• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA DANDANGAN DALAM PERSPEKTIF SYIAR ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FENOMENA DANDANGAN DALAM PERSPEKTIF SYIAR ISLAM"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA DANDANGAN DALAM

PERSPEKTIF SYIAR ISLAM

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ilmu Dakwah

Dosen Pengampu : Ahmad Anas, M.Ag

Disusun Oleh:

1. Yudha Arta Mukti (1701026043) 2. Wahyu Leyanawati (1701026044)

3. Sekarwati (1701026045)

4. Laili Qodriyati (1701026046) 5. Aisyah Hind Febryanti (1701026047) 6. Nur Ainun Siregar (1701026048)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

(2)

1

I. PENDAHULUAN

Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat pada masa Walisongo. Pulau Jawa yang merupakan pulau dengan penduduk yang cukup padat nampaknya menjadi lahan yang tepat untuk menyebarkan ajaran Islam.

Masyarakat Jawa yang pada waktu itu mayoritas masih beragama Hindhu dan Budha, serta beberapa masih ada yang menganut paham animisme dan dinimisme juga menjadi alasan gencarnya dakwah Islam yang dilakukan para ulama.

Salah satu metode dakwah yang banyak digunakan pada saat itu adalah melalui pendekatan budaya. Tak terkecuali dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus Ja’far Shadiq yang memperkenalkan tradisi yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat Kudus.

Salah satu tradisi tersebut ialah tradisi menyambut bulan suci Ramadhan yang sering dikenal dengan sebutan “Dandangan” oleh masyarakat yang dilaksanakan di sekitar menara Kudus yang terdapat di sebelah barat alun-alun kota Kudus. Selain di Kudus, tradisi ini yang hampir sama juga dilakukan di beberapa daerah di Indonesia seperti, Dugderan di Semarang, Megengan di Demak, dan Baratan di Jepara namun mempunyai ciri khas sendiri-sendiri.

Apa hubungannya fenomena dakwah modern dengan tradisi Dandangan? Dalam kajian ini akan membahas dan meneliti kembali mengenai proses dakwah Islamiyah melalui tradisi Dandangan yang telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. II. RUMUSAN MASALAH

A. Apa pengertian tradisi Dandangan?

B. Bagaimana jalannya tradisi Dandangan di Kudus?

C. Bagaimana perbedaan tradisi Dandangan antara fenomena dulu dan sekarang?

(3)

2

III. PENGERTIAN TRADISI DANDANGAN

Dandangan merupakan salah tradisi di kota Kudus yang masih dilestarikan sampai saat ini. Istilah Dandangan mempunyai filosofi tersendiri.

Menurut tradisi, nama dandangan diambil dari suara bedug masjid tersebut saat ditabuh untuk menandai awal bulan puasa. Awalnya, dandangan adalah tradisi berkumpulnya para santri di depan Masjid Menara Kudus setiap menjelang Ramadan untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang penentuan awal puasa. Setelah keputusan awal Ramadan itu disampaikan, maka dipukullah bedug di masjid yang berbunyi “dang-dang-dang”. Dari suara bedug itulah muncul istilah “dandangan”1

IV. JALANNYA TRADISI DANDANGAN DI KUDUS

Dandangan dimulai sejak zaman Sunan Kudus Ja’far Shadiq yang betepat di menara Kudus. Tidak hanya dari kalangan Kudus menara saja, melainkan tetangga kota pun ikut untuk menunggu awal puasa dengan tradisi pukul bedug di menara Kudus, seperti Rembang, Pati, Jepara, Demak, dan Tuban. Untuk menunggu dipukulnya bedug para pengunjung sampai-sampai menginap di sekitar menara dan dalam situasi ini para pedagang memanfaatkan dengan melakukan transaksi jual beli di malam hari. Hingga tradisi ini sering juga disebut dengan pasar malam di waktu Ramadhan oleh masyarakat penduduk setempat.

Fenomena ini tentunya memberikan kesan tersendiri bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya. Banyak dari mereka yang menanti-nantikan momen ini, karena dengan pelaksanaan tradisi ini selain dapat mengenalkan budaya, makanan khas, dan pernak-pernik kota Kudus juga sekaligus mengenalkan budaya Islam yang masih dilestarikan dari zaman Sunan Kudus hingga saat ini.

Seiring perkembangannya, Dandangan yang dulu berupa acara penyampaian informasi resmi awal Ramadan yang ditandai dengan

1

http://www.pakudus.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=749:budaya -keislaman-kudus&catid=32:artikel-u mu m, diakses pada Sabtu (23/9) pukul 14.01 WIB

(4)

3

tabuh bedug, sekarang menjelma menjadi acara layaknya pasar malam. Pedagang yang datang untuk mencari keuntungan tidak hanya dari masyarakat lokal Kudus, melainkan hampir dari sejumlah daerah di Tanah Air ikut meramaikan tradisi tahunan tersebut. Mereka biasanya berjualan mulai dua minggu sebelum puasa hingga malam hari menjelang awal puasa. Produk yang mereka jual beraneka ragam mulai dari makanan seperti kerak telor, nasi kuning, lontong opor dan makanan lainya.2

Selain itu, para penjual juga menjual berbagai perabotan rumah tangga dimulai dari yang berbahan beling, tanah liat, dan alumunium. Ada pula soufenir, baju batik khas kudus dan wahana permainan layaknya pasar malam. Bahkan tradisi Dandangan sering disponsori sejumlah industri besar. Ada satu mainan yang selalu dikaitkan dengan tradisi ini, yaitu kepala "Barongan Gembong Kamijoyo". Barongan Gembong Kamijoyo adalah Pemeran utama seni Barongan Kabupaten Kudus Singo Barong yang mempunyai julukan atau bergelar Gembong Kamijoyo.

Tradisi ini juga dimeriahkan dengan adanya kirab bersama yang menampilkan potensi dari sejumlah desa yang ada di Kudus, seperti visualisasi Kiai Telingsing, Sunan Kudus, Rumah adat Kudus, batil (merapikan rokok), dan membatik. Kirab dimulai dari Jalan Kiai Telingsing menuju pangkalan ojek di kompleks Menara Kudus yang ada di Jalan Sunan Kudus dengan jarak sekitar 3 kilometer. Jumlah peserta arak-arakan Dandangan tercatat mencapai ratusan peserta yang berasal dari kelompok seniman, masyarakat, pelajar dan masih banyak lagi.3

Sebagai penutup, tradisi Dandangan diisi dengan kirab visualisasi dandangan. Visualisasi tersebut digelar di Alun-alun Kudus dan

2

http://www.antaranews.com/berita/438621/geliat-e konomi-saat-tradisi-dandangan, diakses pada Sabtu (23/9) pukul 13.30 WIB

3

(5)

4

dihadiri ribuan orang, dibuka dengan penampilan group rebana lokal. Visualisasi yang ditampilkan juga menunjukkan adanya pesan sikap toleransi beragama dengan melibatkan berbagai etnis seperti yang diajarkan Sunan Kudus. Sikap toleransi tersebut, juga divisualisasikan lewat sendra tari dan teater dengan kostum khas Tionghoa dan acara ini diakhiri dengan pemukulan bedug oleh Bupati Kudus bersama jajaran serta FORKOMPINDA (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah).

V. PERBEDAAN TRADISI DANDANGAN ANTARA FENOMENA DULU DAN SEKARANG

Pada zaman Sunan Kudus, tradisi Dandangan mempunyai andil yang cukup besar terhadap dakwah Islam khususnya daerah Kudus dan sekitarnya. Orang-orang yang datang berasal dari berbagai kalangan sehingga memungkinkan semakin banyak masyarakat yang mengenal Islam.

Namun, tradisi ini sudah sedikit bergeser dari fungsi awalnya. Yang tadinya hanya untuk berdakwah kini tradisi Dandangan sudah seperti pesta rakyat yang tidak hanya mengandung unsur dakwah tetapi juga unsur-unsur lainnya seperti ekonomi, edukasi dan histori.

Maksud dari unsur ekonomi disini adalah banyak para penjual yang tidak hanya dari kalangan orang Islam saja melainkan dari kalangan non muslim seperti Tionghoa menjajakan dagangan mereka dalam perayaan ini. Banyak dari mereka yang memanfaatkan momen ini untuk memperoleh keuntungan. Selain itu sering pula disponsori oleh industri setempat yang secara tidak langsung dapat membantu mempromosikan produk mereka.

Dari sisi edukasi dan histori dapat dilihat dari mereka yang datang untuk menyaksikan perayaan itu secara tidak langsung mendapat edukasi mengenai dakwah yang dulu pernah dilakukan Sunan Kudus. Dimana terdapat sisi filosofi sejarah Dandangan yang mengandung banyak pelajaran untuk dakwah Islam masa kini.

(6)

5

Mengingat adanya beberapa unsur yang terdapat dalam tradisi Dandangan, kita perlu kembali pada fungsi awal tradisi tersebut sebagai media dakwah.

VI. PROSES DAKWAH MELALUI TRADISI DANDANGAN

ِةَظ ِع ْى َمْلا َو ِةَمْك ِحْلاِب َكِّب َر ِليِبَس ٰىَلِإ ُعْدا

ِةَنَس َحْلا

ۖ

ُهَس ْحَأ َيِه يِتَّلاِب ْمُهْلِدا َج َو

ۖ

َّنِإ

ِهِليِبَس ْهَع َّلَض ْهَمِب ُمَلْعَأ َىُه َكَّب َر

ۖ

َىُه َو

َهي ِدَت ْهُمْلاِب ُمَلْعَأ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An Nahl: 125)

Ayat tersebut menerangkan tentang metode berdakwah dengan hikmah ( adil) yaitu menempatkan sesuatu sesuai dengan haknya, maksudnya menyampaikan suatu pelajaran yang baik. Selain itu dengan cara memberi nasihat yang baik agar seseorang tidak merasa tersinggung sehingga dapat memahami agama Islam dengan benar. Yang terakhir berbantah-bantah dalam kebaikan, jika terjadi adanya kesalah pahaman yang dapat merujuk pada penyelewengan agama dapat melakukan sebuah diskusi secara logis dan disesuaikan dengan ajaran agama Islam.

Jika dikaitkan dengan fenomena dakwah Dandangan dapat diambil dari metode dakwah Sunan Kudus yaitu melalui pendekatan budaya masyarakat Kudus pada waktu itu masih terpengaruh dengan adat istiadat yang mengarah pada agama Hindhu.Pendekatan budaya ini dilakukan agar masyarakat tertarik dengan agama Islam, dan diharapkan bisa memeluk islam tanpa ada unsur paksaan. Proses dakwah melalui tradisi dhandangan pada masa Sunan kudus adalah beliau mengumumkan awal puasa dengan suara bedug yang dihadiri oleh

(7)

6

beberapa muridnya, seperti Sultan Trenggono, dan Sultan Hadirin dari Jepara, serta masyarakat Kudus yang selalu antusias menunggu di masjid menara Kudus.

Pada masa ini Pemkab Kudus menjadikan tradisi Dandangan sebagai atraksi wisata yang didalamnya terdapat ajang pagelaran UKM batik se-Jawa Tengah. Selain itu juga terdapat kolosal visualisasi perjalanan sejarah masyarakat kudus yang menggambarkan akulturasi budaya Islam, Jawa, Hindu, dan Tiongkok. Inilah toleransi yang telah diajarkan Sunan kudus pada masa walisongo dulu. Sehingga secara tidak langsung mengenalkan tradisi yang bernuansa Islam kepada masyarakat non muslim yang dapat dijadikan media berdakwah kepada masyarakat melalui pagelaan bernuansa modern yang memudahkan masyarakat untuk memahami Islam.

(8)

7

VIII. KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa dakwah dapat dilakukan dengan melalui pendekatan budaya seperti halnya yang dilakukan Sunan Kudus. Pendekatan budaya yang dimaksud adalah pendekatan melalui tradisi Dandangan yang tidak hanya diantusiasi oleh umat muslim saja melainkan juga non muslim juga, sehingga secara tidak langsung dapat dijadikan media berdakwah untuk memperkenalkan tradisi yang bernuansa Islam kepada masyarakat.

(9)

8

DAFTAR PUSTAKA

http://www.pakudus.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=749:budaya -keislaman-kudus&catid=32:artikel-u mu m, diakses pada Sabtu (23/9) pukul 14.01 WIB.

http://www.antaranews.com/berita/438621/geliat-e konomi-saat-tradisi-dandangan, diakses pada Sabtu (23/9) pukul 13.30 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Pernikahan Perempuan Muslim dengan Laki-Laki non-Muslim Berbeda dengan pandangan para ulama tentang status hukum laki- laki muslim yang menikah dengan perempuan non-muslim, yang

Pernikahan lintas agama yang dimaksud adalah pernikahan yang dilakukan antara seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan orang non-Muslim, baik

1) Perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim (musyrik) hukumnya adalah haram mutlak. 2) Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab (Yahudi

Terkait dengan hal tersebut maka ilmuwan muslim memiliki tantangan untuk aktif dalam penelitian dan pengembangan ilmu bagi kehidupan umat manusia; Berapa banyak

Oleh karena itu, barangsiapa yang menghina sunah, mencelanya atau meyakini bahwa sunah itu kurang lengkap atau sunah itu tradisi kuno yang tidak relevan lagi, ini

Selama dua dasawarsa, ditengah tekanan suatu rezim politik yang sangat hegemonic terhadap umat Islam, harus diakui bahwa para pemikir Muslim memang tampak mengerahkan

Problem tentang siapa pemegang otoritas keagamaan dalam tradisi masyarakat muslim menjadi persoalan yang masih belum terselesaikan. Terpencarnya otoritas keagamaan

Oleh sebab itu dalam Islam menuntut ilmu bukan hanya tugas atau kewajiban sebagian umat saja, melainkan tugas atau kewajiban bagi seluruh umat muslim baik laki-laki maupun perempuan,