ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM
KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN
KARYA IMAM NAWAWI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh:
Uswatun Khasanah
NIM: 111 14 367
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM
KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN
KARYA IMAM NAWAWI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh:
Uswatun Khasanah
NIM: 111 14 367
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : Empat (4) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi Yth.
Dekan FTIK IAIN Salatiga di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara Nama : Uswatun Khasanah
NIM : 111 14 367
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul : Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran Karya Imam Nawawi
Dapat diajukan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga untuk diajukan dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga, 14 September 2018 Pembimbing,
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
Jalan Lingkar Salatiga Km. 2 Telepon: (0298) 6031364 Salatiga 50716 Website: tarbiyah.iainsalatiga.ac.id Email: tarbiyah@iainsalatiga.ac.id
SKRIPSI
ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN KARYA IMAM NAWAWI
DI SUSUN OLEH : USWATUN KHASANAH
111 14 367
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kegururan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 27 September 2018 dan telah dinyatakan
memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.
Sekretaris Penguji : Dr. M. Ghufron, M.Ag. Penguji I : Siti Rukhayati, M.Ag. Penguji II : Dr. Muna Erawati, S.Psi., M.Si.
Salatiga, 2 Oktober 2018
Dekan FTIK IAIN Salatiga
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Uswatun Khasanah
NIM : 111 14 367
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran Karya Imam Nawawi
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 14 September 2018
Yang menyatakan,
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
ِهِباَحْصَ ِلًِاعْيِفَش ِةَماَيِقلْا َم ْوي ىِتْأَي ُهَّنِاَف ,َنآ ْرُقْلا اوُءَرقا
“Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai pemberi
syafaat bagi pembacanya.”
(HR. Muslim: 804)
PERSEMBAHAN
Untuk kedua orang tuaku, Bapak Jumaeri dan Ibu Susiati yang senantiasa mendukung dan mendoakanku. Semoga Allah SWT selalu melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya.
Kakakku tercinta, Muhammad Ikhsan Suseno, S.Pd. yang selalu menyemangati.
Keluarga ndalem KH. Mahfudz Ridwan Lc. terkhusus Gus Muhammad Hanif, M. Hum Yang telah memberikan ilmu dan doanya.
Keluarga besar PP Edi Mancoro yang telah membimbing dan menemani perjalananku.
Abah yai Zainal Muttaqin, yang memberikan doa pangestunya.
Kakanda yang selalu sabar mendampingi.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Adab
Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran Karya Imam Nawawi”.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan
hingga terang benderang, semoga kita semua diakui sebagai umatnya yang kelak
mendapatkan syafaatnya di akhirat.
Selanjutnya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M. Pd. Selaku Dekan FTIK
3. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag. Selaku Ketua Jurusan PAI
4. Bapak M. Yusuf Khummaini, S.HI., M.H. selaku dosen pembimbing
akademik
5. Bapak Dr. M. Ghufron, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang
6. Bapak Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Semua pihak keluarga dan sahabat yang sudah membantu menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat memberikan tambahan wawasan yang lebih luas dan dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga, 14 September 2018 Penulis,
ABSTRAK
Khasanah, Uswatun. Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan Fii Adaabi Hamalatil Quran. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga, Salatiga, 2018.
Kata Kunci: Adab Membaca Al-Quran, Attibyan Fii Adaabi Hamalatil Quran Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran karya Imam Nawawi. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran , (2) Bagaimana relevansi adab membaca Al-Quran di dalam Kitab Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran dengan zaman kekinian?
Metode penelitian yang digunakan yaitu Literature (kepustakaan). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara mengamati pada sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku, artikel, jurnal, skripsi, tesis atau lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini. Pengumpulan data dibagi menjadi dua sumber yaitu data primer dan sekunder. Kemudian data dianalisis menggunakan metode deskriptif dan kontekstual.
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL SKRIPSI ... i
LEMBAR BERLOGO ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... ix
DAFTAR ISI ... x
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kegunaan Penelitian ... 6
E. Telaah Pustaka ... 7
F. Penegasan Istilah ... 9
H. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II : BIOGRAFI IMAM NAWAWI A. Biografi Imam Nawawi ... 15
B. Karya-Karya Imam Nawawi ... 21
C. Guru-Guru Imam Nawawi ... 23
D. Sistematika Penulisan Kitab Attibyan ... 24
BAB III : DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM NAWAWI TENTANG ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN A. Pengertian Adab Membaca Al-Quran ... 25
B. Pemikiran Imam Nawawi tentang Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran ... 26
C. Keutamaan Membaca Al-Quran ... 40
D. Manfaat Membaca Al-Quran ... 42
BAB IV : PEMBAHASAN A. Adab Membaca Al-Quran Menurut Imam Nawawi... 45
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
Lamp. 1 : Lembar Konsultasi Skripsi
Lamp. 2 : Surat Penunjukan Pembimbing
Lamp. 3 : Daftar Nilai SKK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang universal dan abadi memberikan pedoman
hidup (way of Live) bagi manusia menuju kebahagiaan hidup lahir dan batin, serta dunia akhirat (Razak, 1984:9). Kebahagiaan hidup manusia itulah yang
menjadi sasaran hidup manusia yang pencapaiannya sangat bergantung pada
proses pendidikan.
Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang paling
sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada
kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar-dasar dan
perundang-undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan mata air
yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung
serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan
dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran. Allah
berfirman,
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang
lebih Lurus...”(QS. Al-Israa’: 9)
Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang
mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan
prinsip-prinsip umum hukum perbuatan (Thabathaba’i, 1998: 21). Jadi, di dalam Al
-Quran mengandung beberapa pokok yang mengatur tentang kehidupan
manusia, terutama mengenai adab. Mengingat bahwa budi pekerti anak
zaman sekarang semakin berkurang.
Sebagai manusia tidak hanya mengutamakan hablun mina annas tetapi hablun mina Allah nya harus tetap terjaga. Salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan Allah adalah memahami kalam-Nya yaitu Al-Quran. Dengan membaca Al-Quran Allah SWT senantiasa memberikan
petunjuk dalam setiap urusan manusia baik di dunia maupun akhirat. Maka
Allah memilih Iqra’ sebagai kalimat pertama yang Dia turunkan. Hal ini
mengindikasikan bahwa permulaan membangun umat ini adalah dengan ilmu.
Dan salah satu metode yang dituntunkan oleh Allah untuk memperoleh ilmu
adalah dengan membaca. Tentu bacaan yang baik dan bermanfaat.
Menurut Wahyudi, Wahidi (2016: 16) Al-Quran memiliki banyak
fadhilah yang tidak terhingga, sehingga Al-Quran bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Di antara keutamaan itu ialah sebagai
berikut: Al-Quran memberi syafaat bagi penjaganya, Dibolehkan iri kepada
penghafal Al-Quran, Penghafal Al-Quran akan mendapatkan pahala yang
berlipat ganda, Menjadi keluarga Allah, Penghafal Al-Quran digolongkan
sebagai orang-orang pilihan yang mulia bersama para nabi dan syuhada,
Penghafal Al-Quran akan dipakaikan mahkota kehormatan dan jubah
karomah, serta mendapat keridhaan Allah, Diberi ketenangan jiwa, Penghafal
Al-Quran dapat memberi syafaat pada keluarganya, Ada perintah untuk
memuliakan Ahli Al-Quran dan dilarang menyakitinya, Penghafal Al-Quran
diprioritaskan hingga wafat.
Semua budi pekerti yang luhur dan akhlak yang mulia berasal dari
Al-Quran Al-Karim. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud, “Setiap
Muaddib (pendidik adab) merasa senang jika adabnya itu diterapkan. Dan sungguh adab dari Allah tertuang di dalam Al-Quran” (Badar, 2017: 95).
Maka gunakan Al-Quran sebagai pedoman dalam kehidupan, terutama
mengenai adab.
Telah dimaklumi bahwa umat Islam pada masa Nabi banyak yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) sampai-sampai Allah mencatat sifat
mereka dalam Al-Qur’an:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As
Sunnah)...” (QS. Al-Jumu’ah: 22)
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisimereka ...” (QS. Al-A’raf: 157)
Turunnya wahyu secara bertahap tentu sangat menolong para sahabat
untuk membaca, menghafal, dan mengamalkan Al-Quran di kehidupan
sehari-hari (Wahyudi, Wahidi, 2016: 6)
Sesungguhnya Al-Quran adalah kitab Allah SWT. Setiap kali seorang
muslim membaca, mencintai dan menghafalnya maka Allah akan
mengaruniakan kepadanya pemahaman yang benar .... Dia tidak
memberikannya kepada siapapun, namun dia hanya memberikannya kepada
ahli Allah (para wali Allah), yang mereka itu adalah ahli Al-Quran (para
penghafal Al-Quran) (Az-Zawawi, 2013: 37).
Allah memuliakan umat Islam dengan kitab Al-Quran sebagai kalam
terbaik Allah. Maka umat-Nya harus menaruh perhatian yang besar untuk
menghormati Al-Quran dengan cara belajar, mengajar, membahas dan
mengkajinya secara berkelompok ataupun sendirian. Itulah faktor yang
mendorong Imam Nawawi dalam menulis kitab yang berisi tentang
adab-adab berinteraksi dengan Al-Quran dan sifat-sifat penghafal dan pelajarnya.
Ketekunan Imam Nawawi akan ilmu menghasilkan karya yang cukup
banyak salah satunya adalah kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an yang
Hamalatil Qur’an membahas perkara-perkara yang sangat penting diketahui
oleh setiap umat Islam, karena kitab ini membicarakan berbagai hal yang
berkaitan adab dalam menjalin interaksi dengan kitab suci Quran Al-Karim dari segi membaca, memegang, dan posisi duduk ketika membaca Al-Quran. Dalam Kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran juga membahas
masalah-masalah unik yang penting salah satunya adalah jika sedang qiraah
lalu tiba-tiba ingin buang angin, hendaknya ia menghentikan bacaannya
hingga ia selesai buang angin, baru kemudian melanjutkan bacaannya. Selain
dijelaskan bagaimana adab berinteraksi dengan Al-Quran, juga dijelaskan
mengenai adab seputar khataman, cara, waktu dan hal-hal yang dianjurkan.
Perbedaan dengan kitab lain, kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatik Quran lebih spesifik dalam pembahasannya mengenai adab-adab yang sering disepelekkan
oleh pembaca Al-Quran yang dianggap remeh tetapi justru lebih penting dan
harus lebih berhati-hati. Karena berinteraksi dengan Al-Quran berarti
berinteraksi dengan Allah SWT.
Jadi, kajian dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an ini dirasa
sangat penting untuk dipelajari oleh orang-orang Islam. Dengan demikian,
penulis bermaksud mengkaji lebih jauh khususnya mengenai adab dalam
berinteraksi dengan Al-Quran dalam sebuah penelitian dengan judul “ADAB
MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI
HAMALATIL QURAN KARYA IMAM NAWAWI”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran?
2. Bagaimana relevansi adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran dengan konteks kekinian?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran
2. Menemukan relevansi adab berinteraksi dengan Al-Quran dalam kitab
Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran dengan konteks kekinian D. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
jelas dan dapat memberi manfaat secara praktis maupun teoretis, antara lain:
1. Manfaat teoretis
a. Memberi kejelasan secara teoretis tentang adab membaca Al-Quran
dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran
b. Menambah dan memperkaya keilmuan di bidang pendidikan
c. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap wacana pendidikan Islam
khususnya di bidang membaca Al-Quran
2. Manfaat praktis
Setelah proses penelitian diselesaikan, diharapkan hasil tulisan ini
membaca Al-Quran dan relevansinya terhadap zaman kekinian pada kitab
Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran. Dengan demikian penulis dapat memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis dalam dunia
pendidikan, yaitu wacana baru yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan
bersama sesama praktisi pendidikan dalam memberikan cara pandang dan
landasan pijak dalam memahami bagaimana etika dalam membaca
Al-Quran.
E. Telaah Pustaka
Untuk menghindari terjadinya plagiasi, maka penulis memaparkan
karya ilmiah yang sudah ada. Selain itu telaah pustaka juga untuk melihat
orisinilitas skripsi.
Rakhman Khakim dengan skripsinya yang berjudul “Kompetensi
Kepribadian Guru dalam Pendidikan Islam (Telaah Kitab Al-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Quran Karya Al-Nawawi) tahun 2008 berisi tentang bagaimana memberikan suri tauladan bagi anak didik terkait dengan
perkembangan zaman
(http://digilib.uin-suka.ac.id/2439/1/BAB%20I%2C%20IV.pdf, diakses pada 8 November
2017, 03:17). Karna guru adalah digugu lan ditiru maksudnya setiap perbuatan dan perkataan seorang guru adalah contoh bagi anak didiknya.
Mengingat bahwa anak lebih cepat memproses hal buruk dibanding yang
baik, maka guru harus lebih berhati-hati dalam berucap maupun bertindak.
Jaka Ahmadi dengan skripsinya yang berjudul “Adab Membaca Al
Al-Salikin Ila Ibadat Al-Rab Al-Alamin” tahun 2015 berisi tentang keutamaan
membaca Al-Quran dan celakanya bagi orang yang lalai terhadap bacaannya.
(http://digilib.uin-suka.ac.id/15853/1/11530025_bab-i_iv-atau-vdaftar-pustaka.pdf
diakses pada 10 Juli 2018, 12:15 WIB). Dipaparkan mengenai adab yang
berkaitan dengan zahir dan batin. Adab zahir merupakan hal-hal yang
berkaitan dengan teknis, baik ketika seorang akan membaca maupun ketika
sedang membaca Al-Quran. Sedangkan adab batin adalah adab yang
berkaitan dengan tata pikir dan amalan hati ketika akan dan sedang
membacanya.
Kontekstualisasi dari nilai Adab membaca Al-Quran menurut syaikh
Abd Al-Samad Al-Falimbani jika digunakan untuk memandang fenomena
kontemporer seperti membaca Al-Quran digital atau elektronik, maka
menurut peneliti masih relevan dan bisa diaplikasikan. Sebab yang diuraikan
Al-Falimbani merupakan adab membaca Al-Quran. Sehingga ketika
seseorang membacanya pada elektronik ia harus tetap melaksanakan adab
zahir maupun batin, seperti halnya membaca pada mushaf fisik (kertas, kulit).
Ali Muhdi, S.Pd.I, MSI. dalam penelitiannya yang berjudul ”Konsep
Moral Pendidikan dan Peserta Didik Menurut Al-Nawawi Al-Dimasyqiy”
tahun 2016 berisi tentang konsep moral yang hendaknya melekat dalam diri
seorang pendidik dan peserta didik.
(http://repository.iainpurwokerto.ac.id/1385/1/AliMuhdi,S.Pd.I.,MSI._KONS
NAWAWI%AL-DIMASYQIYStudiAnalisisSufistikkitabal-TibyanfiAdabiHamalatial-Quran.pdf diakses pada 16 Juli 2018, 10:30 WIB).
Pendidik yang baik adalah ketika ia dapat dijadikan contoh atau teladan bagi
murid atau peserta didiknya dalam hal apapun, baik perkataan, tindakan,
maupun sikap terhadap sesuatu hal. Peserta didik yang ideal digambarkan
oleh Imam Nawawi sebagai generasi muda yang mampu mengupayakan
dirinya menjadi orang yang bersungguh dalam proses pencarian ilmu dan
pencarian jati dirinya.
Penelitian skripsi ini berbeda dengan skripsi yang di atas, kajian
difokuskan pada adab berinteraksi dengan Al-Quran menurut Imam Nawawi
dalam kitabnya yang berjudul Atibyan fi Adabi Hamalatil Quran dikaitkan dengan zaman sekarang. Mengingat budi pekerti zaman sekarang semakin
buruk.
F. Penegasan Istilah
Untuk memudahkan atau menjaga agar tidak terjadi kesalahfahaman,
maka penulis kemukakan penegasan istilah dari judul skripsi berikut:
1. Adab Membaca Al-Quran
Menurut al-Attas, secara etimologi (bahasa) adab berasal dari bahasa
Arab yaitu addaba-yu’addibu-ta’dib yang telah diterjemahkan oleh al-Attas sebagai ‘mendidik’ atau ‘pendidikan’. Dalam kamus Al-Munjid dan
Al Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memiliki arti budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.
Sedangkan, dalam bahasa Yunani adab disamakan dengan kata ethicos
untuk melakukan perbuatan. Ethicas kemudian berubah menjadi etika
(Nasir, 1991: 14).
Al-Ghazali dalam kitab ihya’ Ulum Al-Din menyatakan bahwa
pengertian akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang
memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu
pertimbangan dan analisa (jamil, 2013:2).
Sebagai manusia tentu mempunyai adab atau norma-norma tersendiri
agar hidupnya terarah. Baik norma terhadap diri sendiri, makhluk
ciptaan-Nya dan terhadap Allah SWT. Salah satu norma yang perlu diperhatikan
adalah ketika berinteraksi dengan kalam Allah yaitu Al-quran Al-Karim.
Membaca, menghafal atau mempelajarinya.
Al-Quran adalah kalam Allah, menghafalkannya adalah aktivitas yang
paling besar nilainya, karena hal itu akan membuka pintu-pintu kebaikan.
Dan ingatlah bahwa Rasulullah SAW diutus karena sesuatu yang penting
dan mendasar, yaitu Al-Quran (Al-Kahil, 2011: 19). Untuk berbicara
dengan Allah adalah dengan memahami kalam Allah yaitu dengan
memahami Al-Quran.
Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili ia berkata, aku mendengar
Rasulullah bersabda:
ِهِباَحْصَ ِلًِاعْيِفَش ِةَماَيِقلْا َم ْوي ىِتْأَي ُهَّنِاَف ,َنآ ْرُقْلا اوُءَرقا
“Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat
sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim: 804)
Al-Quran merupakan mukjizat dari Allah SWT sehingga, segala
sesuatu yang berkaitan dengan Al-Quran sudah tentu merupakan hal yang
luar biasa (Yusuf, 2013: 15). Maka penghafal Al-Quran adalah sosok yang
luar biasa.
2. Kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran
Kitab ini membahas perkara-perkara yang sangat penting diketahui
oleh setiap orang Islam karena kitab ini membicarakan berbagai hal yang
berkaitan dengan adab kita menjalin interaksi dengan kitab suci kita
Al-Quran Al-Karim.
Berikut ini adalah kerangka bab dalam kitab ini:
a. Keutamaan pembaca Al-Quran dan penghafalnya
b. Keutamaan qiraah dan ahluqiraah
c. Keharusan memuliakan Ahluquran dan larangan menyakitinya
d. Adab pengajar dan pelajar Al-Quran
e. Adab para penghafal Al-Quran
f. Adab Membaca Al-Quran
g. Adab mulia terhadap Al-Quran
h. Anjuran membaca ayat dan surah pada waktu dan keadaan tertentu
i. Menulis dan memuliakan Mushaf Al-Quran
G. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kepustakaan
(library research), karena yang dijadikan objek kajian adalah hasil karya tulis yang merupakan hasil pemikiran.
2. Sumber data
a. Data primer diambil dari buku utamanya yaitu kitab Attibyan karya Imam Nawawi
b. Data sekunder diambil dari buku-buku yang terkait dengan judul
penelitian yaitu mengenai membaca Al-Quran dan
penelitian-penelitian terdahulu, skripsi, tesis dan jurnal.
3. Teknik pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data pustaka yaitu
membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari berbagai buku
dan karya ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini. Dengan
mengutamakan data primer.
4. Teknik analisis data
Melihat objek penelitian yang berupa buku-buku atau literatur, maka
penelitian ini menggunakan teknik analisa dengan cara deskriptif, filosofis
dan kontekstual.
a. Metode deskriptif
Metode deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk
(Muhamad, 2008: 18). Tujuan dari metode ini adalah membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, komprehensif,
faktual dan akurat tentang objek yang diteliti.
Jadi penulis mendeskripsikan isi buku pada bab adab membaca
Al-Quran kemudian menganalisis sehingga memberikan gambaran
yang akurat.
b. Metode kontekstual
Dalam kamus besar bahasa Indonesia konteks berarti apa yang
ada di depan dan di belakang (KBBI, 2005: 521). Metode kontekstual
adalah metode yang digunakan untuk mencari, mengolah, dan
menemukan kondisi yang lebih konkrit (terkait dengan kehidupan
nyata). Metode ini akan membantu penulis untuk mengaitkan antara
adab membaca AL-Quran yang ada di dalam kitab Attibyan dengan situasi dunia nyata dan mendorong penulis untuk membuat hubungan
antara adab membaca Al-Quran yang ada dalam kitab Attibyan dengan penerapannya dalam kehidupan kekinian.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga
pembaca dapat memahami tentang isi skripsi ini dengan mudah, maka penulis
memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis besar.
Skriosi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling berkaitan yaitu
BAB I PENDAHULUAN. Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, telaah
pustaka, penegasan istilah, sistematika penulisan.
BAB II BIOGRAFI IMAM NAWAWI. Pembahasan bab ini berisi
tentang biografi intelektual tokoh Imam Nawawi yang meliputi: biografi
Imam Nawawi, karya-karya Imam Nawawi, guru-guru Imam Nawawi,
sistematika penulisan Kitab Attibyan.
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM NAWAWI TENTANG
ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI
HAMALATIL QURAN. Pada bab ini dibahas pengertian adab membaca
Al-quran, bagaimana adab berinteraksi dengan Al-Qur’an, keutamaan membaca
Al-quran dan manfaat membaca Al-Quran.
BAB IV PEMBAHASAN. BERISI ANALISIS KITAB ATTIBYAN FI
ADABI HAMALATIL QURAN, RELEVANSI MEMBACA AL-QURAN
DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI HAMALATIL QURAN
DIKAITKAN DENGAN KONTEKS KEKINIAN. Pada bab ini dijelaskan
bagaimana adab membaca Al-quran dalam kitab Attibyan karya Imam
Nawawi dikaitkan dengan konteks kekinian.
BAB V PENUTUP. Bab ini memuat kesimpulan penulis dari
pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat penutup yang sekiranya
BAB II
BIOGRAFI IMAM NAWAWI
A. Biografi Imam Nawawi 1. Nama dan Keturunan
Nama benar beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Murra bin Hasan bin
Hussain bin Hizam bin Muhammad bin Juma’ah. Gelarannya (laqobnya)
dikenali sebagai Muhyiddin dan Kunyahnya pula dikenali sebagai Abu Zakariya. Panggilan termasyhur beliau ialah al-Nawawi karena dinisbatkan
pada asal daerahnya Nawa yaitu nama bagi sebuah kampung yang terletak
dalam daerah Hauran berhampiran dengan Kota Damsyik, Syria
(http://tafaqquh.com/fuqoha/al-imam-muhyiddin-abi-zakariya-yahya-an-nawawi-bagian-satu/, diakses pada 4 September 2018: 20:40).
Beliau mendapatkan kunyah (nama yang didahului Abu) Abu
Zakariya. Kunyah ini bukan berarti beliau mempunyai seorang putra yang
bernama Zakariya sehingga beliau disebut Abu Zakariya (ayahnya
Zakariya) melainkan karena tradisi ulama’ dimana bila ada seorang ulama’
bernama Yahya maka akan diberi kunyah Abu Zakariya dengan tujuan
iltifat kepada Nabi Zakariya dan Ayahnya Yahya. Mengenai pemberian
kunyah pada seorang ini beliau singgung di dalam kitabnya yang terkenal
al-Majmu Syarah Muhaddzab, disitu beliau berkata: “Disunnahkan
memberi kunyah kepada orang yang mempunyai keutamaan baik laki-laki
(http://tafaqquh.com/fuqoha/al-imam-muhyiddin-abi-zakariya-yahya-an-nawawi-bagian-satu/, diakses pada 4 September 2018: 20:40).
Selain kunyah Abu Zakariya, Imam An-Nawawi juga mendapat laqob (julukan) Muhyiddin, artinya penghidup agama. Imam Nawawi sangat
tidak setuju dengan laqob ini hingga diriwayatkan bahwa beliau berkata:
“tidak aku halalkan orang yang memberiku julukan Muhyiddin”
(http://tafaqquh.com/fuqoha/al-imam-muhyiddin-abi-zakariya-yahya-an-nawawi-bagian-satu/, diakses pada 4 September 2018: 20:40).
Al-Imam an-Nawawi digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama), namun dia sendiri tidak senang diberi gelar tersebut.
Ketidaksukaan itu disebabkan rasa tawadhu’ yang tumbuh pada diri
al-Imam an-Nawawi, sebenarnya dia pantas diberi julukan tersebut karena dia
menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, menyuruh melakukan perbuatan yang ma’ruf. Mencegah perbuatan yang mungkar dan memberikan manfaat kepada umat Islam dengan karya-karyanya (Huda,
2011: 57).
Beliau dilahirkan pada 10 Muharram 631 H di Nawa. Bapak beliau
merupakan penduduk asal dari kampung tersebut. Beliau hanya diberi
kesempatan hidup selama 45 tahun saja. Pada hari Rabu yaitu pada bulan
Rajab 676 H, beliau menghembuskan nafas terakhirnya dan dikebumikan
di kampungnya sendiri di Nawa (Hakimah, 2011: 21).
Sebelum meninggal, dia sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan
setengah bulan, dan sempat juga berkunjung ke Baitul Maqdis di
Yerussalem. Dan dia juga tidak menikah sampai akhir hayatnya (Huda,
2011: 55).
2. Kehidupan Ketika Kecil dan Dewasa
Beliau dilahirkan di desa Nawa yang termasuk wilayah Hauran pada
tahun 631H. Kakek tertuanya Hizam singgah di Golan menurut adat Arab,
kemudian tinggal di sana dan Allah SWT memberikan keturunan yang
banyak, salah satu diantaranya adalah Imam Nawawi (Nawawi, t.th: 9).
Bapaknya telah meriwayatkan bahwa ketika beliau berumur tujuh
tahun, satu malam pada bulan Ramadhan yaitu pada 27 Ramadhan,
anaknya itu telah terjaga lalu bertanya kepada ayahnya: “Apakah cahaya
yang menerangi rumah?” Ayahnya menjawab kami tidak melihat apa-apa
cahaya. Maka fahamlah bahwa cahaya itu merupakan cahaya Lailatul
Qadar (Hakimah, 2011: 21).
Banyak orang terkemuka di Nawa yang melihat anak kecil memiliki
kepandaian dan kecerdasan. Mereka menemui ayahnya dan memintanya
agar memperhatikannya dengan lebih seksama. Ayahnya mendorong sang
Imam menghafalkan Al-Quran dan Ilmu. Maka An-Nawawi mulai
menghafal Al-Quran dan dididik oleh orang-orang terkemuka dengan
pengorbanan harus meninggalkan masa bermain-mainnya karena harus
menekuni Al-Quran dan menghafalnya. Sebagian gurunya pernah melihat
bahwa Imam Nawawi bersama anak-anak lain dan memintanya bermain
meninggalkan mereka sambil menangis karena merasa dipaksa. Dalam
keadaan yang demikian itu dia tetap membaca Al-Quran. Demikianlah,
sang Imam tetap terus membaca Al-Quran sampai dia mampu
menghafalnya ketika mendekati usia baligh (Nawawi, t.th: 9-10).
Pada mulanya dia mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama’-ulama’
terkemuka di desa tempat kelahirannya. Kemudian setelah umurnya
menginjak dewasa, ayahnya merasa tidak cukup kalau anaknya belajar di
dusun tempat kelahirannya itu. Maka pada tahun 649 H, bersama ayahnya
an-Nawawi berangkat ke Damaskus. Pada waktu itu tempat berkumpulnya
ulama’- ulama’ terkemuka, dan tempat kunjungan orang dari berbagai
pelosok untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman (Huda, 2011: 56).
Ketika berusia 9 tahun, ayahnya membawa dia ke Damsyiq untuk
menuntut ilmu lebih dalam lagi. Maka tinggallah dia di Madrasah
Ar-Rawahiyah pada tahun 649 H. Dia hafal kitab At-Tanbiih dalam tempo
empat setengah bulan dan belajar Al-Muhadzdzab karangan Asy-Syirazi
dalam tempo delapan bulan pada tahun yang sama. Dia menuntaskan ini
semua berkat bimbingan gurunya Al-Kamal Ishaq bin Ahmad bin Usman
Al-Maghribi Al-Maqdisi. Dia adalah guru pertamanya dalam ilmu fiqh dan
menaruh memperhatikan muridnya ini dengan sungguh-sungguh. Dia
merasa kagum atas ketekunannya belajar dan ketidaksukaannya bergaul
dengan anak-anak yang seumur. Sang guru amat mencintai muridnya itu
dan akhirnya mengangkat dia sebagai pengajar untuk sebagian besar
Syeikh Yasin bin Yusuf al-Zarkashi, guru tariqatnya menceritakan
bahwa ketika Imam Nawawi berusia sepuluh tahun, beliau telah
menghafaz Al-Quran. Oleh yang demikian, gurunya itu berjumpa dengan
guru Al-Qurannya supaya menumpukan perhatian yang lebih terhadap
Imam Nawawi.
Pada Usia 19 tahun yaitu pada tahun 649 H, Imam Nawawi telah
dibawa oleh bapaknya ke kota Damsyiq dan menempatkannya di
al-Rawwahiyah. Al-Rawahiyyah merupakan sebuah pusat pengajian yang
termasyhur di Damsyiq yang terletak di sebuah timur Masjid Ibn Urwah.
Di sini lah Imam Nawawi Mendalami segala Ilmu agama. Kemudian
beliau berangkat ke tanah suci Mekah Mukarramah untuk menunaikan haji
bersama bapaknya dan singgah di Madinah untuk jangka masa beberapa
bulan. Dikatakan beliau mulai sakit dan kembali ke Kota Damsyiq untuk
meneruskan pengajian (Hakimah, 2011: 21-22).
Di penghujung usianya, Imam Nawawi bertolak ke negeri
kelahirannya dan berziarah ke Al-Quds dan Al-Khalil. Kemudian beliau
kembali ke Nawa dan ketika itulah beliau sakit di samping ayah bundanya.
Imam Nawawi Rahimahullah wafat pada malam Rabu 24 Rajab tahun 676 H dan dimakamkan di Nawa (Nawawi, t.th: 13). Kuburan beliau sangat
terkenal dan selalu diziarahi orang-orang yang mengagumi perjuangannya
3. Akhlak dan Pribadi
Imam Nawawi seorang insan yang tidak terpengaruh dengan hiburan
di dunia. Beliau hanya menggunakan seluruh isi bumi yang ada hanya
dengan menuntut ilmu dan hanya untuk mencari keridhaan Allah. Beliau
memang terkenal dengan sifat tekunnya sehingga beliau dikatakan tidak
pernah berkahwin sehingga saat kematian beliau sampai (Hakimah, 2011:
21).
Imam Nawawi seorang yang sangat zuhud dalam kehidupannya. Pada
kebiasaannya, beliau hanya memakan roti Al-Ka’k dan buah Zaitun
Hauran yang dikirimkan oleh ayahnya sahaja (Hakimah, 2011: 21).
Syaikh Syamsuddin bin Al-Fakhr Al-Hanbali berkata, “Imam
An-Nawawi adalah sosok panutan, hebat, banyak hafal hadits, ahli di semua
bidang keilmuan, banyak menulis buku, sangat wara’ dan zuhud,
meninggalkan semua makanan enak kecuali yang dibawakan oleh
ayahnya, yaitu kue dan buah tin. Beliau memakai pakaian jelek dan
bertambal, beliau tidak mau masuk pemandian umum, beliau tidak
memakan semua buah-buahan, beliau tidak memakan satu dirham pun sari
semua aktivitasnya (Said, 2016: 20-21).
Imam Nawawi tekun menuntut ilmu-ilmu agama, mengarang,
menyebarkan ilmu, beribadah, berdzikir, sabar menjalani hidup yang amat
sederhana dan berpakaian tanpa berlebihan (Nawawi, t.th: 10).
Begitu juga dalam hal menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, tanpa
kepada para penguasa yang berisikan nasihat agar selalu berlaku adil
dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai dan mengembalikan hak
kepada ahlinya. Ia amat rajin dan menghafal banyak hal, karena itu ia lebih
unggul dari teman-teman sebayanya (Al-Bugha, Muhyiddin Mistha, 2017:
10)
Beliau tidak mau menghabiskan waktunya kecuali menuntut ilmu.
Bahkan ketika beliau pergi kemanapun, dalam perjalanan hingga pulang ke
rumah, beliau sibuk mengulangi hafalan-hafalan dan bacaan-bacaannya.
Beliau bermujadalah dan mengamalkan ilmunya dengan penuh warak dan
membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh buruk sehingga dalam waktu
yang singkat beliau telah hafal hadits-hadits dan berbagai disiplin ilmu
hadits.
Tidak bisa dipungkiri dia adalah seorang alim dalam ilmu-ilmu fiqih
dan ushuludin. Beliau telah mencapai puncak pengatahuan madzhab Imam
Asy-Syafi’i ra dan imam-imam lainnya. Beliau juga memimpin Yayasan
Daarul Hadits Al-Asyrafiyah Al-Ulla dan mengajar bayaran disana tanpa
mengambil bayaran sedikitpun (Nawawi, t.th: 11).
B. Karya-Karya Imam Nawawi
Al-Imam an-Nawawi adalah ulama’ yang dikenal sebagai pengarang.
Sejak usianya berumur 25 tahun dia banyak menulis karya-karya ilmiah
(Huda, 2011: 56).
Asmaa’wal Lughaat, Al-Manaasik Al-Sughra dan Al-Manaasik Al-Kubra,
Minhajut Taalibin, Bustaanul ‘Arifin, Khulaasahtul Ahkam fi Muhimmaatis
Sunan wa Qawaa’idil Islam, Raudhatut Taalibiin fii ‘Umdatil Muftiin,
Hulyatul Abrar wa Syi’aarul Akhyaar fii Talkhiisyid Da’awaat wal Adzkaar
yang lebih dikenal dengan nama Al-Adzkaar lin Nawawi dan At-Tibyan fii Aadaabi Hamalatil Quran (Nawawi, t.th: 13).
Pengabdian ketekunan an-Nawawy membuahkan karya-karya yang
sangat bermanfaat bagi umat islam di dunia. Diantara kitab yang ia tulis ialah:
1. Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin
2. Al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzzab as-Sirajy
3. Al-Minhaj fi Syarh Mukhtashar al-Muharrar
4. Tahdziib al-Asmaa` wa al-Lughaat
5. Riyadl ash-Shalihin min Kalaam Sayyid al-Mursaliin
6. Al-Adzkar
7. Al-IIdlah fi Manaasik al-Hajj
8. At-Tibyaan fi Aadaab Hamlah al-Qur`an
9. Tuhfah at-Thalib an-Nabiih
10. At-Tanqiih fi Syarh al-Wasith
11. At-Tahqiiq fi al-Fiqh
12. Muhimmaat al-Ahkaam
13. Syarh al-Bukhary
14. Al-‘Umdah fi Tashhiih at-Tanbiih
16. Mukhtashar at-Tirmidzi
17. Qismah al-Qanaa’ah
18. At-Taqriib fi ‘Ilm al-Hadits
19. Al-Khulashah fi al-Hadits
20. Ru`uus al-Masaa`il
21. Mukhtashar at-Tanbiih
22. Nakt al-Muhadzab
23. Daqaa`iq ar-Raudlah
24. Mukhtashar Mubhamaat al-Khatiib
25. Al-Iijaz fi Syarh Sunan Abi Daawud
26. Al-Ushul wa al-Dlawaabith
27. Al-Masa`il al-Mantsurah yang lebih dikenal dengan al-Fataawaa
28. Al-Arba’in dikenal dengan Arba’in An-Nawawy, di Indonesia masyhur
dengan nama Hadits Arba’in (
https://masayikh.com/biografi-tokoh-islam-imam-muhyiddin-yahya-an-nawawi/ diakses pada 4 September
2018, 22:10)
C. Guru-Guru Imam Nawawi
Imam Nawawi dikatakan telah mengusai kesemua ilmu Islam. Guru-guru
yang pernah mengajar beliau merupakan tokoh-tokoh ilmuan Islam yang
besar dan mempunyai kepakaran bidang masing-masing. Antara guru-guru
beliau adalah Tajuddin al-Fazari yang terkenal dengan al-Farkah, al-Kamal
Ishaq al-Maghribi, Abdurrahman bin Nuh, Umar bin As’ad al-Arbali dan Abu
Imam Nawawi belajar pada guru-guru yang amat terkenal seperti Abdul
Aziz bin Muhammad Al-Ashari, Zainuddin bin Abdud Daim, Imaduddin din
Abdul Karim Harastani, Zainuddin Abul Baqa, Khalid bin Yusuf
Al-Maqdisi An-Nabalusi dan Jamaluddin Ibn Ash-Shairafi, Taqiyuddin bin Abul
Yusri, Syamsuddin bin Abu Umar. Dia belajar fighul hadits pada Asy-Syeikh
Al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Muradi Al-Andalusi. Kemudian
belajar fiqh pada Kamal Ishaq bin Ahmad bin Usman Maghribi
Al-Maqdisi, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuh dan Izzuddin Al-Arbili serta
guru-guru lainnya (Nawawi, t.th: 10).
D. Sistematika Penulisan Kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran
Secara garis besar penulisan kitab At-Tibyan fi Adaabi Hamalatil Quran terbagi menjadi 10 bagian yaitu:
1. Keutamaan Pembaca Al-Quran dan Penghafalnya
2. Keutamaan Qiraah dan Ahluqiraah
3. Keharusan Memuliakan Ahluquran dan Larangan Menyakiti Mereka
4. Adab Pengajar dan Pelajar Al-Quran
5. Adab Para Penghafal Al-Quran
6. Adab Membaca Al-Quran
7. Adab Mulia Terhadap Al-Quran
8. Anjuran Membaca Ayat dan Surah Pada Waktu dan Keadaan Tertentu
9. Menulis dan Memuliakan Mushaf Al-Quran
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM NAWAWI TENTANG ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI
HAMALATIL QURAN
A. Pengertian Adab Membaca Al-Quran
Menurut al-Attas, secara etimologi (bahasa) adab berasal dari bahasa
Arab yaitu addaba-yu’addibu-ta’dib yang telah diterjemahkan oleh al-Attas sebagai ‘mendidik’ atau ‘pendidikan’. Dalam kamus Al-Munjid dan Al
Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memiliki arti budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.
Sedangkan, dalam bahasa Yunani adab disamakan dengan kata ethicos atau
ethos, yang artinya kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk
melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika (Nasir, 1991:
14).
Al-Ghazali dalam kitab ihya’ Ulum Al-Din menyatakan bahwa pengertian akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang
memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu
pertimbangan dan analisa (jamil, 2013:2).
Sebagai manusia tentu mempunyai adab atau norma-norma tersendiri
agar hidupnya terarah. Baik norma terhadap diri sendiri, makhluk
ciptaan-Nya dan terhadap Allah SWT. Salah satu norma yang perlu diperhatikan
adalah ketika berinteraksi dengan kalam Allah yaitu Al-quran Al-Karim.
Al-Quran adalah kalam Allah, menghafalkannya adalah aktivitas yang
paling besar nilainya, karena hal itu akan membuka pintu-pintu kebaikan.
Dan ingatlah bahwa Rasulullah SAW diutus karena sesuatu yang penting dan
mendasar, yaitu Al-Quran (Al-Kahil, 2011: 19). Untuk berbicara dengan
Allah adalah dengan memahami kalam Allah yaitu dengan memahami
Al-Quran.
Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili ia berkata, aku mendengar
Rasulullah bersabda:
ِهِباَحْصَ ِلًِاعْيِفَش ِةَماَيِقلْا َم ْوي ىِتْأَي ُهَّنِاَف ,َنآ ْرُقْلا اوُءَرقا
“Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai
pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim: 804) (Muslim, 2014: 330)
Al-Quran merupakan mukjizat dari Allah SWT sehingga, segala sesuatu
yang berkaitan dengan Al-Quran sudah tentu merupakan hal yang luar biasa
(Yusuf, 2013: 15). Maka penghafal Al-Quran adalah sosok yang luar biasa.
Jadi, adab membaca Al-Quran adalah norma, tata cara, budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam
dalam berinteraksi dengan kalam Allah agar dapat mengetahui dan
mendekatkan diri dengan Allah. Hal ini untuk mengetahui siapa Allah harus
memahami dulu ciptaan-Nya.
B. Pemikiran Imam Nawawi Tentang Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran
Abu Zakariya Yahya bin Syarif ad-Din an-Nawawi telah menghasilkan
Quran. Adapun adab-adab membaca Al-Quran menurut Imam Nawawi (2018:
67-109) adalah:
1. Ikhlas
Wajib bagi orang yang membaca Al-Quran untuk ikhlas, memelihara
etika ketika berhadapan dengannya, hendaknya ia menghadirkan perasaan
dalam dirinya bahwa ia tengah bermunajat pada Allah, dan membaca
seakan-akan ia melihat keberadaan Allah Ta’ala, jika ia tidak bisa
melihatnya maka sesungguhnya Allah melihatnya.
2. Membersihkan Mulut
Jika hendak membaca Al-Quran hendaknya ia membersihkan
mulutnya dengan siwak atau lainnya dan siwak yang berasal dari tanaman
arok lebih utama, bisa juga dengan jenis kayu-kayuan lain, atau dengan
sobekan kain kasar, garam abu (alkali), atau lainnya.
Sebagian ulama berkata: “ Doa ketika bersiwak adalah
َنْيَمَحاَّرلا َمَح ْرَأ اَي َهْيِف ْيِل ْك ِر اَب َّمُهللَا
“Ya Allah berkahilah aku dengan apa yang ada padanya, wahai Dzat
yang Maha Pengasih.”(Nawawi, 2018: 68).
Mawardi, seorang ulama bermadzhab Syafi’i, berkata: “Disunahkan
untuk menyikat sebelah luar dan sebelah dalam gigi, menyikat
pokok-pokok gigi, gusi gigi-gigi geraham, dan langit-langit mulut dengan
lembut.” (Nawawi, 2018: 68).
Para ulama berkata: “hendaknya bersiwak dengan batang yang
kering lunakkanlah dengan air dan tidak mengapa menggunakan siwak
milik orang lain dengan seizinnya.
Adapun jika rongga mulutnya terkena najis yang berasal dari darah
atau lainnya maka makruh baginya membaca Al-Quran sebelum
membasuhnya.
3. Dalam Kondisi Suci
Sebaiknya orang yang hendak membaca Al-Quran berada dalam
kondisi suci dan boleh jika ia dalam keadaan berhadats berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin, hadits mengenai hal ini banyak dan sudah
masyhur.
Imam Haramain berkata: “tidak dikatakan bahwa ia melakukan suatu
hal yang makruh akan tetapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih afdhal.
Jika ia tidak menemukan air maka hendaknya ia bertayamum, untuk
wanita yang biasa istihadhah ia dihukumi sebagaimana orang yang berhadats” (Nawawi, 2018: 68-69).
Untuk yang junub dan haid maka haram bagi keduanya membaca
Al-Quran, satu ayat atau tidak sampai satu ayat. Dibolehkan bagi keduanya
untuk membaca Al-Quran di dalam hati tanpa dilafalkan, juga boleh
melihat mushaf, dan mengingat-ingatnya dalam hati (Nawawi, 2018: 69).
Kaum muslimin sepakat bolehnya bertasbih, bertahlil, bertahmid,
bertakbir, dan bershalawat atas Rasulullah, serta dzikir lainnya bagi orang
4. Bertayamum, jika Tidak Mendapat Air
Jika orang yang haid atau junub tidak mendapati air untuk bersuci
maka hendaknya bertayamum dan setelah itu boleh baginya mengerjakan
sholat, membaca Al-Quran, dan melakukan ibadah lainnya. Jika berhadats
maka haram baginya shalat tetapi tidak untuk membaca Al-Quran dan
duduk di masjid, yang merupakan hal-hal yang tidak diharamkan bagi
orang yang berhadats sebagaimana yang tidak diharamkan bagi keduanya
jika telah mandi janabat kemudian berhadats (Nawawi, 2018: 70).
Sebagian ulama bermadzhab Syafi’i menyebutkan bahwa orang junub
yang mukim bila bertayamum maka boleh baginya melaksanakan shalat,
dan setelahnya tidak boleh membaca Al-Quran ataupun duduk di masjid.
Yang benar adalah boleh, sebagaimana yang telah kami sebutkan
(Nawawi, 2018: 71).
Seandainya ia bertayamum kemudian shalat dan membaca Al-Quran
lalu ia menemukan air maka wajib baginya menggunakan air tersebut
karena pada saat itu haram baginya membaca Al-Quran dan melaksanakan
apapun yang diharamkan bagi orang yang junub hingga mandi jinabat.
5. Tempat yang Bersih
Hendaknya membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan nyaman,
mayoritas ulama lebih suka kalau tempatnya di masjid karena bersih secara
global, tempat yang mulia, serta tempat untuk melakukan keutamaan
lainnya, seperti iktikaf; maka hendaknya setiap yang duduk di dalam
sebentar bahkan hendaknya ia meniatkan hal tersebut sejak pertama kali
masuk masjid, inilah adab yang seharusnya diperhatikan, dan
diberitahukan kepada anak-anak dan orang awam, karena ini termasuk hal
yang terlupakan.
Adapun membaca Al-Quran di kamar mandi, para salaf berbeda
pendapat mengenai kemakruhannya. Para ulama yang mengatakan tidak
makruh, sebagaimana dinukil oleh Imam yang disepakati kemuliaanya,
Abu Bakar bin Mundzir dalam Al-Isyraf dari Ibrahim An-Nakha’i dan
Malik, yang merupakan perkataan Atha’, banyak kelompok yang
sependapat dengan hal ini diantaranya Ali bin Abi Thalib.
Adapun membaca Al-Quran di jalan dibolehkan selama tidak
mengganggu penggunanya, jika sampai mengganggu penggunanya maka
hukumnya menjadi makruh sebagaimana Nabi Muhammad memakruhkan
orang yang mengantuk membaca Al-Quran karena khawatir terjadi
kesalahan. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa Abu Darda’ pernah
membaca Al-Quran di jalan, ia juga meriwayatkan bahwa Umar bin
Abdulaziz yang mengizinkan ha tersebut.
6. Menghadap Kiblat
Hendaknya orang yang membaca Al-Quran di luar shalat
membacanya dengan menghadap kiblat. Duduk dalam keadaan khusyuk
dan tenang jiwa raganya, menundukkan kepala, tetap menjaga adab duduk
Seandainya ia membacanya dalam keadaan berdiri, berbaring, di
kasurnya, atau dengan berbagai pose pun boleh, dan baginya pahala
walaupun pahalanya bukan seperti pada posisi yang pertama.
Allah ta’ala berfirman:
Artinya: ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring... (Ali Imran: 190-191) 7. Memulai Qiraah dengan Ta’awudz
Ketika ingin membaca Al-Quran disyariatkan untuk berta’awudz,
yaitu dengan bacaan:
ِمْي ِجَرلا ِناَطْيَّشلا َنِم ِللهاِب ُذ ْوُعَا
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk,” demikianlah yang dikatakan jumhur ulama.Dahulu beberapa kelompok salaf berta’awudz dengan lafal
َّشلا َنِم ِمْيِلَعْلا ِعْيِمَّسلا ِللهاِب ُذ ْوُعَا
Pendapat kedua mengatakan, sesungguhnya sunahnya hanya pada
rekaat pertama saja namun jika lupa hendaknya ia membacanya pada reaat
kedua. Dan disunahkan untuk membaca ta’awudz pada takbir pertama
shalat jenazah menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat
yang ada.
8. Membiasakan Mengawali Setiap Surah dengan Basmalah
Hendaknya selalu membaca basmalah di awal setiap surah selain
surah bara’ah (At-Taubah), mayoritas ulama berpendapat itu termasuk ayat
lanjutan bukan awal surah sebagaimana dalam mushaf, setiap awal surah
selalu diawali dengan tulisan lafal basmalah kecuali surah At-Taubah
(Nawawi, 2018: 76).
Jika ia membacanya berarti ia telah banar-benar mengkhatamkan
Al-Quran, atau mengkhatamkan surah tersebut; dan jika ia tidak membaca
basmalah di setiap awal surahnya maka sama dengan meninggalkan
sebagian Al-Quran, menurut mayoritas ulama. Dengan kata lain, bila ia
diupah untuk membaca Al-Quran per asba’ atau persekian juz maka
perhatian untuk membaca basmalah lebih ditekankan karena merupakan
konsekuensi berhaknya ia memperoleh upah tersebut, jika ia tidak
membacanya maka ia tidak berhak mengambil upah tersebut bagi yang
berpendapat: basmalah merupakan awal surah. Ini merupakan
9. Mentadaburi Ayat
Disyariatkan ketika membaca Al-Quran dalam keadaan khusyuk,
banyak dalil mengenai syariat tadabur ketika membaca Al-Quran, yang
paling masyhur yang sering disebut:
Artinya: “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?” (An-Nisa’: 82)
Banyak hadits begitu pula atsar yang masyhur terkait masalah ini. Banyak kelompok dari salafus shalih yang bergadang hingga pagi untuk
membaca, mengulang-ulang, dan merenungi sebuah ayat; banyak pula
salafush shalih yang pingsan ketika sedang membaca Al-Quran; dan tidak
sedikit yang meninggal dunia dalam kondisi membaca Al-Quran.
As-Sayid al-Jalil, seorang yang memiliki banyak kelebihan dan
wawasan, Ibrahim Al-Khawash berkata, “Obat hati ada 5 yaitu (Nawawi,
2018: 78):
a. Membaca Al-Quran dan merenunginya
b. Mengosongkan perut
c. Qiyamulail
d. Berdoa pada waktu sahar (akhir malam)
e. Dan bersahabat dengan orang-orang shalih
10. Mengulang-ulang Ayat Tertentu untuk Direnungi
Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ia berkata. Rasulullah
يِف ِلِبِء ْلْا َنِم اًتُّلَفَت ُّدَشَأ َوُهَل ِهِدَيِب ٍدَّمَحُم ُسْفَن يَذَّلا َوَف ،َنآ ْرُقْلْا اَذَه ا ْوُدَه اَعَت
اَهِلُقُع
“Ulang-ulanglah Al-Quran ini. Demi dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, ia lebih cepat lepas daripada unta dalam ikatan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika membaca Al-Quran agar dapat menangis ketika membacanya
karena hal demikian merupakan sifat orang-orang yang arif dan
tanda-tanda hamba-hamba Allah yang shalih.
Allah Ta’ala berfirman:
menangis dan mereka bertambah khusyu'” (Al-Isra’: 109)
11. Membaca dengan Tartil
Hendaknya membaca Al-Quran dengan tartil. Para ulama sepakat
akan dianjurkannya hal itu.
Artinya: “bacalah Al Quran itu dengan tartil.” (Al-Muzammil: 4) 12. Memohon Karunia Allah saat Membaca Ayat Rahmat
Jika membaca ayat tentang rahmat hendaknya ia memohon karunia
Allah, dan ketika membaca ayat tentang adzab hendaknya meminta
perlindungan dari keburukan, adzab, atau dengan mengucapkan do’a
َةَيِف اَعْلا َكُلَأْسَا ْيِ نِا َّمُهللَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keselamatan.”
Atau:
“Aku mohon keselamatan dari segala hal yang tidak disukai.”
Ataupun dengan lafal doa yang lain.
Jika ia mendapati ayat tanzih lillah (yang mengandung pemaha sucian Allah) hendaknya ia memahasucikan-Nya dengan perkataan: Subhanahu
wa Ta’ala, Tabaraka wa Ta’ala, atau ucapan Jallat ‘Azhamatu Rabbina.
Menurut Gufron & Rahmawati (2013: 10) adab membaca Al-Quran
secara bathiniyah adalah tersentuh hati dengan bacaan. Jika membaca
ayat-ayat rahmat hendaknya merasa senang, sebaliknya jika membaca ayat-ayat-ayat-ayat
adzab dan ancaman hendaknya hati merasa sedih dan takut.
13. Menghormati Al-Quran
Termasuk perkara yang perlu diperhatikan dan sangat ditekankan
adalah penghormatan terhadap Al-Quran, yaitu dengan menghindari
perkara yang sering disepelekan oleh sebagian orang yang lalai dan para
qari’ yang membaca Al-Quran secara bersama-sama.
Diantara penghormatan terhadap Al-Quran, yaitu menghindari
tertawa, bersorak sorai, dan berbincang-bincang di sela-sela qiraah kecuali
perkataan yang sangat mendesak. Sebagai praktik dari firman Allah
Ta’ala:
Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat.” (Al-A’raf: 2014)
menyelesaikan bacaannya. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, ia berkata: “Ia tidak berbicara hingga menyelesaikannya )Bukhori, 1995/
4526).
ُهْنِم َغ ُرْفَي ىَّتَح ْمَّلَكَتَي ْمَل َنآ ْرُقْلا َأ َرَق اَذِإ اَمُهْنَع ُالله َي ِضَر َرَمُع ُنْبا َناَك
ي ِرْدَت : َلاَق ٍناَكَم ىَلِإ ىَهَتْنا ىَتَح ِة َرَقَبْلا َة َر ْوُس َأ َرَقَف ,اًم ْوَي ِهْيَلَع ُتْذَخَأَف
ِف ْتَل ِزْنُأ : َلاَق .لْ : ْتَل ِزْنُأ اَمْيِف
ىَضَم َّمُث اَذَك َو اَذَك ْي
(Bukhori: 1995/ 4526)
Tidak boleh juga memandang hal-hal yang dapat mengalihkan
perhatian dan konsentrasi. Yang lebih buruk lagi ialah melihat orang yang
tidak boleh dilihat, seperti melihat amrad (remaja yang belum tumbuh kumis dan jenggot) atau lainnya. Melihat amrad tanpa adanya keperluan, hukumnya haram baik dengan disertai syahwat ataupun tidak, baik ketika
kondisi aman dari fitnah atau tidak. Ini merupakan madzhab shahih yang
dipilih oleh para ulama. Imam Syafi’i dan banyak ulama lainnya telah
menyatakan keharamannya.
14. Tidak Boleh Membaca Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab
Tidak boleh membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain
Bahasa Arab, baik ia pandai berbahasa Arab ataupun tidak, di dalam shalat
ataupun di luar shalat. Jika ia melakukan hal ini dalam shalat maka tidak
sah shalatnya. Ini pendapat madzhab Imam Syafi’i juga Imam Malik,
Ahmad, Daud, dan Abu Bakar bin Mundzir.
Adapun Abu Hanifah berpendapat, “Hal itu diperbolehkan dan
Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat: “Boleh, bagi orang yang
tidak bisa berbahasa Arab dengan baik dan tidak boleh bagi yang bisa
berbahasa Arab dengan baik.” (Nawawi, 2018: 91).
15. Boleh Membaca Al-Quran Menggunakan Qiraah Sab’ah
Boleh membaca Al-Quran menggunakan tujuh macam qiraah yang
telah disepakati. Adapun dengan yang lainnya tidak boleh, walaupun
dengan riwayat syadz yang diriwayatkan dari ketujuh qari’ tersebut (Nawawi, 2018: 91).
Jika ia memulai qiraah dengan menggunakan qiraah salah satu qari’,
hendaknya ia masih menggunakan qiraah tersebut selama ayat yang
sedang dibacanya masih berkaitan dengan ayat berikutnya. Jika ia telah
selesai membacanya ia boleh mengganti qiraahnya dengan qiraah sab’ah
lainnya. Akan tetapi yang lebih utama, dalam satu majlis ia tetap
menggunakan satu macam qiraah.
16. Membaca Al-Quran Sesuai Urutan Mushaf
Para ulama’ berkata: “Yang paling utama, membaca Al-Quran sesuai
urutan mushaf. Pertama ia membaca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah,
kemudian Ali Imran, dan seterusnya berdasarkan urutan, ketika shalat
ataupun di luar shalat. Sampai-sampai sebagian ulama mengatakan: “Jika
pada rekaat pertama ia membaca surah An-Nas maka pada rekaat kedua,
setelah Al-Fatihah ia membaca Al-Baqarah (Nawawi, 2018: 92).
Pengurutan surah dalam mushaf dijadikan demikian karena suatu
pengecualian dalam syariat, seperti sunahnya membaca surah As-Sajdah
pada rekaat pertama dan Al-Insan pada rekaat kedua shalat Subuh pada
hari Jumat; membaca surah Qaf pada rekaat pertama dan surah Al-Qamar
pada rekaat kedua shalat Id. Ketika shalat sunah Fajar disunahkan untuk
membaca surah Al-Kafirun pada rekaat pertama dan Al-Ikhlas pada rekaat
kedua. Ketika shalat witir disunahkan membaca surah Al-A’la pada rekaat
pertama, Al-Kafirun pada rekaat kedua, dan Al-Ikhlash serta
mu’awidzatain pada rekaat ketiga.
17. Membaca Al-Quran dengan Melihat Mushaf
Membaca Al-Quran dengan menggunakan mushaf lebih afdhal daripada membaca Al-Quran sekedar mengandalkan hafalan, karena
melihat mushaf adalah ibadah yang dituntut. Sehingga selain membaca ia
juga melihat ayat yang tengah dibacanya.
Membaca Al-Quran dengan hanya mengandalkan hafalan menjadi
pilihan bagi yang bisa mencapai kekhusyukan dan tadaburnya dengan hal itu dan bertambah kekhusyukan dan tadaburnya jika ia membacanya dari mushaf. Ini adalah pendapat yang bagus.
18. Tidak Mengeraskan Suara Ketika Membaca Al-Quran
Ini sub bab penting yang patut diperhatikan. Ketahuilah bahwa ada
banyak hadits shahih dalam kitab shahih ataupun kitab lainnya yang
menunjukkan mustahabnya mengeraskan suara ketika membaca Al-Quran,
ada pula atsar-atsar yang menunjukkan mustahabnya menyamarkan suara
Terdapat riwayat dalam kitab Shahih dari Abu Hurairah ia berkata,
saya pernah mendengar Nabi bersabda:
ِنآرُقْلاِب ىَّنَغَتَي ِت ْوَصلا ِنَسَح ٍيِبَنِل َنِذَأ اَم ٍءْيَشِل ُالله َنِذَأ اَم
“Tidaklah Allah mendengar sesuatu dengan seksama sebagaimana
Allah mendengarkan suara merdu seorang Nabi yang sedang menyenandungkan Al-Quran, mengeraskan bacaannya.” (Muslim, 2014: 326).
Banyak hadits mengenai disyariatkannya mengeraskan suara ketika
membaca Al-Quran, yaitu bersumber dari atsar pun tak terhitung
banyaknya, yang akan disebutkan yang paling masyhur. Semuanya
mengenai orang-orang yang tidak khawatir terjangkit riya’, ujub, juga sifat
buruk lainnya, dan tidak mengganggu jamaah lain. Sungguh sekelompok
salaf lebih memilih merendahkan suaranya karena khawatir.
19. Dianjurkan Membaguskan Suara ketika Qiraah
Para ulama yang terdiri dari salaf, khalaf, sahabat, tabi’in, dan ulama
-ulama kaum muslimin setelah mereka sepakat atas anjuran membaguskan
suara ketika membaca Al-Quran. Perkataan dan perbuatan mereka yang
masyhur berkaitan dengan larangan mengharapkan popularitas.
Para ulama berkata: “dianjurkan membaguskan suara ketika membaca
Al-Quran dan melagukannya selama tidak sampai memanjang-manjangkan
qiraah. Jika ia berlebihan hingga bertambah satu huruf atau malah
mengurangi satu huruf maka hukumnya menjadi haram (Nawawi, 2018:
112).
Membaca Al-Quran lebih afdhal jika dibandingkan dengan melafalkan tasbih, tahlil, serta lafal dzikir lainnya. Ini pendapat shahih yang dipilih dan
diyakini oleh sebagian ulama. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut
(Nawawi, 2018: 15-16).
Banyak sekai nash-nash, baik dalam Al-Quran maupun Hadits yang
menyebutkan tentang keutamaan Al-Quran, membacanya dan menghafalnya,
diantaranya:
1. Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Al-Quran dan
mengajarkannya
َمَّلَعَت ْنَم مُكُريَخ : ملسو هيلع الله ىلص ِلله ُلْوسر لق : لق ههجو الله م رك ىلع نع
ُهَمَّلَع َو َنآ ْرُقْلا
Artinya: “Dari Aly-Karomallahu wajhah, ia berkata: Rasulullah bersabda: Sebaik-baik kamu sekalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (Ad-Darimy Juz II/ 437)
2. Al-Quran menjadi penawar dan rahmat
Dalam Al-Quran surah Al- Isra’: 82
Artinya:“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian.”
3. Al-Quran akan menolong pada hari kiamat
Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili ia berkata, aku mendengar
Rasulullah bersabda:
“Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat
sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim: 804)
(Muslim, 2014: 330)
4. Al-Quran merupakan petunjuk ke jalan yang baik
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila perkara-perkaramu samar seperti
kegelapan malam, hendaklah kamu membaca Al-Quran. Sebab ia
merupakan juru tolong. Barangsiapa menjadikan Al-Quran berada di
hadapannya, akan memimpinnya sampai surga; dan barang siapa
meletakkannya di belakang, akan menuntunnya ke neraka. Ini
menunjukkan bukti bahwa ia menunjukkan jalan kebaikan. Al-Quran
adalah kitab yang mengandung penjelasan, sekaligus menjadi pemisah
antara hak dan batil. Al-Quran jga memiliki aspek lahir dan batin;
lahiriyahnya adalah hukum, batinnya adalah ilmu; lahiriyahnya indah,
batinnya mendalam. Segenap keajaibannya tak terbilang. Di dalamnya
terkandung cahaya petunjuk dan pelita hikmah (al-Karazkani, 1991: 239).
Jadi, Al-Quran memberikan petunjuk kepada manusia menuju jalan
yang diridhoi Allah yaitu surga.
5. Bagi yang membaca, Akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT (Amien,
2008: 6)
6. Al-Quran adalah kitab pembimbing manusia
Al-Quran membawa cahaya terang benderang untuk mengeluarkan
manusia dari kegelapan; Al-Quran memberi penjelasan dan bimbingan
yang lurus; sebagai kabar gembira bagi yang beriman dan beramal saleh
D. Manfaat Membaca Al-Quran
Al-Quran itu tidak ada keraguan di dalamnya bagi orang yang beriman;
bahkan semakin bertambah imannya bila Al-Quran dibaca (Hadhiri SP, 2005:
175). Tidak akan merugi orang-orang yang membaca Al-Quran. Satu huruf
dari bacaan Al-Quran sudah dihitung pahala bagi yang membacanya.
Menurut Annisa (2017: 46) Al-Quran mempunyai pengaruh yang besar
terhadap kejiwaan seseorang. Hal ini dibuktikan dengan berubahnya jiwa dan
kepribadian bangsa Arab setelah mereka mengenal Al-Quran. Al-Quran telah
mengubah kepribadian mereka secara total meliputi akhlak perilaku, cara
hidup, prinsip, cita-cita dan nilai-nilai serta membentuk mereka menjadi
masyarakat yang bersatu, teratur dan bekerjasama. Bahkan perubahan besar
yang ditimbulkan oleh Al-Quran dalam jiwa bangsa Arab ini belum ada
bandingannya dalam sejarah seruan-seruan kepercayaan yang pernah muncul
di seManfaatpanjang kurun sejarah yang berbeda. Tidak dipungkiri lagi
dalam Al-Quran terdapat daya spiritual yang luar biasa terhadap jiwa
manusia.
Banyak sekali keutamaan serta manfaat yang bisa diambil dari membaca
Al-Quran antara lain
(https://dalamislam.com/landasan-agama/al-quran/manfaat-membaca-al-quran, diakses pada 8 September 2018, 12:15):
1. Membaca Al-Quran dapat menuntun ke jalan kebenaran, kebaikan, dan
keselamatan
2. Membaca Al-Quran dapat melembutkan hati