ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA
AMBARAWA TENTANG POLIGAMI (Studi Putusan No.
1139/Pdt. G/2013/PA. Amb Dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb).
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Hukum Islam
Oleh: Ali Muktar NIM : 21211017
JURUSAN AHWAL AL- SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH
MOTTO
Sabar dalam menghadapi segala macam masalah dan bertindak
bijaksana dalam mengatasinya adalah sesuatu yang sangat
utama.
Hidup harus disyukuri, karena dengan bersyukur hidup kita jadi
tenang.
)هرقبلا( َّنُهَل ُس اَبِل ْمُتْنَا َو ْمُكَل ُس اَبِل َّنُه
Artinya :perempuan itu adalah pakaian bagikamu, dan kamu
PERSEMBAHAN
skripsi ini penulis persembahkan
kedua orang tuaku, karena dengan bimbingan dan kasih sayang motivasi dan do’anya
karena berkat beliaulah aku biasa melangkah kedepan untuk meraih cita-cita.
Adik-adikku yang selalu menyemangatiku.
Istriku Dwi Retnowati yang selalu mendukungku dan selalu menyemangatiku baik
susah maupun senang.
Bapak Drs. Machfudz. M.Ag selaku dosen pembimbingku yang tidak pernah lelah
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah
mengutus Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan agama yang hak, memberi
petunjuk kepada segenap manusia kejalan kebaikan, untuk kehidupan didunia dan
keselamatan diakhirat. Shalawat serta salam tidak lupa kami haturkan kepada Nabi
besar Muhammad Saw, semoga pada akhir kelak kita termasuk kedalam umatnya
yang mendapat syafaatnya.
Ahamdulillah dengan rasa syukur penulis, skripsi dengan judul: “ANALISIS
PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA AMBARAWA TENTANG
POLIGAMI (Studi Putusan No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb dan No. 0493/Pdt.
G/2014/PA. Amb)” ini telah selesai. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas dan
melengkapi syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1). Dalam Ilmu
Syari’ah pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai apabila tanpa bantuan dari berbagai
pihak yang telah berkenan meluangkan tenaga, fikiran dan waktunya guna
memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesaikannya
pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd., Selaku Rektor IAIN Salatiga, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M, Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
3. Bapak Sukron Makmun, M. Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah
(AS) IAIN Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun
skripsi ini.
4. Bapak Drs, Machfudz, M. Ag. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga terselesaikannya
penulisan skripsi ini,
5. Para Dosen Syari’ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta do’a selama
penulis menuntut ilmu di IAIN Salatiga.
6. Bapak Drs. H. Effendi Ramli, MH selaku Ketua Pengadilan Agama Ambarawa
yang telah berkenan memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian di
Pengadilan Agama Ambarawa
7. BapakDrs. H. Abdul Syukur, SH, M.H sebagai wakil sekaligus sebagai Hakim
Pengadilan Agama Ambarawa yang telah membantu memberikan informasi dan
data-data yang penulis butuhkan.
8. Bapak Drs. H. Salim, SH, MH sebagai Hakim pengadilan Agama Ambarawa
9. Panitera Pengadilan Agama Ambarawa dan juga para pegawai yang tidak dapat
kami sebutkan satu persatu yang turut membantu dalam pencarian data yang yang
penulis perlukan.
10.Ayahku Sudi dan Ibundaku Sa’diyah yang selalu memberikan do’anya dan
motivasinya, istriku Dwi Retnowati tersayang yang selalu menyemangatiku.
11.Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Semoga atas bantuan semua pihak sebagaimana disebutkan diatas mendapat
limpahan berkah dan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan Skripsi ini, saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi kasempurnaan tulisan ini serta
bertambahnya pengetahuan dan wawasan penulis.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat
bermanfaat khususnya bagi Akademika IAIN Salatiga dan semua pihak yang
membutuhkannya. Demikian, atas perhatiannya penulis sampaikan banyak
terimakasih.
Salatiga, 12 November 2015
Penulis
ABSTRAK
Muktar, Ali. 2015, AnalisisPutusan Hakim Pengadilan Agama Ambarawa Tentang Poligami (Studi Putusan No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb Dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb). Skripsi Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal Al -Syakhshiyyah (AS), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. DosenPembimbing : Drs. Machfudz M, Ag.
Kata Kunci : Analisis, Putusan Hakim, Pengadilan Agama, Poligami.
Poligami adalah salah satu masalah yang kontroversial yang berhubungan dengan system kekeluargaan. Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 4 ayat (2) tentang perkawinan, ada 3 alasan poligami yang dapat diterima oleh Pengadilan Agama yaitu, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Penelitian ini membahas tentang bagaimana prosedur poligami menurut Undang –undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi hukum Islam. Bagaiman dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No.1139/Pdt. G/2013/PA. Amb dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prosedur poligami menurut Undang–undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi hukum Islam. Dan untuk mengetahui Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara No.1139/Pdt. G/2013/PA. Amb dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb.
Dalam amar putusan No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb dilihat dari hukum materiil tidak tepat karena majelis Hakim membuat konstruki Hukum untuk melindungi calon istri kedua Pemohon dengan mengorbankan kepentingan Termohon. Sedangkan dalam amar Putusan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb, dilihat dari hukum materiil lebih tepat, karena majelis Hakim lebih menekankan nilai kepastian Hukum, keadilan dan nilai manfaat. Yaitu dengan menerapkan Hukum materiil yang berlaku.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Kegunaan Penelitian ... 8
E. Telaah Pustaka ... 9
F. Penegasan Istilah ... 11
G. Metode Penelitian ... 12
H. Sitematika Penulisan ... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Ketentuan Umum Tentang Poligami ... 16
1. Pengertian Poligami ... 16
2. Poligami Sebelum Islam ... 18
B. Poligami Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dan
Kompilasi Hukum Islam ... 24
1. Poligami Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 ... 24
2. Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 27
C. Hikmah Poligami ... 29
BAB III PUTUSAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI No. 1139/Pdt. G/2013/PA.Amb DAN No. 0493/Pdt. G/2014/PA.Amb A.Profil Pengadilan Agama Ambarawa ... 31
1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa ... 31
2. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Ambarawa ... 45
3. Struktur Organisasi ... 35
4. Kekuasaan Pengadilan Agama Ambarawa ... 37
a. Kompetensi Relatif ... 37
b. Kompetensi Absolut ... 38
B. Kasus Putusan No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb Dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb ... 41
1. Kasus Putusan Perrmohonan Ijin Poligami No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb ... 41
2. Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Terhadap Perkara No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb ... 48
3. Putusan Majelis Hakim Terhadap Perkara No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb ... 57
4. Kasus Putusan Permohonan Izin Poligami No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb ... 58
5. Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Terhadap Perkara No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb ... 67
6. Putusan Majelis Hakim Terhadap Perkara No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb ... 71
BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA AMBARAWA TENTANG IZIN POLIGAMI A.Kasus Perkara Putusan No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb Dan No. 0493/Pdt.G/2014/PA. Amb ... 73
2. Proses Penyelesaian Perkara Putusan No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb ... 78 B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum Putusan No.1139/Pdt.
G/2013/PA. Amb Dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb ... 82 1. Analisis Putusan No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb ... 83 2. Analisis Putusan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb ... 86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 71 B. Saran ... 74 C. Penutup ... 75
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Agama Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada
rosul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat disepanjang masa, yang pada
hakekatnya merupakan sistem Aqidah dan tata Kaidah yang mengatur segala
kehidupan Manusia dalam berbagai hubungan baik dengan Pencipta maupun
dengan sesama, Seperti hubungan dalam pernikahan.
Penikahan adalah ajaran yang sesuai, selaras dan sejalan dengan fitrah
manusia. Pada pernikahan ada benteng untuk menjaga diri dari godaan syetan,
menyalurkan kerinduan yang terpendam, mencegah kebrutalan nafsu, memelihara
pandangan, dan menjaga kemaluan. Pernikahan juga penenang jiwa melelui
kebersamaan suami-isteri, penyejuk hati dan motivasi untuk selalu beribadah
(Kisyik, 2005:17).
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 merupakan undang-undang
pertama di Indonesia yang mengatur soal perkawinan secara nasional. Sebelum itu
urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, yaitu: Hukum adat bagi warga
Negara Indonesia asli, hukum Islam bagi warga Negara yang beragama Islam,
kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon, Kitab Undang-undang Hukum Perdata bagi
warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan Cina, dan peraturan Perkawinan
Campuran bagi perkawinan campuran (Khusen, 2013:11).
Pada dasarnya asas dalam pernikahan adalah monogami, dimana seorang
suami hanya diperbolehkan beristeri satu. Namun pada kenyataannya tidak sedikit
terjadi dimasyarakat, seorang suami memiliki lebih dari seorang istri.
Poligami memiliki akar sejarah yang cukup panjang sepanjang sejarah
peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang kejazirah Arab, poligami
merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu
dapat disebut poligami tak terbatas. Lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan
diantara para isteri. Suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yang paling
disukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Para isteri
harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan
(Nuruddin, 2006:57).
Sebelum pemberlakuan UU No. 1 tahun 1974 di Indonesia, seorang
laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya
diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat
perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Oleh sebab itu pemerintah
mengeluarkan Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Undang-Undang tersebut mengatur tentang asas monogami, hanya apabila dikehendaki
suami dapat beristri lebih dari seorang. Meskipun hal tersebut dikehendaki oleh
pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila memenuhi dari
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan (Khusen, 2013:11).
Untuk kelancaran pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, telah
dikeluarkan peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 yang mengatur ketentuan
pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut. Dalam hal suami yang bermaksud
untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis
kepada Pengadilan Agama, kemudian di Pengadilan Agama akan memberikan
keputusan apakah permohonan tersebut dikabulkankan atau ditolak.
Pengadilan Agama dalam tugasnya memberikan putusan tentang
permohonan poligami, berpedoman pada aturan yang berlaku. Yaitu
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta
Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan kekuasaan mengadili atau menangani
perkara (Absolute Coupetensial) Pengadilan Agama berhak untuk menyelesaikan
perkara perkawinan poligami, dan mempunyai pertimbangan serta penafsiran
tentang poligami.
Bagi para pihak yang mengajukan permohonan poligami harus memenuhi
beberapa persyaratan yang ketat dan menunjukkan bukti-bukti serta
alasan-alasan yang kuat yang bisa diterima oleh Hakim Pengadilan Agama. Hakim
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara
secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan (Kode
etik dan pedoman perilaku Hakim, 2014:34),
Adapun alasan-alasan izin poligami yang dapat diterima oleh Pengadilan
Agama adalah seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 pasal 4 ayat (1) yaitu: “Dalam hal seorang suami akan beristri lebih
dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan didaerah tempat
tinggalnya”.
Pengadilan dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
3. Istri tidak bisa melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana
dimaksud pasal 4 ayat (1) Undang-undang perkawinan harus memenuhi pasal 5
ayat (1) a, b dan c, yaitu:
a. Adanya persetujuan dari istri-istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57, Pengadilan Agama
hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila:
1) Istri tidak menjalankan kewajiban sebagi seorang istri
2) Istri mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan
3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yaitu:
a) Adanya persetujuan istri-istri.
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka.
c) Adanaya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka”.
Dari kasus-kasus permohonan poligami yang diterima dan dikabulkan oleh
Pengadilan Agama Ambarawa ada beberapa alasan yang melatarbelakangi para
pihak mengajukan permohonan izin poligami. Ada kalanya mereka mengajukan
permohonan poligaminya tersebut karena istri mengalami cacat badan, dan ada
alasan-alasan tersebut memang sesuai dengan apa yang ada dalam Undang-Undang No.1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 57 tentang poligami.
Dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikabulkanya
permohonan izin poligami di Pengadilan Agama. Maka yang menjadi perhatian
penulis adalah perkara No. 1193/Pdt. G/2013/PA. Amb, bawa pada waktu
pemohon mengajukan pemohonan izin poligaminya termohon (isteri) dapat
melahirkan keturunan, termohon juga tidak cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan, selama ini termohon juga menjalankan kewajibannya sebagai
isteri. Permohonan ini dikabulkan oleh Hakim dengan alasan termohon rela dan
tidak keberatan pemohon menikah lagi, Selain itu permohonan Pemohon menurut
hakim telah memenuhi pasal 4 (1) huruf (b). Pasal 5 (1) huruf (a), (b) dan (c)
Undang-Undang No.1 tahun 1974. Pasal 55 ayat (2). Pasal 58 ayat (2) huruf (a)
dan (b) kompilasi hukum Islam. Disamping itu oleh karena calon isteri kedua
Pemohon ternyata tunawicara (penyandang Disabilitas) yang telah disetubuhi
Pemohon yang mengakibatkan hamil sekitar 5 bulan.
Sedangkan perkara izin poligami No. 0493/Pdt. G/PA. Amb, Pemohon
mengajukan permohonan izin poligami dengan alasan isteri tidak dapat
menjalankan kewajibanya sebagai isteri dan Termohon juga rela kalau pemohon
menikah lagi dengan calon isteri kedua Pemohon. Namun hal tersebut tidak
terbukti, karena termohon tidak rela kalau Pemohon mau menikah lagi. Akan
tetapi selama ini Pemohon mempunyai hubungan istimewa dengan calon isteri
anak hasil hubungan dengan Pemohon yang sekarang berumur 5 bulan. Akan
tetapi permohonan Pemohon ditolak dengan alasan surat pernyataan bersedia
dipoligami, tanggal 28/05/2014, bermaterai cukup dan dibantah oleh Termohon,
majelis berpendapat bukti tersebut harus dikesampingkan. Majelis Hakim juga
berkesimpulan alasan permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat baik
Komulatif maupun Alternatif sehingga tidak beralasan hukum sebagaimana yang
telah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) huruf (c), Pasal 5 ayat (1) huruf (a), (b)
dan (c) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 55 ayat (2),
Pasal 58 ayat (1) huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam, maka Majelis Hakim
berpendapat permohonan izin Poligami Pemohon patut ditolak
Dalam hal ini Hakim sebagai pihak yang berwenang memutuskan perkara
izin poligami tentunya mempunyai pertimbangan-pertimbangan serta
kriteria-kriteria tertentu dalam mengabulkan perkara poligami dengan berbagai alasan
yang diajukan kepadanya, karena memang Hakim berwenang untuk menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dimasyarakat dengan
tanpa mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada
(Undang-Undang Kehakiman Tahun 2004).
Dari urain di atas tersebut, penulis bermaksud meneliti, ’’Analisis Putusan
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan konteks latar belakang diatas, maka penulis menetapkan
beberapa rumusan masalah yang diantaranaya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur poligami menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan Kompilasi hukum Islam?
2. Bagaimana dasar hukum yang dipergunakan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb dan No. 0493/Pdt.
G/2014/PA. Amb?
C.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui prosedur poligami menurut Undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dasar yang dipergunakan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb dan
No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb.
D.Kegunaan Penelitian
Penelitian ini sangat berguna bagi penulis khususnya dan masyarakat pada
umumnya, adapun kegunaan penelitian ini sebagai berikut:
a. Dapat menambah pengetahuan dalam mempelajari dan mendalami ilmu
Hukum khususnya tentang permohonan izin poligami di Pengadilan Agama.
b. Untuk pengembangan ilmu Hukum dan penelitian Hukum serta berguna
untuk masukan bagi praktik penyelenggara dibidang Hukum Perkawinan
terutama terkait dengan masalah poligami masa kini dan masa yang akan
datang.
c. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1) Bagi Hakim
Dapat menerapkan kaidah-kaidah Hukum secara benar dan tepat
dalam mempertimbangkan dan menetapkan dasar Hukum yang dipakai
dalam permasalahan pemberian izin poligami.
2) Bagi Para Pihak
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan berkaitan dengan
pemberian izin poligami. Serta dapat menjadi solusi masalah terkait
dengan kasus poligami.
3) Bagi mahasiswa
Dapat menambah ilmu dan wawasan khususnya mahasiswa
jurusan syari’ah.
E.Telaah pustaka
fahaman dan untuk membedakan kajian ini dengan kajian sebelumnya, Maka
penulis akan sebutkan beberapa buku tentang poligami antara lain:
Skripsi Siti zuaidah yang berjudul, ‘’Poligami Dalam Prespektif Hukum
Islam (Analisis Terhadap Keadilan Suami Sebagai Syarat Dalam Poligami).
Menjelaskan bahwa Islam tidak datang dengan membaawa anjuran untuk
poligami, melainkan justeru membatasinya. Selain itu ia juga menegaskan bahwa
keadilan suami sebagai syarat poligami merupakan indikasi Islam berusaha
mengakat derajat wanita yang pada saat itu dipermalukan seperti budak sekaligus
memelihara hak-hak nya.
Dr. Musfir Al-jahrani dalam bukunya yang berjudul, ’’Poligami Dari
Berbagai Persepsi’’. Menjelaskan tentang definisi, jenis, sejarah dan hikmah
poligami.
Prof. Dr. H. Ali Zainuddin dalam bukunya yang berjudul,’’Hukum Perdata
Islam’’. Menjelaskan tentang alasan, syarat dan prosedur poligami.
Dr. Abdul Nasir Taufiq Al’Atthar dalam bukunyan yang berjudul,
’’Poligami Dari Berbagai Persepsi’’. Menjelaskan tentang definisi, jenis, sejarah
dan hikmah poligami.
Siti Musdah Mulia dalam bukunya yang berjudul, ’’Islam Menggugat
Poligami”. Menjelaskan tentang makna poligami, sejarah asal-usul poligami,
Fungsi dilakukannya telaah pustaka terhadap buku-buku dan skripsi-skrisi
adalah untuk membedakan antara penelitian yang akan dilakukan dengan
penelitian sebelumnya.
F. Penegasan istilah
Untuk memahami judul sebuah skripsi perlu adanya pendefinisian judul
secara terperinci, dengan maksud dapat diketahui secara jelas. Maka penulis perlu
memberikan penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah judul tentang.
’’Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Ambarawa Tentang Izin Poligami
(studi putusan No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA.
Amb). Istilah-istilah tersebut adalah:
a. Analisis adalah penyelidikan sesuatu peristiwa, untuk mengetahui apa
sebab-sebabnya dan bagaimana duduk perkaranya (poerwadarminta, 2006:37).
Analisis mengandung arti suatu uraian pikiran yang mendalam, sistematis, dan
rasional (Abdul fatah, 2010:6).
b. Putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum (Arto, 1998:245).
c. Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan (Farkhani, 2011:80).
d. Poligami adalah seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu isteri (Rahman
G.Metode penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting. penelitian yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini merupakan penelitian pustaka (library
research). Yaitu sebuah penelitian yang menggunakan informasi yang diperoleh
dari buku-buku atau terbitan-terbitan resmi pemerintah (Saerozi, 2008:46).
1. Pendekatan penelitian
a. Pendekatan normatif, yaitu dengen mendekati masalah yang akan diteliti
dengan mendasarkan pada Al-qur’an, Hadist, Kaidah Fiqih, Serta pendapat
ulama’ yang ada kaitannya dengan masalah poligami.
b. Pendekatan yuridis, yaitu cara mendekaati masalah yang di teliti dengan
mendasarkan pada aturan perudang-undangan yang berlaku, yaitu UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam (KHI).
2. Pengumpulan data
a. Dokumentasi, Yaitu cara memperoleh data dengan cara menelusuri dan
mempelajari data berupa dokumen terutama dari salinan putusan Pengadilan
Agama Ambarawa No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb dan No. 0493/Pdt.
G/2014/PA. Amb yang merupakan sebagai data primer.
b. Metode Interview, yaitu metode pengumpulan data dengan jalan tanya-jawab
yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan tujuan penyelidikan.
Metode interview ini penulis pergunakan sebagai metode penunjang dalam
teknik pengumpulan data. Adapun wawancara yang dilakukan dalam
kepada majelis hakim yang memutus dua perkara yang dibahas dalam
skripsi ini.
3. Lokasi dan kehadiran peneliti
Lokasi penelitian ini adalah di Pengadilan Agama Ambarawa karena
setiap masyarakat yang ingin berpoligami harus mendapat ijin dari Pengadilan
Agama setempat. Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen
sekaligus menjadi pengumpul data. Kehadiran penulis dilapangan sangat
diperlukan, Penulis berperan sebagai partisipan penuh membaur dengan
subjek atau informan.
4. Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah diperoleh, kemudian dianalilis
dengan metode Conten Analist. yaitu menganalisis mengenai isi dari sebuah
keputusan. Pendekatan analisis (analicial apoach), yaitu mengetahui yang
terkadang oleh istilah-istilah yang digunakan dlam peraturan
Perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam
praktek dan putusan-putusan hukum.
Metode ini Penulis gunakan untuk mengetahui kesamaan dan
perbedaan dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dalam
menyelesaikan perkara permohonan izin poligami, dalam hal ini difokuskan
pada Putusan Hakim Pengadilan Agama Ambarawa No. 1139/Pdt.
H.Sistematika Penulisan Skripsi
Sebagi karya ilmiah Skripsi disusun berdasarkan hasil penelitian
lapangan, maka dalam sistematika penulisan skripsi menggambarkan struktur
organisasi penyusunan yang dapat dijelaskan dalam beberapa Bab. Adapun
uraiannya sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, sistematika Penulisan.
Bab II: Kajian pustaka, yaitu memberi gambaran mengenai ketentuan
umum tentang poligami, meliputi: Pengertian poligami, poligami sebelum Islam,
dasar hukum poligami, poligami menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974.
Poligami menurut Kompilasi Hukum Islam dan hikmah poligami.
Bab III: Berisi tentang Putusan Permohonan izin poligami No. 1139/Pdt.
G/203/PA. Amb dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb. Terdiri dari: Sekilas
tentang sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa, visi dan misi
Pengadilan Agama Ambarawa, struktur organisasi, kekuasaan Pengadilan Agama
Ambarawa, kasus Putusan No.1139/Pdt. G/2013/PA. Amb dan No. 0493/Pdt.
Bab IV: Berisi tentang analisis Putusan hakim Pengadilan Agama tentang
poligami, meliputi: penyelesaian perkara putusan No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb
dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb dan analisis Putusan No. 1139/Pdt.
G/2013/PA. Amb dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb.
Bab V: Penutup yang merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang berisi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ketentuan Umum Tentang Poligami
1. Pengertian Poligami
Secara etimologis kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu
gabungan dari dua kata ”poli” atau ” polus” yang berarti banyak dan
”gamein” atau ”gamos” yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami
berarti perkawinan yang banyak (Nasution,1996:84). Artinya beristeri banyak.
Secara terminologi, Poligami yaitu seorang laki-laki beristeri lebih dari
seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.
Secara istilah poligami memiliki arti, perbuatan seorang laki-laki
mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat isteri dan tidak boleh
lebih dari itu (Abdurrahman, 2003:25). Poligami adalah ikatan dalam hal yang
mana suami mengawini lebih dari satu isteri dalam waktu yang sama.
Laki-laki yang melakukan perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligam
(Musdah Mulia, 2004:43)
Poligami menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ikatan
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
didefinisikan sebagai perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang
isteri dengan batasan maksimal empat.
Melihat makna dan tujuan perkawinan adalah merupakan ibadah maka
prinsip poligami dan monogami itu adalah sebagai berikut:
a. Dalam Islam dilarang hubungan seksual diluar perkawinan, dengan
larangan yang nyata.
b. Dalam Islam diwajibkan orang bertindak adil dan bertanggung jawab.
c. Dalam memperbolehkan poligami, Islam mensyaratkan keadilan dan
tanggung jawab supaya terpenuhi. Sementara itu, apabila faktor-faktor
yang mendukung tercapainya tujuan perkawinan dengan isteri yang
pertama belum terpenuhi, misalnya, tidak mendapat keturunan, hubungan
seksual yang tidak seimbang, dan sebagainya, maka poligami boleh
dilakukan.
d. Tidak tercapainya tujuan berkeluarga merupakan persoalan keluarga.
Dalam mengatasi persoalan keluarga tersebut Islam menggariskan adanya
musyawarah antara suami-isteri. Termasuk dalam poligami, hendaknya
dilakukan atas dasar musyawarah dengan isteri pertama (Daraadjat,
1995:62-63).
Islam membolehkan kawin poligami, tetapi membatasi jumlahnya
tidak lebih dari empat dengan syarat harus berlaku adil. Kalau sekiranya
monogami. Sebenarnya berlaku adil sangat berat hampir-hampir manusia
tidak dapat melakukannya, disamping itu Islam tidak menutup rapat manuia
untuk melakukan poligami, apabila dipelukan secara shah dan bertanggung
jawab, bukan sembunyi-sembunyi, seperti memelihara gundik dan memenuhi
kebutuhan seksualnya dengan wanita tunasusila (Departemen Agama Repubik
Indonesia, 1985:79).
2. Poligami Sebelum Islam
Peraturan perkawinan poligami sudah dikenal sebelum Islam disetiap
masyarakat yang berperadaban tinggi maupun masyarakat yang masih
terbelakang, baik penyembah berhala maupun bukan. Masyarakat Arab
sebelum Islam, seorang laki-laki berhak menikahi sejumlah wanita yang
dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat (Jahrani, 1996:36).
Setelah Agama Islam datang dengan membawa pesan moral
kemanusiaan yang tidak ada bandingnya dalam agama manapun. Kebebasan
poligami tidak langsung dihapuskan akan tetapi melakukan perubahan sesuai
petunjuk kandungan Alquran suarat An-nisa’ ayat 3 yaitu: yang pertama
adalah membatasi jumlah bilangan istri hanya empat, yang kedua menetapkan
untuk berlaku adil terhadap semua istri.
Harist ibn Qais berkata, “saya masuk Islam, dalam keadaan punya
delapan istri; lalu saya datang menghadap Rosuluallah Saw, dan melaporkan
اًعَبْرَا َّنُهْنِم ْرَتْحِا
Artinya: pilihlah empat diantara kamu.
Abdullah ibn Umar menerangkan: “Ghalian masuk Islam bersama-sama
dengan sepuluh orang istrinya yang dinikahinya pada masa Jahiliyah; lalu
Rasulullah menyuruh supaya ia memilih empat diantara istri-istrinya itu” (Al
-Atthar, 1976:125).
Dengan demikian, praktek poligami dimasa Islam sangat berbeda
dengan praktek sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal yaitu:
a. Bilangan istri, dari yang tidak terbatas menjadi terbatas jumlahnya
menjadi empat.
b. Syarat poligami, dari yang tidak mengenal syarat kemudian disyaratkan
harus mampu berlaku adil.
Jadi Islam bukan membuat Undang-undang poligami akan tetapi
hanya membatasi poligami itu dengan beberapa ketentuan dan jumlah tertentu
(Hamidy, 1980:42). Al-Aqqad, ulama’ dari Mesir menyimpulkan bahwa Islam
tidak mengajarkan poligami, tidak juga memandang positif apalagi
mewajibkan, Islam hanya membolehkan dengan syarat yang ketat (Mulia,
2004:45).
Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan, tujuan
mereka yang dahulu terabaikan karena poligami yang tanpa ikatan,
persyaratan, dan jumlah tertentu (Jahrani, 1996:38).
3. Dasar Hukum Poligami
Poligami atau dikenal dengan ta’addud zawaj, menurut Ustadz Ahmad
Sarwat, Lc., pada dasarnya hukumnya mubah atau boleh bukan wajib juga
bukan sunnah (Fathurrahman, 2007:25). Asas monogami ini telah diterapkan
dalam Islam sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan
untuk landasan dan modal utama guna membina keluarga yang harmonis,
bahagia dan sejahtera (Zuhdi, 1994:12). Adapun dasar poligami disebutkan
dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 2-3 yaitu:
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah
dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. an-Nisa’: 2-3).
Sebab turunnya ayat ini, diterangkan dalam riwayat Aisyah r.a
isteri Rasulullah saat menjawab pertanyaan Urwah bin zubair r.a. tentang
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, Aisyah r.a. menjawab:
“Wahai kemenakanku, ayat ini mengenai anak perempuan yatim, ia dalam
penjagaan walinya dan hartanya telah bercampur dengan harta walinya. Si
wali tertarik pada harta dan kecantikan anak itu, maka ia ingin menikahinya
tanpa membayar mahar secara adil, sebagaimana pembayaran mahar dengan
perempuan lain. Maka mereka dilarang menikahi anak yatim itu kecuali
mereka berlaku adil kepada mereka dan mereka memberikan mahar yang
layak kepada mereka dan mereka dianjurkan untuk menikahi wanita lain
yang mereka senangi”. Berdasarkan riwayat diatas, dapat disimpulkan
mengapa ada kaitan antara perintah memelihara anak yatim perempuan
dengan kebolehan beristeri lebih dari satu sampai dengan empat, karena ayat 3
dari surat an-Nisa’ ini sebagai sambungan dari ayat sebelumnya tentang
memelihara harta anak yatim. Pada ayat 2 surat yang sama, telah dijelaskan
dan diperingatkan jangan sampai ada aniaya dan curang terhadap anak yatim.
Menurut Abduh, disinggungnya persoalan poligami dalam konteks
pembicaraaan Anak yatim bukan tanpa alasan. Hal itu memberikan pengertian
bahwa persoalan poligmi identik dengan persoalan Anak yatim dan tidak lain
karena dalam persoalan tersebut terkandung masalah yang yang mendasar,
yaitu masalah ketidak adilan (Mulia, 2004:96).
Sebagai mana persoalan-persoalan, dimana manusia tidak dapat
hubungan seksual walaupun mereka sangat menginginkannya. Hal ini seperti
dijelaskan dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 129 yaitu:
janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kaamu biarkn yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah maha pengampun, Maha penyayang
(Chasanah, 2008:169).
Keadilan yang dimaksud adalam ayat ini ialah memberikan kecintaan
Aisyah dari pada mencintai yang lain, karena pegetahuannya dan kecerdasan
Aisyah. Maka Ia bersabda seusai menggilir isteri-isterinya dalam setiap hal
yang memungkinkan ia berlaku adil. Ia berkata sebagai berikut, ”Ya Tuhanku!
Inilah pembagianku yang bisa kumiliki, karena itu jangan Engkau mencela
aku tentang sesuatu yang Engkau miliki tetapi aku tidak memilikinya” HR.
Ahmad, abu Daud dan Nasai).
Islam memperbolehkan poligami dengan tiga persyaratan dasar yaitu:
a) Poligami tidak boleh menjadi penyebab kekacauan urusan-urusan
keluarga; kesucian dan kebaikan keluarga harus benar-benar dijaga.
b) Jumlah istri tidak boleh lebih dari empat.
c) Bersikap adil, dalam hal-hal yang bersifat material atau lahiriyah terhadap
semua istri (Hathount, 2004:90).
B.Poligami Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam.
1. Poligami menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Berdasarkan peraturan pemerintah (PP) No. 9 tahun 1979 tentang
pelaksanaan Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, pasal 40 PP No. 9
tahun 1979 menyebutkan, “apabila seorang suami bermaksud untuk beristri
lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis
Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 4 ayat (1) disebutkan dalam
hal seorang akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal
3 ayat (2) Undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan ke
Pengadilan didaerah tempat tinggalnya (Khusen, 2012:12).
Undang-undang perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut
asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan. Ketentun
ini terdapat dalam pasal (3) ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
a. Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,
seorang isteri hanya boleh mepunyai seorang suami
b. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan
Sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (1) Undang-undang
perkawinan, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya (Khusen, 2013:12). Pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan, serta Hukum dan Agama yang
bersangkutan mengizinkan.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 4 tentang perkawinan
menjelaskan bahwa seseorang yang berpoligami harus memiliki alasan yang
1) Seorang istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Hal ini
seorang suami dapat mengajukan izin poligami ke Pengadilan Agama.
2) Istri mendapat cacat badan yang tidak dapat di sembuhkan.
3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Apabila seorang istri tidak bisa
melahirkan keturunan atau mandul maka seorang suami dapat mengajukan
permohonan poligami, karena mendapatkan keturunan adalah salah satu
tujuan dari pernikahan.
Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c) Adanya kepastian bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
Setelah menerima permohonan izin poligami, tugas Pengadilan
selanjutnya diatur dalam pasal 41 PP No. 9/1975. Pengadilan kemudian
memeriksa mengenai ada atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang
suami kawin lagi, ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, ada tidaknya
mereka dan yang terakhir ada tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak anak metreka.
Apabila alasan-alasan dari seorang suami memang kuat dan sudah
sesuai dengan persyaratan, maka pengadilan harus memberi keputusan bagi
suami untuk mengabulkan permohonan izin poligami. Apabila tidak memenuhi
syarat dan alasan yang kurang kuat maka pengadilan dapat menolak
permohonan suami untuk poligami.
2. Poligami Menurut Kompilasi hukum Islam
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal (56)
menyebutkan, “bahwasanya apabila ada seorang suami yang mempunyai
keinginan untuk menikah lebih dari satu orang, harus mengajukan
permohonan ke Pengadilan Agama, untuk memperoleh izin menikah lebih
dari satu mengenai pengajuan permohona izin untuk menikah lagi ke
Pengadilan Agama harus melalui tata cara dan peraturan yang sudah diatur
dalam Undang-undang.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57 ayat (a), (b) dan (c)
diterangkan bahwa, Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
Selain alasan-alasan diatas, untuk dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Agam sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
perkawinan pasal 5 ayat (1) harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Adanya persetujuan dari istri-istri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka
Sedangkan dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam pasal 55 adalah sebagai berikut:
a) Beristri lebih dari seorang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai
empat istri.
b) Syarat utama untuk beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
c) Apabila syarat utama pada ayat (2) tidak mungkin terpenuhi, maka suami
dilarang beristri lebih dari seorang.
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 58 menyebutkan, selain syarat
utama yang tersebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin dari
Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada
Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami
meskipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh
Undang-undang Perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak,
melainkan disebut monogami terbuka atau monogami yang tidak bersifat
mutlak. Poligami ditempatkan dalam status Hukum darurat (emergency law),
atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumstance). Disamping
itu poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami akan tetapi
kewenangan Hakim.
C.Hikmah Poligami.
Kebolehan poligami yang telah ditetapkan al-Qur’an memiliki beberapa
hikmah yang dapat diambil, antara lain:
1. Untuk memberi kesempatan bagi laki-laki memperoleh keturunan dari
isteri kedua, jika isteri pertama mandul, karena tujuan pernikahan pada
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, ”(QS.
an-Nisa’: 1).
2. Untuk menghindarkan laki-laki dari perbuatan zina, jika isterinya tidak bisa
dikumpuli karena terkena suatu penyakit yang berkepanjangan.
3. Untuk memberi kesempatan bagi perempuan yang terlantar, agar mendapatkan
suami yang berfungsi untuk melindunginya, memberinya nafkah hidup serta
melayani kebutuhan biologisnya.
4. Untuk menghibur perempuan yang ditinggal mati suaminya di medan
peperangan, agar tidak merasa kesepian.
5. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di
Negara atau masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari
6. Bila isteri telah tua, dan mencapai umur ya’isah (tidak haid) lagi, kemudian
sang suami berkeinginan mempunyai anak, dan ia mampu memberikan nafkah
kepada lebih dari seorang isteri, mampu pulamenjamin kebutuhan
BAB III
PUTUSAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI No. 1139/Pdt. G/2013/
PA. Amb dan No. 0498/Pdt. G/2014/PA.Amb.
A. Profil Pengadilan Ambarawa
1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa
Sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Peradilan yang ada di Indonesia adalah beraneka
nama dan dikategorikan sebagai peradilan kuasai, karena berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, maka semua putusan pengadilan Agama
harus dikukuhkan oleh peradilan umum (Rasyid, 2009:1).
Kemudian dalam pasal pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1986 tentang
peradilan Agama dinyatakan bahwa, Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pengadilan Agama Ambarawa pada awal berdirinya menempati sebuah
gedung yang terletak di Jl. Ki Sarino Mangunpranoto No. 2 Ungaran, dengan
Negara (Departemen Agama) yang diperoleh dari Bagian Proyek
Pembangunan Balai Sidang Pengadilan Agama Ambarawa, dengan Berita
Acara tertanggal 7 Nopember 1985 Nomor : Bagpro/PA/105/XI/1985.
Dalam perkembangannya, Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran
kemudian dipindah ke Ambarawa, sesuai dengan Surat Keputusan Kepala
Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
46/BUA-PL/S-KEP/XII/2006, tanggal 13 Desember 2006 Tentang Pengalihan Fungsi
Penggunaan Bangunan Kantor Lama Pengadilan Negeri Ungaran di
Ambarawa menjadi Kantor Pengadilan Agama Ambarawa, yang ditindak
lanjuti dengan penyerahan sertifikat tanah sesuai berita acara serah terima
tanggal 14 April tahun 2008, maka diserahkanlah sertifikat tanah Hak Pakai
Nomor 11 Tahun 1996 Luas tanah 3.948 M2 dengan nama Pemegang Hak
Departemen Kehakiman RI Cq Pengadilan Negeri Ambarawa yang terletak di
Jl. Mgr. Soegiyopranoto No. 105 Kelurahan Ngampin, Kecamatan Ambarawa
yang telah dialih fungsikan berdasarkan Peraturan Bersama Menteri
Keuangan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
: 186/PMK.06/2009, No. 24 Tahun 2009 tgl 18/II/2009 (DI. 208 3209 tgl 28
Februari 2013, DI 307 6310 tgl 28 Februari 2013) atas nama Pemerintah
Republik Indonesia c.q. Mahakamah Agung RI, dengan batas-batas sebagai
berikut:
c. Sebelah Selatan : Jalan raya Semarang-Magelang;
d. Sebelah Barat : Kebun milik perorangan;
Sesuai dengan SK Menteri Agama Nomor 76 Tahun 1983 Tentang
Penetapan dan Perubahan wilayah hukum Pengadilan, bahwa Pengadilan
Agama Ambarawa adalah meliputi sebagian wilayah Kabupaten Daerah
Tingkat II Semarang, yang terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan dan sampai
sekarang telah mengalami pengembangan menjadi 10 Kecamatan, yaitu :
1) Kecamatan Ungaran Barat;
2) Kecamatan Ungaran Timur;
3) Kecamatan Bergas;
4) Kecamatan Pringapus;
5) Kecamatan Bawen;
6) Kecamatan Ambarawa;
7) Kecamatan Sumowono;
8) Kecamatan Banyubiru;
9) Kecamatan Jambu;
10) Kecamatan Bandungan
2. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Ambarawa
Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa sehingga
kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai, dibawah
lindungan Allah swt.
b. Misi
1) Mewujudkan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati nurani
2) Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari
campur tangan pihak lain
3) Meningkatkan pelayanan dibidang peradilan kepada masyarakat
sehingga tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan
4) Meningkatkan kufwalitas sumber daya manusia aparat peradilan
sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara professional
dan proposional
5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan bermartabat
dalam melaksanakan tugas
6) Menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara
yang diajukan oleh umat Islam Indonesia dibidang, Perkawinan,
Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Sadaqah dan ekonomi
3. Sruktur Organisasi
Struktur organisasi Pengadilan Agama Ambarawa berdasarkan KMA
Nomor. 004/SK/11/1992 adalah sebagai berikut:
Ketua :Drs. H. Effendi Ramli, MH
Wakil Ketua :Drs. H. Abdul Syukur, SH, MH
Hakim :Drs. H. Fuad
:Drs. H. Salim, SH, MH
:Drs. Sapari, Msi
:H.Abdul Kholiq, SH, MH
:Drs. syamsyuri
Panitera/sekretaris :Subandriyo, SHi
Wakil Panitera :Hj. Robikah Maskimayah, SH
Wakil Sekertaris :Siti Khalimah, SH
Panitera Muda Hukum :Mu’asyarotul Azizah, SH
Panitera Muda Gugatan :Saefudin, SH
Panitera Pengganti :Drs. Hj. Siti Zulaikhah
:Masykuri. SH
:Siti Novida Subyanti, SH
:Hj. Dahlia, SH
Jurusita Pengganti :Gogod Widiantoro, SH
:Naliatussa’adah, A.Md
:Syaiful Rijal, A.Md
:Ana Jatmikowati, S.Pdi
:Adnani
Kasubag Keuangan :Aulia Ardiansyah S.,SH
Kasubag Kepegawaian :M. Yusuf Perdana, SH
Pramubakti :Ikhwan Syaifuddin
:Sunarno
:Siti Surami, SHi
:Muhtar Shokhib, SHi
:M. Rajif Andriyanto, Shi
:Ikhwan Saifuddin, Shi
:M. Ridlallah zia Asyhar, S.Sy
4. Kekuasaan Pengadilan Agama Ambarawa
Kata “kekuasaan” disini sering disebut juga dengan “Kompetensi”,
yang berasal dari bahasa belanda “Competentive”, yang kadang-kadang
diterjemahkan juga dengan “Kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut
dianggap semakna (Rasyid, 1998:25). Kompetensi atau kekuasaan pengadilan
pada masing-masing lingkungan terdiri atas kekuasaan relatif (relative
competentie) dan kekuasaan mutlak (absolute competentie).
a. Kekuasaan Relatif
Kekuasaan Relatif adalah pembagian kekuasaan antar PA
berdasarkan wilayah Hukum (Arto, 1998:44), kekuasaan dan wewenang
yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama
atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah Hukum antar
Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama.
Pengadilan Agama mempunyai wilayah Hukum tertentu atau
dikatakan mempunyai “Yurisdiksi relatif” tertentu, dalam hal ini meliputi
pengecualiaan, mungkin lebih atau mungkin kurang, contoh, di Kabupaten
Riau Kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi
transportasi sulit (Rasyid, 1998:26).
Adapun wewenang Relatif Pengadilan AgamaAmbarawa adalah
meliputi Pemerintahan Daerah Kabupaten Ambarawa, Yang termasuk
dalam wilayah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kecamatan Ungaran Barat;
2. Kecamatan Ungaran Timur;
3. Kecamatan Bergas;
4. Kecamatan Pringapus;
5. Kecamatan Bawen;
6. Kecamatan Ambarawa;
7. Kecamatan Sumowono;
8. Kecamatan Banyubiru;
9. Kecamatan Jambu;
10. Kecamatan Bandungan
b. Kompetensi Absolut
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan, dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat
Kompetensi absolut dari Pengadilan Agama adalah memeriksa,
mengadili dan memutus perkara-perkara orang yang beragama Islam.
Kompetensi Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang
Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 pasal
49 tentang Peradilan Agama, yakni dibidang:
1. perkawinan,
2. waris,
3. wasiat,
4. hibah,
5. wakaf,
6. zakat,
7. Infaq,
8. shadaqah; dan
9. ekonomi syari'ah.
Pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal
yang diatur dalam atau berdasakan Undang-undang mengenai perkawian
yang berlaku. Pasal 49 ayat (2) ini dalam penjelasannya dirinci lebih lanjut
yaitu:
b) Izin melangsungkan bagi orang yang belum berumur 21 tahun, dalam
halo rang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat.
c) Dispensasi kawin.
d) Pencegahan perkawinan.
e) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
f) Pembatalan perkawinan.
g) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami istri.
h) Perceraian karena thalaq.
i) Penyelesaian harta bersama.
j) Penguasaan anak.
k) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak mampu memenuhinya.
l) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupanoleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri’
m) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak.
n) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
o) Pncabutan kekuasaan Wali.
p) Penunjukan orang lain sebagai Wali oleh Pengadilan dalam hal
q) Menunjuk seseorang dalam hal seorang anak yang belum cukup berumur
18 tahun yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukan Wali oleh orang tuanya.
r) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap Wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaanya.
s) Penetapan asal-usul anak.
t) Putusan tentang penolakan pemberian keterangan melakukan perkawinan
campuran.
u) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang berlaku yang dijalankan menurut
peraturan yang lain (Ali, 199:257-258).
B.Kasus Putusan No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb dan No. 0493/Pdt. G/2014/PA. Amb.
1. Kasus Putusan Permohonan Ijin Poligami No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb
Dalam perkara No. 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb tentang izin Poligami
diajukan oleh Pemohon NA melawan Termohon NR. Pemohon mengajukan
permohonan izin poligami tanggal 21 November 2013, yang terdaftar dalam
Berdasarkan surat permohonan ijzin poligami tanggal 21 Nopember
2013 yang terdaftar dalam kepaniteraan Pengadilan Agama Ambarawa
Nomor: 1139/Pdt. G/2013/PA. Amb telah mengajukan hal-hal sebagi berikut:
a. Bahwa pada tanggal 28 desember 1994, Pemohon dan Termohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai pencatat nikah
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sumowono, Kabupaten
Semarang.
b. Setelah pernikahan tersebut Pemohon dan Termohon bertempat tinggal
dirumah pribadi Pemohon di Kecamatan Sumowono selama 18 bulan 10
bulan.
c. Bahwa selama pernikahan tersebut Pemohon dan Termohon telah hidup
rukun layaknya suami isteri dan dikaruniai 2 orang anak, anak pertama
bernama TW umur 19 tahun dan sekarang sudah menikah dan anak kedua
RW umur 14 tahun sekarang diasuh oleh Pemohon dan Termohon.
d. Bahwa Pemohon hendak menikah lagi (poligami) dengan seorang
Perempuan:
Nama : calon isteri kedua Pemohon.
Umur : 36 tahun.
Agama : Islam.
Tempat kediaman : Kabupaten Semarang.
Yang akan dilangsungkan dan dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Sumowono, Kabupaten
Semarang, karena calon isteri kedua telah hamil 6 bulan.
e. Pemohon mampu memenuhi kebutuhan hidup isteri-isteri Pemohon beserta
anak-anak, karena pemohon bekerja sebagai Buruh petani, tukang batu dan
jual beli hewan ternak dan mempunyai penghasilan setiap bulnnya rata-rata
sebesar Rp.3.000.000 (tiga juta rupiah).
f. Pemohon sanggup berlaku adil terhadap isteri-isteri pemohon.
g. Termohon menyatakan rela dan tidak keberatan apabila pemohon menikah
lagi dengan calon isteri kedua Pemohon tersebut.
h. Calon isteri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu gugat
harta benda yang sudah ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai harta
bersama antara Pemohon dan Termohon.
i. Orang tua dan para keluarga termohon dan calon isteri kedua Pemohon
menyatakan rela dan tidak keberatan kalau Pemohon menikah lagi.
j. Antara pemohon dan calon isteri kedua pemohon tidak ada larangan untuk
melakukan perkawinan, baik menurut Undang-undang ataupun menurut
1) Calon isteri kedua Pemohon dengan Termohon bukan saudara dan
bukan sepersusuan, begitupun antara Pemohon dan calon isteri kedua
Pemohon.
2) Calon isteri kedua pemohon bersetatus janda cerai dalam usia 36 tahun
dan tidak terikat pertunangan dengan laki-laki lain.
3) Wali nikah calon isteri kedua Pemohon bernama Ayah calon isteri
kedua Pemohon.
k. Pemohon sanggup membayar seluruh biaya perkara yang timbul akibat
perkara ini.
Berdasarkan alasan /dalil-dalil diatas, Pemohon mohon agar Ketua
Pengadilan Agama Ambarawa segera memanggil pihak-pihak dalam perkara
ini, selanjutnya memeriksa dan menmgadili perkara ini dengan menjatuhkan
putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Menetapkan, memberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi dengan
calon isteri kedua Pemohon.
3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum kepada Pemohon.
4. Atau menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.
Bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, Pemohon dan
untuk mediasi dan para pihak sepakat memilih Drs. Syamsuri sebagai
mediatornya. untuk itu sidang ditunda untuk laporan hasil mediasi.
Pada sidang berikutnya mediator telah melaporkan hasil mediasinya
tertanggal 09 desember 2013, yang menyatakan tidak berhasil atau gagal dan
majelispun mendamaikan para pihak tetapi tidak berhasil, maka ketua majelis
membacakan permohonan pemohon, yang isinya tetap dipertahankan oleh
Pemohon dengan menambah bahwa selama perkawinan Pemohon dan
Termohon telah mempunyai harta bersama berupa:
a) Sebidang tanah dan bangunan rumah seluas 168 M.2 yang terletak di
kabupaten semarang dengan batas, sebelah barat jalan desa, sebelah timur
tanah bapak Supomo, sebelah selatan tanah bapak sudomo dan sebelah
utara tanah bapak Sariyadi.
b) Sebidang sawah seluas1/2 hektar yang terletak di Gelaran.
c) Sepeda motor merek Honda Revo keluaran tahun 2012.
d) 5 ekor kambing.
Bahawa atas Permohonan Pemohon tersebut Termohon telah
memberikan jawaban yang pada pokoknya membenarkan semua dalil-dalil
permohonan Pemohon.
Bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah
1. Fotokopi tanda penduduk atas nama Pemohon, yang telah diteliti dan
dicocokkan ternyata sesuai denga aslinya, kemudian oleh Ketua Majelis
ditandai dengan P.1.
2. Fotokopi tanda penduduk atas nama Termohon, setelah diteliti dan
dicocokkan dengan aslinya ternyata telah sesuai dengan aslinya, kemudian
oleh Ketua majelis ditandai dengan P.2.
3. Fotokopi akta nikah, setelah diteliti dan dicocokkan dengan aslinya
ternyata telah sesuai dengan aslinya, kemudian oleh Ketua majelis ditandai
dengan P.3.
4. Fotokopi tanda penduduk atas nama calon isteri kedua Permohon, setelah
diteliti dan dicocokkan dengan aslinya ternyata telah sesuai dengan
aslinya, kemudian oleh Ketua majelis ditandai dengan P.4.
5. Fotokopi akta cerai atas nama calon isteri keduaTermohon, setelah diteliti
dan dicocokkan dengan aslinya ternyata telah sesuai dengan aslinya,
kemudian oleh Ketua majelis ditandai dengan P.5.
6. Asli surat persetujuan bermaterai atas nama Pemohon dan Termohon,
setelah diteliti kemudian diberi tanda P.6.
7. Asli surat keterangan atas nama Pemohon yang diterbitkan oleh kepala
desa trayu kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang, setelah diteliti
kemudian oleh ketua Majelis ditandai dengan P.7.
Bahwa selain itu Pemohon juga mengajukan 2 orang saksi yaitu:
a. Saksi I, pembantu bicara calon isteri kedua Pemohon, umur 35 tahun,
agama Islam, pekerjaan tukang ojek, bertempat tinggal di Kabupaten
Semarang, memberikan keterangan di bawah sumpah pada pokoknya:
1) Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon.
2) Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang menikah 20
tahun yang lalu.
3) Bahwa saksi tau kalau Pemohon hendak menikah lagi dengan calon
isteri kedua Pemohon yang bersetatus janda cerai asal dari deasa
Ledokan.
4) Bahwa setahu saksi Pemohon sudah melamar calon isteri kedua, dan
lamaranya diterima oleh orang tua calon isteri kedua Pemohon.
5) Bahwa setahu saksi Termohon rela atas pernikahan Pemohon dengan
calon isteri kedua.
6) Bahwa Pemohon bekerja sebagai petani dan makelar ternak, saksi
tidak tahu berapa penghasilnnya.
b. Saksi 2, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan buruh, bertempat tinggal
di Kabupaten Semarang, saksi adalah tetangga Pemohon, memberikan
keterangan dibawah sumpah pada pokoknya:
2) Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang menikah 20
tahun yang lalu.
3) Bahwa setahu saksi Pemohon hendak menikah lagi dengan calon isteri
kedua Pemohon yang bersetatus janda cerai asal dari ledokan.
4) Bahwa setahu saksi Pemohon sudah melamar calon isteri kedua, dan
lamaranya diterima oleh orang tua calon isteri kedua Pemohon.
5) Bahwa setahu saksi Termohon rela atas pernikahan Pemohon dengan
calon isteri kedua.
6) Bahwa Pemohon bekerja sebagai petani dan makelar ternak, saksi tidak
tahu berapa penghasilnnya.
Bahwa selanjutnya, Pemohon menyatakan tidak lagi mengajukan
sesuatu apapun, berkesimpulan tetap akan berpoligami sedangkan
Termohon tidak keberatan untuk dimadu dan mohon putusan. Bahwa
semua yang termaktub dalam berita Acara Sidang perkara ditunjuk sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini.
2. Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim terhadap Perkara No. 1139/Pdt.
G/2013/PA. Amb .
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Permohonan Pemohon seperti
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mendamaikan pihak
berperkara dengan menasehati Pemohon untuk mengurungkan niatnya
berpoligami, namun tidak berhasil.
Menimbang, bahwa Pemohon hendak menikah lagi dengan calon isteri
kedua Pemohon dengan alasan-alasan seperti yang telah termuat pada bagian
duduk perkaranya yang secara formal telah memenuhi syarat sebuah surat
Permohonan.
Menimbang, bahwa terhadap permohonan tersebut Termohon mengakui
dan tidak keberatan jika Pemohon harus menikah lagi dengan calon isteri kedua
Pemohon, dan pengakuan Termohon tersebut dilakukan dipersidangan, maka
dengan berdasarkan Pasal 174 HIR pengakuan tersebut merupakan bukti
sempurna dan Mengikat.
Menimbang, bahwa sekalipun demikian untuk menguatkan permohonan
tersebut Pemohon telah mengajukan bukti P.1 sampai dengan P.8, bukti-bukti
P.1, P.2, P.3, P.4, dan P.5 merupakan fotokopi yang telah bermeterai cukup,
dinazegeln, dan dilegalisir serta dicocokkan dengan aslinya, sedangkan
buktibukti P.6, P.7, dan P.8 merupakan surat asli yang dibuat diatas meterai,
maka berdasarkan Pasal 165 HIR, bukti-bukti tersebut telah memenuhi