• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Risiko terjadinya harm pada praktik kesehatan adalah fakta yang disadari sejak dahulu, ketika praktik kedokteran belum serumit dan seluas saat ini. Hippocrates (460–335 SM) mengingatkan dengan ungkapannya yang terkenal “first, do no harm”. Pada tahun 1999, publik Amerika kembali diingatkan tentang risiko KTD dengan terbitnya buku berjudul To Err Is Human: Building A Safer Health System dari Institute Of Medicine (IOM). Buku ini menampilkan suatu data yang menyebutkan bahwa setiap tahun antara 44.000 – 98.000 orang meninggal dunia akibat kesalahan medis di rumah sakit di Amerika, sekitar 50% diantaranya dapat dicegah (Cahyono, 2008).

Pelayanan kesehatan berisiko bagi pasien, survey menunjukkan bahwa satu diantara sepuluh orang yang dirawat di rumah sakit mengalami insiden keselamatan pasien (Healy & Dugdale 2009; Vincent 2010). Studi di beberapa tempat menunjukkan hasil serupa. Di London, suatu studi retrospektif pada 1014 rekam medis menunjukkan adanya insiden keselamatan pasien pada 10,8% rekam medis (sekitar 50% diantaranya dapat dicegah dan sepertiganya menyebabkan cacat serta kematian (Vincent et al., 2001). Studi di Kanada (2004) menemukan adanya insiden keselamatan pasien sebesar 7,5% per 100 admisi, 39,6% diantaranya dapat dicegah dan 20,8% menyebabkan kematian (Baker et al., 2004).

Insiden keselamatan pasien di negara berkembang lebih serius daripada di negara industri. Tahun 2006 dilakukan studi oleh the World Health Organisation (WHO), Eastern Mediterranean and African Regions (EMRO and AFRO), dan WHO Patient safety di 8 negara berkembang. Hasilnya insiden keselamatan pasien terjadi pada 2,5%-18,4% dari 15.548 rekam medis di 26 rumah sakit, 83% diantaranya dapat dicegah, 30% berhubungan dengan kematian pasien dan 34% berkaitan dengan kesalahan terapeutik pada situasi klinik yang relatif tidak komplek (Wilson et al., 2012). WHO melaporkan studi pada 58 rumah sakit di Argentina, Colombia, Costa Rica, Mexico and Peru oleh IBEAS (The Latin

(2)

2 American Study of Adverse Events) dan melibatkan 11.379 pasien rawat inap. Hasilnya 10% admisi mengalami insiden keselamatan pasien akibat pelayanan kesehatan. Risiko meningkat dua kali lipat ketika durasi rawat inap dipertimbangkan (WHO, 2011). Di Indonesia, meskipun publikasi tentang malpraktik cukup sering muncul di media massa, namun data resmi insiden keselamatan pasien masih jarang ditemui. Penelitian pertama tentang keselamatan pasien di Indonesia dilakukan di 15 rumah sakit dengan 4500 rekam medik. Hasilnya menunjukkan angka insiden keselamatan pasien berkisar antara 8,0%-98,2% untuk kesalahan diagnosis dan 4,1%-91,6% untuk kesalahan pengobatan (Utarini et al., 2000 cit. Utarini, 2012).

Healy & Dugdale (2009) berpendapat bahwa angka insiden keselamatan pasien yang cukup tinggi tidak serta merta menunjukkan bahwa dokter dan perawat saat ini membuat lebih banyak kesalahan di banding di masa lalu, namun karena peluang terjadinya kesalahan yang semakin besar. Teknologi kedokteran dari hari ke hari semakin disempurnakan, menjadikan prosedur pelayanan kesehatan sesuatu yang kompleks. Di satu sisi hal ini membuat pelayanan pada pasien menjadi lebih efektif, nyaman, dan cepat, namun di sisi lain kompleksitas praktik kedokteran ini memiliki risiko terjadinya insiden keselamatan pasien dan kesalahan medis. Menurut Berwick (2002) keberagaman, kompleksitas dan rutinitas pelayanan di rumah sakit apabila tidak dikelola dengan baik, sangat mungkin menyebabkan terjadinya insiden keselamatan pasien. Rumah sakit merupakan suatu sistem dengan elemen-elemen dan saling ketergantungan yang sangat kompleks, melibatkan orang, departemen, kebiasaan, aturan, peralatan, hierarki, sosiologi, pasien dengan variasi kebutuhan, perkembangan teknologi, medikasi dan lain lain.

Insiden keselamatan pasien menimbulkan banyak kerugian bagi pasien dan keluarga, rumah sakit, tenaga kesehatan serta pemerintah. Dampak yang ditimbulkan meliputi aspek fisik, psikis, sosial dan ekonomi. Dampak langsung diterima pasien berupa rawat inap lebih lama, cedera, gangguan fungsi tubuh, kecacatan dan kematian. Bagi keluarga dan tenaga kesehatan insiden keselamatan pasien memiliki potensi memicu stress, dari aspek ekonomi menyebabkan biaya

(3)

3 pelayanan kesehatan lebih tinggi. Beberapa studi mengestimasi peningkatan biaya rumah sakit lebih dari 15% akibat insiden keselamatan pasien, sebagian besar karena pasien dirawat lebih lama (Healy & Dugdale, 2009). Laporan lain menyebutkan bahwa insiden keselamatan pasien meningkatkan sekitar 2% pengeluaran kesehatan dan 30% anggaran rumah sakit (Healy, 2011). Secara Nasional Amerika Serikat kehilangan 37,6 miliar dolar setiap tahun akibat insiden keselamatan pasien (Mc Neil, 2002 cit. Cahyono, 2008).

Upaya mengurangi insiden keselamatan pasien dilaksanakan secara global melalui gerakan keselamatan pasien. Lima tahun setelah laporan IOM, ketika keselamatan pasien telah menjadi salah satu prioritas utama pelayanan kesehatan dan diupayakan secara ekstensif dari tingkat global sampai sistem mikro, pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar keberhasilannya. Beberapa ahli berpendapat bahwa kemajuan yang dicapai relatif lambat, meskipun demikian ada beberapa perubahan yang patut disyukuri, yaitu kesadaran global akan arti dan pentingnya gerakan keselamatan pasien (Longo et al., 2005; Leape & Berwick 2005; Cahyono, 2008). Satu dekade setelah laporan IOM tahun 1999 (Shekelle et al., 2011) dan (Leape et al,. 2009) berpendapat bahwa kemajuan implementasi keselamatan pasienmasih lambat dan membuat frustrasi.

Studi tentang penerapan keselamatan pasien di North California, hasilnya menunjukkan bahwa insiden keselamatan pasien masih terjadi pada 25,15% admisi, 63% diantaranya dapat dicegah. Diketahui pula bahwa tidak ada perubahan insiden keselamatan pasien yang signifikan (Landrigan et al., 2010). Studi tentang penerapan keselamatan pasien di Indonesia mulai banyak dilakukan pada skala daerah dan di rumah sakit. Salah satu contoh adalah Survey Kesehatan Daerah (Surkesdas) oleh Dinas Kesehatan Provinsi DIY bekerjasama dengan Badan Mutu Pelayanan Kesehatan Yogyakarta (BMPK) pada tahun 2011 di 21 rumah sakit (umum dan khusus), 30 puskesmas, 11 BP/RB, 20 apotek, 10 laboratorium dan 29 praktik mandiri. Pada aspek keselamatan pasien rumah sakit, survey menunjukkan hasil yang variatif. Di rumah sakit kelas B tingkat penerapan criteria keselamatan pasien sekitar 30% sampai mendekati 50%

(4)

4 (kecuali peresepan elektronik 2%), dan di rumah sakit kelas C dibawah 5% sampai sekitar 30% (Dinkes Provinsi DIY, 2012).

Implementasi keselamatan pasien yang bervariasi, tidak konsisten dan lambat meskipun berbagai upaya sudah dilakukan menurut (Leape et al. 2009) diakibatkan oleh ketiadaan persistence of medical ethos, institusionalisasi dalam struktur hierarki pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan, teamwork yang kurang bersemangat, kurangnya transparansi serta sistem yang merusak akuntabilitas pelayanan yang aman.

Perbaikan mutu pelayanan kesehatan menurut Berwick (2002), dilakukan dengan sinergi 4 tingkat pelayanan kesehatan. Tingkat pertama pengalaman pasien dan masyarakat, kedua sistem mikro, ketiga sistem organisasi pelayanan kesehatan, dan terakhir lingkungan luar. Lingkungan luar yang berfungsi sebagai fasilitator dari sistem organisasi pelayanan kesehatan menciptakan dan mendukung melalui kebijakan, sistem pembiayaan kesehatan, regulasi, dan akreditasi. Pada program keselamatan pasien, Shekelle et al. (2011) berpendapat bahwa keberhasilan implementasi keselamatan pasien dipengaruhi oleh konteks. Konteks merupakan karakteristik organisasi dan lingkungan yang berpengaruh dalam implementasi dan efektifitas praktik keselamatan pasien. Lebih lanjut dikatakan bahwa mungkin saja pengaruh konteks yang menjadi alasan mengapa intervensi yang sama menghasilkan outcome berbeda ketika diterapkan pada konteks berbeda.

Lingkungan eksternal berperan dalam keberhasilan keselamatan pasien, untuk itu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia membentuk badan penanggung jawab gerakan keselamatan pasien. Badan-badan tersebut menjadi katalisator yang berperan dalam pengembangan kebijakan baru, infrastruktur nasional, sistem informasi kinerja, mekanisme untuk penilaian kinerja, sistem untuk memastikan kepatuhan terhadap standar dan pembiayaan kesehatan (Mcloughlin et al., 2001). Studi di Amerika Serikat tahun 2003 menunjukkan beberapa organisasi memiliki pengaruh dalam penerapan keselamatan pasien di rumah sakit (Devers et al., 2004). Di Indonesia tahun 2005 dibentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) sebagai fasilitator implementasi keselamatan pasien. Langkah ini

(5)

5 diikuti dengan memasukkan keselamatan pasien sebagai salah satu aspek yang dinilai pada akeditasi rumah sakit, membuat pedoman, standar dan peraturan.

Sejalan dengan pendapat Shekelle et al. (2011) bahwa keberhasilan implementasi keselamatan pasien dipengaruhi oleh karakteristik organisasi dan pengaruh lingkungan, regulasi diduga dapat menjadi salah satu strategi untuk mendorong implementasi keselamatan pasien di rumah sakit (Wachter, 2004; Devers et al. 2004; Healy & Dugdale, 2009; Landrigan et al., 2010). Regulasi terhadap sarana kesehatan dilakukan untuk mengendalikan dan menyempurnakan kinerja dan mutu. Mekanismenya adalah melalui regulasi internal dan eksternal. (Koentjoro, 2011). Regulasi eksternal berbasis pada peraturan yang ditetapkan regulator dan upaya organisasi mematuhi peraturan tersebut, sedangkan regulasi internal adalah tata kelola organisasi secara hierarkal dalam mengatur dan mengelola kinerja (Lewis, Alvares-Rosete, Mays, 2006 cit. Koentjoro, 2011).

Regulasi kesehatan oleh pemerintah di Indonesia secara umum masih lemah. Studi di Kabupaten Pontianak, Kota Pontianak, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa belum semua dinas kesehatan mampu berfungsi sebagai regulator bagi rumah sakit di daerah. Kendala yang dihadapi terutama terkait dengan sumber daya manusia (Pratiwi, 2006). Oleh karena itu regulasi keselamatan pasien membutuhkan dukungan dari berbagai pihak lain yang berkepentingan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, institusi yang diharapkan berperan serta dalam gerakan keselamatan pasienadalah Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (pasal 3; ayat 5 dan 6), asosiasi perumahsakitan serta organisasi profesi kesehatan (pasal 10), Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten Kota, serta Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota (pasal 15) (Kemenkes, 2011).

Regulasi internal keselamatan pasien seharusnya memperlihatkan bagaimana rumah sakit secara hierarkal mengatur dan mengelola kinerjanya terkait keselamatan pasien. Studi menunjukkan bahwa pengaturan dan pengelolaan keselamatan pasien oleh rumah sakit relatif belum sesuai harapan. Nasution (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa beberapa aspek

(6)

6 implementasi keselamatan pasien di rumah sakit di DIY masih lemah, yaitu pada pembahasan keselamatan pasien dalam rapat dewan pengawas rumah sakit (25%), tujuan dan misi tertulis aspek keselamatan pasien (8,3%), serta menggunakan sistem peresepan elektronik (16,7%).

Menurut Nandraj et al. (2001), di negara berkembang, akreditasi direkomendasikan sebagai mekanisme regulasi untuk menjamin kualitas pelayanan kesehatan. Studi menunjukkan bahwa akreditasi secara signifikan meningkatkan outcome klinik dan mutu pelayanan rumah sakit (Alkhenizan & Shaw, 2011). Di Indonesia, akreditasi rumah sakit dilaksanakan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang misinya antara lain menjadikan rumah sakit bermutu, pelayanan berfokus pada pasien serta memiliki standar internasional melalui akreditasi (KARS, 2012). Jumlah rumah sakit yang teregistrasi saat ini adalah 1.961 rumah sakit (Kemenkes, 2012). Rumah sakit yang terakreditasi sebanyak 923 rumah sakit (47,06%) (KARS, 2012). Dengan demikian dapat diartikan bahwa masih diperlukan waktu yang panjang untuk memastikan seluruh rumah sakit di Indonesia memberikan pelayanan bermutu dan berfokus pada pasien.

Dari studi dan pendapat ahli, dapat disimpulkan bahwa penerapan keselamatan pasien di tingkat global, nasional dan daerah masih variatif. Belum banyak keberhasilan yang mampu dicapai serta masih terdapat beberapa hambatan meskipun terdapat banyak pihak yang berpotensi menjadi fasilitator. Keberhasilan penerapan keselamatan pasien dipengaruhi oleh konteks, yaitu karakteristik organisasi dan pengaruh dari lingkungan eksternal. Lingkungan luar seperti regulasi eksternal dan tuntutan penerapan mutu merupakan salah satu faktor yang diduga cukup berpengaruh untuk mendorong implementasi keselamatan pasien di rumah sakit, apalagi diketahui regulasi internal rumah sakit relatif belum sesuai harapan.

(7)

7 B. Perumusan Masalah

Insiden keselamatan pasien di rumah sakit merupakan masalah kesehatan yang serius dan bersifat global. Disatu sisi regulasi merupakan salah satu faktor yang potensial untuk mendorong rumah sakit mengimplementasikan keselamatan pasien. Namun bukti menunjukkan bahwa penerapan regulasi internal terkait keselamatan pasien relatif lemah dilaksanakan oleh rumah sakit. Oleh karena itu perumusan masalah penelitian ini adalah, bagaimana regulasi eksternal keselamatan pasien di rumah sakit Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi regulasi keselamatan pasien di rumah sakit DIY.

2. Mengidentifikasi pemangku kepentingan dan perannya dalam regulasi keselamatan pasien di rumah sakit DIY.

3. Mengidentifikasi hambatan dalam implementasi regulasi keselamatan pasien di rumah sakit DIY.

4. Mengeksplorasi harapan pemangku kepentingan dalam regulasi keselamatan pasien di rumah sakit DIY.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk:

1. Memberikan bahan kajian bagi perumusan dan atau perbaikan regulasi eksternal keselamatan pasien di rumah sakit DIY.

2. Mensinergikan peran berbagai aktor regulasi untuk mendorong implementasi keselamatan pasien di rumah sakit DIY.

3. Memberikan bukti-bukti bagi pengembangan teori tentang peran regulasi eksternal dalam implementasi keselamatan pasien di rumah sakit.

E. Keaslian Penelitian

(8)

8 Tabel 1 Penelitian dengan Topik Regulasi Keselamatan pasien

No. Judul

Peneliti (tahun)

Metode dan sampel Hasil 1. What Is Driving Hospitals’ Keselamatan pasien Efforts? Devers et al., (2004) Kualitatif 3-4 RS besar di 12 area metropolitan USA

- Organisasi yang memiliki pengaruh paling besar dalam implementasi keselamatan pasien adalah badan akreditasi /JCHO - Ada 14 organisasi lain

yang mempengaruhi RS dalam implementasi keselamatan pasien - Teridentifikasi hambatan penerapan keselamatan pasien 2. A Stakeholder Approach Towards Hospital Accreditation in India Sunil et al., (2001) Mix method kuantitatif -kualitatif Pemilik/administrator 1157 rumah sakit swasta di Mumbai

- Peran badan akreditasi - Dimensi kualitas

akreditasi

- Fungsi badan akreditasi

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Devers et al., (2004), yang pertama adalah pada sampel penelitian. Sampel penelitian Devers et al., (2004) diambil secara initially selected at random meliputi pimpinan dari 3 sampai 4 rumah sakit besar di tiap wilayah kota metropolitan di USA, yang terdiri dari Chief Executive Officer (CEO), penanggungjawab atau orang yang paling mengetahui tentang kebijakan keselamatan pasien rumah sakit (seperti kepala pelayanan medik), direktur pelayanan umum, karyawan rumah sakit, brokers, perencana kesehatan dan kelompok medis. Pada penelitian ini sampel penelitian diambil dengan purposive sampling method, yang meliputi direktur rumah sakit umum (RSU) dan rumah sakit khusus (RSK), organisasi profesi kesehatan, Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, Dinkes Kabupaten/Kota di DIY, Biro Hukum Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, Badan Mutu Pelayanan Kesehatan (BMPK) DIY, Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) DIY, Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY.

(9)

9 Perbedaan berikutnya adalah pada tujuan penelitian. Tujuan penelitian Devers et al., (2004) adalah mendeskripsikan sistem dan inisiatif keselamatan pasien rumah sakit, kemajuan implementasi keselamatan pasien rumah sakit, serta peran profesionalisme, regulasi dan pasar dalam mendorong kemajuan implermentasi keselamatan pasien. Pada penelitian ini tujuan penelitian adalah mengidentifikasi regulasi eksternal implementasi keselamatan pasien di rumah sakit, mengidentifikasi pemangku kepentingan dan perannya dalam regulasi eksternal implementasi keselamatan pasien di rumah sakit, mengidentifikasi hambatan dalam implementasi regulasi eksternal keselamatan pasien di rumah sakit serta mengeksplorasi harapan pemangku kepentingan dalam regulasi eksternal implementasi keselamatan pasien di rumah sakit di wilayah DIY.

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian Devers et al., (2004) dan penelitian ini adalah sama-sama dengan metode penelitian kualitatif. Pada penelitian Devers et al., (2004) cara pengumpulan data dilakukan melalui semistructured interviews, kemudian data dianalisis dengan Atlas, a qualitative data analysis software program. Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi, wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah.

Perbedaan penelitian Sunil et al., (2001) dengan penelitian ini adalah pada sampel penelitian. Sampel penelitian Sunil et al., (2001) meliputi pemilik atau administrator pada 1157 rumah sakit swasta yang diambil dari daftar milik otoritas kota Mumbai, asosiasi profesi, dan daftar telepon, serta presiden atau sekretaris dari 8 asosiasi profesi. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk memperoleh pendapat stakeholder tentang akreditasi rumah sakit dan apa dimensi kualitas akreditasi yang akan diterapkan. Metode penelitian yang digunakan adalah survey dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan wawancara semi terstruktur.

Referensi

Dokumen terkait

GAMA JAYA Kudus ” ini pada dasarnya disusun untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Komputer pada Program Studi Sistem Informasi Fakultas

Muna mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk pelaksanaan kegiatan tahun anggaran2ol2,seperti tersebut dibawah ini:.. , 31 Maret

Menurut Andang (2014:55) kemampuan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah adalah kemampuan kepribadian, manajerial, supervisi, kewirausahaan dan sosial.

Nilai IC50 yang terendah adalah ekstrak daun mimba dengan pelarut methanol dengan konsentreasi 80%. Perbedaan nilai IC50 ini dapat disebabkan oleh jumlah antioksidan

Menyerahkan laporan hasil evaluasi dari laporan bulanan keadaan perkara pengadilan negeri se wilayah hukum Pengadilan Tinggi Palembang ke Bagian Umum untuk dikirim kepada

3.3 cacat sangat kecil cacat yang tidak mempengaruhi mutu dan penampilan buah secara umum 3.4 cacat kecil cacat yang sedikit mempengaruhi mutu dan penampilan buah secara umum

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan variabel inovasi dan pengambilan resiko mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap komitmen pegawai, variabel perhatian pada

Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi BAP 1 ppm + IAA 3 ppm memberikan pengaruh lebih baik pada diameter batang planlet pisang raja bulu dibandingkan dengan penelitian sebelumnya