• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME DENGAN AJARAN HUKUM DOKTRINAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME DENGAN AJARAN HUKUM DOKTRINAL"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME

DENGAN AJARAN HUKUM DOKTRINAL

FX. Adji Samekto

Fakult as Hukum Universit as Diponegoro Semarang E-mail: adj isamekt o@yahoo. com

Abst ract

In t he t eachi ng of l aw, t her e i s of t en "mi st aken", t hat put s l egal posi t i vism (j ur i spr udence) i s i dent i cal wi t h t he phi l osophy of posit i vi sm. Legal posi t ivi sm be i dent if i ed as an inst ance of posi t i vi sm phi l osophy int act . The st udy of l egal posit i vi sm, i n f act ver y cl osel y r el at ed t o t he phi l osophy and t eachi ngs of t he l aw f r om t ime t o t ime. The ef f ect s of nat ur al l aw i n t he schol ast i c er a, t hen t he er a of r at i onal i sm and t he i nf l uence of posi t ivi sm i n t he phi l osophy of nat ur al science i s ver y at t ached t o t he legal posi t i vism unt i l t oday. Ther ef or e not onl y t he phi l osophy of posi t ivi sm af f ect i ng t he devel opment of l egal posi t ivi sm. Based on t hat t hen t he l egal posi t i vism i n f act has a char act er i st i c whi ch i s di f f er ent f r om t he soci al sci ences. If t he soci al sci ences wer e devel oped based on t he phi l osophy of posi t ivi sm, t he doct r inal t eaching of t he l aw i s not ent i r el y been devel oped based on t he phi l osophy of posi t ivi sm. Not al l t he l ogi cal posit ivi st phi l osophy can be appl i ed i n t he doct r inal l aw.

Keywor ds : posi t ivi sm, l egal posit ivi sm, doct r inal

Abst rak

Di dalam pengaj aran ilmu hukum, sering t erj adi “ salah kaprah” , yang menempat kan aj aran hukum dokt rinal ident ik dengan f ilsaf at posit ivisme. Hukum posit if diident ikkan sebagai t urunan ut uh f ilsaf at posit ivisme. Kaj ian hukum dokt rinal, sesungguhnya sangat erat berhubungan dengan f ilsaf at dan aj aran-aj aran hukum dari masa ke masa. Pengaruh-pengaruh hukum alam pada era Skolast ik, kemudian pada era Rasionalisme sert a pengaruh f ilsaf at posit ivisme dalam ilmu penget ahuan alam sangat melekat pada kaj ian hukum dokt rinal hingga saat ini. Oleh karena it u bukan hanya f ilsaf at posit ivisme saj a yang mempengaruhi perkembangan kaj ian hukum dokt rinal. Berdasarkan hal it u maka kaj ian hukum dokt rinal sesungguhnya memiliki ciri khas yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial. Apabila ilmu sosial dikembangkan berbasis f ilsaf at posit ivisme, maka aj aran hukum dokt rinal t idak seluruhnya dikembangkan berbasis f ilsaf at posit ivisme. Tidak semua logika f ilsaf at posit ivisme bisa dit erapkan di dalam hukum dokt rinal.

Kat a kunci : posi t ivi sme, posit ivi sme hukum, dokt r inal

Pendahuluan

Hukum (yang dit erj emahkan dari kat a “l aw” dalam bahasa Inggris) menurut Herman J. Piet ersen adalah suat u bangunan normat if . Dalam pengert ian ini hukum dikonsepsikan se-bagai an inst r ument of t he st at e or pol i s con-cer ned wi t h j ust i ce, wi t h r ul es of conduct t o r egul at e human behavi our. Jadi menurut pan-dangan ini hukum merupakan inst rumen unt uk menegakkan keadilan yang wuj udnya berupa pedoman perilaku dengan f ungsi ut amanya me-ngat ur perilaku manusia. Inilah basis berpikir aj aran hukum dokt rinal.

(2)

ri-nal adalah hal yang mudah, lebih rendah dera-j at nya, at aupun apapun ist ilahnya yang mana ungkapan-ungkapan it u berkesan t idak pent ing melakukan kaj ian hukum dalam pendekat an dokt rinal.1

Kaj ian hukum dalam pendekat an dokt ri-nal, kalau dipelaj ari secara benar, sesungguh-nya t idak mudah. Kaj ian ini memiliki ciri khas sendiri yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dahulu seiring dengan ke-lahiran f ilsaf at posit ivisme. Akan t et api yang t erj adi adalah salah kaprah: kaj ian hukum dok-t rinal seolah-olah hanya berkudok-t adok-t persoalan-persoalan keberlakuan dan ket idak-berlakuan hukum posit if saj a. Salah kaprah berikut nya adalah bahwa kaj ian hukum dokt rinal ident ik dengan posit ivisme hukum yang bersumber dari f ilsaf at posit ivisme. Pendapat kedua ini t idak sepenuhnya salah, akan t et api sesungguhnya ada kekhasan-kekhasan t ersendiri dari aj aran hukum dalam pendekat an dokt rinal, yang it u j ust ru bert ent angan dengan f ilsaf at posit ivisme it u sendiri.

Berangkat dari pemikiran it ulah, maka t ulisan ini akan membahas permasalahan me-ngenai relasi (ket erkait an) ant ara f ilsaf at posi-t ivisme dengan aj aran hukum dokposi-t rinal; dan alasan-alasan mengapa aj aran f ilsaf at posit i-visme t idak dapat seluruhnya melandasi aj aran hukum dokt rinal? Berdasarkan permasalahan t ersebut di at as, maka dengan t uj uan unt uk memberikan kesadaran bahwa sesungguhnya ada kekhasan-kekhasan t ersendiri dari aj aran hukum dalam pendekat an dokt rinal, yang it u j ust ru bert ent angan dengan f ilsaf at posit ivisme it u sendiri, maka pembahasan di dalam t ulisan ini dif okuskan pada paparan t ent ang aj aran hukum dokt rinal dengan segala implikasinya,

1

Lihat t ent ang par adigm ini pada Erl yn Indart i , “ Legal Const ruct ivism: Par adigma Baru Pendi dikan Dal am Rangka Pembangunan Masyar akat Madani ” , dal am

Maj al ah Il mi ah Masal ah-Masal ah Hukum, Vol . XXX, No. 3, Jul i – Sept ember 2001, hl m. 139-154 dan Par sudi Su-parl an, “ Paradigma Nat ur al i st ik dal am Penel it ian Pen-di Pen-dikan: Pendekat an Kual it at i f dan Penggunaannya”, Maj al ah Ant r opol ogi Indonesi a No. 53, Vol . 21 – 1997, dit er bi t ka ol eh FISIP UI Jakart a; Theresia Anit a Chr is-t iani, ” Sis-t udi Hukum Ber dasarkan Perkembangan Para-digma Pemikiran Hukum Menuj ur Met ode Hol ist ik” , Jur -nal Hukum Pr o Just i t i a, Vol . 26 No. 4 Okt ober 2008, hl m. 347-358.

dan paparan t ent ang f ilsaf at posit ivisme de-ngan segala implikasinya. Dari paparan kedua variabel t ersebut diharapkan dapat dit emukan relasi ant ara f ilsaf at posit ivisme dengan aj aran hukum dokt rinal.

Pembahasan

Aj aran Hukum Doktrinal

Ist ilah aj aran hukum dokt rinal menunj uk pada aj aran hukum yang didasarkan pada pre-mis bahwa hukum merupakan norma yang me-ngat ur kehidupan masyarakat . Keberadaan huk-um sej ak masa lampau j auh sebelhuk-um masuk pa-da era posit ivisme, seiring dengan perkembang-an peradabperkembang-an mperkembang-anusia, diyakini sebagai sarperkembang-ana unt uk menyelesaikan problem konkret dalam masyarakat . Oleh karena it u adalah benar apa-bila Cicero menyat akan : ubi soci et as i bi i us (di mana ada masyarakat , di sit u ada hukum). Ke-adilan merupakan f akt or pent ing bagi alasan keberadaan penegakan hukum. Fisosof -f ilosof Yunani kuno, Socrat es, Plat o dan Arist ot eles menyat akan bahwa t uj uan hukum adalah me-wuj udkan keadilan, dan unt uk it u diperlukan penegakan hukum. Dalam hal ini pemikiran-pe-mikiran yang bersumber dari aj aran agama be-lum begit u kuat . Kuat nya pengaruh agama di dalam pembent ukan hukum di masa berikut nya t erj adi karena dij adikannya Krist en sebagai agama di bangsa Romawi semasa Imperium Ro-mawi berkuasa at as sebagian besar darat an Eropa.

Tokoh yang dianggap t elah menj embat ani f ilsaf at Yunani dengan alam pemikiran Krist en adalah St . August inus (354-430). Menurut St . August inus hukum alam merupakan hukum aba-di yang ada pada Tuhan. Menurut St . August i-nus, prinsip t ert inggi hukum alam adalah : “ j a-ngan ber buat kepada or ang l ai n apa yang eng-kau t i dak i ngi nkan or ang ber buat kepadamu” .

(3)

oleh Tuhan. Ide Thomas Aquinas mengenai hu-kum alam sangat dipengaruhi pandangan Arist o-t eles, f ilosof Yunani. Sepero-t i Ariso-t oo-t eles, Tho-mas Aquinas berpandangan bahwa, alam semes-t a pada hakekasemes-t nya semes-t erdiri dari subssemes-t ansi-subs-t ansi yang merupakan kesaansi-subs-t uan maansi-subs-t eri dan bent uk. Masing-masing subst ansi ini memiliki t uj uan-t uj uan sendiri-sendiri dan masing-ma-sing memiliki t uj uan di luar dirinya. Hal ini da-pat dimisalkan benda mat i berguna unt uk t um-buh-t umbuhan dan semua makhluk yang lebih t inggi. Sedangkan t umbuh-t umbuhan berguna bagi manusia. Semua ini mempunyai t uj uan yang lebih t inggi yait u menuj u kepada yang sempurna yait u Budi-Illahi.

Hal t ersebut oleh Thomas Aquinas dipan-dang sebagai at uran alam yang bersumber pada Tuhan. At uran-at uran t ersebut kemudian me-wuj udkan diri dalam subst ansi yang disebut ma-nusia, yait u di dalam kemampuannya mengenal apa yang baik dan apa yang j ahat . Sesuat u yang baik, menurut Thomas Aquinas adalah sesuat u yang sesuai dengan kecenderungan alam, dan sesuat u yang baik it u harus dilakukan. Misalnya kemauan unt uk mempert ahankan hidup, laki-laki dan wanit a harus menikah, manusia harus bermasyarakat .2 Sebaliknya sesuat u yang j ahat adalah sesuat u yang t idak sesuai dengan kecen-derungan alam. Hukum alam yang t erlet ak pada akal budi manusia disebut Thomas Aquinas sebagai part isipasi at uran yang berasal dari Tu-han, yait u Hukum yang Abadi yang mewuj udkan diri dalam rasio makhluk hidup. Menurut pen-dapat nya, prinsip-prinsip hukum alam mengikat set iap masyarakat . Oleh karena it u syarat yang dibut uhkan unt uk eksist ensi suat u sist em hu-kum adalah bahwa huhu-kum t ersebut harus me-muat prinsip-prinsip hukum alam.

Sej arah perkembangan aj aran hukum dokt rinal t idak bisa dilepaskan dari pembicara-an perkembpembicara-angpembicara-an aj arpembicara-an hukum alam. Pemba-hasan t ent ang hukum alam t erkait dengan masa skolast ik. Masa skolast ik adalah masa dimana alam pikiran manusia sangat t erikat oleh ikat an

2 Theo Huij bers, 1980, Fi l saf at Hukum Dal am Li nt asan

Sej ar ah, Yogyakart a: Kanisius, hl m. 40; Cl arence Morris, 1963, The Gr eat Legal Phi l osopher s: Sel ect ed Readi ng i n Jur i spr udence, Phil adel phi a: Univer sit y of Pennsyl vani a Press, hl m. 32-33.

keagamaan. Ikat an ini sedemikian kuat mempe-ngaruhi segala aspek kehidupan, sehingga lahir pandangan bahwa manusia menj adi t idak ber-art i t anpa Tuhan. Corak pemikiran hukum pada masa skolast ik banyak didasari oleh aj aran agama t erut ama Krist en.

Hukum alam yang oleh Thomas Aquinas di def inisikan sebagai hukum yang berasal dari Tu-han, yang mewuj udkan diri dalam akal dan ra-sio manusia, dibagi dalam dua golongan yang t erhubung, yait u hukum alam primer dan hu-kum alam sekunder. Huhu-kum alam primer adalah hukum alam yang berlaku bagi set iap manusia. Cont oh konkret hukum alam primer: “Ber i kan kepada set i ap or ang apa yang memang menj adi haknya” ; “ Jangan mer ugi kan or ang l ai n” . Hu-kum alam sekunder adalah huHu-kum alam yang t ersimpul dari norma-norma hukum alam pri-mer. Misalnya di dalam hukum alam primer ada ket ent uan “ j angan mer ugi kan seseor ang” , ma-ka dari sini dapat dit urunma-kan norma hukum alam sekunder : “ j angan mencur i “ dan “ j angan membunuh” .3

Berkait an dengan hukum alam sekunder, dapat diaj ukan suat u pert anyaan, apakah t er-j adinya t indakan saling bunuh dalam pepera-ngan merupakan hal yang bert ent apepera-ngan depepera-ngan hukum alam? Menurut Thomas Aquinas, dalam hal ini lebih baik dinyat akan, bahwa hukum alam t idak berlaku sebagaimana mest inya. Apa-bila selanj ut nya dipert anyakan, mengapa di da-lam peperangan t erj adi t indakan saling bunuh padahal t indakan t ersebut bert ent angan de-ngan hukum alam, Thomas Aquinas memberikan j awaban: hal it u t erj adi karena manusia memi-liki sif at khilaf dan cenderung mement ingkan diri sendiri, sehingga akal sehat seringkali dika-burkannya dan mengakibat kan penaf sirannya t ent ang hukum alam menj adi sesat , namun t et ap dilakukannya.

Seiring dengan perkembangan pemikiran di Abad Pert engahan, konsepsi t ent ang hukum alam pun mulai mengalami perubahan. Hukum Alam yang pada masa Abad Pert engahan sangat didominasi oleh aj aran-aj aran Ket uhanan (seba-gaimana t ampak pada aj aran Thomas Aquinas)

(4)

mulai dimasuki pemikiran-pemikiran yang ber-sumber pada akal-budi manusia yang lepas dari pengaruh aj aran Ket uhanan. Kalau pada era Abad Pert engahan ikat an-ikat an keagamaan se-demikian kuat nya mempengaruhi semua aspek kehidupan, maka dalam perkembangannya pe-ngaruh it u mulai t ereduksi oleh akal-budi dan rasio manusia. Fenomena ini mencapai puncak-nya di era Renai ssance yang berlangsung dari t ahun 1493–1650. Terj adilah apa yang disebut sekularisasi hukum alam, dengan t t okoh-nya: Grot ius at au Hugo de Groot (1583-1645) dan Samuel Pf uf endorf (1632-1694).

Konsep-konsep hukum alam dari Grot ius bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Perwuj udan manusia sebagai makhluk sosial adalah realit as bukan “ seharusnya” . Kon-sep ini dilandasi pemikirannya bahwa: (a) se-mua manusia sesungguhnya mempunyai alam yang sama; (b) Oleh karenanya manusia mem-punyai kecenderungan membent uk hidup ber-sama. Menurut Grot ius, dasar pemikiran inilah yang menj adi dasar (pendorong) t erbent uknya negara. Grot ius menyat akan bahwa semua ne-gara t erikat oleh hukum alam, yang memisah-kan ant ara Hukum Illahi (Hukum Ket uhanan) dengan akal budi manusia (t hat nat i ons ar e bound by nat ur al l aw, whi ch was separ at e f r om God's l aw and based on t he nat ur e of man).

Samuel Pf uf endorf adalah seorang f ilsof dan sej arawan dari Jerman. Sepert i Grot ius, karena ia hidup di era semangat pembent ukan negara baru, maka konsep-konsepnya t ent ang hukum alam j uga t erkait dengan keberadaan negara dan hubungan individu dengan masyara-kat . Menurut pendapat nya, hubungan ant ar ne-gara diat ur oleh hukum alam. Aj arannya yang sampai sekarang t idak bisa dibant ah adalah t ent ang dokt rin kesederaj at an negara. Samuel Pf uf endorf menyat akan: semua negara adalah sederaj at t anpa memandang ukuran besar-ke-cilnya sert a kekayaannya.4 Dokt rin ini merupa-kan ket ent uan f undament al dalam hukum yang mengat ur hubungan ant ar negara yang berlaku hingga sekarang.

4 Hingorani , 1984, Moder n Int er nat i onal Law, 2nd edit -ion, London: Oceana Publ icat ions, hl m. 17-18.

Berkait an dengan hubungan manusia (in-dividu) dengan masyarakat nya, aj aran Samuel Pf uf endorf menyat akan: manusia harus mewu-j udkan diri sebagai makhluk sosial supaya ia da-pat hidup damai. Perwuj udan diri sebagai mah-luk sosial adalah suat u keharusan, sehingga bo-leh disebut ini merupakan keharusan moral. Sa-muel Pf uf endorf kemudian menj abarkannya da-lam 2 (dua) bagian hukum, yait u hukum yang berlaku bagi manusia it u sendiri dan hukum yang berlaku bagi manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial. Berkait an dengan kedu-dukan manusia sebagai makhluk sosial lahirlah ket ent uan hukum alam yang kemudian diangkat sebagai prinsip hukum umum yait u : pact a sunt ser vanda (perj anj ian harus dihormat i) dan prin-sip “ j angan mengambil milik orang lain” .

(5)

seba-gai aj aran hukum dokt rinal. Hukum dalam aj ar-an dokt rinal ini mempunyai t uj uar-an ut ama: men-cipt akan keadilan. Dengan melandaskan pada prinsip-prinsip ut ama mencipt akan keadilan, semua sama di depan hukum, t iada hukuman t anpa kesalahan, maka peran hukum yang ut a-ma adalah menyelesaikan problem konkret di dalam masyarakat . Problem di masyarakat bisa muncul manakala rasa keadilan it u t erusik. Ter-kait dengan aj aran dokt rinal ini berlakulah aj aran f iksi hukum (semua orang dianggap t ahu hukum). Fiksi hukum sepert i ini t ent u t idak mu-dah dinalar oleh penganut f ilsaf at Posit ivisme.5

Aj aran Dalam Filsafat Positivisme

Surut nya pengaruh aj aran Ket uhanan da-lam hukum ada-lam t elah mendorong makin me-ngedepannya proses-proses rasionalisasi bidang-bidang kehidupan. Inilah yang melandasi Eropa Barat masuk pada era Rasionalisme.6 Era ini di-sebut j uga sebagai Abad Pencerahan (Enl i ght -ment) yang t erj adi dari t ahun 1650 hingga awal 1800-an. Terminologi “ Era Pencerahan” ( En-l i ght ment) digunakan sebagai lawan dari t er-minologi “ Era Kegelapan” (Dar k Age), yang me-nunj ukkan keadaan dimana manusia t elah dice-rahkan, dibebaskan pikirannya dari belenggu dominasi aj aran Ket uhanan kemudian dicerah-kan sehingga mampu mendayagunadicerah-kan akal budi dan rasionya unt uk membent uk kehidupan sosial bersama. Sej ak abad keenambelas ilmu-ilmu alam membebaskan diri dari ikat an-ikat an keagamaan melalui pengamat an, perbandingan, eksperimen dan f alsif ikasi empiris, dan dengan it u rahasia-rahasia alam mulai t ersingkap. Alam

5 Lihat t ent ang prakt ik penal aran dedukt if i ni pada

Shidart a, 2006, ” Fil osof i Penal aran Hukum Haki m Kons-t iKons-t usi dal am Masa Transi si KonsKons-t iKons-t usional iKons-t as” . Jur nal Hukum Jent er a, Edisi 11-t ahun III, Januari-Maret 2006. hl m. 6 dan M. Syamsudi n, ” Konst ruksi Pol a Pikir Haki m dal am Memut us Perkara Korupsi Ber basi s Hukum Progresi f “ , Jurnal Di namika Hukum Vol . 11 No. 1 Januar i 2011, hl m. 10-19

6

Pada Abad pert engahan yang dominan adal ah kaj ian met af i si s. Gej al a-gej al a al am diyakini ber sumber dar i kekuat an-kekuat an yang menent ukan kehi dupan manu-si a. Cara berpikir ini begit u domi nan dan dit er ima seba-gai dogma. Manusia menganut begi t u saj a dogma (at au opini?) t er sebut t anpa ver if ikasi secar a rasional dan bukt i konkret ber basi s f akt a. Cara ber pikir ini t umbuh sebagai akibat domi nasi pemuka agama yang ber sinergi dengan kepent ingan mempert ahankan kekuasaan ol eh Imperium Romawi di Eropa.

dibuka unt uk dimanf aat kan bagi t uj uan-t uj uan kemanusiaan. Rasionalisme t elah menempat kan akal budi manusia sebagai sat u-sat unya t olok ukur yang sah bagi kegiat an, karya dan kehi-dupan manusia.

Sesuat u yang dipandang val i d sebagai il-mu adalah ilil-mu-ilil-mu penget ahuan alam, yait u ilmu-ilmu yang disusun berdasarkan f akt a-f akt a yang dihimpun melalui observasi, dan hasil pe-nelit iannya dapat diulangi secara t idak t erbat as unt uk dilihat dan diukur. Sunaryat i Hart ono me-nyebut kan, pembenaran t erhadap pandangan ini dapat didasarkan pada pendapat Francis Ba-con dari Inggris dan Rene Descart es dari Peran-cis, bahwa alam dan benda-benda alamiah lainnya t idak mempunyai j iwa sepert i manusia. Unt uk mengenalnya benda-benda it u harus di-t elidi-t i secara i mper sonal art inya lepas dari nilai-nilai subj ekt if dan hanya didasarkan pada akal (rasio) dan pengalaman.7 Oleh karena it ulah maka ilmu-ilmu penget ahuan alam sebenarnya selalu didasarkan pada pengamat an f enomena alam secara bebas, pasang j arak, dan imper-sonal.8

Hukum-hukum yang berlaku dalam ilmu penget ahuan alam dirumuskan berdasarkan anggapan bahwa alam dapat diident if ikasi dan hasilnya t idak t ergant ung dari wakt u dan t em-pat .9 Aliran pemikiran t ersebut merupakan ref -leksi mazhab posit ivisme dalam ilmu penget a-huan yang dipelopori August e Comt e (1798- 1857). Pemikiran dalam posit ivisme dikembang-kan dari t eori August e Comt e yang bert olak da-ri kepast ian bahwa t erdapat hukum perkem-bangan yang menguasai manusia dan segala gej ala hidup bersama dan it u mut lak. Inilah yang oleh Comt e disebut nya sebagai Hukum Ti-ga Tahap. Menurut August e Comt e, dalam Hu-kum Tiga Tahap10 t ersebut , ada t iga t ahap per-kembangan yang dilalui t iap-t iap masyarakat .

7

Sunaryat i Hart ono, 1991, “ Pembinaan Hukum Nasional Dal am Suasana Gl obal isasi Masyarakat Dunia” , Pi dat o Pengukuhan Jabat an Guru Besar Dal am Il mu Hukum, Bandung, FH UNPAD, hl m. 10

8 Boavent ur a De Sousa Sant os, 1995, Towar d a New

Com-mon Sense: Law, Sci ence and Pol i t i cs i n t he Par adi g-mat i c Tr ansi t i on, London: Rout l edge, hl m. 14-15. 9 Loc. ci t

(6)

Tahap yang pert ama adalah t ahap t eo-logis. Dalam t ahap ini manusia percaya pada kekuat an Illahi di belakang gej ala-gej ala alam. Tahap yang kedua adalah t ahap met af isik. Da-lam t ahap ini dimulailah krit ik t erhadap segala pikiran, t ermasuk pikiran t eologis. Ide-ide t eo-logi digant i dengan ide-ide abst rak dari met af i-sika. Tahap yang ket iga adalah t ahap posit if. Dalam t ahap ini gej ala-gej ala t idak dit erangkan lagi oleh suat u ide alam yang abst rak, t et api gej ala dit erangkan melalui gej ala lain dengan mendapat i hukum-hukum diant ara gej ala-ge-j ala yang bersangkut an. Hukum-hukum t ersebut sebenarnya merupakan bent uk relasi yang kons-t an diankons-t ara gej ala-gej ala kons-t ersebukons-t . Posikons-t ivis-me, dengan demikian, memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari t radisi ilmu alam yang me-nempat kan f enomena yang dikaj i sebagai obj ek yang dapat dikont rol, dan digeneralisasi sehing-ga gej ala ke depan bisa diramalkan.

Demikianlah maka dengan paradigma po-sit ivisme, ilmu-ilmu sosial t elah dibent uk me-nurut paham rasional dan empirisisme ilmu pe-nget ahuan alam yang sangat menonj olkan epis-t emologi posiepis-t ivisepis-t ik. Donny Gahral Adian, me-nyat akan posit ivisme melembagakan pandangan obj ekt ivist iknya dalam suat u dokt rin kesat uan ilmu (uni f ied science). Dokt rin ini menyat akan bahwa ilmu alam maupun ilmu sosial harus ber-ada di bawah payung (paradigma) posit ivisme. Dokt rin kesat uan ilmu memuat krit eria-krit eria bagi ilmu penget ahuan sebagai berikut .11Per t a-ma, bebas nilai; dalam hal ini penelit i at au pe-ngamat harus bebas dari kepent ingan, nilai dan emosi dalam mengamat i obj eknya agar diper-oleh penget ahuan yang obj ekt if . Kedua, ilmu penget ahuan harus menggunakan met ode veri-f ikasi empirik. Ket i ga, realit as direduksi menj a-di f akt a-f akt a yang dapat a-diamat i.

Fi l saf at Hukum, Jakart a: Grasindo, hl m. 83–84; Made Subaw a, “ Pemikir an Fil saf at Hukum Dal am Membent uk Hukum” , Sar at hi : Kaj i an Teor i Dan Masal ah Sosi al Pol i t i k, Asosiasi Il mu Pol it ik Indonesia Denpasar, Vol . 14 (3), 2007, hl m. 244-245; dan Sewu, P. Lindawat y S, “ Kegunaan Fil saf at Hukum Dal am Mengupas Tunt as Permasal ahan Hukum Kont ekst ual ” , Wacana Par amar t a: Jur nal Il mu Hukum, Fakul t as Hukum Univer si t as Langl angbuana, Vol . 5 No. 1 2006, hl m. 25-38

11 Donny Gahr al Adi an, 2001, Ar us Pemi ki r an Kont

empo-r eempo-r , Jogj akart a: Jal asut r a, hl m. 35-36.

Posit ivisme, merupakan perkembangan lebih lanj ut dari aliran empir i sme12 yang meya-kini bahwa realit as adalah segala sesuat u yang hadir secara kasat mat a. Dengan kat a lain, da-lam empirisme, penget ahuan kit a harus awal dari verif ikasi empirik, lebih lugasnya ber-basis bukt i t erlebih dahulu. Posit ivisme me-ngembangkan paham empirik dengan mengat a-kan bahwa puncak penget ahuan manusia adalah ilmu-ilmu posit if at au sains yait u ilmu-ilmu yang berangkat dari f akt a-f akt a yang t erverif i-kasi dan t erukur secara ket at .13

Mazhab posit ivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari t radisi ilmu alam, yang menempat kan f enomena yang dikaj i sebagai obj ek yang dapat dikont rol, digeneralisir se-hingga gej ala ke depan bisa diramalkan.14 Maz-hab posit ivisme berangkat dari asumsi bahwa ilmu-ilmu alam adalah sat u-sat unya ilmu pe-nget ahuan yang secara universal adalah val i d. Berdasarkan asumsi ini maka walaupun t er-dapat perbedaan ant ara f enomena alam dengan f enomena sosial, dianggap selalu memungkin-kan unt uk mempelaj ari f enomena sosial dengan pendekat an dalam ilmu alam. Adanya dominasi paradigma posit ivisme dalam ilmu penget ahuan alam yang kemudian diadopsi dalam ilmu sosial menimbulkan cara berpikir seolah-olah f enome-na sosial harus dipahami dengan met ode yang impersonal, net ral dan obj ekt if , dan “ rumus” nya dimana-mana selalu sama t idak t ergant ung ruang dan wakt u.

Berdasarkan uraian di at as maka bebera-pa aj aran di dalam f ilsaf at posit ivisme dabebera-pat dipaparkan sebagai berikut . Per t ama, posit ivis-me bert olak dari pandangan bahwa f ilsaf at posit ivisme hanya mendasarkan pada kenyat aan (realit a, f akt a) dan bukt i t erlebih dahulu; ke-dua, posit ivisme t idak akan bersif at met af isik, dan t idak menj elaskan t ent ang esensi; ket i ga, posit ivisme t idak lagi menj elaskan gej ala-gej ala alam sebagai ide abst rak. Gej ala-ala-gej ala alam dit erangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari it u kemudian didapat kan dalil-dalil at au hukum-hukum yang t idak t ergant ung

12 Ibi d, hl m. 30-31.

13 Ibi d.

(7)

dari ruang dan wakt u; keempat, posit ivisme menempat kan f enomena yang dikaj i sebagai obj ek yang dapat digeneralisasi sehingga ke de-pan dapat diramalkan (diprediksi); dan kel i ma, posit ivisme meyakini bahwa suat u realit as (ge-j ala) dapat direduksi men(ge-j adi unsur-unsur yang saling t erkait membent uk sist em yang dapat diamat i.

Posit ivisme yang dikembangkan August e Comt e menj adi dasar cara berpikir Max Weber dalam mengembangkan sosiologi. Pada awal abad XX ilmu sosiologi sangat besar pengaruh-nya dan selalu disempurnakan met ode ilmiah-nya. Met ode pendekat an di dalam sosiologi me-ngadopsi pendekat an-pendekat an ilmu empirik, sehingga sosiologi, walaupun ilmu ini berkait an dengan perilaku manusia, ia t idak dapat mele-paskan diri dari sikap nat uralisme sebagaimana dikembangkan penganut Posit ivisme. Cara ber-pikir sepert i ini t ercermin pada pemikiran-pe-mikiran sosiolog sepert i Max Weber, dan Eugen Erlich. Sosiologi, karena dinilai memiliki mut u ilmiah yang sangat t inggi (sesuai semangat Posit ivisme) maka dianggap dapat memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat . Dalam pada it u, ahli-ahli sosiologi menganggap t anpa bant uan penget ahuan t ent ang masyarakat , ahli-ahli hukum t idak akan dapat membuat per-at uran-perper-at uran yang dapper-at memenuhi t uj uan hukum.15

Bagi Max Weber, hukum merupakan salah sat u unsur yang hidup di dalam masyarakat . Oleh karena it ulah kit a bisa memahami ba-gaimana Max Weber mendef inisikan t ent ang hukum: hukum adalah f akt a-f akt a at au kenya-t aan yang muncul sebagai perkembangan hubu-ngan sebab-akibat . Dehubu-ngan kat a lain, hukum adalah bagian dari gej ala sosial. Pandangan ini j elas berbasis landasan empirik, art inya hukum dilahirkan dari hubungan sebab-akibat . Dengan demikian basisnya adalah adanya realit a t er-lebih dahulu, dan dari realit a it u dapat diverif i-kasi hubungan sebab-akibat yang logis.

15 Sist em pemikiran ahl i sosiol ogi abad XX t erangkum

da-l am sosioda-l ogi hukum. Dada-l am per spekt if sosioda-l ogi, hu-kum merupakan sal ah sat u gej al a di dal am masyar akat , dan hukum dikaj i dari perspekt i f sosiol ogi . Tuj uan sosiol ogi hukum secar a har f i ah adal ah unt uk menj el as-kan masyar akat dengan inst rumen hukum.

Positivisme dalam Aj aran Ilmu Hukum: Tin-j auan Kritis

Aj aran August e Comt e t ernyat a t idak saj a mempengaruhi ahli-ahli sosiologi (sehingga me-reka banyak memberi bant uan makna t ent ang apa yang disebut hukum) t et api j uga mempe-ngaruhi ahli-ahli hukum it u sendiri. Dengan mengadopsi cara berpikir Posit ivisme dari Au-gust e Comt e, maka ahli ahli hukum mengemu-kakan bahwa yang disebut hukum t idak boleh abst rak, hukum harus konkret . Konkret isasi ini dit unj ukkan dengan keharusan bahwa hukum harus t ert ulis.

Salah seorang pemikir hukum penganut posit ivisme, HLA Hart mengat akan oleh karena hukum harus konkret maka harus ada pihak yang menuliskan. Pengert ian ‘ yang menuliskan’ it u menunj uk pengert ian bahwa hukum harus dikeluarkan oleh suat u pribadi (subj ek) yang memang mempunyai ot orit as unt uk menerbit -kan dan menulis-kannya. Ot orit as t ersebut ada-lah negara. Ot orit as negara dit unj ukkan dengan adanya at ribut negara, berupa kedaulat an ne-gara. Berdasarkan kedaulat annya, secara int er-nal negara berwenang unt uk mengeluarkan dan memberlakukan apa yang disebut sebagai hu-kum posit if . Selanj ut nya HLA Hart menyat akan: per t ama, hukum (yang sudah dikonkret isasi da-lam bent uk hukum posit if ) harus mengandung perint ah; dan kedua, t idak selalu harus ada ka-it an ant ara hukum dengan moral dan dibedakan dengan hukum yang seharusnya dicipt akan (t her e i s no necessar y connect i on bet ween l aw and mor al s or l aw as it i s and l aw as i t ought t o be).

(8)

Posit ivisme menj adi pedoman bepikir Hart , t ercermin pula dari aj arannya bahwa:16

“ . . . t he anal ysi s or st udy of l egal concept s i s an i mpor t ant st udy t o be di st i ngui shed f r om hi st or i cal i nqui r i es, soci ologi cal i nquir ies and t he cr i t i cal appr ai sal of l aw i n t er ms or mor al s, soci al s ai ms. . ”

Cara pandang senada j uga dikemukakan oleh t okoh posit ivisme hukum John Aust in (1790-1859) yang menyat akan bahwa norma hu-kum harus memuat : perint ah, kewaj iban dan sanksi. Terkait dengan perint ah (command) ha-rus memenuhi 2 (dua) syarat sebagaimana di-sampaikan John Aust in:17

Commands ar e l aws i f t wo condi t i ons ar e sat i sf ied : f ir st , t hey must be gener al ; second t hey must be commanded by what exi st s i n ever y pol i t i cal societ y, what -ever i t s const i t ut i onal f or m, namel y, a pr eson or a gr oup of per sons aho ar e in r ecei pt of habi t ual obedience f r om most of t he soci et y. . . ”

Terkait dengan wacana realit as obj ekt if , apakah benar kaj ian hukum posit if bisa dipisah-kan dari nilai-nilai t ert ent u sepert i moral? Bu-kankah hukum posit if dibuat dalam t at anan yang t erikat pada ruang dan wakt u, sehingga ada nilai-nilai t ert ent u yang akan mempenga-ruhinya? Bukankah nilai-nilai t ert ent u bahkan kepent ingan-kepent ingan t ert ent u dapat meng-ikat pembuat hukum maupun adressat hukum sehingga harus dikat akan bahwa hukum posit if pun t erbit sebagai produk nilai-nilai t ert ent u?

Telah dikat akan di at as, bahwa salah sat u ciri posit ivisme adalah bersif at reduksionis. Asumsi yang dikembangkan dari reduksionisme

16 Lihat dal am Teguh Praset yo dan Abdul Haki m Barkat ul

-l ah, 2007, Il mu Hukum dan Fi l saf at Hukum, Yogyakart a: Pust aka Pel aj ar, hl m. 97. Bandingkan mengenai persoal an mor al pada Suadamara Ananda, “ Hukum dan Moral i t as” , Jur nal Hukum Pr o Just i t i a, Vol . 24 No. 3 Jul i 2006, hl m. 301-307; dan Fr ans H. Winat a, “ Pencapai an Supremasi Hukum yang Beret ika dan Bermoral ” , Jur nal Hukum Pr o Just i t i a, Tahun XX No. 1 Januar i 2003, hl m. 3-8; dan M. Husni, “ Moral dan Keadil an Sebagai Landasan Penegakan Hukum Yang Responsif ” , Jur nal Equal i t y Fakul t as Hukum Univer-si t as Sumat era Ut ara, Vol . 11 (1) Februari 2006

17 Lihat dal am Davi d Dyzenhaus, Sophi a Rei bet anz

More-au and Art hur Ri pst ein(edit or), 2007, Law and Mor al i -t y: Readi ngs i n Legal Phi l osophy: 3r d edit ion, Toron-t o: Univer siToron-t y of ToronToron-t o Press, hl m. 30-31.

dalam Posit ivisme adalah bahwa keseluruhan obj ek sesungguhnya adalah hasil ‘ penj umlahan’ at au int egrasi dari pemahaman at as bagian-bagian at au unsur-unsur. Cara pandang yang mat emat is dari posit ivisme ini meyakini bahwa unsur-unsur bisa membent uk sat u kesat uan sis-t em. Inilah yang di dalam sosiologi melahirkan t eori st rukt ural-f ungsional sebagaimana di-kemukakan oleh Talcot t Parson.

Pert anyaannya, apakah reduksionisme ini bisa dit erapkan di dalam aj aran hukum? Seba-gai konsekuensi dari diadopsinya Posit ivisme di dalam pengembangan hukum, maka reduksio-nisme j uga dit erima di dalam ilmu yang me-ngembangkan hukum posit if . Oleh karena it ulah kit a bisa melihat upaya-upaya reduksionisme ini dilakukan di dalam ilmu hukum, sebagaimana dilakukan oleh John Aust in, HLA Hart , maupun Hans Kelsen.

Bagaimana reduksionisme ini dilakukan di dalam posit ivisme hukum? John Aust in menya-t akan bahwa ilmu hukum idenmenya-t ik dengan hukum yang berlaku (hukum posit if ) yang harus dit eri-ma t anpa harus memperhat ikan apakah at uran hukum it u baik at au t idak secara moral. Selan-j ut nya ia memaparkan unsur-unsur yang harus t erkandung di dalam suat u at uran hukum. Me-nurut pendapat nya, at uran hukum harus me-muat 3 (t iga) unsur: command (perint ah), sanc-t i on (sanksi) dan dikeluarkan oleh pej abat yang memang berwenang unt uk it u. Kewenangan it u t eref leksikan dalam kedaulat an negara. Penda-pat John Aust in dengan demikian sangat senada dengan HLA Hart , yang mengedepankan aspek kedaulat an negara sebagai at ribut negara yang berimplikasi pada kewenangan bersif at ekst er-nal maupun int erer-nal.

(9)

u-ran-at uran hukum yang memberikan hak dan kewaj iban kepada penguasa negara.18

Selanj ut nya Hans Kelsen, memecah hu-kum (dalam hal ini huhu-kum posit if ) menj adi 2 (dua) bagian bahasan besar : t eori hukum murni dan st uf enbaut heor i e. Kedua bahasan besar t ersebut boleh dikat akan sebagai hasil reduk-sionis oleh Hans Kelsen at as pemahaman hu-kum. Terkait dengan pemikiran Hans Kelsen, beberapa aj arannya yang t erangkum dalam aj aran hukum murni (t he pur e t heor y of l aw) dipaparkan sebagai berikut .

Per t ama, bahwa hukum harus dilepaskan dari moral, pert imbangan-pert imbangan yang abst rak, pert imbangan polit ik, ekonomi dan f akt or di luar hukum lainnya. Tuj uan hukum adalah kepast ian hukum. Begit u kuat nya prinsip ini diaj arkan oleh Hans Kelsen sehingga ia pun sampai pada pendapat bahwa ilmu hukum harus dipisahkan dari ilmu sosial. Seorang ahli hukum harus mempelaj ari hukum lepas dari ilmu-ilmu kemasyarakat an maupun kondisi sosial.

Kedua, hukum harus benar-benar obj ekt if t anpa prasangka. Oleh karena it u Hans Kelsen dalam hal ini berbeda dengan HLA Hart maupun John Aust in. Bagi Hans Kelsen at uran hukum bukanlah hasil dari perint ah penguasa karena penguasa berpot ensi memiliki kepent ingan sub-j ekt if dan bisa memiliki agenda polit ik yang bisa menyebabkan at uran yang dibuat menj adi t idak obj ekt if .

Ket i ga, keadilan adalah persoalan di wila-yah ought t o be (yang seharusnya) bukan i s (yang ada). Dengan demikian bagi Hans Kelsen, keadilan bukan merupakan bagian dari kaj ian ilmu hukum posit if . Keadilan adalah persoalan keharusan (ideal, apa yang seharusnya) t et api bersif at met ayuridis. Keadilan menurut Hans Kelsen merupakan persoalan yang bersif at t idak rasional (dalam t erminologi posit ivisme: penu-lis) yang t idak j elas bat as-bat asnya sehingga t idak dapat menj adi konsep yang memuaskan apabila dikaj i dari apa yang oleh Kelsen disebut aj aran hukum murni.

18 Secondar y r ul es i ni sel anj ut nya dipecah menj adi 3 (t i -ga) bagian yait u : Pert ama, r ul e of change ; Kedua, r ul e of adj udi cat i on ; Ket iga,r ul e of r ecogni t i on.

Berdasarkan uraian reduksionisme dalam ilmu hukum maka ada pert anyaan yang diulang kembali, apakah reduksionisme sesungguhnya bisa dilakukan t erhadap keberadaan suat u at u-ran hukum? Reduksionisme di dalam f ilsaf at po-sit ivisme, berbasis pada keyakinan bahwa obj ek t elaah sesungguhnya t erdiri dari sub-sub obj ek (unsur-unsur) yang membent uk sat u kesat uan yang membent uk obj ek t ersebut . Dari uraian Hart , John Aust in dan Hans Kelsen maka obj ek t elaah kaj ian hukumnya adalah at uran hukum posit if . Pert anyaannya, apakah ket ika hasil pe-cahan-pecahan it u disat ukan akan menghasil-kan at uran hukum sebagai sat u kesat uan sis-t em? Apakah bagian-bagian yang dipecah-pecah (sebagaimana t erlihat pada pendapat Hart , Aust in dan Hans Kelsen) kalau disat ukan kem-bali akan menghasilkan pemahaman yang ut uh t ent ang hukum?

Pert anyaan-pert anyaan ini perlu menda-pat kan j awaban karena berbeda dengan aj aran f ilsaf at posit ivisme, obj ek pengat uran hukum adalah manusia. Memang manusia adalah reali-t as reali-t ereali-t api manusia selalu reali-t erikareali-t pada nilai-nilai t ert ent u, t at anan sosial t ert ent u. Hukum posit if pun di dalam perkembangannya j uga t erikat pada nilai-nilai t ert ent u, bahkan kepent ingan-kepent ingan t ert ent u, karena t erbit nya hukum posit if sesungguhnya j uga merupakan keput us-an polit ik, yus-ang mendasarkus-an pada us-anut us-an nilai-nilai t ert ent u. Dengan menyadari hal -hal sepert i it u maka t idak sert a-mert a reduksio-nisme dapat secara mudah dilakukan dalam kaj ian ilmu hukum.

Ciri posit ivisme berikut nya adalah obj ek-t if aek-t au bebas nilai. Oleh karena iek-t ulah dikaek-t a-kan,19 di dalam (paradigma) posit ivisme ada dikot omi yang t egas ant ara f akt a dengan nilai, dan mengharuskan subj ek penelit i mengambil j arak t erhadap realit as dengan bersikap net ral. Akan t et api perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan f akt or yang mempengaruhinya. Fenomena sosial secara alamiah adalah subj ek-t if dan ek-t idak akan dapaek-t dipahami sebagai se-suat u yang obj ekt if . Secara cukup j elas Sant os20 mengat akan, perilaku manusia t idak akan dapat

19 Donny Gahr al Adian, op. ci t, hl m. 36.

(10)

dideskripsikan dan digambarkan berdasarkan karakt erist ik ekst ernalnya. Karakt erist ik manu-sia, t idak dapat diobj ekt if ikasikan karena t in-dakan yang t ampak (ekst ernal) sama bisa saj a menimbulkan int erpret asi yang beragam. Ilmu-ilmu sosial, dengan demikian akan selalu men-j adi penget ahuan yang submen-j ekt if dan menurut Sant os, di dalamnya harus ada pemahaman si-kap dan art i t indakan.

Hans Kelsen menolak pendapat bahwa hukum (dalam hal ini hukum posit if ) adalah perint ah dari penguasa karena dengan menyan-darkan pada penguasa, hukum akan t erkont a-minasi dengan subj ekt if it as. Realit anya hukum posit if t ent u dikeluarkan oleh penguasa, dan sebagaimana disebut di at as, hukum posit if muncul karena kekuasaan yang menganut nilai-nilai t ert ent u. Bahkan hukum posit if pun bisa memuat hi dden agenda unt uk t uj uan-t uj uan t ert ent u.

Seiring dengan perkembangan ilmu pe-nget ahuan dan eksplorasi t erus-menerus dalam mencari kebenaran ilmiah, maka posit ivisme yang berpij ak pada realit as, obj ekt ivit as, net -ralit as dan menekankan pada f akt a mulai diper-t anyakan keabsahannya kediper-t ika cara berpikir po-sit ivisme harus dit erapkan pada soal-soal ke-masyarakat an.

Penut up Simpulan

Beberapa simpulan yang dapat dit arik da-ri pembahasan di at as adalah sebagai beda-rikut . Per t ama, kaj ian hukum dokt rinal memiliki t ra-disi pemikiran yang bersumber dari f ilsaf at ma-sa Yunani yang kemudian dikembangkan pada era t umbuhnya aj aran hukum alam di Eropa Barat . Tradisi pemikirannya bersumber dari aj aran-aj aran agama dan olah pikir manusia de-ngan rasionalit asnya. Dalam bat as-bat as ini, pemahaman nilai at au aj aran sebenarnya sa-ngat pent ing bagi pengkaj ian hukum dokt rinal. Inilah ciri khas dari hukum dokt rinal, bahwa keberadaannya t idak mendasarkan pada logiko-empirik sebagaimana dikembangkan f ilsaf at Po-sit ivisme, akan t et api pada cara berpikir a pr i o-r i. Cara berpikir a pr ior i t idak menggant ung-kan pada f akt a sosial (empirik) t et ap

mengan-dalkan kekuat an nilai-nilai dan aj aran-aj aran. Perwuj udannya yang sangat khas adalah: f iksi hukum. Aj aran ini dikembangkan j auh sebelum ilmu hukum dikembangkan dalam cara berpikir f ilsaf at posit ivisme. Apabila aj aran hukum dok-t rinal idok-t u dikaj i dalam perspekdok-t if f ilsaf adok-t posidok-t i-visme, maka menj adi bert ent angan karena f il-saf at posit ivisme mengandalkan verif ikasi mela-lui pembukt ian empiris.

Kedua, ilmu hukum yang dikembangkan dengan cara berpikir f ilsaf at posit ivisme me-nyebabkan pengkaj ian ilmu hukum sepert i pengkaj ian pada ilmu-ilmu lain yang dikem-bangkan dalam f ilsaf at posit ivisme berciri logi-ko-empirik, obj ekt if , reduksionis, det erminist ik dan bebas nilai. Ciri bermanf aat unt uk me-ngembangkan ilmu menj adi bersif at ilmiah. Oleh karena it u unt uk mengilmiahkan ilmu hu-kum, maka kaj ian ilmu hukum harus dibebaskan dari unsur-unsur yang bersif at t idak konkrit , t i-dak rasional sepert i moral, kebaikan dan aj ar-an-aj aran t ent ang kebaikan lainnya. Ilmu hu-kum harus didudukkan sepert i ilmu-ilmu dalam kerabat sains; net ral dan bebas nilai.

Ket i ga, ilmu hukum yang dikembangkan dalam t radisi pemikiran posit ivisme dalam be-berapa hal bert ent angan dengan t radisi pemi-kiran hukum dokt rinal yang t umbuh pada masa pra-posit ivisme. Pengkaj ian hukum dalam t radi-si f ilsaf at poradi-sit ivisme, t idak sert a mert a ident ik dengan t radisi pemikiran hukum dokt rinal. Be-berapa prinsip di dalam posit ivisme bahkan ber-t enber-t angan di dalam ilmu hukum dokber-t rinal se-pert i dit unj ukkan dengan adanya aj aran f iksi hukum maupun kepast ian hukum.

Saran

(11)

saj a. Mengeksplorasi nilai f ilsaf at dibalik t erbit -nya suat u at uran menj adi t idak t erelakkan da-lam kaj ian hukum dokt rinal. Diharapkan para pembaca menyadari kembali bahwa ilmu hu-kum dokt rinal sesungguhnya t idaklah mudah. Ia t idak sekedar mengupas at uran-at uran hukum posit if saj a, t et api menukik lebih dalam unt uk menj elaj ah nilai-nilai dan aj aran-aj aran yang menyebabkan kenapa suat u at uran hukum t er-t ener-t u harus diberlakukan.

Semakin disadari bahwa hukum sangat su-lit unt uk dilepaskan dari basis sosialnya. Oleh karena it u t idak dapat dicegah t erj adinya int er-aksi ant ar disiplin dan proses saling memasuki. Inilah yang menj adi landasan penyebut an ilmu hukum yang holist ik. Ilmu hukum yang holist ik t idak bisa bekerj a sendiri dengan memf okus-kan pada perat uran (r ul e) melainkan j uga pada perilaku. Dalam ilmu hukum holist ik, hukum adalah unt uk manusia, dan dari sit u akan me-ngalir pendekat an, f okus st udi, met odologi dan sebagainya. Ilmu hukum yang mengisolasikan diri dari ket erkait annya dengan disiplin ilmu lain akan memiliki penj elasan yang sangat ku-rang.

Daft ar Pust aka

Adian, Donny Gahral. 2001. Ar us Pemi kir an Kont empor er. Jogj akart a: Jalasut ra; Ananda, Suadamara. “ Hukum dan Moralit as” .

Jur nal Hukum Pr o Just i t i a, Vol. 24 No. 3 Juli 2006;

Christ iani, Theresia Anit a. ” St udi Hukum Ber-dasarkan Perkembangan Paradigma Pemi-kiran Hukum Menuj ur Met ode Holist ik” . Jur nal Hukum Pr o Just i t i a, Vol. 26 No. 4 Okt ober 2008;

Dyzenhaus, David. Sophia Reibet anz Moreau and Art hur Ripst ein(eds). 2007. Law and Mor al i t y: Readi ngs i n Legal Phi losophy. 3rd edit ion. Toront o: Universit y of Toront o Press;

Hart ono, Sunaryat i. 1991. Pembi naan Hukum Nasional Dal am Suasana Gl obal i sasi Ma-syar akat Duni a. Pidat o Pengukuhan Jaba-t an Guru Besar Dalam Ilmu Hukum, Bandung: FH UNPAD;

Hingorani. 1984. Moder n Int er nat i onal Law. 2nd edit ion. London: Oceana Publi-cat ions;

Huij bers, Theo. 1980. Fi l saf at Hukum Dal am Li nt asan Sej ar ah. Yogyakart a: Kanisius; Husni, M. “ Moral dan Keadilan Sebagai

Lan-dasan Penegakan Hukum Yang Respon-sif ” . Jur nal Equal i t y, Vol. 11 No. 1 Feb-ruari 2006. FH Univ. Sumat era Ut ara; Indart i, Erlyn. “ Legal Const ruct ivism:

Paradig-ma Baru Pendidikan Dalam Rangka Pem-bangunan Masyarakat Madani” . Maj al ah Il mi ah Masal ah-Masal ah Hukum, Vol. XXX, No. 3, Juli – Sept ember 2001; Kusumohamidj oj o, Budiono. 1999. Ket er t i ban

yang Adi l : Pr obl emat i ka Fi l saf at Hukum. Jakart a: Grasindo;

Morris, Clarence. 1963. The Gr eat Legal Phi l o-sopher s: Select ed Readi ng i n Jur i spr u-dence. Philadelphia: Universit y of Penn-sylvania Press;

Praset yo, Teguh dan Abdul Hakim Barkat ullah, 2007. Il mu Hukum dan Fi l saf at Hukum. Yogyakart a: Pust aka Pelaj ar;

Sant os, Boavent ura De Sousa. 1995. Towar d a New Common Sense: Law, Sci ence and Pol i t i cs i n t he Par adi gmat i c Tr ansi t ion.

London: Rout ledge;

Sewu, P. Lindawat y S. “ Kegunaan Filsaf at Hu-kum Dalam Mengupas Tunt as Permasa-lahan Hukum Kont ekst ual” . Wacana Par a-mar t a: Jur nal Il mu Hukum, Vol. 5 No. 1 2006, FH Univ. Langlangbuana;

Shidart a. ” Filosof i Penalaran Hukum Hakim Konst it usi dalam Masa Transisi Konst it u-sionalit as” . Jur nal Hukum Jent er a, Edisi 11-t ahun III, Januari-Maret 2006;

Subawa, Made. “ Pemikiran Filsaf at Hukum da-lam Membent uk Hukum” . Sar at hi : Kaj i an Teor i Dan Masal ah Sosi al Pol it i k, Vol. 14 No. 3 2007. Asosiasi Ilmu Polit ik Indonesia Denpasar;

Suparlan, Parsudi. “ Paradigma Nat uralist ik da-lam Penelit ian Pendidikan: Pendekat an Kualit at if dan Penggunaannya”. Maj al ah Ant r opol ogi Indonesi a No. 53, Vol. 21 – 1997. FISIP UI Jakart a;

Syamsudin, M. ” Konst ruksi Pola Pikir Hakim da-lam Memut us Perkara Korupsi Berbasis Hukum Progresif ” . Jur nal Di nami ka Hu-kum Vol. 11 No. 1 Januari 2011;

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Abdul Manan, 2005, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada media, Jakarta.. ___________, 2005, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Barisan aritmetika bertingkat adalah barisan bilangan yang tidak memiliki beda tetap, tetapi apabila beda itu dijadikan barisan bilangan, demikian seterusnya maka pada suatu saat

Awang Long Tromol Pos 1, Bontang, Kalimantan Timur 75311. 10 TN

kasus HIV/AIDS tertinggi, dengan proporsi 70% dari seluruh kasus baru HIV.. yang terjadi

Untuk keperluan pembuktian kualifikasi, diharapkan saudara membawa semua data dan informasi yang ASLI atau dokumen yang DILEGALISIR oleh pihak yang berwenang sesuai

Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuan

Kata benda (nomina) adalah kata-kata yang merujuk pada pada bentuk suatu benda, bentuk benda itu sendiri dapat bersifat abstrak ataupun konkret.dalam bahasa Indonesia kata benda