• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien intensive care unit Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-Desember 2012 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien intensive care unit Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-Desember 2012 - USD Repository"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN INTENSIVE

CARE UNIT RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE

JULI-DESEMBER 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh

Agnes Kurnia Hana Pertiwi NIM: 108114059

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN INTENSIVE

CARE UNIT RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE

JULI-DESEMBER 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh

Agnes Kurnia Hana Pertiwi NIM: 108114059

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk :

Tuhan Yesus Kristus yang begitu mengasihiku dan selalu ada untukku, Mama, Papa, Kakak-kakak ku atas doa, kasih sayang, dan nasihatnya

(6)
(7)
(8)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Valentina Dwi Yuli Siswianti, M.Kes. selaku direktur pelayanan kesehatan dan infrastruktur rumah sakit Panti Rapih yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan seluruh staf bagian rekam medik atas kerjasama dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

2. Bapak Ipang Djunarko, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma dan aemua dosen Fakultas Farmasi yang telah memberikan ilmu serta bimbingan kepada penulis.

(9)

viii

4. Dr. Rita Suhadi, M.Si., Apt. dan Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan dukungan, kritik, dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.

5. Mama, papa, emak, cik Yohana dan ko Erick atas doa, kasih sayang, nasihat, dan dukungan yang diberikan baik secara moril maupun materiil.

6. Sahabat-sahabatku Juliana, Ibu, Nda-nda, Tyas, Venta, Ciptaning, Lydia, Dian, Angel, Maria, Ike, Dio, Yovi, Gadis dan semua Guru Sekolah Minggu GKI Ngupasan yang selalu memberikan dukungan, semangat, doa dan menjadi sukacita tersendiri bagi penulis dalam proses penyusunan skripsi. 7. Teman-teman angkatan 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

untuk kebersamaan dan pengalaman yang tidak terlupakan selama menjalani proses belajar dan semua pihak yang telah mendukung dan tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh kerena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sehingga dapat menjadi pembelajaran bagi penulis untuk menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kefarmasian, pembaca, dan seluruh masyarakat.

Yogyakarta, 24 Juli 2014

(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

(11)

x

2. Keaslian penelitian ... 3

3. Manfaat penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan umum ... 6

2. Tujuan khusus ... 6

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 7

A. Antibiotika ... 7

B. Bakteri... 9

C. Intensive Care Unit ... 10

D. Keterangan Empiris ... 11

BAB III METODE PENELITIAN... 12

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 12

B. Variabel dan Definisi Operasional... 12

1. Variabel ... 12

2. Definisi operasional ... 13

C. Subyek Penelitian ... 13

D. Bahan Penelitian ... 14

E. Instrumen Penelitian ... 14

F. Tata Cara Penelitian ... 14

1. Tahap perencanaan ... 14

2. Tahap analisis situasi ... 14

3. Tahap pengumpulan data ... 15

(12)

xi

G. Analisis Hasil ... 15

1. Profil Pasien ICU ... 16

2. Pola Peresepan Antibiotika ... 16

3. Evaluasi Antibiotika Berdasarkan Dosis, Kultur dan Sensitivitas Bakteri ... 16

H. Keterbatasan Penelitian ... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

A. Profil Pasien ICU ... 17

1. Jumlah pasien ICU berdasarkan jenis kelamin ... 17

2. Jumlah pasien ICU berdasarkan umur ... 17

3. Jumlah pasien ICU berdasarkan diagnosis ... 18

B. Pola Peresepan Antibiotika Pada Pasien ICU ... 25

1. Penggunaan antibiotika pada pasien ICU berdasarkan golongan antibiotika ... 26

2. Penggunaan antibiotika pada pasien ICU berdasarkan jenis antibiotika ... 28

3. Penggunaan antibiotika pada pasien ICU berdasarkan durasi pemberian antibiotika ... 30

C. Evaluasi penggunaan antibiotika berdasarkan dosis, kultur dan sensitivitas bakteri ... 30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

A. Kesimpulan ... 40

(13)

xii

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Jenis antibiotika berdasarkan efektivitas kerja ... 7

Tabel II. Jenis antibiotika berdasarkan struktur kima ... 8

Tabel III. Distribusi jumlah pasien yang menggunakan antibiotika tiap golongan dan jenis ...

... 29

Tabel IV. Distribusi jumlah pasien yang menggunakan antibiotika

berdasarkan durasi ... 31

Tabel V. Distribusi jumlah pasien dengan ketidaktepatan penggunaan

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Perbandingan jumlah pasien ICU berdasrkan jenis kelamiin ... 18

Gambar 2. Distribusi jumlah pasien berdasrkan umur ... 19

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat keterangan ijin penelitian ... 46

Lampiran 2. Lembar kerja pengambilan data ... 47

Lampiran 3. Lembar kerja pengambilan data kultur dan sensitivitas bakteri ..48

Lampiran 4. Lembar kerja pengambilan data jumlah lekosit ... 49

Lampiran 5. Jenis bakteri tiap diagnosis ... 50

Lampiran 6. Terapi antibiotika dan hasil kultur bakteri tiap pasien ... 53

Lampiran 7. Terapi definitif tiap bakteri dan sensitivitasnya ... 77

(17)

xvi

INTISARI

Lebih dari 70% pasien ICU mendapatkan terapi antibiotika. Hal ini dapat memicu penggunaan antibiotika yang tidak rasional. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien ICU Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta berdasarkan dosis, kultur dan sensitivitas bakteri.

Penelitian ini merupakan penelitian survei deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian cross-sectional dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Bahan penelitian ini merupakan rekam medis pasien yang di rawat di ICU periode Juli-Desember 2012 sebanyak 62 rekam medis. Data rekam medis yang diambil meliputi profil pasien, pola peresepan antibiotika, hasil kultur dan sensitivitas bakteri. Data kemudian diolah secara deskriptif dan dilakukan juga perhitungan ketidaksesuaian pemberian antibiotika berdasarkan dosis dan sensitivitas bakteri.

Terdapat 23 jenis antibiotika yang diresepkan dengan total pemberian sebanyak 177 kali. Meropenem merupakan jenis antibiotika yang paling banyak diberikan dengan jumlah pasien yang menggunakan sebanyak 27,27%. Terdapat 15 pasien mendapat antibiotika yang tidak sesuai berdasarkan hasil sensitivitas bakteri. Pasien yang menerima antibiotika dengan dosis berlebih sebanyak 8,75% dan pasien yang menerima antibiotika dengan dosis kurang sebanyak 4,66%.

(18)

xvii

ABSTRACT

More than 70% of ICU patients receive antibiotic therapy. This can lead to irrational use of antibiotics. The aim of this study is to evaluate the use of antibiotic in ICU patient at Panti Rapih hospital based on dose, culture and sensitivity of bacteria.

This study was non-experimental descriptive evaluative by using cross-sectional study design and data of which was retrospectively analized. The material of this study is the medical records of patients treated in ICU period July-December 2012 as many as 62 medical records. Medical record data taken includes patients profile, the petterns of antibiotics prescribing, the result of culture and sensitivity of bacteria. The data was analyzed in the form of descriptive report also performed the calculation of inappropriate antibiotics based on the dosage and sensitivity of bacteria.

There are 23 kind of antibiotics are prescribed for total administration as much as 177 times. Meropenem is a type of antibiotic that is most widely administered as many 27,27%. There are 15 patients receive inappropriate antibiotics based on the result of bacterial sensitivity. Patient who receive antibiotic dose too high as many 8,75% and dose too low as many 4,66%.

(19)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Intensive Care Unit (ICU) adalah ruang perawatan khusus di rumah sakit yang menyediakan perawatan intensif (pengobatan dan pemantauan) untuk pasien dengan penyakit kritis atau pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim ICU. Pasien yang dirawat di ICU membutuhkan perhatian medis secara teratur untuk menjaga fungsi tubuh. Pasien yang dirawat di ICU mungkin tidak dapat bernapas secara normal (membutuhkan alat bantu pernapasan) dan mengalami kerusakan organ-organ vital tubuh (NHS, 2012).

Pasien-pasien yang dirawat di ICU memiliki risiko tinggi mengalami infeksi bakteri dibandingkan dengan pasien yang dirawat di bangsal lainnya. Hal ini disebabkan karena pasien-pasien yang dirawat di ICU memiliki pertahanan tubuh yang lemah, penggunaan alat-alat invasif, kedekatan pasien dengan pasien lain yang mungkin terinfeksi bakteri serta kondisi-kondisi lainnya yang memudahkan transmisi infeksi. Karena prevalensi infeksi di ruang ICU cukup tinggi, sehingga dibutuhkan penanganan yang tepat dan cepat dengan pemberian antibiotika yang rasional (Adysaputra, Rauf, Bahar 2009).

(20)

Penggunaan antibiotika yang meluas dan tidak rasional dapat memicu resistensi bakteri (Utami, 2012). Munculnya resistensi bakteri di rumah sakit dan komunitas merupakan masalah besar bagi kesehatan masyarakat. Ruang perawatan intensif sering dianggap sebagai tempat pengembangan resistensi bakteri. Ruang perawatan intensif bahkan dianggap sebagai pabrik pembuatan dan penyebaran resistensi bakteri. Infeksi dan resistensi bakteri dapat menimbulkan masalah klinis dan ekonomi. Sebagai contoh, adanya resistensi bakteri dapat meningkatkan dampak infeksi nosokomial yang berdampak meningkatkan morbiditas dan mortilitas pasien ICU. Biaya pengobatan infeksi yang terjadi karena resistensi bakteri lebih besar bila dibandingkan dengan infeksi tanpa adanya resistensi bakteri. Patogen nosokomial yang paling banyak menyebabkan kematian yaitu S. aureus, Enterococci, Pseudomonas spp., Acinetobacter spp. Angka kematian meningkat (sampai 5x lipat) ketika bakteri penyebab infeksi merupakan bakteri yang resisten meskipun angka kematian juga dipengaruhi oleh keparahan penyakit, penyakit utama dan penyerta (Brusselaers, Vogelaers, dan Blot, 2011).

Untuk meminimalkan masalah resistensi yang berujung pada keselamatan pasein di ICU, penggunaan antibiotika perlu dievaluasi. Evaluasi penggunaan antibiotika dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan klinis pasien (indikasi) dan mempertimbangkan dosis yang sesuai.

(21)

tidur ICU yaitu 10 dan jumlah keterisian atau Bed Occupancy Ratio (BOR) pada tahun 2012 yaitu 74,15%. Bed Occupancy Ratio memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur. Nilai BOR yang ideal menurut Kemenkes RI (2013) adalah antara 60%-80%, sehingga rumah sakit tersebut diharapkan dapat menjadi model penelitian dan mewakili profil peresepan antibiotika yang ada di ICU rumah sakit swasta lainnya di Yogyakarta.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, terdapat beberapa rumusan masalah yang ditemukan dalam ruang perawatan intensif Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, yaitu:

a. Seperti apakah profil pasien (umur, jenis kelamin, diagnosis) yang menggunakan antibiotika?

b. Seperti apakah pola peresepan antibiotika terkait sub golongan, jenis antibiotika, dan durasi pemberian antibiotika?

c. Berapakah jumlah ketidaktepatan pemberian antibiotika berdasarkan dosis dan sensitivitas bakteri?

2. Keaslian penelitian

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan peresepan obat antibiotika pada pasien di Intensive Care Unit (ICU) yang pernah dilakukan, antara lain:

a. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotika di Intensive Care Unit

(22)

dkk. merupakan penelitian observasional deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional dan pengambilan data secara retrospektif. Metode yang diguakan yaitu penggunaan antibiotika secara kualitas yang ditampilkan sesuai kategori Gyssens dengan pengambilan sampe secara simple random sampling.

Berbeda dengan Yuniftiadi dkk. peneliti tidak menggunakan kriteria Gyssens namun analisis secara kualitatif dengan mengevaluasi kesesuaian dosis dan sensitivitas bakteri.

b. Studi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyssens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang (Lestari, Almahdy, Zubir, dan Darwin, 2011). Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan penelitian

cross-sectional, serta pengambilan data secara prospektif. Evaluasi penggunaan antibiotika dianalisis menggunakan perhitungan DDD/100 pasien-hari yang ditetapkan oleh WHO dan evaluasi kualitatif menggunakan alur kriteria Gyssens.

Berbeda dengan Lestari dkk. peneliti melakukan pengambilan data secara retrospektif dan evaluasi kualitatif dengan melihat kesesuaian dosis dan sensitivitas bakteri.

(23)

cross-sectional dengan pengambilan data secara retrospektif. Hasil penelitian Fauziyah menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas penggunaan antibiotika pada terapi empiris dengan

kepekaan bakteri dengan nilai P=0,000 (P < α=0,05), dengan hasil

seftriakson merupakan antibiotika yang paling besar memberikan hubungan terhadap resistensi bakteri.

Berbeda dengan penelitian Fauziyah, peneliti mengevaluasi penggunaan antibiotika berdasarkan kesesuaian dosis dan sensitivitas bakteri. Peneliti tidak menganalisis hubungan penggunaan antibiotika dengan kepekaan bakteri, sehingga peneliti tidak menggunakan Uji T-test.

Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian tentang “Evaluasi

Penggunaan Antibiotika pada Pasien Intensive Care Unti Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-Desember 2012” belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian

Manfaat praktis

a. Bagi Rumah Sakit “X”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan penggunaan antibiotika khususnya di ICU agar lebih rasional.

(24)

pada pasien yang dirawat di ICU guna meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga dapat memperlambat perluasan resistensi bakteri. c. Bagi peneliti. Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk

melakukan penelitian serupa atau penelitian yang lebih mendalam mengenai rasionalitas penggunaan antibiotika.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum:

Mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien Intensive Care Unit

berdasarkan dosis dan sensitivitas bakteri.

2. Tujuan Khusus:

a. Mengidentifikasi profil pasien (umur, jenis kelamin, diagnosis) yang mendapatkan terapi antibiotika.

b. Mengidentifikasi pola peresepan antibiotika terkait sub golongan, jenis antibiotika, dan durasi pemberian antibiotika.

(25)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Antibiotika

Antibiotika adalah obat yang digunakan untuk mencegah atau mengobati penyakit infeksi karena bakteri. Antibiotika dihasilkan dari mikroorganisme, terutama fungi, untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain (Whitehall, 2012).

Berdasarkan efektivitas kerjanya antibiotika digolongkan ke dalam spektrum luas (efektif melawan berbagai bakteri), spektrum sempit (aktif melawan bakteri spesifik, gram positif atau gram negatif saja). Beberapa contoh antibiotika berdasarkan spektrum aktivitasnya dapat dilihat pada tabel I.

Tabel I. Jenis antibiotika berdasarkan efektivitas kerja (Brooker, 2005; Tjay, 2007; Pratiwi, 2008).

Efektivitas kerja

antibiotika Jenis antibiotika

Spektrum luas Amikasin, karbapenem, levofloksasin, tetrasiklin, kloramfenikol, fosfomisin, sefalosporin, siprofloksasin, netilmisin, tigesiklin, gentamisin Aktif melawan bakteri

gram positif

Eritromisin, klindamisin, teikoplanin

Aktif melawan bakteri gram negatif

Streptomisin

(26)

Tabel II. Jenis antibiotika berdasarkan struktur kimia (Katzung, Masters, Trevor, 2012; WHO 2012).

Golongan antibiotika Jenis antibiotika

Aminoglikosida Amikasin, gentamisin, netilmisin, streptomisin.

Golongan glikopeptida Teikoplanin. Golongan poliketida Tetrasiklin:

Tetrasiklin, tigesiklin.

Golongan fluorokuinolon Siprofloksasin, levofloksasin. Derivat imidazol Metronidazol

Amfenikol Kloramfenikol,

Golongan lain Fosfomisin

(27)

dampak yang buruk bagi pasien. Pemberian antibiotika profilaksis digunakan sebelum, saat, dan setelah 24 jam operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapati tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah infeksi luka operasi (Sosialine, 2011).

Penggunaan antibiotika bijak dilakukan dengan penggunaan antibiotika dengan spektrum sempit, pada indikasi yang ketat, dengan dosis yang adekuat, frekuensi dan lama pemberian yang tepat. Indikasi ketat penggunaan antibiotika dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya (Sosialine, 2011).

Pemilihan terapi antibiotika yang rasional diberikan harus mempertimbangkan berbagai macam faktor seperti aspek klinis misalnya tingkat keparahan penyakit, faktor pasien, faktor yang berhubungan dengan obat serta pertimbangan kebutuhan penggunaan kombinasi antibiotika (Dipiro et al., 2008).

B. Bakteri

(28)

karena dapat membantu mempertahankan kesehatan tubuh, akan tetapi flora normal ini dapat bersifat sebagai bakteri patogen apabila terdapat kerusakan atau jika terjadi perpindahan lokasi dalam tubuh inang (Dipiro et al., 2008).

Resistensi bakteri adalah suatu keadaan dimana kehidupan bakteri sama sekali tidak terganggu oleh pemberian antibiotika secara sistemik dengan dosis normal atau kadar hambat minimalnya. Sifat ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh makhluk hidup. Resistensi bakteri merupakan masalah besar yang harus mendapat perhatian tenaga medis karena dapat menyebabkan kegagalan terapi dengan antibiotika. Penggunaan antibiotika secara berlebihan dan tidak selektif dapat meningkatkan kemampuan bakteri untuk bertahan hidup dan mengakibatkan munculnya bakteri yang resisten terhadap lebih dari satu antibiotika (Bisht, Katiyar, Singh, dan Mittal, 2009).

Salah satu hal yang menyebabkan resistensi bakteri yaitu penggunaan antibiotika yang kurang tepat, misalnya terlalu singkat, diagnosis awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat, serta penggunaan di rumah sakit dengan adanya infeksi endemik atau epidemik yang memicu penggunaan antibiotika yang lebih banyak pada bangsal rawat inap terutama di intensive care unit. Kombinasi antara pemakaian antibiotika yang lebih intensif dengan adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi memudahkan terjadinya infeksi nosokomial (Bisht et al., 2009).

C. Intensive Care Unit

(29)

menggunakan antibiotika. Lebih dari 70% pasien ICU mendapatkan terapi antibiotika selama perawatan. Meskipun resistensi bakteri telah menjadi masalah global, namun mekanisme resistensi dan pola sensitivitas bakteri berbeda antar daerah (Lisboa dan Nagel, 2011).

Terdapat beberapa kesalahan utama yang sering ditemukan pada pasien ICU terkait dengan penggunaan antibiotika, yaitu:

1. Pemilihan antibiotika hanya berdasarkan pada sensitivitas in vitro.

2. Mengabaikan sifat farmakokinetika dan farmakodinamika antibiotika dalam pemberian.

3. Menggunakan dosis standar yang mengakibatkan sub-terapetik. 4. Mengabaikan pola resistensi lokal.

5. Tetap memberikan terapi antibiotika yang tidak perlu.

(Lisboa dan Nagel, 2011).

D. Keterangan Empiris

(30)

12

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian potong lintang atau cross-sectional dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif.

Jenis penelitian yang digunakan yaitu survei deskriptif evaluatif karena peneliti tidak melakukan intervensi terhadap subyek uji dan penelitian ini hanya bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran fenomena kesehatan yang terjadi dan mengevaluasi data dari rekam medis (Notoadmodjo, 2010). Rancangan penelitian yang digunakan yaitu potong lintang/cross sectional karena pengukuran variabel-variabel penelitian dilakukan satu kali, pada satu saat (Notoadmodjo, 2010). Penelitian ini bersifat retrospektif karena data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu rekam medis pasien.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel

Variabel yang terdapat dalam penelitian ini yaitu dosis, frekuensi, dan durasi penggunaan antibiotika serta hasil kultur sensitivitas bakteri.

2. Definisi operasional

(31)

b. Golongan antibiotika adalah kelompok antibiotika berdasarkan acuan Katzung dkk. pada tahun 2012 dan WHO pada tahun 2012.

c. Dosis penggunaan antibiotika adalah banyaknya antibiotika yang diberikan dalam satu hari pemakaian yang dinyatakan dalam satuan gram.

d. Diagnosis adalah diagnosis yang tertulis pada rekam medis pada awal masuknya pasien ke bangsal ICU.

e. Evaluasi penggunaan antibiotika adalah evaluasi mengenai ketepatan dosis dan hasil kultur sensitivitas bakteri.

f. Ketidaktepatan dosis adalah tidak tepatnya penggunaan antibiotika berdasarkan Drug Information Handbook (Lacy, et al., 2011).

g. Ketidaksesuaian hasil kultur dan sensitivitas bakteri adalah sifat bakteri resisten terhadap terapi definitif yang diberikan berdasarkan hasil laboratorium.

C. Subjek Penelitian

(32)

dan kriteria eksklusi berupa pasien yang tidak mendapatkan terapi antibiotika dan pasien dengan rekam medis yang tidak lengkap

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan yaitu data sekunder berupa rekam medis pasien yang dirawat di ICU Rumah Sakit Panti Rapih periode Juli-Desember 2012.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi ketidaksesuaian dosis yaitu Drug Information Handbook (Lacy et al., 2011), instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi ketidaksesuaian hasil kultur dan sensitivitas bakteri yaitu lembar hasil laboratorium pasien.

F. Tata Cara Penelitian

1. Tahap perencanaan

Dimulai dengan mengajukan proposal penelitian dan membuat surat ijin penelitian untuk dapat melakukan penelitian di bagian rekam medik. Surat ijin tersebut diberikan kepada bagian personalia Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dan kemudian dimintakan persetujuan direktur rumah sakit. Setelah didapatkan perijinan penelitian maka peneliti melakukan tahap selanjutnya yaitu analisis situasi.

2. Tahap analisis situasi

(33)

3. Tahap pengumpulan data

Dilakukan dengan mengumpulkan data rekam medis pasien dan menuliskannya pada lembar kerja. Data yang dicatat meliputi nomor rekam medis, nama pasien, umur, jenis kelamin, tanggal masuk ICU dan tanggal keluar, diagnosis, penyakit penyerta, keadaan pulang pasien, data laboratorium berupa jumlah lekosit, hasil kultur dan sensitivitas bakteri, obat yang diberikan, rute pemberian, dosis, frekuensi, serta durasi (seperti yang tertera pada lampiran 2, 3, dan 4).

4. Tahap Pengolahan data

Pada tahap ini data yang telah didapatkan dan dicatat kemudian dikelompokkan, sebagai berikut:

a. Profil pasien ICU, meliputi jenis kelamin, umur, dan diagnosis

b. Pola peresepan antibiotika pada pasien ICU meliputi golongan antibiotika, jenis antibiotika, dan durasi pemberian antibiotika

c. Variabel-variabel untuk menghitung jumlah ketidaksesuaian pemberian antibiotika yaitu dosis, frekuensi, hasil kultur dan sensitivitas bakteri

Data yang telah dikelompokkan selanjutnya dianalisis.

G. Analisis Hasil

(34)

1. Profil pasien ICU. Dihitung jumlah kasus jenis kelamin, umur dan diagnosis dan dihitung persentasenya kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel atau gambar.

2. Pola peresepan antibiotika. Dihitung jumlah golongan antibiotika, jenis dan durasi pemberian antibiotika dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. 3. Dosis antibiotika yang diberikan pada pasien dianalisis kesesuaiannya berdasarkan Drug Information Handbook (2011). Dihitung ketidaksesuaian yang ditemukan. Analisis ketidaksesuaian antibiotika berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas bakteri dilakukan dengan cara menghitung banyaknya bakteri yang bersifat resisten terhadap terapi definitif yang diberikan.

H. Keterbatasan Penelitian

(35)

17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil pasien yang menerima antibiotika di bangsal Intensive Care Unit di rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-Desember

2012

Dari 62 pasien ICU terdapat 43 pasien pria dan 19 pasien wanita. Hasil ini sama dengan penelitian Yuniftiadi dkk (2010) dan Fauziyah (2010), yang melakukan penelitian serupa, menemukan bahwa pasien pria lebih banyak dirawat di ICU dibandingkan pasien wanita.

Gambar 1. Perbandingan jumlah pasien ICU berdasarkan jenis kelamin

Pasien yang masuk dalam kriteria inklusi peneliti yaitu pasien yang

berusia ≥14 tahun. Hal ini dikarenakan kriteria pasien dewasa rumah sakit swasta

yang diteliti berusia ≥14 tahun. Pembagian umur yang dilakukan secara klinis atau

berdasarkan pembagian umur WHO yang dikutip oleh Walker (2003) yaitu umur <18 (remaja), 18-≤45 tahun (dewasa), >45-≤60 tahun (usia pertengahan), >60-≤75 tahun (lanjut usia), >75-≤90 tahun (lansia tua), >91 (sangat tua).

69,35% 30,65%

Pria

(36)

Pasien yang paling banyak di rawat di ICU berumur >60-≤75 tahun. Hal kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi telah menurun, kesakitan meningkat misalnya penyakit infeksi, kanker, atau penyakit kronik (Fatmah, 2006), ditambah lagi bila terdapat penyakit degeneratif yang tidak terkontrol.

Dari 62 pasien yang dicatat rekam mediknya, didapatkan distribusi pasien berdasarkan umur:

Gambar 2. Distribusi jumlah pasien berdasarkan umur

Diagnosis yang paling banyak ditemukan adalah gangguan neurologi. Penyakit yang berhubungan dengan gangguan neurologi yang ditemukan pada pasien ICU adalah stroke, cedera kepala, dan meningitis. Stroke merupakan penyakit gangguan neurologi yang paling banyak ditemui pada pasien ICU. Menurut WHO stroke merupakan gangguan pasokan darah ke otak, hal ini dapat disebabkan karena penyumbatan pada pembuluh darah atau pecahnya pembuluh

3,23%

14,52%

27,42% 37,1%

16,13%

1,61%

<18 tahun

18 - ≤45 tahun

>45 - ≤60 tahun

> 60 –≤75 tahun

>75 - ≤90 tahun

(37)

darah. Hal ini harus segera ditangani agar darah tidak menyebar luas ke otak dan menyebabkan kematian. Hal ini mengakibatkan pasien dengan diagnosis stroke kebanyakan membutuhkan perawatan intensif. Banyak studi mengatakan bahwa stroke tidak hanya menyebabkan gangguan motorik, namun juga menyababkan penurunan imunitas yang mengakibatkan mudahnya terserang infeksi bakteri. Berdasarkan penelitian di beberapa rumah sakit di dunia, prevalensi infeksi pasca stroke sebesar 30% (Westendorp, Nederkoorn, Vermeji, Dijkgraaf, dan van de Beek, 2011). Untuk mengurangi terjadinya infeksi pada stroke akut dapat diberikan antibiotika preventif, misalnya golongan fluorokuinolon dan tetrasiklin atau kombinasi beta-laktam dan beta-laktamase inhibitor (van de Beek et al., 2009). Meningitis merupakan peradangan pada ruang subaraknoid atau pada cairan tulang belakang yang disebabkan karena infeksi mikroorganisme. Bakteri yang menyebabkan meningitis pada orang dewasa yaitu N. meningitidis, S .pneumoniae, H. influenzae dan terapi empiris yang dapat diberikan yaitu vankomisin dan sefotaksim atau seftriakson (Dipiro et al., 2008). Cedera kepala dapat menyababkan masuknya bakteri apabila terjadi fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka yang merobek selaput otak (NHS, 2014).

(38)

Data terkait spesimen dan jenis bakteri yang ditemukan pada pasien dengan gangguan sistem neurologi dapat dilihat pada lampiran 5.

Penyakit infeksi sistemik merupakan diagnosis utama urutan kedua paling banyak ditemui pada pasien ICU. Sepsis dapat diartikan dengan adanya toksin mikroba di dalam darah. Inflamasi akut lokal dapat menimbulkan respon tubuh yang luas sehingga dapat mengakibatkan respon inflamasi sistemik dan pada akhirnya dapat menimbulkan sepsis. Banyak studi menyatakan bahwa kematian pasien dengan diagnosis sepsis meningkat bila antibiotika yang diberikan tidak adekuat mengatasi bakteri penyebab sepsis. Antibiotika juga harus segera diberikan untuk mengatasi sepsis, bila tidak diberikan sekurang-kurangnya 6 jam maka dapat meningkatkan kematian pasien. Maka dari itu, antibiotika yang diberikan sebaiknya berdasarkan bukti empiris infeksi yang diduga dan mempertimbangkan pola resistensi bakteri.

Pasien dengan penyakit infeksi sistemik sebanyak 12 pasien namun hanya 3 pasien yang dilakukan kultur bakteri. Spesimen yang diambil untuk dilakukan kultur yaitu sputum dan darah. Adanya bakteri dalam sputum berkaitan dengan infeksi saluran pernapasan. Adanya bakteri dalam darah menandakan terjadinya sepsis atau infeksi sistemik. Jenis bakteri yang ditemukan dapat dilihat pada lampiran 5.

(39)

berwarna hitam dan lengket karena terjadi perdarahan saluran cerna bagian atas. Tinja yang berwarna hitam merupakan perubahan hemoglobin menjadi hematin oleh bakteri setelah 14 jam. Ileus merupakan kondisi medis terjadinya penyumbatan pada usus. Ileus mencegah pergerakan makanan, cairan, dan gas pada usus. Penyumbatan ini dikarenakan otot usus tidak dapat bergerak dengan semestinya tanpa adanya kerusakan mekanik usus. Tidak terdapat pasien dengan gangguan sistem gastrointestinal yang mendapat kultur.

Gangguan sistem pernapasan menempati urutan keempat dengan pasien sebanyak 6. Gangguan sistem pernapasan yang ditemukan yaitu pneumonia, bronkopneumonia, edema paru akut, dan PPOK. Pneumonia merupakan peradangan paru yang dapat disebabkan karena bakteri Streptococcus pneumoniae. PPOK atau penyakit paru obstruksi kronis merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia (Hadjiliadis et al., 2013). Pada gangguan sistem pernapasan terdapat 2 pasien yang dilakukan uji kultur bakteri. Spesimen yang digunakan yaitu sputum dan darah. Bakteri yang paling ditemukan dalam sputum yaitu

Staphylococcus epidermidis. Adanya bakteri ini dalam sputum berhubungan dengan pneumonia. Jenis bakteri lain yang ditemukan dalam sputum dan darah dapat dilihat pada lampiran 5.

(40)

merupakan komplikasi yang sering terjadi karena adanya infeksi Staphylococcus aureus. Prevalensi abses hati karena Klebsiella pneumoniae juga lebih besar pada penderita diabetes (Gan, 2013). Dari 6 pasien yang mengalami gangguan sistem endokrin dan metabolik, terdapat 3 pasien yang dilakukan uji kultur bakteri. Spesimen yang digunakan pada ketiga pasien tersebut adalah jaringan, sputum, dan urine. Jenis bakteri yang ditemukan dapat dilihat pada lampiran 5.

Gangguan ginjal menempati urutan keenam dengan jumlah pasien sebanyak 5. Gangguan ginjal yang ditemukan yaitu gagal ginjal kronis (GGK), insufisiensi renal, epidermoid ginjal. Terdapat beberapa faktor risiko yang membuat pasien dengan GGK dan penyakit ginjal tahap akhir mudah terkena infeksi, yaitu umur, penyakit penyerta, hipoalbuminemia, terapi imunosupresif, sindrom nefrotik, urinemia, anemia, dan malnutrisi (Dalrymple dan Go, 2008). Dilakukan uji kultur bakteri pada 2 pasien yang mengalami gangguan ginjal. Spesimen yang paling banyak digunakan yaitu sputum. Jenis bakteri pada spesimen sputum dan pus dapat dilihat pada lampiran 5.

(41)

Kombinasi ampisilin dan seftriakson atau kombinasi ampisilin dan gentamisin dapat digunakan untuk mengatasi endokarditis karena infeksi Enterococcus faecalis (Brusch et al., 2013). Dilakukan uji kultur bakteri pada dua pasien dengan spesimen sputum. Jenis bakteri pada spesimen sputum dan pus dapat dilihat pada lampiran 5.

Gangguan sistem hematologi merupakan urutan kedelapan dengan pasien sebanyak 3. Gangguan sistem hematologi yang ditemukan yaitu anemia dengan bisitopenia dan AIHA (Autoimmune Hemolitic Anemia). Produksi antibodi melawan sel darah merah dapat dikarenakan oleh infeksi Mycoplasma pneumoniae. Bakteri ini berkaitan dengan perkembangan AIHA. Antibodi dan anemia cenderung berkurang setelah infeksi benar-benar diselesaikan (IHTC, 2011). Dilakukan uji kultur bakteri pada dua pasien dengan gangguan sistem hematologi. Spesimen yang digunakan yaitu sputum dan urine. AIHA dapat disebabkan oleh antibodi yang berhubungan dengan infeksi, seperti Mycoplasma pneumoniae. Bakteri ini dapat menyebabkan pneumonia pada pasien dengan umur di bawah 40 tahun (Jovinelly, 2012). Jenis bakteri lain yang terdapat pada sputum dan urine dapat dilihat pada lampiran 5.

(42)

Staphylococcus aureus, Enterococcus faecalis, dan Streptococcus pneumoniae

(Taneja, 2011). Dari dua pasien yang mengalami penyakit hati, terdapat satu pasien yang mendapat kultur bakteri. Spesimen yang digunakan yaitu sputum. Bakteri yang ditemukan adalah Pseudomonas putrefactiens dan Seratia rubideae.

Penyakit infeksi nemempati urutan kesepuluh dengan jumlah pasien sebanyak 2. Penyakit infeksi yang ditemukan adalah peritonitis. Peritonitis adalah peradangan peritonium yang merupakan selaput tipis yang melapisi dinding abdomen dan organ-organ dalam. Peradangan ini disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur yang dapat menyebar luas ke tubuh. Dari dua pasien yang mengalami penyakit infeksi, terdapat satu pasien yang dilakukan uji kultur bakteri. Spesimen yang digunakan yaitu sputum, urine, dan cairan intra abdominal. Jenis bakteri yang terdapat pada masing-masing spesimen dapat dilihat pada lampiran 5.

(43)

Spesimen yang digunakan yaitu urine, dengan jenis bakteri Enterobacter aerogenes.

Terdapat 12 golongan diagnosis penyakit utama yang ditemukan pada 62 pasien ICU yang menerima antibiotika:

Gambar 3. Distribusi jumlah pasien ICU berdasarkan diagnosis

B. Pola peresapan antibiotika pada pasien Intensive Care Unit Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-Desember 2012

Pada pasien ICU hampir seluruh jenis antibiotika yang digunakan melalui rute parenteral (96,049%), hanya tetrasiklin yang digunakan melalui rute oral (3,951%). Terdapat 3 pasien yang menggunakan antibiotika tetrasiklin namun ketiga pasien tersebut juga menggunakan antibiotika lain dengan rute parenteral.

Tidak menutup kemungkinan bahwa 62 pasien yang dirawat di ICU

Gangguan sistem endokrin dan metabolik

Gangguan ginjal

Gangguan sistem kardiovaskuler

Gangguan hematologi

(44)

menggunakan 12 golongan antibiotika. Dua belas golongan tersebut adalah karbapenem, fluorokuinolon, sefalosporin generasi kedua, sefalosporin generasi ketiga, sefalosporin generasi keempat, derivat imidazol, aminoglikosida lain, tetrasiklin, glikopeptida, amfenikol, streptomisin, dan golongan antibakterial lain.

Golongan antibiotika yang paling banyak digunakan adalah karbapenem dengan jumlah pasien yang menggunakan sebanyak 51 pasien. Pada golongan karbapenem, 45 pasien menggunakan meropenem, 4 pasien menggunakan doripenem, dan 2 pasien menggunakan imipenem. Karbapenem merupakan antibiotika berspektrum luas, aktif terhadap bakteri gram positif, bakteri gram negatif, dan bakteri anaerob. Karbapenem dapat digunakan sebagai pengobatan awal infeksi kronis bronkus, infeksi intra abdominal, alternatif untuk pengobatan kontaminasi akut luka abdominal, pengobatan dengan rute parenteral untuk infeksi saluran kemih, sebagai terapi empiris pengobatan sepsis intra abdominal, kulit dan jaringan lunak yang didapat di rumah sakit. Karbapenem juga diindikasikan untuk pengobatan patogen resisten seperti Enterobacteriaceae, P. aeruginosa pada pasien dengan penyakit kritis (Dipiro et al., 2008). Hal ini yang mengakibatkan karbapenem menjadi golongan yang paling banyak digunakan pada pasien ICU.

(45)

ketiga dapat digunakan untuk mengatasi infeksi yang didapat di rumah sakit. Sefalosporin generasi ketiga juga memiliki penetrasi yang baik pada sistem saraf pusat, sehingga antibiotika ini dapat digunakan untuk mengobati meningitis yang disebabkan oleh pneumococci, meningococci, H. influenzae dan Klebsiella

(Prasad, Kumar, Singhal, Gupta, 2013). Jenis antibiotika yang paling banyak digunakan pada golongan ini yaitu sefoperazon + sulbaktam dengan jumlah pasien yang menggunakan sebanyak 11 pasien.

Urutan ketiga golongan antibiotika yang paling banyak digunakan yaitu fluorokuinolon dengan jumlah pasien yang menggunakan sebanyak 27 pasien. Fluorokuinolon merupakan antibiotika berspektrum luas, terutama aktif terhadap bakteri patogen gram negatif, memiliki sifat bakterisida cepat. Fluorokuinolon merupakan antibakterial yang sering digunakan dan sering dikombinasikan dengan antibakterial lain (makrolida dan rifampin) untuk meningkatkan perlawanan terhadap bakteri gram positif. Fluorokuinolon dapat digunakan untuk terapi penyakit paru obstruksi kronis dengan eksaserbasi yang rumit (>4 eksaserbasi per tahun), eksaserbasi yang rumit dengan risiko Pseudomonas aeruginosa, pengobatan nosokomial pneumonia, infeksi saluran napas bawah (Dipiro et al., 2008). Jenis antibiotika yang paling banyak digunakan pada golongan ini yaitu levofloksasin dengan jumlah pasien yang menggunakan sebanyak 26 pasien.

(46)

fluorokuinolon. Tiga jenis antibiotika yang paling banyak digunakan oleh pasien ICU secara berturut-turut yaitu meropenem, levofloksasin, dan metronidazol.

Tabel III. Distribusi persentase pasien yang menggunakan antibiotika tiap golongan dan jenis (n=165)

No Golongan antibiotika Persentase

pasien Jenis antibiotika

Persentase

2. Sefalosporin generasi

ketiga 18,18

3. Fluorokuinolon 16,35 Levofloksasin 15,76

Siprofloksasin 0,61

4. Derivat imidazol 13,33 Metronidazol 13,33

5. Aminoglikosida lain 10,30

Amikasin 8,48

Gentamisin 1,21

Netilmisin 0,61

6. Sefalosporin generasi

keempat 2,42

Sefepim 1,82

Sefpirom 0,61

7. Tetrasiklin 2,42 Tetrasiklin 1,82

Tigesiklin 0,61

8. Antibakterial lain 2,42 Fosfomisin 2,42

9. Glikopeptida 1,82 Teikoplanin 1,82

10. Sefalosporin generasi

kedua 0,61 Sefuroksim 0,61

11. Amfenikol 0,61 Kloramfenikol 0,61

12. Streptomisin 0,61 Streptomisin 0,61

Durasi penggunaan antibiotika untuk terapi empiris, atau sebelum diketahui dengan pasti bakteri penyebab, menurut Permenkes RI tahun 2011 yaitu selama 48-72 jam. Menurut American Thoracic Society, infeksi pernapasan bawah karena H. influenza dan S. aureus sebaiknya diberikan terapi antibiotika 7-10 hari, sedangkan infeksi yang disebabkan karena P. aeruginosa dan jenis Acinetobacter

(47)

Berdasarkan Drug Information Handbook kebanyakan antibiotika diberikan dengan durasi 5-7 hari dan 7-14 hari. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti membagi durasi antibiotika dalam 6 kelompok, yaitu <2 hari, 2-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari, 15-21 hari, >21 hari.

Tiga puluh satu pasien menerima antibiotika dengan durasi <2 hari. Terdapat 15 jenis antibiotika yang diberikan selama <2 hari, yaitu meropenem, levofloksasin, metronidazol, amikasin, seftriakson, seftazidim, sefepim, tetrasiklin, doripenem, teikoplanin, imipenem, siprofloksasin, kloramfenikol, sefpirom, dan streptomisin. Antibiotika hanya diberikan selama <2 hari dikarenakan terdapat 9 pasien ICU meninggal sebelum terapi antibiotika selesai diberikan, dapat juga dikarenakan pasien mengalami alergi, atau hasil kultur telah didapatkan dan antibiotika diganti atau tidak digunakan lagi.

Durasi pemberian antibiotika selama 2-3 hari menempati urutan kedua dengan jumlah pasien sebanyak 29 pasien. Terdapat 13 jenis antibiotika yang diberikan selama 2-3 hari, yaitu meropenem, levofloksasin, metronidazol, amikasin, sefoperazon+sulbaktam, seftriakson, seftazidim, fosfomisin, sefepim, tetrasiklin, imipenem, gentamisin, dan sefotaksim.

(48)

Urutan keempat adalah durasi pemberian antibiotika 8-14 hari dengan jumlah pasien sebanyak 17. Terdapat 12 jenis antibiotika yang diberikan selama 8-14 hari, yaitu meropenem, levofloksasin, metronidazol, amikasin, sefoperazon+sulbaktam, sefepim, tetrasiklin, doripenem, teikoplanin, gentamisin, netilmisin, dan sefuroksim.

Durasi pemberian antibiotika 15-21 hari dan >21 hari menempati urutan kelima dan enam dengan jumlah pasien masing-masing sebanyak 1 pasien. Hanya terdapat 1 jenis antibiotika yang diberikan selama 15-21 hari yaitu sefoperazon+sulbaktam, sedangnya antibiotika yang diberikan >21 hari yaitu doripenem.

Tabel IV. Distribusi persentase pasien yang menggunakan antibiotika berdasarkan durasi (n=105)

No. Durasi Persentase pasien

1. <2 hari 29,52

C. Evaluasi penggunaan antibiotika berdasarkan dosis, kultur dan sesitivitas bakteri

(49)

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, terdapat 26 pasien (41,935%) yang mendapat kultur bakteri.

Dari hasil kultur bakteri patogen pada pasien bangsal ICU ditemukan 14 jenis bakteri dengan hasil 58 uji kultur pada 26 pasien. Bakteri yang diperoleh diambil dari spesimen sputum, urine, pus, jaringan, darah dan cairan intra abdominal.

Dari 23 jenis antibiotika yang digunakan pada pasien ICU, terdapat 19 jenis antibiotika yang digunakan sebagai terapi definitif. Antibiotika tersebut adalah meropenem, doripenem, sefoperazon + sulbactam, seftriakson, seftazidim, sefotaksim, levofloksasin, siprofloksasin, metronidazol, amikasin, gentamisin, netilmisin, teikoplanin, tetrasiklin, sefepim, fosfomisin, sefuroksim, dan kloramfenikol. Data mengenai jenis bakteri yang ditemukan dan sensitivitasnya dapat dilihat pada lampiran 8.

Empat puluh lima pasien mendapatkan meropenem sebagai terapi namun hanya 20 pasien dari 45 pasien tersebut yang dilakukan uji kultur bakteri. Dari 20 pasien yang mendapatkan uji kultur, 2 pasien tidak menggunakan meropenem sebagai terapi definitif. Kedua pasien tersebut hasil kultur bakteri terhadap meropenem menunjukkan sifat resisten. Meropenem diberikan sebagai terapi definitif pada 18 pasien dengan uji kultur sebanyak 27 kali. Dari 27 kali uji kultur tersebut ditemukan 12 jenis bakteri. Jenis bakteri yang paling banyak ditemukan yaitu Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas putrefactiens. Masing-masing jenis bakteri tersebut ditemukan sebanyak 5 kali uji. Dari 5 kali uji pada

(50)

dan 3 bersifat resisten. Lima kali uji pada Pseudomonas putrefactiens ditemukan 2 bersifat sensitif terhadap meropenem, 1 bersifat resisten dan 2 tidak didapatkan hasil sensitivitas. Secara keseluruhan, dari 18 pasien yang menggunakan meropenem sebagai terapi definitif dilakukan uji kultur bakteri sebanyak 27 kali dengan hasil 13 bersifat sensitif, 12 bersifat intermediate dan 2 tidak dilakukan uji terhdap meropenem.

Levofloksasin digunakan oleh 26 pasien. Dari 26 pasien tersebut 13 pasien dilakukan uji kultur bakteri. Dua dari 13 pasien yang mendapatkan uji kultur bakteri tidak mendapatkan levofloksasin sebagai terapi definitif dengan hasil intermediate dan resisten. Levofloksasin diberikan untuk mengatasi 12 jenis bakteri pada 11 pasien (dapat dilihat pada lampiran 8) dengan uji kultur bakteri sebanyak 19 kali. Hasil uji kultur tersebut didapatkan 8 bersifat sensitif, 2 intermediate, dan 9 telah bersifat resisten.

Sefoperazon + sulbactam diberikam kepada 11 pasien sebagai terapi empris. Dari 11 pasien tersebut 9 pasien dilakukan uji kultur bakteri dengan jumlah uji kultur sebanyak 32 kal dan didapatkan 11 jenis bakteri dapat dilihat pada lampiran 8). Hasil uji kultur yang didapatkan pada 32 kali uji yaitu 6 bersifat sensitif, 9 bersifat intermediate, dan 17 telah bersifat resisten. Jenis bakteri yang paling banyak ditemukan yaitu Pseudomonas putrefactiens sebanuak 9 kali uji. Dari 9 kali uji tersebut ditemukan 2 sensitif, 5 intermediate, dan 3 resisten.

(51)

ditemukam sebanyak 57,69%. Terapi definitif, jenis bakteri, dan hasil sensitivitasnya dapat dilihat pada lampiran 6.

Pada pasien 1 ditemukan 3 bakteri, terapi definitif yang diberikan yaitu seftazidim, levofloksasin, sefoperazon + sulbactam, dan fosfomisin dan meropenem. Hanya seftazidim yang sensitif terhadap ketiga bakteri yang ditemukan. Dari 4 jenis antibiotika yang bersifat resisten, hanya fosfomisin dan sefoperazon + sulbaktam yang diberikan dengan dosis berlebih.

Pada pasien 2 ditemukan uji kultur sebanyak 6 kali dan terdapat 5 jenis bakteri. Terapi definitif yang diberikan yaitu netilmisin, levofloksasin, fosfomisin, sefoperazon + sulbactam. Dari keempat terapi definitif yang diberikan hanya fosfomisin yang bersifat sensitif terhadap semua bakteri. Dosis netilmisin, levofloksasin sudah tepat namun sefoperazon + sulbactam diberikan dengan dosis berlebih. Sebaiknya terapi sefoperazon + sulbactam dan levofloksasin dihentikan karena hampir semua bakteri yang diuji bersifat reisten. Teikoplanin dan kloramfenikol dapat ditambahkan sebagai terapi definitif dikarenakan kedua antibiotika ini bersifat sensitif.

(52)

Pada pasien 10 ditemukan 1 jenis bakteri dan terapi definitif yang digunakan adalah sefepim yang telah bersifat resisten. Penggunaan dosis pada pasien 10 telah tepat namun sebaiknya terapi sefepim dihentikan karena telah bersifat resisten. Sefepim dapat diganti dengan antibiotika lain yang masih bersifat sensitif atau internediate seperti sefoperazon + sulbactam dan fosfomisin.

Pada pasien 15 dilakukan kultur sebanyak 3 kali dan terdapat 2 jenis antibiotika yang ditemukan. Terapi definitif yang diberikan yaitu seftazidim, metronidazol, gentamisin, dan meropenem. Metronidazol tidak dapat ditentukan sensitivitasnya. Ketiga antibiotika yang lain telah bersifat resisten namun berdasarkan dosis penggunaannya, seftazidim, gentamisin, dan meropenem sudah tepat. Penggunaan metronidazol juga telah tepat. Gentamisin sebaiknya tidak diberikan lagi karena telah bersifat resisten terhadap kedua jenis bakteri yang ditemukan.

Pada pasien 27 dilakukan uji kultur sebanyak dua kali dan ditemukan terdapat 2 jenis bakteri. Terapi definitif yang diberikan yaitu meropenem, levofloksasin, sefotaksim dan metronidazol. Meropenem, levofloksasin, dan sefotaksim sensitif terhadap Pseudomonas putrefactiens namun resisten terhadap

Acinetobacter baumanii. Berdasarkan dosis penggunaannya hanya levofloksasin yang diberikan dengan dosis berlebih. Terapi definitif untuk Acinetobacter baumanii dapat diberikan tigesiklin.

(53)

diketahui sensitivitasnya terhadap bakteri. Dari 4 terapi definitif, antibiotika yang resisten yaitu meropenem dan amikasin. Sebaiknya kedua antibiotika yang resisten ini tidak perlu digunakan lagi. Berdasarkan dosis penggunaannya, kelima antibiotika telah tepat dosis.

Pada pasien 30 dilakukan satu kali kultur dan ditemukan 1 jenis antibiotika. Terapi definitif yang diberikan yaitu levofloksasin, sefuroksim, meropenem, amikasin, sefoperazon + sulbactam, dan gentamisin. Antibiotika yang resisten adalah levofloksasin dan amikasin. Kedua antibiotika ini sebaiknya tidak digunakan lagi karena sefoperazon + sulbactam dan gentamisin masih bersifat intermediate. Sefuroksim dan meropenem tidak ditemukan hasil sensitivitasnya. Berdasarkan dosis penggunaannya, keempat antibiotika yang digunakan sudah tepat namun hanya sefoperazon + sulbactam diberikan dengan dosis berlebih.

Pada pasien 40 dilakukan kultur sebnyak tiga kali dan ditemukan 3 jenis bakteri. Meropenem dan sefoperazon + sulbactam bersifat reisten terhadap 2 bakteri yang ditemukan. Berdasarkan dosis penggunaanya, meropenem dan sefoperazon + sulbactam sudah tepat diberikan.

Pada pasien 41 dilakukan tiga kali uji kultur bakteri dan didapatkan tiga macam jenis bakteri. Terapi definitif yang diberikan yaitu meropenem dan sefopreazon + sulbactam. Kedua antibiotika ini hanya sensitif untuk bakteri

(54)

Pada pasien 55 dilakukan 13 kali uji kultur bakteri dan jenis bakteri yang ditemukan adalah Pseudomonas putrefactiens, Enterobacter aerogenes, Seratia rubideae, dan Pseudomonas aeruginosa. Terapi definitif yang diberikan yaitu amikasin, sefoperazon + sulbaktam, doripenem, tetrasiklin, dan teikoplanin. Sensitivitas antibiotika terhadap masing-masing jenis bakteri dapat dilihat pada lampiran 6. Dari kelima antibiotika yang digunakan berdasarkan dosis penggunaannya amikasin dan doripenem sudah tepat, sefoperazon + sulbaktam berlebih dan teikoplanin digunakan dengan dosis berlebih sedangkan tetrasiklin digunakan dengan dosis kurang.

Pada pasien 58 dilakukan satu kali uji kultur bakteri dan jenis bakteri yang ditemukan yaitu Enterobacter aerogenes. Terapi definitif yang diberikan untuk mengatasi bakteri ini adalah siprofloksasin. Bakteri tersebut telah bersifat resisten terhadap siprofloksasin. Bakteri hanya bersifat intermediate terhadap fosfomisin dan tigesiklin. Sebaiknya terapi definitif digunakan antibiotika yang tidak resisten. Penggunaan siprofloksasin berdasarkan dosisnya sudah tepat.

Pada pasien 60 dilakukan empat kali uji kultur bakteri dan didapatkan 4 jenis bakteri. Terapi definitif yang diberikan yaitu meropenem, levofloksasin, dan sefoperazon + sulbactam. Dari keempat bakteri hanya Pseudomonas putrefactiens

(55)

Pada pasien 61 dilakukan dua kali uji kultur bakteri dan ditemukan 2 jenis bakteri. Terdapat 4 terapi definitif yang diberikan yaitu meropenem, metronidazol, doripenem dan sefoperazon + sulbactam. Metronidazol tidak dapat diketahui sensitivitasnya sedangkan ketiga antibiotika yang lain telah bersifat resisten. Semua antibiotika yang diujikan untuk kedua bakteri tersebut telah bersifat resisten. Berdasarkan dosis penggunaannya meropenem, metronidazol, dan sefoperazon + sulbaktam sudah tepat sedangkan doripenem diberikan dengan dosis kurang.

Pada pasien 62 dilakukan satu kali uji kultur bakteri dan didapatkan 1 jenis bakteri yaitu Seratia rubideae. Terapi definitif yang diberikan adalah doripenem, metronidazol, dan amikasin. Doripenem dan amikasin bersifat resisten sedangkan metronidazol tidak dapat diketahui hasil sensitivitasnya. Seratia rubideae bersifat intermediate terhadap sefoperazon + sulbactam sehingga seharusnya antibiotika ini yang diberikan sebagi terapi definitif. Berdasarkan dosis penggunaannya ketiga antibiotika tersebut sudah tepat.

Dari 15 pasien dengan terapi definitif yang bersifat resisten ditemukan 7 pasien menerima antibiotika dengan dosis berlebih, diantaranya 5 kasus sefoperazon + sulbaktam, 1 kasus faosfomisin, 1 kasus levofloksasin, dan 2 kasus teikoplanin. Dosis kurang ditemukan pada 2 pasien diantaranya 1 kasus doripenem dan 1 kasus tetrasiklin.

(56)

Tabel V. Distribusi persentase pasien yang menggunakan antibiotika berdasarkan dosis penggunaan (n=171)

No Jenis

digunakan Standar

1. Levofloksasin

(57)

Tidak menutup kemungkinan bahwa 62 pasien yang dirawat di ICU menerima lebih dari satu jenis antibiotika ataupun menerima kembali terapi antibiotika dengan jenis yang sama namun dosis berbeda (ditingkatkan atau diturunkan).

Dari 171 penggunaan antibiotika pada 62 pasien ditemukan 4,66% dosis kurang diantaranya adalah 1 pasien menerima metronidazol 1x 1 g, 1 pasien menerima amikaisn 2x 0,5 g, 2 pasien menerima sefotaksim 3x 1 g, 1 pasien menerima doripenem 2x 0,25 g, dan 3 pasien menerima tetrasiklin 3x 0,25 g.

Pasien yang menerima dosis berlebih sebanyak 8,75%, diantaranya adalah 2 pasien menerima levofloksasin 2x 1 g, 1 pasien menerima levofloksasin 1x 1 g, 1 pasien menerima metronidazol 2x 2 g, 5 pasien menerima sefoperazon + sulbaktam 3x 2 g, 3 pasien menerima teikoplanin 2x 0,4 g, dan 3 pasien menerima fosfomisin 3x 2 g.

(58)

40

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan evaluasi profil pasien ICU, profil peresepan antibiotika, ketidaksesuaian dosis, kultur dan sensitivitas bakteri, diperoleh hasil:

1. Umur pasien ICU yang paling banyak ditemukan yaitu umur >60-≤75 tahun (37,1%), pasien pria lebih banyak di rawat di ICU dengan persentase 69,35%, diagnosis utama yang paling banyak ditemukan pada pasien ICU yaitu gangguan sistem neurologi dengan persentase 20,97%. 2. Golongan antibiotika yang paling banyak digunakan oleh pasien ICU

yaitu karbapenem (30,91%), jenis antibiotika yang paling banyak digunakan yaitu meropenem (27,27%), dan durasi antibiotika yang paling banyak digunakan yaitu <2 hari sebanyak 29,52%.

3. Terdapat 15 pasien yang mendapat antibiotika yang tidak sesuai berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas bakteri, pasien yang menerima antibiotika dengan dosis berlebih sebanyak 8,75% sedangkan pasien yang menerima antibiotika dengan dosis kurang sebanyak 4,66%

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian serupa dengan periode yang berbeda untuk melihat pola sensitivitas bakteri sehingga dapat digunakan sebagai pembanding. 2. Perlu dilakukan penelitian kualitatif dengan metode lain seperti gyssens untuk

(59)

41

DAFTAR PUSTAKA

Adysaputra, A., Rauf, M.A., Bahar, B., 2009, Pola Kuman Luka Operasi di Ruangan Intensive Care Unit Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, The Indonesian Journal of Medical Sciene,2 (2), pp. 67-70. Bisht, R., Katiyar, A., Singh, R., Mittal, P., 2009, Antibiotic Resistance-A Global

Issue of Concern, Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research, 2 (2), pp. 34-39.

Brooker, C., 2005, Ensiklopedia Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, p. 20.

Brusch, J. L., 2014, Inefective Endocarditis,

http://emedicine.medscape.com/article/216650-overview, diakses tanggal 5 Mei 2014.

Brusselaers, N., Vogelaers, D., Blot, S., 2011, The Rising Problem of Antimicrobial Resistance in the Intensive Care Unit, http://www.annalsofintensivecare.com/content/1/1/47, diakses tanggal 14 mei 2014.

Cabell, C., Abrutyn, E., Karchmer, A. W., 2003, Bacterial Endocarditis,

http://circ.ahajournals.org/content/107/20/e185.full, diakses tanggal 10 April 2014.

Dalrymple, L. S., dan Go, A. S., 2008, Epidemiologi of Acute Infections among Patients with Chronic Kidney Disease, Clinical Journal of the American Society of Nephrology, 3, pp. 1487-1492.

Deters, L. A., 2014, Benign Prostatic Hypertrophy,

http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview, diakses tanggal 22 April 2014.

Dipiro, J.T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey, L. M., 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th ed., The McGraw-Hill Companies, Inc., USA, pp. 1627-1634; 1715-1717.

Fatmah, 2006, Respons Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut,

Makara Kesehatan, 10 (1), pp. 47-51.

Fauziyah, S., 2010, Hubungan antara Penggunaan Antibiotika pada Terapi Empiris dengan Kepekaan Bakteri di Ruang Perawatan ICU (Intensive Care Unit) RSUP Fatmawati Jakarta Periode Januari 2009 - Maret 2010, Tesis,

(60)

Gan, Y.H., 2013, Host Susceptibility Factor to Bacterial Infection in Type 2 Diabetes, PLOS Pathogens, 9 (12), pp. 1-3.

Hadjiliadis, D., 2013, Pneunomia-Adult (Community Acquired), http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000145.htm, diakses tanggal 12 April 2014.

Holloway, K. A., 2011, Promoting the Rational Use of Antibiotics, Regional Health Forum, 5 (1), pp. 122-128.

Indian Hemophilia and Thrombosis Center, 2011, Autoimmune Hemolytic Anemia, http://www.ihtc.org/patient/blood-disorders/other-hematological-disorders/autoimmune-hemolytic/,diakses tanggal 10 April 2014.

Jovinelly, J., 2012, Autoimmune Hemolytic Anemia,

http://www.healthline.com/health/immune-hemolytic-anemia#Overview1, diakses tanggal 10 April 2014.

Katzung, B. G., Masters, S. B., Trevor, A. J., 2012, Basic and Clinical Pharmacology, 12th Edition, Mc Graw Hill, New York, pp. 790-793; 797-800.

Kemenkes RI, 2013, Proyeksi BOR (Bed Occupancy Rate) di RS Indonesia, http://sirs.buk.depkes.go.id/rsonline/report/proyeksi_bor.php, diakses tanggal 20 Mei 2014.

Lacy, C. F., Amstrong, L. L., Goldman, N. P., dan Lance, L. L., 2011, Drug Information Handbook, 20thEd., Lexi-Comp Inc., Canada.

Lestari, W., Almahdy, A., Zubir, N., dan Darwin, D., 2011, Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyysens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang, Laporan Penelitian, Fakultas Farmasi Pascasarjana Universitas Andalas, Padang, pp. 5-12. Lisboa, T. dan Nagel, F., 2011, Infection with Multi-Resistant Agnets in the ICU

,Rev Bras Ter Intensiva, 23 (2), pp. 120-123.

NHS, 2012, Intensive Care, http://www.nhs.uk/conditions/intensive-care/Pages/Introduction.aspx, diakses tanggal 17 Mei 2014.

Notoatmodjo, S., 2010, Jenis dan Rancangan Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta, pp. 37-38.

(61)

Prasad, K., Kumar, A., Singhal, T., Gupta, P. K., 2007, Third Generation Cephalosporins Versus Conventional Antibiotics for Treating Acute Bacterial Meningitis, Cochrane Database of Systemic Reviews, pp. 145-149.

Pratiwi, S. T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, Penerbit Erlangga, Jakarta, p. 92. Sosialine, E., 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pp. 27-32.

Taneja, S. K., Dhiman, R. K., 2011, Prevention and Management of Bacterial Infections in Cirrhosis, International Journal of Hepatology, pp.1-5.

Tjay, T. H., Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, p. 65. tanggal 12 April 2014.

Walker, R., Edwards, C., 2003, Clinical Pharmacy and Therapeutics, 3rd Edition, Churchill Livingstone, Philadhelphia, pp. 65.

Westendorp, W. F., Nederkoorn, P. J., Vermeji, J., Dijkgraaf, M. G., van den Beek, D., 2011, Post-Stroke Infection: A Systematic Review and Meta-analysis, BMC Neurology, 110 (11), pp. 1-7.

Whitehall, J., 2012, Antibiotics, http://www.patient.co.uk/health/antibiotics-leaflet, diakses tanggal 10 Juli 2014.

WHO, 2012, ATC/DDD Index 2013, www.whocc.no/atc_ddd_index/, diakses 29 Desember 2013.

(62)
(63)
(64)

46

(65)

47

(66)

48

(67)

49

Lampiran 5. Jenis bakteri pada tiap diagnosis

No. Diagnosis utama Jumlah

pasien

Yang mendapat

kultur

Spesimen Jenis bakteri

1. Gangguan sistem neurologi 13 Pasien 1 Sputum Staphylococcus epidermidis

Sputum Proteus retgeri

Sputum Enterobacter aerogenes

Pasien 3 Sputum Acinetobacter baumanii

Pasien 4 Sputum Seratia rubideae

Pasien 10 Sputum Pseudomonas putrefactiens

Pasien 15 Sputum Klebsiella pneumoniae

Sputum Klebsiella pneumoniae

Urine ujung kateter Pseudomonas putrefactiens

Pasien 31 Urine Proteus mirabilis

Pasien 40 Sputum Pseudomonas putrefactiens

Sputum Seratia rubideae

Sputum Klebsiella pneumoniae

Pasien 41 Sputum Enterobacter aerogenes

Sputum Pseudomonas putrefactiens

Urine Proteus penneri

Cairan intra abdominal

Proteus retgeri

Sputum Pseudomonas putrefactiens

2. Penyakit infeksi sistemik 12 Pasien 23 Sputum Proteus penneri

Pasien 24 Sputum Staphylococcus epidermidis

(68)

50

Lampiran 5. Lanjutan

No. Diagnosis utama Jumlah

pasien

Yang mendapat

kultur

Spesimen Jenis bakteri

3. Gangguan sistem gastrointestinal 7 - - -

4. Gangguan sistem pernapasan 6 Pasien 2 Sputum Pseudomonas cocovenenans

Darah Staphylococcus epidermidis

Sputum Enterobacter aerogenes

Darah Staphylococcus aureus

Sputum Klebsiella pneumoniae

Sputum Staphylococcus epidermidis

Pasien 6 Sputum Staphylococcus epidermidis

Pasien 26 Sputum Staphylococcus aureus

Pasien 30 Sputum Pseudomonas putrefactiens

5. Gangguan sistem endokrin dan metabolik

6 Pasien 9 Jaringan Proteus mirabilis

Pasien 50 Sputum Klebsiella pneumoniae

Pasien 62 Urine Seratia rubideae

6. Gangguan ginjal 5 Pasien 13 Sputum Staphylococcus epidermidis

Pasien 60 Pus Seratia rubideae

Sputum Klebsiella pneumoniae

Sputum Pseudomonas putrefactiens

Sputum Pseudomonas aeruginosa

7. Gangguan sistem kardiovaskuler 4 Pasien 27 Sputum Pseudomonas putrefactiens

Sputum Acinetobacter baumanii

(69)

51

Lampiran 5. Lanjutan

8. Gangguan hematologi 3 Pasien 53 Sputum Klebsiella pneumoniae

Pasien 55 Sputum Pseudomonas putrefactiens

Sputum Pseudomonas putrefactiens

Urine kateter Pseudomonas putrefactiens

Sputum Pseudomonas putrefactiens

Sputum Enterobacter aerogenes

Urine Seratia rubideae

Sputum Pseudomonas aeruginosa

Sputum Pseudomonas putrefactiens

Sputum Pseudomonas putrefactiens

Urine Seratia rubideae

Urine Enterobacter aerogenes

Sputum Pseudomonas putrefactiens

Sputum Pseudomonas putrefactiens

9. Gangguan hati 2 Sputum Seratia rubideae

Sputum Pseudomonas putrefactiens

10. Penyakit infeksi 2 Pasien 41 Sputum Enterobacter aerogenes

Sputum Pseudomonas putrefactiens

12. Astenia 1 Pasien 58 Urine Enterobacter aerogenes

(70)

52 Pasien 1

No. Antibiotika empiris Bakteri Spesimen Antibiotika

definitif

Hasil 1. Seftazidim (21/07) Staphylococcus epidermidis

(21/07)

Sputum Seftazidim (21/07) Sensitif Levofloksasin Fosfomisin (31/07) Intermediate 2. Seftazidim (21/07) Proteus retgeri (24/07) Sputum Meropenem

(23/07)

Resisten

Meropenem (23/07) Levofloksasin

(24/07)

Sensitif

Levofloksasin (24/07) Sefoperazone +

sulbactam (28/07)

Sensitif Fosfomisin (31/07) Resisten 3. Seftazidim (21/07) Enterobacter aerogenes (28/07) Sputum Levofloksasin

(24/07)

Resisten

Meropenem (23/07) Sefoperazone +

sulbactam (28/07)

Resisten

Levofloksasin (24/07) Fosfomisin (31/07) Intermediate

(71)

53 Pasien 2

No. Antibiotika empiris Bakteri Spesimen Antibiotika

definitif

Sputum Netilmisin (04/07) Sensitif Levofloksasin

Darah Netilmisin (04/07) Intermediate Levofloksasin

(04/07)

Resisten Fosfomisin (13/07) Sensitif Sefoperazon +

sulbactam (15/07)

Sensitif 3. Netilmisin +

Levofloksasin (04/07)

Enterobacter aerogenes (07/07) Sputum Netilmisin (04/07) Resisten Levofloksasin

(04/07)

Resisten Fosfomisin (13/07) Intermediate Sufoperazone +

sulbactam (15/07)

(72)

54 Pasien 2

No. Antibiotika empiris Bakteri Spesimen Antibiotika

definitif

Hasil 4. Netilmisin+Levofloksasin

(04/07)

Staphylococcus aureus (08/07) Darah Netilmisin (04/07) Sensitif Levofloksasin

(04/07)

Resisten Fosfomisin (13/07) Sensitif Sefoperazon +

sulbactam (15/07)

Resisten 5. Netilmisin +

Levofloksasin (04/07)

Klebsiella pneumoniae (11/07) Sputum Netilmisin (04/07) Levofloksasin (04/07)

Resisten Resisten Fosfomisin (13/07) Intermediate Sufoperazone +

Sputum Netilmisin (04/07) Resisten Levofloksasin

(04/07)

Resisten Fosfomisin (13/07) Intermediate Sufoperazone +

sulbactam (15/07)

Gambar

Tabel I. Jenis antibiotika berdasarkan efektivitas kerja ....................
Gambar 1.       Perbandingan jumlah pasien ICU berdasrkan jenis kelamiin ..... 18
Tabel I. Jenis antibiotika berdasarkan efektivitas kerja (Brooker,
Tabel II. Jenis antibiotika berdasarkan struktur kimia (Katzung, Masters,
+7

Referensi

Dokumen terkait

dokumen penawaran Teknis dan Harga yang telah diupload dalam Aplikasi SPSE... KEMENTERIAN PENDIDIKAN &amp; KEBUDAYAAN POLITEKNIK

penulis menyadari bahwa dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak. kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,

dibidang HKI, seperti: Paris Convention, WIPO, TRIPs Agreement, WTO. Berkaitan dengan HKI khususnya Hak Cipta atas lagu, sistem pengaturannya tertuang dalam Undang-

68/MPP/Kep/2/2003 Penjualan local produk tissue yang dilakukan antar pulau tidak termasuk dalam kelompok produk yang wajib PKAPT. Tidak

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa para responden telah melakukan prosedur auditing yang wajar dan memenuhi kriteria yang telah

Tahapan dan teknis pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat berupa ‘Penataan Bale Kulkul, Banjar Kerta Ampura, Desa Pakraman Perasi, Desa Pertima, Kecamatan

Pada hasil pertanyaan kuisioner terakhir yang menjadi tujuan utama dalam penelitian ini terjawab dengan hasil lebih dari 80% (delapan puluh persen) responden yang dijadikan

Pembentukan karakter peserta didik dapat dilakukan melalui (1) pengintegrasian pendidikan karakter dalam proses pembelajaran (2) perancangan manajemen sekolah yang