• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori - Analisis Perbedaan Teknik Bladder Training Ikat 2 Jam dan Ikat 4 Jam Pada Timbulnya Bladder Sign Ibu Post Partum - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori - Analisis Perbedaan Teknik Bladder Training Ikat 2 Jam dan Ikat 4 Jam Pada Timbulnya Bladder Sign Ibu Post Partum - repository perpustakaan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A.Landasan Teori

1. Proses Persalinan

a. Pengertian

Ibu dengan pasca melahirkan adalah suatu masa yang

membutuhkan perhatian khusus dari keluarga dan lingkungannnya. Bagi

ibu akan terjadi perubahan kehidupan yang bermakna dengan adanya

perubahan fisik dan emosi, termasuk dengan penyesuaian sosial dan

penyesuaian individu. Penyesuaian individu terjadi selaras dengan

adanya kemampuan ibu beradaptasi dengan kondisi pasca melahirkan

(Sarwono, 2010).

Kondisi melahirkan biasanya diawali dengan adanya kontraksi

uterus yang menyebabkan penipisan serta dilatasi serviks, dan

mendorong janin untuk keluar dari jalan lahir secara spontan. Selama

proses persalinan uterus berubah bentuk menjadi dua bagian, yaitu

segmen atas berkontraksi secara aktif akan menjadi lebih tebal ketika

persalinan berlangsung. Bagian bawah lebih pasif dan akan berkembang

menjadi jalan lahir yang berdinding lebih tipis, bertahap terbentuk ketika

kehamilan bertambah tua dan akan menipis saat terjadi proses persalinan

(2)

Proses persalinan sendiri bisa dibagi menjadi dua macam

persalinan, yaitu:

1) Persalinan normal adalah proses lahirnya bayi hidup dan plasenta

dari dalam uterus, presentasi belakang kepala serta melalui vagina

dengan tanpa menggunakan alat bantu pertolongan. Usia kehamilan

antara 30-40 minggu dengan berat badan bayi lebih atau sama

dengan 2500 gram dengan lama persalinan 24 jam dibantu kekuatan

mengejan dan kontraksi uterus dari ibu (Sujiyatini, 2011).

2) Persalinan yang dibantu dengan alat, jika pada fase atau kala II

persalinan tidak maju atau dengan kala II lama, serta janin juga

belum dilahirkan, maka proses persalinan akan mulai menggunakan

alat bantu yang biasa dipakai adalah vakum atau forcep. Saat

tindakan dengan alat bantu ternyata janin belum bisa dilahirkan juga,

maka pilihan terakhir adalah persalinan dengan dilakukan operasi

sectio caesaria.

b. Proses persalinan lama

Proses persalinan lama disebutkan oleh Friedman dalam Sarwono

(2010), berlangsung lebih dari 20 jam pada nulipara, dan 14 jam pada

multipara, biasanya dipengaruhi juga oleh keadaan servik yang buruk,

besarnya janin,dan tanda persalinan palsu. Istirahat dan pemberian

stimulasi oksitosin dapat dilakukan untuk memperbaiki fase laten yang

(3)

Secara spesifik seorang ibu dengan nulipara masuk kala aktif

dengan pembukaan 3 cm sampai 4 cm dan diharap sampai dengan

pembukaan 8 sampai dengan 10 sentimeter selama 3 sampai 4 jam.Untuk

multipara kecepatan penurunan kurang dari 1,5 sentimeter. Kriteria

diagnostik dari partus lama dan partus macet seperti yang diperlihatkan

seperti pada table di bawah ini:

Tabel 2.1. Sebaran pola persalinan menurut banyaknya persalinan

Pola persalinan Nulipara/ primipara Multipara

Persalinan lama:

(Sumber: American College of Obstetricians and Gynecologist dalam perawatan obstetri dan ginekologi, tahun 2013).

Proses persalinan lama sangat berpengaruh terhadap respon ibu

pasca melahirkan,sehingga dukungan dari suami dan keluarga saat

menjelang persalinan diharapkan dapat mengurangi trauma dan ketakutan

ibu saat melakukan persalinan.

Saat melakukan persalinan normal dipengaruhi oleh beberapa

faktor penting yang sering dikenal dengan istilah 5P, yaitu passenge

(janin dan placenta), power (kekuatan his dan kemampuan mengejan),

passage (jalan lahir), psikis (psikologis ibu), dan terakhir penolong. Dari

keharmonisan dan kemampuan yang seimbang antara ibu melahirkan

serta penolong akan membuat proses persalinan berlangsung secara aman

(4)

Pada persalinan dikenal dengan pembagian kala saat menghadapi

persalinan sampai dengan ibu nifas, yang terdiri dari:

Kala 1: dimulai saat persalinan sampai dengan pembukaan lengkap,

bermula dari saat timbulnya his yang semakin teratur sampai dengan

servik diisi oleh bagian terbawah dari janin. Kala 1 dikategorikan

menjadi 2 fase, fase laten yang dimulai dari awal kontraksi sampai

dengan adanya pembukaan 4 sentimeter, kontraksi timbul teratur

lamanya sekitar 20 sampai 30 detik setiap kali timbul his, dan ibu belum

mengeluh merasa mules. Sedangkan yang kedua adalah fase laten,

dengan tanda-tanda yang timbul antara lain : kontraksi semakin sering

dengan frekuensi di atas 3 kali dalam 10 menit, saat kontraksi lamanya

40 detik atau lebih dan terasa lebih menimbulkan rasa mules dan nyeri

pada ibu, serta adanya penurunan bagian terbawah dari janin (Sarwono,

2010).

Kala 2: dimulai dari pembukaan lengkap (10 sentimeter) sampai

dengan bayi lahir. Respon fisik yang timbul pada saat ini antara lain, ibu

ingin meneran yang terasa bersamaan dengan adanya kontraksi, adanya

vulva yang mulai membuka, terjadi tekanan pada anus sehingga anus

terlihat membuka, semakin meningkatnya produk darah dan lendir, dan

yang terakhir biasanya kepala janin telah turun di dasar panggul ibu

(Sujiyatini, 2010). Batas waktu untuk melakukan pimpinan meneran

pada ibu dengan proses persalinan adalah primipara sekitar 120 menit,

(5)

Kala 3: adalah waktu yang dihitung sejak keluarnya janin sampai

dengan terlepasnya plasenta. Kisaran normal pada kala 3 rata-rata

berlangsung selama 5 sampai 10 menit dengan batas waktu maksimal 30

menit. Biasanya resiko terjadi perdarahan timbul di fase kala 3 ini pada

30 menit sampai dengan 60 menit pertama pasca melahirkan (Sujiyatini,

2011). Uterus yang teraba masih keras dan dengan pemeriksaan tinggi

fundus uteri sejajar dengan pusat, terisi plasenta yang akan lepas pada

saat timbul his. Seluruh proses uri berlangsung 5 sampai dengan 30 menit

setelah janin dilahirkan.

Kala 4: yaitu kala pengawasan dimulai dari lahirnya plasenta

sampai dengan 2 jam pasca melahirkan. Di sini harus dinilai tentang

kemampuan uterus berkontraksi, jika dalam waktu 15 menit belum ada

kontraksi uterus yang timbul, maka ibu akan berisiko terjadi atonia uteri

yang berdampak pada terjadinya perdarahan pasca melahirkan yang bisa

mengakibatkan kematian ibu. Biasanya pemantauan dilakukan 15 menit

pertama dan 30 menit kedua setelah proses melahirkan.

Pada proses persalinan dengan kala 2 lama atau memanjang bisa

disebabkan banyak faktor, antara lain adalah adanya faktor kecemasan

yang timbul pada ibu dalam menghadapi nyeri yang akan terjadi saat

proses melahirkan. Rasa takut dan cemas akan mengakibatkan

pengeluaran adrenalin, yang menjadi salah satu penyebab menyempitnya

pembuluh darah dan mengurangi aliran darah yang mengangkut oksigen

(6)

yang akan berimbas pada memanjangnya waktu yang dibutuhkan untuk

mengeluarkan janin atau bayi (Price & Wilson, 2006).

2. Fisiologi sistem perkemihan

Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses

penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak

dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan

oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air

dan dikeluarkan berupa urin (air kemih) (Potter & Perry, 2009).

a. Ginjal

Fungsi ginjal adalah a) memegang peranan penting dalam

pengeluaran zat-zat toksis atau racun, b) mempertahankan suasana

keseimbangan cairan, c) mempertahankan keseimbangan kadar asam dan

basa dari cairan tubuh, dan d) mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir

dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.

Tahap pembentukan urin terjadi di ginjal yang terdiri dari :

1) Proses Filtrasi ,di glomerulus : terjadi penyerapan darah, yang

tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang

tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa,

air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus

ginjal. cairan yang di saring disebut filtrate gromerulus

2) Proses Reabsorbsi : pada proses ini terjadi penyerapan kembali

sebagian besar dari glikosa, sodium, klorida, fospat dan beberapa ion

(7)

tubulus proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali

penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh.

Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya

dialirkan pada papilla renalis.

3) Proses sekresi : sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus

distal dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar

(Potter & Perry, 2009).

Urin normal diproduksi sebanyak 0,5-1 cc/kgBB/jam. Sifat fisis

air kemih/urin, terdiri dari:

1) Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari

pemasukan (intake) cairan dan faktor lainnya

2) Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh,

warna kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan dan

sebagainya

3) Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak

4) Berat jenis 1,015-1,020

5) Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari

pada diet (sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein member

reaksi asam) (Potter & Perry, 2009).

Komposisi air kemih, terdiri dari (Potter & Perry, 2009):

(8)

2) Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea,

amoniak dan kreatinin.

3) Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan sulfat

4) Pagmen (bilirubin dan urobilin)

5) Toksin

6) Hormon.

b. Vesika Urinaria

Semakin panjangnya proses persalinan pada kala 2 akan berdampak

pada fungsi vesika urinaria . Penurunan sensasi berkemih yang disebabkan

oleh karena trauma akibat proses persalinan biasanya disebabkan karena

kandung kemih mengalami hiperemi dan edema, serta menurunnya fungsi

otot-otot dasar panggul. Selain itu biasanya nyeri yang timbul karena adanya

laserasi pada vagina dan adanya jahitan pada perinium ikut mempengaruhi

perubahan rangsang dan reflek berkemih ibu pasca melahirkan (Syaifudin,

2009).

Proses berkemih pada ibu pasca melahirkan melibatkan organ yang

sering disebut dengan vesica urinaria(kandung kemih). Kandung kemih

adalah organ berongga yang tersusun oleh otot polos, lamina promina,

submukosa dan mukosa. Menyerupai bentuk buah pir yang dilapisi mukosa

sel epitel transional,muskulus yang tebal, dan jaringan fibrous kecuali di

(9)

Pada wanita kandung kemih terletak disebelah anterior vagina dan

uterus, pada panggul besar bagian posterosuperior dari simpisis pubis.

Bentuk ,ukuran, dan posisi kandung kemih bervariasi tergantung pada

jumlah urine di dalamnya. Secara umum isi dari kandung kemih normal

berkisar antara 350 mililiter sampai dengan 500 mililiter. Sedangkan fungsi

dari kandung kemih untuk menampung urine yang akan dialirkan oleh

ureter dari ginjal dibantu oleh uretra. Kandung kemih berguna untuk

mendorong urine keluar dari tubuh (Syaifudin, 2009).

Kandung kemih yang berada dalam kondisi kosong akan terdapat

empat buah facies, yaitu satu facies superior, dua facies interolateral, dan

satu buah facies posterior. Pada perempuan facies superior dari vesica

urinaria akan berbatasan dengan corpus uteri yang posisinya berada diatas

vesica urinari (Daniel & Widjaya, 2009).

Vesica urinaria terbentuk dari beberapa struktur antara lain:

a. Tunica serosa , dibentuk oleh epitel transisional tebal.

b. Tunica submukosa, tidak terdapat pada trigonum vesicae.

c. Tunica muskularis.disusun oleh tiga lapis otot polos

d. Tunica serosa, yang berasal dari peritoneum.

3. Persarafan Vesica Urinaria

Persarafan menyebabkan kandung kemih mampu menahan urine di

(10)

Mekanisme saraf yang menjaga saraf parasimpatis postganglionik tetap

tidak aktif melibatkan tiga faktor. Pertama adanya inhibisi berulang

terhadap saraf postganglionik dengan menghambat hubungan antar saraf di

intermediolateral grey columns. Penghambatan ini terjadi pada volume

kandung kemih kecil dan akan hilang waktu terjadinya miksi. Faktor kedua

adalah peranan ganglion parasimpatik yang berfungsi sebagai filter, impuls

preganglion yang rendah tidak akan diteruskan. Faktor ini merupakan faktor

terpenting yang juga akan hilang waktu terjadinya miksi. Faktor ketiga

adalah inhibisi oleh saraf simpatis terhadap parasimpatis ganglioner

(Priguna, 1999).

Sistem persarafan yang dilatih kembali saat bladder training akan

mampu mengembalikan rangsang berkemih pada ibu pasca melahirkan.

Vesica urinaria dipersarafi oleh saraf yang berasal dari plexus

vesicalis yang terdiri dari :

a. Persarafan otot destrusor yang bersifat parasimpatis melalui nervus

erigentes.

b. Nervus hypogastricus bersifat sensorik simpatis yang terangsang karena

regangan vesica urinaria, dan biasanya akan menimbulkan perasaan

penuh, terbakar, dan urgency.

c. Serabut simpatis untuk mempersarafi pembuluh darah di vesica

(11)

d. Dimulainya kontraksi involunter dari vesica urinaria saat terjadi

peregangan dinding yang akan menjadi pemicu timbulnya refleks

detrusor yang mulai aktif saat vesica urinaria terisi lebih dari 100-150

milimeter air kencing atau urine (Daniel & Widjaya, 2009).

4. Adaptasi Fisiologi Pasca Melahirkan

Periode pasca melahirkan harus dikaji oleh perawat secara

komprehensif untuk mencegah komplikasi yang berdasarkan pada proses

perubahan anatomi dan fisiologi pasca melahirkan. Perubahan fisiologi yang

terjadi pada masa pasca melahirkan meliputi beberapa organ, salah satunya

organ sistem perkemihan. Perubahan fisik selama pasca melahirkan menurut

Wong, Perry dan Hockenberry 2002; Pilliteri,2004 yaitu:

Hormon progesteron meningkat dan janin menekan kandung kemih

pada masa kehamilan akibatnya sistem perkemihan mengalami perubahan.

Hormon progesteron yang meningkat mengakibatkan kandung kemih

menjadi relaksasi. Pembesaran janin akan menekan kandung kemih dan

menyebabkan penurunan sirkulasi dan dapat terjadi edema serta iritasi pada

kandung kemih sehingga terjadi kelemahan pada otot kandung kemih.

Kelemahan otot kandung kemih dan otot-otot dasar panggul yang lain akan

diperberat saat mengalami persalinan pervaginam dan akan mempengaruhi

pola berkemih pada ibu pasca melahirkan. Buang air kecil sering sulit

(12)

kandung kemih sesudah mengalami kompresi antara kepala janin dan tulang

pubis selama persalinan.

Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36

jam sesudah melahirkan akibat penurunan kadar hormon estrogen secara

drastis. Hormon estrogen yang bersifat menahan air akan mengalami

penurunan yang drastis setelah plasenta dilahirkan. Keadaan ini

menyebabkan perubahan diuresis (Wong, Perry dan Hockenberry, 2002).

Pada keadaan tidak hamil, kapasitas kandung kemih adalah 350-400 ml,

sedangkan pada masa pasca melahirkan terjadi peningkatan akibat diuresis

menjadi 550-600 ml bahkan mencapai 1 liter. Ureter yang berdilatasi akan

kembali normal dalam tempo 6 minggu. Terjadinya peningkatan kapasitas

kandung kemih dan produksi urin serta menurunnya sensitifitas otot

kandung kemih akibat edema pada masa pasca melahirkan akan

menyebabkan overdistensi pada kandung kemih.

Overdistensi kandung kemih merupakan salah satu penyebab

terjadinya urge incontinencia. Kondisi ini akan merangsang urin keluar

tanpa disadari diluar dari jadwal berkemih (Craven & Hirnle, 2007).

Menurut Pilliteri (2008), pada ibu pasca melahirkan yang mengalami

overdistensi kandung kemih akan mengalami residu urin saat berkemih

karena urin yang dikeluarkan saat berkemih hanya sebagian kecil. Hal ini

(13)

berlanjut akan menyebabkan gangguan permanen akibat kehilangan tonus

otot detrusor dan berakhir dengan inkontinensia permanen.

5. Retensi Urine

Urine yang terkumpul pada kandung kemih akan akan membuat

dinding kandung kemih tebal, menimbulkan rasa tertekan, nyeri dan tidak

nyaman pada area simfisis pubis yang bisa menimbulkan kegelisahan ibu

pasca melahirkan. Pada retensi akut biasa ditandai dengan adanya distensi

kandung kemih dan tidak adanya keluaran urine dalam beberapa jam,

sedangkan pada retensi urine berat klien akan merasakan nyeri yang sangat

hebat dan kandung kemih bisa berisi urine dengan jumlah 2000 mililiter

sampai 3000 mililiter (Perry & Potter, 2010).

Elastisitas dari saluran kemih pada wanita hamil sebagian disebabkan

karena menurunnya otot detrusor. Saat retensi urine tidak teratasi maka akan

timbul aliran overflow, yaitu tekanan di dalam kandung kemih akan

mencapai titik dimana sfingter uretra eksternal sudah tidak mampu untuk

menahana urine, dan akan terbuka untuk memungkinkan urine keluar dalam

jumlah sedikit-sedikit antara 20 mililiter sampai 60 mililiter dengan

frekuensi 2 sampai 3 kali dalam satu jam, tetapi klien tetap akan merasa

tidak nyaman dan terasa sakit serta biasanya ditandai juga dengan distensi

pada kandung kemih (Perry & Potter, 2010).

Kandung kemih sangat perlu dikosongkan dalam waktu 6 sampai 8

(14)

saluran kemih. Bila dalam proses pasca melahirkan ibu masih mengalami

gangguan berkemih maka perlu dilakukan tindakan pemasangan kateter

untuk melatih bladder sign pasien pasca melahirkan dengan melakukan

bladder training.

6. Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin menurut Hunskaar (1998) merupakan adanya

pengeluaran urin yang tidak dapat terkontrol selama setahun atau lebih.

Stres inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak dapat dikontrol,

disebabkan karena tekanan intravesika melebihi tekanan penutupan uretra

kandung kemih yang tidak berkontraksi. Inkontinensia urin adalah

ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin. Trauma terhadap sfingter

internal dan eksternal uretra dapat menyebabkan inkontinensia urin

(Abrams, 1997).

Hasil penelitian Stainton, Strahle dan Fethney (2005) yang meneliti

124 wanita dari usia kehamilan 14 minggu, 24 minggu dan 38 minggu, hari

pertama dan ke dua pasca melahirkan secara longitudinal study

mengidentifikasi bahwa wanita yang mengalami inkontinensia urin di

kehamilan lebih berisiko mengalami inkontinensia pada pasca melahirkan.

Wanita yang melakukan latihan otot dasar panggul dari masa kehamilan

(15)

Kelainan inkontinensia urin sendiri tidak mengancam jiwa penderita,

tetapi berpengaruh pada kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor distres

psikologis dan faktor sosial yang sulit diatasi. Penderita merasa rendah diri

karena selalu basah akibat urin yang keluar mungkin pada saat batuk, bersin,

mengangkat barang berat, bersenggama, bahkan kadang pada saat

beristirahat (Junizaf, 2002).

7. Faktor Penyebab Inkontinensia Urin Pasca melahirkan

Faktor-faktor yang berhubungan dengan inkontinesia urin dan anal

incontinence berdasarkan hasil penelitian Hatem et al (2007) adalah

persalinan pervaginam dengan bantuan forsep, kondisi perineum, usia, berat

lahir bayi dan lama kala II. Dijelaskan oleh Hatem bahwa persalinan dengan

forsep mempunyai resiko 2,28 kali dibandingkan wanita yang melahirkan

spontan pervaginam. Ruptur perineum derajat 3 dan 4 mempunyai resiko

3,58 kali mengalami inkontinensia urin dan anal incontinence dibandingkan

wanita yang tidak mengalami ruptur. Usia diatas 35 tahun mempunyai

resiko 2 kali lebih tinggi dibandingkan usia di bawah 35 tahun. Berat lahir

bayi yang lebih dari 4000 gram akan meningkatkan risiko 2,24 kali

mengalami inkontinensia urin dan anal incontinence. Wanita yang dilakukan

episiotomi berisiko 2,24 kali mengalami inkontinensia urin dan anal

incontinence dibandingkan wanita yang tidak dilakukan episiotomi. Kala II

yang lama menyebabkan wanita 2,28 kali lebih berisiko dibandingkan

(16)

Selain faktor usia, lama kala II, berat lahir bayi, kondisi perineum,

paritas merupakan faktor yang dapat meningkatkan kejadian inkontinensia

urin pada pasca melahirkan. Wanita multipara lebih berisiko mengalami

inkontinensia daripada ibu primipara (Bajuadji, 2004 & WHO, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian Bajuadji (2004) ditemukan 64,9% ibu pasca

melahirkan yang mengalami inkontinesia urin adalah multipara sedangkan

primipara hanya 7,09%.

Tabel 2.2. Sebaran pasien menurut usia dan paritas

Karakteristik Jumlah %

A. Usia (Tahun)

(Sumber: Catatan medis pasien RSU Banyumas bulan Juni sampai

dengan Agustus 2013).

8. Bladder Training

Bladder training dilakukan pada ibu yang mengalami retensi urine

pasca melahirkan, terutama yang mengalami kala II lama dan memanjang,

dimana retensi urine sendiri adalah penumpukan urine yang disebabkan

karena ketidakmampuan pengosongan kandung kemih, saat kandung kemih

tidak mampu merespon reflek miksi yang berakibat tidak terjadi

(17)

Secara umum penanganan klien dengan retensi urine pasca melahirkan

diawali dengan kateterisasi. Kateterisasi pada pasien pasca melahirkan

dipasang selama 24 jam sampai dengan 48 jam. Selanjutnya dilakukan

bladder training dengan teknik ikat pada kateter untuk melatih kembali otot

sfingter eksterna dan interna berfungsi kembali, sampai didapatkan bladder

sign untuk pertama kali (Priguna, 1999).

Blader sign yang pertama akan dirasakan saat kandung kemih mulai

terisi urine sebanyak 150 mililiter sampai dengan 200 milimiter akan

mengirimkan impuls sensorik ke pusat mikturisi di korda spinalis bagian

sakrum (Potter & Perry, 2010). Penatalaksanaan bladder training dilakukan

dengan tujuan meningkatkan kemampuan dan sensasi berkemih pada pasien

pasca melahirkan, selalu diberikan dengan bimbingan dan kriteria waktu

yang ditentukan yaitu dengan waktu ikat kateter 2 jam dan 4 jam.

Prognosis yang bisa dicapai dengan adanya perlakuan bladder training

pada ibu pasca melahirkan adalah baik (Price & Wilson, 2006). Gangguan

atau komplikasi yang berlanjut akibat dari retensi urine pasca melahirkan

seperti terjadinya infeksi saluran kemih sampai dengan gagal ginjal dan

(18)

B.Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini disusun dari berbagai sumber,yaitu

Wong, Perry, & Hockenberry (2002), Craven & Hirnle (2007,) Pilliteri (2008).

Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagan 2.1. Kerangka Teori Penelitian (Wong, perry & Piliteri 2008)

1. Paritas

2. BBL

3. Kala II lama 4. Episiotomi 5. Usia 6. Latihan Kompresi kepela janin

dan tulang pubis

Spasme spingter dan edema kandung kemih

Retensi Urine

Diuresis

Overdistensi bladder saat persalinan

Inkontinensia urin

Bladder training

Bladder sign

(19)

C. Kerangka Konsep

(variabel independent)

(variabel dependent)

Bagan 2.2. Kerangka Konsep Penelitian (Wong, perry & Piliteri 2008) Bladder

training 2 jam

Bladder training 4

jam

Bladder

sign 1. Paritas

2. BBL

(20)

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu teori sementara yang kebenarannya perlu diuji.

Ada dua hipotesis yaitu hipotesis statistik atau disebut juga hipotesis nol

(Ho) dan hipotesis kerja (Ha) disebut juga dengan hipotesis alternatif.

Hipotesa penelitian adalah jawaban sementara penelitian atau dalil

sementara yang sebenarnya akan dibuktikan dalam penelitian (Notoatmojo,

2002). Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Ho : Tidak ada perbedaan antara waktu ikat 2 jam dengan waktu ikat 4 jam

pada timbulnya bladder sign ibu pasca melahirkan dengan kala II

lama.

Ha : Ada perbedaan antara waktu ikat 2 jam dengan waktu ikat 4 jam pada

Gambar

Tabel 2.1. Sebaran pola persalinan menurut banyaknya persalinan
Tabel 2.2.  Sebaran pasien menurut usia dan paritas

Referensi

Dokumen terkait

Lebih rendahnya persentase buah yang kulit luar dan dagingnya tidak bergetah kuning pada perlakuan irigasi tetes berkaitan dengan lebih tingginya kandungan kalsium pada

2. Pemberlakuan sanksi kepada masyarakat yang tergolong muzakki yang tidak menunaikan kewajiban zakat. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan rasio nitrogen dan kalium yang rendah, yaitu nitrogen 10% dan kalium 7,5% dapat memberikan pengaruh pada pertumbuhan vegetative tanaman

Sejak maraknya skandal keuangan yang dilakukan oleh salah satu kantor akuntan publik terbesar didunia dalam tingkatan big five terdahulu dengan perusahaan ternama

cinta kasih sesuai ajaran Yesus Kristus. Pada saat ini di Surabaya sendiri banyak terdapat gereja – gereja Kristen maupun Katolik. Sayangnya banyak dari umatnya

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model Kurt Lewin yang terdiri dari 2 siklus dan setiap siklusnya terdapat 4 tahapan (perencanaan, tindakan, pengamatan, dan

Disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus tenggorok (+) atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO yang meningkat. Jika disokong adanya

Suatu emboli bisa merupakan gumpalan darah (trombus), tetapi bisa juga berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara, yang akan