• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Logo

Logo merupakan salah satu bagian dari brand element selain nama, slogan, dan warna. Logo merupakan variasi grafik atau susunan dari beberapa elemen yang diatur (Henderson & Cote, 1998; Wheeler, 2003). Logo adalah elemen visual yang paling sering digunakan dalam berbagai macam alat komunikasi langsung maupun tidak langsung mulai dari kemasan, materi promosi, kartu nama maupun kop surat (Henderson & Cote, 1998; Walsh dkk., 2010). Menurut Bennett (1995) dan Giberson & Hulland (1994) logo merupakan variasi grafik dan penggambaran elemen yang dapat ditampilkan dengan menggunakan nama atau tanpa nama yang mengidentifikasi/menjelaskan sebuah perusahaan atau produk (Henderson & Cote, 1998). Menurut Zakia & Nadin (1987) logo adalah bagian dari sistem di perusahaan yang digunakan untuk komunikasi kedalam dan keluar perusahaan (Henderson & Cote, 1998). Kohli (2002) menyatakan bahwa logo merupakan komponen pembentuk identitas merek yang dapat secara langsung dikenali dari suatu merek. Logo merupakan salah satu unsur utama pembentuk identitas merek bersama-sama dengan nama dan slogan (Makado dkk., 2012).

Dilihat dari beberapa pengertian logo diatas, terlihat bahwa logo merupakan bagian yang penting dari suatu produk. Logo dari suatu produk harus mampu menggambarkan atau mewakili suatu produk yang dibawakan secara umum maupun secara detail. Menurut Robertson (1989), Giberson & Hulland (1994), Peter (1989) good logo mengandung empat faktor yaitu mudah dikenali, memberikan rasa familiarity pada konsumen, menimbulkan makna yang tepat pada target marget, dan memberikan efek positif pada konsumen (Henderson & Cote, 1998). Empat faktor tersebut harus dimiliki oleh setiap logo yang di desain untuk memudahkan tertanamnya merek produk tertentu yang diwakili oleh logo tersebut dibenak para konsumen. Logo akan memberikan nilai tambah jika memenuhi dua kondisi yaitu orang akan selalu ingat terhadap logo tersebut setelah

(2)

melihatnya dan logo tersebut mampu mengingatkan orang yang melihatnya pada brand atau nama perusahaannya (Riel & Ban, 2001).

2.1.1 Good Logo

Seperti yang telah dijelaskan good logo terdiri dari empat faktor. Faktor pertama yaitu mudah dikenali (recognition). Ada dua jenis recognition yaitu correct recognition dan false recognition. Correct recognition menunjukkan bahwa konsumen ingat telah melihat logo (faktanya konsumen telah melihat logo pada waktu sebelumnya) dan logo tersebut mengingatkan konsumen pada brand atau company. Sedangkan false recognition terjadi ketika orang berpikir telah melihat logo tetapi pada kenyataannya mereka belum pernah melihatnya, ini terjadi karena rasa familiarity dari desain yang dibuat (Jacoby & Dallas, 1981).

Faktor yang kedua yaitu logo memberikan rasa familiar (familiarity). Familiarity menunjukkan bahwa logo dapat menciptakan rasa familiar bahkan ketika logo tersebut belum pernah terlihat sebelumnya. Subjektif familiarity menurut Henderson dan Cote yaitu beberapa logo yang dilihat untuk pertama kali dapat dengan cepat membangun diri pada ingatan konsumen melalui rasa familiar yang dibangkitkan. Menurut Zajonc (1968) familiarity sangat penting karena dapat membantu pembangkitan dan transfer pengaruh yang positif pada brand (Henderson & Cote, 1998). Sehingga melalui pengaruh yang positif tersebut suatu produk mudah dikenal oleh konsumen.

Faktor yang ketiga yaitu menimbulkan makna yang tepat pada target marget (meaning). Durgee & Stuar (1987); Kropp dkk. (1990); Vatorella (1990); Keller (1993) dalam (Henderson & Cote, 1998) menyatakan bahwa logo harus bisa dengan mudah membangkitkan makna yang sama pada semua orang yang melihat. Jika logo memiliki makna yang jelas maka dapat dihubungkan dengan mudah pada perusahaan atau produk yang diwakili oleh logo tersebut.

Faktor yang keempat yaitu memberikan efek positif pada konsumen (affect). Efek positif merupakan faktor yang menunjukkan kesuksesan suatu logo karena logo tersebut mampu mengingatkan konsumen pada suatu produk atau company. Logo tidak hanya berpengaruh pada brand awareness tetapi juga memiliki

(3)

commit to user 2.1.2 Variabel Desain Logo

Henderson & Cote (1998) menyusun 11 karakteristik desain logo. Karakteristik tersebut terdiri dari dua variabel yaitu variabel dependen dan variabel independen. Untuk variabel dependen terdiri dari 4 faktor, sedangkan variabel independen terdiri dari 7 faktor. Dari masing-masing faktor tersebut diberikan contoh logo dengan kriteria high dan low. High disini menggambarkan tingginya tingkat desain logo sesuai dengan faktor yang dijelaskan/digambarkan. Sedangkan low menggambarkan rendahnya desain logo menggambarkan faktor yang dijelaskan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Variabel Desain Logo

No Variabel dependent Contoh Logo

High Low

1 Correct Recognition

2 False Recognition

3 Affect

(4)

No Variabel Independent Contoh Logo High Low 1 Natural Representative Organic 2 Harmony Balance Symetric 3 Elaborate

(5)

commit to user Complexity Active Depth 4 Parallel 5 Repetition 6 Proportion 7 Round

(6)

Variabel-variabel independen dalam tabel 2.1 dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Natural menjelaskan sejauh mana desain mampu menggambarkan obyek secara umum (terkait obyek desain). Natural terdiri dari 2 dimensi yaitu representative dan organic.

Representative menunjukkan tingkat realisme desain sedangkan, organic menunjukkan sejauhmana desain mempunyai bentuk yang natural sejenis kurva yang irregular.

2. Harmony merupakan desain yang memiliki pola yang sebangun/sama dan susunan dari part/bagiannya memiliki kombinasi yang semetris dan seimbang. Harmony terdiri dari dua dimensi yaitu balance dan symetric. Balance menunjukkan adanya pusat suspensi pada dua bagian dari desain. Sedangkan symetric menggambarkan refleksi dari satu atau lebih axis (sumbu) yang ada pada desain.

3. Elaborate menjelaskan kekayaan dari suatu desain dan kemampuan untuk menggunakan garis yang sederhana dalam menggambarkan esensi dari suatu desain yang ingin disampaikan (setiap detail desain memiliki makna). Elaborate terdiri dari tiga dimensi yaitu complexity, active, dan depth. Complexity muncul dari banyak fitur desain yang berbeda seperti ketidakteraturan dalam susunan elemen, peningkatan jumlah elemen, heterogenitas dalam sifat elemen, dan bagaimana hiasan desain. Active menunjukkan bahwa desain mampu memberikan kesan gerak atau aliran. Sedangkan depth menunjukkan tampilan dari desain yang memberikan gambaran perspektif atau 3 dimensi dari desain.

4. Parallel menggambarkan desain yang terdiri dari beberapa garis dan elemen pada desain memiliki kedekatan satu dengan yang lain.

5. Repetition menggambarkan bagian dari desain yang memiliki kemiripan atau identik satu dengan yang lainnya.

6. Proportion menjelaskan proporsi antara dimensi vertikal dan horizontal. 7. Round menjelaskan desain yang terbuat dari garis yang melengkung dan

(7)

commit to user 2.1.3 Kekayaan Desain Logo

Kekayaan suatu desain logo dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : 1. Keahlian dalam membuat desain

2. Spesifikasi project

3. Perputaran waktu yang diharapkan 4. Layanan dan dukungan yang diberikan 5. Level permintaan

6. Keadaan ekonomi

2.2 Analytical Hierarchy Process (AHP) 2.2.1 Pengertian Analytical Hierarchy Process

AHP adalah teori umum pengukuran yang digunakan untuk memperoleh skala perbandingan dari perbandingan berpasangan pada struktur hierarki. Perhatian AHP salah satunya mengenai konsistensi dan pengukuran. AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas serta menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan prioritas. AHP merupakan suatu proses mengidentifikasi, mengerti dan memberikan perkiraan interaksi sistem secara keseluruhan (Saaty, 1988). 2.2.2 Prinsip Pokok Analytical Hierarchy Process

A. Penyusunan Hierarki

Penyusunan hierarki merupakan langkah untuk mendefinisikan masalah yang rumit dan kompleks, sehingga menjadi jelas dan rinci. Keputusan yang diambil ditetapkan sebagai tujuan, dijabarkan menjadi kriteria-kriteria yang lebih rinci hingga mencapai suatu tahapan yang dapat diukur. Hierarki membantu pengambil keputusan untuk menjelaskan permasalahan dan faktor-faktor dari permasalahan tersebut. Hierarki keputusan disusun berdasarkan pandangan dari pihak-pihak yang memiliki keahlian dan pengetahuan dibidang yang bersangkutan. Ahli juga dibutuhkan untuk memberikan skala intensitas penilaian alternatif pada suatu waktu (Saaty, 1996).

B. Penentuan prioritas

Prioritas pada elemen-elemen hierarki dapat dipandang sebagai suatu bobot/ kontribusi elemen tersebut pada tujuan yang ingin dicapai dalam pengambilan

(8)

keputusan. Metode AHP didasarkan pada kemampuan dasar manusia untuk memanfaatkan informasi dan pengalamannya untuk memperkirakan pentingnya satu hal dibandingkan dengan hal lain dengan kriteria tertentu melalui proses perbandingan berpasangan. Perbandingan secara berpasangan ini disebut dengan metode pairwise comparison. Tujuan dari pairwise comparison adalah untuk menganalisis prioritas kriteria-kriteria dalam hierarki. Prioritas ditentukan berdasarkan pandangan dan penilaian para ahli dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengambilan keputusan (Saaty, 1988).

C. Konsistensi Logika

Prinsip pokok yang menentukan kesesuaian antara definisi konseptual dengan operasional data dan proses pengambilan keputusan adalah konsistensi jawaban dari para responden. Konsistensi tersebut tercermin dari penilaian kriteria dari perbandingan berpasangan.

2.2.3 Perbandingan Berpasangan

Susunan prioritas ditentukan dengan menyusun perbandingan berpasangan yaitu membandingkan dalam bentuk berpasangan seluruh elemen untuk setiap sub hierarki. Perbandingan tersebut ditransformasikan dalam bentuk matriks. Contoh, terdapat n objek yang dinotasikan dengan (A1, A2, …, An) yang akan dinilai berdasarkan pada nilai tingkat kepentingannya yang dipresentasikan dalam matriks pairwise comparison.

Tabel 2.2 Matriks Perbandingan Berpasangan A1 A2 ... An A1 a11 a12 ... a1n A2 a21 a22 ... a2n ... ... ... ... ... An an1 an2 ... ann

(9)

commit to user

Nilai a11 pada tabel 2.2 adalah nilai perbandingan elemen A1 (baris) terhadap A1 (kolom) yang menyatakan hubungan :

1. Seberapa jauh tingkat kepentingan A1 (baris) terhadap kriteria C dibandingkan dengan A1 (kolom) atau

2. Seberapa jauh dominasi A1 (baris) terhadap A1 (kolom) atau

3. Seberapa banyak sifat kriteria C terdapat pada A1 (baris) dibandingkan dengan A1 (kolom).

Nilai numerik yang digunakan untuk seluruh perbandingan diperoleh dari skala perbandingan 1 sampai 9 yang diperkenalkan oleh Saaty pada tahun 1996. Skala 1 sampai 9 tersebut digunakan untuk memberikan penilaian terhadap dua kriteria yang dibandingkan. Penilaian yang dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan diantara dua kriteria tersebut. Untuk masing-masing skala penilaian memiliki definisi atau kegunaannya masing-masing sesuai yang ditampilkan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Skala Perbandingan Berpasangan

Tingkat

Kepentingan Definisi Keterangan

1 Sama Pentingnya Kedua elemen mempunyai tingkat kepentingan yang sama

3 Sedikit Lebih Penting Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding elemen yang lain

5 Lebih Penting Elemen yang satu lebih penting dibanding elemen yang lain

7 Sangat Penting Elemen yang satu sangat lebih penting dibandingkan elemen yang lain

9 Mutlak Lebih Penting Elemen yang satu mutlak lebih penting dibanding elemen yang lain

2,4,6,8 Nilai Penting

Diberikan bila terdapat keraguan penilaian antara dua penilaian yang berdekatan

Kebalikan aij=1/aij

Jika elemen i memiliki angka tertentu, maka elemen j memiliki nilai kebalikan dengan elemen i

(10)

Setelah dilakukan penilaian terhadap kriteria-kriteria yang dibandingkan maka untuk mengetahui kriteria mana yang paling disukai atau paling penting dilakukan penyusunan matriks perbandingan. Bentuk matriks adalah simetris atau biasa disebut dengan matriks bujur sangkar. Apabila ada tiga elemen yang dibandingkan dalam satu level matriks, maka matriks yang terbentuk adalah matriks 3x3 seperti contoh pada tabel 2.2.

Ciri utama dari matriks perbandingan yang dipakai model AHP adalah elemen diagonalnya dari kiri atas ke kanan bawah bernilai satu karena yang dibandingkan adalah dua elemen yang sama. Selain itu, sesuai dengan sistematika berpikir otak manusia, matriks perbandingan yang dibentuk akan bersifat matriks berkebalikan, apabila elemen A lebih disukai dengan skala 5 dibandingkan dengan elemen B, maka dengan sendirinya elemen B lebih disukai dengan skala 1/5 dibandingkan dengan elemen A.

Setelah matriks perbandingan selesai dibentuk, maka langkah berikutnya adalah mengukur bobot prioritas untuk setiap kriteria. Hasil akhir perhitungan berupa bobot prioritas yang merupakan suatu bilangan desimal di bawah satu (misalnya 0,01 sampai 0,99) dengan total prioritas untuk kriteria-kriteria dalam satu kelompok sama dengan satu.

2.2.4 Perhitungan Konsistensi

Penilaian perbandingan berpasangan dalam AHP merupakan penilaian yang bersifat subjektif, sehingga ketidakkonsistensian dapat terjadi. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian konsistensi untuk menjamin bahwa penilaian tersebut konsisten. Salah satu keunggulan AHP adalah uji konsistensi, dimana uji ini mampu mengukur tingkat konsistensi perbandingan berpasangan. Untuk mengetahui tingkat konsistensi suatu penilaian perbandingan berpasangan, ada tiga tahap yang harus dilakukan, yaitu:

1. Menghitung Eigenvalue (λ max)

Eigenvalue adalah nilai karakteristik dari sebuah matriks bujur sangkar. Eigenvalue menunjukkan ukuran konsistensi penilaian, sehingga makin dekat eigenvalue maksimum dengan besarnya matriks maka makin konsisten matriks

(11)

commit to user

setiap kriteria yang digunakan dalam penelitian tersebut. Nilai lamda setiap kriteria diperoleh dari perkalian antara total setiap kriteria dikalikan dengan bobot prioritasnya. Setelah lamda dari setiap kriteria dihitung maka diperoleh nilai eigenvalue. Nilai eigenvalue tersebut merupakan total seluruh nilai lamda dari masing-masing kriteria.

2. Menghitung Consistency Index (CI)

Consistency Index (CI) diukur dengan menggunakan rumus berikut:

...(2.1) Keterangan :

CI = Consistency Index λ max = Eigenvalue

n = Jumlah kriteria yang diukur 3. Menghitung Consistency Ratio (CR)

Untuk menghitung tingkat konsistensi penilaian perbandingan berpasangan dalam AHP, maka perlu dilakukan perhitungan consistency ratio (CR). Suatu penilaian dianggap konsisten dan dapat diterima jika nilai CR < 0,1 dan 0,2 dapat ditoleransi, tetapi tidak lebih dari 0,2. Jika nilai CR > 0,2, maka penilaian tersebut tidak konsisten, sehingga harus dilakukan perbaikan dengan melakukan penilaian ulang. Consistency ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ...(2.2) Keterangan : CR = Consistency Ratio CI = Consistency Index RI = Random Index

Dimana RI merupakan random index yang diperoleh dari tabel. Nilai random index tergantung dari ukuran matriks. Berikut tabel random index dari matriks ukuran 1 sampai 12.

(12)

Tabel 2.4 Random Index AHP

Size of matrix (n) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Random Index (RI) 0 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,58

2.3 Sampling

Populasi adalah semua bagian atau anggota dari objek yang akan diamati. Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang diamati/diteliti. Ada beberapa alasan mengapa dilakukan pengambilan sampel dalam penelitian yaitu :

1. Hampir tidak mungkin mengamati semua anggota populasi

Dalam penelitian umumnya dihadapkan dengan anggota populasi yang sangat besar. Dengan anggota populasi yang besar tersebut tidak mungkin dilakukan penelitian atau pengambilan data pada semua anggota populasi. 2. Menghemat waktu, tenaga, dan biaya

Pemakaian sampel dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Sedangkan apabila penelitian dilakukan pada semua anggota populasi maka akan banyak membutuhkan tenaga yang digunakan untuk mewawancarai atau untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Sehingga hal tersebut akan menyebabkan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Begitu pula dengan waktu, apabila penelitian yang dilakukan terlalu lama maka akan berpotensi menghasilkan temuan yang kurang tepat. Karena pada dasarnya opini publik cepat berubah karena mengandung unsur subyektivitas.

3. Pemakaian sampel kadang lebih reliabel/akurat dari pada populasi

Pemakaian sampel akan berguna jika bisa digunakan sebagai alat pendugaan. Misalnya, karena elemen yang akan diuji banyak jika dilakukan pengujian populasi maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental peneliti sehingga bisa menyebabkan banyak terjadi kekeliruan oleh karena itu diperlukan sampel untuk menghindari hal tersebut.

2.3.1 Syarat Sampel yang Baik

Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili karakteristik populasi. Misal yang ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan yang

(13)

commit to user

valid, karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang Sunda). Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan yaitu :

1. Akurasi atau ketepatan yaitu tidak adanya bias (kekeliruan) dalam sampel. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya bias atau kekeliruan adalah populasi. Keakuratan dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya jumlah sampel. Agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi. Contoh jika ingin mengetahui rata-rata luas tanah suatu perumahan, jika yang dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan bias. 2. Presisi yaitu mengacu pada estimasi kita terhadap karakteristik populasi.

Contoh dari 300 pegawai produksi, diambil sampel 50 orang. Setelah diukur ternyata rata-rata perhari setiap orang menghasilkan 50 potong produk X. Namun berdasarkan laporan harian, pegawai bisa menghasilkan produk X per hari dengan rata-rata 58 unit. Artinya di antara laporan harian yang dihitung berdasarkan populasi dengan hasil penelitian yang dihasilkan dari sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin kecil tingkat perbedaan di antara rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin tinggi tingkat presisi sampel tersebut.

2.3.2 Teknik Pengambilan Sampel

Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya atau masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampel harus dilakukan secara tepat. Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling. Secara sederhana teknik sampling dapat digambarkan sebagai berikut :

(14)

Teknik Sampling

Probability Sampling Non-Probability

Sampling

1. Sampling Acak Sederhana 2. Sampling Acak Stratifikasi 3. Cluster Sampling 4. Sampling Bertahap 1. Quota Sampling 2. Accidental Sampling 3. Purposive Sampling 4. Snowball Sampling 5. Sampling Sistematis

Gambar 2.1 Teknik Sampling

Secara sistematis, teknik sampling ditunjukkan pada gambar 2.1. Dari gambar terlihat bahwa teknik sampling pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua (Eriyanto, 2007) :

1. Probability Sampling

Probability sampling adalah teknik sampling yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi sampel. Ada 3 macam teknik probability sampling yaitu :

a. Sampling Acak Sederhana

Prinsip sampling acak sederhana, setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Misal dalam populasi terdapat 1000 orang, berarti kesempatan setiap orang untuk terpilih menjadi sampel adalah 1/1000. Semua anggota populasi di sini mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Metode sampling acak sederhana bisa dipakai jika ada kerangka sampel yang baik dan lengkap yang memuat daftar anggota populasi. Kerangka sampel tersebut harus akurat dan lengkap. Sehingga tidak boleh ada anggota populasi yang tidak masuk dalam kerangka sampel itu karena bisa mengurangi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel bagi anggota populasi.

(15)

commit to user

undian. Setiap anggota populasi diberikan nomor dari satu sampai nomor terakhir. Kemudian dilakukan pengundian untuk mendapatkan sampel sejumlah yang diinginkan. Metode ini mudah diterapkan pada populasi yang jumlahnya relatif kecil. Akan tetapi jika populasinya besar maka cara undian menjadi tidak praktis. Cara yang kedua yaitu menggunakan tabel bilangan random. Metode ini mendapatkan sampel dengan cara menggunakan tabel bilangan random.

b. Sampling Acak Stratifikasi

Apabila unsur-unsur populasi tidak homogen, proses pengambilan sampel dengan menggunakan metode sampling acak sederhana akan menimbulkan bias, karena masing-masing anggota populasi tidak mempunyai peluang yang sama untuk menjadi sampel. Untuk mengurangi faktor heterogenitas maka dapat dilakukan pembagian anggota-anggota populasi kedalam kelompok-kelompk kecil yang disebut strata. Pembagian strata dapat dilakukan berdasarkan ciri tertentu. Setelah itu dilakukan penarikan sampel dari masing-masing strata.

Ada dua cara untuk menentukan jumlah sampling acak stratifikasi, yang pertama yaitu sampling acak stratifikasi proporsional. Teknik ini digunakan bila populasi mempunyai anggota atau unsur berstrata secara proporsional atau kurang lebih seimbang. Misal survei tentang pendapat mahasiswa. Peneliti membuat strata berdasarkan fakultas. Secara teoritis proporsi fakultas relatif seimbang karena tidak ada jurang selisih yang sangat besar pada jumlah mahasiswa tersebut. Cara yang kedua yaitu sampling acak stratifikasi tidak proporsional. Teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel bila populasinya berstrata tetapi kurang proporsional.

c. Cluster Sampling

Pada metode ini unsur-unsur populasi dibagi dalam sub kelompok yang disebut cluster. Selanjutnya setelah unsur-unsur populasi dibagi kedalam cluster maka dari beberapa cluster ini dipilih satu cluster secara random. Dari cluster yang terpilih ini kemudian dipilih sampel secara random pula. Teknik penarikan cluster sampling bisa dilakukan ketika peneliti berhadapan dengan situasi tidak tersedianya kerangka sampel anggota populasi dan diragukannya keakuratan kerangka sampel walaupun kerangka tersebut ada. Perbedaan metode cluster sampling dengan metode sampling acak stratifikasi adalah pada pengambilan

(16)

sampelnya. Pada sampling acak stratifikasi sampel dipilih dari seluruh strata, sedangkan pada cluster sampling hanya diambil dari salah satu cluster saja karena masing-masing cluster ini memiliki sifat homogen sehingga tidak perlu seluruh cluster diambil sebagai sampel.

Metode cluster sampling tersebut dapat dikembangkan menjadi metode multistage random sampling (sampel acak bertingkat). Multistage random sampling pada dasarnya adalah gabungan antara sampling acak stratifikasi (stratified random sampling) dengan cluster sampling. Pada cluster sampling tahapan dalam penarikan sampel hanya ada dua. Pertama, menarik cluster dimana individu berada. Kedua, menarik anggota dari cluster yang telah terpilih. Pada acak bertingkat, cluster sangat besar. Karena besar, cluster tersebut dipecah lagi kedalam beberapa cluster atau gugus, baru individu diambil sebagai sampel dari cluster yang terpilih tersebut. Dengan demikian ada beberapa tahap dalam proses penarikan sampel. Oleh karena itu maka disebut multistage random sampling. 2. Non-Probability Sampling

Non-Probability Sampling adalah teknik sampling yang tidak memberikan peluang (kesempatan) yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk menjadi sampel. Ada 5 macam teknik non-probability sampling yaitu :

a. Quota Sampling

Quota Sampling adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan. Ada dua langkah dalam penarikan sampel kuota. Langkah pertama membuat kategori atau karakteristik dari orang atau benda yang akan menjadi sampel termasuk jumlah dari masing-masing kategori. Langkah kedua, memilih responden. Peneliti bisa mencari siapa pun asal memenuhi kuota yang ditentukan.

b. Accidental Sampling

Accidental Sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan. Hal ini berdasarkan siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dan dapat digunakan sebagai sampel bila dipandang yang ditemui tersebut cocok digunakan sebagai sampel. Accidental sampling dapat dipakai pada tiga kondisi.

(17)

commit to user

dan sama sekali tidak tersedia informasi mengenai apa saja yang perlu ditanyakan dalam survei tersebut. Kedua, sampel dipakai hanya untuk keperluan deskripsi. Kita hanya ingin tahu aspek-aspek tertentu dari pendapat masyarakat tanpa punya kepentingan untuk membuat kesimpulan. Ketiga, accidental sampling dipakai dalam situasi dimana tidak tersedia kerangka sampel yang memadai dan tidak ada informasi yang cukup mengenai populasi yang akan diteliti.

c. Purposive Sampling

Purposive Sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Purposive sampling dilakukan dengan memilih orang-orang berdasarkan ciri-ciri khusus dengan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Purposive sampling bisa dipakai dalam dua kondisi. Pertama, populasi sangat menyebar dan peneliti tidak mempunyai informasi awal tentang populasi. Kedua, survei dilakukan dengan tujuan yang spesifik. Peneliti secara sengaja memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik yang diinginkan.

d. Snowball Sampling

Snowball Sampling adalah teknik penentuan sampel dimana responden awal dipilih berdasarkan metode probabilitas, kemudian mereka diminta untuk memberikan informasi mengenai rekan-rekan lainnya sehingga diperoleh lagi responden tambahan. Dengan demikian semakin lama kelompok responden semakin besar. Teknik sampling ini bisa dipakai dalam kondisi dimana populasi dari survei sangat spesifik. Tidak ada kerangka sampel dan tidak ada informasi yang bisa digunakan untuk mendata populasi.

2.4 Penentuan Ukuran Sampel

Menurut Singarimbun (1991) sampel adalah sebagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang relatif sama dan dianggap mewakili populasi (Rahadian, 2006). Menentukan ukuran sampel diharapkan 100% mewakili populasi adalah sama dengan jumlah anggota populasi itu sendiri. Roscoe (1975) dalam Sekaran (1992) memberikan pedoman penentuan jumlah sampel sebagai berikut :

(18)

2. Jika sampel dipecah lagi ke dalam sub sampel (laki/perempuan, SD/SLTP/SMU, dan sebagainya), jumlah minimum sub sampel harus 30 3. Bila dalam penelitian akan melakukan analisis dengan multivariat (korelasi

atau regresi ganda), maka jumlah anggota sampel minimal 5 sampai 10 kali dari jumlah variabel yang diteliti.

4. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota sampel antara 10 sampai dengan 20.

Gambar

Tabel 2.1 Variabel Desain Logo
Tabel 2.2 Matriks Perbandingan Berpasangan  A 1 A 2 .......  A n
Tabel 2.3 Skala Perbandingan Berpasangan

Referensi

Dokumen terkait

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Random sampling yaitu cara pengambilan sampel secara acak tanpa memperhatikan strata dalam

merupakan teknik sampling yang dikontruksikan dari metode sampling acak sederhana yang melalui beberapa tahapan pengambilan sampel secara acak. Analisis statistik

populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Mahasiswa/I FEBI UINSU.Tekhnik pengambilan sampel yang di gunakan adalah sample random sampling atau sampel acak sederhana. Sampel

Menurut Sugiyono, (2018) Random Sampling adalah teknik sampel acak yaitu suatu teknik pengambilan sampel dari populasi.. yang dilakukan secara acak tanpa

Simple Random Sampling merupakan teknik yang paling sederhana ( simple ). Sampel diambil secara acak, tanpa memperhatikan tingkatan yang ada dalam populasi. Pengambilan

sampling dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi

Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel penduduk adalah ramdom sampling yaitu “pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa

Pengambilan sampel acak berdasar area Pengambilan sampel acak berdasarkan area atau cluster random sampling adalah salah satu metode pengambilan sampel yang digunakan dimana populasi