• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lex Administratum, Vol. V/No. 7/Sep/2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lex Administratum, Vol. V/No. 7/Sep/2017"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

HAK WARIS ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN CAMPURAN TERHADAP HAK

MILIK ATAS TANAH1

Oleh : Rahmadika Safira Edithafitri2 ABSTRAK

Di Indonesia, perkawinan antara seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing disebut sebagai perkawinan campuran. Perkawinan campuran dapat dilaksanakan di Indonesia dan dapat pula dilaksanakan di luar Indonesia (luar negeri). Apabila dilangsungkan di Indonesia, maka perkawinan campuran dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga Negara Indonesia atau seorang warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara dimana perkawinan itu dilangsungkan. Dari perkawinan campuran akan timbul beberapa permasalahan, salah satunya mengenai hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Proses pemilikan atau peralihan hak atas tanah yang diperoleh secara warisan paling sering menjadi masalah pelik di kalangan masyarakat. Tentu saja, jika dikaitkan dengan warisan atas tanah yang diperoleh secara turun-temurun. Meskipun menurut hukum setiap manusia adalah pembawa hak tanpa terkecuali, namun ada pembatasan-pembatasan. Yang membatasi kecakapan berhak dalam hal ini yaitu Kewarganegaraan, hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria). Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini bermaksud untuk menganalisis “Hak Waris Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Campuran Terhadap Hak Milik Atas Tanah” melalui pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Kata kunci: hak waris, perkawinan campuran, hak milik atas tanah

1

Artikel Tesis. Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Sri Hajati, SH, MS.

2

Mahasiswa Pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga. NIM. 031524253014.

A. PENDAHULUAN

Saat ini, banyak masyarakat kita yang menikah dengan warga Negara asing. Di Indonesia, perkawinan antara seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing disebut sebagai perkawinan campuran. Apabila perkawinan dilakukan antara dua orang warga Negara Indonesia yang berbeda agama, bukan termasuk dalam perkawinan campuran, melainkan perkawinan beda agama.3

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Selanjutnya ditulis UU

Perkawinan), yang dimaksud dengan

perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Perkawinan campuran dapat dilaksanakan di Indonesia dan dapat pula dilaksanakan di luar Indonesia (luar negeri). Apabila dilangsungkan di Indonesia, maka perkawinan campuran dilaksanakan menurut UU Perkawinan, serta syarat-syarat untuk melaksanakan perkawinan campuran harus dipenuhi, syarat-syarat perkawinan yang berlaku menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 ayat (1) UU Perkawinan).4 Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga Negara Indonesia atau seorang warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan UU Perkawinan.5

Pelangsungan perkawinan campuran

dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Bagi mereka yang beragama Islam, menurut hukum Islam, yaitu dengan akad nikah dan bagi mereka yang bukan beragama Islam, yaitu dilakukan menurut hukum agamanya

3

Irma Devita Purnamasari, Kiat-kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Mizan Pustaka, Bandung, 2014, h. 156.

4

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, h. 114.

5

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990, h. 20.

(2)

tersebut. Pelaksanaan perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat. Tata cara ini menurut UU Perkawinan jika perkawinan campuran dilaksanakan di Negara pihak lainnya itu, maka berlakulah ketentuan tentang tata cara menurut hukum di Negara yang bersangkutan.

Selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai hukum yang berlaku di Negara tempat perkawinan tersebut dilangsungkan, maka perkawinan adalah sah dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum disini meliputi status anak, harta perkawinan, pewarisan, hak dan kewajiban suami-istri jika perkawinan berakhir karena perceraian, dan atau sebagainya. Namun, untuk sahnya perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tersebut menurut hukum Indonesia harus dilakukan pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.6

Dari perkawinan campuran akan timbul beberapa permasalahan, salah satunya mengenai hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Proses pemilikan atau peralihan hak atas tanah yang diperoleh secara warisan paling sering menjadi masalah pelik di kalangan masyarakat. Tentu saja, jika dikaitkan dengan warisan atas tanah yang diperoleh secara turun-temurun.7 Meskipun menurut hukum setiap manusia adalah pembawa hak tanpa terkecuali, namun ada pembatasan-pembatasan. Yang membatasi kecakapan berhak dalam hal ini yaitu Kewarganegaraan, hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik (Pasal 21 ayat (1) UUPA).8

Dari perkawinan campuran apabila timbul permasalahan yang di dalam hubungan hukum tersebut sudah dimasuki unsur asing, maka

diperlukan perangkat khusus untuk

memecahkan kasus-kasus yang di dalamnya.9 Sebagaimana sudah tersedia sebagai salah satu komponen hukum nasional, yakni Hukum Perdata Internasional Indonesia (HPI

6

Irma Devita Purnamasari, Op.Cit., h. 157.

7

Ibid., h. 173.

8

Djaja S. Meiliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, h. 21.

9

Ibid., h. 265.

Indonesia). Ketiga ketentuan dasar dalam HPI, yaitu :10

1. Status dan wewenang seseorang harus dinilai menurut hukum nasionalnya. Jadi seorang warga negara Indonesia, dimanapun ia berada tetap terikat

kepada hukumnya sendiri yang

menyangkut status dan wewenang (lex patriae). Ketentuan ini dianalogikan pula terhadap orang asing, jadi orang asing pun mengenai status dan wewenangnya harus kita nilai menurut hukumnya sendiri.

2. Mengenai benda-benda tetap harus dinilai menurut hukum dari negara atau tempat dimana benda tetap itu terletak (lex rei sitae).

3. Bentuk tindakan hukum dinilai menurut hukum dimana tindakan itu dilakukan (locus regit actum).

Apabila terjadi suatu permasalahan, maka ketentuan penunjuk yang akan menentukan hukum mana yang akan digunakan. Sebab setiap ketentuan penunjuk mengandung suatu pengertian yang mencakup materi yang

menjadi objeknya. Untuk menemukan

ketentuan penunjuk yang mana, harus diketahui fakta-faktanya, dan

hubungan-hubungan hukumnya. Bahwa mengenai

pewarisan benda tetap dikuasai oleh hukum yang berlaku dari tempat benda itu terletak (lex rei sitae).11 Pasal 17 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) menyatakan bahwa, mengenai benda tetap (tidak bergerak) berlaku hukum dari negara tempat benda itu terletak. Ketentuan pasal ini merupakan suatu kaidah hukum perdata yang menyangkut tentang tanah sebagai benda tetap dan letaknya di salah satu wilayah Indonesia, sehingga hukum yang digunakan adalah peraturan hukum agraria Indonesia. 12

Dalam tesis ini, penulis juga memasukkan kasus lainnya yang berkaitan dengan hak waris anak yang telah diputus oleh Pengadilan,

Putusan Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT.

Berawal dari Swita Motiram yang merupakan warga negara Indonesia menikah dengan

10

Djasadin Saragih, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1974, h. 10.

11

Ibid., h. 50-52.

12

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010, h. 231.

(3)

suaminya yang berkewarganegaraan India, dimana sejak pernikahan tersebut dimulai Swita

Motiram mengubah kewarganegaraannya

mengikuti suaminya yaitu warga negara India, dan dari perkawinan tersebut mereka memiliki seorang anak yang bernama Sunesh Rattan Ladharam. Beberapa tahun setelah menikah Swita Motiram bercerai dengan suaminya kemudian mengubah kewarganegaraannya kembali menjadi warga negara Indonesia. Pada tahun 2009, Swita Motiram meninggal dunia yang kemudian timbul masalah mengenai siapa yang berhak untuk menjadi ahli waris dari Swita Motiram terhadap hak milik atas tanah yang ada di Indonesia, dimana semenjak ia kembali ke Indonesia Swita Motiram tidak pernah mencatatkan anaknya yang merupakan warga negara asing tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Kedudukan hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran di Indonesia.

2. Hak milik atas tanah bagi anak dalam perkawinan campuran.

C. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum, karena penelitian ini dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum yang ditelaah guna menemukan solusi dari permasalahan isu hukum yang dihadapi dalam penelitian hukum ini. Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang

dihadapi dan kemudian memberikan

pemecahan atas isu hukum tersebut.

2. Pendekatan Masalah

Untuk menguraikan permasalahan hukum, maka digunakan 3 (tiga) pendekatan masalah yaitu :

1) Pendekatan Peraturan Undang-undang (Statute Approach), yaitu dilakukan

dengan menelaah Undang-undang

bersangkutpaut dengan isu hukum yang sedang ditangani, yang bertolak dari peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku dalam masyarakat sebagai hukum positif.

2) Pendekatan konsep (Conseptual Approach), yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.

3) Pendekatan kasus (Case Approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap

berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT.

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam menyusun tesis ini terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.

1) Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan-peraturan yang berlaku dalam wilayah suatu negara serta berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT. 2) Bahan hukum sekunder adalah

bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan

bahan hukum primer dan dapat

membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer dalam hal ini pendapat para sarjana hukum, buku-buku diktat, literatur-literatur serta jurnal-jurnal ilmiah.

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Dalam penulisan tesis ini dilakukan menggunakan snowball theory atau teori bola salju. Teori bola salju dilakukan dengan cara pengumpulan dan pengolahan dari satu bahan hukum kemudian secara mengalir bergulir terus menerus sehingga memperoleh banyak sumber bahan hukum yang memiliki relevansi terhadap permasalahan pada tesis ini. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari literatur buku-buku hukum, sehingga mendapat bahan hukum yang dikumpulkan dengan mempelajari

dan menelaah peraturan

perundangan-undangan maupun literatur yang berkaitan

dengan permasalahan atau substansi

pembahasan dalam permasalahan yang dikaji.

5. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode interpretasi. Metode interpretasi adalah sarana

(4)

atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri.13 Adapun interpretasi yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis. Interpretasi gramatikal maksudnya adalah penafsiran gramatikal terhadap ketentuan yang terdapat di peraturan perundang-undangan yang ditafsirkan dengan berpedoman pada arti perkataan menurut tata bahasa dan seperti yang digunakan sehari-hari.14 Sedangkan interpretasi sistematis adalah interpretasi dengan khusus memperhatikan hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut dan memperhatikan pula hubungan antara undang-undang itu dengan undang-undang lainnya yang sejenis.15

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kedudukan Hukum Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Campuran Di Indonesia

Mengenai anak, cukup banyak peraturan yang mengatur tentang anak, dan di lain pihak keberadaan anak tidak terlepas dan berhubungan erat dengan hukum perkawinan, hukum keluarga dan hukum kewarisan. Dalam hal perkawinan campuran masalah status anak ini juga menghadapi permasalahan yaitu berkaitan dengan kewarganegaraan dari anak. Selain daripada itu dalam UU Perkawinan mengenai kedudukan anak telah diatur pada Bab 9 dalam Pasal 42 sampai Pasal 44 yang antara lain menentukan :

a. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42).

b. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1)).

c. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya,

13

Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 13.

14

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, h. 40.

15

R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 66.

bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzinah dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut. (Pasal 44 ayat (1)).

d. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. (Pasal 44 ayat (2)).

Bertitik tolak dari pengaturan tersebut, bahwa UU Perkawinan tidak mengatur mengenai anak hasil perkawinan antar bangsa Indonesia dengan bangsa asing karena dalam Pasal 42 tersebut hanya mengatur mengenai kedudukan anak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU Perkawinan hanya mengatur kedudukan anak hasil antara warga negara Indonesia saja. Sedangkan apabila perkawinan yang berbeda kewarganegaraan, masalah kedudukan anak atau status anak ini memang dapat menimbulkan permasalahan.16

Undang-undang Kewarganegaraan yang pertama sebagai pelaksanaan Pasal 26 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis Undang-undang Dasar 1945) adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946 (tentang Warga Negara dan Penduduk Negara), yang telah mengalami perubahan melalui undang Nomor 6 jo undang Nomor 8 Tahun 1947 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1948. Undang-Undang-undang ini menganut asas ius soli, yaitu asas tempat kelahiran. Kemudian undang-undang ini diganti oleh Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958, yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 yaitu Undang-undang Kewarganegaraan Republik

Indonesia (selanjutnya ditulis UU

Kewarganegaraan) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2006.17

Ada dua kategori anak yang harus memilih status kewarganegaraan. Batasannya adalah pengesahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pertama, anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006 adalah mereka yang sudah mengantongi Surat

Keputusan Menkumham tentang

Kewarganegaraan. Kedua, anak yang lahir sesudah 1 Agustus 2006 yang memiliki affidavit.

16

Nawawi dan Widyaiswara Madya, Perkawinan Campuran (Problematika Dan Solusinya), Balai Diklat Keagamaan Palembang, h. 11.

17

(5)

Dalam konteks ini, affidavit adalah surat keimigrasian yang dilekatkan atau disatukan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak berkewarganegaraan ganda. Pemegang affidavit mendapatkan fasilitas keimigrasian saat keluar masuk Indonesia.18

Jika anak berkewarganegaraan ganda memilih menjadi warga Negara asing (WNA), maka pernyataan itu harus disampaikan kepada pejabat atau perwakilan Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal si anak. Jika selama ini anak tersebut sudah memegang paspor Indonesia, maka paspor itu harus dicabut. Demikian pula, jika anak tersebut memiliki affidavit, maka surat itu harus dicabut pejabat yang menerima pernyataan memilih menjadi warga negara asing. Sang pejabat kemudian menyampaikannya ke Ditjen Imigrasi dan selanjutnya petugas akan memutakhirkan data Sistem Informasi Keimigrasian.19

Menurut Dinna Sabriani di dalam artikel Tanya jawab Klinik Hukum online, Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia

(Kemenkumham) mempermudah proses

penyampaian pernyataan memiliki

kewarganegaraan bagi anak yang memiliki kewarganegaraan ganda. Anak yang lahir dari pasangan berbeda warga negara, salah satunya warga negara Indonesia, bisa memiliki kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 (delapan belas) tahun. Paling lambat 3 (tiga) tahun setelah mencapai usia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, si anak harus menyatakan pilihan kewarganegaraannya, pilih warga negara Indonesia atau menjadi warga negara asing, negara asal ayah atau ibunya.20

2. Hak Milik Atas Tanah Bagi Anak Dalam Perkawinan Campuran

Jika perkawinan campuran dilangsungkan di Indonesia maka pembagian warisan dilakukan berdasarkan BW dan hukum yang berlaku di Indonesia, apabila perkawinan dilangsungkan di negara lain maka pembagian waris dilakukan berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku di negara tersebut. Selain berkaitan

dengan hukum dimana perkawinan

dilangsungkan pembagian warisan dalam perkawinan juga berkaitan dengan apakah di

18

Irma Devita Purnamasari, Op.Cit., h. 160.

19

Ibid., h. 162.

20

Ibid., h. 159.

dalam perkawinan tersebut terdapat perjanjian perkawinan. Jika terdapat perjanjian perkawinan dalam suatu perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dapat

mempermudah dikemudian hari untuk

mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pembagian warisan khususnya yang berkaitan tentang warisan yang berbentuk tanah atau rumah. Bagi benda bergerak berlaku hukum dari pemegang benda tersebut berada, namun bagi benda tidak bergerak berlaku hukum dimana benda tidak bergerak itu berada.

Pewarisan yang dimaksud disini adalah pewarisan hak atas tanah. Dalam praktik disebut pewarisan tanah. Secara yuridis, yang diwariskan adalah hak atas tanah bukan tanahnya. Memang benar bahwa tujuan pewarisan hak atas tanah adalah supaya ahli warisnya dapat menguasai dan menggunakan tanah yang bersangkutan. Perolehan hak milik atas tanah dapat juga terjadi karena pewarisan dari pemilik kepada ahli waris sesuai dengan Pasal 26 UUPA. Pewarisan dapat terjadi karena ketentuan undang-undang ataupun karena wasiat dari orang yang mewasiatkan.21

Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional, maka dalam warisan tetap mengacu pada kepada hukum adat, hukum Islam dan BW. Oleh karena itu warisan yang berkaitan dengan perkawinan campuran, memang diserahkan kepada suami istri yang bersangkutan,22 bergantung pada sistem mana yang akan digunakan, ataupun dapat juga meminta bantuan pada pengadilan berupa suatu penetapan.

Peralihan hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain dapat terjadi karena peristiwa hukum, yaitu meninggal dunianya pemegang hak atas tanah, disini peralihan haknya terjadi melalui pewarisan, atau karena suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah dengan pihak lain, yaitu berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam modal perusahaan, dan lelang. Yang dimaksud pewarisan hak adalah berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya meninggal dunia. Dengan meninggal

21

Urip Santoso, Op.cit., h. 397.

22

(6)

dunianya pemegang hak atas tanah tersebut berpindah kepada ahli warisnya. Jatuhnya harta warisan dari pemegang hak atas tanah kepada ahli waris bukan karena suatu perbuatan hukum, melainkan berpindah karena peristiwa hukum.23

Dengan adanya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 69/PUUXIII/2015 telah memperlonggar makna perjanjian perkawinan. Dengan putusan MK tersebut, kini perjanjian tak lagi bermakna perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung. Aturan dalam kedua Undang-undang yang digugat di Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai diskriminatif lantaran mereka yang melakukan perkawinan campuran dengan warga negara asing tidak bisa memperoleh hak milik dan hak guna bangunan. Pasal 29 ayat 1

UU Perkawinan, pada waktu sebelum

dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Dengan adanya

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

69/PUUXIII/2015, sebaiknya bagi pasangan yang melakukan perkawinan campuran segera membuat perjanjian perkawinan yang mana dalam hal ini akan mempermudah bagi pasangan warga negara indonesia untuk memilik baik tanah dan bangunan dengan status hak milik sehingga tanah dan bangunan tersebut dapat diwariskan kepada anak yang lahir dari perkawinan campuran tersebut mengingat ketentuan bahwa anak tersebut telah memilih menjadi warga negara Indonesia.

Analisis Putusan Nomor : 141/G/2010/PTUN-JKT

Almarhummah Swita Motiram dahulu pernah menikah di Luar Negeri (Hongkong) dengan seorang warga negara asing bernama Rattan Ladharam pada tanggal 10 Desember 1979 dan telah bercerai pada tanggal 11 Mei 1990. Bahwa baik pada saat pernikahan hingga perceraian, Almarhumah Swita Motiram masih berstatus warga negara asing yaitu

23

Urip Santoso, Op.cit., h. 398.

berkewarganegaraan India. Kemudian

Almarhumah Swita Motiram pada tanggal 13 Juni 1997 mengubah kewarganegaraan menjadi warga negara Indonesia. Setelah Almarhumah Swita Motiram menjadi warga negara Indonesia, ia tidak pernah mendaftarkan perkawinan dan perceraian yang dilakukan di Hongkong serta anak yang dilahirkan (Sunesh Rattan Ladharam) tersebut pada Kantor Pencatatan Perkawinan di Indonesia, sehingga ia menjadi warga negara yang berstatus lajang. Dengan tidak didaftarkannya bukti perkawinan, perceraian yang dilakukan di luar negeri (Hongkong) serta anak yang dilahirkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan di Indonesia maka Perkawinan, perceraian dan anak tersebut dianggap tidak ada atau tidak sah. Atas meninggalnya Almarhumah Swita Motiram pada tanggal 3 Nopember 2009 maka Kamlesh Motiram Kalwani dan Johny Motiram meminta untuk dikeluarkan Surat Keterangan Waris atas nama Kamlesh Motiram Kalwani dan Johny Motiram sebagai ahli waris dari almarhumah Almarhumah Swita Motiram. Namun yang keluar ialah Surat Keterangan Hak Mewaris Nomor : W7.AH.06.10-36/VII/2010 tanggal 19 Juli 2010 Tentang Hak mewaris atas harta peninggalan Almarhumah Swita Motiram yang hanya menyebutkan Sunesh Rattan Ladharam sebagai satu-satunya Ahli Waris dari Almarhumah Swita Motiram. Sehingga Kamlesh

Motiram Kalwani dan Johny Motiram

mengajukan gugaan dalam perkara ini terhadap Surat Keterangan Hak Mewaris Nomor : W7.AH.06.10-36/VII/2010 tanggal 19 Juli 2010.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat 2 UU Perkawinan yang berbunyi : “Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan

Perkawinan tempat tinggal mereka”.

Almarhumah Swita Motiram setelah ia menjadi warga negara Indonesia seharusnya melakukan pencatatan perkawinan, perceraian yang dilakukan di luar negeri (Hongkong) serta anak yang dilahirkan dicatatkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan di Indonesia, agar anak dari Almarhumah Swita Motiram dapat diakui oleh hukum di Indonesia. Demikian jelas sudah bahwa dengan tidak didaftarkannya Sunesh Rattan Ladharam pada Kantor Pencatatan Perkawinan di Indonesia, meskipun ia sebagai

(7)

anak dari Almarhumah Swita Motiram akan tetapi ia sebagai warga negara Asing, maka terhadapnya tidak bisa diberlakukan hukum yang berlaku di Indonesia.

Dengan turunnya Surat Keterangan Hak Mewaris Nomor : W7.AH.06.10-36/VII/2010 tanggal 19 Juli 2010 Tentang Hak mewaris atas harta peninggalan Almarhumah Swita Motiram yang hanya menyebutkan Sunesh Rattan Ladharam sebagai satu-satunya Ahli Waris dari Almarhumah Swita Motiram, Kamlesh Motiram Kalwani dan Johny Motiram merasa sangat dirugikan dimana tidak bisa untuk mengambil alih harta-harta atas peninggalan Almarhumah Swita Motiram. Sunesh Rattan Ladharam adalah sebagai Warga negara asing maka tidak berhak memperoleh Hak milik di Indonesia hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 1 UUPA yang berbunyi : “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Namun sebagai anak kandung dari ibunya Swita Motiram, Sunesh Rattan Ladharam berhak untuk mendapatkan waris dari ibunya misalnya dari harta bergerak milik ibunya tetapi ia tidak dapat memiliki hak milik atas tanah yang ada di indonesia dikarenakan ia merupakan warga negara asing.

Dikarenakan Sunesh Rattan Ladharam adalah sebagai seorang warga negara asing bukan sebagai warga negara indonesia oleh karena itu terhadapnya tidak bisa diberlakukan atas hukum waris yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, beralasan dan berdasarkan hukum Kamlesh Motiram Kalwani dan Johny Motiram mengajukan gugatan dalam perkara ini terhadap Surat

Keterangan Hak Mewaris Nomor :

W7.AH.06.10-36/VII/2010 tanggal 19 Juli 2010 untuk dinyatakan batal dan tidak sah. Bahwa oleh karena Almarhumah Swita Motiram merupakan warga negara Indonesia, bertempat tinggal di Indonesia dan memiliki aset-aset/harta peninggalan di Indonesia, maka sehubungan dengan pembagian warisan/harta peninggalan miliknya dilaksanakan berdasarkan ketentuan Hukum Waris Indonesia, yaitu berdasarkan Burgerlijk Wetboek.

Pasal 21 ayat 3 UUPA, pada pokoknya mengatur bahwa orang asing yang sesudah berlakunya Undang- undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, wajib

melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Berdasarkan aturan dimaksud, artinya Sunesh Rattan Ladharam sebagai warga negara asing dapat mewaris tanpa wasiat apabila, namun ia dalam jangka waktu 1 (satu) tahun harus melepaskan hak itu. Pelepasan hak dapat dilakukan dengan menjual hak milik yang diperolehnya kepada pihak lain. Namun dalam hal ini karena Almarhumah Swita Motiram tidak

pernah mendaftarkan perkawinan dan

perceraian yang dilakukan di Hongkong serta anak yang dilahirkan, maka Sunesh Rattan Ladharam tidak berhak atas warisan milik Almarhumah Swita Motiram yang ada di Indonesia.

E. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

a. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mengatur tentang anak yang lahir dari pasangan perkawinan dapat memiliki kewarganegaraan ganda.

Kepada mereka ini diberi

kewarganegaraan ganda terbatas sampai dengan usia 18 (delapan belas) tahun. Paling lambat 3 (tiga) tahun setelah mencapai usia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus

menyatakan pilihan

kewarganegaraannya, memilih untuk menjadi warga negara Indonesia atau menjadi warga negara asing. Terdapat 2 (dua) kategori anak yang harus memilih status kewarganegaraan, batasannya adalah pengesahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006. Pertama, anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006 adalah mereka yang sudah mengantongi Surat Keputusan Menkumham tentang Kewarganegaraan. Kedua, anak yang lahir sesudah 1 Agustus 2006 yang memiliki

affidavit atau surat keimigrasian yang dilekatkan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak berkewarganegaraan ganda.

b. Dengan meninggalnya pemilik tanah, maka hak miliknya secara hukum berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat sebagai subjek hak milik, namun

(8)

dalam hal ini yang membatasi ialah kewarganegaraan ganda dari anak tersebut. Apabila anak tersebut memilih warga negara Indonesia maka ia berhak untuk memiliki hak milik atas tanah. Dalam kasus yang telah disebutkan diatas dimana balai harta peninggalan mengeluarkan surat keterangan waris dari Swita Motiram yang menyatakan bahwa yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah anaknya yaitu Sunesh Rattan Ladharam yang merupakan warga

negara asing. Maka dengan

dikeluarkannya Putusan Nomor : 141/G/2010/PTUN-JKT menyatakan tidak sah Surat Keputusan Tergugat Nomor W7.AH.06.10-36/VII/2010, tanggal 19 Juli 2010 tentang Surat Keterangan Hak Mewaris yang diberikan kepada Sunesh Rattan Ladharam. Dikarenakan Sunesh Rattan Ladharam adalah sebagai seorang warga negara Asing bukan sebagai warga negara Indonesia, sebagai warga negara asing maka ia tidak berhak memperoleh Hak milik di Indonesia hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 1 UUPA yang berbunyi : “Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”.

2. Saran

a. Bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran untuk mendapatkan hak milik atas tanah yang ada di Indonesia sebaiknya pada saat usia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin untuk segera menyatakan menjadi warga negara Indonesia yang disampaikan kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dimana anak tersebut berada. Namun apabila menyatakan memilih warga negara asing maka maka anak tersebut wajib melepaskan hak milik tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak hak tersebut diperoleh.

b. Bagi warga negara Indonesia yang akan

melakukan perkawinan campuran

sebaiknya membuat perjanjian

perkawinan yang disahkan pegawai

pencatat perkawinan mengenai

pemisahan harta sama sekali, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan dimiliki masing-masing, serta hak dan kewajiban yang diperoleh sebelum atau setelah perkawinan menjadi tanggung jawab masing-masing. Dengan adanya perjanjian perkawinan maka harta asal suami dan istri tetap terpisah dan tidak terbentuk harta bersama. Sehingga bagi warga negara Indonesia masih memiliki kesempatan untuk memiliki hak atas tanah yang kepemilikannya terpisah dari pasangannya yang merupakan warga negara asing.

DAFTAR PUSTAKA Buku :

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata

Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014.

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.

Djaja S. Meiliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2013.

Djasadin Saragih, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1974. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan

Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990.

Irma Devita Purnamasari, Kiat-kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Mizan Pustaka, Bandung, 2014.

Nawawi dan Widyaiswara Madya, Perkawinan Campuran (Problematika Dan Solusinya),

Balai Diklat Keagamaan Palembang.

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010. R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum,

Pradnya Paramita, Jakarta, 1982.

Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Putusan :

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Putusan Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT.

(9)

Burgerlijk Wetboek (BW), Staatsblaad Tahun 1847 Nomor 23. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1917 Nomor 129.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634. Perubahan atas Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 113. Tambahan Lembaran Negara Nomor 1647.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini adalah bahwa alasan mengajukan permohonan dispensasi kawin dikarenakan pengajuan permohonan perkawinan ditolak oleh Kantor Urusan Agama

Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Lembaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari karakteristik responden diketahui : sebagian besar perawat mempunyai pengetahuan tentang SPO pencegahan risiko jatuh

Algoritma ini menggunakan nilai RGB pada gambar, apabila perbedaan nilai rata- rata RGB sebuah piksel pada frame input dan frame pembanding untuk posisi yang sama

Hasil dan pembahasan penelitian menunjukkan bahwa bentuk mitos Juk Rama Kae berupa cerita kepahlawanan dan kesaktian. Fungsi mitos bagi masyarakat Wonokoyo

MEA  akan  diberlakukan  tanggal  31  Desember  2015,  maka  akan  menyebabkan  aliran  tenaga  kerja  antar  negara  Asean  termasuk  Indonesia.  Kemungkinan 

Soewarso Hardjosoedarmo, Total quality management , Andi, 2004 Suryadi Prawirosentono, Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu. Abad 21: Kiat Membangun Bisnis Kompetitif ,

Rumah Sakit Pendidikan satelit se(a+aimana dimaksud dalam Pasal * huru. meru'akan rumah sakit umum -an+ di+unakan Institusi Pendidikan +una men.a'ai k)m'etensi tena+a kesehatan