• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMIKIRAN JEAN BODIN ( ) MENGENAI SISTEM POLITIK ABSOLUT DI PRANCIS. A. Keadaan Masyarakat Prancis Pada Abad ke -16

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PEMIKIRAN JEAN BODIN ( ) MENGENAI SISTEM POLITIK ABSOLUT DI PRANCIS. A. Keadaan Masyarakat Prancis Pada Abad ke -16"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

38 BAB IV

PEMIKIRAN JEAN BODIN (1530-1596) MENGENAI SISTEM POLITIK ABSOLUT DI PRANCIS

A. Keadaan Masyarakat Prancis Pada Abad ke -16

Pada abad ke -1 SM Prancis atau yang dulu dikenal dengan nama Galia dikuasai oleh kekaisaran Romawi yang dipimpin oleh Julius Caesar. Sehingga banyak kebudayaan Romawi yang diserap oleh masyarakat asli Galia (Prancis) seperti huruf dan agama. Agama Kristen sendiri masuk ke Galia (Prancis) sekitar abad ke -2 dan 3 Masehi.

Suku Jermanik yang berasal dari kaum Frank berhasil menghancurkan Galia timur di sepanjang sungai Rhine pada abad ke-4 M. Dari nama Frank inilah muncul nama kuno “Francie” yang berasal dari nama domain feodal Raja Capetia Prancis di sekitar Paris. Sehingga dari nama Frank inilah muncul nama Prancis seperti yang kita kenal sekarang.

Pendirian Prancis sebagai entitas terpisah dimulai dengan Perjanjian Verdun pada tahun 843 ditandai dengan pembagian Kekaisaran Karoling Charlemagne. Pembagian tersebut membuat kekaisaran Karoling Charlemagne menjadi beberapa wilayah yaitu: Francia Timur, Francia Tengah dan Francia Barat. Wilayah Francia Barat merupakan wilayah yang diduduki Prancis modern dan menjadi awal dari berdirinya Prancis modern (Will, 1814 : 45).

Dinasti Karoling memimpin Prancis hingga tahun 987. Keturunan dari dinasti Karoling yaitu Dinasti Valois dan Dinasti Bourbon berhasil

(2)

39 mempersatukan negara melalui berbagai perang dan pewarisan dinasti. Dinasti Bourbon kemudian menjadi salah satu keluarga penguasa terkuat di Eropa yang keturunannya menjadi Raja-raja di Eropa seperti Navarra, Prancis, Spanyol dan sebelah selatan Italia.

Pada abad ke -16, sistem pemerintahan Prancis merupakan sistem pemerintahan monarki, Raja bertindak sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Pada masa ini, Prancis di bawah pemerintahan dinasti Bourbon yang telah berkuasa di Prancis sebelum abad pertengahan. Raja-raja dari dinasti Bourbon yang pernah memimpin Prancis pada abad ke -16.

Pada abad ke-16 keadaan masyarakat di Prancis ditandai dengan sering terjadinya konflik. Konflik tersebut dilatar belakangi oleh masalah agama antara kaum Kristen Katolik dengan Kristen Protestan atau yang lebih dikenal dengan kaum Huguenots. Orang Katolik yang merupakan kaum mayoritas merasa tidak senang dengan perkembangan serta kegiatan orang-orang Huguenots. Orang-orang Katolik didukung oleh para petinggi kerajaan termasuk oleh keluarga Raja dan persebarannya merata di seluruh Prancis, sedangkan kaum Huguenots hanya terdiri dari kalangan bangsawan menengah ke bawah dan terfokus pada daerah-daerah tertentu. Akan tetapi kaum Huguenots lebih maju dalam bidang ekonomi dibandingkan dengan orang Katolik, hal tersebut semakin membuat kaum Katolik tidak senang terhadap orang-orang Huguenots. Konflik yang semakin meruncing tersebut pada akhirnya menimbulkan perang terbuka pada tahun 1962 dengan terjadinya peristiwa Massacre di Vassy. Konflik agama ini mencapai puncaknya pada tahun 1972 setelah terjadinya peristiwa “Bartholemeus Day’s Massacre”,

(3)

40 pada peristiwa ini ratusan bahkan ribuan orang Huguenots terbunuh dalam peristiwa tersebut.

Seperti yang terdapat pada (http://www.lepg.org/wars.htm) bahwa Semboyan “Une foi, un loi, un roi” (satu iman. satu hukum, satu raja) menjadi pegangan masyarakat Prancis terutama orang-orang Katolik pada abad ke-16 yang mengindikasikan bagaimana agama, negara dan masyarakat terikat bersama dalam pikiran serta pengalaman.

Semboyan "satu iman, satu hukum, satu raja" dianggap penting untuk ketertiban sipil, dengan adanya perbedaan iman akan menimbulkan kerusakan tatanan alam yang akan memunculkan bencana. Bid'ah adalah suatu pengkhianatan, serta toleransi agama yang tampak seperti kebajikan yang diperlukan dalam kehidupan publik dianggap sama saja dengan membiarkan anak-anak berbuat korup.

Ketika Henri II meninggal tiba-tiba pada tahun 1559 terjadi kekosongan kekuasaan di jantung otoritas pemerintahan. Ketika kevakuman kekuasaan terjadi, Francois II yang merupakan House of Guise menjadi penguasa Prancis. Francois II menikah dengan Maria Ratu Skotlandia yang masih merupakan keponakan dari Duc de Guise. Para Guise merupakan bagian dari House of Lorraine yaitu sebuah wilayah kekaisaran kecil yang independen. Pada masa pemerintahan Francois II yang berlangsung singkat, kekuasaan Guise berjalan secara mutlak.

Kekuasaan para Guise yang semakin besar mengancam terhadap keberlangsungan dari Montmorency. Montmorency merupakan garis kuno yang telah menikmati keunggulan besar secara politik di bawah Henri II serta Dinasti

(4)

41 Bourbon. Para penguasa Bourbon adalah Protestan seperti Antoine de Bourbon, Raja Navarre Louis de Bourbon, Pangeran de Conde, dan meskipun Montmorency adalah Katolik tetapi keponakannya saudara-saudara Châtillon termasuk Laksamana de Coligny adalah seorang Protestan. Para Guise menyebut diri mereka sebagai pembela kuat iman Katolik serta membentuk aliansi triumvirat dengan Montmorency dan Marechal St André.

Catherine de 'Medici selaku pemimpin Prancis selanjutnya mencoba untuk menciptakan perdamaian dengan mengeluarkan "Edict of Toleration" pada Januari 1562. Setelah keluarnya “Edict of Toleration” membuat kegiatan Protestanisme bukan lagi suatu kejahatan, walaupun kegiatan tersebut masih dibatasi untuk berkhotbah di tempat-tempat terbuka. Hal tersebut tidak diterima oleh banyak orang Katolik dan semakin membuat orang Katolik tidak senang dengan orang Protestan. Ketidaksenangan tersebut akhirnya menimbulkan peristiwa Massacre di Vassy pada tahun 1562 yang memicu timbulnya perang agama pertama antara orang Katolik dengan orang Huguenots.

a. Perang Pertama (1562-1563)

Perang pertama ini terjadi antara tahun 1562-1563, perang ini dipicu oleh peristiwa Massacre di Vassy. Para Duc de Guise pergi ke perkebunan di daerah Vassy, mereka memutuskan untuk mendengarkan Misa. Beberapa orang Katolik terlibat perkelahian dengan kaum Huguenots yang menghadiri upacara di sebuah gedung di dekatnya. Perkelahian ini meningkat sampai akhirnya faksi guise menembak, mengatur pembakaran Gereja serta membunuh jemaat Huguenots. Orang Huguenots tidak terima dengan peristiwa ini, mereka melalui sinode

(5)

42 nasional untuk reformasi Gereja bertemu di Paris dan mengajukan banding ke Pangeran de Conde sebagai pelindung. Setelah terjadinya peristiwa Massacre di Vassy kaum Huguenots bersikap lebih militan terhadap kerajaan dan kaum Katolik. Pangeran de Conde menggerakkan pasukannya untuk menguasai kota-kota strategis di sepanjang aliran sungai, dia juga mengadakan persekutuan dengan pemimpin Protestan Jerman dan Inggris dalam hal keuangan dan tentara.

Pihak kerajaan yang lambat merespon pergerakan pasukan Conde berfokus di sepanjang perbatasan Habsburg. Catherine de 'Medici yang merupakan pemimpin Prancis pada saat itu beralih ke faksi Guise. Kaum Katolik yang merasa terdesak meminta bantuan kepada Paus II dan Raja Spanyol yaitu Philip II. Berkat adanya bantuan ini kaum Katolik berhasil menguasai sebagian besar daerah yang telah dikuasai oleh orang Huguenots, sementara itu beberapa pemimpin Huguenots tertangkap oleh kaum Katolik seperti Pangeran de Conde. Coligny sebagai pemimpin orang Huguenots lainnya berhasil menarik pasukannya ke daerah Orléans yang kemudian daerah ini dikepung oleh kaum Katolik sampai dengan tahun 1563 pada pengepungan ini Duc de Guise terbunuh. Sementara itu Antoine de Bourbon pemimpin orang Huguenots juga terbunuh pada pengepungan Rouen. Untuk mengakhiri perang ini Catherine de 'Medici mengeluarkan dekrit Amboise pada Maret 1563.

b. Perang Kedua

Meskipun Duc de Guise sebagai pemimpin kaum Katolik telah meninggal, akan tetapi faksi Guise tetap kuat di bawah Kardinal de Lorraine. Kardinal de Lorraine cenderung lebih tegas terhadap orang Huguenots, dia berusaha untuk

(6)

43 menekan lebih kuat Huguenots sebagai respons terhadap pemberontakan mereka di Low Countries. Catherine de 'Medici bersama putranya Charles II mulai membangun hubungan erat dengan para bangsawan. Hal tersebut dia lakukan dengan mengadakan berbagai pertemuan dengan para pemimpin Kerajaan Karolik, Catherine de 'Medici melakukakan pertemuan dengan Duke of Alva yang merupakan salah seorang pemimpin di Spanyol yang dikenal sangat keras terhadap orang Protestan. Pertemuan ini menimbulkan desas-desus dikalangan orang Huguenots bahwa akan terjadi pemusnahan yang dilakukan oleh kaum Katolik yang dibantu oleh Catherine de 'Medici terhadap orang Huguenots, hal ini menyebabkan orang Huguenots berusaha untuk melakukan kudeta di Meaux. Rencana ini gagal dan akhirnya menimbulkan perang agama kedua di Prancis.

c. Perang Ketiga

Perang yang ketiga ini berlangsung relativ singkat. Kardinal de Lorraine yang merupakan salah satu tokoh Katolik berusaha untuk membatalkan perdamaian dan menangkap Conde dan Coligny. Conde dan Coligny malarikan diri ke La Rochelle dan mempersiapkan pasukannya untuk mulai perang dengan kaum Katolik maka mulailah perang sipil yang ketiga. Conde dan Colignya membuat aliansi dengan William dari Orange di Belanda yang berjuang untuk merdeka dari Spanyol. Sementara di pihak Katolik, para Guise semakin erat menjalin hubungan dengan Spanyol. Oleh karena itu perang ketiga ini semakin besar melibatkan kepentingan pihak asing dalam perang tersebut yang berlangsung dari tahun 1568 sampai dengan tahun 1570.

(7)

44 Strategi kaum Hugueonts dalam perang ini adalah untuk memperkuat daerah selatan, Strategi ini cukup berhasil dalam waktu yang cukup lama. Namun, di Jarnac, di bawah kepemimpinan saudara Raja muda, Henri d'Anjou, Protestan menderita kekalahan besar dan Pangeran de Conde terbunuh. Sementara itu Coligny bertempur dengan pihak Katolik di Moncoutour dan mengalami kekalahan.

Pembicaraan damai untuk menghentikan perang ini diselenggarakan di St Germain. Perang ketiga ini meskipun berlangsung cukup sebentar, namun membawa perang lebih meluas ke daerah pedesaan di selatan dan tengah Prancis. Perang ini menyebabkan penderitaan penduduk serta meningkatkan ketegangan budaya antara orang Katolik dan Protestan (Huguenots).

d. Perang Keempat

Perang sipil yang keempat dilatarbelakangi ketika kota La Rochelle yang merupakan daerah orang-orang Huguoenots menolak membayar pajak kepada kerajaan. Raja menyatakan perang terhadap kota La Rochelle pada November 1572 dan melakukan pengepungan pada Februari 1573, pengepungan tersebut di pimpin oleh Henri d'Anjou. Sebagai sebuah kota pelabuhan La Rochelle mudah untuk menerima suplai bantuan dari laut. Oleh karena itu La Rochelle sulit untuk ditembus oleh kaum Katolik. Pengepungan tersebut akhirnya dihentikan pada bulan Mei, hal tersebut dikarenakan beban biaya dalam pengepungan tersebut yang membuat perbendaharaan kerajaan dan kaum Katolik menipis.

(8)

45 e. Perang Kelima

Pada tahun 1574 Charles IX meninggal, kakaknya Henry III yang berkuasa di Polandia menggantikannya sebagai Raja Prancis. Orang-orang memberi julukan Henry III sebagai Rajawali "muda" dari Jarnac dan Moncontour, yang diharapkan dapat mengatasi masalah dalam kerajaan. Sementara itu, Conde berupaya mencari berbagai dukungan berupa uang, tentara dan juga dukungan dari beberapa penguasa Jerman khususnya Jan Casimir salah satu putra dari Frederick III dari Palatine. Usaha ini berhasil membuat kekuatan Protestan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Pada bulan februari1576, Henry Navarre berhasil melarikan diri dari pengadilan dan kembali berjuang di wilayahnya. Hal ini semakin memperkuat kekuatan orang-orang Protestan terutama di wilayah selatan Prancis.

Pada Mei 1576 orang Protestan bergerak menyerbu ibukota dan berhasil mendesak kerajaan Prancis untuk melakukan perundingan. Perundingan tersebut terkenal dengan sebutan perjanjian “dekrit beaulieu”. Perundingan tersebut isinya memberikan keuntungan bagi pihak Protestan. Salah satu isi dari perundingan tersebut yaitu, Henry Navarre menjadi gubernur di guyenne, Condé menjadi gubernur di picardy, Alençon menjadi duc d'anjou dan kerajaan harus membayar sejumlah bayaran untuk Jan Casimir'. Perundingan ini tentu saja memberikan pukulan berat kepada Henri III selaku Raja Prancis pada waktu itu.

f. Perang Keenam

Pada tahun 1576 mncul pengumuman mengenai perkebunan yang dikelola oleh orang Protestan. Sementara itu, Henri III menuntut pajak-pajak baru dan pendapatan kepada orang Protestan untuk membiayai proyek perkebunan. Hal ini

(9)

46 dia lakukan agar uang kerajaan tidak terpakai untuk membiayai bidang perkebunan. Kerajaan pada waktu itu lebih fokus untuk membiayai perang serta biaya pembayaran hutang negara. Pertentangan orang Protestan dengan Katolik semakin meruncing ketika liga Katolik menentang pengangkatan beberapa orang Protestan menduduki posisi penting dalam kerajaan. Puncak pertentangan ini adalah terjadinya perang sipil yang keenam di Prancis.

g. Perang Ketujuh

Pengambil-alihan kota Cahor memicu munculnya perang sipil yang ketujuh. Henry Navarre yang mewakili pihak Protestan serta Catherine de Medichi yang mewakili pihak Katolik dan kerajaan mengadakan penandatanganan perjanjian Nerac dan dikuti oleh perjanjian Fleix. Akan tetapi, pertentangan kembali terjadi setelah Raja Philip II dari Spanyol wafat kemudian disusul dengan meninggalnya Henry III. Terutama setelah Henry III meninggal timbul masalah baru yaitu siapakah yang berhak menjadi Raja Prancis. Hal terebut terjadi karena Henry III tidak meninggalkan keturunan yang bisa meneruskan kepemimpinannya sebagai Raja di Prancis.

Selama berlangsungnya perang sipil di Prancis, terdapat suatu peristiwa besar yang berpengaruh terhadap sejarah Prancis selanjutnya termasuk berpengaruh terhadap mujnculnya pemikiran Bodin. Peristiwa tersebut adalah peristiwa The St Bartholomew's Day Massacre yang terjadi pada tahun 1572.

Setelah perdamaian St Germain, Catherine de Medichi melakukan banyak upaya diplomatik untuk menciptakan keharmonisan antara Katolik dan pemimpin Protestan. Upaya tersebut diantaranya adalah dengan mengundang Laksamana de

(10)

47 Coligny sebagai kepala pemimpin militer Huguenot ke Dewan Raja. Selain itu, Catherine bernegosiasi dengan Jeanne d'Albret, Ratu Navarre, untuk menikahkan putrinya Margeurite (Margot) dengan putra Ratu Navarre yaitu Henri de Navarre. Namun, masyarakat umum merasa hal tersebut tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya, ketegangan-ketegangan tetap tumbuh di kota-kota dan desa.

Retorika Protestan menjadi semakin revolusioner pada tahun 1560an. Para pemikir Protestan menganjurkan bahwa orang Kristen tidak memiliki kewajiban untuk mematuhi pemimpin mereka yang menentang Tuhan sendiri. Seiring dengan isu-isu yang lebih abstrak, ketegangan antara Katolik dan Protestan menjadi lebih duniawi dalam hal ekonomi dan sosial dibanding dengan isu agama. Orang Protestan lebih berhasil dalam hal perdagangan dan pendidikan sehingga taraf kehidupan mereka cenderung lebih baik dibanding orang Katolik. Pertentangan agama muncul juga dalam hal partsipasi perempuan dalam pelayanan Gereja. Orang Katolik menganggap perempuan tidak boleh terlibat dalam pelayanan Gereja, sedangkan orang Protestan menganggap perempuan boleh ikut dalam pelayanan di Gereja.

Keadaan ekonomi yang buruk membuat harga berbagai bahan makanan. Bahan bakar dan tempat tinggal meningkat dengan tajam. Hal ini mungkin tampak tidak berhubungan dengan masalah-masalah agama, tetapi rasa putus asa mengenai bagaimana memenuhi kebutuhan hidup, yang membuat meningkatnya kemiskinan di kota-kota membuat tekanan ekonomi masyarakat semakin besar terutama bagi masyarakat kecil yang notabenenya kebanyakan orang Katolik mencari kambing hitam dari permasalahan tersebut.

(11)

48 Banyak orang Katolik yang beranggapan bahwa permasalahan tersebut ditimbulkan oleh penyakit yang menggerogoti iman terhadap keyakinan Kristus. Para pengkhotbah Katolik meningkatkan retorikanya agar umat Katolik membersihkan penyakit tersebut agar bantuan Tuhan datang serta terciptanya kembali keadaan masyarakat yang stabil. Penyakit tersebut oleh orang Katolik disamakan dengan keyakinan yang dianut oleh orang Protestan. Hal inilah yang melatar-belakangi terjadinya peristiwa St Bartholomeus Day’s Massacre pada malam 23 Agustus 1572. Sebelum terjadinya peristiwa St Bartholomeus Day’s Massacre pada tanggal 23 agustus 1572. pada tanggal 17 Agustus 1572 diadakan pesta penikahan Henry Navarre. Pesta ini dihadiri oleh banyak bangsawan Protestan termasuk oleh Coligny. Pada tanggal 22 Agustus Coligny kembali ke tempat tinggalnya setelah berkunjung kepada Raja. Akan tetapi, di perjalanan pulang dia ditembak seseorang walaupun tidak membuatnya tewas. Hal ini menyebabkan orang Protestan marah dan menuntut keadilan dari Raja. Ketika para pemimpin Protestan menyarankan agar Coligny sementara melarikan diri, Coligny menolaknya dengan alasan apabila hal itu dia lakukan maka kepercayaan rakyat terhadap Raja semakin buruk. Namun, orang Protestan yang lebih dikenal dengan kaum Huguenot mengancam akan mengadakan kerusuhan di jalan-jalan jika tidak segera dilakukan tindakan pristiwa penembakan tersebut.

Pada tanggal 23 Agustus diadakan pertemuan oleh pihak kerajaan dan kaum Katolik di Louvre dan diambil keputusan untuk membunuh Coligny dan para pemimpin Huguenot yang berada di sekitar Coligny. Keputusan ini pada awalnya bukanlah dimaksudkan untuk melakukan pembantaian secara umum

(12)

49 semua orang Huguenot, akan tetapi kenyataan yang terjadi pembunuhan tejadi bukan hanya terhadap pemimpin Huguenot melainkan juga terhadap orang-orang Huguenot yang biasa-biasa saja.

Pada minggu dini hari sekelompok pasukan datang ke rumah Coligny yang kemudian masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya mereka membunuh para penjaga rumah Coligny. Coligny sendiri diseret dari kamar tidurnya kemudian ditusuk dan dilemparkan ke luar rumah, konon Duc de Guise menginjak dan menendang tubuh serta wajahnya. Rumor kemudian menyebar bahwa peristiwa pembunuhan tersebut disetujui oleh Raja dan Gereja. Rumor ini menyebabkan masyarakat umum yang beragama Katolik serta merta ikut melakukan berbagai pembunuhan terhadap orang Protestan yang mereka anggap sebagai penyebab dari keterpurukan Prancis karena telah menyimpang dari ajaran yesus. Pembantaian tersebut berlangsung lebih dari 3 hari. Akibat peristiwa tersebut membuat luka mendalam bagi orang-orang Protestan selama terjadinya perang sipil.

Selain Coligny, pemimpin Huguenots lainya yaitu Henry de Navarre ditangkap sedangkan 40 pria Huguenots lainnya dibunuh. Pangeran de Conde yang juga salah satu pemimpin orang Protestan akhirnya melarikan diri ke Jerman. Pembantaian ini menyebar ke beberapa provinsi hingga beberapa bulan ke depan, ada yang beranggapan bahwa pembantaian tersebut merupakan arahan dari pihak kerajaan sedangkan yang lain beranggapan hal tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan pihak kerajaan.

Peristiwa St Bartholomew's Day Massacre telah menghancurkan sebagian besar generasi kepemimpinan Huguenot, Henri de Navarre menjadi tahanan

(13)

50 sedangkan Conde melarikan diri ke Jerman dan Andelot yang merupakan adik Coligny menjadi seorang pengasingan di Swiss. Meskipun tidak jelas pada waktu itu, ini adalah awal dari penurunan Gereja Protestan di Prancis.

B. Latar Belakang Kehidupan Jean Bodin

Jean Bodin seperti halnya Machiavelli merupakan salah satu tokoh pemikir yang berkembang berdasarkan tekanan dari pengalaman pribadi. Bukunya, The Six Books of Commnwealth yang diterbitkan pada tahun 1567 merupakan gambaran pemikirannya berdasarkan pengalaman pribadi mengenai keadaan Prancis pada abad ke -16. Bodin adalah seorang humanis yang mendapat pendidikan konservatif mengenai hukum adat pada masa abad pertengahan, yang kemudian mengalihkan perhatiannya kepada politik akibat dari terjadinya perang agama.

Jean Bodin dilahirkan di Angers pada tahun 1529 yang berasal dari kalangan keluarga kelas menengah atas di Prancis. Semasa muda dia tinggal di sebuah biara di kota kelahirannya untuk belajar filsafat. Pada tahun 1545 M dia menetap di Paris, selama di Paris ketertarikannya terhadap ide-ide pengetahuan semakin besar dan berkembang. Kemudian pada tahun 1550 dia belajar ilmu hukum di sebuah universitas di kota Toulouse. Sewaktu belajar hukum di Toulouse, dia bekerja sebagai seorang redaktur salah satu kantor berita untuk terjemahan amerika latin. Keadaan lingkungan yang akademis selama dia tinggal di Toulouse menjadikan pemikiran Bodin yang tidak hanya terfokus dalam hal politik, tetapi Bodin juga tertarik terhadap hal lain seperti sejarah, agama,

(14)

51 ekonomi dan bahasa. Ketertarikannya dalam hal sejarah terlihat dari karyanya yang berjudul Methodus ad facilem historiarum cognitionem. Buku ini menjelaskan mengenai metode atau cara mudah untuk memahami sejarah. Buku terakhirnya yang berjudul heptaplomeres merupakan sebuah dialog antara orang-orang dari keyakinan agama yang berbeda, menunjukkan dia tertarik dalam hal agama dan segala macam sistem kepercayaan yang dianut pada zamannya.

Pada tahun 1560 dia kembali ke Paris untuk mengaplikasikan ilmu hukum yang ia peroleh selama di Toulouse. Suasana kehidupan serta pelaksanaan hukum di Paris berbeda dengan suasana kehidupan selama ia tinggal di Tolouse. Daerah selatan Prancis termasuk Toulouse lebih bersifat humanis dan berusaha membangun kembali masa klasik yunani dan romawi. Daerah utara Prancis termasuk Paris lebih cenderung praktis dalam pelaksanaan hukum.

Pada masa ini muncul permasalahan pelik yang menimpa Prancis. Permasalahan yang terjadi pada masa ini adalah permasalahan mengenai agama. Bodin melakukan penyelidikan untuk mencari solusi penyelesaian konflik agama serta berusaha menyatukan orang Katolik dengan orang Huguenots. Penyelidikan yang ia lakukan adalah dengan melakukan pendekatan melalui kajian sejarah bukan dengan pendekatan kajian teks dan penilaian. Menurutnya, pendekatan kajian sejarah lebih baik dibandingkan kajian teks dan penilaian. Pendekatan kajian sejarah yang dilakukan Bodin bukanlah yang pertama oleh pemikir lakukan, sebelumnya Francois Hotman telah melakukan kajian ini dalam karyanya yang telah diterbitkan pada tahun 1567. Meskipun demikian, penyelidikan yang dilakukan Bodin lebih menyeluruh dan sistematis dibanding yang telah dilakukan

(15)

52 oleh Francois Hotman. Pendekatan kajian sejarah yang digunakan Bodin untuk mendapat model hukum yang terbaik tidak hanya terfokus pada kajian materi sejarah dalam buku kuno dan modern serta sumber ilmiah. Akan tetapi, yang menjadi penekanannya untuk mencari model hukum terbaik adalah mengenai pemahaman terhadap sejarah, hal terbaik dalam sejarah adalah bagaimana penilain terhadap undang-undang, kebiasaan bangsa, proses awal , pertumbuhan serta kondisi perubahan baik perkembangan maupun penurunan semua negara. Berdasarkan penilaian terhadap hal-hal inilah menurut Bodin dapat ditemukan solusi permasalahan dari perang agama yang terjadi di Prancis.

Keadaan lingkungan yang cenderung dekat ke pusat pemerintahan membuat Bodin semakin tertarik mengkaji mengenai sistem pemerintahan dibanding dengan bentuk-bentuk hukum. Pada tahun 157, Bodin bekerja sebagai pengacara di rumah François duc d'Alençon salah satu keluarga Raja di Paris. Hal ini menyebabkan ketertarikannya terhadap politik lebih besar dari sebelumnya. Bukunya yang berjudul The Six Books of Commnwealth merupakan bukti pandainya dia memanfaatkan posisinya sebagai pengacara salah satu keluarga Raja. Pekerjaannya yang banyak berhubungan dengan surat-surat diplomatik dan pergaulannya dengan para duta besar asing membuat Bodin lebih memahami apa itu politik.

Pada tahun 1562 rangkaian panjang dari Perang Agama dimulai, sehingga masyarakat Prancis tidak menikmati kedamaian ataupun ketertiban. Pada lingkungan yang seperti ini, Bodin memulai menulis bukunya yag berjudul The Six Books of Commnwealth. Perang sipil terinspirasi oleh pemberontakan dan

(16)

53 anarki yang muncul akibat pertentangan agama, dan satu-satunya solusi yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini menurut Bodin adalah pengakuan atas otoritas mutlak negara.

Setelah sekian lama berkecimpung dalam lingkungan yang berbau politik, Bodin perlahan-lahan melepaskan diri dari kehidupan politik terutama setelah Duc d’Alencon meninggal pada tahun 1583. Hal itu dia lakukan dengan berpindah dari Paris dan membuat sebuah kantor hukum sampai akhirnya dia meninggal pada akhir tahun 1596 di Laon. Menjelang akhir hayatnya, Bodin lebih cenderung memikirkan hal-hal yang berbau relgius. Karya terakhirnya yang dia tulis yaitu Heptaplomeres merupakan sebuah buku yang di dalamnya membahas mengenai keragaman kepercayaan serta prinsip-prinsip agama yang sifatnya universal.

Berdasarkan beberapa sumber yang menjelaskan mengenai kehidupan Jean Bodin serta tulisan-tulisannya yang telah ia buat, dapat di lihat bagaimana perubahan pandangan Bodin terhadap kehidupan sekitarnya baik politik, agama ekonomi dan juga lainnya. Perubahan pandangan tersebut disebabkan oleh keadaan lingkungan yang menuntut dia seperti itu. Meskipun pada akhir hayatnya Bodin lebih memilih menarik diri dari politik dan cenderung memikirkan masalah agama. Karyanya yang paling terkenal yaitu The Six Books of Commonwealths telah menjadi sebuah karya besar dan banyak digunakan oleh pemikir-pemikir sesudahnya sebagai sumber kajian teori politik berikutnya.

(17)

54 C. Pemikiran Jean Bodin Mengenai Negara

1. Definisi Negara

Dalam membahas mengenai negara, Bodin tidak langsung menjelaskan bagaimana cara-cara untuk mencapai tujuan seperti yang dilakukan oleh Machiavelli. Akan tetapi, proses pertama yang dia lakukan adalah dengan memahami terlebih dahulu watak atau karakter serta tujuan dari negara, kemudian beralih pada cara pencapaian tujuan tersebut. Bodin menganalogikan seseorang yang tidak memahami akan tujuan dan menentukan masalahnya dengan tepat tidak akan mencapai cara untuk meraihnya, ibarat seseorang yang menembak ke udara dengan sembarangan tidak akan mengenai sasaran “But the man who does not comprehend the end, and cannot rightly define his subject, has no hope of finding the means of attaining it, any more than the man who shoots at random into the air can hope to hit the mark (Bodin, 2009 : 43)”.

Orang dahulu mendefinisikan negara sebagai sebuah masyarakat yang berkumpul bersama untuk hidup secara baik dan bahagia. Namun, menurut Bodin definisi tersebut telah gagal di satu pihak sedangkan di sisi lain telah melampaui batasnya. Menurutnya, definisi seperti itu telah menghilangkan tiga unsur utama dari sebuah negara yaitu keluarga, kekuasaan yang berdaulat serta tujuan bersama. Istilah”bahagia” dalam definisi negara dianggap tidak terlalu penting oleh Bodin. Menurutnya, tujuan dari negara itu jauh lebih tinggi dari sekedar kebahagiaan, yaitu untuk mencapai atau setidaknya mendekati pemerintah yang memerintah secara benar dan bukan pula bermaksud menggambarkan pemerintahan yang idel dan murni seperti yang dibayangkan Plato ataupun Thomas More, melainkan

(18)

55 membatasi sejauh mungkin pada bentuk-bentuk politik yang sifatnya lebih praktis. Pandangan Bodin mengenai pemikiran Plato dan Thomas More tentang negara ideal seperti di bawah ini :

We cannot therefore be blamed if we do not succeed in describing the state which is rightly ordered absolutely, any more than the pilot, blown out of his course by a storm, or the doctor defeated by a mortal disease, is to be blamed, provided he has managed his ship or his patient in the right way (Bodin, 2009 : 44).

Pernyataan Bodin seperti yang telah disebutkan di atas merupakan isyarat mengenai bagaimana tidak terdapatnya suatu sistem pemerintahan idel yang diterapkan di semua negara. Menurutnya, sebuah pemerintahan ibarat seorang pilot ataupun dokter yang bekerja sebagaimana mestinya, akan tetapi keberlangsungan pekerjaan pilot serta dokter tersebut tergantung juga pada keadaan lingkungan di sekitarnya. Seorang pilot bisa saja tidak dapat mengendalikan pesawatnya ketika diterjang oleh badai, dan seorang dokter bisa saja dikalahkan oleh penyakit dari pasiennya. Hal tersebut menurut Bodin merupakan suatu hal yang wajar, karena menurutnya tidak ada suatu negara yang benar-benar idel seperti idelnya negara model menurut Thomas more.

Berkaitan dengan kebaikan, definisi negara menurut orang dahulu dipertanyakan oleh Bodin. Pemahaman orang dahulu memandang kebaikan individu identik dengan kebaikan negara, sedangkan Bodin berpandangan bahwa kebaikan individu tidak selalu identik dengan kebaikan negara dikarenakan dua hal tersebut memiliki definisi, ruang lingkup serta tujuan masing-masing.

Bodin memberi definisi terhadap negara atau yang sering dia sebut dengan persemakmuran sebagaimana yang ia tuliskan “A Nation may be defined as the

(19)

56 rightly ordered government of a number of families, and of those things which are their common concern, by a sovereign power (Bodin, 2009 : 43)”.

Dari penjelasan mengenai definisi yang telah Bodin sebutkan di atas, terdapat setidaknya empat unsur penting mengenai negara yaitu, keluarga, tatanan yang benar, tujuan bersama serta kekuasaan yang berdaulat. Mengenai keluarga, Bodin memandang keluarga sebagai salah satu unsur bagi suatu negara, karena keluarga adalah asal atau unit dasar negara. Hal tersebut sebagaimana yang dia jelaskan “The second term of our definition of the nations refers to the family because it is not only the true source (Bodin, 2009 : 48)”.

Seperti juga Aristoteles ia beranggapan, bahwa keluarga adalah asal dari negara, baik menurut logika maupun menurut sejarah (Schmid : 108). Menurut Schmandt (2009 : 280) bahwa Bodin mengikuti Aristoteles dalam pendirian bahwa keluarga dan bukan individulah yang menjadi unit dasar negara. Di kehidupan keluarga yang menjadi pemimpin adalah seorang kepala rumah tangga, sedangkan di negara yang memimpin adalah Raja. Bodin menganggap bahwa kehidupan keluarga adalah model bagi kehidupan negara. Bodin menganalogikan kehidupan negara ibarat kehidupan yang terjadi dalam sebuah keluarga, apabila seluruh anggota keluarga melakukan fungsinya maka kehidupan keluarga akan berlangsung baik dan teratur. Begitu juga dengan negara, apabila semua unsur dalam negara melakukan fungsinya mulai dari warga sampai dengan Raja maka kehidupan negara pun akan baik dan teratur seperti kehidupan keluarga yang telah disebutkan tadi.

(20)

57 Keluarga sebagai unit dasar dari negara serta contoh model dari negara dipimpin oleh seorang kepala keluarga yaitu suami. Seorang kepala keluarga adalah orang yang berhak memerintah terhadap anggota keluarganya yang lain dan anggota keluarga yang lain harus tunduk terhadap perintah kepala keluarga tersebut. Tidak boleh dalam satu keluarga terdapat dua kepala keluarga, karena hal tersebut akan menyebabkan konflik serta gangguan-gangguan terhadap kelangsungan keluarga “no household can have more than one head, one master, one seigneur. If there were more than one head there would be a conflict of command and incessant family disturbances... (Bodin : 51-52)”.

Begitu juga dengan negara, di sebuah negara tidak boleh ada dua orang penguasa atau lebih. Hal tersebut akan membuat negara dalam keadaan yang penuh konflik, gangguan yang mengakibatkan rasa tidak aman dan nyaman bagi warganya. Meskipun dalam hal keluarga sebagai unsur pokok dari negara Bodin mengikuti Aristoteles. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara Bodin dengan Aristoteles mengenai bagaimana terciptanya kekuasaan ayah dalam keluarga. Dalam pemikiran Aristoteles, kekuasaan ayah adalah tanpa persetujuan anak-anaknya, tetapi kekuasaan pemerintah sipil untuk menjadi syah harus berdasar pada persetujuan rakyat, sedangkan Bodin beranggapan bahwa negara memiliki asal-usulnya dalam kekuatan dan kekerasan (Schmandt, 2009 : 281).

Pemikiran Bodin yang menyebutkan bahwa negara memiliki asal-usul dalam hal kekuatan dan kekerasan didasarkan pada hal alamiah yang terdapat pada diri manusia. Bodin beranggapan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang ambisius, penuh benci serta penuh dorongan nafsu. Hal tersebut

(21)

58 menyebabkan manusia saling bermusuhan satu sama lainnya. Keadaan lingkungan manusia yang penuh kebencian, nafsu serta kekerasan tersebut mendorong setiap keluarga bersatu untuk membentuk pertahanan bersama dan ketentraman masyarakat melalui sebuah pengakuan terhadap kekuatan yang berdaulat. Proses pembentukan pertahanan dan ketentraman bersama melalui sebuah pengakuan kekuasaan yang berdaulat tersebut menurut Bodin hanya bisa dicapai dengan cara kekuatan daripada sekedar pengakuan secara sukarela. Hal inilah yang membedakan antara Aristoteles dan Bodin dalam hal terbentuknya kekuasaan yang berdaulat dalam suatu masyarakat. Aristoteles dan para pemikir lainnya adalah salah, kata Bodin, dengan mengira bahwa penguasa pertama dipilih karena keadilan dan kebajikan mereka. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan fisik yang diperlukan untuk menundukkan orang lain di bawah perintah mereka (Shmandt, 2009:281).

Negara adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang tertata dengan baik dan benar, hal inilah yang membedakan antara negara dengan perkumpulan lainnya seperti gerombolan. Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh semua warga negara yaitu keadilan dan kebahagiaan, tatanan yang benar menjadi suatu keharusan dalam sebuah negara. Pemerintah yang dibangun dengan benar sejalan dengan hukum adalah sifat sejati dari masyarakat yang membedakan nya dari gerombolan pencuri dan perampok (Shmandt, 2009:281).

Unsur ketiga menurut Bodin yang terdapat dalam negara adalah adanya kekuasaan yang berdaulat. Bodin beranggapan bahwa elemen yang membedakan negara dari semua bentuk asosiasi manusia yang lain adalah kedaulatan

(22)

59 (Schmandt, 2009 : 282). Kekuasaan yang berdaulat adalah suatu keharusan dalam sebuah negara. Kekuasaan tersebut tercermin dalam sebuah lembaga politik yaitu, suatu otoritas yang memiliki kekuasaan mutlak dan tertinggi yang tidak tunduk terhadap kekuasaan manusia lainnya. konsep kedaulatan seperti inilah yang menjadi prinsip pertama dan paling fundamental dari teori politik Bodin.

Tujuan bersama yang telah Bodin sebutkan dalam definisnya mengenai negara tidak seperti definisi negara menurut orang dahulu yaitu, hanya terfokus pencapaian akan kebaikan dan kebahagaiaan semata. Menurutnya, tujuan dari negara adalah terwujudnya suatu pemerintahan yang benar, untuk mencapai tujuan bersama, terciptanya suatu pemerintahan yang benar juga merupakan dari tujuan negara.

Pemahaman terhadap definisi istilah atau permasalahan yang dibahas seperti yang telah disampaikan di atas, merupakan hal pertama yang harus dipahami sebelum kita mencari cara untuk menyelesaikan permasalahan. Sebagaimana yang dijelaskan Bodin berikut ini :

We must start in this way with a definition because the final end of any subject must first be understood before the means of attaining it can profitably be considered, and the definition indicates what that end is. If then the definition is not exact and true, all that is deduced from it is valueless (Bodin, 2009 : 43).

Sebuah negara menurut Bodin haruslah memenuhi beberapa faktor yang dapat mendukung terhadap keberlangsungan negara tersebut.

it follows by parity of argument that the Nations should have a territory which is large enough, and sufficiently fertile and well stocked, to feed and clothe its inhabitants. It should have a mild and equable climate, and an adequate supply of good water for health. If the geography of the country is not in itself its best defence, it should have sites capable of fortification against the danger of attack. These are the basic needs which are the first

(23)

60 objects of concern in all Negaras. These secured, one looks for such luxuries as minerals, medicinal plants, and dyes (Bodin, 2009 : 46).

Beberapa faktor yang menjadi pendukung kelangsungan hidup suatu negara menurut Bodin yaitu, 1) luas wilayah, 2) keadaan tanah, 3) iklim dan 4) topografi. Luasnya wilayah bermanfaat untuk tempat tinggal penduduk serta. Keadaan tanah yang subur dapat menjamin keberlangsungan negara terutama negara yang bergantung kepada bidang agraris sebagai sumber pendapatannya. Iklim berpengaruh terhadap watak serta karakter masyarakat dan juga terhadap keberlangsungan ekonomi. Sedangkan faktor topografi tidak kalah penting menjadi penentu perkembangan suatu negara, dengan topografi yang strategis sebuah negara bisa mencapai kemajuan lebih cepat dibanding negara lain, topografi juga bisa menjadi benteng pertahanan suatu negara apabila diserang oleh pihak luar.

2. Bentuk Negara

Seperti halnya para pemikir politik lain, Bodin pun menggolongkan negara menjadi tiga macam yaitu monarki, negara popular atau demokrasi dan aristokrasi. Penggolongan negara menjadi tiga bentuk menurut Bodin tersebut didasarkan pada berapa banyak orang yang memegang kedaulatan yang memimpin suatu negara. Hal tersebut seperti yang dijelaskan Bodin berikut.

Now that we have determined what sovereignty is, and have described its rights and attributes, we must consider in whom it is vested in every kind of commonwealth, in order to determine what are the various possible types of state. If sovereignty is vested in a single prince we call the state a monarchy. If all the people share in it, it is a popular state. If only a minority, it is an aristocracy (Bodin, 2009 : 91).

(24)

61 Dari penjelasan di atas dapat dilihat jelas bagaimana penggolongan bentuk negara berdasarkan pemegang kedaulatan. Apabila dalam suatu negara kedaulatan dipegang oleh seorang Raja maka negara tersebut merupakan negara monarki. Apabila kedaulatan dibagi-bagi maka termasuk ke dalam negara popular, sedangkan negara aristokrasi apabila kedaulatan dipegang oleh kaum minoritas. Berikut ini akan dijelaskan mengenai tiga bentuk negara menurut Bodin. Bodin kurang begitu tertarik terhadap bentuk negara campuran seperti yang dijelaskan oleh Plato, Aristoteles serta Polybius. Menurutnya, dalam negara campuran terjadi pembagian kedaulatan serta kekuasaan yang dia anggap dapat menyebabkan kehidupan negara menjadi tidak nyaman dan tentram seperti yang dia jelaskan “If sovereignty is, of its very nature, indivisible, as we have shown, how can a prince, a ruling class, and the people, all have a part in it at the same time (Bodin, 2009 : 92)”.

Terjadinya pembagian kedaulatan dan kekuasaan dalam suatu negara dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan tentram. Hal tersebut dikarenakan, masing-masing orang yang mempunyai kekuasaan akan berusaha merebut kekuasaan dari pihak lain agar kekuasaannya tidak mempunyai saingan dari penguasa lainnya. Hal inilah yang nantinya dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan tentram rakyat. Dari ketiga bentuk pemerintahan yang ada, Bodin lebih memilih bentuk negara monarki sebagai bentuk pemerintahan yang sesuai diterapkan oleh setiap penguasa.

Menurut Bodin suatu negara disebut monarki apabila kedaulatan dipegang oleh satu orang sementara yang lainnya harus tunduk dan taat terhadap pemegang

(25)

62 kedaulatan tersebut, “A state is called a monarchy when sovereignty is vested in one person, and the rest have only to obey (Bodin, 2009 : 91)”. Bodin membagi monarki menjadi tiga jenis yaitu despotik monarki, royal monarki dan tirani monarki.

Semua jenis monarki baik itu despotik monarki, royal monarki ataupun tirani monarki bukanlah suatu bentuk monarki yang berbeda dalam pengertian, Pembedaan jenis tersebut lebih dikarenakan bagaimana cara pelaksanaan kebijakan. Setiap warga negara harus menaati hukum penguasa yang akhirnya penguasa tersebut akan menaati hukum-hukum alam atau hukum Allah dan kebebasan alamiah.

Menurut Bodin orang dahulu telah salah menganggap bahwa Raja atau penguasa diangkat oleh rakyat dan bukan berdasarkan pada kekuatan dan kemampuan Raja tersebut. Padahal menurutnya seseorang diangkat menjadi seorang Raja atau penguasa berdasarkan kepada kemampuan dan kekuatan penguasa atau Raja terebut. Hal tersebut Bodin umpamakan dengan proses diangkatnya Nimrud sebagai penguasa di Asiria. Menurutnya, sebelum Nimrud tidak ada seorangpun yang memiliki otoritas serta dominasi atas orang lain. Nama Nimrud sendiri menurut Bodin berarti “mengerikan” serta “tuan yang perkasa”.

Bodin memandang bahwa despotik monarki tidak sama dengan tirani monarki. Akan tetapi, perbedaan tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bukanlah pada segi definisi, melainkan pada segi bagaimana cara Raja menjalankan kekuasaannya. Kerajaan yang bersifat despotik monarki menjalankan kekuasaannya dengan mengatur setiap rakyatnya serta barang milik

(26)

63 rakyat tetapi terfokus sebagai kepala rumah tangga saja.sedangkan pada tirani monarki seorang Raja bebas memperbudak setiap rakyat serta barang milik rakyatnya.

Sebuah negara yang bersifat royal monarki haruslah dipimpin oleh seorang Raja yang sejati. Raja sejati menurut Bodin adalah seorang yang mampu mengamati hukum-hukum alam dengan cermat serta mampu membuat rakyatnya menaati hukum alam tersebut yang akhirnya mampu menjamin kebebasan mereka serta menikmati hak milik mereka sendiri. Hal terakhir inilah yang membedakan antara royal monarki dengan despotik monarki, yaitu terdapat kebebasan untuk menikmati milik rakyat sendiri. Pada despotik monarki seorang Raja atau penguasa memiliki hak mengatur terhadap rakyat serta barang-barang milik rakyatnya sehingga rakyat tidak bebas menikmati hak milik mereka sendiri. Sedangkan pada royal monarki terdapat jaminan terhadap kebebasan rakyat serta jaminan menikmati barang milik rakyat sendiri. Akan tetapi, seperti halnya dalam despotik monarki. Raja memiliki kewenangan untuk dipatuhi oleh rakyatnya, hal tersebut perlu sebagai tanda bahwa Raja tersebut ialah Raja yang berdaulat.

Selain yang telah dijelaskan di atas, Bodin juga memnjelaskan bahwa seorang Raja harus lah seorang yang takut terhadap Tuhan, Maha Pengasih kepada yang menderita, hati-hati dalam usaha, berani dalam bertindak, sederhana dalam kemakmuran, menepati janji, bijaksana, setia terhadap kawan, ditakuti oleh setiap musuh-musuhnya serta adil kepada sesama. Apabila seorang Raja mampu bersikap seperti itu maka hasilnya adalah kondisi yang harmonis antara Raja dan rakyatnya.

(27)

64 Negara yang bersifat tirani monarki ditunjukkan dengan perilaku Raja atau penguasa yang senantiasa menginjak-injak terhadap berbagai hukum baik hukum manusia maupun hukum alam. Hal ini mengandung arti bahwa Raja atau penguasa tersebut telah menyalahgunakan kekuasaan dengan menjadikan rakyatnya hanya sebagai budak atau pesuruhnya saja. Pada tirani monarki, seorang Raja atau penguasa memperkerjakan rakyatnya untuk memenuhi segala ambisi Raja atau penguasa tersebut.

Hal yang tidak kalah penting menjadi sorotan Bodin dalam keberlangsungan pemerintahan suatu negara adalah adanya proses pergantian kepemimpinan. Pergantian kepemimpinan dalam sebuah pemerintahan adalah suatu hal yang perlu dan pasti terjadi, terutama dalam sebuah negara yang bersifat monarki. Menurutnya, proses suksesi kepemimpinan dalam sebuah negara atau pemerintahan hanya boleh terjadi berdasarkan garis keturunan lelaki. Hal ini berarti bahwa laki-lakilah yang berhak menjadi seorang Raja. Hal ini berarti bahwa pihak perempuan oleh Bodin dianggap tidak berhak menjadi seorang pemimpin suatu negara atau kerajaan. Alasan mengapa Bodin beranggapan bahwa perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin suatu negara atau kerajaan sebagaimana yang dia ungkapkan berikut.

I have said that the crown ought to descend in the male line, seeing that gynecocracy is directly contrary to the laws of nature. Nature has endowed men with strength, foresight, pugnacity, authority, but has deprived women of these qualities. Moreover the law of God explicitly enjoins that the woman should be subject, not only in matters concerning law and government, but within each particular family (Bodin, 2009 : 240).

Sebagaimana yang telah Bodin ungkapkan di atas, bahwa pihak laki-laki lah yang berhak menjadi suksesor kepemimpinan suatu negara atau kerajaan. Hal

(28)

65 tersebut menurutnya bahwa seorang laki-laki telah dianugerahi Tuhan dengan kekuatan, wawasan, kegarangan serta otoritas, hal mana sifat-sifat tersebut tidak dianugerahkan Tuhan kepada perempuan secara eksplisit. Selain itu, hukum Tuhan pun mengharuskan seorang perempuan untuk tunduk tidak hanya dalam masalah yang menyangkut hukum dan pemerintahan, tetapi harus tunduk pula terhadap pemimpin keluarganya.

D. Politik Absolut di Tinjau dari Teori kedaulatan Bodin

Ketika kita membahas mengenai sistem politik yang bersifat absolut maka yang terlintas dalam pikiran kita adalah suatu sistem politik yang cenderung tidak toleran dan tidak baik. Padahal anggapan semacam itu tidak selamanya benar, bahkan terdapat beberapa negara atau kerajaan yang menerapkan sistem politik absolut justru mampu menjamin kehidupan warganya. Sebagai contoh kerajaan yang menerapkan sistem politik absolut serta berhasil menjadi kerajaan yang maju dan berkembang pada masa itu adalah kerajaan Prancis yang dipimpin oleh Raja Louis XIV. Di bawah kepemimpinan Raja Louis XIV Prancis berhasil menjadi suatu negara yang disegani di Eropa pada masa itu.

Kehidupan politik yang menonjol pada sekitar abad ke-16 dan ke-17 adalah bergesernya sistem pemerintahan yang awalnya bersifat feodalisme dinastik abad pertengahan menjadi sistem negara nasional (Schmandt, 2009 : 273). Pada masa ini, pemikiran politik yang berkembang menjadi tersusun dalam unit politik baru. Pada jaman kuno, fokus pemikiran politik cenderung terfokus pada sistem negara kota seperti halnya Yunani. Pada abad pertengahan lebih

(29)

66 terfokus pada sistem kerajaan seperti halnya Florence. Pada masa berkembangnya pemikiran politik modern negara nasional menjadi konsep utama dalam pembahasannya.

Tidak terdapatnya konsepsi atau aturan yang jelas serta tegas selama abad pertengahan mengenai kewenangan negara sebagai lembaga yang berdaulat dalam menjalankan kekuasaannya dengan batasnya sendiri dan terpisah dari kekuatan-kekuatan politik lain, menyebabkan terciptanya dualisme kekuasaan yaitu kekuasaan kerajaan dan gereja. Profesor Merriam mencatat terdapat empat kendala yang ada dalam doktrin penting tentang watak kedaulatan selama abad pertengahan : (1) ide tentang dominasi hukum ketuhanan dan hukum alam terhadap hukum positif, (2) konflik Gereja-negara, (3) gagasan tentang bentuk pemerintah gabungan, dan (4) kondisi feodal negara (Schmandt : 274).

Para penulis klasik dan abad pertengahan menyadari kekuasaan tertinggi terletak dalam badan politik. Mereka melihat bahwa harus ada orang atau lembaga tertinggi yang memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan politik terakhir yang tidak terikat pada otoritas pemerintah yang lebih tinggi darinya. Namun demikian, mereka tidak melihat kekuasaan tertinggi sebagai kekuasaan yang absolut, mereka menganggap kekuasaan tersebut tetap tunduk pada hukum ketuhanan, alam dan kebiasaan. Dengan munculnya negara nasional dan monarki yang terpusat, ide tradisional tentang kekuasaan politik mulai mengalami modifikasi dasar yang mengubah wataknya secara radikal. Bukti pertama perubahan ini terlihat dalam pemikiran politik akhir abad ke -16.

(30)

67 Perkembangan baru ini berkembang ke dua arah, pertama di bidang keagamaan dan yang kedua di bidang hukum. Kedua perkembangan tersebut memberikan justifikasi teoritis pada kecenderungan yang berkembang ke arah asolutisme. Pertama, dikenal dengan teori hak ketuhanan (divine right theory) yang beranggapan bahwa penguasa mendapatkan otoritasnya langsung dari Tuhan. Kedua, teori kedaulatan murni (The Theory of “genuine” Souvereignity) yang beranggapan bahwa otoritas yang ada di atas hukum dan masyarakat harus ada dalam negara(Schmandt, 2009 : 274). Pembenaran teoritis yang pertama mendapat sambutan dingin dalam pemikiran barat. Para penganjur hak ketuhanan mengajukan teori kedaulatan yang dibangun di atas dasar teologis, tetapi doktrin tersebut ditakdirkan mengalami kemerosotan di jaman ketika kecenderungan sekuler sedang naik daun pada abad ke -16.

Para pemikir teori kedaulatan murni yang berlandaskan kepada hukum sebagai landasan untuk memerintah memperoleh ruang yang luas untuk mengembangkan pemikirannya terutama setelah mulai lunturnya pengaruh kekuasaan Gereja. Perkembangan pemikiran politik yang berlandaskan hukum terutama banyak berkembang di Prancis dan Inggris pada abad ke-16.

Pemikiran politik yang bersifat absolut sebelumnya telah dijelaskan oleh tokoh pemikir sebelum Bodin, salah satunya adalah Niccolo Machiavelli salah seorang pemikir politik yang berasal dari Italia. Machiavelli menuliskan pemikiran politiknya dalam sebuah buku yang berjudul “Il Prince”, buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul “The Prince” yang

(31)

68 kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Sang Penguasa”.

Pemikiran Bodin mengenai politik yang bersifat absolut sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran politik absolut dari Machiavelli. Akan tetapi, berbeda dengan Machiavelli, Bodin sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya tidak tergesa-gesa membahas mengenai cara-cara bagaimana memperoleh kekuasaan, dia terlebih dahulu membahas watak serta tujuan negara kemudian membahas cara-cara memperloeh kekuasaan.

Machiavelli dalam buku “sang penguasa” langsung menjelaskan mengenai bagaimana cara memperoleh kekuasaan serta bagaimana suatu pemerintahan didirikan. Menurutnya, untuk memperoleh serta mendirikan suatu pemerintahan bisa dilakukan dengan cara melakukan penaklukan senjata terhadap suatu wilayah penguasa lain ataupun bisa diperoleh melalui keturunan. Pandangan Machiavelli dalam hal politik merupakan suatu pemikiran yang bersifat praktis. Pemikiran Machiavelli yang menganjurkan agar para ahli negara menolak ajaran kesusilaan serta pandangan ajaran Kristen dengan pertimbangan untuk kepentingan negara dianggap oleh para pemikir politik sebagai suatu hal yang berani. Menurutnya (Schmid, 1988 : 95) orang seharusnya berjuang menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti binatang dan tidak menggunakan hukum, baginya seorang Raja harus pandai seperti kancil serta harus kuat seperti singa.

Pemikiran Machiavelli yang dianggap begitu radikal dalam ilmu politik pada masa itu merupakan suatu hasil pemikiran yang muncul akibat pengalaman hidupnya. Pengalaman sejarah yang mengajarkan Machiavelli untuk sama sekali

(32)

69 tidak melihat nilai-nilai moral serta nilai susila dalam tulisannya. Sehingga pemikiran Machiavelli terutama dalam hal politik banyak ditentang oleh kebanyakan orang pada masa itu, penentangan terhadap pemikiran politik Machiavelli yang mengabaikan nilai moral dan susila terutama dilakukan oleh orang-orang Katolik yang terkenal sebagai penjunjung nilai moral dan susila pada masa itu. Walau demikian terdapat perbedaan paham dengan Machiavelli, sebab terletak pada pengakuannya bahwa hokum itu mengandung moral dan moral itu tidak boleh diabaikan (Basah, 1994 : 139).

Seperti halnya dengan pemikiran politik Machiavelli, pemikiran politik Bodin pun lahir dikarenakan pengalaman semasa hidupnya. Bodin mendefinisikan negara sebagai “pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa keluarga serta kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan yang berdaulat”. Ia mencatat bahwa terdapat empat unsur pokok yang perlu dilihat disini : tatanan yang benar, keluarga, kekuasaan yang berdaulat, dan tujuan bersama. Pemerintah yang dibangun dengan benar sejalan dengan hukum alam adalah sifat sejati dari masyarakat yang membedakannya dengan gerombolan dan perampok.

Bodin sependapat dengan Aristoteles dalam pandangan bahwa keluarga dan individulah yang menjadi unit dasar negara (Shmandth : 280). Keluarga “bukan hanya sumber sebenarnya dan asal-usul negara, tetapi merupakan unsur pokoknya”. Lebih dari itu, keluarga adalah komunitas alamiah yang melahirkan masyarakat yang lebih kompleks. Bodin beranggapan bahwa manusia sebagai akibat dari kejatuhan adalah makhluk yang curang dan suka memberontak. Ia yakin bahwa kebutuhan pokok manusia adalah disiplin dalam mengekang

(33)

70 dorongan jahatnya. Pandangan ini mendorongnya untuk menekankan otoritas dan kekuasaan yang diserahkan pada ayah dalam keluarga atau penguasa negara. Ia mendesak agar otoritas ayah diperkuat sekalipun dengan taruhan nyawa anak-anaknya.

Keluarga yang harmonis adalah “citra sejati dari negara”. Model pemerintahan politik ditemukan dalam kekuasaan ayah terhadap keluarganya. Sebagaimana dalam keluarga dimana tunduk pada ayah adalah penting bagi kesejahteraan keluarga, demikian juga patuh pada penguasa adalah penting bagi stabilitas negara. Karena ayah memiliki kekuasaan penuh terhadap keluarganya, demikian juga penguasa negara atau negara harus memiliki landasan hukum penuh terhadap warga negaranya. Karena keluarga itu seperti negara maka hanya bisa ada satu penguasa, satu pemimpin dan satu tuan. Jika beberapa orang memiliki otoritas, mereka akan merusak tatanan dan menimbulkan bencana yang terus berlanjut. Menurut Bodin. Negara memiliki asal-usulnya dalam kekuatan dan kekerasan. Sebelum terdapat bentuk persekutuan politik, setiap keluarga adalah “pemimpin dalam rumah tangga, memiliki kekuasaan terhadap hidup dan mati istri dan anak-anaknya”. Kekuatan, kekerasan, ambisi, kebencian, dan nafsu balas dendam menjadikan manusia bermusuhan satu sama lainnya. Kondisi yang tidak menguntungkan ini mendorong keluarga-keluarga untuk bersatu demi pertahanan bersama dan keuntungan lainnya serta untuk mengikuti kekuasaan politik yang berdaulat. Pengakuan akan otoritas semacam ini lebih sering dicapai oleh kekuatan daripada pengakuan sukarela.

(34)

71 Bodin beranggapan bahwa hal yang membedakan negara dari semua bentuk asosiasi atau perkumpulan lain adalah kedaulatan. Tidak bisa ada negara yang sejati tanpa kekuasaan berdaulat yang menyatukan semua anggotanya. Suatu otoritas mutlak dan tertinggi yang tidak tunduk pada kekuasaan manusia lainnya harus ada dalam lembaga politik. Ini adalah prinsip pertama dan paling fundamental dari teori politik Bodin.

Kata kedaulatan merupakan hasil terjemahan dari kata sovereignity (bahasa Inggris), souverainate (bahasa Prancis), sovranus (bahasa Italia) yang merupakan turunan dari bahasa latin yaitu superanus berarti “ yang tertinggi”( Isjwara, 1980 : 107). Setelah abad pertengahan kekuasaan Gereja dalam masalah duniawi berangsur-angsur berkurang, maka lahir teori-teori baru mengenai pemusatan kekuasaan tertinggi itu pada penguasa-penguasa sekuler (Raja). Dante Alighieri misalnya beranggapan bahwa kekuasaan tertinggi itu harus dipusatkan pada kaisar (Kekaisaran Romawi Suci). Marsiglio di Padua beranggapan bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi. Baru pada abad ke -15 kata kedaulatan itu muncul sebagai istilah politik yang banyak dipergunakan terutama oleh sarjana-sarjana Prancis.

Kedaulatan, sebagaimana yang didefinisikan Bodin adalah kekuasaan absolut dan abadi yang diletakkan pada negara, ia adalah kekuasaan tertinggi di atas warga negara dan tidak dibatasi oleh hukum. Kualitas-kualitas dasar dari kedaulatan menurut Jean Bodin adalah kemutlakan, tidak dapat dibagi-bagi (indivisibilty) dan kelanggengan (Shmandt : 282).

(35)

72 Kedaulatan bersifat mutlak artinya bahwa orang atau lembaga yang memiliki kedaulatan tidak dapat dibatasi oleh kekuasaan lain atau oleh semua hukum manusia. Raja yang berdaulat tidak punya pembanding, ia menganggap tidak ada yang lebih berkuasa dari dirinya kecuali Tuhan. Kedaulatan bersifat selamanya karena tidak ada batas waktu yang ditetapkan dalam pelaksanaannya. Ketika kedaulatan tersebut diserahkan kepada seorang penguasa maka ia melekat terhadap penguasa tersebut selama hidupnya. Kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi karena kedaulatan yang dibagi-bagi berarti bertentangan dengan istilahnya. Kedaulatan yang dibagi-bagi ibarat Tuhan yang tidak mungkin menciptakan Tuhan lain yang sebanding dengan dirinya tanpa menghancurkan dirinya sendiri.

Hal lain yang mendasar tentang kedaulatan adalah kekuasaan untuk membuat hukum. Kekuasaan membuat hukum yang dimiliki oleh seorang Raja berdaulat dan hukum tersebut mengikat semua warganya secara umum dan secara khusus, dan ia melaksanakan kekuasaan ini tanpa persetujuan dari manapun adalah ciri pertama dari Raja yang berdaulat. Berbeda dengan para pemikir abad pertengahan yang menganggap bahwa hukum adalah sesuatu yang ditemukan melalui kebiasaan, Bodin beranggapan bahwa hukum adalah sesuatu yang sengaja diciptakan dan kekuatan hukum tertulis berasal dari penguasaan Raja. Sehingga penguasa tidak terikat baik oleh hukum yang ia buat atau yang dibuat oleh pendahulunya atau oleh tindakan rakyatnya.

Doktrin kedaulatan Bodin nampaknya menjadi gambaran dari kekuasaan absolut dan tidak terfokus dalam negara. Namun demikian, Bodin tidak bermaksud sampai sejauh itu dalam mengartikan kedaulatan, sebagaimana yang

(36)

73 dia tunjukkan “jika kekuasaan absolut terbebas dari semua hukum, maka tidak ada Raja di dunia yang bisa dianggap penguasa, karena semua Raja di dunia tunduk pada hukum Tuhan dan hukum alam dan bahkan pada hukum manusia yang dimiliki oleh semua bangsa (Shmandt : 283)”.

Jika kedaulatan pada dasarnya adalah kekuasaan membuat hukum, dan jika kekuasaan ini tidak bisa dibagi atau dibatasi oleh hukum, tidaklah logis meminta penguasa tunduk pada hukum-hukum yang tidak dibuatnya dan tidak bisa diubahnya.

Bodin tidak sependapat dengan pengklasifikasian pemerintahan menurut Aristoteles yang membagi pemerintahan menjadi bentuk baik dan buruk, dengan menyatakan bahwa hanya ada tiga jenis pemerintah dan membagi ketiganya berdasarkan kedudukan kedaulatan yaitu ; pada satu orang, beberapa orang atau banyak orang. Menurut Bodin bukanlah hal pokok apakah watak politik suatu pemerintah baik atau buruk. Bodin juga menolak ide negara gabungan dengan alasan bahwa jenis negara ini dengan pembagian kekuasaannya tidak bisa eksis, karena kedaulatan pada dasarnya tidak bisa dibagi-bagi. Di bawah konstitusi gabungan akan terdapat perselisihan seperti mengenai apakah kedaulatan terletak di tangan Raja atau pada sebagaian atau bahkan semua orang. Bentuk negara seperti itu diklasifikasikan Bodin sebagai demokrasi sebgaimana yang dia jelaskan “kedaulatan sebenarnya terletak pada rakyat dan bahwa lembaga yang menjalankannya hanya bekerja sebagai agen mereka (Shmandt : 285)”.

Bagi Bodin kedaulatan dipersonifisir oleh Raja. Raja yang berdaulat tidak bertanggung jawab terhadap siapapun juga, kecuali kepada Tuhan. Namun

(37)

74 kedaulatan menurut faham Bodin juga tidak mutlak semutlak-mutlaknya, Raja harus menghormati hukum Tuhan dan juga hukum alam.

Menurut Bodin, seorang Raja yang berdaulat haruslah memiliki karakteristik sejati dari kedaulatan. Menurutnya atribut sejati kedaulatan menjadikan seorang Raja memiliki hak-hak istimewa. Hak tersebut adalah :

1. hak untuk membuat hukum atau undang-undang

2. hak untuk membuat perdamaian dan menyatakan perang 3. hak untuk mengangkat pejabat atau pegawai negara

4. hak mengambil berbagai keputusan terutama keputusan pengadilan 5. hak untuk dihormati dan ditaati

6. hak untuk menentukan mata uang 7. hak untuk menarik pajak

Dari semua ini tampak dengan jelas bahwa tanda keagungan dan kekuasaan mutlak Raja yang berdaulat adalah hak untuk memaksakan hukum pada umumnya terhadap rakyat atau bawahannya tanpa persetujuan mereka. Raja yang berdaulat pun berada di atas hukum, hal ini berarti dia tidak perlu tunduk terhadap semua hukum yang ada dikarenakan hukum adalah perintah dari yang berdaulat, Raja berdaulat juga tidak perlu tunduk terhadap hukum yang dibuat oleh para pendahulunya.

Referensi

Dokumen terkait

Pertama, manfaat dari koordinasi antar pemangku kepentingan yang solid, sinergis dan dalam kesatuan visi diplomasi pertahanan akan memperkokoh peran serta Indonesia

memiliki status sosial yang rendah dan mendapat kritikan dari berbagai sisi. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana polisi dapat diharapkan melindungi HAM jika hak-hak

Forum kemitraan ini berfungsi antara lain : pertama, memberi informasi tentang masalah- masalah yang dihadapi warga maupun kebutuhannya karena pandangan masyarakat

Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan Importir dengan pemenuhan

Nama alat tangan yang digunakan untuk instalasi listrik seperti gambar

Penterjemah yang lain ialah Chan Maw Who ( 陈妙华 ) yang pernah menggunakan nama pena Tinoh. Beliau adalah antara penggiat sastera Melayu dan Mahua di Singapura. Selain pernah

Ekstrak kental etanol yang positifmengandung triterpenoid dilarutkan dalametanol-air (7:3), etanolnya diuapkan kemudiandipartisi dengan kloroform sehingga dihasilkan21,97 g ekstrak

Matrik SWOT digunakan untuk menyusun strategi organisasi atau perusahaan yang menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman yang