• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN KARYA IMAM NAWAWI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN KARYA IMAM NAWAWI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM

KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN

KARYA IMAM NAWAWI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

Oleh:

Uswatun Khasanah

NIM: 111 14 367

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)

ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM

KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN

KARYA IMAM NAWAWI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

Oleh:

Uswatun Khasanah

NIM: 111 14 367

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(3)
(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : Empat (4) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi Yth.

Dekan FTIK IAIN Salatiga di Salatiga

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara Nama : Uswatun Khasanah

NIM : 111 14 367

Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul : Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran Karya Imam Nawawi

Dapat diajukan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga untuk diajukan dalam sidang munaqasyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, 14 September 2018 Pembimbing,

(5)

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

Jalan Lingkar Salatiga Km. 2 Telepon: (0298) 6031364 Salatiga 50716 Website: tarbiyah.iainsalatiga.ac.id Email: tarbiyah@iainsalatiga.ac.id

SKRIPSI

ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN KARYA IMAM NAWAWI

DI SUSUN OLEH : USWATUN KHASANAH

111 14 367

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kegururan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 27 September 2018 dan telah dinyatakan

memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Susunan Panitia Penguji

Ketua Penguji : Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.

Sekretaris Penguji : Dr. M. Ghufron, M.Ag. Penguji I : Siti Rukhayati, M.Ag. Penguji II : Dr. Muna Erawati, S.Psi., M.Si.

Salatiga, 2 Oktober 2018

Dekan FTIK IAIN Salatiga

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Uswatun Khasanah

NIM : 111 14 367

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul Skripsi : Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran Karya Imam Nawawi

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 14 September 2018

Yang menyatakan,

(7)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

ِهِباَحْصَ ِلًِاعْيِفَش ِةَماَيِقلْا َم ْوي ىِتْأَي ُهَّنِاَف ,َنآ ْرُقْلا اوُءَرقا

“Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai pemberi

syafaat bagi pembacanya.”

(HR. Muslim: 804)

PERSEMBAHAN

Untuk kedua orang tuaku, Bapak Jumaeri dan Ibu Susiati yang senantiasa mendukung dan mendoakanku. Semoga Allah SWT selalu melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya.

Kakakku tercinta, Muhammad Ikhsan Suseno, S.Pd. yang selalu menyemangati.

Keluarga ndalem KH. Mahfudz Ridwan Lc. terkhusus Gus Muhammad Hanif, M. Hum Yang telah memberikan ilmu dan doanya.

Keluarga besar PP Edi Mancoro yang telah membimbing dan menemani perjalananku.

Abah yai Zainal Muttaqin, yang memberikan doa pangestunya.

Kakanda yang selalu sabar mendampingi.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan

hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Adab

Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran Karya Imam Nawawi”.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi

Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan

hingga terang benderang, semoga kita semua diakui sebagai umatnya yang kelak

mendapatkan syafaatnya di akhirat.

Selanjutnya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada berbagai

pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M. Pd. Selaku Dekan FTIK

3. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag. Selaku Ketua Jurusan PAI

4. Bapak M. Yusuf Khummaini, S.HI., M.H. selaku dosen pembimbing

akademik

5. Bapak Dr. M. Ghufron, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang

(9)

6. Bapak Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Semua pihak keluarga dan sahabat yang sudah membantu menyelesaikan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat memberikan tambahan wawasan yang lebih luas dan dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, 14 September 2018 Penulis,

(10)

ABSTRAK

Khasanah, Uswatun. Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan Fii Adaabi Hamalatil Quran. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga, Salatiga, 2018.

Kata Kunci: Adab Membaca Al-Quran, Attibyan Fii Adaabi Hamalatil Quran Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran karya Imam Nawawi. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran , (2) Bagaimana relevansi adab membaca Al-Quran di dalam Kitab Attibyan fii Adaabi Hamalatil Quran dengan zaman kekinian?

Metode penelitian yang digunakan yaitu Literature (kepustakaan). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara mengamati pada sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku, artikel, jurnal, skripsi, tesis atau lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini. Pengumpulan data dibagi menjadi dua sumber yaitu data primer dan sekunder. Kemudian data dianalisis menggunakan metode deskriptif dan kontekstual.

(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL SKRIPSI ... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Telaah Pustaka ... 7

F. Penegasan Istilah ... 9

(12)

H. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : BIOGRAFI IMAM NAWAWI A. Biografi Imam Nawawi ... 15

B. Karya-Karya Imam Nawawi ... 21

C. Guru-Guru Imam Nawawi ... 23

D. Sistematika Penulisan Kitab Attibyan ... 24

BAB III : DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM NAWAWI TENTANG ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADAABI HAMALATIL QURAN A. Pengertian Adab Membaca Al-Quran ... 25

B. Pemikiran Imam Nawawi tentang Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran ... 26

C. Keutamaan Membaca Al-Quran ... 40

D. Manfaat Membaca Al-Quran ... 42

BAB IV : PEMBAHASAN A. Adab Membaca Al-Quran Menurut Imam Nawawi... 45

(13)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lamp. 1 : Lembar Konsultasi Skripsi

Lamp. 2 : Surat Penunjukan Pembimbing

Lamp. 3 : Daftar Nilai SKK

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama yang universal dan abadi memberikan pedoman

hidup (way of Live) bagi manusia menuju kebahagiaan hidup lahir dan batin, serta dunia akhirat (Razak, 1984:9). Kebahagiaan hidup manusia itulah yang

menjadi sasaran hidup manusia yang pencapaiannya sangat bergantung pada

proses pendidikan.

Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang paling

sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada

kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar-dasar dan

perundang-undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan mata air

yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung

serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan

dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran. Allah

berfirman,

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang

lebih Lurus...”(QS. Al-Israa’: 9)

(16)

Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang

mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan

prinsip-prinsip umum hukum perbuatan (Thabathaba’i, 1998: 21). Jadi, di dalam Al

-Quran mengandung beberapa pokok yang mengatur tentang kehidupan

manusia, terutama mengenai adab. Mengingat bahwa budi pekerti anak

zaman sekarang semakin berkurang.

Sebagai manusia tidak hanya mengutamakan hablun mina annas tetapi hablun mina Allah nya harus tetap terjaga. Salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan Allah adalah memahami kalam-Nya yaitu Al-Quran. Dengan membaca Al-Quran Allah SWT senantiasa memberikan

petunjuk dalam setiap urusan manusia baik di dunia maupun akhirat. Maka

Allah memilih Iqra’ sebagai kalimat pertama yang Dia turunkan. Hal ini

mengindikasikan bahwa permulaan membangun umat ini adalah dengan ilmu.

Dan salah satu metode yang dituntunkan oleh Allah untuk memperoleh ilmu

adalah dengan membaca. Tentu bacaan yang baik dan bermanfaat.

Menurut Wahyudi, Wahidi (2016: 16) Al-Quran memiliki banyak

fadhilah yang tidak terhingga, sehingga Al-Quran bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Di antara keutamaan itu ialah sebagai

berikut: Al-Quran memberi syafaat bagi penjaganya, Dibolehkan iri kepada

penghafal Al-Quran, Penghafal Al-Quran akan mendapatkan pahala yang

berlipat ganda, Menjadi keluarga Allah, Penghafal Al-Quran digolongkan

sebagai orang-orang pilihan yang mulia bersama para nabi dan syuhada,

(17)

Penghafal Al-Quran akan dipakaikan mahkota kehormatan dan jubah

karomah, serta mendapat keridhaan Allah, Diberi ketenangan jiwa, Penghafal

Al-Quran dapat memberi syafaat pada keluarganya, Ada perintah untuk

memuliakan Ahli Al-Quran dan dilarang menyakitinya, Penghafal Al-Quran

diprioritaskan hingga wafat.

Semua budi pekerti yang luhur dan akhlak yang mulia berasal dari

Al-Quran Al-Karim. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud, “Setiap

Muaddib (pendidik adab) merasa senang jika adabnya itu diterapkan. Dan sungguh adab dari Allah tertuang di dalam Al-Quran” (Badar, 2017: 95).

Maka gunakan Al-Quran sebagai pedoman dalam kehidupan, terutama

mengenai adab.

Telah dimaklumi bahwa umat Islam pada masa Nabi banyak yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) sampai-sampai Allah mencatat sifat

mereka dalam Al-Qur’an:

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As

Sunnah)...” (QS. Al-Jumu’ah: 22)

(18)



(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi

mereka ...” (QS. Al-A’raf: 157)

Turunnya wahyu secara bertahap tentu sangat menolong para sahabat

untuk membaca, menghafal, dan mengamalkan Al-Quran di kehidupan

sehari-hari (Wahyudi, Wahidi, 2016: 6)

Sesungguhnya Al-Quran adalah kitab Allah SWT. Setiap kali seorang

muslim membaca, mencintai dan menghafalnya maka Allah akan

mengaruniakan kepadanya pemahaman yang benar .... Dia tidak

memberikannya kepada siapapun, namun dia hanya memberikannya kepada

ahli Allah (para wali Allah), yang mereka itu adalah ahli Al-Quran (para

penghafal Al-Quran) (Az-Zawawi, 2013: 37).

Allah memuliakan umat Islam dengan kitab Al-Quran sebagai kalam

terbaik Allah. Maka umat-Nya harus menaruh perhatian yang besar untuk

menghormati Al-Quran dengan cara belajar, mengajar, membahas dan

mengkajinya secara berkelompok ataupun sendirian. Itulah faktor yang

mendorong Imam Nawawi dalam menulis kitab yang berisi tentang

adab-adab berinteraksi dengan Al-Quran dan sifat-sifat penghafal dan pelajarnya.

Ketekunan Imam Nawawi akan ilmu menghasilkan karya yang cukup

banyak salah satunya adalah kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an yang

(19)

Hamalatil Qur’an membahas perkara-perkara yang sangat penting diketahui

oleh setiap umat Islam, karena kitab ini membicarakan berbagai hal yang

berkaitan adab dalam menjalin interaksi dengan kitab suci Quran Al-Karim dari segi membaca, memegang, dan posisi duduk ketika membaca Al-Quran. Dalam Kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran juga membahas

masalah-masalah unik yang penting salah satunya adalah jika sedang qiraah

lalu tiba-tiba ingin buang angin, hendaknya ia menghentikan bacaannya

hingga ia selesai buang angin, baru kemudian melanjutkan bacaannya. Selain

dijelaskan bagaimana adab berinteraksi dengan Al-Quran, juga dijelaskan

mengenai adab seputar khataman, cara, waktu dan hal-hal yang dianjurkan.

Perbedaan dengan kitab lain, kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatik Quran lebih spesifik dalam pembahasannya mengenai adab-adab yang sering disepelekkan

oleh pembaca Al-Quran yang dianggap remeh tetapi justru lebih penting dan

harus lebih berhati-hati. Karena berinteraksi dengan Al-Quran berarti

berinteraksi dengan Allah SWT.

Jadi, kajian dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an ini dirasa

sangat penting untuk dipelajari oleh orang-orang Islam. Dengan demikian,

penulis bermaksud mengkaji lebih jauh khususnya mengenai adab dalam

berinteraksi dengan Al-Quran dalam sebuah penelitian dengan judul “ADAB

MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI

HAMALATIL QURAN KARYA IMAM NAWAWI”.

B. Rumusan Masalah

(20)

1. Bagaimana adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran?

2. Bagaimana relevansi adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran dengan konteks kekinian?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Mendeskripsikan adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran

2. Menemukan relevansi adab berinteraksi dengan Al-Quran dalam kitab

Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran dengan konteks kekinian D. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang

jelas dan dapat memberi manfaat secara praktis maupun teoretis, antara lain:

1. Manfaat teoretis

a. Memberi kejelasan secara teoretis tentang adab membaca Al-Quran

dalam kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran

b. Menambah dan memperkaya keilmuan di bidang pendidikan

c. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap wacana pendidikan Islam

khususnya di bidang membaca Al-Quran

2. Manfaat praktis

Setelah proses penelitian diselesaikan, diharapkan hasil tulisan ini

(21)

membaca Al-Quran dan relevansinya terhadap zaman kekinian pada kitab

Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran. Dengan demikian penulis dapat memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis dalam dunia

pendidikan, yaitu wacana baru yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan

bersama sesama praktisi pendidikan dalam memberikan cara pandang dan

landasan pijak dalam memahami bagaimana etika dalam membaca

Al-Quran.

E. Telaah Pustaka

Untuk menghindari terjadinya plagiasi, maka penulis memaparkan

karya ilmiah yang sudah ada. Selain itu telaah pustaka juga untuk melihat

orisinilitas skripsi.

Rakhman Khakim dengan skripsinya yang berjudul “Kompetensi

Kepribadian Guru dalam Pendidikan Islam (Telaah Kitab Al-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Quran Karya Al-Nawawi) tahun 2008 berisi tentang bagaimana memberikan suri tauladan bagi anak didik terkait dengan

perkembangan zaman

(http://digilib.uin-suka.ac.id/2439/1/BAB%20I%2C%20IV.pdf, diakses pada 8 November

2017, 03:17). Karna guru adalah digugu lan ditiru maksudnya setiap perbuatan dan perkataan seorang guru adalah contoh bagi anak didiknya.

Mengingat bahwa anak lebih cepat memproses hal buruk dibanding yang

baik, maka guru harus lebih berhati-hati dalam berucap maupun bertindak.

Jaka Ahmadi dengan skripsinya yang berjudul “Adab Membaca Al

(22)

Al-Salikin Ila Ibadat Al-Rab Al-Alamin” tahun 2015 berisi tentang keutamaan

membaca Al-Quran dan celakanya bagi orang yang lalai terhadap bacaannya.

(http://digilib.uin-suka.ac.id/15853/1/11530025_bab-i_iv-atau-vdaftar-pustaka.pdf

diakses pada 10 Juli 2018, 12:15 WIB). Dipaparkan mengenai adab yang

berkaitan dengan zahir dan batin. Adab zahir merupakan hal-hal yang

berkaitan dengan teknis, baik ketika seorang akan membaca maupun ketika

sedang membaca Al-Quran. Sedangkan adab batin adalah adab yang

berkaitan dengan tata pikir dan amalan hati ketika akan dan sedang

membacanya.

Kontekstualisasi dari nilai Adab membaca Al-Quran menurut syaikh

Abd Al-Samad Al-Falimbani jika digunakan untuk memandang fenomena

kontemporer seperti membaca Al-Quran digital atau elektronik, maka

menurut peneliti masih relevan dan bisa diaplikasikan. Sebab yang diuraikan

Al-Falimbani merupakan adab membaca Al-Quran. Sehingga ketika

seseorang membacanya pada elektronik ia harus tetap melaksanakan adab

zahir maupun batin, seperti halnya membaca pada mushaf fisik (kertas, kulit).

Ali Muhdi, S.Pd.I, MSI. dalam penelitiannya yang berjudul ”Konsep

Moral Pendidikan dan Peserta Didik Menurut Al-Nawawi Al-Dimasyqiy”

tahun 2016 berisi tentang konsep moral yang hendaknya melekat dalam diri

seorang pendidik dan peserta didik.

(http://repository.iainpurwokerto.ac.id/1385/1/AliMuhdi,S.Pd.I.,MSI._KONS

(23)

NAWAWI%AL-DIMASYQIYStudiAnalisisSufistikkitabal-TibyanfiAdabiHamalatial-Quran.pdf diakses pada 16 Juli 2018, 10:30 WIB).

Pendidik yang baik adalah ketika ia dapat dijadikan contoh atau teladan bagi

murid atau peserta didiknya dalam hal apapun, baik perkataan, tindakan,

maupun sikap terhadap sesuatu hal. Peserta didik yang ideal digambarkan

oleh Imam Nawawi sebagai generasi muda yang mampu mengupayakan

dirinya menjadi orang yang bersungguh dalam proses pencarian ilmu dan

pencarian jati dirinya.

Penelitian skripsi ini berbeda dengan skripsi yang di atas, kajian

difokuskan pada adab berinteraksi dengan Al-Quran menurut Imam Nawawi

dalam kitabnya yang berjudul Atibyan fi Adabi Hamalatil Quran dikaitkan dengan zaman sekarang. Mengingat budi pekerti zaman sekarang semakin

buruk.

F. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan atau menjaga agar tidak terjadi kesalahfahaman,

maka penulis kemukakan penegasan istilah dari judul skripsi berikut:

1. Adab Membaca Al-Quran

Menurut al-Attas, secara etimologi (bahasa) adab berasal dari bahasa

Arab yaitu addaba-yu’addibu-ta’dib yang telah diterjemahkan oleh al-Attas sebagai ‘mendidik’ atau ‘pendidikan’. Dalam kamus Al-Munjid dan

Al Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memiliki arti budi pekerti,

perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.

Sedangkan, dalam bahasa Yunani adab disamakan dengan kata ethicos

(24)

untuk melakukan perbuatan. Ethicas kemudian berubah menjadi etika

(Nasir, 1991: 14).

Al-Ghazali dalam kitab ihya’ Ulum Al-Din menyatakan bahwa

pengertian akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang

memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu

pertimbangan dan analisa (jamil, 2013:2).

Sebagai manusia tentu mempunyai adab atau norma-norma tersendiri

agar hidupnya terarah. Baik norma terhadap diri sendiri, makhluk

ciptaan-Nya dan terhadap Allah SWT. Salah satu norma yang perlu diperhatikan

adalah ketika berinteraksi dengan kalam Allah yaitu Al-quran Al-Karim.

Membaca, menghafal atau mempelajarinya.

Al-Quran adalah kalam Allah, menghafalkannya adalah aktivitas yang

paling besar nilainya, karena hal itu akan membuka pintu-pintu kebaikan.

Dan ingatlah bahwa Rasulullah SAW diutus karena sesuatu yang penting

dan mendasar, yaitu Al-Quran (Al-Kahil, 2011: 19). Untuk berbicara

dengan Allah adalah dengan memahami kalam Allah yaitu dengan

memahami Al-Quran.

Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili ia berkata, aku mendengar

Rasulullah bersabda:

ِهِباَحْصَ ِلًِاعْيِفَش ِةَماَيِقلْا َم ْوي ىِتْأَي ُهَّنِاَف ,َنآ ْرُقْلا اوُءَرقا

“Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat

sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim: 804)

(25)

Al-Quran merupakan mukjizat dari Allah SWT sehingga, segala

sesuatu yang berkaitan dengan Al-Quran sudah tentu merupakan hal yang

luar biasa (Yusuf, 2013: 15). Maka penghafal Al-Quran adalah sosok yang

luar biasa.

2. Kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran

Kitab ini membahas perkara-perkara yang sangat penting diketahui

oleh setiap orang Islam karena kitab ini membicarakan berbagai hal yang

berkaitan dengan adab kita menjalin interaksi dengan kitab suci kita

Al-Quran Al-Karim.

Berikut ini adalah kerangka bab dalam kitab ini:

a. Keutamaan pembaca Al-Quran dan penghafalnya

b. Keutamaan qiraah dan ahluqiraah

c. Keharusan memuliakan Ahluquran dan larangan menyakitinya

d. Adab pengajar dan pelajar Al-Quran

e. Adab para penghafal Al-Quran

f. Adab Membaca Al-Quran

g. Adab mulia terhadap Al-Quran

h. Anjuran membaca ayat dan surah pada waktu dan keadaan tertentu

i. Menulis dan memuliakan Mushaf Al-Quran

(26)

G. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kepustakaan

(library research), karena yang dijadikan objek kajian adalah hasil karya tulis yang merupakan hasil pemikiran.

2. Sumber data

a. Data primer diambil dari buku utamanya yaitu kitab Attibyan karya Imam Nawawi

b. Data sekunder diambil dari buku-buku yang terkait dengan judul

penelitian yaitu mengenai membaca Al-Quran dan

penelitian-penelitian terdahulu, skripsi, tesis dan jurnal.

3. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data pustaka yaitu

membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari berbagai buku

dan karya ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini. Dengan

mengutamakan data primer.

4. Teknik analisis data

Melihat objek penelitian yang berupa buku-buku atau literatur, maka

penelitian ini menggunakan teknik analisa dengan cara deskriptif, filosofis

dan kontekstual.

a. Metode deskriptif

Metode deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk

(27)

(Muhamad, 2008: 18). Tujuan dari metode ini adalah membuat

deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, komprehensif,

faktual dan akurat tentang objek yang diteliti.

Jadi penulis mendeskripsikan isi buku pada bab adab membaca

Al-Quran kemudian menganalisis sehingga memberikan gambaran

yang akurat.

b. Metode kontekstual

Dalam kamus besar bahasa Indonesia konteks berarti apa yang

ada di depan dan di belakang (KBBI, 2005: 521). Metode kontekstual

adalah metode yang digunakan untuk mencari, mengolah, dan

menemukan kondisi yang lebih konkrit (terkait dengan kehidupan

nyata). Metode ini akan membantu penulis untuk mengaitkan antara

adab membaca AL-Quran yang ada di dalam kitab Attibyan dengan situasi dunia nyata dan mendorong penulis untuk membuat hubungan

antara adab membaca Al-Quran yang ada dalam kitab Attibyan dengan penerapannya dalam kehidupan kekinian.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga

pembaca dapat memahami tentang isi skripsi ini dengan mudah, maka penulis

memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis besar.

Skriosi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling berkaitan yaitu

(28)

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, telaah

pustaka, penegasan istilah, sistematika penulisan.

BAB II BIOGRAFI IMAM NAWAWI. Pembahasan bab ini berisi

tentang biografi intelektual tokoh Imam Nawawi yang meliputi: biografi

Imam Nawawi, karya-karya Imam Nawawi, guru-guru Imam Nawawi,

sistematika penulisan Kitab Attibyan.

BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM NAWAWI TENTANG

ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI

HAMALATIL QURAN. Pada bab ini dibahas pengertian adab membaca

Al-quran, bagaimana adab berinteraksi dengan Al-Qur’an, keutamaan membaca

Al-quran dan manfaat membaca Al-Quran.

BAB IV PEMBAHASAN. BERISI ANALISIS KITAB ATTIBYAN FI

ADABI HAMALATIL QURAN, RELEVANSI MEMBACA AL-QURAN

DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI HAMALATIL QURAN

DIKAITKAN DENGAN KONTEKS KEKINIAN. Pada bab ini dijelaskan

bagaimana adab membaca Al-quran dalam kitab Attibyan karya Imam

Nawawi dikaitkan dengan konteks kekinian.

BAB V PENUTUP. Bab ini memuat kesimpulan penulis dari

pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat penutup yang sekiranya

(29)

BAB II

BIOGRAFI IMAM NAWAWI

A. Biografi Imam Nawawi 1. Nama dan Keturunan

Nama benar beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Murra bin Hasan bin

Hussain bin Hizam bin Muhammad bin Juma’ah. Gelarannya (laqobnya)

dikenali sebagai Muhyiddin dan Kunyahnya pula dikenali sebagai Abu Zakariya. Panggilan termasyhur beliau ialah al-Nawawi karena dinisbatkan

pada asal daerahnya Nawa yaitu nama bagi sebuah kampung yang terletak

dalam daerah Hauran berhampiran dengan Kota Damsyik, Syria

(http://tafaqquh.com/fuqoha/al-imam-muhyiddin-abi-zakariya-yahya-an-nawawi-bagian-satu/, diakses pada 4 September 2018: 20:40).

Beliau mendapatkan kunyah (nama yang didahului Abu) Abu

Zakariya. Kunyah ini bukan berarti beliau mempunyai seorang putra yang

bernama Zakariya sehingga beliau disebut Abu Zakariya (ayahnya

Zakariya) melainkan karena tradisi ulama’ dimana bila ada seorang ulama’

bernama Yahya maka akan diberi kunyah Abu Zakariya dengan tujuan

iltifat kepada Nabi Zakariya dan Ayahnya Yahya. Mengenai pemberian

kunyah pada seorang ini beliau singgung di dalam kitabnya yang terkenal

al-Majmu Syarah Muhaddzab, disitu beliau berkata: “Disunnahkan

memberi kunyah kepada orang yang mempunyai keutamaan baik laki-laki

(30)

(http://tafaqquh.com/fuqoha/al-imam-muhyiddin-abi-zakariya-yahya-an-nawawi-bagian-satu/, diakses pada 4 September 2018: 20:40).

Selain kunyah Abu Zakariya, Imam An-Nawawi juga mendapat laqob (julukan) Muhyiddin, artinya penghidup agama. Imam Nawawi sangat

tidak setuju dengan laqob ini hingga diriwayatkan bahwa beliau berkata:

“tidak aku halalkan orang yang memberiku julukan Muhyiddin”

(http://tafaqquh.com/fuqoha/al-imam-muhyiddin-abi-zakariya-yahya-an-nawawi-bagian-satu/, diakses pada 4 September 2018: 20:40).

Al-Imam an-Nawawi digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama), namun dia sendiri tidak senang diberi gelar tersebut.

Ketidaksukaan itu disebabkan rasa tawadhu’ yang tumbuh pada diri

al-Imam an-Nawawi, sebenarnya dia pantas diberi julukan tersebut karena dia

menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, menyuruh melakukan perbuatan yang ma’ruf. Mencegah perbuatan yang mungkar dan memberikan manfaat kepada umat Islam dengan karya-karyanya (Huda,

2011: 57).

Beliau dilahirkan pada 10 Muharram 631 H di Nawa. Bapak beliau

merupakan penduduk asal dari kampung tersebut. Beliau hanya diberi

kesempatan hidup selama 45 tahun saja. Pada hari Rabu yaitu pada bulan

Rajab 676 H, beliau menghembuskan nafas terakhirnya dan dikebumikan

di kampungnya sendiri di Nawa (Hakimah, 2011: 21).

Sebelum meninggal, dia sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan

(31)

setengah bulan, dan sempat juga berkunjung ke Baitul Maqdis di

Yerussalem. Dan dia juga tidak menikah sampai akhir hayatnya (Huda,

2011: 55).

2. Kehidupan Ketika Kecil dan Dewasa

Beliau dilahirkan di desa Nawa yang termasuk wilayah Hauran pada

tahun 631H. Kakek tertuanya Hizam singgah di Golan menurut adat Arab,

kemudian tinggal di sana dan Allah SWT memberikan keturunan yang

banyak, salah satu diantaranya adalah Imam Nawawi (Nawawi, t.th: 9).

Bapaknya telah meriwayatkan bahwa ketika beliau berumur tujuh

tahun, satu malam pada bulan Ramadhan yaitu pada 27 Ramadhan,

anaknya itu telah terjaga lalu bertanya kepada ayahnya: “Apakah cahaya

yang menerangi rumah?” Ayahnya menjawab kami tidak melihat apa-apa

cahaya. Maka fahamlah bahwa cahaya itu merupakan cahaya Lailatul

Qadar (Hakimah, 2011: 21).

Banyak orang terkemuka di Nawa yang melihat anak kecil memiliki

kepandaian dan kecerdasan. Mereka menemui ayahnya dan memintanya

agar memperhatikannya dengan lebih seksama. Ayahnya mendorong sang

Imam menghafalkan Al-Quran dan Ilmu. Maka An-Nawawi mulai

menghafal Al-Quran dan dididik oleh orang-orang terkemuka dengan

pengorbanan harus meninggalkan masa bermain-mainnya karena harus

menekuni Al-Quran dan menghafalnya. Sebagian gurunya pernah melihat

bahwa Imam Nawawi bersama anak-anak lain dan memintanya bermain

(32)

meninggalkan mereka sambil menangis karena merasa dipaksa. Dalam

keadaan yang demikian itu dia tetap membaca Al-Quran. Demikianlah,

sang Imam tetap terus membaca Al-Quran sampai dia mampu

menghafalnya ketika mendekati usia baligh (Nawawi, t.th: 9-10).

Pada mulanya dia mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama’-ulama’

terkemuka di desa tempat kelahirannya. Kemudian setelah umurnya

menginjak dewasa, ayahnya merasa tidak cukup kalau anaknya belajar di

dusun tempat kelahirannya itu. Maka pada tahun 649 H, bersama ayahnya

an-Nawawi berangkat ke Damaskus. Pada waktu itu tempat berkumpulnya

ulama’- ulama’ terkemuka, dan tempat kunjungan orang dari berbagai

pelosok untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman (Huda, 2011: 56).

Ketika berusia 9 tahun, ayahnya membawa dia ke Damsyiq untuk

menuntut ilmu lebih dalam lagi. Maka tinggallah dia di Madrasah

Ar-Rawahiyah pada tahun 649 H. Dia hafal kitab At-Tanbiih dalam tempo

empat setengah bulan dan belajar Al-Muhadzdzab karangan Asy-Syirazi

dalam tempo delapan bulan pada tahun yang sama. Dia menuntaskan ini

semua berkat bimbingan gurunya Al-Kamal Ishaq bin Ahmad bin Usman

Al-Maghribi Al-Maqdisi. Dia adalah guru pertamanya dalam ilmu fiqh dan

menaruh memperhatikan muridnya ini dengan sungguh-sungguh. Dia

merasa kagum atas ketekunannya belajar dan ketidaksukaannya bergaul

dengan anak-anak yang seumur. Sang guru amat mencintai muridnya itu

dan akhirnya mengangkat dia sebagai pengajar untuk sebagian besar

(33)

Syeikh Yasin bin Yusuf al-Zarkashi, guru tariqatnya menceritakan

bahwa ketika Imam Nawawi berusia sepuluh tahun, beliau telah

menghafaz Al-Quran. Oleh yang demikian, gurunya itu berjumpa dengan

guru Al-Qurannya supaya menumpukan perhatian yang lebih terhadap

Imam Nawawi.

Pada Usia 19 tahun yaitu pada tahun 649 H, Imam Nawawi telah

dibawa oleh bapaknya ke kota Damsyiq dan menempatkannya di

al-Rawwahiyah. Al-Rawahiyyah merupakan sebuah pusat pengajian yang

termasyhur di Damsyiq yang terletak di sebuah timur Masjid Ibn Urwah.

Di sini lah Imam Nawawi Mendalami segala Ilmu agama. Kemudian

beliau berangkat ke tanah suci Mekah Mukarramah untuk menunaikan haji

bersama bapaknya dan singgah di Madinah untuk jangka masa beberapa

bulan. Dikatakan beliau mulai sakit dan kembali ke Kota Damsyiq untuk

meneruskan pengajian (Hakimah, 2011: 21-22).

Di penghujung usianya, Imam Nawawi bertolak ke negeri

kelahirannya dan berziarah ke Al-Quds dan Al-Khalil. Kemudian beliau

kembali ke Nawa dan ketika itulah beliau sakit di samping ayah bundanya.

Imam Nawawi Rahimahullah wafat pada malam Rabu 24 Rajab tahun 676 H dan dimakamkan di Nawa (Nawawi, t.th: 13). Kuburan beliau sangat

terkenal dan selalu diziarahi orang-orang yang mengagumi perjuangannya

(34)

3. Akhlak dan Pribadi

Imam Nawawi seorang insan yang tidak terpengaruh dengan hiburan

di dunia. Beliau hanya menggunakan seluruh isi bumi yang ada hanya

dengan menuntut ilmu dan hanya untuk mencari keridhaan Allah. Beliau

memang terkenal dengan sifat tekunnya sehingga beliau dikatakan tidak

pernah berkahwin sehingga saat kematian beliau sampai (Hakimah, 2011:

21).

Imam Nawawi seorang yang sangat zuhud dalam kehidupannya. Pada

kebiasaannya, beliau hanya memakan roti Al-Ka’k dan buah Zaitun

Hauran yang dikirimkan oleh ayahnya sahaja (Hakimah, 2011: 21).

Syaikh Syamsuddin bin Al-Fakhr Al-Hanbali berkata, “Imam

An-Nawawi adalah sosok panutan, hebat, banyak hafal hadits, ahli di semua

bidang keilmuan, banyak menulis buku, sangat wara’ dan zuhud,

meninggalkan semua makanan enak kecuali yang dibawakan oleh

ayahnya, yaitu kue dan buah tin. Beliau memakai pakaian jelek dan

bertambal, beliau tidak mau masuk pemandian umum, beliau tidak

memakan semua buah-buahan, beliau tidak memakan satu dirham pun sari

semua aktivitasnya (Said, 2016: 20-21).

Imam Nawawi tekun menuntut ilmu-ilmu agama, mengarang,

menyebarkan ilmu, beribadah, berdzikir, sabar menjalani hidup yang amat

sederhana dan berpakaian tanpa berlebihan (Nawawi, t.th: 10).

Begitu juga dalam hal menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, tanpa

(35)

kepada para penguasa yang berisikan nasihat agar selalu berlaku adil

dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai dan mengembalikan hak

kepada ahlinya. Ia amat rajin dan menghafal banyak hal, karena itu ia lebih

unggul dari teman-teman sebayanya (Al-Bugha, Muhyiddin Mistha, 2017:

10)

Beliau tidak mau menghabiskan waktunya kecuali menuntut ilmu.

Bahkan ketika beliau pergi kemanapun, dalam perjalanan hingga pulang ke

rumah, beliau sibuk mengulangi hafalan-hafalan dan bacaan-bacaannya.

Beliau bermujadalah dan mengamalkan ilmunya dengan penuh warak dan

membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh buruk sehingga dalam waktu

yang singkat beliau telah hafal hadits-hadits dan berbagai disiplin ilmu

hadits.

Tidak bisa dipungkiri dia adalah seorang alim dalam ilmu-ilmu fiqih

dan ushuludin. Beliau telah mencapai puncak pengatahuan madzhab Imam

Asy-Syafi’i ra dan imam-imam lainnya. Beliau juga memimpin Yayasan

Daarul Hadits Al-Asyrafiyah Al-Ulla dan mengajar bayaran disana tanpa

mengambil bayaran sedikitpun (Nawawi, t.th: 11).

B. Karya-Karya Imam Nawawi

Al-Imam an-Nawawi adalah ulama’ yang dikenal sebagai pengarang.

Sejak usianya berumur 25 tahun dia banyak menulis karya-karya ilmiah

(Huda, 2011: 56).

(36)

Asmaa’wal Lughaat, Al-Manaasik Al-Sughra dan Al-Manaasik Al-Kubra,

Minhajut Taalibin, Bustaanul ‘Arifin, Khulaasahtul Ahkam fi Muhimmaatis

Sunan wa Qawaa’idil Islam, Raudhatut Taalibiin fii ‘Umdatil Muftiin,

Hulyatul Abrar wa Syi’aarul Akhyaar fii Talkhiisyid Da’awaat wal Adzkaar

yang lebih dikenal dengan nama Al-Adzkaar lin Nawawi dan At-Tibyan fii Aadaabi Hamalatil Quran (Nawawi, t.th: 13).

Pengabdian ketekunan an-Nawawy membuahkan karya-karya yang

sangat bermanfaat bagi umat islam di dunia. Diantara kitab yang ia tulis ialah:

1. Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin

2. Al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzzab as-Sirajy

3. Al-Minhaj fi Syarh Mukhtashar al-Muharrar

4. Tahdziib al-Asmaa` wa al-Lughaat

5. Riyadl ash-Shalihin min Kalaam Sayyid al-Mursaliin

6. Al-Adzkar

7. Al-IIdlah fi Manaasik al-Hajj

8. At-Tibyaan fi Aadaab Hamlah al-Qur`an

9. Tuhfah at-Thalib an-Nabiih

10. At-Tanqiih fi Syarh al-Wasith

11. At-Tahqiiq fi al-Fiqh

12. Muhimmaat al-Ahkaam

13. Syarh al-Bukhary

14. Al-‘Umdah fi Tashhiih at-Tanbiih

(37)

16. Mukhtashar at-Tirmidzi

17. Qismah al-Qanaa’ah

18. At-Taqriib fi ‘Ilm al-Hadits

19. Al-Khulashah fi al-Hadits

20. Ru`uus al-Masaa`il

21. Mukhtashar at-Tanbiih

22. Nakt al-Muhadzab

23. Daqaa`iq ar-Raudlah

24. Mukhtashar Mubhamaat al-Khatiib

25. Al-Iijaz fi Syarh Sunan Abi Daawud

26. Al-Ushul wa al-Dlawaabith

27. Al-Masa`il al-Mantsurah yang lebih dikenal dengan al-Fataawaa

28. Al-Arba’in dikenal dengan Arba’in An-Nawawy, di Indonesia masyhur

dengan nama Hadits Arba’in (

https://masayikh.com/biografi-tokoh-islam-imam-muhyiddin-yahya-an-nawawi/ diakses pada 4 September

2018, 22:10)

C. Guru-Guru Imam Nawawi

Imam Nawawi dikatakan telah mengusai kesemua ilmu Islam. Guru-guru

yang pernah mengajar beliau merupakan tokoh-tokoh ilmuan Islam yang

besar dan mempunyai kepakaran bidang masing-masing. Antara guru-guru

beliau adalah Tajuddin al-Fazari yang terkenal dengan al-Farkah, al-Kamal

Ishaq al-Maghribi, Abdurrahman bin Nuh, Umar bin As’ad al-Arbali dan Abu

(38)

Imam Nawawi belajar pada guru-guru yang amat terkenal seperti Abdul

Aziz bin Muhammad Al-Ashari, Zainuddin bin Abdud Daim, Imaduddin din

Abdul Karim Harastani, Zainuddin Abul Baqa, Khalid bin Yusuf

Al-Maqdisi An-Nabalusi dan Jamaluddin Ibn Ash-Shairafi, Taqiyuddin bin Abul

Yusri, Syamsuddin bin Abu Umar. Dia belajar fighul hadits pada Asy-Syeikh

Al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Muradi Al-Andalusi. Kemudian

belajar fiqh pada Kamal Ishaq bin Ahmad bin Usman Maghribi

Al-Maqdisi, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuh dan Izzuddin Al-Arbili serta

guru-guru lainnya (Nawawi, t.th: 10).

D. Sistematika Penulisan Kitab Attibyan fi Adabi Hamalatil Quran

Secara garis besar penulisan kitab At-Tibyan fi Adaabi Hamalatil Quran terbagi menjadi 10 bagian yaitu:

1. Keutamaan Pembaca Al-Quran dan Penghafalnya

2. Keutamaan Qiraah dan Ahluqiraah

3. Keharusan Memuliakan Ahluquran dan Larangan Menyakiti Mereka

4. Adab Pengajar dan Pelajar Al-Quran

5. Adab Para Penghafal Al-Quran

6. Adab Membaca Al-Quran

7. Adab Mulia Terhadap Al-Quran

8. Anjuran Membaca Ayat dan Surah Pada Waktu dan Keadaan Tertentu

9. Menulis dan Memuliakan Mushaf Al-Quran

(39)

BAB III

DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM NAWAWI TENTANG ADAB MEMBACA AL-QURAN DALAM KITAB ATTIBYAN FI ADABI

HAMALATIL QURAN

A. Pengertian Adab Membaca Al-Quran

Menurut al-Attas, secara etimologi (bahasa) adab berasal dari bahasa

Arab yaitu addaba-yu’addibu-ta’dib yang telah diterjemahkan oleh al-Attas sebagai ‘mendidik’ atau ‘pendidikan’. Dalam kamus Al-Munjid dan Al

Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memiliki arti budi pekerti,

perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.

Sedangkan, dalam bahasa Yunani adab disamakan dengan kata ethicos atau

ethos, yang artinya kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk

melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika (Nasir, 1991:

14).

Al-Ghazali dalam kitab ihya’ Ulum Al-Din menyatakan bahwa pengertian akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang

memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu

pertimbangan dan analisa (jamil, 2013:2).

Sebagai manusia tentu mempunyai adab atau norma-norma tersendiri

agar hidupnya terarah. Baik norma terhadap diri sendiri, makhluk

ciptaan-Nya dan terhadap Allah SWT. Salah satu norma yang perlu diperhatikan

adalah ketika berinteraksi dengan kalam Allah yaitu Al-quran Al-Karim.

(40)

Al-Quran adalah kalam Allah, menghafalkannya adalah aktivitas yang

paling besar nilainya, karena hal itu akan membuka pintu-pintu kebaikan.

Dan ingatlah bahwa Rasulullah SAW diutus karena sesuatu yang penting dan

mendasar, yaitu Al-Quran (Al-Kahil, 2011: 19). Untuk berbicara dengan

Allah adalah dengan memahami kalam Allah yaitu dengan memahami

Al-Quran.

Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili ia berkata, aku mendengar

Rasulullah bersabda:

ِهِباَحْصَ ِلًِاعْيِفَش ِةَماَيِقلْا َم ْوي ىِتْأَي ُهَّنِاَف ,َنآ ْرُقْلا اوُءَرقا

“Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai

pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim: 804) (Muslim, 2014: 330)

Al-Quran merupakan mukjizat dari Allah SWT sehingga, segala sesuatu

yang berkaitan dengan Al-Quran sudah tentu merupakan hal yang luar biasa

(Yusuf, 2013: 15). Maka penghafal Al-Quran adalah sosok yang luar biasa.

Jadi, adab membaca Al-Quran adalah norma, tata cara, budi pekerti,

perangai, tingkah laku atau tabiat yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam

dalam berinteraksi dengan kalam Allah agar dapat mengetahui dan

mendekatkan diri dengan Allah. Hal ini untuk mengetahui siapa Allah harus

memahami dulu ciptaan-Nya.

B. Pemikiran Imam Nawawi Tentang Adab Membaca Al-Quran dalam Kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran

Abu Zakariya Yahya bin Syarif ad-Din an-Nawawi telah menghasilkan

(41)

Quran. Adapun adab-adab membaca Al-Quran menurut Imam Nawawi (2018:

67-109) adalah:

1. Ikhlas

Wajib bagi orang yang membaca Al-Quran untuk ikhlas, memelihara

etika ketika berhadapan dengannya, hendaknya ia menghadirkan perasaan

dalam dirinya bahwa ia tengah bermunajat pada Allah, dan membaca

seakan-akan ia melihat keberadaan Allah Ta’ala, jika ia tidak bisa

melihatnya maka sesungguhnya Allah melihatnya.

2. Membersihkan Mulut

Jika hendak membaca Al-Quran hendaknya ia membersihkan

mulutnya dengan siwak atau lainnya dan siwak yang berasal dari tanaman

arok lebih utama, bisa juga dengan jenis kayu-kayuan lain, atau dengan

sobekan kain kasar, garam abu (alkali), atau lainnya.

Sebagian ulama berkata: “ Doa ketika bersiwak adalah

َنْيَمَحاَّرلا َمَح ْرَأ اَي َهْيِف ْيِل ْك ِر اَب َّمُهللَا

“Ya Allah berkahilah aku dengan apa yang ada padanya, wahai Dzat

yang Maha Pengasih.”(Nawawi, 2018: 68).

Mawardi, seorang ulama bermadzhab Syafi’i, berkata: “Disunahkan

untuk menyikat sebelah luar dan sebelah dalam gigi, menyikat

pokok-pokok gigi, gusi gigi-gigi geraham, dan langit-langit mulut dengan

lembut.” (Nawawi, 2018: 68).

Para ulama berkata: “hendaknya bersiwak dengan batang yang

(42)

kering lunakkanlah dengan air dan tidak mengapa menggunakan siwak

milik orang lain dengan seizinnya.

Adapun jika rongga mulutnya terkena najis yang berasal dari darah

atau lainnya maka makruh baginya membaca Al-Quran sebelum

membasuhnya.

3. Dalam Kondisi Suci

Sebaiknya orang yang hendak membaca Al-Quran berada dalam

kondisi suci dan boleh jika ia dalam keadaan berhadats berdasarkan

kesepakatan kaum muslimin, hadits mengenai hal ini banyak dan sudah

masyhur.

Imam Haramain berkata: “tidak dikatakan bahwa ia melakukan suatu

hal yang makruh akan tetapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih afdhal.

Jika ia tidak menemukan air maka hendaknya ia bertayamum, untuk

wanita yang biasa istihadhah ia dihukumi sebagaimana orang yang berhadats” (Nawawi, 2018: 68-69).

Untuk yang junub dan haid maka haram bagi keduanya membaca

Al-Quran, satu ayat atau tidak sampai satu ayat. Dibolehkan bagi keduanya

untuk membaca Al-Quran di dalam hati tanpa dilafalkan, juga boleh

melihat mushaf, dan mengingat-ingatnya dalam hati (Nawawi, 2018: 69).

Kaum muslimin sepakat bolehnya bertasbih, bertahlil, bertahmid,

bertakbir, dan bershalawat atas Rasulullah, serta dzikir lainnya bagi orang

(43)

4. Bertayamum, jika Tidak Mendapat Air

Jika orang yang haid atau junub tidak mendapati air untuk bersuci

maka hendaknya bertayamum dan setelah itu boleh baginya mengerjakan

sholat, membaca Al-Quran, dan melakukan ibadah lainnya. Jika berhadats

maka haram baginya shalat tetapi tidak untuk membaca Al-Quran dan

duduk di masjid, yang merupakan hal-hal yang tidak diharamkan bagi

orang yang berhadats sebagaimana yang tidak diharamkan bagi keduanya

jika telah mandi janabat kemudian berhadats (Nawawi, 2018: 70).

Sebagian ulama bermadzhab Syafi’i menyebutkan bahwa orang junub

yang mukim bila bertayamum maka boleh baginya melaksanakan shalat,

dan setelahnya tidak boleh membaca Al-Quran ataupun duduk di masjid.

Yang benar adalah boleh, sebagaimana yang telah kami sebutkan

(Nawawi, 2018: 71).

Seandainya ia bertayamum kemudian shalat dan membaca Al-Quran

lalu ia menemukan air maka wajib baginya menggunakan air tersebut

karena pada saat itu haram baginya membaca Al-Quran dan melaksanakan

apapun yang diharamkan bagi orang yang junub hingga mandi jinabat.

5. Tempat yang Bersih

Hendaknya membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan nyaman,

mayoritas ulama lebih suka kalau tempatnya di masjid karena bersih secara

global, tempat yang mulia, serta tempat untuk melakukan keutamaan

lainnya, seperti iktikaf; maka hendaknya setiap yang duduk di dalam

(44)

sebentar bahkan hendaknya ia meniatkan hal tersebut sejak pertama kali

masuk masjid, inilah adab yang seharusnya diperhatikan, dan

diberitahukan kepada anak-anak dan orang awam, karena ini termasuk hal

yang terlupakan.

Adapun membaca Al-Quran di kamar mandi, para salaf berbeda

pendapat mengenai kemakruhannya. Para ulama yang mengatakan tidak

makruh, sebagaimana dinukil oleh Imam yang disepakati kemuliaanya,

Abu Bakar bin Mundzir dalam Al-Isyraf dari Ibrahim An-Nakha’i dan

Malik, yang merupakan perkataan Atha’, banyak kelompok yang

sependapat dengan hal ini diantaranya Ali bin Abi Thalib.

Adapun membaca Al-Quran di jalan dibolehkan selama tidak

mengganggu penggunanya, jika sampai mengganggu penggunanya maka

hukumnya menjadi makruh sebagaimana Nabi Muhammad memakruhkan

orang yang mengantuk membaca Al-Quran karena khawatir terjadi

kesalahan. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa Abu Darda’ pernah

membaca Al-Quran di jalan, ia juga meriwayatkan bahwa Umar bin

Abdulaziz yang mengizinkan ha tersebut.

6. Menghadap Kiblat

Hendaknya orang yang membaca Al-Quran di luar shalat

membacanya dengan menghadap kiblat. Duduk dalam keadaan khusyuk

dan tenang jiwa raganya, menundukkan kepala, tetap menjaga adab duduk

(45)

Seandainya ia membacanya dalam keadaan berdiri, berbaring, di

kasurnya, atau dengan berbagai pose pun boleh, dan baginya pahala

walaupun pahalanya bukan seperti pada posisi yang pertama.

Allah ta’ala berfirman:

Artinya: ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring... (Ali Imran: 190-191) 7. Memulai Qiraah dengan Ta’awudz

Ketika ingin membaca Al-Quran disyariatkan untuk berta’awudz,

yaitu dengan bacaan:

ِمْي ِجَرلا ِناَطْيَّشلا َنِم ِللهاِب ُذ ْوُعَا

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk,” demikianlah yang dikatakan jumhur ulama.

Dahulu beberapa kelompok salaf berta’awudz dengan lafal

َّشلا َنِم ِمْيِلَعْلا ِعْيِمَّسلا ِللهاِب ُذ ْوُعَا

(46)

Pendapat kedua mengatakan, sesungguhnya sunahnya hanya pada

rekaat pertama saja namun jika lupa hendaknya ia membacanya pada reaat

kedua. Dan disunahkan untuk membaca ta’awudz pada takbir pertama

shalat jenazah menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat

yang ada.

8. Membiasakan Mengawali Setiap Surah dengan Basmalah

Hendaknya selalu membaca basmalah di awal setiap surah selain

surah bara’ah (At-Taubah), mayoritas ulama berpendapat itu termasuk ayat

lanjutan bukan awal surah sebagaimana dalam mushaf, setiap awal surah

selalu diawali dengan tulisan lafal basmalah kecuali surah At-Taubah

(Nawawi, 2018: 76).

Jika ia membacanya berarti ia telah banar-benar mengkhatamkan

Al-Quran, atau mengkhatamkan surah tersebut; dan jika ia tidak membaca

basmalah di setiap awal surahnya maka sama dengan meninggalkan

sebagian Al-Quran, menurut mayoritas ulama. Dengan kata lain, bila ia

diupah untuk membaca Al-Quran per asba’ atau persekian juz maka

perhatian untuk membaca basmalah lebih ditekankan karena merupakan

konsekuensi berhaknya ia memperoleh upah tersebut, jika ia tidak

membacanya maka ia tidak berhak mengambil upah tersebut bagi yang

berpendapat: basmalah merupakan awal surah. Ini merupakan

(47)

9. Mentadaburi Ayat

Disyariatkan ketika membaca Al-Quran dalam keadaan khusyuk,

banyak dalil mengenai syariat tadabur ketika membaca Al-Quran, yang

paling masyhur yang sering disebut:







Artinya: “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?” (An-Nisa’: 82)

Banyak hadits begitu pula atsar yang masyhur terkait masalah ini. Banyak kelompok dari salafus shalih yang bergadang hingga pagi untuk

membaca, mengulang-ulang, dan merenungi sebuah ayat; banyak pula

salafush shalih yang pingsan ketika sedang membaca Al-Quran; dan tidak

sedikit yang meninggal dunia dalam kondisi membaca Al-Quran.

As-Sayid al-Jalil, seorang yang memiliki banyak kelebihan dan

wawasan, Ibrahim Al-Khawash berkata, “Obat hati ada 5 yaitu (Nawawi,

2018: 78):

a. Membaca Al-Quran dan merenunginya

b. Mengosongkan perut

c. Qiyamulail

d. Berdoa pada waktu sahar (akhir malam)

e. Dan bersahabat dengan orang-orang shalih

10. Mengulang-ulang Ayat Tertentu untuk Direnungi

Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ia berkata. Rasulullah

(48)

يِف ِلِبِء ْلْا َنِم اًتُّلَفَت ُّدَشَأ َوُهَل ِهِدَيِب ٍدَّمَحُم ُسْفَن يَذَّلا َوَف ،َنآ ْرُقْلْا اَذَه ا ْوُدَه اَعَت

اَهِلُقُع

“Ulang-ulanglah Al-Quran ini. Demi dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, ia lebih cepat lepas daripada unta dalam ikatan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika membaca Al-Quran agar dapat menangis ketika membacanya

karena hal demikian merupakan sifat orang-orang yang arif dan

tanda-tanda hamba-hamba Allah yang shalih.

Allah Ta’ala berfirman:

menangis dan mereka bertambah khusyu'” (Al-Isra’: 109)

11. Membaca dengan Tartil

Hendaknya membaca Al-Quran dengan tartil. Para ulama sepakat

akan dianjurkannya hal itu.

Artinya: “bacalah Al Quran itu dengan tartil.” (Al-Muzammil: 4) 12. Memohon Karunia Allah saat Membaca Ayat Rahmat

Jika membaca ayat tentang rahmat hendaknya ia memohon karunia

Allah, dan ketika membaca ayat tentang adzab hendaknya meminta

perlindungan dari keburukan, adzab, atau dengan mengucapkan do’a

َةَيِف اَعْلا َكُلَأْسَا ْيِ نِا َّمُهللَا

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keselamatan.”

Atau:

(49)

“Aku mohon keselamatan dari segala hal yang tidak disukai.”

Ataupun dengan lafal doa yang lain.

Jika ia mendapati ayat tanzih lillah (yang mengandung pemaha sucian Allah) hendaknya ia memahasucikan-Nya dengan perkataan: Subhanahu

wa Ta’ala, Tabaraka wa Ta’ala, atau ucapan Jallat ‘Azhamatu Rabbina.

Menurut Gufron & Rahmawati (2013: 10) adab membaca Al-Quran

secara bathiniyah adalah tersentuh hati dengan bacaan. Jika membaca

ayat-ayat rahmat hendaknya merasa senang, sebaliknya jika membaca ayat-ayat-ayat-ayat

adzab dan ancaman hendaknya hati merasa sedih dan takut.

13. Menghormati Al-Quran

Termasuk perkara yang perlu diperhatikan dan sangat ditekankan

adalah penghormatan terhadap Al-Quran, yaitu dengan menghindari

perkara yang sering disepelekan oleh sebagian orang yang lalai dan para

qari’ yang membaca Al-Quran secara bersama-sama.

Diantara penghormatan terhadap Al-Quran, yaitu menghindari

tertawa, bersorak sorai, dan berbincang-bincang di sela-sela qiraah kecuali

perkataan yang sangat mendesak. Sebagai praktik dari firman Allah

Ta’ala:

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat

rahmat.” (Al-A’raf: 2014)

(50)

menyelesaikan bacaannya. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, ia berkata: “Ia tidak berbicara hingga menyelesaikannya )Bukhori, 1995/

4526).

ُهْنِم َغ ُرْفَي ىَّتَح ْمَّلَكَتَي ْمَل َنآ ْرُقْلا َأ َرَق اَذِإ اَمُهْنَع ُالله َي ِضَر َرَمُع ُنْبا َناَك

ي ِرْدَت : َلاَق ٍناَكَم ىَلِإ ىَهَتْنا ىَتَح ِة َرَقَبْلا َة َر ْوُس َأ َرَقَف ,اًم ْوَي ِهْيَلَع ُتْذَخَأَف

ِف ْتَل ِزْنُأ : َلاَق .لْ : ْتَل ِزْنُأ اَمْيِف

ىَضَم َّمُث اَذَك َو اَذَك ْي

(Bukhori: 1995/ 4526)

Tidak boleh juga memandang hal-hal yang dapat mengalihkan

perhatian dan konsentrasi. Yang lebih buruk lagi ialah melihat orang yang

tidak boleh dilihat, seperti melihat amrad (remaja yang belum tumbuh kumis dan jenggot) atau lainnya. Melihat amrad tanpa adanya keperluan, hukumnya haram baik dengan disertai syahwat ataupun tidak, baik ketika

kondisi aman dari fitnah atau tidak. Ini merupakan madzhab shahih yang

dipilih oleh para ulama. Imam Syafi’i dan banyak ulama lainnya telah

menyatakan keharamannya.

14. Tidak Boleh Membaca Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

Tidak boleh membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain

Bahasa Arab, baik ia pandai berbahasa Arab ataupun tidak, di dalam shalat

ataupun di luar shalat. Jika ia melakukan hal ini dalam shalat maka tidak

sah shalatnya. Ini pendapat madzhab Imam Syafi’i juga Imam Malik,

Ahmad, Daud, dan Abu Bakar bin Mundzir.

Adapun Abu Hanifah berpendapat, “Hal itu diperbolehkan dan

(51)

Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat: “Boleh, bagi orang yang

tidak bisa berbahasa Arab dengan baik dan tidak boleh bagi yang bisa

berbahasa Arab dengan baik.” (Nawawi, 2018: 91).

15. Boleh Membaca Al-Quran Menggunakan Qiraah Sab’ah

Boleh membaca Al-Quran menggunakan tujuh macam qiraah yang

telah disepakati. Adapun dengan yang lainnya tidak boleh, walaupun

dengan riwayat syadz yang diriwayatkan dari ketujuh qari’ tersebut (Nawawi, 2018: 91).

Jika ia memulai qiraah dengan menggunakan qiraah salah satu qari’,

hendaknya ia masih menggunakan qiraah tersebut selama ayat yang

sedang dibacanya masih berkaitan dengan ayat berikutnya. Jika ia telah

selesai membacanya ia boleh mengganti qiraahnya dengan qiraah sab’ah

lainnya. Akan tetapi yang lebih utama, dalam satu majlis ia tetap

menggunakan satu macam qiraah.

16. Membaca Al-Quran Sesuai Urutan Mushaf

Para ulama’ berkata: “Yang paling utama, membaca Al-Quran sesuai

urutan mushaf. Pertama ia membaca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah,

kemudian Ali Imran, dan seterusnya berdasarkan urutan, ketika shalat

ataupun di luar shalat. Sampai-sampai sebagian ulama mengatakan: “Jika

pada rekaat pertama ia membaca surah An-Nas maka pada rekaat kedua,

setelah Al-Fatihah ia membaca Al-Baqarah (Nawawi, 2018: 92).

Pengurutan surah dalam mushaf dijadikan demikian karena suatu

(52)

pengecualian dalam syariat, seperti sunahnya membaca surah As-Sajdah

pada rekaat pertama dan Al-Insan pada rekaat kedua shalat Subuh pada

hari Jumat; membaca surah Qaf pada rekaat pertama dan surah Al-Qamar

pada rekaat kedua shalat Id. Ketika shalat sunah Fajar disunahkan untuk

membaca surah Al-Kafirun pada rekaat pertama dan Al-Ikhlas pada rekaat

kedua. Ketika shalat witir disunahkan membaca surah Al-A’la pada rekaat

pertama, Al-Kafirun pada rekaat kedua, dan Al-Ikhlash serta

mu’awidzatain pada rekaat ketiga.

17. Membaca Al-Quran dengan Melihat Mushaf

Membaca Al-Quran dengan menggunakan mushaf lebih afdhal daripada membaca Al-Quran sekedar mengandalkan hafalan, karena

melihat mushaf adalah ibadah yang dituntut. Sehingga selain membaca ia

juga melihat ayat yang tengah dibacanya.

Membaca Al-Quran dengan hanya mengandalkan hafalan menjadi

pilihan bagi yang bisa mencapai kekhusyukan dan tadaburnya dengan hal itu dan bertambah kekhusyukan dan tadaburnya jika ia membacanya dari mushaf. Ini adalah pendapat yang bagus.

18. Tidak Mengeraskan Suara Ketika Membaca Al-Quran

Ini sub bab penting yang patut diperhatikan. Ketahuilah bahwa ada

banyak hadits shahih dalam kitab shahih ataupun kitab lainnya yang

menunjukkan mustahabnya mengeraskan suara ketika membaca Al-Quran,

ada pula atsar-atsar yang menunjukkan mustahabnya menyamarkan suara

(53)

Terdapat riwayat dalam kitab Shahih dari Abu Hurairah ia berkata,

saya pernah mendengar Nabi bersabda:

ِنآرُقْلاِب ىَّنَغَتَي ِت ْوَصلا ِنَسَح ٍيِبَنِل َنِذَأ اَم ٍءْيَشِل ُالله َنِذَأ اَم

“Tidaklah Allah mendengar sesuatu dengan seksama sebagaimana

Allah mendengarkan suara merdu seorang Nabi yang sedang menyenandungkan Al-Quran, mengeraskan bacaannya.” (Muslim, 2014: 326).

Banyak hadits mengenai disyariatkannya mengeraskan suara ketika

membaca Al-Quran, yaitu bersumber dari atsar pun tak terhitung

banyaknya, yang akan disebutkan yang paling masyhur. Semuanya

mengenai orang-orang yang tidak khawatir terjangkit riya’, ujub, juga sifat

buruk lainnya, dan tidak mengganggu jamaah lain. Sungguh sekelompok

salaf lebih memilih merendahkan suaranya karena khawatir.

19. Dianjurkan Membaguskan Suara ketika Qiraah

Para ulama yang terdiri dari salaf, khalaf, sahabat, tabi’in, dan ulama

-ulama kaum muslimin setelah mereka sepakat atas anjuran membaguskan

suara ketika membaca Al-Quran. Perkataan dan perbuatan mereka yang

masyhur berkaitan dengan larangan mengharapkan popularitas.

Para ulama berkata: “dianjurkan membaguskan suara ketika membaca

Al-Quran dan melagukannya selama tidak sampai memanjang-manjangkan

qiraah. Jika ia berlebihan hingga bertambah satu huruf atau malah

mengurangi satu huruf maka hukumnya menjadi haram (Nawawi, 2018:

112).

(54)

Membaca Al-Quran lebih afdhal jika dibandingkan dengan melafalkan tasbih, tahlil, serta lafal dzikir lainnya. Ini pendapat shahih yang dipilih dan

diyakini oleh sebagian ulama. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut

(Nawawi, 2018: 15-16).

Banyak sekai nash-nash, baik dalam Al-Quran maupun Hadits yang

menyebutkan tentang keutamaan Al-Quran, membacanya dan menghafalnya,

diantaranya:

1. Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Al-Quran dan

mengajarkannya

َمَّلَعَت ْنَم مُكُريَخ : ملسو هيلع الله ىلص ِلله ُلْوسر لق : لق ههجو الله م رك ىلع نع

ُهَمَّلَع َو َنآ ْرُقْلا

Artinya: “Dari Aly-Karomallahu wajhah, ia berkata: Rasulullah bersabda: Sebaik-baik kamu sekalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (Ad-Darimy Juz II/ 437)

2. Al-Quran menjadi penawar dan rahmat

Dalam Al-Quran surah Al- Isra’: 82



Artinya:“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain

kerugian.”

3. Al-Quran akan menolong pada hari kiamat

Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili ia berkata, aku mendengar

Rasulullah bersabda:

(55)

“Bacalah Al-Quran karena ia akan datang pada Hari Kiamat

sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim: 804)

(Muslim, 2014: 330)

4. Al-Quran merupakan petunjuk ke jalan yang baik

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila perkara-perkaramu samar seperti

kegelapan malam, hendaklah kamu membaca Al-Quran. Sebab ia

merupakan juru tolong. Barangsiapa menjadikan Al-Quran berada di

hadapannya, akan memimpinnya sampai surga; dan barang siapa

meletakkannya di belakang, akan menuntunnya ke neraka. Ini

menunjukkan bukti bahwa ia menunjukkan jalan kebaikan. Al-Quran

adalah kitab yang mengandung penjelasan, sekaligus menjadi pemisah

antara hak dan batil. Al-Quran jga memiliki aspek lahir dan batin;

lahiriyahnya adalah hukum, batinnya adalah ilmu; lahiriyahnya indah,

batinnya mendalam. Segenap keajaibannya tak terbilang. Di dalamnya

terkandung cahaya petunjuk dan pelita hikmah (al-Karazkani, 1991: 239).

Jadi, Al-Quran memberikan petunjuk kepada manusia menuju jalan

yang diridhoi Allah yaitu surga.

5. Bagi yang membaca, Akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT (Amien,

2008: 6)

6. Al-Quran adalah kitab pembimbing manusia

Al-Quran membawa cahaya terang benderang untuk mengeluarkan

manusia dari kegelapan; Al-Quran memberi penjelasan dan bimbingan

yang lurus; sebagai kabar gembira bagi yang beriman dan beramal saleh

(56)

D. Manfaat Membaca Al-Quran

Al-Quran itu tidak ada keraguan di dalamnya bagi orang yang beriman;

bahkan semakin bertambah imannya bila Al-Quran dibaca (Hadhiri SP, 2005:

175). Tidak akan merugi orang-orang yang membaca Al-Quran. Satu huruf

dari bacaan Al-Quran sudah dihitung pahala bagi yang membacanya.

Menurut Annisa (2017: 46) Al-Quran mempunyai pengaruh yang besar

terhadap kejiwaan seseorang. Hal ini dibuktikan dengan berubahnya jiwa dan

kepribadian bangsa Arab setelah mereka mengenal Al-Quran. Al-Quran telah

mengubah kepribadian mereka secara total meliputi akhlak perilaku, cara

hidup, prinsip, cita-cita dan nilai-nilai serta membentuk mereka menjadi

masyarakat yang bersatu, teratur dan bekerjasama. Bahkan perubahan besar

yang ditimbulkan oleh Al-Quran dalam jiwa bangsa Arab ini belum ada

bandingannya dalam sejarah seruan-seruan kepercayaan yang pernah muncul

di seManfaatpanjang kurun sejarah yang berbeda. Tidak dipungkiri lagi

dalam Al-Quran terdapat daya spiritual yang luar biasa terhadap jiwa

manusia.

Banyak sekali keutamaan serta manfaat yang bisa diambil dari membaca

Al-Quran antara lain

(https://dalamislam.com/landasan-agama/al-quran/manfaat-membaca-al-quran, diakses pada 8 September 2018, 12:15):

1. Membaca Al-Quran dapat menuntun ke jalan kebenaran, kebaikan, dan

keselamatan

2. Membaca Al-Quran dapat melembutkan hati

Referensi

Dokumen terkait

Para mahasiswa baru ini memasuki lingkungan kampus tanpa mengetahui sedikitpun tentangapa itu peraturan dan sistem akademik di dalam kampus, seandainya pun ada yang tahu

Dari rangkaian prosesi upacara dan berbagai perlengkapan upacara yang telah disiapkan dan disertakan terlihat bahwa upacara adat apitan merupakan sebuah tradisi yang dimaknai oleh

Berdasarkan hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa porositas tanah pada berbagai macam kelerengan tergolong ideal, karena struktur tanahnya remah dan memiliki

Dalam penelitian ini model pengkajian sastra bandingan diterapkan pada karya sastra Indonesia dan sastra Sunda yang bersumber pada cerita rakyatt Sunda tentang perkawinan

Pemahaman mengenai teori implementasi tersebut di atas tidak akan terlepas kaitannya dengan pro ses perumusan kebijakan (policy formulation) itu sendiri sebagai

Gambar 4.17 Tampilan Layar Lihat Semua Pesanan pada

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagai dasar penyusunan perencanaan dan pengambilan keputusan. Kepala

Pada saat pulse pengapian sejajar dengan pic up magnet, pulse kehilangan arus sehingga arus dari CDI ke kumparan primer terputus. akibatnya kumparan primer coil