka akan mampu meningkatkan taraf hidup/kesejahteraannya.

3) Jika reforma agraria dapat diimplementasikan secara tepat, maka akan terbentuk struktur kepemilikan lahan yang merata dan adil.

4) Jika struktur kepemilikan lahan merata dan adil, maka subjek program dapat lebih meningktakan kesejahteraan hidupnya.

2.5 Definisi Konseptual

(18)

a. Implementasi kegiatan reforma agraria adalah pelakasanaan serangkaian kegiatan reforma agraria yang ditujukan kepada subjek/sasaran yang telah memenuhi kriteria guna terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

b. Subjek reforma agraria adalah penduduk miskin yang berada di daerah pedesaan baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi reforma agraria, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain (pedesaan dan perkotaan).

c. Pengembangan kapasitas subjek adalah upaya meningkatkan kemampuan subjek reforma agraria untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka, sehingga memperoleh hak yang sama tehadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka.

d. Kesejahteraan petani adalah suatu kondisi kehidupan dimana kebutuhan moril dan materil dapat terpenuhi dengan baik.

Gambar

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Finalis Call for Paper YP UGM 2011 terdiri dari 3 (tiga) – 4 (Empat) orang , sebagai perwakilan dengan membawa surat rekomendasi dari himpunan serta surat

Pada kelompok masyarakat dengan kelas pengeluaran menengah (Rp. 749.999) proporsi pengeluaran perkapitanya sebagian besar masih dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan makanan,

Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa(tawar). Warna dipersyaratankan dalam air bersih untuk masyarakat karena pertimbangan

Hasil wawancara diperoleh data bahwa salah satu yang menyebabkan motivasi kerja perawat menurun adalah tidak puas dengan kompensasi/remunerasi yang diterima

Dengan banyaknya tentara yang bertugas di Aceh, pasca tsunami boleh dikata pekerjaan land clearing sudah dilakukan oleh tentara – dengan dibayar dari uang rakyat

Perawatan individu juga menyediakan tingkat perawatan individual yang tidak tersedia di modalities lain dan memiliki keunggulan dalam berurusan dengan masalah jenis tertentu

• Semua pihak hendaklah bercakap mengikut giliran. • Apabila suatu pihak bercakap, pihak lain hendaklah mendengar dan memberi perhatian. • Apabila bercakap hendaklah dalam

Langkah-langkah yang harus ditempuh warga masyarakat untuk memperoleh kepastian hak atas tanah terkait kepemilikan tanah di pemukiman adat yang termasuk dalam