133
MASALAH SISWA PEREMPUAN DENGAN
MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA
KONSTRUKTIVISME
Cholis Sa’dijah
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang, Jl. Surabaya 6 Malang 65145
Abstract. The purpose of this study is to describe critical think-ing and problem solvthink-ing achievement of female students usthink-ing constructivism mathematics instructions. The subjects of this study are 81 students of seventh grade at one of private junior high school in Malang. The instruction model is based on the constructivism. This model consists of a book, lesson plan, mathematics worksheets, tests for critical thinking and prob-lem solving achievement. The instruments are scoring rubrics and an observation guide for the instruction. This study con-cludes that both of the critical thinking and problem solving achievement of the girls are fair.
Keywords: critical thinking, problem solving achievement, constructivism mathematics instructions, female students.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran perempuan dalam kiprah
pembangunan di negara kita semakin besar. Perempuan dituntut
untuk bersikap kritis dan mampu menyelesaikan masalah.
Sebelum melaksanakan penelitian ini, telah dilakukan diskusi
dengan guru
matematika
SMP
melalui forum MGMP
(Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Matematika. Menurut para
guru, siswa perempuan mempunyai sikap kritis dan kemampuan
pemecahan masalah yang kurang dibandingkan siswa laki-laki.
Apakah memang benar demikian?
Sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah sangat
di-perlukan dalam mempersiapkan anak didik memecahkan masalah
kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Sikap kritis
sinonim dengan domain evaluasi yang merupakan domain
ter-tinggi dari 6 domain kognitif dalam pendidikan (Fisher, 1993).
Ada 12 aspek sikap kritis yang dapat membantu siswa
menganalisis kritis suatu ide, yaitu apakah bermakna, jelas,
konsisten, logis, teliti, mengikuti aturan, cermat, bijaksana,
relevan, menghasilkan, didefinisikan dengan baik dan benar.
Sikap kritis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terampil
mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis
(menggeneralisasi dan mengintegrasi), dan mengevaluasi.
Sedangkan kemampuan pemecahan masalah matematika adalah
kemampuan untuk menyelesaikan soal atau pertanyaan
matematika yang tidak bersifat rutin. Artinya, soal atau
pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin.
Dengan kata lain, siswa tidak mempunyai strategi tertentu yang
segera dapat digunakan untuk menjawab perta-nyaan tersebut.
Padahal salah satu tujuan pengajaran matematika di sekolah
adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam
pemecahan masalah.
Menurut Novak dan Gowin (1985), salah satu faktor penting
yang dapat mempengaruhi belajar anak adalah apa yang
diketahuinya. Guru hendaknya berusaha untuk mengetahui dan
memanfaatkan pengetahuan awal yang telah ada dalam pikiran
siswa sebelum mereka mempelajari suatu konsep atau
pengalam-an baru. Hal ini sesuai dengpengalam-an ppengalam-andpengalam-angpengalam-an konstruktivisme bahwa
guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk
membangun sendiri pengetahuannya secara aktif dengan
memperhatikan pengetahuan awal siswa. Pengetahuan awal
didefinisikan sebagai fakta, ide-ide/konsep-konsep, prinsip yang
telah dimiliki siswa sebelum secara formal mempelajari
konsep-konsep baru. Ide/ konsep-konsep, atau prinsip tersebut merupakan
pengetahuan pribadi mereka yang terbentuk melalui belajar
in-formal dan pengalaman sehari-hari maupun dari belajar in-formal
sebelum mempelajari konsep-konsep baru.
Menurut pandangan konstruktivisme, prinsip utama tradisi
konstruktivisme adalah pengetahuan dibangun secara aktif oleh
individu. Gagasan tidak dapat dikomunikasikan maknanya jika
diberikan langsung kepada siswa, melainkan siswa sendiri
membentuk makna tersebut (Wheatley, 1991). Dengan kata lain,
pengetahuan dapat dibentuk oleh siswa dalam pikirannya sendiri
setelah adanya interaksi dengan lingkungan. Oleh karena itu guru
seharusnya menyadari pengetahuan awal yang ada dalam pikiran
siswa dan harus menyesuaikan pelajaran dan cara mengajarnya
dengan pengetahuan awal tersebut. Dalam penelitian ini,
pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme adalah
pembelajaran
matematika
berdasarkan pandangan bahwa
pengetahuan dibangun aktif oleh individu.
Menurut beberapa ahli dan beberapa penelitian, pembelajaran
konstruktivisme dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah (antara lain NCTM, 1990, 1995; Slavin, 1997; Woolfolk,
1998). Penelitian tentang pembelajaran matematika yang beracuan
konstruktivisme (Sa’dijah; 1999, 2001) menyimpulkan bahwa
pembelajaran matematika yang beracuan konstruktivisme dapat
meningkatkan pemahaman matematika siswa. Penelitian tersebut
belum mencermati perbedaan jender dan belum mencermati
pengaruhnya pada sikap kritis siswa. Telah dilakukan penelitian
yang mencermati perbedaan jender (Sa’dijah, 2006b). Penelitian
tersebut hanya mencermati tentang pengaruh jender pada
kemampuan pemecahan masalah dan hanya pada siswa di salah
satu SMP negeri di Malang. Hasil penelitian tersebut adalah
bahwa kemampuan pemecahan masalah masing-masing siswa
perempuan
dan
siswa
laki-laki
yang
pembelajarannya
menggunakan
model
pembelajaran
matematika
beracuan
konstruktivisme secara kualitatif sama, yaitu termasuk kriteria
cukup memuaskan. Dari hasil tersebut timbul pertanyaan apakah
hasil tersebut juga sama jika dikaji pada siswa SMP swasta?
Apakah perbedaan jender juga berpengaruh pada sikap kritis dan
kemampuan pemecahan masalah?
Dari latar belakang masalah tersebut, dalam penelitian ini
dikaji sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah siswa
pe-rempuan yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran
ma-tematika beracuan konstruktivisme. Kemudian hasilnya
diban-dingkan dengan sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah
siswa laki-laki yang menggunakan pembelajaran yang sama.
Karakteristik dan indikator pelaksanaan pembelajaran
ma-tematika beracuan konstruktivisme yang diterapkan dalam
penelitian ini mengacu pada Sa’dijah (2006a). Karakteristik
tersebut ada enam sebagai berikut. (1) Mengaitkan pembelajaran
dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa sehingga
pengetahuan akan dikonstruksi siswa secara bermakna. Hal ini
dapat dilakukan dengan menyediakan pengalaman belajar yang
sesuai
dengan
pengetahuan
yang
dimiliki
siswa.
(2)
Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan
relevan, sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial.
Dengan demikian diharapkan matematika menjadi menarik
baginya dan mereka termotivasi untuk belajar. Hal ini dapat
dilakukan antara lain dengan cara menyediakan tugas-tugas
matematika yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. (3)
Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar. Hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan pertanyaan terbuka, menyediakan
masalah yang dapat diselesaikan dengan berbagai cara atau yang
tidak hanya mempunyai satu jawaban benar. (4) Mendorong
terjadinya interaksi dan kerjasama dengan orang lain atau
lingkungannya,
mendorong
terjadinya
diskusi
terhadap
pengetahuan baru yang dipelajari. (5) Mendorong penggunaan
berbagai representasi/media. (6) Mendorong peningkatan
kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan melalui
refleksi diri. Dalam hal ini penting bahwa siswa perlu didorong
kemampuannya untuk menjelaskan meng-apa atau bagaimana
memecahkan suatu masalah atau menganalisis bagaimana proses
mereka
mengkonstruksi
pengetahuan,
demikian
juga
mengkomunikasikan baik lisan maupun tulisan tentang apa yang
sudah dan yang belum diketahuinya (Novak & Gowin, 1985;
Kamii, 1990; Tobin, 1993; Yager, 1995; Wilson, 1996; Degeng, 1998;
Hudojo, 1998; 2001, Brooks & Brooks, 1999; Tadao, 2000). Dari
enam
karakteristik
pembelajaran
matematika
beracuan
konstruktivisme tersebut dikembangkan indikator-indikator yang
sesuai dengan masing-masing karakteristik tersebut.
Menurut Ernest (1991) selama berpuluh tahun ada bukti
bah-wa bah-wanita tidak diuntungkan dalam pendidikan matematika
dibanding pria. Dua komponen yang berkaitan dengan perbedaan
partisipasi pria dan wanita adalah a) kurang berhasilnya anak
putri dalam ujian; dan b) kurangnya partisipasi anak putri yang
berumur 16 tahun ke atas dalam matematika.
Ernest (1991) menggambarkan bagaimana anak putri kurang
memiliki kesempatan sama dalam belajar matematika dari
berbagai penyebab. Hal ini menimbulkan pandangan negatif anak
putri tentang kemampuan matematika mereka sendiri, dan
memperkuat persepsi mereka bahwa matematika adalah bidang
studi anak laki-laki. Akibatnya, partisipasi dan prestasi ujian lebih
rendah bagi anak putri dalam matematika. Karena peran
matematika sebagai penyaring kekritisan dalam mengatur akses ke
kedudukan yang lebih tinggi, akibatnya para wanita memperoleh
pekerjaan dengan gaji lebih rendah. Penempatan wanita secara
tidak seimbang pada pekerjaan dengan status lebih rendah dan
gaji lebih rendah menghasilkan ketidaksamaan jender dalam
masyarakat. Keadaan ini memperkuat pengklisean jender di
antara pria dan wanita. Hal ini berkontribusi pada komponen
ideologis ke dalam seksisme institusional dalam pendidikan, yang
menghasilkan kurangnya kesempatan sama bagi para anak putri
dalam matematika.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII salah satu SMP
swasta di kota Malang. Penelitian ini menggunakan model
pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Sa’dijah,
2005). Model ini terdiri dari buku model pembelajaran matematika
beracuan konstruktivisme, rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP), lembar kegiatan matematika untuk siswa (LKMS), serta tes
sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah. Instrumen
pe-nelitian ini berwujud rubrik skoring penilaian sikap kritis, rubrik
skoring penilaian kemampuan pemecahan masalah, dan pedoman
pengamatan keterlaksanaan pembelajaran matematika beracuan
konstruktivisme (Sa’dijah, 2005). Instrumen ini dikembangkan
berdasarkan karakteristik dan indikator-indikator pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme
Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Berikut
ini dikemukakan analisis tes sikap kritis dan kemampuan
pemecahan masalah serta analisis keterlaksanaan pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme.
Analisis Tes Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah
Untuk menilai sikap kritis dan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa, digunakan rubrik skoring. Pada
keterang-an rubrik skoring tersebut tercantum arti skala penilaian
yaitu 0 berarti tidak memuaskan, 1 berarti kurang memuaskan, 2
berarti cukup memuaskan, 3 berarti memuaskan, dan 4 berarti
sangat memuaskan. Selanjutnya skor rata-rata masing-masing
sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah dikonversikan
dengan kriteria sebagai berikut.
1,49
tidak baik
1,50 – 2,49
kurang baik
2,50 – 3,49
cukup baik
3,50 – 4,00
baik
Analisis Keterlaksanaan Pembelajaran
Pada Pedoman Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran
Matematika
Beracuan
Konstruktivisme,
pemberian
skor
didasarkan pada acuan seperti pada Tabel 1.
Selanjutnya skor rata-rata dikonversikan dengan kriteria
sebagai berikut
1,50 – 2,49
kurang terlaksana
2,50 – 3,49
cukup terlaksana
3,50 – 4,00
terlaksana
Tabel 1 Skor Keterlaksanaan Pembelajaran
Tidak Ya, sangat kurang Ya, kurang Ya, cukup Ya, sering 0 1 2 3 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut dikemukakan hasil analisis sikap kritis dan
kemampuan pemecahan masalah siswa, serta pelaksanaan
pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme.
Hasil Analisis Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa
Data hasil analisis sikap kritis dan kemampuan pemecahan
masalah disajikan pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2 Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Perempuan dan Laki-laki
No Jenis Kelamin Sikap Kritis Kemampuan Pemecahan Masalah
1 Perempuan Rata-rata 2,97 dari skor maksimum 4 Kategori: cukup baik
Rata-rata 3,02 dari skor maksimum 4
Kategori: cukup baik 2 Laki-laki Rata-rata 2,75 dari
skor maksimum 4 Kategori: cukup baik
Rata-rata 2,86 dari skor maksimum 4
Kategori: cukup baik
Dari data Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata masing-masing
sikap kritis siswa perempuan dan laki-laki termasuk kategori
cukup baik walaupun secara kuantitatif rata-rata skor sikap kritis
siswa perempuan lebih tinggi dari siswa laki-laki. Rata-rata
kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan dan laki-laki
juga termasuk kategori cukup baik walaupun secara kuantitatif
ra-ta-rata skor kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan
lebih tinggi dari siswa laki-laki. Selanjutnya dikemukakan rincian
persentase sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah
siswa perempuan dan siswa laki-laki.
Tabel 3 Rincian Persentase Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Perempuan dan Laki-laki
No Kategori Persentase Siswa Perempuan Persentase Siswa Laki-laki 1 Sikap Kritis Baik Cukup baik Kurang baik 34,2 58,5 7,3 22,5 67,5 10,0 2 Kemampuan pemecahan masalah
Baik Cukup baik Kurang baik 31,7 63,4 4,9 20,0 72,5 7,5
Dari data Tabel 3 dapat dikemukakan bahwa persentase
siswa perempuan yang mempunyai sikap kritis yang termasuk
kriteria baik lebih banyak daripada siswa laki-laki. Demikian juga
persentase siswa perempuan yang mempunyai kemampuan
pemecahan masalah dalam kriteria baik juga lebih banyak
daripada siswa laki-laki.
Hasil penelitian ini, khususnya yang berkenaan dengan
kemampuan pemecahan masalah, mendukung penelitian Sa’dijah
(2006b). Hasil penelitian ini menggugurkan pernyataan bahwa
siswa perempuan mempunyai sikap kritis dan kemampuan
pemecahan masalah yang kurang dibandingkan siswa laki-laki.
Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
Berikut ini dikemukakan aktivitas guru dan siswa dalam
pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Sa’dijah,
2005).
Tabel 4 Aktivitas Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
Aktivitas Guru Aktivitas Belajar Siswa
Kegiatan Pendahuluan Guru membuka pembelajaran
de-ngan mengucap salam. Guru menyediakan LKMS dan sarana pendukung yang diperlukan (garis bilangan). Guru
menjelaskan/menginformasikan tentang indikator pembelajaran dan tentang apa yang akan dipelajari siswa melalui Lembar Kegiatan Matematika untuk Siswa (LKMS) Guru memberi kesempatan bertanya kepada siswa
Siswa menjawab salam. Wakil siswa mengambil dan membagi LKMS pada kelas. Siswa memperhatikan penjelasan/ informasi guru tentang indikator pembelajaran dan tentang apa yang akan dipelajari melalui LKMS
Siswa menanyakan hal yang kurang jelas kepada guru, jika perlu
Kegiatan Inti, Fase: Kesadaran dan Operasional Siswa Belajar Matematika Secara Individu
Fase: Kesadaran Guru mengajak siswa mengaitkan
materi yang akan dipelajari siswa dengan pengetahuan awal siswa, bisa dengan lisan, Kegiatan ini juga dapat langsung melalui LKMS.
Guru mengorientasikan siswa untuk belajar matematika melalui lembar kegiatan matematika untuk siswa (LKMS) yang tersedia.
Siswa mengemukakan tentang apa yang telah diketahui yang
berhubungan topik matematika yang akan dipelajari. Bisa melalui lisan kalau kegiatan ini dengan tanya jawab atau tulisan kalau kegiatan ini melalui LKMS. Siswa siap dan memulai belajar matematika melalui LKMS secara mandiri (individu).
Fase: Operasional Guru memberi kesempatan siswa
untuk berpikir secara individual, dalam hal ini siswa menuliskan pekerjaannya pada LKMS masing-masing sesuai dengan apa yang
Siswa belajar matematika melalui LKMS. Siswa menulis respon secara individu pada LKMS.
diketahuinya.
Guru mengelilingi kelas, melayani siswa jika ada pertanyaan. Dalam hal ini guru hanya memberi bantuan minimal. Jika ada pertanyaan, guru tidak segera menjawabnya, tetapi
mengembalikan kepada siswa misalnya dengan meminta siswa tersebut untuk mengemukakan kembali pertanyaan dan mengarahkan siswa agar memahami sendiri lebih dulu tentang apa yang ditanyakan.
Siswa menanyakan hal yang kurang jelas kepada guru, jika perlu
Kegiatan Inti, Fase: Reflektif dan Penyusunan Persetujuan Siswa Belajar Matematika Secara Kelompok Kooperatif
Fase: Reflektif Guru mempersilakan siswa untuk
bekerja secara kooperatif. Pembagian kelompok sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
Di sini peran guru sebagai fasilitator sama seperti sewaktu anak bekerja secara individu. Guru mengelilingi kelas, melayani siswa jika ada pertanyaan. Dalam hal ini guru hanya memberi bantuan min-imal. Jika ada pertanyaan, guru tidak segera menjawabnya, tetapi mengembalikan kepada siswa misalnya dengan meminta siswa untuk mengemukakan kembali pertanyaan dan mengarahkan siswa agar memahami sendiri lebih dulu tentang apa yang ditanyakan.
Siswa bekerja secara kooperatif. Siswa berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka saling berdiskusi, saling menjelaskan pada temannya tentang apa yang telah atau yang belum
diketahuinya.
Siswa menulis dengan tinta berbeda (dengan warna tinta yang digunakan untuk menuliskan respon pada LKMS sewaktu kerja individu) tentang apa yang baru ditemukan dalam diskusi tersebut
Guru mempersilakan salah satu atau lebih dari 1 kelompok, jika perlu, untuk maju ke depan menjelaskan kepada kelas. Kelas menanggapi. Di sini dapat terjadi adu argumentasi. Siswa yang berbeda pendapat dengan siswa yang menjelaskan di depan, dapat maju untuk menjelaskan kepada kelas. Jika tidak ada pertanyaan, atau siswa tidak merasa mengalami kesulitan, guru dapat mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk menggali data apakah para
siswanya sudah memahami. Dalam setiap mengajukan pertanyaan, guru selalu memberi waktu kepada siswa untuk berpikir. Sifat
pertanyaan tidak hanya meminta jawaban ya atau tidak. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator dan mengklarifikasi. Guru juga menanyakan kepada siswa apa yang sudah dan yang belum dikuasainya.
Guru mempersilakan siswa menyimpulkan tentang apa yang telah dipelajari.
Guru menerima LKMS yang telah dikerjakan siswa.
Kelompok mempresentasikan hasil diskusiny a. Kelas menanggapi. Siswa mengajukan pertanyaan, meminta klarifikasi, menjawab pertanyaan atau menjelaskan.
Siswa menyimpulkan tentang apa yang telah dipelajari.
Siswa mengumpulkan LKMS yang telah dikerjakan dalam kegiatan pembelajaran tersebut.
Kegiatan Penutup Guru menyediakan lembar tes dan
lembar penilaian diri sendiri. Guru mempersilakan siswa mengerjakan tes dan menuliskan penilaian diri sendiri secara mandiri (individual). Guru menerima lembar tes.dan lembar penilaian diri sendiri. Guru menutup pembelajaran dengan mengucap salam.
Wakil siswa mengambil lembar tes dan lembar penilaian diri sendiri serta membagikan kepada temannya. Siswa mengerjakan tes.dan menuliskan penilaian diri sendiri secara mandiri (individual). Siswa mengumpulkan lembar tes dan lembar penilaian diri sendiri. Siswa menjawab salam
Dari hasil pengamatan pada setiap pertemuan diperoleh data
bahwa rata-rata keterlaksanaan pembelajaran matematika
ber-acuan konstruktivisme pada pertemuan 1 sampai 3 cukup
terlaksana, dan mulai pertemuan ke 4 terlaksana dengan baik.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
(1) Sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah siswa
perem-puan
yang
pembelajarannya
menggunakan
pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme masing-masing termasuk
kriteria cukup baik. (2) Jika dibandingkan dengan siswa laki-laki,
(a) sikap kritis siswa perempuan secara kualitatif sama dengan
siswa laki-laki yaitu termasuk kriteria cukup baik, tetapi secara
kuantitatif rata-rata skor sikap kritis siswa perempuan (2,97 dari
skor maksimum 4) lebih tinggi dari siswa laki-laki (2,75 dari skor
maksimum 4); (b) kemampuan pemecahan masalah siswa
perempuan secara kualitatif juga sama dengan siswa laki-laki
yaitu termasuk kriteria cukup baik, tetapi secara kuantitatif
rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan (3,02
dari skor maksimum 4) juga lebih tinggi dari siswa laki-laki (2,86
dari skor maksimum 4); dan (c) persentase siswa perempuan yang
mempunyai sikap kritis yang termasuk kriteria baik lebih banyak
daripada siswa laki-laki. Demikian juga persentase siswa
perempuan yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah
yang termasuk kriteria baik lebih banyak daripada siswa laki-laki.
DAFTAR RUJUKAN
Brooks, G.J. & Brooks, M. 1999. The Case For Constructivist Classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development Alexandria.
Degeng, I. N. S. 1998. Pembelajaran Berdasarkan Pendekatan Kesemrawutan. Jurnal Teknologi Pembelajaran, 6: 127-140.
Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. Bristol, PA: The Falmer Press, Taylor & Francis Inc.
Fisher, R. 1993. Teaching Children to Think. Hemel Hempstead, Herts: Si-mon and Schuster Education.
Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Jurnal Teknologi Pembelajaran, 6: 59-66.
Hudojo, H. 2001. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah disajikan pada Seminar Lokakarya Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting FMIPA UM, Malang, 9 Juli. Kamii, C. 1990. Constructivism and Beginning Arithmetics (K-2). Dalam
T.J. Cooney & C.R. Hirsch (Eds.) Teaching and Learning Mathematics in the 1990s. Reston: NCTM.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 1990. Constructiv-ist Views on The Teaching and Learning of Mathematics. Reston, Virgin-ia: NCTM.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 1995. Assessment Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM
Novak, J.D. & Gowin, D.B. 1985. Learning How to Learn. New York: Cam-bridge University Press.
Sa’dijah, C. 1999. Pengembangan Model Pembelajaran Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Sikap Kritis Siswa Kelas I SLTP. Malang: DP3M dan Lemlit IKIP MALANG.
Sa’dijah, C. 2001. Pengembangan Pembelajaran Matematika secara Konstruktivis sebagai Upaya Meningkatkan Kebermaknaan Pemahaman Aljabar Siswa Kelas I SLTP. Laporan Penelitian tidak ditebitkan. Ma-lang: Ditbinlitabmas Ditjen Dikti Diknas dan Lemlit UM.
Sa’dijah, C. 2005. Pengembangan Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP. Draft disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.
Sa’dijah, C. 2006a. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP. Mathedu Jurnal Pendidikan Matematika,. 1: 111-122.
Sa’dijah, C. 2006b. Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Perempuan dan Siswa Laki-laki yang Pembelajaran Matematikanya Menggunakan Model Pembelajaran matematika Beracuan Konstruktivisme. Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Matematika 2006 di Universitas Negeri Semarang, Semarang, 24-27 Juli.
Slavin, R.E. 1997. Educational Psychology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Tadao, N. 2000. The Constructive Approach in Mathematics Education. Dalam Japan Society of Mathematical Education (JSME). Mathemat-ics Education in Japan (hlm. 88 – 90). Tokyo: JSME.
Tobin, K. 1993. The Practice of Constructivism in Science Education. Hills-dale, New Jersey: Lawrence Associates.
Wheatley, G. 1991. Constructivist Perspective On Science And Mathe-matics Learning. Journal of Research in Science Teaching, 1: 197-223. Wilson, B.G. 1996. Constructivistist Learning Environment. New Jersey:
Education Technology Publiscation Englewood Cliffs.
Woolfolk, A.E. 1998. Educational Psychology. Seventh Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Yager, R.E. 1995. Constructivist and the learning of science. Dalam S.M. Glynn & R. Duit (Eds.). Learning Science in the School: Research Re-forming Practice (hlm. 35-38). Mahwah, N.J.: Lawrence Erlbaum.
Indeks Sikap kritis
Kemampuan pemecahan masalah
Pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme Siswa Perempuan
Fase kesadaran Fase operasional Fase reflektif