ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN SEREBRAL PADA NN.R DI RUANG TERATAI
RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Pendidikan Ahli Madya Keperawatan
Disusun Oleh : Heri Siswanto
A01301761
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN SEREBRAL PADA NN.R DI RUANG TERATAI
RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Pendidikan Ahli Madya Keperawatan
Disusun Oleh : Heri Siswanto
A01301761
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016
Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Agustus 2016
Heri Siswanto¹ Irmawan Andri Nugroho, S.Kep.Ns., M.Kep²
ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN SEREBRAL PADA NN. R
DI RUANG TERATAI RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN
Latar belakang: Cedera kepala ringan merupakan hilangnya fungsi neurology
atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya. Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 13 - 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri akut, hematoma, laserasi dan
abrasi. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks
Tujuan umum penulisan karya ilmiah yaitu untuk mengetahui gambaran aplikasi asuhan keperawatan pada pasien dengan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral.
Asuhan Keperawatan: Dalam pembahasan masalah keperawatan yang muncul saat dikaji pada hari Senin, tanggal 30 Juni 2016, pukul 11.35 WIB yaitu keluarga pasien mengatakan pasien sejak kemarin tidak bisa istirahat pada malam hari dan mual muntah sebanyak lima kali dalam semalam. Diagnosa yang muncul adalah ketidakefektifan Perfusi jaringan serebral, intervensi dan implementasi yang dilakukan memonitor tanda-tanda vital, teknik distraksi relaksasi, menganjurkan pasien posisi head up, memberiakan posisi yang nyaman untuk klien. Evaluasi yang dilakukan selama tiga hari, pasien mengatakan kadang masih pusing akan tetapi klien sudah bisa berintaraksi dengan baik.
Rekomendasi: Dari penelitian tentang ketidakefektifan perfusi jaringan serebral khususnya pada kasus cedera kepala ringan, didapatkan hasil head up mampu memberikan kenyamanan pada pasien, sehingga bagi keluarga maupun pasien, mahasiswa, perawat serta institusi untuk mencoba mempraktekkan teknik head up
kepada klien dan mengajarkanya pada keluarga.
Kata kunci: asuhan keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
1. Mahasiswa DIII Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong.
2. Dosen DIII Keperawatan, sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong.
Diploma III of Nursing Program
Muhammadiyah Health Science Institute of Gombong
Nursing Care Report, Agustus 2016
Heri Siswanto¹ Irmawan Andri Nugroho, S.Kep.Ns., M.Kep²
ABSTRACT
NURSING CARE OF TISSUE PERFUSION NURSING IN CEREBRAL TO MSS. R IN TERATAI WARD OF RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN
DISTRICT HOSPITAL
Background: Mild head injury is a loss of neurologic function or decreased consciousness without causing other damage. Mild head injury is a trauma to the head by GCS: 13-15 (fully conscious) there is no loss of consciousness, complained of dizziness and acute pain, hematoma, lacerations and abrasions. Head injury is one of the health problems that can cause physical and mental disorders are complex
The general purpose of writing scientific papers is to describe the application of nursing care in patients with cerebral tissue perfusion ineffectiveness.
Nursing care: In the discussion of nursing problems that arise when examined on Monday, June 30, 2016 at 11:35 pm that the patient's family said patients since yesterday could not rest at night, and nausea and vomiting as much as five times a night. Diagnoses that arise are ineffective cerebral tissue perfusion, intervention and implementation conducted monitoring vital signs, distraction techniques of relaxation, head-up position of the patient advocate, a give position comfortable for clients. Evaluations were conducted over three days, the patient said that sometimes still dizzy but clients can already intraction well.
Recommendation:of research on the ineffectiveness of cerebral tissue perfusion, especially in retrospective case series, mild head injury, the result head up to provide comfort to the patient, so for families and patients, students, nurses and institutions to try practicing techniques head up to clients educated of family.
Keyword: nursing care ineffectiveness cerebral tissue perfusion
1. University Student Diploma III of Nursing, Muhammadiyah Health Science Institute Of Gombong.
2. Lecsturer Diploma III of Nursing, Muhammadiyah Health Science Instituse Of Gombong.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya dan terima
kasih kepada pasien berserta keluarga karena dengan ini penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Laporan Ujian Komprehensif dengan judul
“ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI
JARINGAN SEREBRAL PADA NN.R DI RUANG TERATAI RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN”.
Adapun penulis membuat laporan ini adalah untuk melaporkan hasil Ujian
Komprehensif dalam rangka ujian tahap akhir jenjang pendidikan jenjang
Diploma III Keperawatan.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :
1. Sawiji, S.Kep.,Ns., M.Sc selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong.
2. Irmawan Andri Nugroho, S. Kep.Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing
penyusunan laporan kasus.
3. Kepala dan segenap staf bangsal teratai RSUD Dr. Soedirman kebumen,
yang telah membantu dan membimbing dan membantu dalam proses ujian
komperhensif
4. Klien berserta keluarga yang berkenan untuk turut serta dalam ujian
komprehensif sehingga penulis dapat menyususn laporan kasus ini dengan
baik.
5. Bapak dan Ibu dosen beserta para staf Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Gombong.
6. Staf perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
vii
7. Ibu Muslikhah dan Bapak Saringan alm berserta keluarga besar yang selalu
memberikan doa restu dan motivasi yang luar biasa serta dukungan moral
dan material demi segera menyelesaikan laporan kasus ini.
8. Teman-teman di kelas III yang telah sama-sama berjuang dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis sangat mengharapkan partisipasi dari pembaca untuk memberikan
saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan di kemudian hari.
Akhir kata penulis berharap agar apa yang telah tertulis dalam laporan kasus ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Kebumen, Agustus 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………. i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING……… ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………. iii
ABSTRAK……… iv
ABSTRACT……….. v
KATA PENGANTAR………... vi
DAFTAR ISI………. vii
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar belakang………... 1
B. Tujuan penulisan……… 5
C. Manfaat penulisan……….. 6
BAB II KONSEP DASAR……… 8
A. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral ...………. 8
B. Cedera kepala ringan………. 11
C. Program Inovasi………. 14
BAB III RESUME KEPERAWATAN……….. 16
A. Pengkajian……….. 16
B. Analisa data……… 18
C. Intervensi, implementasi dan evaluasi………... 19
BAB IV PEMBAHASAN………. 25
A. Penegakan diagnosa……….. 25
B. Proses keperawatan………... 30
C. Analisa Tindakan……….. 39
BAB V PENUTUP……… 42
A. Kesimpulan……… 42
B. Saran………. 43
DAFTAR PUSTAKA……… 44
LAMPIRAN……….. 41
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala ringan merupakan hilangnya fungsi neurology atau
menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya. Cedera kepala
ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 13 - 15 (sadar penuh) tidak ada
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri akut, hematoma, laserasi
dan abrasi. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang
dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan
yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit
kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Trauma
kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar
hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak (Dewanto, 2007).
Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi
tubuh, karena di dalam otak terdapat berbagai pusat kontrol seperti
pengendalian fisik, intelektual, emosional, sosial, dan keterampilan.
Walaupun otak berada dalam ruang yang tertutup dan terlindungi oleh tulang-
tulang yang kuat namun dapat juga mengalami kerusakan. Salah satu
penyebab dari kerusakan otak adalah terjadinya trauma atau cedera kepala
yang dapat mengakibatkan kerusakan struktur otak, sehingga fungsinya juga
dapat terganggu (Black & Hawks, 2009).
Pasien dengan cedera kepala dapat secara primer mengakibatkan
kerusakan permanen pada jaringan otak atau mengalami cedera sekunder
seperti adanya iskemik otak akibat hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia atau
ketidak seimbangan elektrolit (Arifin, 2008).
Dengan demikian keadaan tersebut di akibatkan oleh adanya penurunan
cerebral blood flow pada 24 jam pertama cedera kepala, meningkatnya
2
Cedera otak traumatika masih merupakan penyebab kematian dan
kecacatan tertinggi pada kelompok umur dibawah 40 tahun, sehingga menjadi
masalah utama dalam bidang kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi.
Cedera otak traumatika, pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian
dan kecacatan terbanyak di dunia melebihi penyakit-penyakit yang lain.
Meskipun insiden cedera otak traumatika di negara-negara maju di Eropa,
Amerika Utara, Jepang dan Australia terus mengalami penurunan, namun
insidensinya mengalami kenaikan di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Peningkatan ini erat hubungannya dengan meningkatnya
industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor.1-3 Di USA
kejadian cedera otak traumatika setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000
kasus, dan 10% diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit. 80%
dari penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera
otak traumatika ringan, 10% termasuk cedera otak traumatika sedang dan
10% sisanya adalah cedera otak traumatika berat. Lebih dari 100.000 orang,
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera otak traumatika setiap
tahunnya di USA.(Gunawan, 2016).
Sedangkan berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Damanik (2012)
di RSUD dr.SOEDIRMAN Kebumen, kumpulan pane tebing tinggi pada
tahun 2011 jumlah penderita cedera kepala ringan terakhir tertinggi pada
rumah sakit tersebut, berjumlah 85 orang (74,6%). Proporsi pasien dengan
keadaan masih mengalami gangguan rasa nyaman nyeri namun masih
melakukan pengobatan dengan cara rawat jalan adalah ( 51,8% ). Sedangkan
pasien cedera kepala yang meninggal mencapai 85 orang (Damanik& dkk
2012).
Tekanan intrakranial adalah tekanan didalam ruang tengkorak yang di
lindungi dari tekanan luar. Tekanan ini dinamik dan berfluktuatif secara
ritmis mengikuti siklus jantung, respirasi, dan perubahan proses fisiologis
tubuh, secara klinis bisa diukur dari tekanan intraventrikuler,
intraparenkimal, ruang subdural, dan epidural. Pengukuran secara terus
3
perubahan fisiologis dan patologis ruang dalam tengkorak dari waktu ke
waktu, yang diperlukan untuk dasar pengelolaan pasien dengan peningkatan
tekanan intracranial (Gunawan, 2016).
Masalah keperawatan yang muncul dengan CKR di antaranya adalah
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral pada pasien cedera kepala ringan di
tandai dengan adanya penurunan sirkulasi jaringan otak, akibat stuasi O2 di
dalam otak dan niali Gaslow Coma Scalamenurun. Keadaan ini
mengakibatkan disorientasi pada pasien cedera kepala. Ketidakefektifan
perfusi apabila tidak di tangani dengan segera akan meningkatkan tekanan
intrakranial. Sehingga penanganan utama pada pasien ini adalah
meningkatkan status O2 dan memposisikan pasien 15 - 30° ( Kusuma,2012)
Ketidakstabilan status hemodinamika pada pasien cedera kepala akan
berpengaruh terhadap TIK, sehingga akan mempengaruhi perubahan perfusi
jaringan serebral. Oleh Karena itu, untuk memperbaiki perfusi jaringan
serebral pada pasien cedera kepala perlu dilakukan intervensi keperawatan
dan medis yang menunjang percepatan pemulihannya. Kecepatan pemulihan
perfusi jaringan serebral akan berdampak terhadap pemulihan dan
penyembuhan kondisi pasien. Memposisikan head up 15- 30 derajat sangat
efektif menurunkan tekanan intrakranial tanpa menurunkan nilai CPP, dengan
kata lain posisi terebut tidak merubah dan mengganggu perfusi oksigen ke
serebral. Pada pasien serebral injury peningkatan tekanan darah sistolik secara
tiba – tiba sangat berbahaya oleh karenanya dapat melewati blood brain
barrier terjadi edema serebral dengan pemberian obat kepada klien ada
beberapa macam, tetapi yang sering dilakukan yaitu pemberian obat melalui
intravena yang umunya dilakukan di ruang perawatan di rumah sakit. Terapi
intravena merupakan cara yang digunakan untuk memberikan cairan pada
pasien yang tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok. Terapi
intravena bertujuan mencegah gangguan cairan dan elektrolit (Potter dan
Perry, 2006).
Prinsip penanganan awal pada klien dengan gangguan perfusi serebral
4
mencegah hiperkapni dan hipokapnimencegah hiperkalemi dan hipokalemi,
serta mencegah iatrogenic. Meskipun hubungan statistik antara tekanan arteri
dan prognosis yang terbaik di nyatakan dengan tekanan sistolik lebih dari 90
mmHg pada manajement awal dan dan resusitasi, bukti pada pasien dengan
monitor TIK di ICU menyatakan bahwa ambang tersebut cukup rendah.
Selain itu, meskipun tekanan sistolik paling mudah dan akurat di ukur, akan
tetapi hal tersebut tidak dapat memprediksi mean arterial pressure MAP
dengan baik. ( potter dan perry, 2012 ).
Target tekanan arteri sistemik berfariasi pada beberapa guideline. Brain
Trauma foundation (BTF) menyarankan agar menjaga agar tekanan darah
sistolik pada batas normal ( di atas ambang sistolik hipotensi, yaitu lebih dari 90 mmHg ) dan mencegah terjadinya hipotensi, serta menyarankan MAP ≥ 90 mmHg. European Brain Injury Consortium ( EBIC ) menyatakan target tekanan arteri sistemik ≥ 120 mmHg dan MAP ≥ 90 mmHg. Sedangkan
Assosiation of Anesthetists of Great Britain and Ireland menyarankan MAP
≥ 80 mmHg.
Upaya yang dilakukan yaitu antara lain dengan distraksi yaitu sistem
aktivasireticular menghambat stimulus yang menyakitkan jika seseorang
menerima masukan sensori yang cukup atau berlebihan. Stimulus yang
menyenangkan menyebabkan pelepasan endofrin. Distraksi relaksasi
mengalihkan perhatian klien ke hal lain dengan demikian menurunkan
kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
Namun ada satu kerugian, distraksi hanya bekerja paling baik untuk jangka
waktu yang singkat. Sedangkan relaksasi adalah kebebasan mental dan fisik
dari ketegangan dan stress. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri
ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada
nyeri.teknik relaksasi merupakan upaya pencegahan untuk membantu tubuh
segar kembali dan beregeneresi setiap hari dan merupakan alternative
terhadap alcohol, merokok, atau makan berlebihan (potter dan perry, 2012).
Sedangkan upaya lain yang dapat dilakukan untuk memprediksi adanya
5
dengan melakukan pengukuran lebih awal kecukupan tekanan rata-rata aliran
darah ke otak. (Price, Sylvia A., & Wilson, 2006)
Sedangkan untuk program inovasi keperawatan berdasarkan kasus di atas
yaitu tentang pengaruh Head up 15 -30 derajat pada kasus ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral dengan mekanisme pertahanan dalam hal ini tubuh
harus bisa mempertahankan keseimbangannya, sedangkan mekanisme
pertahanan itu sendiri meliputi intracranial Compliance, intracranial
elastance, monro-kellie hipotesis, cerebral blood flow (CBF) dan cerebral
perfusion pressure (CPP). Intracranial Compliance merupakan kemampuan
otak untuk mentoleransi peningkatan volume intrakranial tanpamenyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan. Intracranial elastance diartikan sebagai
kemampuan otak untuk mentoleransi dan mengkompensasi peningkatan
tekanan melalui distensi atau displacement. Cerebral blood flow
(CBF)didefinisikan sebagai kemampuan mempertahankan pengiriman
oksigen kejaringan otak untuk mempertahankan perfusi serebral pada saat
terjadi perubahan tekanan darah melalui mekanisme autoregulasi ( Suadoni,
2009 ).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka terdapat satu permasalahan yang
serius pada pasien cedera kepala ringan, satu masalah tersebut mempunyai
kesempatan penanganan yaitu pada Ketidakefektifan Gangguan Perfusi
Serebral . Sehingga penulis menyusun karya tulis ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Serebral Pada Nn. R di Ruang Teratai RSUD Dr. Soedirman Kebumen “.
B. Tujuan Penulis
1. Tujuan umum penulis
Menguraikan asuhan keperawatan dengan Gangguan Perfusi Serebral
pada Nn. R diruang teratai RSUD ( Rumah Sakit Umum Daerah ) Dr.
Soedirman Kebumen dengan menggunakan pendekatan proses
6
2. Tujuan khusus penulis
a. Memaparkan pengkajian pada klien dengan Gangguan Perfusi Serebral
b. Memaparkan diagnosa keperawatan pada klien dengan Gangguan
Perfusi Serebral
c. Memaparkan rencana keperawatan pada klien dengan Gangguan Perfusi
Serebral
d. Memaparkan implementasi keperawatan sesuai rencana keperawatan
dengan Gangguan Perfusi Serebral
e. Memaparkan evaluasi keperawatan pada klien dengan Gangguan
Perfusi Serebral
f. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan
Perfusi Serebral
C. Manfaat Penulis
1. Maanfaat Keilmuan
a. Manfaat bagi STIKES Muhammadiyah Gombong
1) Menjadikan penulisan ini sebagai media pembelajaran tentang
Gangguan Perfusi Serebral.
2) Menjadikan pembelajaran tentang cara pengkajian dengan kasus
Gangguan Perfusi Serebral dan cara mendokumentasikan asuhan
keperawatan klien dengan masalah keperawatan Gangguan Perfusi
Serebral.
3) Manfaat bagi penulis
Menjadikan pembelajaran serta mengembangkan ilmu pengetahuan
dan keterampilan dalam menangani pasien sehingga dapat
diaplikasikan dalam pekerjaan sebagai perawat
2. Maanfaat Aplikatif
a. Manfaat bagi Rumah Sakit
1) Menjadikan referensi untuk tindakan keperawatan terbaru.
2) Memberikan informasi tentang pengkajian nyeri, rencana
7
3) Memberikan informasi tentang implementasi dan evaluasi
keperawatan pada klien dengan masalah keperawatan Gangguan
Perfusi Serebral.
b. Manfaat bagi pasien dan keluarga.
Memberikan pelayanan kesehatan, membantu menyelesaikan dan
memenuhi kebutuhan dasar klien khususnya pada pemenuhan dengan
DAFTAR PUSTAKA
Arifin dan Wartonah. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan (3th ed.). Jakarta: EGC.
Black, M. J., & Hawks, H.J. (2009).Medical Surgical Nursing Clinical
Management for Positive Outcomes. 8 th Edition. St Louis Missouri:
Elsevier Saunders. Irwana, O. (2009).
Dewanto, G. Suwodo, W, J. Riyanto, B. Turana, Y. Deem. (2009). Panduan
Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC.
Grace, P, A & Neil, R, B. (2007). At Glance Ilmu Bedah. Jakarta : PT.
GeloraAksara Pratama
Herdman, T.Heather. (2012). Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Little, R.D. (2008). Increased Intracranial Pressure. Elsevier.Inc. Machfoed, M
Hassan., (2010). Konsensus Nasional III, Diagnostik
danPenatalaksanaan Nyeri Kepala, Kelompok Studi Nyeri Kepala.
Surabaya : Airlangga University Press.
Mauritz W, Wilbacher I, Majdan M, et al. Epidemiology, Treatment and Outcome
of Patients after Severe Traumatic Brain Injury in European Regions
with Different Economic Status. The European Journal of Public Health.
2008;18:575-580.
Muttaqin, Arif. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Moppet K I. Traumatic Brain Injury: Assessment, Resuscitation, and Early
Management. BJA. 2007;99:18-31.
Marik PE, Varon J, Trask T. Management of Head Trauma. CHEST.
2002;122:699-711. National Institute for Health and Clinical
Excellence. Head Injury. NHS. 2007;56:1-54.
Potter & Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
Price, Sylvia A., & Wilson, L. . (2006). Pathofosiologi: Konsep Klinis Proses–
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Potter, A.P., & Perry, A. (2006). Fundamentals of Nursing. 6 th Edition. St. Louis
Missouri: Mosby-Year Book, Inc
Riyadina, W, dkk., 2009. Pola Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia Vol
59 No 10, Jakarta
Tarwoto. (2011). Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing Terhadap Intensitas
Nyeri Kepala Akut Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. Universitas
Indonesia.
Tahir S., Shuja A. Head Injury Pathology. Dalam: Independent Review, Surgical
Principle. Edisi ke-85. Pakistan: Faisalabad; 2011. Hal. 84-94.
Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. BJA.
i
LAPORAN PENDAHULUAN MEDIKAL BEDAH
KASUS CEDERA KEPALA RINGAN ( CKR )
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Pendidikan Ahli Madya Keperawatan
Disusun Oleh :
HERI SISWANTO A01301762
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
1
LAPORAN PENDAHULUAN MEDIKAL BEDAH
KASUS CEDERA KEPALA RINGAN ( CKR )
I. KONSEP DASAR
A.Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabakan kerusakan tengkorak dan otak
(Price & Neil, 2006).
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat
konginital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan serangan atau benturan fisik
dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury
Assosiation of America, 2006).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dari fungsi otak tanpa di
ikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin,2008)
Jaidi dapat disimpulkan bahwa cedera kepala merupakan cedera yang di
sebabkan oleh benturan dari luar yang dapat menimbulkan kerusakan kognitif
maupun fungsi fisik.
B.Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasi Menurut Patricia dkk (2012) derajat
Cedera kepala sebagai berikut :
1) Cedera Kepala Ringan :
a. Nilai GCS 13-15.
b. Dapat mengalami hilang kesdaran atau menunjukkan amnesia selama
5-60 menit.
c. Tidak ditemukan abnormalitas pada CT scan dan lama rawat di rumah
sakit kurang dari 48 jam.
d. Pasien menunjukan sakit kepala, berat atau hanya pusing.
e. Keinginan untuk muntah proyektil atau pasien mengalami muntah
2
f. Kesadaran pasien semakin menurun.
g. Tekanan darah pasien menurun (hipotensi), serta bradikardi adalah
dimana jantung berdenyut lambat kurang dari 60 kali permenit.
h. Mengalami hipertermi.
2) Cedera Kepala Sedang
Menurut Rendy (2007) Tanda gejala yang ditunjukan pasien cedera
kepala ringan, sebagai berikut:
a. Nilai GCS 9-12.
b. Kehilangan kesadaran sampai amnesia selama 1-24 jam.
c. Dapat ditemukan abnormalitas pada CT scan.
3) Cedera Kepala Berat :
a. Nilai GCS 3-8.
b. Kehilangan kesadaran atau amnesia selama lebih dari 24 jam.
c. Dapat mengalami kontusio serebral laterasi atau hematoma intra
kranial
C.Etiologi
1. Cedera akselerasi (alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang di
tembakkan ke kepala).
2. Cedera deselerasi (jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
3. membentur kaca depan mobil).
4. Cedera akselerasi-deselerasi (kecelakaan kendaraan bermotor dan episode
kekerasan fisik).
5. Cedera coup-countre coup (pemukulan dibagian belakang kepala).
6. Cedera rotasional (benturan yang menyebabkan otak berputar dalam
ronnga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron
dan pembuluh darah otak (Nurarif, 2013).
D.Patofisiologi
Pasien dengan cedera kepala bermula dari sebuah benturan yang secara
tiba tiba yang dapat menyebabkan edema pada serebri sehingga tekanan
3
menyebabkan hipoksia yang mana terjadi perubahan metabolisme aerob
menjadi anaerob maka asam laktat dalam otak menjadi meningkat.
Peningkatan asam laktat dan tekanan intrakranial menyebabkan nyeri di
kepala pada pasien cedera kepala. Vasodilatasi pembuluh darah otak
menjadikan peningkatan sereberal blood flow yang mana otak mengalami
peningkatan suplai oksigen. Pengeluaran hormon endokrin yang berlebihan
akibat dari pusat pengendalian pernafasan dikorteks sereberi yang memacu
kerja aktivitas saraf simpatis dan parasimpatis menyebabkan penurunan
metabolisme sehingga pasien mengalami penuruan kebutuhan oksigen dalam
4
E. Pathway
Cedera Kepala Ringan
Edema Serebri
Peningkatan Intrakranial
Gangguan Perfusi Jaringan Sereberal
Hipoksia Sereberal
Perubahan Metabolisme Aerob Anaerob
Peningkatan Asam Laktat Otak
Penurunan Kebutuhan Oksigen
Konsumsi Oksigen Menurun
Metabolisme Menurun
Sereberal Blood Flow
Vasodilatasi Pembuluh Darah Otak
OtakAktivitas simpatis
Aktivitas parasimpatis
Pengeluaran Hormon Endorphin
Pusat Pengendalian Pernafasan
Di Korteks Serebri Terganggu
(Tarwoto, 2011)
Gambar Pathway Cedera Kepala Ringan Peningkatan
Suplai Oksigen
5
F. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan dignostik untuk memperkuat dignosa cedera kepala
ringan, meliputi:
1. CT-Scan: digunakan untuk melihat adanya lesi, perdarahan dan perubahan
jaringan otak. Dapat juga digunakan untuk mengetahui jika terjadi infark
atau iskemia.
2. MRI: alat yang mempunyai kegunaan seperti CT.Scan yang menggunakan
atau tanpa dengan radio aktif.
3. Cereberal angiography: pemeriksaan yang akan menunjukan adanya
perubahan jaringan otak sekunder karena udema, perdarahan yang di
akibatkan karena trauma.
4. EEG: dengan pemeriksaan EEG akan dapat menunjukan perkembangan
gelombang yang patologis karena trauma.
5. X.Ray: berguna untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
kepala berdasarkan struktu garis dan fragmen tulang.
6. BAER(Brain Audiometri Evoked Response): pemeriksaan yang digunakan
untuk mengoreksi batas fungsi antara corteks dan otak kecil.
7. PET (Positron Emission Tomography): digunakan untuk mendeteksi
adanya perubahan aktivitas metabolik pada otak.
8. CSF (Cerebrospinal Fluid): pemeriksaan ini dilakukan jika diduga adanya
perdarahan pada subarachnoid.
9. ABGs (Artery Blood Gases): pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendeteksi keberadaan ventilasi atau adanya oksigenasi jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
10.Kadar elektrolit: pemeriksaan yang digunakan untuk mendekteksi
keseimbangan kadar elektrolit dalam otak sebagai akibat dari peingkatan
tekanan inrakranial.
11.Screen toxiologi: pemeriksaan yang berguna untuk mendeteksi adanya
pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran. (Musliha,
6
G. Penatalaksanaan
Awal penderitacedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk
sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
kaedaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit (Fauzi,2002). Untuk
penatalaksanaan cedera kepala menurut (IKABI,2004) telah
menempatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera
yaitu cedera kepala ringan,cedera kepala sedang dan cedera kepala berat.
Penatalaksanaan penderita cedera kepala sedang dengan GCS 9-13
meliputi :
1. Anamnesa penderita yang terdiri dari ; nama, umur, jenis kelamin,
ras, pekerjaan.
2. Mekanisme cedera kepala.
3. Waktu terjadinya cedera kepala.
4. Adanya gangguan tingkat kesadaran setelah cedera
5. Anamnesia : retrograde, antegrade
6. Sakit kepala : ringan, sedang, berat
7. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
8. Pemerikasaan neurologis secara periodic
9. Pemeriksaan CT scan
10. Penderita dilakukan rawat inap untuk observasi
11. Bila kondisi penderita membaik(90%) penderita
12. Dapat dipulangkan dan kontrol di poliklinik
13. Bila kondisi penderita memburuk (10%) segeradilakukan
pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai dengan
7
II. KONSEP KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA
A. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan
sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :
a) Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis
kelamin, agama, alamat, golongan darah, hubungan klien dengan keluarga.
b) Riwayat kesehatan : tingkat kesadaran / GCS (< 15), muntah,
dispnea/ takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka pada
kepala, akumulasi pada saluran nafas, kejang. Riwayat penyakit dahulu
haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persyarafan
maupun penyakiT sistem sistemik lainya. Demikian pula riwayat penyakit
keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan
tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data –
data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
B. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah : tingkat kesadaran, biasanya GCS
< 15, disorientasi orang, tempat dan waktu, perubahan nilai tanda-tanda
vital, kaku kuduk, hemiparese.
C. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan : Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan dan perubahan
jaringan otak.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
c. Cerebral Angiography : Menunjukkan anomali sirkulasi cerebral,
seperti perubahan pada jaringan otak sekunder menjadi odeme,
perdarahan dan trauma.
d. Serial EEG : dapat melihat perkembangan gelombang yang
e. patologis.
8
g. BAER : Mengoreksi batas fungsi cortex dan otak kecil.
h. PET : Mendeteksi perubahan aktifitas metabolism otak.
D. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik (00132)
b. Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak berhubungan dengan
Trauma Kepala
c. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ansietas (00032)
E. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik (00132)
Tujuan dan kriteria hasil: setelah dilalukan tindkan keperawatan
selama 3 X 24jam maka diharapkan : pasien mampu mengenali
penyebab nyeri, tidak mengalami gangguan dalam frekuensi
pernafasan, melaporkan pola istirahat yang baik, nyeri berkurang
hingga berangsur hilang.
Intervensi :
a. Kaji pola nyeri dengan PQRST
Rasional:
Untuk mengetahui seberapa parah nyeri yang dirasakan pasien
b. Observasi tanda-tanda vital
Rasional:
Untuk mengetahui keadaan umum pasien
c. Ajarkan tehnik nonfarmakologis (relaksasi nafas dalam atau Guide
Imagery Relaxation)
Rasional:
Untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien
d. Berikan informasi tentang nyeri
Rasional:
Agar pasien tahu tentang nyeri yang di alamai
e. kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik atau obat anti
nyeri
Rasional:
9
2. Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak berhubungan dengan
Trauma Kepala
Tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam, maka diharapakan pasien tidak mengalami
sakit kepala, mempunyai sistem saraf pusat dan perifer yang utuh,
terbebas dari aktifitas kejang
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional:
agar tahu keadaan pasien secara umum.
b. Kaji adanya tekanan intrakranial.
Rasional:
Untuk mengetahui adanya tekanan intrakranial
c. Atur posisi pasien (semi fowler 450)
Rasional:
Menjaga kenyamanan pasien
d. Berikan edukasi tentang trauma kepala
Rasional:
Agar pasien dan keluarga tahu tentang sebab dan akibat dari trauma
kepala
e. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat saraf
Rasional :
Untuk menjaga kenormalan saraf pasien.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ansietas (00032)
Tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24jam, maka diharapakan pasien dapat
menunjukan pola pernafasan yang efektif, menunjukan tidak
adanya gangguan status pernafasan, tidak menggunakan otot bantu
10
Intervensi :
a. Fasilitasi kepatenan jalan nafas
Rasional :
Agar pasien dapat bernafas dengan nyaman dan transpor oksigen
ke seluruh tubuh dan otak dapat lancar.
b. Pantau tingkat pernafasan
Rasional
Mengetahui kelancaran jalan nafas pasien.
c. Posisikan pasien dengan posisi yang nyaman
Rasional:
Agar paru-paru atau dada dapat mengembang dengan maksimal.
d. Edukasi pada keluarga agar segera memberi tahu perawat jika
terjadi ketidak efektifan pola nafas
Rasional :
Membantu dalam kepatenan jalan nafas.
e. Konsultasikan dengan ahli terapi atau dokter untuk memastikan
keadekuatan fungsi ventilator.
Rasional:
11 III. DAFTAR PUSTAKA
Brain Injury Assosiation Of Assosiation. 2006. Tipes of brain injury.
Diperoleh 15 juli 2013 dari http://www.Biausa.org/pages/type of
brain injury.thm.
Muttaqin, Arif. Buku Ajar : Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
Patricia G. Morton, dkk. 2012. Volume I Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta: Nuha Medika.
Nurdiana, I. 2012. Pengaruh Guide Imagery Relaxation Terhadap Nyeri
Kepala Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. Prosiding
Neurobehaviour II.STIKes Hang Tuah. Surabaya
Rendy, Clevo M. 2010. Keperawatan Medikal bedah. Jakarta. EGC
ISSN 2407-9189 The 3rd Universty Research Colloquium 2016
565
MEAN ARTERIAL PRESSURE NON INVASIF BLOOD PRESSURE (MAP-NIBP)
PADA LATERAL POSITION DALAM PERAWATAN INTENSIF: STUDI
LITERATURE
Setiyawan
Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta Email: etya1025@gmail.com
Abstrak
Background: Critical patients have a fluctuative hemodynamic conditions, they are require to hemodynamic monitoring and need early mobilization treatment. Lateral position is one of the nursing interventions in early mobilization and became the standard to prevent immobilization complications, but the impact of the changing position on hemodynamic from the Non-Invasive Blood Pressure (NIBP) that counted by Mean Arterial Pressure (MAP) is still reviewing. Objective: The aim of this literature review to analyze the results of related research that focuses on the effect of lateral position on the NIBP MAP calculation. Methods: The study was conducted by literature review of journals were obtained by electronic media with blood pressure, mean arterial pressure, lateral position, critical care as a keywords. Results: The results explain that changes in the position of lateral impact on the hemodynamic status. This position can improve NIBP MAP average of 4-5 mmHg. Conclusions: Lateral position can increase MAP and may become one of the option to increase MAP in intensive care unit.
Keywords: blood pressure, lateral position, mean arterial pressure
1. PENDAHULUAN
Pasien di unit perawatan intensif (Intensive Care Unit/ ICU) adalah pasien yang dalam keadaan terancam jiwanya karena kegagalan atau disfungsi satu/ multiple organ yang disertai gangguan hemodinamik dan masih ada kemungkinan dapat disembuhkan kembali melalui perawatan, pemantauan dan pengobatan intensif. Pada keadaan gangguan hemodinamik, diperlukan pemantauan dan penanganan yang tepat karena kondisi hemodinamik sangat mempengaruhi fungsi penghantaran oksigen dalam tubuh dan melibatkan fungsi jantung. Oleh sebab itu, penilaian dan penanganan hemodinamik merupakan bagian penting pada pasien ICU. (Leksana, 2011).
Penanganan hemodinamik pasien ICU bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen (DO2) dalam tubuh yang dipengaruhi oleh curah
jantung (Cardiac Output/ CO), hemoglobin (Hb), dan saturasi oksigen (SaO2). Apabila
penghantaran oksigen mengalami gangguan akibat CO menurun, diperlukan penanganan tepat. Curah jantung merupakan variabel
hemodinamik yang penting dan tersering dinilai pada pasien ICU yang salah satunya didasarkan pada NIBP dan pada perhitungan nilai mean arterial pressure (MAP). Hingga kini penilaian hemodinamik, khususnya CO, masih dianggap penting dalam manajemen pasien-pasien ICU, bahkan disarankan sudah perlu dinilai sejak pasien belum masuk ICU. Estimasi secara kasar dengan pengukuran tekanan darah, dan tekanan rata-rata arteri (MAP), dapat menunjukkan keadaan curah jantung secara tidak langsung yaitu menunjukkan keadaan hemodinamik pada monitoring non invasif sehingga dapat mengurangi resiko komplikasi pasien kritis.
ISSN 2407-9189 The 3rd Universty Research Colloquium 2016
566 lebih baik. Di sisi lain perubahan hemodinamik
yang tidak stabil, menjadikan alasan perawat di ICU untuk menghentikan kegiatan mobilisasi sehingga pasien sakit kritis di unit perawatan intensif berada pada resiko tinggi komplikasi dari imobilitas (Goldhill et al. 2007, Nijs et al. 2009).
Pemberian posisi miring (lateral position) menjadi standar perawatan dalam pencegahan komplikasi tersebut. Lateral position merupakan posisi miring (45o) dengan
kepala menggunakan bantal, posisi bahu bawah fleksi kedepan dengan bantal dibawah lengan atas. Pada bagian punggung belakang letakkan bantal/ guling serta paha dan kaki atas disupport bantal sehingga ekstremitas bertumpu secara paralel dengan permukaan tempat tidur dan menstabilkan posisi pasien (Aries et al, 2011).
Blood pressure yang diukur dalam berbagai posisi tubuh, dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan dengan perbedaan lokasi pada sumbu vertikal pengukuran BP dibandingkan dengan atrium kanan perlu diperhitungkan karena perbedaan tekanan hidrostatik (Netea et al. 2003). Beberapa studi menemukan efek kontradiktif dalam kelompok pasien yang berbeda. Pada tahun 1996, Bein et al. (1996) menyarankan untuk menghindari posisi miring kanan yang menyebabkan hipotensi pada pasien kritis. Hemodinamik yang berbeda atau memerlukan penjelasan fisiologis meliputi hidrostatik, mekanik, hormonal atau posisi miring (Bein et al. 1996, Fujita et al. 2000 Schou et al. 2001). Leung et al. (2003) menyimpulkan dalam penelitianya bahwa pasien CHF menghindari posisi miring kiri secara spontan saat tidur untuk meningkatkan kenyamanan.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin melakukan telaah literatur lebih lanjut mengenai pemberian lateral position terhadap hemodinamik dari NIBP berdasarkan perhitungan MAP pada pasien di ruang perawatan intensif.
Tujuan dari literature review ini adalah untuk menganalisa hasil penelitian terkait yang berfokus pada efek pengaruh lateral position terhadap NIBP dari perhitungan nilai MAP. Analisa ini akan menjadi salah satu pertimbangan penggunaan lateral position pada
pasien kritis untuk meningkatkan cardiac output yang didasarkan pada NIBP dari perhitungan nilai MAP dalam proses perawatan ICU.
2. KAJIAN LITERATURE
Non Invasif Blood Pressure
Non Invasive Blood Pressure (NIBP) merupakan teknik pengukuran darah dengan cuff atau manset, baik secara manual maupun dengan mesin monitor. Data status hemodinamik yang bisa didapatkan adalah tekanan sistolik, tekanan diastolik, dan tekanan rata-rata arteri (Mean Arteri Pressure/ MAP). MAP mengambarkan perfusi rata-rata dari peredaran darah sistemik. Sangat penting untuk mempertahankan MAP diatas 60 mmHg, untuk menjamin perfusi otak, perfusi arteri coronaria, dan perfusi ginjal tetap terjaga.
Lateral Position
Lateral position adalah posisi miring (45o) dengan kepala menggunakan bantal,
posisi bahu bawah fleksi kedepan dengan bantal dibawah lengan atas. Pada bagian punggung belakang letakkan bantal/ guling serta paha dan kaki atas disupport bantal sehingga ekstremitas bertumpu secara paralel dengan permukaan tempat tidur dan menstabilkan posisi pasien.
METODE
ISSN 2407-9189 The 3rd Universty Research Colloquium 2016
567
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Non Invasive Blood Pressure adalah salah satu parameter yang paling sering dan diukur dalam praktek klinis, sebagai penentuan diagnostik ataupun penentuan terapi yang didasarkan pada hasil pengukuran NIBP terutama perhitungan MAP. Salah satu faktor yang menentukan nilai Blood Pressure (BP) adalah preload. Preload merupakan tekanan saat pengisian atrium kanan selama diastolik yang menggambarkan volume dari aliran balik jantung / venous return. (Ogedegbe & Pickering, 2010). Menurut Cicolini et al. (2010) menyebutkan bahwa posisi mempunyai efek terhadap perubahan tekanan darah dan tekanan vena sentral. Posisi yang berbeda mempengaruhi hemodinamik termasuk sistem vena.
Secara teoritis pada posisi terlentang dengan disertai head up menunjukkan aliran balik darah dari bagian inferior menuju ke atrium kanan cukup baik karena resistensi pembuluh darah dan tekanan atrium kanan tidak terlalu tinggi, sehingga volume darah yang masuk (venous return) ke atrium kanan cukup baik dan tekanan pengisian ventrikel kanan (preload) meningkat, yang dapat mengarah ke peningkatan stroke volume dan cardiac output (Kim & Sohng, 2006). Perubahan posisi kearah lateral atau miring mempengaruhi aliran balik darah yang menuju ke jantung dan berdampak pada hemodinamik (Cicolini et al., 2010).
Dari hasil penelaahan didapatkan bahwa pemberian lateral position terhadap status hemodinamik NIBP berdasarkan perhitungan MAP pada pasien di ruang perawatan intensif yaitu menurut Aries et al, (2011) lateral position dapat meningkatkan tekanan darah rata-rata 4-5 mmHg dari pada posisi supine, tidak ada perbedaan MAP antara pengukuran pada sisi lateral kiri atau kanan. Menurut Almeida, Pavan, Rodringues, (2009) menyebutkan bahwa left lateral position dapat meningkatkan systolic and dyastolic blood pressure 15mmHg pada 60 menit pertama pemberian posisi pada wanita hamil trimester akhir.
De Laat et al. (2007) dalam studinya menjelaskan bahwa pemberian posisi lateral pada pasien dengan post CABG terdapat
peningkatan MAP IABP < 5mmHg, namun tidak signifikan. Menurut Sen, Aydin, Discigil (2007), menyebutkan bahwa pasien dengan ejection fraction (EF) rendah memiliki potensi lebih tinggi terjadinya hipotensi saat dilakukan spinal anestesi pada posisi supine dibandingkan lateral position.
Evaluasi inferior vena cava dari echocardiography pada tampilan subkostal merupakan menunjukkan bahwa diameter IVC menurun yang diamati pada akhir inspirasi ketika tekanan intratoraks negatif dan menyebabkan peningkatan right ventrikel (RV) dalam mengisi dari vena sistemik. Ukuran IVC secara signifikan dipengaruhi oleh posisi pasien, yang terkecil pada posisi lateral kanan, menengah dalam posisi terlentang, dan terbesar di posisi lateral kiri yang berkorelasi dengan venous return dan tekanan atrium kanan (Ginghina et al. 2009).
Dalam studinya, pemantauan hemodinamik secara klinis dalam perubahan posisi lateral yang diamati, tidak menunjukkan ada perubahan klinis secara signifikan untuk heart rate dan oksigenasi yang diamati pada pasien kritis (Kirchhoff et al. 1984, Thomas et al. 2007). Pada penelitian yang dilakukan Bein et al. (1996) menemukan 16 mmHg-MAP lebih rendah rata-rata pada right lateral position (kecenderungan 63%) dari pada left lateral position, perbedaan tersebut dijelaskan oleh karena perbedaan postur atau efek-samping tertentu pada posisi tubuh.
4. SIMPULAN
Berdasarkan ulasan diatas, dapat disimpulkan bahwa lateral position berpengaruh terhadap peningkatan MAP yang menunjukkan bahwa secara tidak langsung keadaan curah jantung meningkat dan hemodinamik menuju kearah perbaikan sehingga dapat menjadi sebagai salah satu pilihan tindakan keperawatan untuk meningkatkan MAP pada pasien di ruang perawatan intensif
5. REFERENSI
ISSN 2407-9189 The 3rd Universty Research Colloquium 2016
568 Resting In The Left Lateral Position In
Normal Pregnant Women During Late Gestation. BJOG 2009;116:1749–1754. Aries MJH, Aslan A, Jan Willem J Elting, Roy
E Stewart, Jan G Zijlstra, Jacques De Keyser and Patrick CAJ Vroomen, (2011). Intra-Arterial Blood Pressure Reading In Intensive Care Unit Patients In The Lateral Position. Journal of Clinical Nursing, 21, 1825–1830.
Bein T, Metz C, Keyl C, Pfeifer M & Taeger K. (1996). Effects Of Extreme Lateral Posture On Hemodynamics And Plasma Atrial Natriuretic Peptide Levels In Critically Ill Patients. Intensive Care Medicine 22, 651–655.
Cicolini, G., Gagliardi, G., & Ballone, E. (2010). Effect of Fowler’s Body Position on Blood Pressure Measurement. Journal of Clinical Nursing, Volume 19, Issue 23-24.
De Laat E, Schoonhoven L, Grypdonck M, Verbeek A, de Graaf R, Pickkers P & van Achterberg T. (2007). Early Postoperative 30 Degrees Lateral Positioning After Coronary Artery Surgery: Influence On Cardiac Output. Journal Of Clinical Nursing 16, 654– 661.
Fujita M, Miyamoto S, Sekiguchi H, Eiho S & Sasayama S. (2000). Effects Of Posture On Sympathetic Nervous Modulation In Patients With Chronic Heart Failure. Lancet 356, 1822–1823.
Ginghina, C., Beladan, C.C., Iancu, M., Calin, A., Popescu, B.A. (2009). Respiratory Maneuvers In Echocardiography: a Review of Clinical Applications. Cardiovascular Ultrasound, 7:42 doi:10.1186/1476-7120-7-42
Goldhill DR, Imhoff M, McLean B & Waldmann C. (2007). Rotational Bed Therapy To Prevent And Treat Respiratory Complications: A Review And Metaanalysis. American Journal of Critical Care 16, 50–61.
Kim, H.J., Sohng, K.Y. (2006). Effects of Backrest Position on Central Venous Pressure and Intracranial Pressure in
Brain Surgery Patients. Taehan Kanho Hakhoe Chi, 36(2):35 3-60
Kirchhoff KT, Rebenson-Piano M & Patel MK. (1984). Mean Arterial Pressure Readings: Variations With Positions And Transducer Level. Nursing Research 33, 343–345.
Leksana E., (2011). Pengelolaan Hemodinamik. Jurnal CDK 188 Volume 38 Nomer 7. Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi/ Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Indonesia.
Leung RST, Bowman ME, Parker JD, Newton GE, Bradley TD. (2003). Avoidance of the Left Lateral Decubitus Position During Sleep in Patients With Heart Failure: Relationship to Cardiac Size and Function. Journal of the American College of Cardiology.
Netea RT, Lenders JW, Smits P & Thien T. (2003). Influence Of Body And Arm Position On Blood Pressure Readings: And Overview. Journal of Hypertension 21, 237–241.
Nijs N, Toppets A, Defloor T, Bernaerts K, Milisen K & Van Den Berghe G. (2009). Incidence And Risk Factors For Pressure Ulcers In The Intensive Care Unit. Journal of Clinical Nursing 18, 1258– 1266.
Ogedegbe, G. and Pickering T., (2010). Priciples and Techniques of Blood Pressure Measurement. Cardiol Clin. 28(4):571–586.
Sen S, Aydin K, Discigil G. (2007). Hypotension induced by lateral decubitus or supine spinal anaesthesia in elderly with low ejection fraction undergone hip surgery. Journal of Clinical Monitoring and Computing (2007) 21:103–107 Schou M, Pump B, Gabrielsen A, Thomsen C,
Christensen NJ, Warberg J & Norsk P (2001). Cardiovascular And Neuroendocrine Responses To Left Lateral Position In Non-Obese Young Males. Journal of Gravitational Physiology 8, 15–19.
ISSN 2407-9189 The 3rd Universty Research Colloquium 2016
569
Ventilated Intensive Care Patients: A Study Of Oxygenation, Respiratory Mechanics, Hemodynamics, And
Deni Wahyudi1
1Program Magister Ilmu Keperawatan Konsentrasi Keperawatan Kritis
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Perawatan merupakan inter disipliner untuk focus pasien dengan cedera pada otak karena traumatik dengan mengobati cedera otak primer dan membatasi kerusakan otak lebih lanjut dari cedera sekunder. Pada perawatan unit intensif perawat memiliki peran integral dalam mencegah cedera otak sekunder, namun sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian perawat tentang risiko cedera otak sekunder. Tujuan mengetahui variable mana yang fisiologis dan situasional mempengaruhi penilaian perawat unit intensif yang peduli risiko pasien untuk cedera otak sekunder, manajemen memfasilitasi dengan intervensi keperawatan, dan manajemen dengan berkonsultasi anggota lain dari tim kesehatan dalam perawatan. Metode, Tahapan metode yang digunakan dengan survey beberapa faktor. Sketsa mencerminkan kompleksitas scenario kehidupan nyata secara acak dihasilkan dengan menggunakan nilai yang berbeda dari masing-masing variable independen. Survei yang berisi sketsa dikirim keperawat di 2 tingkat pusat trauma. Regresi digunakan untuk menentukan variable mempengaruhi penilaian tentang cedera otak sekunder. Hasil, Penilaian tentang risiko cedera otak sekunder dipengaruhi oleh saturasi oksigen dari seorang pasien tersebut, tekanan intrakranial, tekanan perfusi serebral, mekanisme cedera, dan diagnosis utama, serta dengan pergeseran keperawatan. Penilaian tentang intervensi dipengaruhi oleh saturasi oksigen pasien, tekanan intra kranial, dan tekanan perfusi serebral dan dengan pergeseran keperawatan. Penentuan awal yang dilakukan oleh perawat adalah variabel yang paling signifikan dari prediksi tindak lanjut penilaian. Kesimpulan, Perawat perlu standar, berbasis bukti yang nyata dari manajemen cedera otak sekunder pada pasien sakit kritis dengan cedera otak akibat
Kata kunci : intracranial, manajemen, cedera
ABSTRACT
Interdisciplinary care for patients with traumatic brain injury focuses on treating the primary brain injury and limiting further brain damage from secondary injury. Intensive care unit nurses have an integral role in preventing secondary brain injury; however, little is known about factors that influence nurses’ judgments about risk for secondary brain injury. Objective To investigate which physiological and situational variables influence judgments of intensive care unit nurses about patients’ risk for secondary braininjury, management solely with nursing interventions, and management by consulting another member of the health care team. Methods A multiple segment factorial survey design was used. Vignettes reflecting the complexity of real-life scenarios were randomly generated by using different values of each independent variable. Surveys containing the vignettes were sent to nurses at 2 level I trauma centers. Multiple regression was used to determine which variables influenced judgments about secondary brain injury. Results Judgments about risk for secondary brain injury were influenced by apatient’s oxygen saturation, intracranial pressure, cerebral perfusion pressure, mechanism of injury, and primary diagnosis, as well as by nursing shift. Judgments about interventions were influenced by a patient’s oxygen saturation, intracranial pressure, and cerebral perfusion pressure and by nursing shift. The initial judgments made by nurses were the most significant variable predictive of follow-up judgments. Conclusions Nurses need standardized, evidence-based content formanagement of secondary brain injury in critically ill patients with traumatic brain injury.
Keywords : intracranial, management, injury
HEAD UP IN MANAGEMENT INTRACRANIAL FOR HEAD INJURY
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 11. No. 1 Maret 2015
1093
PENDAHULUAN
Otak yang beratnya 2% dari berat badan menerima 1/6 dari darah yang
dipompa oleh jantung dan menggunakan 20% oksigen yang diperlukan tubuh
merupakan pusat vital yang sangat peka terhadap keadaan hipoksia maupun
trauma. Kalau jaringan lain mampu mentolerir hipoksia selama satu jam tetapi
jaringan otak hanya dalam tiga menit. Begitu juga trauma sangat berpengaruh
terhadap fungsi dari otak itu sendiri sebagai pusat semua sistem didalam tubuh
manusia. Salah satu penyebab hipoksia otak dan trauma otak adalah kenaikan
tekanan intrakranial yang berlebihan.
Gambar 1. Tampilan intracranial
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi
neurologis. Cedera kepala (Head Injury) adalah jejas atau trauma yang terjadi
pada kepala yang dikarenakan suatu sebab secara mekanik maupun
non-mekanik.
Cedera kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering terjadi
diantara penyakit neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh kecelakaan,
meliputi: otak, tengkorak ataupun kulit kepala saja.
(Brunner&Suddart,1987:2210). Jadi, cedera kepala (head Injury) atau
trauma atau jejas yang terjadi pada kepala bisa oleh mekanik ataupun
non-mekanik yang meliputi kulit kepala, otak ataupun tengkorak saja dan merupakan
penyakit neurologis yang paling sering terjadi, biasanya dikarenakan oleh
kecelakaan (lalu lintas). Atau ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam
penentuan derajat trauma kepala. Head injury ini akan mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial yang merupakan kondisi bahaya dan harus
Head Up In Management Intracranial For Head Injury Paper Evidence Based Practice (Ebp) Deni Wahyudi
1094
kepala yang hebat, muntah proyektil, hipertensi, bradikardi, pupil anisokor, dan
juga terjadi penurunan kesadaran.
Hal tersebut dilatarbelakangi oleh elevasi kepala tempat tidur selama
vasospasme telah dibatasi dalam upaya untuk meminimalkan vasospasme atau
gejala sisa atau keduanya. Akibatnya, beberapa pasien tetap pada istirahat
selama berminggu-minggu. Juga cedera otak sering membawa kematian dalam
setiap pasien yang menderita dari itu. Waktu lama sebelum pasien mencapai
perawatan medis akan menyebabkan cacat sementara atau permanen fisik .
Perawatan medis yang tepat dan respon cepat akan mengurangi risiko memiliki
kedua efek buruk. Kasus ini bisa konservatif mengobati dengan operasi memang.
Ini pasien cedera otak harus menerima perawatan pemantauan hemodinamik
seperti tertentu, tanda-tanda vital pengamatan dan pengaturan posisi samping
pengobatan konservatif dan terapi obat-obatan tertentu.
Ini mekanisme pertahanan itu sendiri meliputi intracranial Compliance,
intracranial elastance, monro-kellie hipotesis, cerebral blood flow (CBF) dan
cerebral perfusion pressure (CPP). Intracranial Compliance merupakan
kemampuan otak untuk mentoleransi peningkatan volume intrakranial tanpa
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan. Intracranial elastance diartikan
sebagai kemampuan otak untuk mentoleransi dan mengkompensasi peningkatan
tekanan melalui distensi atau displacement. Cerebral blood flow (CBF)
didefinisikan sebagai kemampuan mempertahankan pengiriman oksigen ke
jaringan otak untuk mempertahankan perfusi serebral pada saat terjadi
perubahan tekanan darah melalui mekanisme autoregulasi. Cerebral perfusion
pressure (CPP) diartikan sebagai tekanan gradient yang melewati otak. CPP
dikalkulasikan sebagai MAP (Mean Arterial blood Pressure) – ICP (Intracranial
Pressure). Rentang normal CPP adalah antara 50- 150 mmHg dengan rata rata
antara 80-100 mmHg. CPP kurang dari 50 mmHg akan mendorong terjadinya
hipoperfusi otak, hipoksia dan kerusakan akibat iskemia. Sedangkan jika CPP
lebih dari 150 mmHg akan mendorong terjadinya status hiperemik dan
menyebabkan edema serebral serta hipertensive ensepalopati.
METODE
Metode review literatur berupa analisis jurnal keperawatan yang membahas
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 11. No. 1 Maret 2015
1095 intra kranial dalam pasien yang mengalami cedera kepala atau head injury
dengan menggunakanhead upsalah satunya yang dilaksanakan oleh Patricia A.
Blissitt, Pamela H. Mitchell, David W. Newell, Susan L. Woods and Basia Belza
dari American Jurnal of Critical Care (AJCC) pada pasien dengan aneurisma
subarachnoid hemorrhage.
Penelitian lain dilaksanakan oleh Jajuk Retnowati dari Instalasi Gawat
Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya tentang pengaruh
posisi Head Up 30 derajat terhadap perubahan tanda-tanda vital dan tingkat
kesadaran pada pasien COB (Cedera Otak Berat) post trepanasi.
Pencarian jurnal didapatkan dari hasil pencarian literature dengan
menggunakan google scholar searching machine, Proquest, EBSCO, dan
SpringLink dengan kata kunci management of intracranial pressure, head injury.
Kriteria yang diambil adalah jurnal yang dipublikasikan pada tahun 2003-2013
dengan menggunakan bahasa inggris.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan bagaimana ketinggian
kepala pada tempat tidur dari 20º dan 45º mempengaruhi dinamika
serebrovaskular pada pasien dewasa dengan vasospasme ringan atau sedang
setelah aneurisma subarachnoid hemorrhage dan untuk menggambarkan respon
vasospasme ringan atau sedang kepala pada tempat tidur elevasi 20º dan 45º
terhadap variabel seperti kelas perdarahan subarachnoid dan tingkat
vasospasme .
Metode penelitiannya pasien desain diulang dengan langkah yang
digunakan. Kepala pasien dan tempat tidur diposisikan urutan 0º 20º 45º 0º
-20 º pasien dengan vasospasme ringan atau sedang antara hari 3 dan 14 setelah
aneurisma subarachnoid hemorrhage. Kontinyu transkranial Doppler rekaman
diperoleh selama 2 sampai 5 menit setelah membiarkan sekitar 2 menit untuk
stabilisasi dalam setiap posisi.
Hasilnya ada pola atau trend yang menunjukkan bahwa kepala pada
tempat tidur yang ditinggikan akan meningkatkan vasospasme. Sebagian
kelompok , tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pasien pada posisi yang
berbeda dari kepala yang ditinggikan tempat tidurnya. Memanfaatkan lain
Head Up In Management Intracranial For Head Injury Paper Evidence Based Practice (Ebp) Deni Wahyudi
1096
tersebut menunjukan tidak ada kerusakan saraf terjadi. Kesimpulan secara
umum, elevasi kepala pada tempat tidur tidak menyebabkan perubahan
berbahaya dalam aliran darah di otak yang berhubungan dengan vasospasme .
Peningkatan tekanan intrakranil ini bisa disebabkan oleh 3 faktor
(Suadoni, 2009) yaitu peningkatan volume otak (odema, perdarahan), cairan
cerebrospinal (peningkatan produksi, penurunan absorbsi, ketidak adekuatan
cirkulasi) dan juga disebakan oleh darah (vasodilatasi, obstruksi vena kapa
superior, gagal jantung dan trombosis di vena serebral). Peningkatan tekanan
tinggi intrakranial secara klasik ditandai dengan suatu trias, yaitu nyeri kepala,
muntah-muntah dan papil edema.
Pathway PTIK
Meningkatnya volume intrakranial
↓
Tekanan intrakranial meningkat
↓
Compresi vena
↓
Stagnasi darah
↓
Tekanan intrakranial meningkat
↓
CBF menurun
↓
Perfusi menurun
↓
PaO2menurun, PaCO2meningkat, dan pH menurun
↓
pembuluh darah dan sel menjadi rusak ↓
darah dan cairan keluar dari pembuluh darah ↓
menekan daerah yang ada di bawahnya termasuk pembuluh darah ↓
aliran darah ke otak ↓ ↓
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 11. No. 1 Maret 2015
1097 ↓
terjadi metabolisme anaerob ↓
ATP yang dihasilkan sedikit + asam laktat ↑
↓
Na+hanya dapat influks tidak dapat efluks
↓
shif cairan ke interstisial ↓
oedem otak ↓
semakin menghambat perfusi ke jaringan otak
Otak terdesak ke bawah melalui tentorium (herniasi otak)
↓
Menekan pusat vasomotor, arteri cerebral post, N. Occulomotorius,
corticospinal pathway, serabut RAS
↓
Mekanisme untuk mempertahankan kesadaran, pengaturan suhu, tekanan
darah, nadi, respirasi, dan pergerakan menjadi terganggu.
Untuk itu sebagai perawat diruangan NCCU harus mengetahui
bagaimana ciri-ciri pasien yang mengalami PTIK dan intervensi yang harus
dilakukan. Adapun pengkajian yang harus dilakukan adalah :
a. Airway :
Pastikan penanganan jalan nafas dengan teknik kontrol servikal sehingga
dapat memudahkan oksigen masuk ke paru-paru. Lakukan posisi head up <
30 derajat untuk mempermudah aliran masuk daln keluar darah ke otak. Pada
pasien dengan GCS < 8 maka harus segera dipasang ETT.
b. Breathing
Pastikan asupan oksigen adekuat dengan mempertahankan saturasai 95 –
100 %. Lihat perkembangan data apakah simestris atau tidak, deviasi trakea,
suara nafas tambahan, distensi vena jugularis. Berikan oksigen dengan
konsentrasi tinggi melalui SMRM ataupun SMNRM. Apabila pasien dilakukan
pemasangan ETT maka di anjurkan memakai ventilator mekanik.
c. Circulation
Kaji tekanan darah pasien, frekuensi nadi, suhu, dan adanya ciri-ciri