BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan bantuan
manusia lain untuk memenuhi hidupnya seperti yang dikatakan oleh filsuf
Aristoteles, Zoon politicon. Hal ini merupakan dasar interaksi manusia dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya, interaksi manusia dalam masyarakat ini
belum tentu selalu berakhir dengan damai dan kedua belah pihak terpenuhi
kebutuhannya. Hal inilah yang disebut konflik. Konflik ini kemudian
dapat menjadi sengketa dan dibawa ke hadapan orang lain untuk dibantu
penyelesaiannya. Salah satu bentuknya adalah sengketa perdata (Yusuf,
Agni Hasrini, 2017:1).
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa mengadakan
hubungan dengan manusia lain yang antara lain dengan menutup
perjanjian-perjanjian. Hubungan ini termasuk hubungan hukum antara
kepentingan kepentingan yang bersifat privat maupun perdata.
Kepentingan-kepentingan antara masyarakat individu dalam bermasyarakat
ini diatur secara khusus oleh instrumen yang disebut kontrak atau
perjanjian, yang apabila dilanggar akan menimbulkan suatu konflik
kepentingan antara hak dan kewajiban. Oleh karena perjanjian merupakan
janji dari dua pihak, maka ada kemungkinan bahwa janji-janji itu tidak
silang pendapat yang dapat menuju pada sengketa (Muhammad, Abdulkadir,
2010 : 617).
Pengingkaran suatu kewajiban kontraktual ini umum disebut dengan
wanprestasi. Tuntutan terhadap pemenuhan akan janji yang telah dibayarkan
dengan nilai cukup besar menjadi masalah yang seringkali terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat ( Topa, Jeims Ronald, 2017 : 42).
Pengertian Sengketa adalah pertentangan atau konflik. Sengketa
adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenaya dapat diberi sanksi hukum
bagi salah satu pihak. Beragam Sengketa yang diselesaikan melalui lembaga
peradilan perdata, seperti yang berkenaan dengan pengingkaran atau
pemecahan perjanjian (breach of contract), perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak tertentu dan
sebagainya (Topa, Jeims Ronald, 2017 : 41).
Secara teori mungkin masih benar sudut pandang, bahwa dalam
negara hukum yang tunduk pada the rule of law, kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power) yang
berperan sebagai benteng atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban
dalam masyarakat (Harahap ,M. Yahya, 2008 : 269). Sehingga Peradilan
dapat juga dimaknai sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan,
berperan menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and
justice)
Pada prinsipnya, dalam melakukan upaya penyelesaiaan sengketa ada
berbagai cara dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa,baik melalui
pengadilan (litigasi) maupun melalui proses di luar pengadilan (non
litigasi/perdamaian). Penyelesaian sengketa secara non litigasi adalah
penyelesaian sengketa yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak
dan prosedur penyelesaian atas suatu sengketa diserahkan sepenuhnya kepada
para pihak yang bersengketa. Sementara, Penyelesaian sengketa secara
litigasi berpedoman pada Hukum Acara Perdata positif, yaitu het Herziene Indische Reglement (HIR) untuk wilayah Jawa dan Madura, dan Rechts Reglement van Buitengewesten (RBg) untuk wilayah luar Jawa dan Madura, dan peraturan-peraturan tentang acara perdata lainnya yang mengatur
persyaratanpersyaratan yang harus dipenuhi agar suatu sengketa dapat
diajukan serta upayaupaya yang dapat dilakukan (Jimmy, Joses sembiring,
2011 : 2)
Penyelesaian sengketa bisnis lebih disukai melalui cara non litigasi
meskipun seingkali tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas,
sehingga cara non litigasi bukan juga merupakan pilihan penyelesaian
sengketa yang tepat guna. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan (litigasi)
dianggap tidak efektif dan efisien sehingga akan mengganggu atau
tidak boleh di simpangi, sehingga memerlukan waktu yang lama, tidak
melindungi kerahasiaan, serta hasilnya ada pihak yang kalah dan yang
menang, sehingga akan memperpanjang persengketaan karena
dimungkinkannya melanjutkan perkara ke pengadilan tingkat yang lebih
tinggi (upaya hukum); meskipun terdapat asas peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya murah ( Fakhriah, Efa Laela, 2016 : 3).
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penyelesaian sengketa
melalui pengadilan berbelit-belit, memakan waktu yang lama dan berbiaya
mahal. Akibatnya, kepastian hukum bagi pencari keadilan senantiasa
terkatung-katung dan tidak menentu, padahal belum tentu dapat
memenangkan perkara tersebut.
Substansi hukum gugatan sederhana ditemukan dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,yang pada
Pasal 2 ayat (4), menyatakan bahwa“Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat,dan biaya ringan.” Berdasarkan ketentuantersebut terdapat 3 (tiga) asas
atau prinsip-prinsip peradilan, yaitu “sederhana”, “cepat”,dan “biaya ringan”.
Upaya penyederhanaan dalam proses maupun prosedur berperkara
tersebut,sebenarnya membuka akses kepada publik atau masyarakat untuk
mendapatkan keadilan. Pencarian hukum dan keadilan serta tetap tegaknya
hukum dan keadilan berada pada kekuasaan kehakiman, yang menurut Pasal
24 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dankeadilan”.
Dapat dilihat secara langsung bahwa perlu ditemukan mekanisme
penyelesaian perkara secara cepat yang efektif oleh lembaga peradilan.
Gugatan sederhana merupakan salah satu persiapan yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung sebagai bentuk antisipasi terjadinya sengketa di peradilan
umum di Indonesia yang menyangkut perniagaan dengan mekanisme
penyelesaian perkara yang dilakukan secara cepat,sederhana, dan biaya
ringan (Yusuf , Agni Hasrini, 2017 : 7).
Gugatan dengan nilai yang kecil apabila menggunakan tahapan dan
prosedur yang panjang serta sistem peradilan yang berjenjang, dikhawatirkan
biaya yang diperlukan dalam menyelesaikan sengketa melebihi dari nilai
gugatan itu sendiri. Dengan demikian asas peradilan sederhana, cepat da
Mengatasi hal di atas dirasakan semakin penting untuk menyelesaikan
sengketa perdata melalui prosedur penyelesaian sengketa yang cepat dan
sederhana, tetapi mempunyai kekuatan mengikat. mekanisme penyelesaian
sengketa yang dilakukan melalui pengadilan (proses litigasi) tetapi dengan
menerapkan hukum acara yang sederhana dan singkat, berbeda dengan
prosedur beracara di pengadilan (penerapan hukum acara) pada umumnya
dalam menangani sengketa perdata biasa. Sehingga proses penyelesaian
sengketa dapat dilakukan secara sederhana dan cepat/singkat, sementara hasil
paksa untuk dilaksanakan (kekuatan mengikat) (Fakhriah, Efa Laela, 2012 :
10).
Small Claim Court itu sendiri sebenarnya telah lama berkembang baik di negara-negara yang berlaku sistem hukum Common Law maupun sistem hukum Civil Law. Tidak hanya di negara maju seperti Amerika, Inggris, Kanada, Jerman dan Belanda, tetapi Small Claim Court juga tumbuh dan berkembang pesat di negara-negara berkembang di Amerika Latin,
Afrika dan Asia seperti Filipina. Di beberapa negara, seperti Jepang disebut
dengan Summary Court. Small Claim Court dianggap efisien karena konsep pengadilan kecil yang ramah membuat sejumlah negara di atas mengadopsi
sistem ini. hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia saat ini (HIR/Rbg
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur acara perdata
tidak mengenal kelembagaan Small Claim Court. Keberadaan Small Claim Court diatur oleh Mahkamah Agung melalui kewenangannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.Dalam pengajuan Gugatan, nilai
objek perkara maksimal Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan
proses pembuktian sederhana dan dipimpin oleh hakim tunggal (Silvia,
Rohana Fitri , 2017 :6 ).
Yurisdiksi Gugatan sederhana termasuk dalam kewenangan atau
ruang lingkup peradilan umum. Tidak semua perkara dapat diselesaikan
dengan mengajukan Gugatan sederhana karena telah ditentukan
materi PERMA Nomor 2 Tahun 2015 sudah sesuai dan telah diterapkan di
banyak negara. Seperti, jangka waktu penyelesaiannya terbatas, dengan
hakim tunggal, ada batasan nilai gugatan, dan putusan final di tingkat
pertama. Dengan diterbitkannya PERMA Nomor 2 Tahun 2015 diharapkan
dapat memberikan impact terhadap proses penyelesaian perkara perdata
yang berasaskan sederhana, cepat dan biaya ringan yang selama ini
hanya dianggap sebagai adagium (Arrafi, Alfi Yudhistira, 2016 : 4).
Di Indonesia sendiri setelah PERMA Nomor 2 Tahun 2015 berlaku
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pertama kalinya menerima
pendaftaran perkara yang masuk dalam jenis gugatan perdata ringan dengan
proses penyelesaian cepat, dalam perkara dengan nomor register
01/Pdt.G.s/2015/PN.Jkt-Sel
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56a333d1ed524/pertama-kali-gugatan-sederhana-diperiksa-pn-jakarta-selatan).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Panitera Perdata Pengadilan
Negeri Purwokerto didapat informasi bahwa sejak dikelurkan PERMA
PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana ini Pengadilan Negeri Purwokerto rentang tahun 2015-2017 telah
menyelesaikan 7 Gugatan Sederhana yang mana pada tahun 2015 belum ada
gugatan yang masuk mengunakan gugatan sederhana, di tahun 2016 ada 4
gugatan sederhana yang mana dari ke 4 Gugatan yang diajukan menggunakan
gugatan sederhana sampai bulan Desember 2017 ini terdapat 3 gugatan yang
mana 1 menghasilkan akta perdamaian dan 1 gugatan sederhana lainnya
dicabut oleh para pihak dan yang 1 telah diputus dan oleh PN Purwokerto
dinyatakan gugatan tersebut dikabulkan sebagian.
Dalam prakteknya PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang tata cara
penyelesaian gugatan sederhana di lingkungan yuridiksi pengadilan negeri
purwokerto telah melaksanakan amanah dari PERMA tersebut tetapi
masyarakat masih banyak yang memlih mengajukan gugatan perdata biasa
ketimbang menggunakan jalur gugatan sederhana tersebut.
Hal-hal tersebut diatas yang menggugah penulis untuk menjadikannya
sebagai pembuatan latar belakang pembuatan skripsi yang berjudul
“IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2
TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN
SEDERHANA DI PENGADILAN NEGERI PURWOKERTO”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2015 tentang tata cara penyelesaian gugatan sederhana di Pengadilan
Negeri Purwokerto?
2. Apa saja faktor-faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang tata cara penyelesaian
C. Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
Berdasarkan Permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Mengetahui implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2015 di Pengadilan Negeri Purwokerto;
b. Mengetahui faktor-faktor yang menjadi Penghambat dalam
penyelesaiana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 di
Pengadilan Negeri Purwokerto.
D. Manfaat Penelitian
Dengan obyek penelitian mengenai Implementasi PERMA Nomor 2
Tahun 2015 tentang tata cara pelaksanaan gugatan sederhana di Pengadilan
Negeri Purwokerto di harapkan hasil penelitian memberikan manfaat sebagai
berikut;
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum,
khususnya hukum hukum perdata, dan dan menjadi acuan atau referensi
bagi mahasiswa atau akademisi yang berminat lebih jauh tentang
Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang
tata cara penyelesaian gugatan sederhana di Pengadilan Negeri
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti
selanjutnya dalam penyajikan informasi untuk mengadakan penelitian
yang serupa dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Mahkamah
Agung dan Pengadilan Negeri dalam mengembangkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2015 dalam upaya menyelenggarakan