• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. akumulasi liat. Ultisol memiliki kejenuhan basah kurang dari 35% pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. akumulasi liat. Ultisol memiliki kejenuhan basah kurang dari 35% pada"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol

Ultisol adalah tanah dengan horizon subpermukaan yang berasal dari akumulasi liat. Ultisol memiliki kejenuhan basah kurang dari 35% pada kedalaman 125 cm di bawah batas atas dari horizon argilik atau kandik (tidak lebih dari 200 cm di bawah permukaan tanah mineral) atau 180 cm di bawah permukaan tanah mineral jika epipedon kelas – butir berpasir dan paling dangkal terdapat pada 125 cm di bawah batas atas horizon argilik atau kandik atau 180 cm di bawah permukaan tanah mineral (Soil survey staff. 2014). Horizon bawah tanah ultisol berwarna merah dan kuning dan terlihat jelas timbunan oksida besi bebas. Ultisol masih mempunyai mineral yang dapat melapuk dan terbentuk di atas permukaan tanah tua (Buckman dan Brady, 1982).

Ultisol memiliki memiliki tingkat kemasaman kurang dari 5,5, bahan organik rendah sampai sedang,dan nutrisi rendah. Ultisol memiliki kandungan Al yang tinggi dan menyebabkan terfiksasinya unsur fosfat sehingga ketersediaan fosfat di dalam larutan tanah berkisar 0-3 ppm (Munir, 1996). Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada Ultisol yang berasal dari bahan sedimen dan granit yaitu >60% dan paling rendah terdapat pada Ultisol dari bahan volkan andesitik dan gamping yaitu 0%. Bahan sedimen merupakan hasil dari proses pelapukan dan pencucian. Proses pelapukan terjadi pada saat pembentukan batuan sedimen dan saat pembentukan tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Ultisol memiliki sifat fisik tanah yaitu daya pegang air rendah, tekstur berlempung liat, permeabilitas tanah yang semakin rendah dari lapisan atas tanah ke lapisan bawah tanah (Junaedi, 2010). Ultisol memiliki solum dengan

(2)

kedalaman sedang, berwarna merah sampai kuning, dan memiliki struktur berbentuk blocking pada horizon Bt (Munir, 1996).

Ultisol merupakan jenis tanah yang banyak tersebar di indonesia hingga mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan indonesia (Subagyo, dkk. 2004). Sebaran terluas tanah Ultisol terdapat di Kalimantan (21.938.000), Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha),

Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha) (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Tanah Ultisol yang sangat luas merupakan lahan kering. Tanah Ultisol ini biasanya dimanfaatkan sebagai lahan permukiman, perluasan lahan perkebunan dan hutan tanaman industri. Hal ini berdampak pada timbulnya masalah baru yaitu hilangnya lapisan top soil akibat pemerataan permukaan tanah dan yang tersisa adalah lapisan sub soil yang kurang subur. Ultisol berpotensi menjadi lahan persawahan apabila tersedia air yang cukup. Ultisol lebih sesuai digunakan untuk tanaman kelapa sawit yang dikombinasikan dengan tanaman pakan ternak berupa legume sebagai pengendali limpasan permukaan (Munir, 1996).

Limbah Pabrik Kelapa Sawit

Limbah kelapa sawit adalah limbah yang berasal dari sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak termasuk dala produk utama atau merupakan hasil ikutan dari proses pengolahan kelapa sawit. Berdasarkan tempat pembentukannya, limbah digolongkan menjadi limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah industri kelapa sawit. Limbah perkebunan kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada saat proses pengolahan kelapa sawit dan terbagi menjadi tiga golongan yaitu limbah padat, limbah cair dan gas.

(3)

Kelapa sawit yang diolah akan menghasilkan daging buah, biji sawit, dan tandan kosong. Daging buah yang diolah akan diperoleh minyak sawit (CPO), sludge yang berupa minyak kasar atau padatan dan juga serat atau sabut yang digunakan sebagai bahan bakar. Biji sawit akan menghasilkan minyak inti yang digunakan sebagai bahan pembuat minyak goreng, margarin dan lain-lain serta bungkil sebagai pakan ternak. Biji sawit juga akan menghasilkan cangkang atau tempurung yang digunakan pabrik sebagai bahan bakar. Tandan kosong digunakan sebagai sumber bahan organik.

Hasil pengolahan tandan buah segar akan menghasilkan limbah. Limbah ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat yang berupa tandan kosong kelapa sawit (TKKS), cangkang, serabut atau serat, sludge atau lumpur dan bungkil. Limbah cair berupa limbah yang dihasilkan dari pengolahan minyak sawit (CPO) dan inti sawit (kernel). Limbah gas berasal dari gas cerobong dan uap air buangan pabrik kelapa sawit. Salah satu pemanfaat dari pengolahan limbah kelapa sawit adalah sebagai pupuk organik (Prayitno,dkk, 2008).

1. Limbah Cair

POME (Palm Oil Mill Effluent) merupakan hasil dari pengolahan pabrik kelapa sawit berupa limbah yang berasal dari stasiun klarifikasi dan hidroksikon. POME yang dihasilkan dari pengolahan pabrik kelapa sawit sekitar 40-70 % dari TBS dan yang masih mengandung minyak sekitar 0,5%, air 95% dan padatan 5% sehingga perlu dilakukan pengolahan limbah dengan baik agar tidak mencemari lingkungan (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003).

Proses pengolahan limbah cair yang disarankan oleh Pusat Penelitian Perkebunan (RISPA) adalah

(4)

• Kolam Pembiakan. Kolam ini digunakan untuk mengaktifkan bakteri. Karena limbah cair dari Fatpit masih asam, maka dilakukan penetralan dengan penambahan kausatik soda. Pembiakan bakteri juga dilakukan dengan proses seeding dengan lama pembiakan 3-7 hari.

• Kolam Pengasaman. Kolam ini juga dapat berfungsi sebagai kolam pendingin tetapi fungsi utamanya adalah proses pengasaman, dimana terjadi kenaikan kadar asam dan komponen – komponen asam yang mudah menguap yaitu dari 1000 mg/l menjadi 5000 mg/l. Lamanya limbah cair dalam kolam ini adalah 5 hari.

• Kolam Netralisasi. Suhu limbah cair akan semakin menurun sampai sekitar 400C dan nilai pH dinaikkan dari 4,0 menjadi 7,0 dengan penambahan Kausatik Soda sebanyak 5-6 kg/ton limbah cair.

• Kolam Perombakan Anaerob Primer I. Pada kolam ini raksi mikrobiologi berlangsung. Penguraian bahan – bahan organik majemuk dalam limbah cair menjadi asam – asam organik yang mudah menguap. Dengan terbentuknya asam maka pH akan kembali turun, namun dapat dinetralisasi. Waktu penahan hidrolis pada kolam ini sekitar 40 hari.

• Kolam Perombakan Anaerob Primer II. Proses yang terjadi pada kolam ini sama dengan Kolam Perombakan Anaerob Primer I sehingga total penahan hidrolis adalah 80 hari. BOD dapat diturunkan dari 25.000 mg/l menjadi 5.000 mg/l (penguraian 80%).

(5)

• Kolam Pematangan Anerob Sekunder I. Pengubahan asam yang mudah menguap menjadi gas – gas seperti metanan, karbon dioksida, hidrogen sulfida. Waktu penahan hidrolis selama 20 hari.

• Kolam Pematangan Anerob Sekunder II. Proses pengubahan asam – asam mudah menguap dilanjutkan dalam kolam kedua. Apabila pH menurun maka dilakukan resikulasi. Waktu penahanan hidrolis selama 20 hari, maka total penahanan hidrolis adalah 40 hari. Pertumbuhan bakteri penghasil metana lebih lambat dibandingkan bakteri penghasil asam karena kurangnya energi. BOD turun dari 5.000 mg/l menjadi 1.750 mg/l dengan efisiensi penguraian 65%.

• Kolam Aerob. Penguraian selanjutnya terjadi secara aerobik yaitu membutuhkan oksigen. Waktu penahanan hidrolis selama 15 hari. BOD dapat ditekan dengan aerator dan suplai oksigen yang cukup dari 1.750 mg/l menjadi di bawah 100 mg/l. Efisiensi penguraian dengan cara oksidasi dapat mencapai 95%.

• Kolam Sedimentasi. Kolam ini berfungsi memisahkan cairan dari lumpur yang mengalir secara kontinyu dari kolam aerob. Penahanan hidrolis selama 4 hari.

• Kolam Fakultatif dan Bak Pengontrol. Kolam fakultatif dapat berfungsi sebai tempat untuk proses stabilisasi akhir dan bak pengontrol berfungsi untuk pencegahan-pencegahan darurat.

Land Application. Pemanfaatan limbah cair untuk digunakan sebahai bahan penyubur atau pemupukan tanaman. Limbah cair yang dialirkan kelahan memiliki kandungan BOD maksimal 5000 mg/l.

(6)

(Rahardjo, 2006).

Limbah yang sudah mengalami pengolahan dengan sistem pengolaman akan dibuang ke badan air, tetapi saat ini pembuangan limbah ke badan air sudah dilarang sehingga limbah di aplikasikan ke lahan perkebunan. Teknik aplikasi limbah cair ke lahan dilakukan dengan cara penyemprotan/sprinkle untuk lahan datar atau sedikit bergelombang untuk mengurangi aliran permukaan dari limbah cair yang digunakan. Teknik flatbed atau teknik parit digunakan di lahan berombak atau bergelombang dengan konstruksi diantara baris pohon yang dihubungkan dengan saluran parit. Ukuran parit adalah 2,5m x 1,5m x 0,2m yang dibuat setiap 2 baris tanaman (Dirjen PHPP, 2006). Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 28 pasal 3 tahun 2003 yaitu pengaplikasian limbah cair ke areal perkebunan dilakukan dengan metode irigasi yaitu dengan metode flatbed, furrow sistem, dan long bed sistem. pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit ditetapkan bahwa persyaratan minimal pengkajian pemanfaatan air limbah yaitu pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, pengaruh terhadap kualitas tanah dan air, pengaruh terhadap kesehatan masyarakat, BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/L, nilai pH berkisar 6-9, dilakukan pada lahan selain lahan gambut, dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas antara 1,5 - 15 cm/jam, tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter.

Endapan berupa lumpur berwarna hitam yang berada di rorak atau parit yang berada pada lahan perkebunan atan Land Applicatoin disebut dengan konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit. Pemanfaatan limbah dari rorak/parit

(7)

sebagai penyubur tanah bagi tanaman kelapa sawit karena mengandung unsur N, P, K. Limbah cair dalam Land Application diproses menjadi limbah dengan kandungan BOD 3500 mg/L – 5000 mg/L (Yan, 2014).

Dari hasil penelitian Febrika (2006) menunjukan bahwa aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit dapat meningkatkan pH tanah hingga 7.30 pada jarak 60 cm dari parit aplikasi dan jarak yang semakin jauh maka pH tanah akan semakin menurun. Aplikasi limbah cair juga dapat menaikan kadar nitrogen total (N-Total) tanah, meningkatkan kadar P-tersedia dan kadar K-tukar. Penelitian Nuraima (2008) juga menyatakan bahwa aplikasi konsentrat (endapan) LCPKS sampai dosis 25 ton/ha (69,25 g/pot) dapat meningkatkan N-total, K-dapat tukar, P-tersedia tanah dan memberikan respon pertumbuhan yang baik terhadap tanaman jagung. Pada pnelitian Olan Harahap (2010) menyatakan bahwa aplikasi tandan kosong kelapa sawit dan Konsentrat Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit sangat berpengaruh nyata dalam memperbaiki nilai pH, C-organik, N-total, P-tersedia dan KTK media tanam sub soil Ultisol setelah 2 minggu inkubasi.

Limbah Padat

1.1. Tandan Kosong

Janjangan kosong atau yang biasa disebut EFB (empty fresh bunch) merupakan bekas TBS (tandan buah segar) yang berondolannya sudah lepas pada saat pengolahan di pabrik kelapa sawit. Dari setiap TBS yang diolah akan dihasilkan 20% janjangan kosong dari setiap berat TBS yang diolah.Janjangan kosong mempunyai rasio C/N sangat tinggi sehingga proses dekomposisi dan mineralisasi janjangan kosong dilapangan oleh mikroorganisme relatif lambat. Lamanya proses dekomposisi dan mineralisasi janjangan kosong seperti yang

(8)

terlihat pada Tabel. Walaupun demikian janjangan kosong sangat kuat menyerap dan menyimpan air. Janjangan kosong dapat dijadikan sebagai mulsa untuk menahan air agar ketersediaan air bagi tanaman lebih terjamin terutama untuk kelapa sawit TBM (tanaman belum menghasilkan). Janjangan kosong juga mengandung nutrisi utama yang dibutuhkan kelapa sawit walaupun dalam jumlah yang sedikit (Yan, 2014).

Tandan kosong mengandung unsur hara N,P,K, dan Mg setara dengan 3 kg pupuk urea, 12 kg pupuk MOP, dan 2 kg pupuk kieserit. Satu unit PKS

dengan kapasitas 30 ton TBS/jam atau 600 ton TBS?hari akan menghasilkan pupuk NPK dan Mg setara dengan 360 kg urea, 72 kg CIRP, 1.440 kg MOP, dan 240 kg Kieserit (Ditjen PHPP, 2006)

2.2. Cangkang Dan Serat

Pemrosesan buah kelapa sawit menjadi ekstrak minyak sawit menghasilkan limbah padat yang sangat banyak dalam bentuk serat, cangkang dan tandan buah kosong. Setiap 100 ton tandan buah segar yang diproses akan menghasilkan lebih kurang 20 ton cangkang, 7 ton serat. Cangkang selanjutnya digunakan lagi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap pada penggilingan minyak sawit. Pembakaran dalam ketel uap dengan menggunakan cangkang kelapa sawit ini akan menghasilkan 5% (1 ton) abu cangkang. sawit (oil palm ashes) dengan ukuran butiran yang sangat halus. Abu hasil pembakaran ini biasanya dibuang dekat pabrik sebagai limbah padat yang tidak termanfaatkan, bahkan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lingkungan dan kesehatan (Fauziah dan Henri, 2013).

(9)

Abu boiler adalah abu hasil pembakaran sabut dan cangkang kelapa sawit. Abu hasil pembakaran serabut/serat dan cangkang kelapa sawit menghasilkan kerak keras berwarna putih-keabuan akibat pembakaran pada suhu tinggi. Data dari pabrik kelapa sawit perkebunan menunjukan bahwa lebih dari 100 ton/minggu dihasilkan cangkang dan serabut/serat buah sawit yang menghasilkan 3-5 ton/minggu kerak boiler (abu). Limbah dari pembakaran ini juga mengandung silika yang cukup tinggi yakni 71,14%. Kandungan silika yang tinggi pada abu boiler ini dimanfaatkan untuk kegiatan pembuatan aspal dan beton (Yelvi dan Mukhlis, 2013).

Hasil uji komposisi kandungan unsur kimia dari abu boiler yang dilakukan Hutahean (2007) adalah SiO2 58,02%, Al2O3 8,7%, Fe2O3 2,6%, CaO 12,65%, MgO 4,23%, Na2O 0,41%, K2O 0,72%, H2O 1,97%. Kandungan silika yang tinggi dapat menyebabkan abu mengeras karena abu memilki sifat reaktif. Sifat silika yang reaktif dan aktivitas pozzolanik yang bagus. Hasil penelitian Fauziah dan Henri (2013) menyatakan bahwa aspal dengan bahan campuran abu boiler ini memiliki nilai stabilitas yang tinggi karena adanya sifat pozzolan yang ditambahkan pada aspal beton akan membuat reaksi senyawa yang membuat campuran menjadi keras dan kaku.

Abu boiler selain mengandung silika yang tinggi juga banyak mengandung unsur hara yang sangat bermanfaat dan dapat diaplikasikan pada tanaman sawit sebagai pupuk tambahan atau pengganti pupuk anorganik. Unsur hara yang terkandung dalam abu boiler adalah N 0,74%, P2O5 0,84%, K2O 2,07%, Mg 0,62%. Melihat kandungan Abu boiler dan jumlah yang dihasilkan setiap 100 ton pengolahan TBS, Abu boiler dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Selain

(10)

memberikan keuntungan secara ekonomis dan ramah lingkungan, diharapkan pemberian Abu boiler kelapa sawit sebagai pupuk pada media pembibitan dapat menambah ketersediaan unsur hara pada tanah sehingga perkembangan dan pertumbuhan bibit kelapa sawit juga semakin baik (Astianto, 2012).

Abu boiler dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalium karena kandungan kalium pada abu boiler dapat mencapai 30%. Selain itu, abu boiler yang merupakan limbah padat dapat menjadi bahan amelioran karena mempunyai sifat-sifat kejenuhan basa tinggi, dapat meningkatkan pH tanah. Menurut penelitian Rini (2005) abu boiler dapat memperbaiki sifat kimia tanah gambut yang bersifat masam.

Referensi

Dokumen terkait

Strategi yang dibuat oleh Peace Generation Indonsia dilakukan dan disesuaikan dengan tujuan dari penggunaan media sosial itu sendiri yaitu media sosial

User dapat mengetahui nama anggota beserta alamat anggota yang belum mengembalikan buku beserta tanggal buku tersebut harus di kembalikan Sistem harus dapat melakukan

Pada model ini, evaluasi pelatihan memiliki keterbatasan yaitu pertama, tidak dapat membandingkan kebutuhan pelatihan sesuai dengan dunia kerja dengan hasil pelatihan yang telah

keuntungan  dari  PT  kepada  anggota/pengurus  yang  berstatus  orang  pribadi  disamakan  atau  dianggap  sebagai  deviden  (Ps.4  ayat  1  huruf 

One can glean from the two examples above that the sample information is made available to the analyst and, with the aid of statistical methods and elements of probability,

Hasil penelitian ini adalah aplikasi multimedia sebagai media pembelajaran grafika komputer pada materi pengenalan OpenGL bagi mahasiswa Program Studi Teknik Informatika di

Pemberian konsentrasi sodium siklamat berpengaruh terhadap frekuensi NDJ karena siklamat di dalam tubuh akan mengalami metabolisme dengan bantuan flora bakteri

Hasil uji chi square didapatkan nilai χ 2 sebesar 8,418 pada df 1 dengan taraf signifikansi (p) 0,004 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan dalam tingkatan