• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TANDA TANGAN PARA PIHAK DALAM AKTA NOTARIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TANDA TANGAN PARA PIHAK DALAM AKTA NOTARIS"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TANDA TANGAN PARA PIHAK DALAM AKTA NOTARIS

2.1 Sejarah Tanda Tangan

Pada zaman Romawi suatu kehendak orang tidak ditetapkan dengan suatu tulisan. Semua tindakan hukum dilakukan secara lisan di hadapan saksi-saksi. Kehendak orang yang pertama kali ditulis adalah surat wasiat dan ini pun tidak menyandang tanda tangan, baik dari pembuat wasiat maupun dari saksi-saksi. Hanya sebuah segel yang dipakai; segel ini memberi autensitas kepada wasiat itu. Kaisar Romawi Justitianus adalah orang yang pertama mengatakan bahwa segel saja tidak cukup dan mengharuskan para saksi turut menandatangani (penandatanganan oleh para saksi sudah lebih dahulu diharuskan oleh undang-undang Theodius II pada tahun 439). Tanda tangan para saksi hanya dimaksudkan untuk menunjuk orang-orang yang dapat memberi kesaksian apabila ada sengketa tentang asal usul akta itu.39

Keadaan di Perancis semula sama seperti di zaman Romawi; di Negara ini juga kesaksian orang lebih lazim dan lebih kuat daripada bukti tertulis. Hanya dengan perlahan sekali keadaan berubah. Apa yang tertulis di atas berlaku pada umumnya. De Joncheere dalam tulisannya mengatakan bahwa dalam akta notaries dahulu kala juga tidak ada tanda tangan. Bukti autentisitasnya hanyalah segel kerajaan (le scel royal) yang dilekatkan oleh notaris setelah akta diselesaikan. Karena lama kelamaan segel itu ternyata bukan merupakan jaminan ampuh

39 Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

(2)

terhadap pemalsuan dan penipuan, maka ordonansi tahun 1304 dari Philips den Schoonen, raja Perancis, memerintahkan kepada para Notaris menandatangani akta mereka.

“Dengan perintah menandatangani ini juga belum diartikan menandatangani ddengan nama penandatangan,” kata Dalloz, penulis Perancis. Kata signa sua dalam undang-undang itu mempunyai arti suatu tanda khas atau paraf. Dalam ordonansi-ordonansi kemudian hanya dipakai satu kata, yaitu signer. De Joncheere berpendapat bahwa kata signer ini tidak lain hanya diartikan nama penandatangan. Pendapat Dalloz ini diperkuat oleh ordonansi tahun 1535 yang mewajibkan para notaris mendeponir nama dan tanda tangan mereka di pengadilan; ordonansi itu dengan jelas menyebut nama, nama kecil, dan tanda tangan dan berbunyi dalam bahasa Perancis :

Hanya tanda tangan notaris yang cukup membuktikan autensitas sebuah akta notaris dan ini berlangsung sampai tahun 1560. Pada tahun itu ordonansi Karel IX menetapkan bahwa tanda tangan notaris saja di atas akta tidak cukup dan mewajibkan para pihak untuk turut serta menandatanganinya. Ketentuan ini tetap dipertahankan sampai muncul dalam Undang-Undang 25 Ventose an (tahun) XI yang mengatur notariat dan dari undang-undang ini dibuat De Notariswet di Belanda, sedangkan ketentuan tentang penandatanganan dioper dalam Pasal 30 (ketentuan yang sama dioper dalam Pasal 28 PJN).40

De Joncheere mengatakan bahwa segel yang sering kali disebut di atas sudah lama sekali dipakai, yaitu sejak zaman kuno di antara orang-orang Parsi dan orang-orang Yahudi. Segel juga dipakai oleh orang-orang Romawi untuk memperkuat suatu akta. Demikian juga di Perancis segel ini dianggap lebih

(3)

penting daripada tanda tangan. Segel pada waktu itu dirasakan memberikan jaminan tentang keaslian suatu akta.

Jika kita melihat keadaan di Indonesia sekarang memang mirip dengan keadaan di Perancis dahulu. Sering kali orang tidak puas apabila atas suatu pernyataan tertulis tidak ditempelkan segel (materai) yang pada dasarnya tidak perlu diberi materai. Jadi segel atau materai di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai arti tersendiri yang walaupun tidak tertulis, mencakup beberapa pengertian : sah, kuat, asli, tidak dapat dipungkiri.

Mengenai syarat lahiriah suatu tanda tangan ditulis bahwa bangsa Saks, yaitu penghuni tertua di Inggris, mempunyai kebiasaan untuk menandatangani dengan menulis namanya (untuk mereka yang dapat menulis) ditambah dengan sebuah salib (kruiss, cross) karena mereka sudah memeluk agama Kristen, sedangkan mereka yang tidak dapat menulis, berasal dari kebiasaan orang Saks itu.

Di Eropa tanda tangan dan salib (kruis, cross), karena kebiasaan atau undang-undang yang tua sekali, sudah diberi harga sama, jadi sama kuatnya, sedangkan di Indonesia sebuah sidik jari yang dibubuhkan di hadapan seorang pejabat umum disamakan oleh undang-undang dengan suatu tanda tangan. Ditekankan disini, bahwa sidik jari saja tidak disamakan dengan tanda tangan, tetapi yang disamakan adalah sidik jari yang dibubuhkan di hadapan seorang pejabat umum.

Selanjutnya mengenai bentuk suatu tanda tangan menurut De Joncheere sebagai berikut :

(4)

a. Tanda tangan yang dibuat secara menulis perlahan-lahan, seolah-olah dilukis oleh orang yang tidak banyak menulis sehingga huruf-hurufnya jelas sekali terbaca, dibandingkan dengan tanda tangan seorang yang pekerjaan sehari-hari menandatangani banyak surat atau dokumen, umpamanya seorang pemegang kas bank yang menandatangani berpuluh-puluh kuitansi dan sebagainya, demikian sering membubuhkan tanda tangannya sehingga huruf-hurufnya sulit dibaca dan tinggal coretan-coretan saja. Apakah yang terakhir ini juga dapat dianggap suatu tanda tangan? Para ahli hukum dalam hal ini tidak sependapat; Diephuis tidak setuju menyamakannya dengan suatu tanda tangan. Ia berpendapat bahwa harus dibedakan tanda tangan seorang yang tidak dapat menulis dan tanda tangan seorang yang tidak mau menulis dengan baik. De Joncheere berpendapat bahwa tanda tangan seseorang harus mempunyai sifat individual (individueel karakter) dalam bentuk huruf yang ditulisnya, sehingga ia membuat konklusi sebagai berikut : Setiap tanda tangan yang ditulis dengan tangannya sendiri memenuhi syarat-syarat tentang bentuk suatu penandatanganan yang sah.

b. Tanda tangan yang dibuat dengan mesin cetak (drukpers), termasuk stempel tanda tangan, dianggap tidak mempunyai sifat individual yang diperlukan untuk suatu tanda tangan.

c. Tanda tangan yang dibuat dengan klise (umpamanya diatas uang kertas), mengandung segala gambar halus suatu tanda tangan dan memenuhi jaminan mengenai keasliannya yaitu sifat individual tulisannya.

d. Tanda tangan yang dibuat dengan dengan bantuan orang lain tidak berlaku sebagai tanda tangan.

Secara ilmiah telah dikemukakan dalam Tinjauan Pustaka bahwa maksud dan tujuan (strekking) tindakan penandatangan dan ia berpendapat bahwa penandatanganan adalah suatu fakta hukum (rechtsfeit), yaitu : “Suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan (penandatangan), bahwa ia dengan membubuhkan tandatangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.”41 Menurut E. Sibarani tanda tangan adalah suatu tulisan nama atau tanda yang dibubuhkan seseorang pada akhir sebuah dokumen sebagai suatu pengesahan dari isinya. Keistimewaan dari suatu tanda tangan itu mempunyai kepribadian yang khas, artinya hanya penulis saja yang tahu yang lain tidak jauh pula diartikan, bahwa tanda tangan itu menunjukkan sifat

(5)

pribadi dari penulis.42 Menurut pemahaman peneliti bahwa tanda tangan adalah

tulisan tangan berupa tanda huruf dari nama pribadi seseorang yang dibubuhkan pada dokumen atas kehendaknya sendiri, sebagai pengesahan dari isinya.

2.2 Proses Penandatanganan Akta Notaris

Fungsi tanda tangan dalam suatu surat tidak lain daripada memastikan identifikasi atau menetukan kebenaran ciri-ciri penanda tangan,43 dan sekaligus

penanda tangan menjamin kebenaran isi yang tercantum dalam tulisan tersebut. Bertitik tolak dari praktik maupun putusan HR yang dikemukakan Pitlo,44 terdapat

berbagai bentuk tanda tangan yang dibenarkan hukum, antara lain :

1) Menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama kecil;

2) tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil saja, dianggap cukup; 3) ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel

dengan huruf cetak;

4) dibenarkan mencantumkan kopi tanda tangan si penanda tangan, dengan syarat :

a. orang yang mencantum kopi itu, berwenang untuk itu dalam hal ini orang yang bersangkutan sendiri, atau

b. orang yang mendapat kuasa atau mandat dari pemilik tanda tangan; 5) dapat juga mencantumkan tanda tangan dengan dengan mempergunakan

karbon.

42 E. Sibarani, Sistematika dalam Pemeriksaan Tulisan Tangan, Kepolisian RI, Komando Reserve

Laboratorium Forensik, 2000, hlm. 74.

43 Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung : Alumni, 1992, hlm. 38.

(6)

Dari penjelasan di atas tanda tangan merupakan pencantuman identitas penanda tangan dalam surat yang bersangkutan. Tanda tangan sama artinya mencantumkan nama atau nama kecil yang ditulis tangan sendiri oleh penanda tangan, tanpa mengurangi kebolehan mencantumkan kopi tanda tangan, asal mendapat kuasa dari pemilik tanda tangan.

Dalam masyarakat seringkali tanda tangan dipersamakan dengan cap jempol, peraturan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 1874 ayat (2) KUH Perdata maupun St. 1919-776 atau Pasal 286 ayat (2) RBG, dengan tegas mempersamakan cap jempol dengan tanda tangan. Ketentuan tersebut mengatakan bahwa dengan penanda tangan sepucuk tulisan di bawah tangan, dipersamakan suatu cap jempol. Namun agar persamaannya sah dan sempurna harus dengan cara:

1) dilegalisir oleh pejabat yang berwenang; 2) dilegalasi diberi tanggal;

3) pernyataan dari pejabat yang melegalisir,bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya;

4) isi akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan;

5) pembubuhan cap jempol dilakukan dihadapan pejabat tersebut.

Barangkali pada saat sekarang, jarang terjadi kasus akta yan dibubuhi cap jempol. Sesuai dengan perkembangan sosial budaya, apalagi di kalangan masyarakat bisnis, semua akta dibubuhi tanda tangan. Sebenarnya kalau ditinjau dari segi kepastian hukum, barangkali lebih kuat kepastian cap jempol dibanding dengan tanda tangan. Sesuai dengan hasil penelitian yang mengatakan sidik jari yang dimiliki setiap orang berbeda dengan yang dipunyai orang lain, berarti tidak

(7)

gampang untuk memalsukannya. Sebaliknya, tanda tangan bisa dan sering dipalsukan. Oleh karena itu, kurang tepat alasan yang menolak cap jempol disamakan dengan tanda tangan.

Jika penghadap tidak bisa membubuhkan tanda tangannya, maka boleh membubuhkan cap jempol, apabila penghadap membubuhkan cap jempolnya, maka hal tersebut harus diuraikan dalam penutup akta, sebagaimana tersurat dalam UUJN Pasal 44 ayat 1 dan ayat 2, berikut ini : “…., kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya; alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam akta.”

Mengenai pembacaan akta diatur di dalam pasal 16 ayat 1 huruf l, yang berisi demikian : “membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.” Hal tersebut menekankan bahwa dalam pembacaan dan penandatanganan suatu akta harus terjadi pada satu rangkaian waktu dan tidak boleh terpisah. Ketentuan yang sama ditegaskan kembali pada Pasal 44 ayat 1, “Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, ….”

Namun akta tersebut dapat tidak dibacakan sesuai dengan permintaan penghadap sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat 7, yang berisi demikian : “Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan

(8)

ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.”

Lebih lanjut mengenai peraturan Pasal 45 UUJN, yang mengatur demikian:

1) Dalam hal penghadap mempunyai kepentingan hanya pada bagian tertentu dari akta, hanya bagian akta tertentu tersebut yang dibacakan kepadanya. 2) Apabila bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diterjemahkan atau dijelaskan, penghadap membubuhkan paraf dan tanda tangan pada bagian tersebut.

3) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan secara tegas pada akhir akta.

Apabila ada penghadap yang mempunyai kepentingan pada bagian tertentu dari akta tersebut maka hanya bagian tersebut yang dibacakan kepadanya dan kemudian penghadap tersebut harus membubuhkan paraf dan tanda tangan pada bagian tersebut.

Pada saat akta dibacakan bukan tidak mungkin terdapat kesalahan dalam pembuatan akta baik isi akta maupun penutup. Waktu pembacaan akta itulah merupakan kesempatan untuk melakukan koreksi apabila terjadi suatu kesalahan. Jika memang terdapat kesalahan maka harus dilakukan renvoi. UUJNRenvoi adalah penambahan, pencoretan, dan pencoretan dengan penggantian. Renvoi tersebut dilakukan karena memang isi akta tidak boleh diubah / ditambah sebagaimana ditegaskan dalam pasal 48 ayat 1 UUJN, yang berisi demikian :

(9)

1) Isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain.

2) Perubahan atas akta berupa penambahan, penggantian, atau pencoretan dalam akta hanya sah apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Pada setiap perubahan baik berupa penambahan, pencoretan, dan pencoretan dengan penggantian, diikuti dengan paraf dari penghadap, saksi-saksi, dan oleh Notaris, hal tersebut bertujuan bahwa perubahan tersebut diakui dan disahkan baik oleh penghadap, saksi-saksi, dan oleh Notaris sendiri.

Pengaturan lebih lanjut mengenai renvoi, diatur dalam Pasal 49 UUJN, yang mengatur demikian :

1) Setiap perubahan atas akta dibuat di sisi kiri akta.

2) Apabila suatu perubahan tidak dapat dibuat di sisi kiri akta, perubahan tersebut dibuat pada akhir akta, sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.

3) Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.

Perubahan dalam akta tersebut dapat berupa huruf, angka, dan kata. Hal tersebut diatur dalam Pasal 50 UUJN, yang mengatur demikian :

1) Apabila dalam akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan demikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta.

(10)

2) Pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

3) Apabila terjadi perubahan lain terhadap perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perubahan itu dilakukan pada sisi akta sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 49.

4) Pada penutup setiap akta dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan, dan penambahan.

2.3 Keaslian Tanda Tangan Penghadap terkait Proses Pembuatan Minuta Akta

Akta harus ditanda tangani oleh setiap penghadap. Undang-Undang menghendaki bahwa penandatanganan itu dilakukan oleh penghadap sendiri artinya bahwa tanda tangan itu harus dibubuhkan sendiri oleh orangnya sendiri yaitu orang yang namanya dicantumkan dan dimaksud dalam akta tersebut.

Jadi tidak sah apabila tanda tangan itu dilakukan oleh penghadap di atas tanda tangan yang telah lebih dahulu dituliskan diatas akta oleh orang lain. Juga faksimili dan nama yang ditulis dengan mesin tulis tidak dapat dipakai untuk mengganti tanda tangan. (Pendapat Sprenger van Eyk Libourel – Melis, dll)

Yang tidak termasuk atau tidak diakui keabsahannya sebagai tanda tangan adalah tanda yang terdiri atas hal berikut.

1) Hanya berupa huruf atau abjad. Misalnya, hanya terdiri dari huruf A atau Z baik dalam bentuk capital atau huruf kecil, karena hal itu dianggap bukan inisial atau identitas nama penanda tangan.

(11)

2) Tanda silang atau garis lurus. Bentuk seperti ini pun, tidak sah sebagai tanda tangan, karena tidak mampu member identitas yang jelas kepada penanda tangan.45

3) Stempel dengan huruf cetak. Bentuk ini dianggap tidak memenuhi syarat formil tanda tangan karena tidak dituliskan dengan tangan sendiri oleh penanda tangan. Dengan stempel, secara formil bukan tulis tangan (handschrift) yang disebut Pasal 1874 KUH Perdata.

4) Ketikan dengan komputer. Seperti yang dijelaskan, Pasal 1874 KUH Perdata, tidak mengenal tanda tangan dalam bentuk ketikan computer. Dengan demikian tulisan atau akta yang dibubuhi tanda tangan dalam bentuk ketikan computer tidak sah, karena bukan tanda tangan sendiri oleh penanda tangan. Berarti akta yang demikian tidak sah sebagai alat bukti tulisan, sehingga pada tulisan atau akta yang seperti itu, tidak melekat nilai kekuatan pembuktian.

Menurut pendapat Djoko Soepadmo, di Indonesia mengenai nama dan tanda tangan pada akta Notaris dalam prakteknya lebih kompleks daripada di Negeri Belanda sendiri. Seorang Notaris harus mengatasi tentang cara penulisan nama-nama dan cara menandatangani akta yang tidak seragam itu. Pertama tentang penulisan nama para penghadap, kalau dijumpai penulisan nama-nama yang berlainan biasanya oleh Notaris disebutkan semua ejaan-ejaan nama-nama itu di dalam aktanya. Selanjutnya oleh Djoko Soepadmo dicontohkan dalam kasus tersebut diatas nama Mardi dalam akta Notaris dapat ditulis demikian : Tuan Mardi ditulis juga Mardi Joyohusodo, Tuan Mudjair ditulis juga Mudjair.

(12)

Andaikata Notaris pada suatu saat menjumpai ejaan yang berlainan sedangkan orangnya sama maka untuk pengamanan aktanya sebaiknya dituliskan namanya dengan ejaan yang berlainan misalkan : Tan Han Goan ditulis juga Tan Han Khoan; Handojo Tanaka ditulis juga Handojo Tanoko. Satu sama lain dengan mengingat situasi dan kondisi yang dihadapi notaries dalam membuat aktanya dan dengan mengingat kepentingan para penghadap yang akan memakai akta yang bersangkutan sebagai alat pembuktian.

Mengenai cara menandatangani akta-akta, tiap tanda tangan hendaklah diberi nama terang dan nama terang hendaklah diberi kurung. Maksudnya bahwa tanda tangan dan nama terang tersebut adalah satu tanda tangan saja, dan bukan dua tanda tangan, karena ada kalanya orang sebenarnya tidak mempunyai tanda tangan khusus dan dia hanya menulis nama terangnya saja akan tetapi olehnya dianggap sebagai tanda tangan.

Menurut penilaian Djoko Soepadmo dalam hal tersebut memberikan beberapa keuntungan antara lain :

a. sering terjadi bahwa setelah penghadap membubuhkan nama terangnya di bawah tanda tangannya ternyata bahwa ejaannya lain daripada yang sudah ditulis dalam akta yang ditandatangani tersebut. Nama yang ditulis dalam akta diambil dari surat bukti yang diperlihatkan kepada Notaris. Setelah ditegor oleh Notaris mengapa nama terang yang ditulisnya berbeda dengan nama yang tertulis dalam kartu pengenalnya, biasanya dia akan menjawab bahwa ejaan dalam kartu pengenalnya yang salah tulis. Dalam hal demikian Notaris masih ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Akta Notaris harus benar termasuk dalam menulis nama penghadap.

b. Karena di Indonesia orang sering ganti nama seperti yang telah diuraikan di atas. Setelah ganti nama ada yang tanda tangan dirubah ada yang tidak. Kalau ada nama terang akan lebih jelas. Dalam hal ini sering terjadi bahwa adanya dua macam tanda tangan oleh seseorang itu dipertahankan. Tanda tangan di kartu penduduk lain daripada tanda tangan di buku-buku Bank misalnya. Alasannya untuk mengurangi pemalsuan tanda tangannya terhadap cek-cek pada Bank-Bank yang menjadi langganannya. Dalam hal

(13)

demikian kalau saya Notaris mengetahui setelah yang bersangkutan membubuhkan salah satu tanda tangannya, saya suruh menyatakan disebelahnya bahwa ia memakai tanda tangan yang lainnya juga dan dengan memberikan contoh tanda tangan yang lain tersebut di sebelah tanda tangannya yang terdahulu.

BW di Belanda telah memakai 3 kata, yaitu teekenen, onderteekenen, dan handteekening, antara lain dalam Pasal 979 (BWI 932), 982 (935), 986 (939), 987 (940), dan 1915 (1878) dan pasal-pasal ini dioper dalam BW Indonesia dengan nomor dalam kurung; 3 kata itu juga terdapat di dalamnya . Ketiga kata itu diterjemahkan oleh Prof. Soebekti dengan kata-kata Indonesia bertutu-turut : “menandatangani”, “menandatangani”, dan “tanda tangan”.

Arti kata “menandatangani” (onderteken) secara etimologis yaitu memberi tanda (teken) di bawah sesuatu. Di dalam undang-undang tidak terdapat penjelasan kata “penandatanganan”. De Joncheere berpendapat, bahwa tanda tangan tidak dapat berdiri sendiri. Pendapatnya ini didasarkan pada kata Belanda onderteken. Terjemahan kata itu secara mendetail adalah “membuat tanda di bawah” (onder). Jadi “membuat tanda” itu harus “di bawah” sesuatu dan sesuatu itu adalah tulisan.46

Secara ilmiah dibahas maksud dan tujuan (strekking) tindakan penandatangan dan ia berpendapat bahwa penandatanganan adalah suatu fakta hukum (rechtsfeit), yaitu : “Suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan (penandatangan), bahwa ia dengan membubuhkan tandatangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.”47

46 Ibid, hlm. 473 47 Ibid

(14)

Tanda tangan mempunyai kepribadian yang khas, maksudnya bahwa selain yang mempunyai tanda tangan itu sendiri tidak ada orang lain yang dapat meniru tanda tangannya dengan persis dan sama. Karena tanda tangan itu berhubungan dengan kepribadian atau kejiwaan seseorang maka bentuk tanda tangannya sampai sedemikian rupa. Dengan kata lain terbentuknya tanda tangan seseorang tidak luput dari pencurahan jiwa seseorang dan eksistensinya.

Tulisan tangan dan tanda tangan digunakan sebagai verifikasi identitas dalam berbagai dokumen penting dan berharga. Institusi finansial seperti bank, menggunakan tanda tangan sebagai cara untuk memastikan bahwa wewenang yang ditulis dalam dokumen tersebut, diberikan oleh orang yang seharusnya. Tanda tangan menjadi penting keberadaannya dalam suatu dokumen, tidak hanya sekedar coretan, namun merupakan representasi identitas seseorang.

Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang alasan penggunaan tanda tangan sebagai ciri identik diri seseorang. Pada dasarnya sebuah tanda tangan yang dibuat oleh setiap orang, hampir mustahil untuk bisa ditiru sama persis oleh orang lain. Tidak ada seorang pun yang bisa membuat tulisan tangan dan tanda tangan dengan bentuk yang sama persis. Tulisan tangan merupakan behavioral artifact, yang merupakan bentuk hasil dari kerja motorik dan visual. Tulisan tangan tidak bisa dibentuk tanpa adanya kerjasama antara jaringan otak, motorik, dan visual. Sehingga, tulisan tangan yang diproduksi oleh seseorang, merupakan hasil dari perilaku psikologisnya, dan juga control motoriknya. Kemampuan untuk menulis tangan itu sendiri, membutuhkan tugas motorik yang amat kompleks. Hal ini membuat bentuk tulisan pada setiap orang menjadi sangat heterogen, dan identik pada setiap penulisnya. Ketika seseorang berupaya untuk meniru dan

(15)

memalsukan tanda tangan orang lain, maka kualitas yang dihasilkan akan selalu lebih inferior dibandingkan bentuk aslinya. Adanya keidentikan, ciri-ciri unik, serta kualitas yang khas, membuat tanda tangan digunakan sebagai verifikasi atas representasi identitas seseorang dalam suatu dokumen.

Di dalam pembuatan suatu akta otentik, para penghadap yang hadir di hadapan Notaris belum tentu pihak yang berkepentingan, karena bisa saja yang hadir di hadapan Notaris hanya lah kuasa dari para pihak tersebut. Jadi penghadap belum tentu merupakan pihak itu sendiri.

Mengenai pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792 BW – 1799 BW. Pengertian dari pemberian kuasa menurut Pasal 1792 BW adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelesaikan suatu urusan. Jika seseorang menghadap Notaris sebagai penerima kuasa maka apa yang dilakukan itu dalam rangka mewakili pemberi kuasa, jadi sekalipun namanya ditulis di dalam akta tersebut sebagai penghadap, namun karena tindakannya bersifat untuk dan atas nama pemberi kuasa maka selanjutnya diuraikan bahwa kehadirannya berdasarkan surat kuasa. Hal tersebut dapat terjadi karena memang di dalam melakukan perbuatan hukum, yang bersangkutan dapat melakukannya sendiri dan dapat pula memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya.

Mengenai penerima kuasa sebaiknya orang yang sudah dewasa dan sudah menikah, karena ia tidak dapat menuntut secara hukum atau hanya menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan yang diperbuat oleh orang-orang yang belum dewasa. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1798 yaitu, “Orang-orang perempuan dan orang-orang belum dewasa dapat ditunjuk menjadi kuasa, tetapi si

(16)

pemberi kuasa tidaklah mempunyai suatu tuntutan hukum terhadap orang-orang belum dewasa, selainnya menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perkataan-perkataan yang diperbuat oleh orang-orang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan yang bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan si suami, iapun tidak mempunyai tuntutan hukum selainnya menurut aturan-aturan yang dituliskan dalam Bab ke-lima dan ke-tujuh Buku Kesatu dari kitab undang-undang ini.”

Terkait surat kuasa yang menjadi dasar bertindak dari penghadap, ada 2 kemungkinan yakni di bawah tangan ataupun otentik. Jika surat kuasa itu dibentuk dalam akta otentik, maka harus diuraikan di dalam akta tersebut, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 47 UUJN : “Surat kuasa otentik atau surat lainnya yang menjadi dasar kewenangan pembuatan akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali atau surat kuasa di bawah tangan wajib dilekatkan pada Minuta Akta; Surat kuasa otentik yang dibuat dalam bentuk Minuta Akta diuraikan dalam akta; Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dilakukan apabila surat kuasa telah dilekatkan pada akta yang dibuat di hadapan Notaris yang sama dan hal tersebut dinyatakan dalam akta.”

Mengenai penjelasan dari pasal tersebut maksudnya adalah apabila suatu akta dibuat dalam bentuk originali, maka surat kuasa tersebut harus dijahitkan pada Minuta Akta, sedangkan apabila dibuat dalam bentuk Minuta Akta, maka surat kuasa otentik tersebut harus diuraikan dalam akta. Namun mengenai pelekatan surat kuasa dalam minuta akta tidak wajib dilakukan apabila surat kuasa tersebut dibuat di Notaris yang sama dan hal tersebut telah dinyatakan di dalam akta.

Referensi

Dokumen terkait

1 Tahun 2009, isu strategis Kota Tangerang yang menyangkut tata kelola pemerintahan yang baik menyebutkan bahwa seiring dengan perkembangan pembangunan daerah

Pembinaan adalah rangkaian usaha atau kegiatan yang dilaksanakan secara terencana, terarah, terpadu, berkesinambungan, dan terukur, terhadap teknologi dan industri

Dari penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Afandi (2016) berfikir kritis dalam menyelesaikan soal cerita berdasarkan kemamapuan siswa SMP pada mata pelajaran

Fibrin merupakan suatu protein yang membentuk gumpalan darah untuk manghentikan kehilangan darah. Akumulasi dari fibrin yang berlebihan dalam pembuluh darah biasanya

("yang kami maksudkan dengan tindakan penyelamatan muka adalah tindakan yang "memberikan muka" kepada lawan tutur, yang berusaha untuk menangkal

Dalam PP ini di antaranya diatur tentang pemberian akses kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumber daya Taman Nasional (TN). Kajian ini bertujuan untuk

sulitnya mendatangkan saksi untuk hadir di pengadilan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan hakim Pengadilan Tinggi Negeri Kota Medan

The study attempted to analyse the relationship between total per-student school funding, parental contributions, and student learning outcomes as represented by