• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unnes Physics Education Journal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Unnes Physics Education Journal"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Unnes Physics Education Journal

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/upej

© 2012 Universitas Negeri Semarang ISSN NO 2252-6935

Info Artikel

Abstrak

Abstra

ct

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROCESS ORIENTED

GUIDED INQUIRY LEARNING (POGIL) UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

S.M. Ningsih, Bambang S., A. Sopyan.

Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Semarang, Semarang, Indonesia

Sejarah Artikel: Diterima September 2012 Disetujui Oktober 2012 Dipublikasikan November 2012

Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) merupakan model pembelajaran aktif yang menggunakan belajar dalam tim, aktivitas guided inquiry untuk mengembangkan pengetahuan, pertanyaan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan analitis, memecahkan masalah, melaporkan, metakognisi, dan tanggung jawab individu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan model POGIL pada pokok bahasan kalor dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Desain penelitian menggunakan Control Group Pre Test­Post Test. Sampel diambil dengan teknik simple random sampling. Hasil penelitian yaitu POGIL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, dengan nilai gain 0,69. Kategori berpikir kritis yang dapat ditingkatkan yaitu kategori berhipotesis, menganalisis dan menyimpulkan. Berdasarkan tes diperoleh 75,00% siswa berkategori sangat kritis, 18,75% berkategori kritis, dan 6,25% siswa berkategori cukup kritis. Sedangkan berdasarkan observasi diperoleh hasil 18,75 % siswa berkategori kritis, dan 81,25 % berkategori cukup kritis. Rata-rata nilai psikomotorik siswa 90,89 dan afektif 87,11. Simpulan penelitian ini yaitu POGIL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada pokok bahasan kalor. Alamat korespondensi: e-mail: bambangsbli@yahoo.com Kata Kunci: critical thinking guided inquiry POGIL

Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) is an active learning model that uses learning in teams, guided inquiry activities to develop knowledge, questions to enhance critical thinking and analytical skills, problem solving, report, metacognition, and individual responsibility. The purpose of this study was to determine the increases of students' critical thinking skills through implementation of the model POGIL on the subject of heat. The study design using the Control Group Pre Test-Post Test. Samples were taken by simple random sampling technique. The results are POGIL can enhance students' critical thinking skills, with a value of 0.69 gain. Aspects of critical thinking that could be improved is aspects hypothesize, analyze and conclude. Based on the obtained test 75.00% of students categorized as very critical, critical category 18.75% and 6.25% of students categorized as critical enough. While the results based on observations obtained 18,75 % of students categorized as critical, and 81,25 % categorized as enough critical. The average value of the students psychomotor 90.89 and affective 87.11. The conclusions of this study is POGIL can enhance students' critical thinking skills in the subject of heat.

(2)

Pendahuluan

Di era globalisasi ini, kehidupan masyarakat banyak dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi. Banyak masalah kehidupan di sekitar kita yang harus diselesaikan dengan metode ilmiah. Agar manusia bisa bertahan hidup, manusia dituntut untuk siap menghadapi persaingan dunia kerja. manusia harus memiliki kemampuan berpikir kritis, mampu bekerja dalam tim, dan mampu memecahkan masalah.

Pendidikan IPA merupakan salah satu pendidikan sains yang terdapat dalam kurikulum di Indonesia. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Fisika merupakan bagian dari IPA, yang dapat digunakan sebagai wahana untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Pada kenyantaannya kegiatan proses pembelajaran IPA di kelas masih berpusat pada guru (theacher centered), Guru hanya menuntut siswa menghafal konsep dan menghafal rumus. Siswa hanya duduk, mendengar, mencatat, dan menhafalkan konsep. Siswa tidak diajak aktif mengikuti pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi tidak menarik dan siswa menjadi bosan. Guru tidak memberi kesempatan bagi siswa untuk menemukan konsep, mengembangkan kemampuan proses berpikir dan kecakapan hidup.

Diberlakukannya Kurikulum Satuan Tingkat Satuan Pendidikan menuntut proses pembelajaran berpusat pada siswa (student centered). Sekarang telah ditemukan dan diterapkannya model-model pembelajaran inovatif dan konstruktif. Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup.

Untuk memecahkan masalah tersebut, perlu diterapkan model pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satu model pembelajaran yang diterapkan yaitu Process

Oriented Guided Inquiry Learning(POGIL).

POGIL merupakan model pembelajaran aktif yang menggunakan belajar

dalam tim, aktivitas guided inquiry untuk mengembangkan pengetahuan, pertanyaan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan analitis, memecahkan masalah, melaporkan, metakognisi, dan tanggung jawab individu. Brown (2011) menyatakan kegiatan pogil terdiri dari beberapa kelompok kecil terdiri 3-4 siswa bekerja sama. Agar siswa memiliki keterampilan yang efektif maka setiap anggota kelompok memiliki tugas masing-masing. Setiap tim terdiri dari manager, spokesperson, recorder, dan strategy analyst. Terdapat tujuh komponen untuk mengembangkan keterampilan proses dan penguasaan disiplin konten, yaitu (Learning teams are highly effective) belajar dalam tim lebih efektif, (Guided inquiry activities develop understanding) aktivitas inkuiri terbimbing mengembangkan pengetahuan, (Critical dan analytical thinking are the keys to success) berpikir kritis dan analitis kunci sukses, (Problem solving requires expert strategies) menyelesaikan masalah, (Reporting build skills and solidifies concept) membuat laporan dapat membangun keterampilan dan memperkuat konsep, (Metacognition is important) pentingnya metakognisi, (Individual responbility is a motivating force) tanggung jawab individu sebagai cara untuk memotivasi.

Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir yang melibatkan proses kognitif, analisis, rasional, logis, dan mengajak siswa untuk berpikir reflektif terhadap permasalahan. Menurut Ennis (1996), sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1, indikator berpikir terdiri dari 12 indikator dan dikelompokkan menjadi 5 keterampilan dasar yaitu memberikan penjelasan dasar, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, membuat penjelasan lebih lanjut, dan strategi dan taktik. Dalam penelitian ini, indikator-indikator tersebut dikelompokkan dalam kategori berpikir kritis meliputi mengklasifikasi, berhipotesis, membuat kesimpulan, mengamati, mengevaluasi, dan menganalisis.

Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang diajukan dalam penelitian ini yaitu apakah model pembelajaran Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui model pembelajaran Process Oriented

(3)

Guided Inquiry Learning (POGIL). METODE

Rancangan dalam penelitian ini yaitu True Experimental Design. Pengambilan sampel secara Random Sampling. Kelas VII E sebagai kelas eksperimen dan kelas VIIC sebagai kelas kontrol. Variabel dalam penelitian meliputi model pembelajaran (POGIL) sebagai variabel bebas dan kemampuan berpikir kritis siswa sebagai variabel terikat. Desain penelitian Control Group Pre Test-Post Test dengan pola seperti pada gambar. Data yang dibutuhkan yaitu daftar nilai fisika kelas VII semester gasal tahun pelajaran 2011/2012 diambil dengan metode dokumentasi, kemampuan berpikir kritis siswa diambil dengan teknik tes dan observasi, dan nilai psikomotorik serta nilai afektif diambil dengan metode observasi. Dalam penelitian ini kategori berpikir kritis yang diamati meliputi mengklasifikasi, berhipotesis, membuat kesimpulan, mengamati, mengevaluasi, dan menganalisis. Penilaian Kategori mengklasifikasi, mengamati, dan mengevaluasi dilakukan berdasarkan pengamatan. Sedangkan berhipotesis, membuat kesimpulan, dan menganalisis dinilai berdasarkan laporan dalam bentuk LKS. Peningkatan kemampuan berpikir kritis diuji dengan uji t dan uji normal gain.

HASIL

Hasil penelitian berupa kemampuan berpikir kritis, kognitif, psikomotorik dan afektif disajikan dalam tabel dan gambar berikut ini. Perolehan nilai pre test dan post test dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 1. Berdasarkan hasil uji-t diperoleh nilai thitung sebesar 5,17 dan ttabel dengan taraf signifikansi 5% sebesar 2,00. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa dari kelas eksperimen dan kelas kontrol meningkat,sebab thitung > ttabel. Selain itu, hasil uji gain yang diperoleh untuk kelas eksperimen sebesar 0,7 tergolong tinggi, sedangkan untuk kelas kontrol sebesar 0,33 tergolong sedang. Untuk memperjelas perolehan nilai pre tes dan post test antara kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan dalam gambar 1. Hasil belajar siswa meliputi kognitif, psikomotorik afektif, dan berpikir kritis siswa dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil belajar siswa kelas eksperimen dengan model pembelajaran POGIL lebih besar dibandingkan

kelas Kontrol dengan model praktikum siap saji. Berpikir kritis adalah berpikir logis dan reflektif yang dipusatkan pada keputusan apa yang diyakini atau dikerjakan. Hasil masing-masing kategori berpikir kritis disajikan pada Tabel 3. Pada kelas eksperimen terdapat 15 siswa dalam kategori sangat kritis dan 17 siswa dalam kategori kritis. Pada kelas kontrol terdapat 17 siswa dalam kategori kritis, 9 siswa cukup kritis, dan 16 siswa kurang kritis. Besar hubungan berpikir kritis dengan hasil belajar (kognitif, psikomotorik, dan afektif) antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel 4.

PEMBAHASAN

Hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan secara signifikan antara kelas eksperimen dengan model POGIL dan kelas kontrol dengan model praktikum siap saji. Berdasarkan hasil uji-t diperoleh thitung sebesar 5,13 dan ttabel sebesar 2,00. Selain itu, hasil uji gain kelas eksperimen yaitu 0,69 dan kelas kontrol sebesar 0,33. Tabel 4.8 dan Tabel 4.11 memuat informasi bahwa jumlah siswa berkategori sangat kritis kelas POGIL lebih banyak dari kelas eksperimen siap saji. Berdasarkan tes diperoleh 75,00% siswa dalam kategori sangat kritis, 18,75% dalam kategori kritis, dan 6,25% siswa dalam kategori cukup kritis. Rata-rata hasil belajar kelas eksperimen lebih besar dari kelas kontrol.

Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen dikarenakan penerapan model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir. POGIL menerapkan siklus belajar tiga eksplorasi, penemuan atau pembentukan konsep dan aplikasi. siswa belajar bekerja sama dalam tim untuk menemukan dan mengembangkan pengetahuan melalui inkuiri terbimbing dengan menguji data, model, atau contoh dan merespon pertanyaan critical-thinking. Siswa mengaplikasikan pengetahuan dalam latihan dan masalah, mempresentasikan hasil di kelas, merefleksikan, menilai, dan memperbaiki apa yang mereka peroleh. POGIL mengajak siswa berpikir kritis mulai dari menghipotesis, mengamati dan mengidentifikasi model berupa praktikum tentang kalor, menganalisis, dan menyimpulkan.

Melalui eksperimen terbimbing secara signifikan dapat memperbaiki kemampuan siswa untuk memahami argumen dan masalah

(4)
(5)
(6)
(7)

yang dipecahkan di dalam kelas. Siswa memiliki pengalaman belajar sehingga siswa lebih mudah memahami konsep fisika yang dipelajari. Model ini Hal ini sesuai dengan pendapat Doppelt (2003) mengenai pembelajaran aktif dalam pengajaran kontruktivisme, yaitu siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep melalui pemikiran aktif dan pemecahan masalah tidak hanya sekedar mengingat melainkan melakukan kegiatan membangun pengetahuan dengan latihan dari guru atau pekerjaan rumah yang terdapat pada buku. Siswa bertanggung jawab atas peristiwa belajar dan hasil belajarnya. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Triwiyono (2011), bahwa pembelajaran dengan eksperimen terbimbing lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Hasil yang sejalan, bahwa dengan inkuiri laboratorium dapat meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa (Akhyani, 2008).

Siswa aktif melakukan inquiry di laboratorium dengan petunjuk praktikum berupa pertanyaan yang tercantum dalam LKS, sehingga siswa diajak berpikir. Setelah mendapat data pengamatan, siswa dibimbing menemukan konsep melalui pertanyaan-pertanyaan berpikir kritis dalam LKS. Bersama-sama satu tim siswa menjawab dan menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang ada, pola pikir siswa diajak berpikir kritis. Kemudian siswa diberi kesempatan untuk mempresentasikan laporannya. Sedangkan untuk kelas kontrol, semua petunjuk eksperimen sudah nampak jelas berupa kalimat perintah yang terdapat di LKS. Setelah mendapat data, siswa diharapkan bisa menuliskan kesimpulan. Tidak terdapat pertanyaan-pertanyaan kritis yang dapat membantu menganalisis dan menarik keimpulan. Strategi eksperimen terbimbing sesuai dengan pendapat Bassham (2008) yang menyatakan bahwa berpikir kritis dapat dilatih dengan belajar berbagai variasi keterampilan.

Dalam penelitian ini kelas eksperimen dibentuk tim yang terdiri dari empat orang siswa yang masing-masing tim terdiri dari manager, spokesperson, recorder, dan strategy analyst. Setiap anggota memiliki tugas masing-masing. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan kemampuan bekerja sama dalam tim, bekerja kritis, bertanggung jawab, saling bertukar pendapat, menarik kesimpulan, dan

memecahkan masalah. Struktur kelompok tersebut dirolling untuk tiap pertemuan. Sedangkan dalam kelas kontrol dibagi menjadi kelompok kecil yang terdiri dari empat siswa. Penggunaan metode kooperatif dan pemecahan masalah berkolaborasi dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis, siswa terlibat aktif secara individual dan juga dalam kerja kelompok (Sarwi & Liliasari, 2009). Hal senada disampaikan oleh Brown (2010) mengatakan bahwa penggunaan diri yang dipilih tim untuk penyelesaian pertanyaan membantu mengembangkan keterampilan proses kunci seperti berpikir kritis dan komunikasi.

Aspek psikomotorik dalam penelitian ini yaitu kemampuan siswa dalam mengukur besaran suhu dan waktu. Aspek yang diamati meliputi kemampuan menggunakan alat ukur, membaca skala, dan menuliskan hasil pengukuran ketika melaksanakan eksperimen kalor dengan model POGIL. Dalam hal ini, siswa hanya diberi sedikit gambaran tentang alat, siswa diminta untuk merangkai alat sendiri, petunjuk eksperimen sudah tertuang dalam LKS dan sebagian dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dalam model POGIL ini siswa menjadi aktif dan berpikir. Siswa menjadi lebih senang, siswa menjadi mengerti hal yang sering ada dalam lingkungan sehari-hari yaitu bagaimana cara menggunakan thermometer dan stopwatch. Siswa belajar dengan hands on activities. Dengan demikian, aktivitas ilmiah siswa dapat berpengaruh terhadap perkembangan psikomotoriknya. Penerapan model pembelajaran fisika berbasis hands on activities mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, hal itu ditunjukkan selama pembelajaran (Yuliati, 2011).

Hasil afektif kelas eksperimen lebih besar dibandingkan kelas kontrol. Penilaian efektif dalam penelitian ini meliputi bekerja sama dalam kelompok, kejujuran, bertanggung jawab, dan menghargai pendapat orang lain. Perbedaan perolehan nilai dikarenakan di kelas POGIL siswa belajar dalam tim. Masing-masing siswa mempunyai tanggung jawab individu terhadap timnya, misalnya sebagai presenter harus bertanggung jawab menyampaikan hasil eksperimen di depan kelas. Di kelas kontrol siswa belajar dalam tim dan tanggung jawab semua tugas dibagi secara bersama-sama. Di kelas eksperimen siswa cenderung menghargai pendapat orang lain, karena mereka merasa suatu saat juga akan menjadi presenter. Sedangkan di kelas kontrol, belum tentu semua

(8)

siswa bisa menyampaikan pendapat. Pembelajaran POGIL berbasis tim ini membuat siswa lebih aktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Brown bahwa belajar dalam tim membuat siswa lebih mungkin untuk mengembangkan penalaran tingkat yang lebih tinggi, manajerial, kerja sama tim dan keterampilan komunikasi(Brown, 2010).

Rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa dengan model POGIL lebih besar dibandingkan kelas dengan model eksperimen siap saji. Dalam kelas POGIL diperoleh hasil 18,75% siswa dalam kategori kritis, dan 81,25% dalam kategori cukup kritis. Kategori berpikir kritis yang dapat ditingkatkan dalam penelitian ini yaitu kategori berhipotesis, menganalisis dan menyimpulkan. Dari ketiga kategori tersebut, yang paling signifikan yaitu kategori menganalisis dan menyimpulkan. Dalam POGIL, di awal pembelajaran siswa mengetahui tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Siswa memperoleh masalah yang memancing siswa untuk dipecahkan. Masalah yang disampaikan berbasis kontekstual, yaitu hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan berhipotesis siswa tertuang dalam LKS sebelum melaksanakan eksperimen. Dalam POGIL, siswa menganalisis hasil eksperimen dibimbing dengan berbagai pertanyaan kritis yang berurutan dan berkesinambungan hingga pada akhirnya siswa dapat membuat kesimpulan dengan benar. Berbeda dengan kelas model eksperimen siap saji, siswa tidak dibimbing pertanyaan untuk menganalisis data dan menyimpulkan.

Di akhir pembelajaran, siswa mengumpulkan laporan kinerja mereka dan guru memberikan lembar penilaian dan metakognisi. Strategy analyst bertugas untuk mengisi metakognisi, siswa menilai sendiri apakah konsep yang dipelajari sudah dipahami, kinerja tim sudah baik atau belum, dll. Melalui metokognisi ini siswa diajak berpikir kritis menilai kinerja timnya sendiri, berpikir juga untuk merencanakan perbaikan yang akan dilakukan untuk pertemuan selanjutnya.

Tabel 4 merupakan tabel hubungan antara berpikir kritis dengan hasil belajar kelas eksperimen dan kontrol. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,83 untuk kelas eksperimen dan 0,88untuk kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara berpikir kritis dengan kognitif. Siswa berkemampuan kritis tinggi maka, kognitifnya

juga tinggi. Terdapat perbedaan jawaban siswa antara siswa berkemampuan kritis tinggi dan rendah. Pada saat pembelajaran, siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan kritis juga ketika mengerjakan soal-soal. Siswa yang berkategori sangat kritis, hasil pekerjaannya lebih rasional, runtut, dan teliti. Siswa berkemampuan kritis tinggi akan melibatkan proses kognitif, analisis, rasional, logis, dan reflektif ketika mengerjakan soal, sehingga hasil kognitif tes berpikir kritisnya juga tinggi.

Nilai koefisien korelasi kelas eksperimen yaitu 0,50 sedangkan kelas kontrol yaitu 0,55. Nilai tersebut artinya terdapat hubungan sedang antara berpikir kritis dengan kemampuan psikomotorik siswa. Siswa berkemampuan kritis tinggi maka, kemampuan psikomotoriknya belum tentu tinggi. Pada saat pembelajaran, terdapat perbedaan keterampilan mengukur antara siswa berkemampuan kritis tinggi dan rendah. Siswa berkemampuan kritis tinggi lebih teliti dan memahami cara mengukur besaran dengan benar. Salah satunya, ketika mengukur suhu, siswa berkemampuan kritis melihat skala tegak lurus dengan mata dan tidak akan memegang badan thermometer.

Nilai koefisien korelasi kelas eksperimen yaitu 0,34 sedangkan kelas kontrol yaitu 0,13. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara berpikir kritis dengan afektif lemah. Hal ini sesuai dengan pengamatan ketika pelaksanaan pembelajaran. Masing-masing siswa memiliki sifat atau karakter yang berbeda. Terdapat siswa yang berpikir kritisnya tinggi tetapi afektifnya rendah, dan sebaliknya. Beberapa siswa yang tidak memperhatikan temannya ketika presentasi di depan kelas, tetapi mampu melaksanakan eksperimen. Terdapat siswa yang berpikir kritisnya rendah, tetapi memiliki sikap bekerja sama, jujur, tanggung jawab, dan menghargai pendapat orang lain.

POGIL merupakan model pembelajaran dengan siswa memecahkan masalah melalui inquiry terbimbing secara tim dan siswa diberi kesempatan untuk menilai kinerja mereka dan berpikir untuk memperbaiki kekurangannya(metakognisi). Model ini membuat siswa lebih aktif, memiliki kemampuan berpikir kritis, bekerja sama dalam tim, dan mampu memecahkan masalah. Pembelajaran dengan eksperimen terbimbing lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa (Triwiyono, 2011).

(9)

Berdasarkan Brown (2010), dimasukkannya pembelajaran berbasis tim model POGIL dapat meningkatkan hasil kelas bagi siswa, mendorong keterlibatan aktif dengan bahan selama pembelajaran, memberikan umpan balik langsung ke instruktur mengenai kekurangan pengetahuan siswa, dan menciptakan lingkungan kelas yang diterima dengan baik oleh siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Johson menyampaikan bahwa POGIL memberi kesempatan bagi siswa untuk berlatih memecahkan masalah dan berpikir kritis (Johson, 2011). Hasil penelitian Brown yang dilakukan selama 3 semester menunjukkan bahwa dengan menerapkan model POGIL, hasil belajar siswa meningkat secara signifikan. Menurut Zawadzki (2009) model POGIL dapat meningkatkan keterampilan belajar siswa dan Penguasaan konten mahasiswa umumnya melebihi dari model tradisional.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa model POGIL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran kalor. Hal ini dapat dilihat bahwa 75,00% siswa berkategori sangat kritis, 18,75% berkategori kritis, dan 6,25% siswa berkategori cukup kritis. Sedangkan berdasarkan observasi diperoleh hasil 18,75% siswa berkategori kritis, dan 81,25% berkategori cukup kritis. Rata-rata nilai psikomotorik siswa 90,89 dan afektif 87,11. Psikomotorik siswa memiliki rata-rata 90,89 dalam kategori sangat aktif, dan afektif siswa mempunyai nilai rata-rata 87,11. Para pendidik diharapkan dapat menerapkan model POGIL pada sub pokok bahasan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Akhyani, A. 2008. Model pembelajaran kesetimbangan kimia berbasis inkuiri laboratorium untuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa SMA. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA. 2 (1): 99-110.

Bassham, G. et al. 2008. Critical Thinking: A Student's Introduction (Third ed.). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Brown S . 2010. A process-oriented guided inquiry approach to teaching medicinal chemistry. American Journal of Pharm Educ. 74 (7). Brown, P. J. P. 2010. Process-oriented guided-inquiry

learning in an introductory anatomy and physiology course with a diverse student population. Advan in Physiol Edu 34:150-155. Doppelt, Y. 2003. Implementation and Assessment of

Project Based Learning in a Flexible Environment. International Journal of Technology and Design Education. 13, 255-272. Ennis, R. H. 1996. Critical Thinking. New Jersey:

Printice-Hall, Inc.

Johnson, C. 2011. Activities Using Process-Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) in the Foreign Language Classroom. A Journal of the American association of Teachers of German, 14(1):30-38.

Sarwi & Liliasari. 2009. Penumbuhkem-bangan Keterampilan Berpikir Kritis calon Guru Fisika Melalui Penerapan Strategi

Kooperatif Dan Pemecahan Masalah Pada Konsep Gelombang. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. 5 (2) : 126-133.

Triwiyono. 2011. Program Pembelajaran Fisika Menggunakan Metode Eksperimen Terbimbing Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. 7 : 80-83. Yuliati. 2011. Pembelajaran fisika Berbasis Hands On

Activities untuk Mneumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. 7 : 23-27. Zawadsky, R. 2010. Is Process-oriented

guided-inquiry learning(POGIL) suitable as a teaching method in Thailand’s higher education?. As. J.Education & Learning 2010, 1(2), 66-74. Tersedia di www.ajel

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Rencana yang dirancang untuk mencapai tujuan organisasi yang lebih luas :.. Menurut Peter Drucker, seorang manajer dalam setiap operasinya lebih

Berdasarkan penjelasan tabel 5.7 menunjukkan bahwa untuk variabel jumlah wisatawan diperoleh nilai koefisien sebesar 0,734 nilai t hitung 7,950 dan signifikansi pada

bahwa dalam rangka pengawasan, pengendalian, dan pembinaan terhadap Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (2)

Menurut Husein & Pambekti (2014) hal lain yang dapat kita lihat pada model Zmijewski adalah bahwa model Zmijewski menekankan besarnya utang dalam memprediksi

Kelompok ini mencakup usaha atau kegiatan penangkapan jenis ikan taksa ikan bersirip (Pisces) yang dilindungi dan/atau Appendiks CITES sesuai ketentuan perlindungannya, yang hidup

Dari tugas akhir yang akan dikerjakan ini, diharapkan dapat diketahui secara simulasi perubahan aliran daya yang terjadi pada saluran, profil tegangan dan penurunan

2.   Para  Manajer  Kinerja  Pegawai  dan  Manajer  Kinerja  Organisasi  wajib  memberitahukan  isi  surat edaran  ini  kepada seluruh  pegawai di