• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN PETANI DALAM PEMILIHAN JENIS TANAMAN BAWAH PADA KEBUN CAMPURAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN PETANI DALAM PEMILIHAN JENIS TANAMAN BAWAH PADA KEBUN CAMPURAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

(Analysis of Farmers Decision Making in Selecting Understorey Species in Mixed Garden)

Idin Saepudin Ruhimat

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866 Email : idintea@yahoo.co.id

Diterima 24 November 2020, Direvisi 21 Desember 2020, Disetujui 23 Desember 2020

ABSTRACT

This study aims to analyze farmers' decision making in selecting understorey types in the sengon-based mixed garden. The research was conducted in Majenang District, Cilacap Regency, Central Java. Data were analyzed descriptively using Gladwin's real-life choice theory approach. The results of the study are as follows. First, thirteen main root crops make up the sengon-based mixed garden, namely: coffee, cocoa, cloves, coconut, petai, nutmeg, pepper, rubber, dukuh, pisitan, rambutan, soursop, and guava, as well as seven types of secondary root crops, namely: cardamom, cayenne pepper, banana, ginger, turmeric, cassava, and galangal. Second, the lower crops chosen by farmers based on five aspects of decision making were nutmeg and pepper for the main understorey, and cardamom and ginger for secondary understorey. Therefore, the lower plants that need to get priority to be cultivated in the development of mixed gardens in Majenang District, Cilacap Regency are nutmeg, pepper, cardamom and or ginger. The central and local governments need to facilitate the development of these mixed gardens.

Key words: decision making, species selection, mixed garden

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengambilan keputusan petani dalam pemilihan jenis tanaman bawah pada kebun campuran berbasis sengon. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Data dianalisis secara deskriptif menggunakan pendekatan teori real-life choice Gladwin. Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, ada tiga belas jenis tanaman bawah utama penyusun kebun campuran berbasis sengon, yaitu: kopi, kakao, cengkeh, kelapa, petai, pala, lada, karet, dukuh, pisitan, rambutan, sirsak dan jambu biji, serta tujuh jenis tanaman bawah sekunder, yaitu: kapulaga, cabe rawit, pisang, jahe, kunyit, singkong dan lengkuas. Kedua, tanaman bawah yang dipilih petani berdasarkan lima aspek pengambilan keputusan adalah pala dan lada untuk tanaman bawah utama, serta kapulaga dan jahe untuk tanaman bawah sekunder. Oleh karena itu, tanaman bawah yang perlu mendapat prioritas untuk dibudidayakan dalam pengembangan kebun campuran di Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap adalah pala, lada, kapulaga dan atau jahe. Pemerintah pusat dan daerah perlu memfasilitasi pengembangan kebun campuran tersebut.

Kata kunci: pengambilan keputusan, pemilihan jenis, kebun campuran

I. PENDAHULUAN

Agroforestry merupakan sebuah nama kolekif sistem pengelolaan lahan yang mengintegrasikan tanaman berkayu dengan tanaman pertanian dan atau ternak dalam satu unit lahan sehingga terjadi interaksi ekologi dan ekonomi di antara semua penyusunnya

(Santoro et al., 2020). Pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestry dapat mengoptimalkan manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi lahan secara berkelanjutan (Murthy et al., 2017; Saha et al., 2018; Pasaribu et al., 2019; Saputro et al., 2020). Secara ekonomi, agroforestry bermanfaat untuk meningkatkan persediaan bahan pangan

(2)

112 dan energi untuk manusia, meningkatkan

pendapatan petani, meningkatkan

produktivitas lahan, menumbuhkan ekonomi kreatif masyarakat, mendukung pemenuhan masyarakat terhadap sandang, pangan, dan papan serta memenuhi kebutuhan berjenjang petani (Alao & Shuaibu, 2013; Olivi et al., 2015; Pasaribu et al., 2019; Sobolo et al., 2015). Secara sosial, agroforestry bermanfaat dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru, mengurangi tingkat pengangguran, menurunkan tingkat urbanisasi dari desa ke kota, dan mengurangi tekanan penduduk terhadap hutan alam (Bijarpas & Linaei, 2015; Wahyuningsih & Astuti, 2015). Secara ekologi, penerapan sistem agroforestry dapat menurunkan tingkat erosi tanah, memperbaiki tingkat kesuburan tanah, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan siklus hara (Hadi et al., 2016).

Besarnya manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi dari penggunaan sistem agroforestry dalam pemanfaatan lahan telah mendorong berbagai daerah di Indonesia untuk

mengembangkan usahatani sistem

agroforestry (Rohadi et al., 2013). Kecamatan Majenang merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Tengah yang menggunakan sistem agroforestry sebagai sistem pemanfaatan lahan yang berkelanjutan (Kuswantoro et al., 2014).

Berdasarkan jenis tanaman

penyusunannya, sistem agroforestry yang berkembang di Kecamatan Majenang termasuk ke dalam sistem agroforestry kompleks berbentuk kebun campuran. Sistem agroforestry kebun campuran didefiniskan sebagai sistem agroforestry yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan yang dikombinasikan dengan tanaman semusim dalam satu bidang lahan (Budiningsih, 2008; Supriyatna, 2007). Tanaman penyusun kebun campuran di Kecamatan Majenang dapat digolongkan menjadi tanaman pokok (tanaman kehutanan/pohon), tanaman bawah utama (tanaman perkebunan dan buah-buahan), dan tanaman bawah sekunder (tanaman semusim dan tahunan)

Pemilihan jenis tanaman bawah merupakan salah satu faktor penting dalam usahatani agroforestry. Hal ini dikarenakan penentuan jenis tanaman merupakan langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan program usahatani (Herawati, 2001). Penentuan tanaman yang akan diusahakan harus dapat diterima secara sosial, menguntungkan secara ekonomi, dan memberikan perlindungan terhadap lingkungan secara ekologi. Oleh karena itu, pemilihan jenis tanaman penyusun agroforestry, termasuk tanaman bawah, harus mempertimbangkan keinginan petani yang akan melakukan usahatani sehingga petani akan mengoptimalkan segala sumberdaya yang dimilikinya untuk keberhasilan usahatani tersebut.

Pada umumnya, penentuan jenis tanaman pada berbagai program pemerintah dilakukan secara top down sehingga berpotensi menjadi salah satu permasalahan utama dalam pengembangan usahatani agroforestry. Hal ini akan berakibat kepada rendahnya semangat petani untuk merawat tanaman, rasa memiliki terhadap tanaman, dan alokasi sumberdaya milik petani (modal, tenaga, pikiran) untuk pengelolaan tanaman sehingga akan mengurangi tingkat keberhasilan pengembangan agroforestry di lahan milik masyarakat (Kuswantoro et al., 2014). Oleh karena itu, pengembangan usahatani agroforestry, kebun campuran, yang mengakomodir keputusan petani dalam penentuan jenis tanaman penyusun agroforestry diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan sosial dalam pengembangan agroforestry di Kecamatan Majenang.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pengambilan keputusan petani dalam pemilihan jenis tanaman bawah kebun campuran di lahan milik masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan daerah dalam mengambil kebijakan

(3)

113

penentuan jenis tanaman dalam

pengembangan agroforestry.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dari bulan Oktober 2014 sampai dengan Maret 2015. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan kepada pertimbangan bahwa Kecamatan Majenang merupakan salah satu lokasi pengembangan hutan rakyat pola agroforestry di Kabupaten Cilacap (Kuswantoro et al., 2014).

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini terdiri dari rumah tangga petani yang bertempat tinggal di Kecamatan Majenang dan menggunakan sistem agroforestry berbasis sengon di lahan miliknya. Adapun yang dijadikan sebagai unit analisis adalah kepala keluarga rumah tangga petani.

Sampel dalam penelitian ini merupakan kepala keluarga yang bermata pencaharian utama sebagai petani yang menggunakan sistem agroforestry berbasis sengon pada sebagian atau keseluruhan lahan miliknya. Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap (multistage sampling) dengan tahapan sebagai berikut (1) pemilihan desa-desa yang dijadikan lokasi penelitian dengan kriteria memiliki petani yang memanfaatkan sebagian atau seluruh lahan miliknya dengan sistem agroforestry

berbasis sengon; (2) penentuan jumlah petani yang akan dijadikan sebagai sampel penelitian dengan menggunakan rumus Taro Yamane seperti yang disampaikan oleh Riduwan (2004) sebagai berikut: 1 . 2   d N N n Keterangan:

n = jumlah total sampel penelitian N= jumlah individu dalam populasi d = presisi (untuk penelitian sosial sebesar 0,1)

Berdasarkan rumus Taro Yamane tersebut, maka jumlah sampel penelitian yang digunakan adalah 64 orang. Angka tersebut dihitung dengan memasukkan jumlah total petani yang menggunakan sistem agroforestry berbasis sengon pada sebagian atau keseluruhan lahan miliknya yaitu sebanyak 180 orang (N) pada tingkat presisi 0,1 (d); dan (3) pemilihan responden penelitian dengan menggunakan teknik pengambilan sampel acak tidak berimbang (unproporsionate random sampling) yaitu memilih responden pada desa terpilih secara acak dengan jumlah responden setiap desa ditentukan sebanyak 8 orang. Jumlah responden per desa ditetapkan dengan membagi rata total sampel penelitian (64 orang) ke delapan desa terpilih. Sebaran jumlah responden per desa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran jumlah responden pada setiap desa terpilih

Table 1. The number of respondent distribution in each selected village

No. Nama Desa (Village name) Jumlah responden (Number of respondents)

1 Desa Bener (Bener village) 8

2 Desa Cibeunying (Cibeunying village) 8

3 Desa Pangadegan (Pangadegan village) 8

4 Desa Sadabumi (Sadabumi village) 8

5 Desa Sadahayu (Sadahayu village) 8

6 Desa Salem (Salem village) 8

(4)

114

No. Nama Desa (Village name) Jumlah responden (Number of respondents)

8 Desa Ujungbarang (Ujungbarang village) 8

Jumlah (Total) 64

Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2015

C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur dan studi dokumentasi dari berbagai data yang diterbitkan oleh instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Majenang, pemerintahan desa di wilayah Kecamatan Majenang, Pemerintahan Kecamatan Majenang, dan sebagainya. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan oberservasi (pengamatan langsung) di lokasi penelitian.

Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan teori real-life choice yang dikemukakan oleh Gladwind. Analisis data dengan pendekatan teori real-life choice dilakukan untuk mengetahui dan menguraikan proses pengambilan keputusan oleh petani dalam pemilihan jenis tanaman yang akan

diusahakan (Febryano et al., 2009). Analisis proses pengambilan keputusan petani dalam penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap identifikasi (identification) untuk mengidentifikasi berbagai tanaman bawah penyusun kebun campuran, tahap eliminasi jenis (elimination by aspect) untuk mengeliminasi beberapa alternatif jenis tanaman dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang telah ditetapkan (A) dan tahap ketiga sebagai tahap inti keputusan (the essence of decision) untuk membandingkan dua jenis tanaman bawah utama penyusun kebun campuran berdasarkan hasil eliminasi aspek (elimination of aspect) (B). Pada tahap ketiga, dilakukan juga analisis pemilihan jenis

tanaman bawah sekunder dengan

menggunakan beberapa aspek yang telah ditetapkan (C). Tahapan analisis dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan analisis data

(5)

115 Pada tahap pertama, identifikasi dilakukan untuk semua jenis tanaman bawah penyusun kebun campuran berbasis sengon yang terdiri dari tanaman bawah utama dan tanam bawah sekunder yang telah atau sedang ditanam petani. Masing-masing jenis tersebut didaftar untuk selanjutnya dilakukan eliminasi berdasarkan aspek-aspek dalam teori Real-life Choice Gladwin yang telah disesuaikan dengan aspek yang ditetapkan bersama oleh responden. Analisis elimininasi jenis tanaman bawah utama dilakukan dengan memasukan masing-masing jenis tanaman ke dalam diagram pertanyaan berurutan seperti

disajikan dalam Gambar 2. Hasil analisis direkapitulasi dalam bentuk tabel untuk selanjutnya dipilih dua jenis tanaman yang memiliki nilai terbesar ketika sampai di pertanyaan terakhir. Analisis pada tahap dua juga dilakukan untuk analisis pemilihan jenis tanaman bawah sekunder.

Tahap ketiga merupakan tahap intisari dalam analisis keputusan real-life choice Gladwin. Pada analisis tahap ketiga ini petani menentukan kombinasi tanaman pokok (sengon) dengan tanaman bawah berdasarkan hasil analisis tahap kedua dan hasil eliminasi

jenis tanaman bawah sekunder.

Gambar 2. Tahapan eliminasi jenis tanaman bawah

Figure 2. Stage of understorey species elimination

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Komposisi Jenis Tanaman Kebun

Campuran

Secara umum, sistem agroforestry yang diterapkan masyarakat di Kecamatan Majenang merupakan sistem agroforestry kebun campuran yaitu sistem agroforestry

(6)

116 yang terdiri dari berbagai jenis tanaman penyusun baik tanaman perkebunan, tanaman kehutanan dan sebagainya (Ruhimat.I.S., 2016). Hal ini sejalan dengan penelitian Kuswantoro et al. (2014) yang menyebutkan sebagian besar kebun campuran di lahan masyarakat yang berada di Kecamatan Majenang menggunakan tanaman sengon sebagai tanaman pokok.

Petani agroforestry membagi jenis tanaman penyusun kebun campuran menjadi tanaman pokok untuk jenis tanaman kayu yang jumlahnya dominan, tanaman bawah utama untuk jenis tanaman perkebunan atau buah-buahan dan tanaman bawah sekunder untuk jenis tanaman lainnya. Adapun beberapa jenis tanaman bawah penyusun kebun campuran berbasis sengon yang ditemukan pada lahan milik responden di lokasi penelitian terdiri dari:

a. Tanaman bawah utama seperti kopi (Coffea spp), kakao (Theobroma cacao), cengkeh (Syzygium aromaticum), kelapa (Cocoa nucifera), petai (Parkia speciosa), pala (Mylistica fragranes), lada (Piper nigrum), karet (Hevea braziliensis), dukuh (Lancium domesticum var ducu), pisitan (Lancium domesticum var typica), rambutan (Nephelium lappaceum), sirsak (Annona muricata L), jambu biji (Psidium guajava)

b. Tanaman bawah sekunder seperti kapulaga (Amomum cardamomum), cabe rawit (Capsicum frustescent), dan pisang (Musa spp), jahe (Zingiber officinale), kunyit

(Curcumae Domesticae Rhizoma),

singkong (Manihot utilissima), dan lengkuas (Alpinia galanga)

B. Proses Penentuan Jenis Tanaman Bawah Utama

Proses pengambilan keputusan oleh petani dalam menentukan jenis tanaman bawah dilakukan dengan mengeliminasi beberapa alternatif jenis tanaman dengan proses pengambilan keputusan yang sistematis melalui lima aspek yaitu oientasi produksi, kondisi biofisik, pengetahuan, waktu/atau tenaga kerja, dan modal. Hal ini sejalan dengan pendapat Suharjito (2002)

yang menyebutkan bahwa proses

pengambilan keputusan petani dalam menentukan jenis tanaman dilakukan dengan sederhana dan sistematis berdasarkan kriteria tertentu.

Pada aspek orientasi produksi dan kondisi biofisik, semua jenis tanaman bawah yang diperoleh dari hasil identifikasi pada tahap pertama dapat memenuhi kedua aspek tersebut (Tabel 2). Hal ini dapat dilihat dari semua responden (64 orang) menjawab “ya” pada kedua aspek tersebut. Tiga belas jenis tanaman (kopi, kakao, cengkeh, kelapa, petai, pala, lada, karet, dukuh, pisitan, rambutan, sirsak, dan kelengkeng) merupakan jenis tanaman yang memiliki kesesuaian dengan kondisi biofisik lahan milik petani dan menghasilkan buah untuk dikonsumsi sendiri dan atau dijual.

Tabel 2. Eliminasi jenis tanaman bawah utama berdasarkan pertimbangan lima aspek

Table 2. Elimination of main understorey base on consideration of five aspects

Aspek (Aspect)

Pertanyaaan (Question)

Jumlah Petani (Number of farmers)

K o p i K ak ao Cen g k eh K el ap a Pet ai Pal a L ad a K aret D u k u h Pi si tan Ramb u tan Si rs ak K el en g k en g Orientasi produksi

Apakah anda menggunakan atau menjual hasil tanaman

X 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64

Kondisi biofisik

Apakah tanaman X sesuai

(7)

117

Aspek (Aspect)

Pertanyaaan (Question)

Jumlah Petani (Number of farmers)

K o p i K ak ao Cen g k eh K el ap a Pet ai Pal a L ad a K aret D u k u h Pi si tan Ramb u tan Si rs ak K el en g k en g daerah anda

Pengetahuan Apakah anda mengetahui cara membudidayakan

tanaman X 46 40 51 42 50 61 62 40 56 58 58 40 51

Waktu/tenaga kerja

Apakah anda memiliki waktu atau tenaga kerja untuk mengusahakan

tanaman X 42 32 34 23 8 46 41 32 23 25 21 7 32

Modal Apakah anda memiliki alokasi modal untuk

tanaman X 12 21 16 12 5 35 33 8 6 18 5 4 9

Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2015

Pada aspek ketiga tentang pengetahuan, beberapa petani mulai menyatakan tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk membudidayakan beberapa jenis tanaman. Pada tahap ketiga ini mulai terjadi proses eliminasi jenis tanaman oleh petani pada hampir setiap jenis tanaman. Sebagian besar

responden memilih untuk tidak

mengeliminasi jenis pala (61 orang responden) dan lada (64 orang responden). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, cukup tingginya pengetahuan petani tentang budidaya pala dan lada dipengaruhi oleh pengalaman dan semakin banyaknya informasi yang diperoleh petani melalui program penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan yang dilakukan oleh instansi terkait. Selain itu, pengetahuan tentang budidaya pala dan lada juga diperoleh dari orang tua petani yang berlangsung secara turun- temurun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sallampessy (2017) dan Febryano et al. (2009) yang menyebutkan pengetahuan lokal yang dimiliki petani secara turun-temurun akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan petani dalam pemilihan jenis tanaman.

Tenaga kerja/waktu yang dialokasikan petani untuk mengusahakan beberapa jenis tanaman sangat kecil. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya responden yang tidak memiliki cukup waktu/tenaga kerja untuk membudidayakan beberapa jenis tanaman, terutama sirsak dan petai. Selain itu, beberapa responden yang melakukan eliminasi jenis tanaman tertentu pada tahapan ini menyebutkan bahwa waktu/tenaga kerja yang dimiliki sering dialokasikan untuk tanaman lain yang lebih cepat menghasilkan seperti tanaman semusim.

Modal merupakan aspek yang sangat dipertimbangkan dalam penentuan jenis tanaman bawah pada kebun campuran. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya petani yang mengeliminasi jenis tanaman berdasarkan aspek ini. Modal untuk penyediaan bibit, pemupukan, dan penanggulangan hama penyakit tanaman merupakan dasar pertimbangan petani dalam memutuskan untuk memilih atau tidak memilih jenis tanaman pada aspek ini.

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan teori real life choice Gladwin maka tanaman pala dan lada merupakan dua

(8)

118 jenis tanaman bawah utama yang paling banyak diinginkan oleh petani. Hal ini dapat dilihat dari jumlah petani yang memiliki kemampuan untuk memenuhi lima aspek minimal yang telah ditetapkan (Tabel 2). Tanaman pala dan lada memiliki nilai akhir terbesar dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya hal ini mengandung pengertian bahwa tanaman tersebut merupakan tanaman bawah utama yang dipilih petani berdasarkan proses pengambilan keputusan sistematis melalui pertanyaan berurutan dalam lima aspek minimal yaitu orientasi produksi, kondisi biofisik, pengetahuan, waktu/tenaga kerja, dan modal.

Setelah mempersempit alternatif jenis yang dipilih menjadi dua jenis tanaman maka petani melanjutkan proses pengambilan keputusan melalui tahap intisari keputusan dengan membandingkan dua jenis terpilih

berdasarkan aspek utama. Tahap ini diawali dengan penyederhaan aspek yang akan dijadikan pertimbangan dalam pemilihan jenis melalui proses eleminiasi beberapa aspek menjadi aspek utama. Nilai pada aspek yang memiliki “>” berarti tanaman pala memiliki kontinuitas produksi yang lebih lama dibandingkan dengan tanaman lada dan lebih mudah dalam pemeliharaan dan perawatan, tanda “<” menandakan tanaman lada lebih besar menghasilkan pendapatan total dan lebih cepat berproduksi dibandingkan tanaman pala. Sedangkan tanda “=” mengandung pengertian bahwa pada aspek tersebut kedua jenis tanaman memiliki kondisi yang sama sehingga aspek ini tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan utama dalam penentuan jenis tanaman bawah utama. Hasil proses eliminasi aspek disajikan dalam

Tabel 3.

Tabel 3. Proses eliminasi aspek pada tanaman bawah utama

Table 3. The process of eliminating aspect of main understorey

Aspek (Aspect) Pala (Nutmeg) Nilai (Value) Lada (Pepper) Pendapatan total petani

Kontinuitas produksi Kecepatan produksi

Kesesuaian ditanam dengan tanaman lainnya

Kemudahan dalam pemeliharaan Kemudahan dalam pemanenan Kemudahan dalam pasca panen Kemudahan dalam pemasaran hasil

Rp 148.997.000/ha/25 tahun atau

Rp 5.959.880/ha/tahun

Mulai umur 7 sd 25 tahun

Mulai menghasilkan pada umur 7 tahun

Sesuai untuk ditanam dengan tanaman lainnya Mudah Mudah Mudah Mudah < > < = > = = = Rp 89.530.000/ha/10 tahun atau Rp 8.953.000/ha/tahun Mulai umur 3 sd 10 tahun Mulai menghasilkan pada umur 3 tahun

Sesuai untuk ditanam dengan tanaman lainnya

Lebih sulit karena memerlukan perawatan intensif

Mudah Mudah Mudah

Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2015; Lestari et al., 2019; Suwarto, 2013

Berdasarkan Tabel 3. maka aspek pendapatan total petani, kuantitas produksi, kecepatan produksi, dan kemudahan dalam

pemeliharaan merupakan aspek utama yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan petani untuk memutuskan jenis tanaman bawah

(9)

119 utama di kebun campuran. Aspek lainnya seperti kemudahan dalam pemanenan, pasca panen, pemasaran hasil, dan kesesuaian untuk ditanam dengan tanaman lain memiliki nilai yang sama di antara kedua jenis sehingga tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan petani dalam menentukan jenis tanaman bawah utama kebun campuran.

Lestari et al. (2019) mengemukakan pendapatan total yang diterima petani dari tanaman pala secara polikultur adalah Rp148.997.000,00/ha/25 tahun atau Rp595.880,00/ha/tahun dengan rincian Rp115.465.000,00 untuk produksi dalam bentuk biji pala sebanyak 3.290 kg/ha/25 tahun dengan asumsi harga Rp35.000,00/kg dan Rp33.532.000,00 untuk produksi dalam bentuk fuli sebanyak 332 kg/ha/25 tahun dengan asumsi harga Rp101.000,00. Nilai ini jauh berbeda dengan pendapatan total yang diperoleh petani dari tanaman lada dengan sistem polikultur yaitu sebesar Rp89.530.000,00/ha/10 tahun atau Rp8.593.000,00/ha/tahun yang diperoleh dari produksi biji lada sebanyak 12.790 kg/ha/10 tahun dengan asumsi harga Rp70.000,00 (Suwarto, 2013).

Tanaman lada memiliki kontinuitas dalam berproduksi yang jauh lebih singkat dibandingan pala. Tanaman lada mulai berbuah pada umur 3 tahun setelah tanam dan akan terus berbuah sampai tanaman berumur 10 tahun sedangkan tanaman pala mulai berbuah pada umur 7-10 tahun dan akan terus menghasilkan sampai umur tanaman 25 tahun bahkan sapat diteruskan sampai umur tanaman 60 tahun (Lestari et al., 2019; Suwarto, 2013). Berdasarkan data tersebut maka tanaman lada mulai menghasilkan lebih cepat dibandingkan tanaman pala.

Perawatan tanaman lada lebih sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan tanaman lada memerlukan perawatan yang lebih intensif dibandingkan dengan tanaman pala baik dalam penyiangan, pemupukan, dan penganggulangan hama penyakit tanaman. Terdapat beberapa hama dan penyakit tanaman lada yang dapat menimbulkan

kerugian besar apabila tidak segera ditanggulangi secara serius oleh petani, diantaranya penyakit busuk pangkal batang (BPB) akibat serangan jamur Phytopthora capsici, penyakit kuning akibar serangan jamur Fusarium oxysporum, hama penggerek batang, penyakit kerdil akibat serangan virus CMVPYMV, kutu putih, dan lainnya (Suwarto, 2013).

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3. maka petani dihadapkan kepada dua pilihan jenis dengan empat dasar pertimbangan sehingga setiap keputusan yang diambil akan memberikan konsekuensi terhadap keinginan petani dalam memenuhi keempat aspek tersebut. Apabila petani menjadikan aspek kontinuitas produksi dan kemudahan dalam pemeliharaan sebagai pertimbangan utama maka petani akan memilih tanaman pala sebagai tanaman bawah utama dengan konsekuensi waktu awal produksi yang lebih lambat dan pendapatan total yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman lada. Akan tetapi, jika petani memilih aspek pendapatan total yang diperoleh dan kecepatan produksi sebagai pertimbangan utama maka tanaman lada akan dipilih petani sebagai tanaman bawah utama dengan konsekuensi lebih sulit dalam perawatan dan kontinuitas produksi yang lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman pala.

C. Proses Penentuan Jenis Tanaman Bawah Sekunder

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden penelitian maka diperoleh informasi bahwa petani di Kecamatan

Majenang mengelompokan tanaman

penyusun kebun campuran menjadi tanaman pokok, tanaman bawah utama, dan tanaman bawah sekunder. Oleh karena itu, diperlukan analisis terhadap jenis tanaman dominan yang akan dijadikan sebagai tanaman bawah sekunder di kebun campuran. Pada dasarnya, analisis penentuan jenis tanaman bawah sekunder dilakukan dengan menggunakan metode yang sama dengan analisis penentuan

(10)

120 jenis tanaman bawah utama. Akan tetapi, pada analisis penentuan jenis tanaman sekunder hanya dilakukan melalui dua tahap yaitu identifikasi jenis tanaman dan eleminiasi alternatif jenis tanaman menggunakan lima aspek minimal (orientasi produksi, kondisi biofisik, pengetahuan, waktu/tenaga kerja, dan modal) dan enam aspek tambahan (pendapatan berjenjang, kecepatan berproduksi, kemudahan dalam pemeliharaan, kemampuan untuk ditanam dengan tanaman lain, kemudahan dalam pasca panen, dan kemudahan dalam pamasaran).

Tanaman kapulaga dan jahe memiliki nilai akhir yang lebih besar dibandingkan

jenis tanaman lainnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa kedua jenis tanaman tersebut lebih mampu untuk memenuhi aspek-aspek yang ditetapkan petani dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Hasil analisis eliminasi jenis tanaman bawah sekunder disajikan pada Tabel 4.

Petani di Kecamatan Majenang sudah memiliki pengetahun yang cukup tentang budidaya kapulaga dan jahe. Pengetahuan tersebut diperoleh dari pengalaman yang budidaya yang telah dilakukan secara turun teumurun dan program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan yang dilakukan oleh instansi terkait.

Tabel 4. Eliminasi jenis tanaman bawah sekunder

Table 4. Elimination of secondary understorey

Aspek (Aspect)

Pertanyaaan (Question)

Jumlah Petani (Number of farmers)

Ka

pulaga Cabe Rawit

P is ang Ja he Kunyit S ingkong L engkua s Orientasi produksi

Apakah anda menggunakan atau menjual

hasil tanaman X 64 64 64 64 64 64 64

Kondisi biofisik

Apakah tanaman X sesuai

dengan kondisi biofisik di daerah anda

64 60 60 54 54 60 56 Pengetahuan Apakah anda mengetahui cara

membudidayakan tanaman X

56 57 58 54 53 52 53 Waktu/tenaga

kerja

Apakah anda memiliki waktu atau tenaga kerja untuk mengusahakan tanaman X

53 48 40 48 50 38 47 Modal Apakah anda memiliki alokasi modal

untuk tanaman X

53 40 32 47 46 36 44 Pendapatan

total

Apakah tanaman X menghasilkan

pendapatan berjenjang untuk anda 51 38 30 47 46 27 30 Pendapatan

berjenjang

Apakah tanaman X cepat menghasilkan

sesuai dengan yang anda harapkan 50 38 30 47 43 25 29 Kemudahan

dalam budidaya

Apakah tanaman X memiliki kemudahan

dalam pemeliharaannya 50 30 30 47 43 25 29

(11)

121 Aspek

(Aspect)

Pertanyaaan (Question)

Jumlah Petani (Number of farmers)

Ka

pulaga Cabe Rawit

P is ang Ja he Kunyit S ingkong L engkua s untuk ditanam dengan tanaman lain

bersamaan tanaman lainnya

Kemudahan dalam pasca panen

Apakah tanaman X memiliki kemudahan

dalam pasca panen 48 23 29 47 43 20 29

Kemudahan dalam Pemasaran

Apakah hasil tanaman X memiliki kemudahan dalam

Memasarkan

48 23 29 47 43 15 25

Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2015

Menurut petani, tanaman kapulaga atau jahe sangat cocok untuk dikombinasikan dengan tanaman sengon sebagai tanaman pokok, dan pala atau lada sebagai tanaman bawah utama. Petani berpendapat, fungsi utama tanaman kapulaga dan jahe sebagai tanaman bawah sekunder pada kebun campuran adalah memberikan pendapatan berjenjang untuk petani baik harian, mingguan dan bulanan. Pendapatan berjenjang tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota

keluarga petani dengan tidak

menggantungkan sepenuhnya kepada tanaman pokok (kayu) yang memerlukan waktu cukup lama untuk menghasilkan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Terdapat tiga belas jenis tanaman bawah utama penyusun kebun campuran berbasis sengon di Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap, yaitu: kopi, kakao, cengkeh, kelapa, petai, pala, lada, karet, dukuh, pisitan, rambutan, sirsak dan jambu biji, dan tujuh jenis tanaman bawah sekunder, yaitu: kapulaga, cabe rawit, pisang, jahe, kunyit, singkong dan lengkuas. Tanaman bawah yang dipilih petani berdasarkan lima

aspek pengambilan keputusan adalah pala dan lada untuk tanaman bawah utama, serta kapulaga dan jahe untuk tanaman bawah sekunder. Oleh karena itu, tanaman bawah yang perlu mendapat prioritas untuk dibudidayakan dalam pengembangan kebun campuran berbasis sengon di Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap adalah pala, lada, kapulaga dan atau jahe.

B. Saran

Pemerintah pusat (Kemeterian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan pemerintah daerah (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Pertanian Kabupaten Cilacap, dan Balai Penyuluhan Pertanian Majenang) untuk lebih memperhatikan dan mengakomodir pilihan petani dalam menentukan jenis tanaman bawah pada pengembangan kebun campuran di lahan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Alao, J. S., & Shuaibu, R. B. (2013). Agroforestry practice and concept in suitable land use system in Nigeria. Journal of Horticulture and Forestry,

5(10), 156–159.

(12)

122 Sosioeconomic evaluation of agroforestry system. Journal of Forest Science, 61(11), 478– 484.

Budiningsih, K. (2008). Dinamika kebun campuran: studi kasus praktek pemenfaatan lahan kering secara berkelanjutan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.

Institut Pertanian Bogor.

Febryano, I. G., Suharjito, D., & Soedarsono, S. (2009). Pengambilan Keputusan pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan negara dan lahan milik. Jurnal Forum Pascasarjana, 31(1), 129–141.

Hadi, E. E. W., Widyastuti, S. M., & Wahyuono, S. (2016). Keanekaragaman dan pemanfaatan tumbuhan bawah pada sistem agroforestry.

Jurnal Manusia Dan Lingkungan, 23(2), 206– 215.

Herawati, T. (2001). Penggunaan sistem pengambilan keputusan dengan kriteria ganda dalam penentuan jenis tanaman hutan rakyat. Institut Pertanian Bogor.

Kuswantoro, De. P., Junaedi, E., Handayani, W., Ruhimat, I. S., Utomo, M. B., Kuswandi, N., Filianty, D., Priono, D., Sutrisna, N., & Syaifudin, U. (2014). Kajian lanskap agroforestry pada DAS prioritas (DAS Cikawung).

Lestari, F. Y., Ismono, R. H., & Prasmatiwi, F. E. (2019). Prospek pengembangan pla rakyat.

Jurnal JIIA, 7(1), 14–21.

Murthy, I. K., Dutta, S., Varghese, V., Joshi, P. P., & Kumar, P. (2017). Impact of Agroforestry Systems on Ecological. Global Journal of Science Frontier Research, 16(5), 15–28. Olivi, R., Qurniati, R., & Firdasari. (2015). Kontribusi

agroforestry terhadap pendapatan petani di Desa Sukoharjo Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu. Jurnal Sylva Lestari, 3(2), 1–12. Pasaribu, S. W., Kaskoyo, H., & Safeii, R. (2019). The

gender role in agroforestry management in Sungai Langka Village. Journal of Sylva Indonesiana, 2(2), 62–69.

Riduwan. (2004). Metode dan teknik menyusun tesis

(Iswara (ed.)). Penerbit Alfabeta.

Rohadi, D., Herawati, T., Firdaus, N., Maryani, R., & Permadi, P. (2013). Strategi nasional penelitian agroforestry. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Ruhimat.I.S. (2016). Faktor kunci dalam

pengembangan kelembagaan agroforestry pada

lahan masyarakat. Jurnal Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 13(2), 73–84.

Saha, S., Sharmin, A., Biswas, R., & Ashaduzzam, M. (2018). Farmers perception and adoption of agroforestry practice in Faridfur District of Bangladesh. International Journal of Environment Agriculture and Biotechnology,

3(6), 187–194.

Sallampessy. (2017). Pengetahuan ekologi masyarakat lokal dalam pemilihan jenis pohon pelindung pada sistem agroforestry tradisional dusung pala di Ambon. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 14(2), 135–142.

Santoro, A., Venture, M., Bertani, R., & Agnoletti, M. (2020). A review of the role of forest and agroforestry system in teh FAO Globally Important Agricultural Heritage System Program.

Journal Forest, 11(860), 1–21.

Saputro, S., Supardi, S., & Mawranti, S. (2020). Analisis kelayakan finansial pengusahaan kayu sengon dengan pola AGroforestry di Kabupaten Magetan. Jurnal Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 17(1), 29–37.

Sobolo, O. O., Amdi, D. C., & Jamala, G. Y. (2015). The role of agriculture in environmental sustainability. Journal of AGriculture and Veterinary Science, 8(5), 20–25.

Suharjito, D. (2002). Pemilihan jenis tanaman kebun talun: suatu kajian pengambilan keputusan oleh petani. Jurnal Managemen Hutan Tropika, 8(2), 47–56.

Supriyatna, I. S. (2007). Nilai ekonomi sistem kebun campuran. Institut Pertanian Bogor.

Suwarto. (2013). Budidaya monokultur dan polikultur lada (S. Nugroho (ed.)). Penerbit Penebar Swadaya.

Wahyuningsih, S., & Astuti, A. (2015). Model pengelolaan agroforestry kakao terhadap kontribusi pendapatan rumah tangga. Jurnal Agribisnis Indonesia, 3(2), 113–134.

Gambar

Gambar 1. Tahapan analisis data        Figure 1. Data analysis stage
Gambar 2. Tahapan eliminasi jenis tanaman bawah  Figure 2. Stage of understorey species elimination  III
Tabel 2. Eliminasi jenis tanaman bawah utama berdasarkan pertimbangan lima aspek   Table 2
Tabel 4. Eliminasi jenis tanaman bawah sekunder  Table 4.  Elimination of secondary understorey

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui kadar protein dan kadar kalsium pada selai dengan komposisi kacang hijau (Phaseolus radiatus) dan kulit pisang ambon (Musa paradisiaca).. Mengetahui

[r]

[r]

gkat dari 4 % menjadi gkat dari 4 menggun elajar siswa stion, elajar pada etahui Recite, s VII Hidup. ampel siswa

Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain Bunuh diri pada lansia adalah perbuatan yang dilakukan oleh seorang lanjut usia untuk

Untuk operasional kegiatan peran dan fungsi TKPK provinsi, maka tim teknis TKPK Provinsi telah melakukan fasilitasi, koordinasi dan pengendalian terhadap TKPK Provinsi dan

Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Guru Dengan Organizational Citizenship Behavior (Ocb) Sebagai Variabel Mediasi Di SMA Negeri 2

Most manufacturers of luxury brands do not wish to produce their goods in low- cost countries because their believe that it will damage their brand image.. Most manufacturers of