• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI. Effektifitas Penyaluran Belanja Bantuan Sosial. I. Pendahuluan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI. Effektifitas Penyaluran Belanja Bantuan Sosial. I. Pendahuluan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 24

Effektifitas Penyaluran Belanja Bantuan Sosial

(catatan temuan Hasil Pemeriksaan BPK pada LKPP 2010)

I. Pendahuluan

Pelaksanaan penyaluran APBN secara tidak langsung mencerminkan bagaimana pemerataan dan keadilan didistribusikan di antara masyarakat. Penyaluran anggaran APBN seharusnya dapat mendorong upaya pengurangan jumlah kemiskinan di Indonesia. Karena porsi APBN yang relative kecil, maka perhatian harus lebih difokuskan untuk mencapai efektiitas anggaran melalui tiga fungsi yaitu: stabilisasi, alokasi dan redistribusi.

Yang menjadi permasalahan pada APBN adalah bagaimana pendistribusian anggaran APBN tersebut memberikan manfaat secara luas kepada masyarakat atau sebaliknya. Apakah meningkatnya Bantuan Sosial dibarengi dengan dampak yang positif terhadap masyarakat ? Penyaluran Dana Bantuan Sosial yang tidak merata pada tahun anggaran 2010 , merupakan salah satu bukti lemahnya mekanisme redistribusi di Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan sistem perekonomian berada pada situasi yang sangat rawan karena tidak adanya mekanisme yang terstruktur untuk melakukan pemerataan. Pemerataan Pembangunan diantaranya diperoleh dengan penerapan redistribusi pendapatan yang umumnya dicapai melalui mekanisme bantuan sosial dan subsidi. Berikut adalah temuan BPK pada LKPP 2010 terkait penyaluran Bantuan Sosial yang terjadi pada tahun anggaran 2010:

II. Hasil Temuan BPK

1. Sistem Penyaluran, Pencatatan, dan Pelaporan Realisasi Belanja Bantuan Sosial Tidak Menjamin Pemberian Bantuan Mencapai Sasaran yang Telah Ditetapkan.

LRA LKPP Tahun 2010 melaporkan realisasi Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp697.406.380,19 juta yang diantaranya merupakan Belanja Bantuan Sosial (Bansos) sebesar Rp68.611.111,99 juta atau 9,84 persen dari Belanja Pemerintah Pusat dan berarti 96,40 persen dari jumlah yang dianggarkan dalam APBN-P 2010 sebesar Rp 71.172.785.592.785. Hal ini berarti realisasi Belanja Bantuan Sosial TA 2010 lebih kecil Rp5.202.443.214.418 atau 7,05 persen dari Realisasi TA 2009Rincian realisasi Belanja Bansos adalah sebagai berikut :

(2)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 25 Tabel1: Realisasi Belanja Bantuan Sosial tahun 2010

Sumber : LKPP 2010

Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPP Tahun 2006, 2007, dan 2008 telah mengungkapkan kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas penyaluran dana bansos, yaitu;

• pertanggungjawaban penyaluran dana bansos tidak memadai,

• realisasi Belanja Bansos tidak sesuai peruntukannya,

• dan terdapat dana yang masih tersimpan oleh bank/atau lembaga/kelompok penerima

bansos yang belum disalurkan.

Atas permasalahan tersebut, BPK telah merekomendasikan Pemerintah agar mengatur penganggaran, pengelolaan, dan pertanggungjawaban bansos secara jelas, serta melakukan pengawasan intern atas penyaluran dan pertanggungjawaban bansos tersebut. Pemerintah menindaklanjuti rekomendasi tersebut dengan menetapkan Buletin Teknis Nomor 10 tanggal 09 Maret 2011 tentang Standar Akuntansi Belanja Bantuan Sosial bekerja sama dengan KSAP.

(3)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 26 Namun,dalam pemeriksaan atas LKPP Tahun 2010, BPK masih menemukan permasalahan terkait Belanja Bansos sebesar Rp2.435.903,77 juta, yaitu sebagai berikut.

a. Penyaluran bansos pada enam KL sebesar Rp2.255.331,68 juta belum didukung dengan

bukti pertanggungjawaban keuangannya dari penerima bantuan;

b. Dana bansos pada empat KL belum disalurkan dan masih tersimpan pada pihak ketiga

(bank/lembaga-kelompok penerima/koperasi) sebesar Rp175.634,96 juta; dan

c. Penyaluran bansos pada tiga KL tidak sesuai dengan peruntukannya atau tidak tepat

sasaran sebesar Rp4.937,13 juta.

Berikut adalah daftar K/L yang bermasalah pada penyaluran dana Bansos.

Tabel 2 : Daftar Kementrian/Lembaga Penyalur Dana Bantuan Sosial Bermasalah

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:

a. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan

APBN menyatakan bahwa pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan pada prinsip-prinsip terarah dan terkendali sesuai dengan rencana dan program yang telah ditetapkan; dan

b. Buletin Teknis Nomor 04 tentang Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah, Bab

IV Klasifikasi Menurut Jenis Belanja menyatakan bahwa bansos adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.

Permasalahan tersebut mengakibatkan Belanja Bansos sebesar Rp2.255.331,68 juta belum dapat diyakini kebenaran pengeluarannya dan sebesar Rp2.435.903,77 juta belum efektif.

(4)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 27

2. Pengelompokan Jenis Belanja pada Saat Penganggaran Tidak Sesuai dengan Kegiatan

yang Dilakukan.

Realisasi Belanja Bansos di tiga KL minimal sebesar Rp988.949,33 juta yang dianggarkan dari Belanja Barang dan Belanja Bansos di dua KL yang dianggarkan dari Belanja Modal sebesar Rp16.623,29 juta.

Tabel 3: Daftar K/L yang Merealisasikan Belanja bansos melalui Anggaran Belanja Barang/Modal

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan :

a. PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan pada PSAP 02 Laporan Realisasi Anggaran dalam Akuntansi Belanja yang menyatakan bahwa pengertian Belanja lain-lain/tak tersangka adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak tersangka lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah;

b. Buletin Teknis SAP Nomor 04 tentang Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah, yaitu :

1. BAB I menyatakan bahwa sesuai dengan isi paragraf 19 sampai dengan 21 PSAP Nomor

02 tentang Laporan Realisasi Anggaran, akuntansi pemerintahan menganut sistem akuntansi anggaran (budgetary accounting). Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa klasifikasi pendapatan dan belanja dalam pelaporan keuangan negara/daerah harus sudah ditentukan pada saat menyusun perencanaan dan penganggaran;

(5)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 28

2. BAB V tentang klasifikasi belanja menurut jenis belanja yaitu;

a) Belanja Barang adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang

habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan;

b) Bantuan Sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat

guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Bantuan Sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk di dalamnya bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. Jadi, Belanja Bansos adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang sifatnya tidak terus-menerus dan selektif; dan

c) Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset

lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Untuk mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai Belanja Modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya dan kriteria kapitalisasi aset tetap.

Permasalahan tersebut mengakibatkan;

• Neraca dan LRA Pemerintah Pusat tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

• Ada risiko kehilangan BMN dengan tidak dicatatnya Aset Tetap secara memadai;

• Tujuan program dan kegiatan yang telah ditetapkan berpotensi tidak tercapai

Permasalahan tersebut disebabkan:

• Pemerintah tidak memiliki kriteria evaluasi kegiatan-kegiatan yang dapatdikategorikan

sebagai keperluan mendesak dan dapat dibiayai dari BA 999.08;

• DJA dan KL terkait tidak memperhatikan klasifikasi belanja dalam menyusun anggaran

dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) serta tidak adanya sanksi yang tegas

apabila terjadi pelanggaran penggunaan anggaran;

• K/L tidak melakukan verifikasi dengan cermat atas pengajuan pencairan dana yang

dilakukan oleh unit kerja KL;

III. Selayang Pandang Belanja Bansos pada 2010

Pada tahun 2010 belanja bantuan sosial menerima alokasi anggaran sebesar Rp71,17 triliun atau mengalami penurunan sebesar Rp6,76 triliun atau 8,67 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran tahun 2009 sebesar Rp77,93 triliun. Belanja bantuan sosial terealisasi sebesar Rp68,61 triliun atau 95,40 persen dari pagu APBN-P 2010 atau mengalami penurunan sebesar Rp5,20 triliun atau 7,05 persen dibanding realisasi tahun 2009 sebesar Rp73,81 triliun. Tren

(6)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 29 belanja bantuan sosial berfluktuasi sepanjang tahun 2010, penyerapan terendah terjadi pada bulan Februari sebesar Rp1,18 triliun dan penyerapan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar Rp13,76 triliun dan secara rata-rata penyerapan belanja bantuan sosial per bulan

Rp5,72 triliun.

Realisasi bantuan sosial pada tahun 2010 dipengaruhi oleh adanya luncuran program kegiatan PNPM Mandiri 2009 ke tahun 2010, dan meningkatnya bencana alam, termasuk banjir Wasior, Tsunami Mentawai, dan Erupsi Gunung Merapi.

Grafik 2: Trend realisasi Belanja Bansos 2005-2010

Sumber : Data Pokok APBN 2011

Dalam kurun waktu 2005-2010, realisasi anggaran bantuan sosial mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan Nota Keuangan APBN 2011 peningkatan realisasi anggaran bantuan sosial dalam rentang waktu tersebut, sebagian besar merupakan realisasi bantuan sosial yang dialokasikan melalui K/L yang antara lain :

1. Bertambahnya cakupan penerimaaan bantuan sosial kemasyarakatan 2. meningkatnya nilai bantuan sosial kepada masyarakat dan lembaga lembaga

3. semakin luas dan meningkatnya program program pemberdayaan masyarakat yang berada dibawah naungan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Selain itu, juga terdapat berbagai program yang dirancang dan dilaksanakan terkait belanja bantuan sosial; Bidang pendidikan (BOS, beasiswa untuk siswa dan mahasiswa miskin, bantuan pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah),Bidang kesehatan (pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas serta di kelas III RS pemerintah/RS Swasta yang ditunjuk pemerintah melalui asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin (Askeskin) atau Jamskesmas), Bidang pemberdayaan masyarakat (PNPM Pedesaan, PNPM Perkotaan, program peningkatan Infrastruktur pedesaan (PPIP), PNPM daerah tertinggal dan khusus dan PNPM Infrastruktur

(7)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 30 sosial ekonomi wilayah), Program keluarga harapan (untuk meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat miskin melalaui pemebrdayaan kaum ibu dan mendorong agar anaknya tetap sehat dan bersekolah),Penanggulangan benacana alam (untuk kondisi darurat yang timbul akibat terjadinya bencana).

IV. Catatan

Kelemahan Manajemen Pencatatan

Masalah ketidaksingkronan pencatatan data Bansos pada K/L terkait merupakan masalah yang berulang dari tahun-tahun sebelumnya. Persoalan pencatatan yang tidak memadai dan realisasi Bansos yang tidak sesuai dengan peruntukkannya terjadi karena lemahnya koordinasi antara instansi terkait untuk melakukan rekonsiliasi secara simultan. Disamping itu sistem informasi yang mencatat dan menyalurkan dana Bansos pada unit-unit kerja pada Departemen Keuangan ataupun K/L yang belum terintegrasi dengan baik, sehingga permasalahan dana bansos yang tidak mencapai sasaran yang ditetapkan menjadi kesalahan berulang yang selalu terjadi. Persoalan tersebut sebenarnya telah diingatkan oleh BPK sejak tahun 2006, namun hingga saat ini penyaluran dana Bansos yg tidak memadai, belanja Bansos yang tidak sesuai peruntukannya dan masih adanya dana Bansos yg belum disalurkan (tersimpan oleh bank/lembaga/kelompok penerima bansos) masih sering terjadi. Padahal jika kelemahan tersebut tidak segera ditangani maka hal itu dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pengolahan data tersebut.

Pengendalian Belanja yang tidak disiplin

Penggunaan dana Bansos yang tidak sesuai peruntukannya merupakan salah satu hasil dari kelemahan pengendalian penggunaan anggaran oleh Pemerintah. Penggunaan anggaran belanja modal untuk belanja barang dan bantuan sosial atau kombinasi ketiganya juga merupakan salah satu temuan yang terus terjadi. Salah satu sebabnya adalah upaya K/L menyiasati keterbatasan anggaran di salah satu pos yang kemudian ditutupi dari anggaran pada pos belanja lain yang tidak dianggap prioritas. Disamping itu, karena faktor kemampuan dalam mengadminstrasikan penggunaan anggaran. Hal ini dapat terlihat dari realisasi belanja bansos beberapa K/L yang dianggarkan dari belanja Barang dan belanja Modal.

Koordinasi Lemah

Dalam temuan BPK di atas terlihat bahwa peran dari K/L yang berhubungan dengan penyaluran dana Bansos tidak berjalan normal. Akibatnya informasi mengenai pemeratan terhadap penyaluran realisasi dana Bansos tidak dapat diketahui secara akurat sehingga sehingga sulit diketahui tingkat pencapaiannya terhadap sasaran yang telah ditetapkan. Kelemahan ini disebabkan karena Pemerintah belum mengatur sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban

(8)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 31 bansos secara jelas dan belum melaksanakan pengawasan intern atas penyaluran dan pertanggungjawaban bansos tersebut.

V. KESIMPULAN

Kemampuan pemerintah untuk melakukan pembenahan pada LKPP jika diukur dari opini yang dikeluarkan oleh BPK memang terdapat kemajuan. Meskipun demikian, sejumlah temuan yang berkaitan dengan sistem pengendalian internal masih sarat masalah. Sebagian diantaranya merupakan persoalan klasik yang belum mampu dibenahi dengan tuntas.

Di sisi lain terdapat sejumlah penggunaan anggaran yang tidak digunakan sesuai peruntukannya sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan masih sangat besar. Oleh karena itu setidaknya ada beberapa hal yang patut dilakukan oleh pemerintah antara lain:

• Penyempurnaan perangkat aturan dengan jelas dan detail sehingga mampu mencakup

seluruh proses penganggaran, penyaluran dan pelaporan anggaran Bansos.

• Peningkatan kualitas SDM khususnya yang menjadi para bendaharawan sehingga

mampu mengelola administrasi keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Meski demikian persoalan lemahnya integritas ditambah dengan lemahnya pengawasan terhadap kinerja mereka menjadi sebab utama terjadinya berbagai penyimpangan dalam pengelolaan anggaran;

• Menertibkan dan mengevaluasi proses pencatatan dan pelaporan penyaluran Bansos

melalui penilaian dan peningkatan standar manajemen pencatatan penyaluran dana Bansos seperti pembuatan SOP dan penatausahaan lainnya secara profesional.

Gambar

Tabel 2 : Daftar Kementrian/Lembaga Penyalur Dana Bantuan Sosial Bermasalah
Tabel 3: Daftar K/L yang Merealisasikan Belanja bansos melalui Anggaran Belanja Barang/Modal
Grafik 2: Trend realisasi Belanja Bansos 2005-2010

Referensi

Dokumen terkait

waktu tertentu. Waktu dihitung sejak awal staf memberikan suatu layanan pada pasien hingga tepat sebelum diberikan layanan yang sama diberikan kepada pasien

Desain jalur lalu lintas yang aman dengan pendekatan traffic calming untuk memenuhi kebutuhan tersebut yaitu penyediaan jalur sepeda (dalam hal ini berupa jalur lambat) yang

Kebijakan penggabungan tersebut juga menempatkan dan menetapkan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebagai pemilik mayoritas baru BSB. Sebagai tindak lanjut dari keputusan

Setelah mengalami krisis ekonomi beberapa tahun lalu, kondisi perekonomian Indonesia hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan pesat, maka sebagai konsekuensinya

Asbuton dapat digunakan sebagai bahan tambah aspal minyak atau campuran beraspal minyak karena Asbuton, terutama Asbuton Kabungka, memiliki bitumen yang relative lebih

usaramoensis dapat diberikan dalam ransum burung puyuh tanpa menurunkan energi metabolis, retensi nitrogen dan efisiensi ransum sehingga dapat digunakan sebagai

Hal yang hampir serupa dikemukakan oleh Indarjati (2001) yang menyebutkan adanya tiga macam kondisi kepuasan yang bisa dirasakan oleh konsumen berkaitan

Haba peneutralan bagi tindak balas antara asid hidroklorik dan natrium hidroksida adalah lebih tinggi daripada tindak balas antara asid etanoik dengan