• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIKAP KRITIS DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA PEREMPUAN DENGAN MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA KONSTRUKTIVISME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIKAP KRITIS DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA PEREMPUAN DENGAN MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA KONSTRUKTIVISME"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

133

MASALAH SISWA PEREMPUAN DENGAN

MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

KONSTRUKTIVISME

Cholis Sa’dijah

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang, Jl. Surabaya 6 Malang 65145

Abstract. The purpose of this study is to describe critical think-ing and problem solvthink-ing achievement of female students usthink-ing constructivism mathematics instructions. The subjects of this study are 81 students of seventh grade at one of private junior high school in Malang. The instruction model is based on the constructivism. This model consists of a book, lesson plan, mathematics worksheets, tests for critical thinking and prob-lem solving achievement. The instruments are scoring rubrics and an observation guide for the instruction. This study con-cludes that both of the critical thinking and problem solving achievement of the girls are fair.

Keywords: critical thinking, problem solving achievement, constructivism mathematics instructions, female students.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peran perempuan dalam kiprah

pembangunan di negara kita semakin besar. Perempuan dituntut

untuk bersikap kritis dan mampu menyelesaikan masalah.

Sebelum melaksanakan penelitian ini, telah dilakukan diskusi

dengan guru

matematika

SMP

melalui forum MGMP

(Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Matematika. Menurut para

guru, siswa perempuan mempunyai sikap kritis dan kemampuan

(2)

pemecahan masalah yang kurang dibandingkan siswa laki-laki.

Apakah memang benar demikian?

Sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah sangat

di-perlukan dalam mempersiapkan anak didik memecahkan masalah

kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Sikap kritis

sinonim dengan domain evaluasi yang merupakan domain

ter-tinggi dari 6 domain kognitif dalam pendidikan (Fisher, 1993).

Ada 12 aspek sikap kritis yang dapat membantu siswa

menganalisis kritis suatu ide, yaitu apakah bermakna, jelas,

konsisten, logis, teliti, mengikuti aturan, cermat, bijaksana,

relevan, menghasilkan, didefinisikan dengan baik dan benar.

Sikap kritis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terampil

mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis

(menggeneralisasi dan mengintegrasi), dan mengevaluasi.

Sedangkan kemampuan pemecahan masalah matematika adalah

kemampuan untuk menyelesaikan soal atau pertanyaan

matematika yang tidak bersifat rutin. Artinya, soal atau

pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin.

Dengan kata lain, siswa tidak mempunyai strategi tertentu yang

segera dapat digunakan untuk menjawab perta-nyaan tersebut.

Padahal salah satu tujuan pengajaran matematika di sekolah

adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam

pemecahan masalah.

Menurut Novak dan Gowin (1985), salah satu faktor penting

yang dapat mempengaruhi belajar anak adalah apa yang

diketahuinya. Guru hendaknya berusaha untuk mengetahui dan

memanfaatkan pengetahuan awal yang telah ada dalam pikiran

siswa sebelum mereka mempelajari suatu konsep atau

pengalam-an baru. Hal ini sesuai dengpengalam-an ppengalam-andpengalam-angpengalam-an konstruktivisme bahwa

guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk

membangun sendiri pengetahuannya secara aktif dengan

memperhatikan pengetahuan awal siswa. Pengetahuan awal

didefinisikan sebagai fakta, ide-ide/konsep-konsep, prinsip yang

telah dimiliki siswa sebelum secara formal mempelajari

konsep-konsep baru. Ide/ konsep-konsep, atau prinsip tersebut merupakan

(3)

pengetahuan pribadi mereka yang terbentuk melalui belajar

in-formal dan pengalaman sehari-hari maupun dari belajar in-formal

sebelum mempelajari konsep-konsep baru.

Menurut pandangan konstruktivisme, prinsip utama tradisi

konstruktivisme adalah pengetahuan dibangun secara aktif oleh

individu. Gagasan tidak dapat dikomunikasikan maknanya jika

diberikan langsung kepada siswa, melainkan siswa sendiri

membentuk makna tersebut (Wheatley, 1991). Dengan kata lain,

pengetahuan dapat dibentuk oleh siswa dalam pikirannya sendiri

setelah adanya interaksi dengan lingkungan. Oleh karena itu guru

seharusnya menyadari pengetahuan awal yang ada dalam pikiran

siswa dan harus menyesuaikan pelajaran dan cara mengajarnya

dengan pengetahuan awal tersebut. Dalam penelitian ini,

pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme adalah

pembelajaran

matematika

berdasarkan pandangan bahwa

pengetahuan dibangun aktif oleh individu.

Menurut beberapa ahli dan beberapa penelitian, pembelajaran

konstruktivisme dapat meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah (antara lain NCTM, 1990, 1995; Slavin, 1997; Woolfolk,

1998). Penelitian tentang pembelajaran matematika yang beracuan

konstruktivisme (Sa’dijah; 1999, 2001) menyimpulkan bahwa

pembelajaran matematika yang beracuan konstruktivisme dapat

meningkatkan pemahaman matematika siswa. Penelitian tersebut

belum mencermati perbedaan jender dan belum mencermati

pengaruhnya pada sikap kritis siswa. Telah dilakukan penelitian

yang mencermati perbedaan jender (Sa’dijah, 2006b). Penelitian

tersebut hanya mencermati tentang pengaruh jender pada

kemampuan pemecahan masalah dan hanya pada siswa di salah

satu SMP negeri di Malang. Hasil penelitian tersebut adalah

bahwa kemampuan pemecahan masalah masing-masing siswa

perempuan

dan

siswa

laki-laki

yang

pembelajarannya

menggunakan

model

pembelajaran

matematika

beracuan

konstruktivisme secara kualitatif sama, yaitu termasuk kriteria

cukup memuaskan. Dari hasil tersebut timbul pertanyaan apakah

hasil tersebut juga sama jika dikaji pada siswa SMP swasta?

(4)

Apakah perbedaan jender juga berpengaruh pada sikap kritis dan

kemampuan pemecahan masalah?

Dari latar belakang masalah tersebut, dalam penelitian ini

dikaji sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah siswa

pe-rempuan yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran

ma-tematika beracuan konstruktivisme. Kemudian hasilnya

diban-dingkan dengan sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah

siswa laki-laki yang menggunakan pembelajaran yang sama.

Karakteristik dan indikator pelaksanaan pembelajaran

ma-tematika beracuan konstruktivisme yang diterapkan dalam

penelitian ini mengacu pada Sa’dijah (2006a). Karakteristik

tersebut ada enam sebagai berikut. (1) Mengaitkan pembelajaran

dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa sehingga

pengetahuan akan dikonstruksi siswa secara bermakna. Hal ini

dapat dilakukan dengan menyediakan pengalaman belajar yang

sesuai

dengan

pengetahuan

yang

dimiliki

siswa.

(2)

Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan

relevan, sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial.

Dengan demikian diharapkan matematika menjadi menarik

baginya dan mereka termotivasi untuk belajar. Hal ini dapat

dilakukan antara lain dengan cara menyediakan tugas-tugas

matematika yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. (3)

Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar. Hal ini dapat

dilakukan dengan memberikan pertanyaan terbuka, menyediakan

masalah yang dapat diselesaikan dengan berbagai cara atau yang

tidak hanya mempunyai satu jawaban benar. (4) Mendorong

terjadinya interaksi dan kerjasama dengan orang lain atau

lingkungannya,

mendorong

terjadinya

diskusi

terhadap

pengetahuan baru yang dipelajari. (5) Mendorong penggunaan

berbagai representasi/media. (6) Mendorong peningkatan

kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan melalui

refleksi diri. Dalam hal ini penting bahwa siswa perlu didorong

kemampuannya untuk menjelaskan meng-apa atau bagaimana

memecahkan suatu masalah atau menganalisis bagaimana proses

mereka

mengkonstruksi

pengetahuan,

demikian

juga

(5)

mengkomunikasikan baik lisan maupun tulisan tentang apa yang

sudah dan yang belum diketahuinya (Novak & Gowin, 1985;

Kamii, 1990; Tobin, 1993; Yager, 1995; Wilson, 1996; Degeng, 1998;

Hudojo, 1998; 2001, Brooks & Brooks, 1999; Tadao, 2000). Dari

enam

karakteristik

pembelajaran

matematika

beracuan

konstruktivisme tersebut dikembangkan indikator-indikator yang

sesuai dengan masing-masing karakteristik tersebut.

Menurut Ernest (1991) selama berpuluh tahun ada bukti

bah-wa bah-wanita tidak diuntungkan dalam pendidikan matematika

dibanding pria. Dua komponen yang berkaitan dengan perbedaan

partisipasi pria dan wanita adalah a) kurang berhasilnya anak

putri dalam ujian; dan b) kurangnya partisipasi anak putri yang

berumur 16 tahun ke atas dalam matematika.

Ernest (1991) menggambarkan bagaimana anak putri kurang

memiliki kesempatan sama dalam belajar matematika dari

berbagai penyebab. Hal ini menimbulkan pandangan negatif anak

putri tentang kemampuan matematika mereka sendiri, dan

memperkuat persepsi mereka bahwa matematika adalah bidang

studi anak laki-laki. Akibatnya, partisipasi dan prestasi ujian lebih

rendah bagi anak putri dalam matematika. Karena peran

matematika sebagai penyaring kekritisan dalam mengatur akses ke

kedudukan yang lebih tinggi, akibatnya para wanita memperoleh

pekerjaan dengan gaji lebih rendah. Penempatan wanita secara

tidak seimbang pada pekerjaan dengan status lebih rendah dan

gaji lebih rendah menghasilkan ketidaksamaan jender dalam

masyarakat. Keadaan ini memperkuat pengklisean jender di

antara pria dan wanita. Hal ini berkontribusi pada komponen

ideologis ke dalam seksisme institusional dalam pendidikan, yang

menghasilkan kurangnya kesempatan sama bagi para anak putri

dalam matematika.

METODE

Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII salah satu SMP

swasta di kota Malang. Penelitian ini menggunakan model

pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Sa’dijah,

(6)

2005). Model ini terdiri dari buku model pembelajaran matematika

beracuan konstruktivisme, rencana pelaksanaan pembelajaran

(RPP), lembar kegiatan matematika untuk siswa (LKMS), serta tes

sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah. Instrumen

pe-nelitian ini berwujud rubrik skoring penilaian sikap kritis, rubrik

skoring penilaian kemampuan pemecahan masalah, dan pedoman

pengamatan keterlaksanaan pembelajaran matematika beracuan

konstruktivisme (Sa’dijah, 2005). Instrumen ini dikembangkan

berdasarkan karakteristik dan indikator-indikator pembelajaran

matematika beracuan konstruktivisme

Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Berikut

ini dikemukakan analisis tes sikap kritis dan kemampuan

pemecahan masalah serta analisis keterlaksanaan pembelajaran

matematika beracuan konstruktivisme.

Analisis Tes Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah

Untuk menilai sikap kritis dan kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa, digunakan rubrik skoring. Pada

keterang-an rubrik skoring tersebut tercantum arti skala penilaian

yaitu 0 berarti tidak memuaskan, 1 berarti kurang memuaskan, 2

berarti cukup memuaskan, 3 berarti memuaskan, dan 4 berarti

sangat memuaskan. Selanjutnya skor rata-rata masing-masing

sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah dikonversikan

dengan kriteria sebagai berikut.

1,49

tidak baik

1,50 – 2,49

kurang baik

2,50 – 3,49

cukup baik

3,50 – 4,00

baik

Analisis Keterlaksanaan Pembelajaran

Pada Pedoman Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran

Matematika

Beracuan

Konstruktivisme,

pemberian

skor

didasarkan pada acuan seperti pada Tabel 1.

Selanjutnya skor rata-rata dikonversikan dengan kriteria

sebagai berikut

(7)

1,50 – 2,49

kurang terlaksana

2,50 – 3,49

cukup terlaksana

3,50 – 4,00

terlaksana

Tabel 1 Skor Keterlaksanaan Pembelajaran

Tidak Ya, sangat kurang Ya, kurang Ya, cukup Ya, sering 0 1 2 3 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut dikemukakan hasil analisis sikap kritis dan

kemampuan pemecahan masalah siswa, serta pelaksanaan

pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme.

Hasil Analisis Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa

Data hasil analisis sikap kritis dan kemampuan pemecahan

masalah disajikan pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2 Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Perempuan dan Laki-laki

No Jenis Kelamin Sikap Kritis Kemampuan Pemecahan Masalah

1 Perempuan Rata-rata 2,97 dari skor maksimum 4 Kategori: cukup baik

Rata-rata 3,02 dari skor maksimum 4

Kategori: cukup baik 2 Laki-laki Rata-rata 2,75 dari

skor maksimum 4 Kategori: cukup baik

Rata-rata 2,86 dari skor maksimum 4

Kategori: cukup baik

Dari data Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata masing-masing

sikap kritis siswa perempuan dan laki-laki termasuk kategori

cukup baik walaupun secara kuantitatif rata-rata skor sikap kritis

siswa perempuan lebih tinggi dari siswa laki-laki. Rata-rata

(8)

kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan dan laki-laki

juga termasuk kategori cukup baik walaupun secara kuantitatif

ra-ta-rata skor kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan

lebih tinggi dari siswa laki-laki. Selanjutnya dikemukakan rincian

persentase sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah

siswa perempuan dan siswa laki-laki.

Tabel 3 Rincian Persentase Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Perempuan dan Laki-laki

No Kategori Persentase Siswa Perempuan Persentase Siswa Laki-laki 1 Sikap Kritis Baik Cukup baik Kurang baik 34,2 58,5 7,3 22,5 67,5 10,0 2 Kemampuan pemecahan masalah

Baik Cukup baik Kurang baik 31,7 63,4 4,9 20,0 72,5 7,5

Dari data Tabel 3 dapat dikemukakan bahwa persentase

siswa perempuan yang mempunyai sikap kritis yang termasuk

kriteria baik lebih banyak daripada siswa laki-laki. Demikian juga

persentase siswa perempuan yang mempunyai kemampuan

pemecahan masalah dalam kriteria baik juga lebih banyak

daripada siswa laki-laki.

Hasil penelitian ini, khususnya yang berkenaan dengan

kemampuan pemecahan masalah, mendukung penelitian Sa’dijah

(2006b). Hasil penelitian ini menggugurkan pernyataan bahwa

siswa perempuan mempunyai sikap kritis dan kemampuan

pemecahan masalah yang kurang dibandingkan siswa laki-laki.

Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme

Berikut ini dikemukakan aktivitas guru dan siswa dalam

pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Sa’dijah,

2005).

(9)

Tabel 4 Aktivitas Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme

Aktivitas Guru Aktivitas Belajar Siswa

Kegiatan Pendahuluan Guru membuka pembelajaran

de-ngan mengucap salam. Guru menyediakan LKMS dan sarana pendukung yang diperlukan (garis bilangan). Guru

menjelaskan/menginformasikan tentang indikator pembelajaran dan tentang apa yang akan dipelajari siswa melalui Lembar Kegiatan Matematika untuk Siswa (LKMS) Guru memberi kesempatan bertanya kepada siswa

Siswa menjawab salam. Wakil siswa mengambil dan membagi LKMS pada kelas. Siswa memperhatikan penjelasan/ informasi guru tentang indikator pembelajaran dan tentang apa yang akan dipelajari melalui LKMS

Siswa menanyakan hal yang kurang jelas kepada guru, jika perlu

Kegiatan Inti, Fase: Kesadaran dan Operasional Siswa Belajar Matematika Secara Individu

Fase: Kesadaran Guru mengajak siswa mengaitkan

materi yang akan dipelajari siswa dengan pengetahuan awal siswa, bisa dengan lisan, Kegiatan ini juga dapat langsung melalui LKMS.

Guru mengorientasikan siswa untuk belajar matematika melalui lembar kegiatan matematika untuk siswa (LKMS) yang tersedia.

Siswa mengemukakan tentang apa yang telah diketahui yang

berhubungan topik matematika yang akan dipelajari. Bisa melalui lisan kalau kegiatan ini dengan tanya jawab atau tulisan kalau kegiatan ini melalui LKMS. Siswa siap dan memulai belajar matematika melalui LKMS secara mandiri (individu).

Fase: Operasional Guru memberi kesempatan siswa

untuk berpikir secara individual, dalam hal ini siswa menuliskan pekerjaannya pada LKMS masing-masing sesuai dengan apa yang

Siswa belajar matematika melalui LKMS. Siswa menulis respon secara individu pada LKMS.

(10)

diketahuinya.

Guru mengelilingi kelas, melayani siswa jika ada pertanyaan. Dalam hal ini guru hanya memberi bantuan minimal. Jika ada pertanyaan, guru tidak segera menjawabnya, tetapi

mengembalikan kepada siswa misalnya dengan meminta siswa tersebut untuk mengemukakan kembali pertanyaan dan mengarahkan siswa agar memahami sendiri lebih dulu tentang apa yang ditanyakan.

Siswa menanyakan hal yang kurang jelas kepada guru, jika perlu

Kegiatan Inti, Fase: Reflektif dan Penyusunan Persetujuan Siswa Belajar Matematika Secara Kelompok Kooperatif

Fase: Reflektif Guru mempersilakan siswa untuk

bekerja secara kooperatif. Pembagian kelompok sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

Di sini peran guru sebagai fasilitator sama seperti sewaktu anak bekerja secara individu. Guru mengelilingi kelas, melayani siswa jika ada pertanyaan. Dalam hal ini guru hanya memberi bantuan min-imal. Jika ada pertanyaan, guru tidak segera menjawabnya, tetapi mengembalikan kepada siswa misalnya dengan meminta siswa untuk mengemukakan kembali pertanyaan dan mengarahkan siswa agar memahami sendiri lebih dulu tentang apa yang ditanyakan.

Siswa bekerja secara kooperatif. Siswa berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka saling berdiskusi, saling menjelaskan pada temannya tentang apa yang telah atau yang belum

diketahuinya.

Siswa menulis dengan tinta berbeda (dengan warna tinta yang digunakan untuk menuliskan respon pada LKMS sewaktu kerja individu) tentang apa yang baru ditemukan dalam diskusi tersebut

(11)

Guru mempersilakan salah satu atau lebih dari 1 kelompok, jika perlu, untuk maju ke depan menjelaskan kepada kelas. Kelas menanggapi. Di sini dapat terjadi adu argumentasi. Siswa yang berbeda pendapat dengan siswa yang menjelaskan di depan, dapat maju untuk menjelaskan kepada kelas. Jika tidak ada pertanyaan, atau siswa tidak merasa mengalami kesulitan, guru dapat mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk menggali data apakah para

siswanya sudah memahami. Dalam setiap mengajukan pertanyaan, guru selalu memberi waktu kepada siswa untuk berpikir. Sifat

pertanyaan tidak hanya meminta jawaban ya atau tidak. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator dan mengklarifikasi. Guru juga menanyakan kepada siswa apa yang sudah dan yang belum dikuasainya.

Guru mempersilakan siswa menyimpulkan tentang apa yang telah dipelajari.

Guru menerima LKMS yang telah dikerjakan siswa.

Kelompok mempresentasikan hasil diskusiny a. Kelas menanggapi. Siswa mengajukan pertanyaan, meminta klarifikasi, menjawab pertanyaan atau menjelaskan.

Siswa menyimpulkan tentang apa yang telah dipelajari.

Siswa mengumpulkan LKMS yang telah dikerjakan dalam kegiatan pembelajaran tersebut.

(12)

Kegiatan Penutup Guru menyediakan lembar tes dan

lembar penilaian diri sendiri. Guru mempersilakan siswa mengerjakan tes dan menuliskan penilaian diri sendiri secara mandiri (individual). Guru menerima lembar tes.dan lembar penilaian diri sendiri. Guru menutup pembelajaran dengan mengucap salam.

Wakil siswa mengambil lembar tes dan lembar penilaian diri sendiri serta membagikan kepada temannya. Siswa mengerjakan tes.dan menuliskan penilaian diri sendiri secara mandiri (individual). Siswa mengumpulkan lembar tes dan lembar penilaian diri sendiri. Siswa menjawab salam

Dari hasil pengamatan pada setiap pertemuan diperoleh data

bahwa rata-rata keterlaksanaan pembelajaran matematika

ber-acuan konstruktivisme pada pertemuan 1 sampai 3 cukup

terlaksana, dan mulai pertemuan ke 4 terlaksana dengan baik.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.

(1) Sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah siswa

perem-puan

yang

pembelajarannya

menggunakan

pembelajaran

matematika beracuan konstruktivisme masing-masing termasuk

kriteria cukup baik. (2) Jika dibandingkan dengan siswa laki-laki,

(a) sikap kritis siswa perempuan secara kualitatif sama dengan

siswa laki-laki yaitu termasuk kriteria cukup baik, tetapi secara

kuantitatif rata-rata skor sikap kritis siswa perempuan (2,97 dari

skor maksimum 4) lebih tinggi dari siswa laki-laki (2,75 dari skor

maksimum 4); (b) kemampuan pemecahan masalah siswa

perempuan secara kualitatif juga sama dengan siswa laki-laki

yaitu termasuk kriteria cukup baik, tetapi secara kuantitatif

rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan (3,02

dari skor maksimum 4) juga lebih tinggi dari siswa laki-laki (2,86

dari skor maksimum 4); dan (c) persentase siswa perempuan yang

mempunyai sikap kritis yang termasuk kriteria baik lebih banyak

daripada siswa laki-laki. Demikian juga persentase siswa

(13)

perempuan yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah

yang termasuk kriteria baik lebih banyak daripada siswa laki-laki.

DAFTAR RUJUKAN

Brooks, G.J. & Brooks, M. 1999. The Case For Constructivist Classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development Alexandria.

Degeng, I. N. S. 1998. Pembelajaran Berdasarkan Pendekatan Kesemrawutan. Jurnal Teknologi Pembelajaran, 6: 127-140.

Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. Bristol, PA: The Falmer Press, Taylor & Francis Inc.

Fisher, R. 1993. Teaching Children to Think. Hemel Hempstead, Herts: Si-mon and Schuster Education.

Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Jurnal Teknologi Pembelajaran, 6: 59-66.

Hudojo, H. 2001. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah disajikan pada Seminar Lokakarya Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting FMIPA UM, Malang, 9 Juli. Kamii, C. 1990. Constructivism and Beginning Arithmetics (K-2). Dalam

T.J. Cooney & C.R. Hirsch (Eds.) Teaching and Learning Mathematics in the 1990s. Reston: NCTM.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 1990. Constructiv-ist Views on The Teaching and Learning of Mathematics. Reston, Virgin-ia: NCTM.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 1995. Assessment Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM

Novak, J.D. & Gowin, D.B. 1985. Learning How to Learn. New York: Cam-bridge University Press.

Sa’dijah, C. 1999. Pengembangan Model Pembelajaran Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Sikap Kritis Siswa Kelas I SLTP. Malang: DP3M dan Lemlit IKIP MALANG.

Sa’dijah, C. 2001. Pengembangan Pembelajaran Matematika secara Konstruktivis sebagai Upaya Meningkatkan Kebermaknaan Pemahaman Aljabar Siswa Kelas I SLTP. Laporan Penelitian tidak ditebitkan. Ma-lang: Ditbinlitabmas Ditjen Dikti Diknas dan Lemlit UM.

Sa’dijah, C. 2005. Pengembangan Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP. Draft disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.

(14)

Sa’dijah, C. 2006a. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP. Mathedu Jurnal Pendidikan Matematika,. 1: 111-122.

Sa’dijah, C. 2006b. Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Perempuan dan Siswa Laki-laki yang Pembelajaran Matematikanya Menggunakan Model Pembelajaran matematika Beracuan Konstruktivisme. Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Matematika 2006 di Universitas Negeri Semarang, Semarang, 24-27 Juli.

Slavin, R.E. 1997. Educational Psychology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Tadao, N. 2000. The Constructive Approach in Mathematics Education. Dalam Japan Society of Mathematical Education (JSME). Mathemat-ics Education in Japan (hlm. 88 – 90). Tokyo: JSME.

Tobin, K. 1993. The Practice of Constructivism in Science Education. Hills-dale, New Jersey: Lawrence Associates.

Wheatley, G. 1991. Constructivist Perspective On Science And Mathe-matics Learning. Journal of Research in Science Teaching, 1: 197-223. Wilson, B.G. 1996. Constructivistist Learning Environment. New Jersey:

Education Technology Publiscation Englewood Cliffs.

Woolfolk, A.E. 1998. Educational Psychology. Seventh Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Yager, R.E. 1995. Constructivist and the learning of science. Dalam S.M. Glynn & R. Duit (Eds.). Learning Science in the School: Research Re-forming Practice (hlm. 35-38). Mahwah, N.J.: Lawrence Erlbaum.

(15)

Indeks Sikap kritis

Kemampuan pemecahan masalah

Pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme Siswa Perempuan

Fase kesadaran Fase operasional Fase reflektif

Gambar

Tabel 1   Skor Keterlaksanaan Pembelajaran   Tidak  Ya,   sangat kurang   Ya,  kurang  Ya,   cukup  Ya,   sering  0  1  2  3  4
Tabel 3   Rincian Persentase Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan  Masalah Siswa Perempuan dan Laki-laki

Referensi

Dokumen terkait

Dari segi struktur, golongan flavonoid Artocarpus memiliki kekhasan yaitu adanya pola oksigenasi di cincin B pada kerangka flavon yang tidak mengikuti kelaziman pola

Gambar 12. Diagram Layang-layang Dimensi Keberlanjutan Kota Baubau.. Berdasarkan hasil penelitian, maka beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah guna

Kendala yang dialami polisi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban praktek penipuan melalui kartu kredit yaitu : persepsi para penegak

6 - 8 jam setelah persalinan bertujuan mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri, mendeteksi dan merawat pasien penyebab perdarahan, memberikan konseling pada ibu

ANALISA ANTENA DIPOLE- /2 PADA MODUL PRAKTIKUM B4520 MENGGUNAKAN SIMULATOR ANSOFT HFSS1. VERSI 10.0 DAN CST MICROWAVE

Berdasarkan persamaan (4.5) diperoleh peluang pasien menderita penyakit glaukoma klasifikasi glaukoma absolut jika diketahui pasien tersebut berusia 31 tahun, tidak memiliki

untuk komersialisasi. • Kandidat telah memiliki calon mitra usaha. Terjadi proses alih teknologi dalam level ini. LIPI melakukan pendampingan dalam proses alih teknologi,

Berdasarkan hasil penelitian mengenai tingkat kesiapsiagaan keluarga menghadapi bencana banjir di kelurahan Nglorog, kecamatan Sragen Kabupaten Sragen dapat ditarik